Anda di halaman 1dari 48

Referat

KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK

Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Kepaniteraan Klinik


Departemen Forensik RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang

Disusun Oleh:

Jelita Mayang Sari 04084822124069


Dary Dzakwan Bara 04084882124010
Tilka Rahmatia Quddusi, S.Ked. 04084822124030

Pembimbing:
dr. Indra Syakti Nasution, Sp.FM

DEPARTEMEN FORENSIK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
2021
HALAMAN PENGESAHAN

Referat

Judul:
KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK

Oleh:

Jelita Mayang Sari 04084822124069


Dary Dzakwan Bara 04084882124010
Tilka Rahmatia Quddusi, S.Ked. 04084822124030

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik di Departemen Forensik Fakultas Kedokteran Universitas
Sriwijaya RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang periode 23 September – 9
Oktober 2021.

Palembang, Oktober 2021


Pembimbing

dr. Indra Syakti Nasution, Sp.FM

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul “Kekerasan
Terhadap Perempuan dan Anak”. Referat ini disusun sebagai salah satu tugas dalam
kepaniteraan klinik di Departemen Forensik Fakultas Kedokteran Universitas
Sriwijaya RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Indra Syakti Nasution,
Sp.FM, selaku pembimbing referat ini yang telah memberikan bimbingan dan
nasihat dalam penyusunan telaah ilmiah ini.
Penulis menyadari bahwa referat ini masih memiliki banyak kekurangan.
Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun
agar referat ini menjadi lebih baik. Harapan penulis semoga referat ini bisa
membawa manfaat bagi semua orang dan dapat digunakan dengan sebaik-baiknya.

Palembang, Oktober 2021

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...............................................................................................i


HALAMAN PENGESAHAN............................................................................... ii
KATA PENGANTAR.......................................................................................... iii
DAFTAR ISI..........................................................................................................iv
DAFTAR GAMBAR..............................................................................................v
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...........................................................................2
2.1 Definisi Kekerasan ........................................................................................... 2
2.2 Kekerasan Terhadap Perempuan...................................................................... 3
2.2.1 Definisi Kekerasan Terhadap Perempuan ......................................... 3
2.2.2 Bentuk Kekerasan Terhadap Perempuan .......................................... 4
2.2.3 Faktor yang Mempengaruhi Kekerasan Terhadap Perempuan ......... 6
2.2.4 Dampak Kekerasan Terhadap Perempuan ........................................ 8
2.2.5 Aspek Medikolegal Kekerasan Terhadap Perempuan ...................... 9
2.3 Kekerasan Terhadap Anak ............................................................................. 14
2.3.1 Definisi Kekerasan Terhadap Anak ................................................ 14
2.3.2 Bentuk Kekerasan Terhadap Anak .................................................. 15
2.3.3 Faktor yang Mempengaruhi Kekerasan Terhadap anak .................. 18
2.3.4 Dampak Kekerasan Terhadap Anak ................................................ 18
2.3.5 Aspek Medikolegal Kekerasan Terhadap Anak .............................. 20
2.4 Jenis Kekerasan Menurut Hukum .................................................................. 22
2.5 Tata cara Pemeriksaan dan Interpretasi Korban Kekerasan terhadap
Perempuan dan anak .............................................................................................. 22
2.5.1 Tata cara Pemeriksaan Pemeriksaan ............................................... 22
2.5.2 Ciri-Ciri Korban Kekerasan ............................................................ 29
2.5.3 Interpretasi Hasil Pemeriksaan Medikolegal................................... 31
2.5.4 Tatalaksana dan Rujukan ................................................................ 36
BAB III SIMPULAN ...........................................................................................40
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................41

iv
DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman
1. Sebaran kekerasan terhadap anak menurut jenis kekerasan, 2016 .................. 17
2. Jumlah kasus kekerasan terhadap anak menurut jenis kelamin dan jenis
kekerasan yang dialami, 2016 ......................................................................... 17

