Anda di halaman 1dari 29

TUGAS BESAR

GENDER BASED VIOLENCE DAN


INTIMATE PARTNER VIOLENCE

Pembimbing:

dr. Retno Sawitri, Sp.FM

Disusun oleh:

Afif Fadhiil Dzaki (41211396100058)


Aulia Andriani (41211396100014)
Fajria Shofa Rahma Uswah (41211396100041)
Mutiara Yuen (41221396100091)
Nadya Salsabila (41221396100092)
Ridad Thaufiq Akbar (41221396100053)
Riska Afifah (41211396000003)
Shafa Salsabilla Yonanda (41211396100097)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL


RUMAH SAKIT UMUM PUSAT FATMAWATI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
PERIODE 15 MEI -18 JUNI 2023
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.

Segala puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas
berkah, rahmat dan hidayah-Nya, shalawat serta salam kami haturkan kepada
junjungan kita semua Rasulullah Muhammad SAW yang telah membimbing
umatnya dari zaman kegelapan menuju zaman yang kaya akan ilmu
pengetahuan sehingga kami dapat menyelesaikan tugas kelompok besar
berupa paper yang berjudul “Gender Based Violence dan Intimate Partner
Violence” sebagai salah satu syarat tugas pembelajaran pada kepaniteraan
klinik Ilmu Forensik dan medikolegal Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati.

Kami mengucapkan terima kasih banyak kepada dr. Retno Sawitri,


Sp.FM selaku pembimbing kami dalam penulisan paper ini yang telah
memberikan banyak ilmu dan waktunya untuk membimbing kami dalam
menyusun paper ini.

Kami mengharapkan kritik dan saran pada penulisan paper ini yang
mungkin masih memiliki kekurangan ataupun kesalahan agar dapat menjadi
lebih baik lagi dan kami sebagai penulis dapat mengoreksi diri dalam
penulisan-penulisan karya selanjutnya.

Wassalamu’alaikum. Wr. Wb.

Jakarta, 6 Juni 2023

Tim Penulis

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar...................................................................................................i
Daftar Isi............................................................................................................ii
BAB I Pendahuluan...........................................................................................1
BAB II Tinjauan Pustaka.................................................................................2
2.1 Gender Based Violance.....................................................................2
2.1.1 Definisi....................................................................................2
2.1.2 Karakteristik GBV...................................................................2
2.1.3 Macam-macam GBV...............................................................5
2.1.3 Faktor terjadinya GBV............................................................6
2.2 Intimate Patner Violance...................................................................7
2.1.1 Definisi....................................................................................7
2.2.2 Presentasi Kasus IPV...............................................................7
2.2.3 Alasan Tidak Meninggalkan Pasangan....................................9
2.2.4 Karakteristik terjadinya IPV..................................................10
2.2.5 Faktor terjadinya IPV............................................................11
2.2.6 Akibat terjadinya IPV............................................................12
2.2.7 Pencegahan dan Penanganan IPV..........................................15
2.2.8 Alur Pelaporan IPV...............................................................19
2.2.9 Alur Pelayanan di Rumah Sakit.............................................21
BAB III Kesimpulan........................................................................................23
Daftar Pustaka.................................................................................................24

ii
BAB I
PENDAHULUAN

IPV (Intimate Partner Violence) atau kekerasan pasangan intim adalah


perilaku kekerasan pada pasangan intim yang dapat menimbulkan kerugian
atau bahaya, dapat berupa kekerasan fisik, seksual, emosional/psikologikal,
atau pengendalian perilaku. Sedangkan GBV (Gender Based Violence) atau
kekerasan berbasis gender adalah konsep payung (umbrella term) dari
berbagai tindakan yang membahayakan fisik, seksual dan psikologi (The
International Federation of Red Cross and Red Crescent Societies – IFRC,
2016), yang dilakukan dengan paksaan berdasarkan perbedaan gender antara
laki-laki dan perempuan (Inter-Agency Standing Committee – UNFPA, 2005).
IPV merupakan bagian dari GBV.
Korban IPV yang tersering adalah wanita. dalam studi multi-negara
WHO, 23–56% wanita yang melaporkan pernah mengalami IPV fisik atau
seksual pernah mengalami keduanya. Analisis komparatif data DHS dari 12
Amerika Latin dan Karibia negara menemukan bahwa mayoritas (61-93%)
wanita yang melaporkan IPV fisik dalam 12 bulan terakhir juga dilaporkan
mengalami kekerasan emosional.
Terdapat beberapa faktor yang berpotensi menyebabkan ataupun
mendukung terjadinya IPV, seperti usia muda, tingkat pendidikan yang
rendah, stres ekonomi, konflik pada hubungan, kemiskinan, ketidaksetaraan
gender dan lain sebagainya. IPV menimbulkan dampak yang buruk terutama
bagi korbannya, dampak IPV yang dapat timbul antara lain luka fisik, cacat,
kehamilan yang tidak terencana, terganggunya produktivitas korban, hingga
gangguan psikis. Apabila IPV ini terjadi pada hubungan di dalamnya terdapat
anak maka juga dapat menimbulkan dampak pada anak tersebut.
Oleh karena itu kami menuliskan paper yang berjudul “Gender Based
Violence dan Intimate Partner Violence” agar penulis dan pembaca dapat

1
lebih mengerti dan memahami tentang kekerasan berbasis gender dan
kekerasan pasangan intim mulai dari pengertian, faktor risiko, hingga cara
mengatasi ataupun mencegah terjadinya GBV dan IPV ini, diharapkan
nantinya dapat mengurangi kejadian GBV dan IPV di kemudian hari sehingga
dampak buruknya dapat dihindari.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kekerasan Berbasis Gender / Gender Based Violence