v
BAB I
PENDAHULUAN

Kekerasan merupakan perbuatan fisik maupun non fisik, dilakukan secara


aktif maupun dengan cara pasif, dikehendaki oleh pelaku, dan ada akibat yang
merugikan para korban (fisik atau psikis) yang tidak dikehendaki oleh korban.
Kekerasan terhadap anak dan perempuan merupakan masalah global yang angka
kejadiannya meningkat setiap tahunnya. Kasus kekerasan tersebut tidak hanya
terjadi di lingkungan keluarga, tetapi juga di sekolah dan masyarakat. Kejadian
kekerasan terhadap perempuan dan anak menyebabkan morbiditas, mortalitas, dan
tidak menutup kemungkinan akan mempengaruhi kesehatan mental para korban.
Menurut data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada tahun
2012 terdapat 3.332 kasus kekerasan terhadap anak di Indonesia. Studi WHO di
berbagai negara menunjukkan bahwa setidaknya 1 dari 4 orang perempuan
mengaku pernah mendapatkan kekerasan fisik atau kekerasan seksual. Menurut
data dari komisi nasional anti kekerasan terhadap perempuan di Indonesia terjadi
16.217 kasus pada tahun 2015.
Peran dokter pada kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak sangatlah
penting untuk mengetahui dengan pasti pola perlukaan tersebut. Oleh karena itu
untuk membantu para penegak hukum mengungkap suatu masalah kekerasan
diperlukan bantuan dokter. Tugas pokok seorang dokter dalam membantu
pengusutan tindak pidana terhadap kesehatan dan nyawa manusia ialah dengan
pembuatan Visum Et Repertum dengan mengumpulkan kenyataan-kenyataan dan
menghubungkannya satu sama lain secara logis untuk kemudian mengambil
kesimpulan. Maka, oleh karenanya pada waktu memberi laporan pemberitaan dari
Visum Et Repertum itu harus yang sesungguh-sungguhnya dan seobyektif-
obyektifnya tentang apa yang dilihat dan ditemukannya pada waktu pemeriksaan.
Dokter dengan pengetahuan ilmu forensiknya sangat dibutuhkan dalam
menentukan kualifikasi luka sebagaimana tertuang dalam: Visum Et Repertum
yang diperlukan untuk mencari kejelasan, kebenaran, dan pembuktian-pembuktian
yang selengkap-lengkapnya tentang suatu perbuatan tindak pidana.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Kekerasan


Menurut WHO, kekerasan adalah penggunaan kekuatan fisik atau
kekuasaan dengan sengaja, ancaman atau tindakan nyata, terhadap diri
sendiri, orang lain, atau terhadap kelompok atau komunitas yang
mengakibatkan atau kemungkinan besar mengakibatkan cedera, kematian,
trauma psikologis atau perampasan hak.1 Sedangkan menurut Undang-
Undang Republik Indonesia No. 5 Tahun 2018, kekerasan adalah setiap
perbuatan penyalahgunaan kekuatan fisik dengan atau tanpa menggunakan
sarana secara melawan hukum dan menimbulkan bahaya bagi badan,
nyawa, dan kemerdekaan orang, termasuk menjadikan orang pingsan atau
tidak berdaya.2
Para ilmuan seperti Plato, mengatakan bahwa perempuan ditinjau
dari segi kekuatan fisik maupun spritual, mental perempuan lebih lemah dari
laki-laki, tetapi perbedaan tersebut tidak menyebabkan adanya perbedaan
dalam bakatnya.3 Menurut KBBI, perempuan adalah orang (manusia) yang
dapat menstruasi, hamil, melahirkan anak, dan menyusui.4
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak, pasal 1 Ayat 1, Anak adalah seseorang
yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih
dalam kandungan. Sedangkan menurut definisi WHO, batasan usia anak
adalah sejak anak di dalam kandungan sampai usia 19 tahun.5
Kekerasan terhadap perempuan menurut Komnas Perempuan (2001)
adalah segala tindakan kekerasan yang dilakukan terhadap perempuan yang
berakibat atau kecenderungan untuk mengakibatkan kerugian dan
penderitaan fisik, seksual, maupun psikologis terhadap perempuan, baik
perempuan dewasa atau anak perempuan dan remaja. Termasuk didalamnya
ancaman, pemaksaan maupun secara sengaja mengkungkung kebebasan
perempuan. Tindakan kekerasan fisik, seksual, dan psikologis dapat terjadi

2
dalam lingkungan keluarga atau masyarakat.6 Dalam Deklarasi PBB tahun
1993, kekerasan terhadap perempuan dirumuskan dalam Pasal 1 Deklarasi
Penghapusan Kekerasan.7
Terhadap Perempuan 1993 sebagai setiap tindakan berdasarkan
perbedaan jenis kelamin yang berakibat atau mungkin berakibat
kesengsaraan atau penderitaan terhadap wanita secara fisik, seksual atau
psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau
perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di
depan umum atau dalam kehidupan pribadi.
Definisi kekerasan terhadap anak menurut WHO mencakup semua
bentuk perlakuan yang salah baik secara fisik dan/atau emosional, seksual,
penelantaran, dan eksploitasi yang berdampak atau berpotensi
membahayakan kesehatan anak, perkembangan anak, atau harga diri anak
dalam konteks hubungan tanggung jawab.8 Kekerasan terhadap Anak yang
selanjutnya disingkat KtA adalah semua bentuk tindakan/perlakuan yang
menyakitkan secara fisik, psikis, seksual atau penelantaran, yang
mengakibatkan atau dapat mengakibatkan cidera/kerugian nyata terhadap
kesehatan anak, kelangsungan hidup anak, tumbuh kembang anak atau
martabat anak.9

2.2 Kekerasan Terhadap Perempuan


2.2.1 Definisi Kekerasan Terhadap Perempuan
Kekerasan terhadap perempuan menurut Komnas Perempuan
(2001) adalah segala tindakan kekerasan yang dilakukan terhadap
perempuan yang berakibat atau kecenderungan untuk
mengakibatkan kerugian dan penderitaan fisik, seksual, maupun
psikologis terhadap perempuan, baik perempuan dewasa atau anak
perempuan dan remaja. Termasuk didalamnya ancaman, pemaksaan
maupun secara sengaja mengkungkung kebebasan perempuan.
Tindakan kekerasan fisik, seksual, dan psikologis dapat terjadi
dalam lingkungan keluarga atau masyarakat.6

3
Dalam Deklarasi PBB tahun 1993, kekerasan terhadap
perempuan dirumuskan dalam Pasal 1 Deklarasi Penghapusan
Kekerasan Terhadap Perempuan 1993 sebagai setiap tindakan
berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat atau mungkin
berakibat kesengsaraan atau penderitaan terhadap wanita secara
fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu,
pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-
wenang, baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan
pribadi.10
Kekerasan dalam rumah tangga merupakan salah satu bagian
dari kekerasan terhadap perempuan. Menurut Undang-Undang RI
No. 23 Tahun 2004, yang dimaksud dengan kekerasan dalam rumah
tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama
perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau
penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan atau penelantaran
rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,
pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum
dalam lingkup rumah tangga. Tindakan kekerasan terhadap istri
dalam rumah tangga merupakan salah satu bentuk kekerasan yang
seringkali terjadi pada perempuan. Tindakan ini seringkali dikaitkan
dengan penyiksaan baik fisik maupun psikis yang dilakukan oleh
orang yang mempunyai hubungan yang dekat.6

2.2.2 Bentuk Kekerasan Terhadap Perempuan


Kekerasan terhadap perempuan dapat terjadi dalam bentuk:
a. Kekerasan Fisik
Menurut Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak (2018) kekerasan fisik meliputi tindakan
memukul, menganiaya menampar, menendang, mendorong,
mencengkram dengan keras pada tubuh pasangan dan
serangkaian tindakan fisik lainnya termasuk membunuh.11