2.1.1 Pengertian Kekerasan Berbasis Gender/ Gender Based Violence
Terdapat berbagai definisi mengenai Gender Based Violence (GBV).
Menurut UN Commissioner for Refugees mendefinisikan GBV sebagai:
“gender-based violence (GBV) refers to violence that targets a person or a
group of persons because of gender.” Dalam hal ini GBV berarti kekerasan
yang ditargetkan kepada seseorang atau sekelompok orang karena gender
mereka. Sedangkan Komite penghapusan Kekerasan terhadap perempuan
mengartikan dengan lebih luas, yaitu termasuk kepada tindakan yang
mengakibatkan kerugian fisik, mental atau seksual atau penderitaan, ancaman
tindakan, serta paksaan dan perampasan kebebasan lainnya berdasarkan
gender mereka. Sedangkan menurut UNIFEM (United Nations Development
Fund for Woman) GBV memasukkan konteks baru ke dalam pendefinisian
GBV, yaitu memasukkan unsur hubungan kekuasaan yang tidak setara antara
perempuan dan laki-laki dalam masyarakat.
Jika didefinisikan sesuai dengan penggunaan kata, GBV tidak hanya
melingkupi perempuan, namun biasanya perempuan selalu menjadi korban,
hal ini disebabkan perempuan lebih rentan mengalami kekerasan. Hal ini
muncul berkaitan dengan hubungan kekuasaan yang tidak setara, baik itu
dalam lingkup keluarga, masyarakat, bahkan negara. Oleh karena itu muncul
berbagai istilah yang digunakan untuk menggambarkan GBV, seperti
“kekerasan seksual”, “kekerasan terhadap perempuan”, dan lainnya.

2.1.2 Karakteristik Gender Based Violence

Kasus-kasus GBV dapat ditemukan di negara-negara yang sedang


berkonflik, baik itu konflik internal maupun konflik eksternal negara.

3
Menurut data dari UNFPA berkaitan dengan kasus GBV di seluruh dunia
yaitu, satu dari tiga wanita telah dipukuli dan dipaksa melakukan hubungan
seks. Baik itu oleh kenalan maupun anggota keluarga. Selanjutnya pelaku
GBV seringkali tidak tersentuh oleh hukum. Setiap tahun ratusan ribu
perempuan dan anak-anak diperdagangkan dan diperbudak, sedangkan jutaan
lainnya menjadi objek praktek berbahaya.
Menurut hasil laporan dari Oxfam kanada terdapat 16 fakta mengenai GBV,
yaitu:
1. Di seluruh dunia, sebanyak 1 dari setiap 3 wanita telah dipukuli, dipaksa
melakukan hubungan seks, atau dilecehkan dengan cara lain - yang paling
sering oleh seseorang yang dikenalnya, termasuk oleh suaminya atau
anggota keluarga laki-laki.
2. Wanita lebih rentan terhadap kekerasan selama masa krisis karena
ketidakamanan yang meningkat.
3. 1 dari 5 wanita akan menjadi korban perkosaan atau percobaan perkosaan
dalam hidupnya.
4. Sekitar 1 dari 4 wanita disalahgunakan selama kehamilan, yang
menempatkan ibu dan anak beresiko.
5. Hukum yang mempromosikan kesetaraan gender sering tidak diterapkan.
6. Setidaknya 130 juta perempuan telah dipaksa menjalani mutilasi alat
kelamin perempuan (FGM).
7. Sedikitnya 60 juta anak perempuan yang seharusnya dapat diharapkan
untuk hidup yang 'hilang' dari berbagai populasi sebagai akibat dari aborsi
atau kelalaian.
8. Lebih dari setengah juta perempuan terus meninggal setiap tahun dari
kehamilan dan persalinan yang berhubungan dengan tingkat infeksi HIV
di kalangan perempuan meningkat pesat.
9. Pelaku kekerasan berbasis gender seringkali tidak dihukum.
10. Di seluruh dunia, perempuan dua kali lebih mungkin sebagai laki-laki
untuk buta huruf, membatasi kemampuan mereka untuk menuntut hak dan

4
perlindungan.
11. Pernikahan dini dapat memiliki konsekuensi serius termasuk berbahaya,
penolakan pendidikan, masalah kesehatan, termasuk kehamilan prematur,
yang menyebabkan tingginya tingkat kematian ibu dan bayi.
Ketidakseimbangan kekuasaan juga berarti bahwa pengantin muda tidak
dapat menegosiasikan penggunaan kondom atau protes ketika suami
mereka terlibat dalam luar nikah hubungan seksual.
12. Kekerasan terhadap perempuan merupakan menguras tenaga kerja
produktif secara ekonomi.
13. Setiap tahun, diperkirakan 800.000 orang diperdagangkan melintasi
perbatasan 80 persen dari mereka perempuan dan anak perempuan.
Kebanyakan dari mereka akhirnya terjebak dalam perdagangan seks
komersial.
14. Kekerasan berbasis gender juga berfungsi dengan niat atau efek untuk
melanggengkan kekuasaan laki-laki dan kontrol. Hal ini ditopang oleh
budaya diam dan penolakan keseriusan konsekuensi kesehatan dari
penyalahgunaan

2.1.3 Macam-macam Gender Based Violence

Menurut pasal 2 konvensi tentang penghapusan segala bentuk


diskriminasi terhadap perempuan (CEDAW) menjelaskan bahwa kekerasan
terhadap perempuan termasuk kekerasan seksual, fisik, dan psikologis,
meliputi:
1. Di dalam keluarga: pemukulan, pelecehan seksual terhadap
anak, mutilasi alat kelamin perempuan dan pemerkosaan
2. Di dalam masyarakat: pelecehan seksual, pelecehan seksual
sekaligus intimidasi, perdagangan manusia dan pelacuran
paksa.
3. Negara: dalam hal berkaitan dengan negara contohnya yaitu
buruknya rancangan dan penegakan hukum untuk kekerasan

5
terhadap perempuan, agen penegak hukum yang melanggar
hukum, kurangnya fasilitas dan pendidikan untuk pencegahan
dan pengobatan perempuan korban kekerasan, sanksi dan
penguatan gender yang tidak setara. Selain itu ketidakpedulian
negara dan penelantaran dalam memberikan dan menciptakan
peluang bagi perempuan dalam haknya untuk bekerja,
berpartisipasi, pendidikan, dan akses ke layanan sosial.