4
Kekerasan fisik juga didefinisikan dalam undang-undang yakni
UU No. 23 Tahun 2004 mengenai Penghapusan Kekerasan
dalam Rumah Tangga dimana pemerintah menjelaskan bahwa
kekerasan fisik meliputi tindakan yang mengakibatkan rasa
sakit, jatuh sakit, atau luka berat pada orang lain.12
b. Kekerasan Psikis/Emosional
Kekerasan secara emosional seringkali tidak menimbulkan
luka secara fisik, tetapi dapat berdampak buruk pada kondisi
mental korban. Selain itu, kondisi mental juga tentu dapat
mempengaruhi seluruh kehidupan korban, pemikiran korban,
dan bahkan dapat membuat korban merasakan sakit secara fisik.
Menurut KemenPPPA (2018) kekerasan emosional meliputi
tindakan mengancam atau memanggil dengan sebutan yang
mempermalukan, menjelek-jelekan.11
UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
dalam Rumah Tangga pada Bab III Pasal 7 mendefinisikan
kekerasan psikis sebagai perbuatan yang mengakibatkan
ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan
untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis
berat pada seseorang.12
c. Kekerasan Seksual
Menurut KemenPPPA (2018) kekerasan seksual yang
diterima perempuan berupa tindakan memeluk, mencium,
meraba hingga memaksa untuk melakukan hubungan seksual
dibawah ancaman.11 Kemudian, UU No. 23 Tahun 2004 dalam
Bab III Pasal 8 menyatakan bahwa kekerasan seksual meliputi:12
1) Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap
orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut.
2) Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam
lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan
komersial dan/atau tujuan tertentu.

5
d. Kekerasan Ekonomi
Menurut UU No. 23 Tahun 2004 menyatakan bahwa setiap
orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah
tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau
karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan
kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang
tersebut.12

2.2.3 Faktor yang Mempengaruhi Kekerasan Terhadap Perempuan


Berikut faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya
kekerasan terhadap perempuan:13
a. Budaya patriarki yang masih kuat sehingga laki-laki dianggap
paling dominan, baik di dalam keluarga maupun lingkungan
sekitar.
b. Adanya himpitan ekonomi keluarga.
c. Adanya himpitan masalah kota besar yang mendorong stress.
d. Kondisi lingkungan dan pekerjaan yang berat mendorong
tingginya temperamental orang.
e. Adanya pengaruh sosial budaya dalam masyarakat yang
menempatkan perempuan dan anak berada dalam kondisi yang
marginal, dan ketidakberdayaan.

Adapun menurut Kementerian Pemberdayaan Perempuan


dan Perlindungan Anak (2018), faktor-faktor yang menyebabkan
kekerasan terhadap perempuan yaitu faktor individu, faktor
pasangan, faktor ekonomi, dan faktor sosial budaya.14
a. Faktor individu perempuan
Jika dilihat dari bentuk pengesahan perkawinan, seperti
melalui kawin siri, secara agama, adat, kontrak, atau lainnya
perempuan yang menikah secara siri, kontrak, dan lainnya
berpotensi 1,42 kali lebih besar mengalami kekerasan fisik

6
dan/atau seksual dibandingkan perempuan yang menikah secara
resmi diakui negara melalui catatan sipil atau KUA.
Selain itu, faktor seringnya bertengkar dengan suami,
perempuan dengan faktor ini beresiko 3,95 kali lebih tinggi
mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual, dibandingkan yang
jarang bertengkar dengan suami/pasangan. Perempuan yang
sering menyerang suami/pasangan terlebih dahulu juga beresiko
6 kali lebih besar mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual
dibandingkan yang tidak pernah menyerang suami/pasangan
lebih dahulu.14
b. Faktor pasangan
Perempuan yang suaminya memiliki pasangan lain
berisiko 1,34 kali lebih besar mengalami kekerasan fisik
dan/atau seksual dibandingkan perempuan yang suaminya tidak
mempunyai istri/pasangan lain. Begitu juga dengan perempuan
yang suaminya berselingkuh dengan perempuan lain cenderung
mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual 2,48 kali lebih besar
dibandingkan yang tidak berselingkuh.
Disamping itu, ada pula perempuan yang memiliki suami
menggangur beresiko 1,36 kali lebih besar mengalami kekerasan
fisik dan/atau seksual dibandingkan yang pasangannya
bekerja/tidak menganggur. Faktor suami yang pernah minum
miras, perempuan dengan kondisi suami tersebut cenderung 1,56
kali lebih besar mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual
dibandingkan yang suaminya tidak pernah minum miras.
Perempuan dengan suami pengguna narkotika beresiko
mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual 2 kali lebih besar
dibandingkan yang tidak pernah menggunakan narkotika.14
c. Faktor ekonomi
Perempuan yang berasal dari rumahtangga dengan tingkat
kesejahteraan yang semakin rendah cenderung memiliki risiko

7
yang lebih tinggi untuk mengalami kekerasan fisik dan/atau
seksual oleh pasangan. Aspek ekonomi merupakan aspek yang
lebih dominan menjadi faktor kekerasan pada perempuan
dibandingkan dengan aspek pendidikan. Hal ini paling tidak
diindikasikan oleh pekerjaan pelaku yang sebagian besar adalah
buruh, dimana kita tahu bahwa tingkat upah buruh di Indonesia
masih tergolong rendah dan hal ini berdampak pada tingkat
kesejahteraan rumahtangga.14
d. Faktor sosial budaya
Seperti timbulnya rasa khawatir akan bahaya kejahatan
yang mengancam. Perempuan yang selalu dibayangi
kekhawatiran ini memiliki risiko 1,68 kali lebih besar
mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual oleh pasangan,
dibandingkan mereka yang tidak merasa khawatir. Perempuan
yang tinggal di daerah perkotaan memiliki risiko 1,2 kali lebih
besar mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual oleh pasangan
dibandingkan mereka yang tinggal di daerah perdesaan.14

2.2.4 Dampak Kekerasan Terhadap Perempuan


Dampak kekerasan terhadap perempuan dapat berupa dampak
jangka pendek atau dampak langsung dan dampak jangka panjang.
Dampak langsung bisa berupa luka fisik, kehamilan yang tidak
diinginkan, hilangnya pekerjaan, dan lain sebagainya. Sedangkan
dalam jangka panjang perempuan korban dapat mengalami
gangguan psikis seperti hilangnya rasa percaya diri (menutup diri),
ketakutan yang berlebihan, dan sebagainya.15
Kekerasan yang terjadi terkadang dilakukan pula secara
berulang oleh pelaku pada korban yang sama. Kekerasan semacam
ini dapat memperburuk keadaan si korban. Secara psikologis tentu
akan muncul rasa takut hingga depresi. Hal tersebut biasanya terjadi
karena adanya ketergantungan perempuan terhadap pelaku

8
(misalnya ketergantungan secara ekonomi). Seringkali pilihan
menempuh jalur hukum pun merupakan alternatif pilihan yang sulit
karena adanya ketergantungan tersebut. Akibat lain dari kekerasan
dalam perempuan adalah stress, depresi, rasa takut, trauma, cacat
fisik, perceraian, bahkan kematian.15
Kekerasan yang terjadi pada istri dapat pula melahirkan
kekerasan lanjutan. Anak dapat menjadi korban kekerasan dalam
rumah tangga baik itu secara langsung oleh si pelaku maupun
menjadi korban kedua (lanjutan) atas kekerasan dalam rumah tangga
yang dialami oleh si korban pertama. Misalnya, suami melakukan
kekerasan pada istri dan kemudian istri melampiaskan kekerasan
tersebut pada si anak. Pada anak, selain berdampak pada kondisi
psikologis (traumatik), dalam jangka panjang dapat berdampak pula
pada munculnya kecenderungan untuk menjadi pelaku kekerasan
dalam rumah tangga di masa yang akan datang. Proses tumbuh
kembang anak tentu menjadi terganggu.15

2.2.5 Aspek Medikolegal Kekerasan Terhadap Perempuan


a. UUD 1945
Dalam pasal 28D ayat (1) UUD 1945 tertulis bahwa setiap
orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan
hukum. Kemudian pasal 28I ayat (4) UUD 1945 yang
menyebutkan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan, dan
pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara,
terutama pemerintah. Dengan demikian, perlindungan hukum
terhadap perempuan korban kekerasan yang merupakan hak
perempuan juga menjadi tanggung jawab pemerintah.16

b. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM

9
UU ini mengartikan HAM sebagai, “...seperangkat hak
yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai
makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya
yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh
negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan
serta perlindungan harkat dan martabat manusia” (Pasal 1 ayat
(1)). Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 3 ayat (3) menjelaskan bahwa
diskriminasi berdasarkan jenis kelamin telah dilarang oleh
hukum.17

c. Undang-Undang No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan


Kekerasan dalam Rumah Tangga
Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan dalam Rumah Tangga yang selanjutnya disebut
sebagai UU PKDRT diundangkan tanggal 22 September 2004
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 No. 95.
Fokus UU PKDRT ini ialah kepada upaya pencegahan,
perlindungan dan pemulihan korban kekerasan dalam rumah
tangga.
Pasal 318
Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga dilaksanakan
berdasarkan:
1) Penghormatan hak asasi manusia
2) Keadilan dan kesetaraan gender
3) Nondiskriminasi
4) Perlindungan korban
Pasal 418
Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga bertujuan:
1) Mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga
2) Melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga
3) Menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga

10
4) Memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan
sejahtera
Pasal 2118
(1) Dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada korban,
tenaga kesehatan harus :
a. Memeriksa kesehatan korban sesuai dengan standar
profesinya
b. Membuat laporan tertulis hasil pemeriksaan terhadap
korban dan visum et repertum atas permintaan penyidik
kepolisian atau surat keterangan medis yang memiliki
kekuatan hukum yang sama sebagai alat bukti.
(2) Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat
dilakukan di sarana kesehatan milik pemerintah, pemerintah
daerah, atau masyarakat.
Pasal 3918
Untuk kepentingan pemulihan, korban dapat memperoleh
pelayanan dari:
a. Tenaga kesehatan;
b. Pekerja sosial;
c. Relawan pendamping; dan/atau
d. Pembimbing rohani.
Pasal 4018
(1) Tenaga kesehatan wajib memeriksa korban sesuai dengan
standar profesinya.
(2) Dalam hal korban memerlukan perawatan, tenaga kesehatan
wajib memulihkan dan merehabilitasi kesehatan korban.
Pasal 4218
Dalam rangka pemulihan terhadap korban, tenaga kesehatan,
pekerja sosial, relawan pendamping dan/atau pembimbing
rohani dapat melakukan kerja sama.

11
d. Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2005 tentang Komisi Nasional
Anti Kekerasan terhadap Perempuan
Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2005 tentang Komisi
Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan yang selanjutnya
disebut sebagai Perpres Komnas Perempuan ialah merupakan
penyempurnaan Keputusan Presiden No. 181 Tahun 1998
tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan.
Perpres Komnas Perempuan Pasal 24 telah mencabut dan
menyatakan tidak berlaku Keppres No. 181 Tahun 1998 tentang
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan.
Komnas Perempuan ini dibentuk berdasarkan prinsip
negara hukum yang menyadari bahwa setiap bentuk kekerasan
terhadap perempuan merupakan salah satu bentuk pelanggaran
atas hak-hak asasi manusia sehingga dibutuhkan satu usaha
untuk mencegah dan menanggulangi terjadinya kekerasan
terhadap perempuan.19

e. KUHP
Substansi hukum yang terkait dengan kekerasan terhadap
perempuan dapat dilihat dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP). Dalam KUHP terdapat beberapa Pasal yang
terkait secara Langsung dan dapat dikualifikasikan sebagai
tindak kekerasan fisik terhada perempuan yaitu Pasal 351
sampai dengan Pasal 356 KUHP.
Pasal 351 KUHP18
(1) Penganiayaan dihukum dengan hukuman penjara selama-
lamanya dua tahun delapan bulan atau denda sebanyak-
banyaknya Rp. 4500,-
(2) Jika perbuatan itu menjadikan luka berat, sitersalah
dihukum penjara selama-lamanya lima tahun.

12
(3) Jika perbuatan itu menjadikan mati orangnya, dia dihukum
penjara selama-lamanya tujuh tahun.
(4) Dengan penganiayaan disamakan merusak kesehatan orang
dengan sengaja.
(5) Percobaan melakukan kejahatan ini tidak dapat dihukum.
Pasal 352 KUHP18
(3) Selain dari pada apa yang tersebut dalam pasal 353 dan 356,
maka penganiayaan yang tidak menjadikan sakit atau
halangan untuk melakukan jabatan atau pekerjaan sebagai
penganiayaan ringan, dihukum penjara selama-lamanya
tiga bulan atau dengan sebanyak-banyaknya Rp. 4.500,–.
Hukuman ini boleh ditambah dengan sepertiganya, bila,
kejahatan itu dilakukan terhadap orang yang bekerja
padanya atau yang ada dibawah perintahnya.
(4) Percobaan melakukan kejahatan ini tidak dapat dihukum.
Pasal 353 KUHP18
(1) Penganiayaan yang dilakukan dengan direncanakan
terlebih dahulu dihukum penjara selama-lamanya empat
tahun.
(2) Jika perbuatan itu menjadikan luka berat, sitersalah
dihukum penjara selama-lamanya tujuh tahun.
(3) Jika perbuatan itu menjadikan kematian orangnya ia
dihukum penjara selama-lamanya sembilan tahun.
Pasal 354 KUHP18
(2) Barang siapa dengan sengaja melukai berat orang lain,
diancam karena melakukan penganiayaan berat dengan
pidana penjara paling lama delapan tahun.
(3) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian yang bersalah
diancam dengan pidana penjara paling lama Sembilan
tahun.
Pasal 355 KUHP18