2.1.4 Faktor Terjadinya Gender Based Violence


Banyak faktor yang berkontribusi dalam terjadinya kekerasan berbasis gender, antara
lain
1. Tingkat Masyarakat
Gender based violence dapat dipengaruhi oleh kebijakan, hukum, serta norma
dan kepercayaan sosial dan budaya. Sebagai contoh, norma seputar dominasi
laki-laki atas perempuan, keyakinan patriarkal di mana ada penerimaan luas
atau normalisasi GBV dalam keadaan tertentu (misalnya ketidakmampuan
melakukan pekerjaan rumah tangga, bertentangan dengan norma gender) dan
stigma yang terkait dengan perceraian dan perpisahan dapat menempatkan
perempuan pada risiko GBV serta GBV yang berkelanjutan.
2. Tingkat Komunitas
Tingkat komunitas mencakup konteks dimana hubungan sosial tertanam. Ini
mewakili struktur sosial, seperti tetangga dan keluarga. Di India, kurangnya
dukungan dari sumber daya formal dan informal di tingkat masyarakat dapat
meningkatkan risiko GBV dan memungkinkan wanita mengalami GBV secara
terus-menerus. Tingkat hubungan mencakup faktor-faktor dalam pengaturan
langsung seperti pelecehan oleh pasangan dan mertua karena ekspektasi peran
gender yang dapat menempatkan perempuan pada risiko GBV berulang
3. Tingkat Individu
Tingkat individu mencakup faktor riwayat pribadi yang dapat meningkatkan
kemungkinan menjadi korban GBV. Contoh faktor terkait GBV yang

6
dilakukan oleh pasangan dan/atau mertua pada tingkat individu di India dapat
mencakup pernikahan perempuan di usia yang lebih muda, perbedaan usia
antara pasangan 3–4 tahu, pendidikan rendah atau tidak ada, status sosial
ekonomi rendah, dan kepatuhan terhadap norma sosial yang menerima
kekerasan suami.

2.2 Kekerasan Pasangan Intim/ Intimate partner violence

2.2.1 Pengertian Kekerasan Pasangan Intim

Kekerasan pasangan intim adalah salah satu bentuk yang paling umum
terhadap perempuan yang meliputi kekerasan fisik, seksual, dan pelecehan emosional
dan mengendalikan perilaku oleh pasangan intim.

Kekerasan pasangan intim (IPV) terjadi di semua pengaturan dan di antara


semua kelompok sosial ekonomi, agama dan budaya. Kejadian terbanyak pada kasus
IPV ditanggung oleh wanita. Meskipun wanita bisa melakukan kekerasan dalam
hubungan dengan pria, seringkali untuk membela diri, dan kekerasan terkadang
terjadi dalam hubungan sesama jenis, yang paling umum pelaku kekerasan terhadap
perempuan adalah pasangan intim laki-laki atau mantan mitra. Sebaliknya, pria jauh
lebih mungkin mengalami tindakan kekerasan oleh orang asing atau kenalan daripada
oleh seseorang yang dekat dengan mereka.

2.2.2 Presentase kejadian kekerasan pasangan intim

Semakin banyak survei berbasis populasi telah mengukur prevalensinya IPV,


terutama studi multi-negara WHO tentang kesehatan wanita dan rumah tangga
kekerasan terhadap perempuan, yang mengumpulkan data IPV dari lebih dari 24.000
perempuan di 10 negara,1 mewakili beragam budaya, geografis dan perkotaan
/pengaturan pedesaan. Studi tersebut menegaskan bahwa IPV tersebar luas di semua
negara dipelajari (Gambar 1)

7
Di antara wanita yang pernah menjalin hubungan intim:
- 13–61% melaporkan pernah mengalami kekerasan fisik oleh pasangan
- 4–49% melaporkan pernah mengalami kekerasan fisik yang parah oleh
pasangannya
- 6–59% melaporkan kekerasan seksual oleh pasangannya di beberapa
titik dalam hidup mereka
- 20–75% melaporkan mengalami satu tindakan pelecehan emosional,
atau lebih, dari pasangan dalam hidup mereka.
Selain itu, analisis komparatif dari Survei Demografi dan Kesehatan (DHS)
data dari sembilan negara menemukan persentase wanita yang melaporkan pernah
mengalami kekerasan fisik atau seksual oleh pasangan mereka atau suami terbaru
atau pasangan hidup bersama berkisar antara 18% di Kamboja, hingga 48% di
Zambia untuk kekerasan fisik, dan 4% hingga 17% untuk kekerasan seksual. Dalam
analisis data DHS 10 negara, IPV fisik atau seksual pernah dilaporkan oleh wanita
yang saat ini menikah berkisar dari 17% di Republik Dominika hingga 75% di
Bangladesh. Kisaran serupa telah dilaporkan dari multi-negara lain studi. Penelitian
yang ada menunjukkan bahwa berbagai jenis kekerasan sering terjadi bersamaan:
IPV fisik sering disertai dengan IPV seksual, dan biasanya disertai dengan
pelecehan emosional. Misalnya, dalam studi multi-negara WHO, 23–56% wanita

8
yang melaporkan pernah mengalami IPV fisik atau seksual pernah mengalami
keduanya. Analisis komparatif data DHS dari 12 Amerika Latin dan Karibia negara
menemukan bahwa mayoritas (61-93%) wanita yang melaporkan IPV fisik dalam 12
bulan terakhir juga dilaporkan mengalami kekerasan emosional.

2.2.3 Alasan tidak meninggalkan pasangan yang melakukan kekerasan


Bukti menunjukkan bahwa sebagian besar perempuan yang dilecehkan
bukanlah korban pasif – mereka sering kali mengadopsi strategi untuk
memaksimalkan keselamatan mereka dan anak-anak mereka. Heise dan rekan (1999)
berpendapat bahwa apa yang dapat ditafsirkan sebagai kelambanan seorang wanita
sebenarnya mungkin merupakan hasil dari penilaian yang diperhitungkan tentang
bagaimana melindungi dirinya dan anak-anaknya. Mereka melanjutkan dengan
mengutip bukti dari berbagai alasan mengapa perempuan dapat tetap berada dalam
hubungan kekerasan, termasuk:
- takut akan pembalasan
- kurangnya sarana pendukung ekonomi alternatif
- kepedulian terhadap anak-anak mereka
- kurangnya dukungan dari keluarga dan teman
- stigma atau ketakutan kehilangan hak asuh atas anak yang terkait
dengan perceraian
- cinta dan harapan pasangan akan berubah.
Terlepas dari hambatan ini, banyak wanita yang dilecehkan akhirnya
meninggalkan pasangannya, sering setelah beberapa upaya dan tahun kekerasan. Di
multi-negara dari hasil penilitan WHO, 19–51% wanita yang pernah dilecehkan
secara fisik oleh pasangannya telah meninggalkan rumah setidaknya satu malam, dan
8-21% telah meninggalkan rumah dua sampai lima kali.
Faktor yang terkait dengan seorang wanita meninggalkan pasangan yang kasar
secara permanen tampaknya mencakup peningkatan keparahan kekerasan; kesadaran
bahwa dia pasangan tidak akan berubah; dan pengakuan bahwa kekerasan
mempengaruhi dirinya anak-anak

9
2.2.4 Karakteristik Kekerasan Pasangan Intim
Kekerasan pasangan intim adalah pelecehan atau agresi yang terjadi
dalam hubungan romantik. “Pasangan intim” mengacu pada pasangan saat ini
dan mantan serta pasangan kencan. Kekerasan pasangan intim atau IPV dapat
bervariasi berdasarkan seberapa sering itu terjadi dan seberapa parahnya. Dari
seberapa sering apakah episode kekerasan yang terjadi berdampak lama
hingga episode kronis dan parah selama beberapa tahun. IPV dapat mencakup
salah satu dari jenis perilaku berikut:
a. Kekerasan Fisik
Kekerasan fisik adalah ketika seseorang menyakiti atau mencoba
menyakiti pasangannya, dengan memukul, menendang, atau
menggunakan jenis kekuatan fisik lainnya.
b. Kekerasan Seksual
Kekerasan seksual adalah memaksa atau mencoba memaksa pasangan
untuk melakukan tindakan seks, sentuhan seksual, atau peristiwa
seksual non-fisik (misalnya, sexting/sex chatting) ketika pasangan
tidak mampu atau tidak dapat menyetujuinya.
c. Agresi psikologis
Penggunaan komunikasi verbal dan non-verbal dengan maksud untuk
menyakiti pasangan secara mental atau emosional dan/atau
menggunakan kendali atas pasangan.
d. Perilaku Ingin Mengontrol Pasangan
Tindakan untuk membatasi mobilitas akses bebas ke teman dan
kerabat, telah dicirikan sebagai bentuk kekerasan sedang dan mungkin
menjadi indikator IPV yang lebih parah.
e. Menguntit

10
Merupakan pola perhatian dan kontak berulang yang tidak diinginkan
oleh pasangan yang menyebabkan ketakutan atau kekhawatiran akan
keselamatan diri sendiri atau keselamatan seseorang yang dekat
dengan korban.

2.2.5 Faktor Terjadinya Kekerasan Pasangan Intim


Model ekologis, menyatakan bahwa kekerasan adalah hasil dari faktor-faktor
yang beroperasi pada empat tingkatan: individu, hubungan, komunitas dan
masyarakat. Para peneliti sudah mulai memeriksa bukti pada tingkat ini dalam
pengaturan yang berbeda, penelitian terbatas pada komunitas dan pengaruh
masyarakat. Beberapa faktor risiko juga diidentifikasi secara konsisten di seluruh
studi dari berbagai negara
Dari ke empat tingkatan tersebut antara lain:
a. Faktor Individu, faktor individu yang paling konsisten yang terkait dengan
pria, dimana meningkatkan kemungkinan melakukan kekerasan terhadap
pasangannya, contohnya Usia muda; Tingkat pendidikan yang rendah;
menyaksikan atau mengalami kekerasan saat masih anak; penggunaan alkohol
atau obat obatan terlarang; gangguan kepribadian; menerima kekerasan
(misalnya merasa diterima jika seorang memukuli laki-lakinya; sejarah
kekerasan pasangan intim sebelumnya.
Sedangkan Faktor-faktor yang secara konsisten dikaitkan dengan peningkatan
kemungkinan wanita mengalami kekerasan antara lain: tingkat pendidikan
yang rendah; paparan kekerasan oleh orang tua; pelecehan seksual selama
masa kanak-kanan; dan paparan terhadap bentuk-bentuk pelecehan
sebelumnya.
b. Faktor Hubungan
Faktor-faktor yang berkaitan dengan risiko viktimisasi perempuan dan yang
dilakukan oleh laki-laki antara lain: konflik atau ketidakpuasan dalam
hubungan; dominasi laki-laki dalam keluarga; tekanan ekonomi; pria yang
memiliki banyak pasangan; Dan disparitas dalam pencapaian pendidikan,

11
yaitu di mana seorang wanita memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi
pendidikan daripada pasangan laki-lakinya.
c. Faktor Komunitas dan Sosial
- Norma sosial yang tidak adil dan mendiskriminasi gender (terutama yang
menghubungkan gagasan kejantanan menuju dominasi dan agresi);
- Kemiskinan;
- Status sosial dan ekonomi perempuan yang rendah;
- Sanksi hukum yang lemah terhadap IPV dalam perkawinan;
- Kurangnya hak-hak sipil perempuan, termasuk perceraian yang dibatasi
atau tidak adilnya hukum perkawinan;
- Sanksi masyarakat yang lemah terhadap IPV;
- Penerimaan sosial yang luas atas kekerasan sebagai cara untuk
menyelesaikan konflik;

2.2.6 Akibat yang Timbul dari Kekerasan Pasangan Intim


IPV memengaruhi kesehatan fisik dan mental perempuan secara langsung,
seperti sebagai cedera, dan secara tidak langsung, seperti masalah kesehatan kronis
yang muncul dari stres berkepanjangan.
a. Kerusakan Fisik
Kerusakan fisik akibat IPV dapat meliputi: memar dan bekas luka;
laserasi dan lecet; cedera perut atau dada; retak dan patah tulang atau gigi;
kerusakan penglihatan dan pendengaran; cedera kepala; percobaan
pencekikan; dan cedera punggung dan leher.
Namun, selain cedera, dan mungkin jauh lebih umum, adalah penyakit
yang seringkali tidak memiliki penyebab medis yang dapat diidentifikasi, atau
sulit didiagnosis. Dimana disebut sebagai 'gangguan fungsional 'atau kondisi
yang berhubungan dengan ‘stres ', seperti sindrom iritasi usus/gejala
gastrointestinal, fibromyalgia, berbagai sindrom nyeri kronis dan eksaserbasi
asma.

12
Dalam studi WHO diberbagai negara, prevalensi cedera di antara
wanita yang pernah dilecehkan secara fisik oleh pasangannya berkisar dari
19% di Etiopia hingga 55% di Peru. Wanita yang dilecehkan dua kali lebih
memungkinkan mengalami masalah kesehatan fisik maupun mental
dibandingkan wanita yang tidak dilecehkan, dilihat dari pelaporan masalah
kesehatan yang buruk dibeberapa negara, bahkan jika kekerasan terjadi
bertahun-tahun sebelumnya.

b. Kesehatan Mental dan Kejadian Bunuh Diri


Bukti menunjukkan bahwa wanita yang dilecehkan oleh pasangannya
menderita tingkat depresi, kecemasan dan fobia lebih tinggi, dibandingkan
wanita non-dilecehkan. Studi multi - regional WHO, melaporkan
tekanan emosional, pikiran untuk bunuh diri, dan percobaan bunuh diri secara
signifikan lebih tinggi di antara wanita yang pernah mengalami kekerasan
fisik ataupun kekerasa sexual, selain itu beberapa hal yang berkaitan dengan
IPV yang berpengaruh pada kesehatan Mental antara lain:
● Penyalahgunaan alkohol dan narkoba;
● Gangguan makan dan tidur;
● Penurunan aktivitas fisik;
● Rendahnya self-esteem;
● Post Trauma Distress Syndrome;
● Merokok;
● Self harm;
● Perilaku seksual yang tidak wajar

c. Kesehatan Seksual
IPV dapat menyebabkan sejumlah konsekuensi kesehatan seksual dan
reproduksi negatif bagi perempuan, termasuk kehamilan yang tidak
diinginkan, aborsi yang tidak aman, infeksi menular seksual termasuk HIV,

13
kehamilan komplikasi, penyakit radang panggul, infeksi saluran kemih dan
disfungsi seksual.
IPV dapat memiliki efek langsung pada seksual wanita dan kesehatan
reproduksi, seperti infeksi menular seksual melalui pemaksaan hubungan
seksual, atau melalui jalur tidak langsung, misalnya, dengan mempersulit
perempuan untuk menegosiasikan penggunaan kontrasepsi atau kondom
pasangan mereka.

d. Kekerasan Selama Kehamilan


Studi multi-negara WHO menemukan prevalensi IPV khususnya
kekerasan fisik pada kehamilan mulai dari 1% di perkotaan Jepang hingga
28% di provinsi Peru, dengan prevalensi di sebagian besar lokasi 4-12%.
Begitu pula dengan review studi dari 19 negara menemukan prevalensi mulai
dari 2% di pengaturan seperti Australia, Denmark dan Kamboja, menjadi
13,5% di Uganda, dengan mayoritas berkisar antara 4% dan 9%. Beberapa
studi berbasis fasilitas di beberapa pengaturan telah menemukan prevalensi
yang lebih tinggi, termasuk dari Mesir dengan perkiraan prevalensi 32% dan
review studi dari Afrika yang menemukan prevalensi kekerasan pada wanita
hamil setinggi 40% di beberapa kondisi. Kekerasaan selama kehamilan
dihubungkan dengan, antara lain:
● Keguguran;
● Terlambat masuk ke perawatan prenatal;
● Lahir mati;
● Persalinan dan kelahiran prematur;
● Cedera janin; Dan
● Bayi dengan berat badan lahir rendah atau kecil untuk masa kehamilan.

e. Pembunuhan dan Kematian


Studi dari berbagai negara telah menemukan bahwa 40–70%
pembunuhan wanita korban dibunuh oleh suami atau pacar mereka, seringkali
disebabkan karena masalah hubungan yang abusive. Selain itu, bukti

14
menunjukkan bahwa IPV meningkatkan risiko seorang wanita melakukan
bunuh diri, dan juga dapat meningkatkan risiko tertular HIV, yang berarti
berkaitan dengan kematian terkait AIDS.

f. Pengaruh IPV pada Anak


Banyak penelitian telah menemukan hubungan antara IPV terhadap
wanita dan konsekuensi sosial juga kesehatan yang negatif bagi anak-anak,
termasuk kecemasan, depresi, prestasi sekolah yang buruk dan hasil kesehatan
yang negatif. Banyak bukti menunjukkan bahwa paparan IPV terhadap ibu
adalah salah satunya faktor paling umum yang terkait dengan perbuatan anak
laki-laki dan pengalaman perempuan IPV di kemudian hari. Sejumlah
penelitian telah menemukan hubungan antara IPV dan pelecehan anak dalam
rumah tangga yang sama. Selain itu, studi dari beberapa negara
berpenghasilan rendah, termasuk Nikaragua dan Bangladesh bahwa anak-anak
yang ibunya dianiaya, cenderung:
● Lebih kecil kemungkinannya untuk melakukan imunisasi;
● Memiliki tingkat penyakit diare yang lebih tinggi; dan/atau
● Berisiko lebih besar meninggal sebelum usia lima tahun

2.2.7 Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Pasangan Intim


Dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah tinjauan internasional telah
merancang pendekatan yang efektif, untuk mencegah dan menanggapi kekerasan
terhadap perempuan, termasuk IPV. Tinjauan ini menunjukkan perlunya kolaborasi
jangka panjang yang komprehensif, multi-sektoral, antara pemerintah dan masyarakat
sipil di semua tingkat kerangka ekologi. Namun, meskipun intervensi tingkat individu
relatif mudah untuk dinilai, evaluasi program komprehensif, multi-level, multi-
komponen dan reformasi di seluruh aspek masih sulit dilakukan, dan oleh karena itu,
sementara pendekatan ini hampir pasti merupakan kunci untuk pencegahan jangka

15
Panjang. Namun, ulasan ini telah mengidentifikasi serangkaian strategi spesifik yang
telah menunjukkan janji atau efektivitas, termasuk:

● Mereformasi kerangka hukum perdata dan pidana;


● Mengatur media dan kampanye advokasi untuk meningkatkan kesadaran
tentang IPVi;
● Memperkuat hak-hak sipil perempuan terkait perceraian, properti,
tunjangan anak dan hak asuh;
● Membangun koalisi pemerintah dan lembaga masyarakat sipil;
● Membangun basis bukti untuk advokasi dan kesadaran;
● Menggunakan komunikasi perubahan perilaku untuk mencapai
perubahan sosial;
● Mentransformasi seluruh institusi di setiap sektor, dengan menggunakan
perspektif gender; di dalam khususnya, mengintegrasikan perhatian
terhadap kekerasan terhadap perempuan ke dalam seksual dan pelayanan
kesehatan reproduksi
● Mempromosikan pemberdayaan sosial dan ekonomi perempuan dan anak
perempuan;
● Membangun tanggapan layanan yang komprehensif untuk penyintas IPV
di masyarakat;
● Merancang keterampilan hidup dan program berbasis sekolah;
● Melibatkan laki-laki dan anak laki-laki untuk mempromosikan non-
kekerasan dan kesetaraan gender;
● Memberikan layanan intervensi dini kepada keluarga berisiko.

- Program-program terkait life-skills dan berbasis sekolah

Program-program pencegahan kekerasan pasangan intim dapat dilakukan pada


masyarakat yang rentan, yakni masyarakat pada negara-negara penghasilan rendah
dan dapat dilakukan sedini mungkin pada anak-anak di sekolah-sekolah. Program
pencegahan kekerasan pasangan intim bertujuan memberikan pengetahuan,

16
pembelajaran sikap (attitude) dan perilaku (behaviour) sehingga diharapkan program-
program penanaman pengetahuan, sikap, dan perilaku dapat mencegah terjadinya
kekerasan pasangan intim.

- Intervensi dini pada keluarga-keluarga beresiko

Terdapat banyak bukti bahwa program yang ditujukan pada orangtua,


termasuk kegiatan kunjungan ke rumah (home visit) dan edukasi dapat mengurangi
atau mencegah kekerasan terhadap anak dan perlakuan salah pada anak, sehingga
dapat mencegah terbentuknya anak yang bermasalah dan menjadi perilaku kekerasan.
Pada kasus-kasus anak-anak yang menjadi pelaku kekerasan terdapat hubungan
dengan kekerasan pasangan intim yang dilakukan oleh laki-laki.

- Peningkatan akses layanan responsif yang komprehensif untuk penyintas


dan anak-anak dari penyintas kekerasan pasangan intim

Seperti yang dideskripsikan oleh Heise dkk (1999), wanita yang mengalami
kekerasan pasangan intim memiliki kebutuhan yang perlu dipenuhi oleh berbagai
sektor, yakni layanan kesehatan, layanan sosial, badan hukum, dan penegakkan
hukum, sehingga kolaborasi antar sektor menjadi sangat penting untuk menjamin
penyintas dapat memiliki akses layanan, pertolongan, dan penanganan yang
komprehensif. Beberapa bukti dari berbagai sektor mengindikasikan bahwa langkah
terbaik untuk meningkatkan layanan respon terhadap penyintas yakni peningkatan
mutu layanan pada banyak instansi dibandingkan pembuatan kebijakan-kebijakan
baru. Strategi peningkatan akses untuk penyintas ini paling baik melalui pendekatan
sistem, yakni sebagai contoh:

● Adanya kebijakan dan infrastruktur yang dapat melindungi privasi dan


kerahasiaan wanita penyintas.
● Pelatihan dan dukungan untuk staf-staf sehingga dapat memberikan pelayanan
yang efektif.

17
● Adanya protokol-protokol tertulis dan sistem rujukan untuk membantu
penyintas mendapatkan layanan antar sektor.
● Adanya usaha-usaha untuk meningkatkan mutu sumber daya manusia (SDM)
dan sarana prasarana pada tiap institusi.
● Materi-materi edukasional mengenai kekerasan pada pengadu (client) dan
penyedia layanan.
● Sistem pengumpulan data; dan
● Adanya pemantauan dan evaluasi layanan yang sedan dan sudah diberikan
serta menilai manfaat dan resikonya terhadap wanita penyintas dan anak-anak.

- Membangun dasar pengetahuan dan usaha untuk peningkatan


kesadaran akan kekerasan pasangan intim

Walaupun terdapat banyak informasi mengenai pengetahuan dasar kekerasan


pasangan intim, seberapa banyak kasusnya, pola kekerasan, dan faktor resiko
kekerasan; masih terdapat kurangnya penelitian mengenai pola respons wanita
terhadap kekerasan pasangan intim dan dampak kekerasan pasangan intim terhadap
anak-anak. Penyebarluasan dasar pengetahuan dan informasi-informasi baru dapat
mendorong pengadaan strategi-strategi dan program-program pencegahan dan
penanganan kekerasan pasangan intim lebih baik. Data-data prevalensi dan pola-pola
respons penyintas terhadap kekerasan dapat menjadi alat yang penting untuk
pemerintah dan pembuat kebijakan dalam menangani masalah kekerasa pasangan
intim.

- Pemanfaatan mobilisasi komunitas dan perubahan perilaku komunikasi


Strategi-strategi penyebarluasan informasi mengenai kekerasan pasangan
intim melalui media massa seperti multimedia televisi, radio, surat kabar, dan media
sosial yang bertujuan mengubah norma sosial dan menggerakkan perubahan yang
dilakukan oleh komunitas terbukti dapat mempengaruhi perubahan norma-norma
terkait gender dan respons individu hingga komunitas terhadap kasus kekerasan
pasangan intim.

18
- Pemberdayaan wanita secara sosial dan ekonomi

Terdapat banyak bukti bahwa intervensi kekerasan pasangan intim yang


disertai dukungan mikrofinansial dengan pelatihan yang berdasar kesetaraan gender
efektif mengurangi prevalensi kejadian kekerasan pasangan intim.

- Pembaharuan kerangka kerja hukum

Pembaharuan kerangka kerja hukum dapat meliputi penguatan hak


sipil wanita, memperbaiki hukum-hukum yang ada dan implementasinya
dapat memberikan sinyal bahwa kekerasan pasangan intim tidak dapat
diterima secara sosial dan bagi para pelakunya dapat dikenakan sanksi-sanksi
sesuai dasar hukum yang ada. Beberapa langkah dalam pembaharuan
kerangka kerja hukum:
● Penguatan dan memperluas dasar hukum yang mendefinisikan pemerkosaan
dan pelecehan seksual dalam pernikahan.
● Pembekalan materi dan pelatihan untuk badan penegak hukum seperti polisi
dan hakim mengenai kekerasan pasangan intim; dan
● Meningkatkan implementasi hukum-hukum yang sudah ada.

2.2.8 Alur Pelaporan


Proses penanganan perempuan dan anak yang mengalami
permasalahan dapat digambarkan sebagai berikut:
1. Perempuan dan anak yang mengalami permasalahan atau
pendampingnya melapor kepada organisasi layanan perempuan dan
anak yang dibentuk pemerintah daerah atau kepada Satgas PPA
tentang permasalahannya dan Satgas PPA melapor kepada organisasi
layanan perempuan dan anak yang dibentuk pemerintah daerah
untuk dibantu penyelesaiannya;
2. Organisasi layanan perempuan dan anak yang dibentuk pemerintah

19
3. daerah melakukan analisis permasalahan perempuan dan anak yang
dilaporkan apakah perlu dilakukan penjangkauan atau tidak;
4. Dalam hal organisasi layanan perempuan dan anak yang dibentuk
pemerintah daerah menganggap bahwa perempuan dan anak
mengalami permasalahan perlu dilakukan penjangkauan, maka
organisasi layanan perempuan dan anak yang dibentuk pemerintah
daerah dapat memerintahkan Satgas PPA untuk melakukan
penjangkauan guna mengecek kebenaran kasus atau dilakukan
proses identifikasi terkait kondisi korban dan kebutuhan layanan
yang diperlukan dengan mengeluarkan surat penugasan;
5. Satgas PPA melakukan penjangkauan untuk mengetahui kondisi
perempuan dan anak yang mengalami permasalahan dengan
memastikan alamat rumah korban dan berkoordinasi dengan pihak-
pihak terkait antara lain RT, RW, kepolisian;
6. Satgas PPA melakukan identifikasi melalui wawancara terhadap
perempuan dan anak yang mengalami permasalahan untuk
memastikan bahwa perempuan dan anak itu adalah korban,
mengetahui identitas pelapor, pelaku, jenis kekerasan, hubungan
korban dengan pelaku, tempat kejadian, kebutuhan korban;
7. Satgas PPA melakukan observasi kondisi perempuan dan anak yang
mengalami permasalahan dan tanda-tanda kekerasan;
8. Satgas PPA memberikan pengobatan terhadap perempuan dan anak
mengalami luka ringan;
9. Satgas PPA membawa ke dokter untuk mendapatkan pengobatan
yang diperlukan, apabila perempuan dan anak mengalami sakit
akibat dari kekerasan;
10. Satgas PPA membawa perempuan dan anak yang mengalami
permasalahan ke rumah sakit terdekat untuk mendapatkan perawatan
lebih lanjut;
11. Satgas PPA mengungsikan perempuan dan anak yang mengalami

20
permasalahan ke tempat yang aman antara lain Dinas Sosial, rumah
orang tua, saudara kandung;
12. Satgas PPA meminta perlindungan kepada kepolisian untuk
mendapatkan perlindungan sementara; dan
13. Satgas PPA membuat laporan kepada organisasi layanan perempuan
dan anak yang dibentuk pemerintah daerah tentang hasil
penjangkauan dan identifikasi korban serta rekomendasi kepada
organisasi layanan perempuan dan anak yang dibentuk pemerintah
daerah untuk menangani kasus tersebut.

2.2.9 Alur Pelayanan di Rumah Sakit


Prosedur pelayanan:
1. Korban dengan diantar atau tidak diantar polisi datang ke RS
mendaftar ke bagian registrasi, kemudian di IGD dilakukan triase
untuk menilai kondisi korban.
2. Korban dalam kondisi non kritis, dirujuk ke PPT untuk mendapatkan
layanan pemeriksaan fisik, konseling psikologis dan hukum, dan
penunjang tambahan, medikolegal (VeR) dan pendampingan. Untuk
mendapatkan VeR korban perlu membawa surat permintaan VeR dari
polisi.
3. Apabila RS tidak memiliki layanan konseling
psikologis/hukum/shelter dapat dirujuk ke polisi, LSM, rumah
aman/shelter, Pusat Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak
(P2TP2A)/P2TPA/PK2PA atau dikembalikan ke keluarga bila tidak
membahayakan.
4. Pada RS yang tidak memiliki PKT/PPT setelah masalah medisnya
tertangani dapat dirujuk ke RS dengan PKT/PPT untuk mendapatkan
pelayanan lain yang dibutuhkan korban.
5. Korban dengan kondisi semi kritis dan kritis akan ditangani sesuai
dengan prosedur yang berlaku, bila diperlukan akan dikonsultasi dan

21
dirujuk ke spesialis atau unit terkait seperti kamar operasi ICU/HCU.
6. Apabila korban dari ICU/HCU meninggal, lapor ke polisi maka akan
dilakukan otopsi untuk mendapat VeR berdasarkan surat permintaan
dari polisi.

22
BAB III
KESIMPULAN

GBV (Gender Based Violence) atau kekerasan berbasis gender adalah


konsep payung (umbrella term) dari berbagai tindakan yang membahayakan
fisik, seksual dan psikologi yang dilakukan dengan paksaan berdasarkan
perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan, didalam GBV terdapat IPV
(Intimate Partner Violence) atau kekerasan pasangan intim adalah perilaku
kekerasan pada pasangan intim.

Kejadian terbanyak pada kasus IPV dialami oleh wanita, namun


wanita juga bisa melakukan kekerasan dalam hubungan dengan pria,
seringkali untuk membela diri, dan kekerasan terkadang terjadi dalam
hubungan sesama jenis, yang paling umum pelaku kekerasan terhadap
perempuan adalah pasangan intim laki-laki atau mantan mitra.

Pendekatan yang efektif, untuk mencegah dan menanggapi IPV adalah


perlunya kolaborasi jangka panjang yang komprehensif, multi-sektoral, antara
pemerintah dan masyarakat sipil di semua tingkat kerangka ekologi. Namun,
meskipun intervensi tingkat individu relatif mudah untuk dinilai, evaluasi
program komprehensif, multi-level, multi-komponen dan reformasi di seluruh
aspek masih sulit dilakukan, dan oleh karena itu, sementara pendekatan ini
hampir pasti merupakan kunci untuk pencegahan jangka panjang.

23
DAFTAR PUSTAKA

1. World Health Organization (WHO). Intimate Partner Violence. Understanding and


addressing violence against women. World Health Organization (WHO). 2012
2. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Petunjuk Teknis
Pembentukan Satuan Tugas Penanganan Masalah Perempuan dan Anak di Daerah.
KEMENPPPA. 2017.
3. Sabri B, Young AM. Contextual factors associated with gender-based violence and
related homicides perpetrated by partners and in-laws: A study of women survivors
in India. Health Care Women Int. 2022 Jul;43(7-8):784-805. doi:
10.1080/07399332.2021.1881963. Epub 2021 Jul 12. PMID: 34252353; PMCID:
PMC8752615.
4. Kementerian Kesehatan RI. Pedoman Penatalaksanaan Pelayanan Terpadu Korban
Kekerasan Terhadap Anak di Rumah Sakit Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
2009
5. Purwanti, Ani. 2020. Kekerasan Berbasis Gender. Yogyakarta: Bildung.
6. Emergencies and Transition Unit Programme and Policy Division. 2016. Gender
Based Violence Manual. World Food Programme [Internet]. Available from:
https://gbvguidelines.org/wp/wp-content/uploads/2018/05/WFP-GBV-
Manual.pdf#page40
7. Heise L, Garcia Moreno C. Violence by intimate partners. In: Krug EG et al., eds.
World report on violence and health. Geneva, World Health Organization, 2002:87–
121.
8. Garcia-Moreno C et al. WHO multi-country study on women’s health and domestic
violence against women: initial results on prevalence, health outcomes and women’s
responses. Geneva: World Health Organization, 2005.
9. WHO/LSHTM. Preventing intimate partner and sexual violence against women:
taking action and generating evidence. Geneva/London, World Health Organization/
London School of Hygiene and Tropical Medicine, 2010.

24
10. Abramsky T et al. What factors are associated with recent intimate partner violence?
Findings from the WHO multi-country study on women’s health and domestic
violence. BioMed Central Public Health, 11:109.
11. Ko Ling Chan. Sexual violence against women and children in Chinese societies.
Trauma, Violence & Abuse, 2009, 10(1):69–85.
12. Heise L, Moore K, Toubia N. Sexual coercion and reproductive health: a focus on
research. New York, Population Council, 1995.
13. Campbell JC et al. The intersection of intimate partner violence against women and
HIV/AIDS: a review. International Journal of Injury Control and Safety Promotion,
2008, 15(4):221–31
14. Devries KM et al. Intimate partner violence during pregnancy: analysis of
prevalence data from 19 countries. Reproductive Health Matters, 2010, 18(36):158–
70.
15. Campbell J et al. Abuse during pregnancy in industrialized and developing
countries. Violence Against Women, 2004, 10:770–89.
16. Asling-Monemi K et al. Violence against women increases the risk of infant and
child mortality: a case-referent study in Nicaragua. Bulletin of the World Health
Organization, 2003, 81(1):10–6.
17. Silverman JG et al. Maternal experiences of intimate partner violence and child
morbidity in Bangladesh: evidence from a national Bangladeshi sample. Archives of
Pediatrics & Adolescent Medicine, 2009, 163(8):700–05.

Anda mungkin juga menyukai