13
(3) Penganiayaan berat yang dilakukan dengan rencana
terlebih dahulu, diancam dengan pidana penjara paling
lama dua belas tahun.
(4) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah
diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas
tahun.
Pasal 356 KUHP18
Pidana yang ditentukan dalam pasal 351, 353, 354 dan 355 dapat
ditambah dengan sepertiga:
(1) bila kejahatan itu dilakukan terhadap ibunya, ayahnya yang
sah, istrinya atau anaknya.
(2) bila kejahatan itu dilakukan terhadap Seorang pejabat
ketika atau karena menjalankan tugasnya yang sah.
(3) bila kejahatan itu dilakukan dengan memberikan bahan
yang berbahaya bagi nyawa atau kesehatan untuk dimakan
atau diminum.

2.3 Kekerasan Terhadap Anak


2.3.1 Definisi Kekerasan Terhadap Anak
Kekerasan pada anak, di Indonesia, peraturan mengacu pada
UU RI nomer 34 tahun 2014 tentang perlindungan anak, adalah
setiap perbuatan terhadap Anak yang berakibat timbulnya
kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan/atau
penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,
pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan
hukum.20
Dalam rangka perlindungan dan pencegahan kekerasan pada
anak, pemerintah juga telah memfasilitasi berdirinya lembaga
independen yang berfungsi untuk mengontrol keamanan,
kenyamanan dan terpenuhinya hak-hak anak yaitu dengan adanya
Komisi Perlindungan Anak Indonesia.20

14
2.3.2 Bentuk Kekerasan Terhadap Anak
Beberapa jenis kekerasan terhadap anak menurut PMK no.68
tahun 2013, yaitu:9
a. Kekerasan Fisik
Kekerasan yang mengakibatkan cedera fisik nyata
ataupun potensial terhadap anak sebagai akibat dari interaksi
atau tidak adanya interaksi yang layaknya ada dalam kendali
orangtua atau orang dalam hubungan posisi tanggung jawab,
kepercayaan atau kekuasaan. Anak korban KtA berupa
kekerasan fisik dapat diduga dengan ditemukannya luka atau
cedera pada tubuh anak yang menurut ciri, letak dan sifatnya
bukan akibat suatu kecelakaan.9
b. Kekerasan Psikis/Emosional
Suatu perbuatan terhadap anak yang mengakibatkan atau
sangat mungkin akan mengakibatkan gangguan kesehatan atau
perkembangan fisik, mental, spiritual, moral dan sosial.
Kekerasan psikis dapat berupa pembatasan gerak, sikap tindak
yang meremehkan, mencemarkan, mengkambinghitamkan,
mengancam, menakut-nakuti, mendiskriminasi, mengejek atau
menertawakan anak, atau perlakuan kasar lain atau penolakan.9
Anak korban kekerasan terhadap anak berupa kekerasan
dapat diduga dengan ditemukannya riwayat kekerasan psikis,
perubahan emosi dan perilaku serta terhambatnya perkembangan
fungsi fisik mental dan sosial.9
c. Kekerasan seksual
Perlibatan anak dalam kegiatan seksual, dimana ia sendiri
tidak sepenuhnya memahami atau tidak mampu memberi
persetujuan, yang ditandai dengan adanya aktivitas seksual
antara anak dengan orang dewasa atau anak lain dengan tujuan
untuk memberikan kepuasan bagi orang tersebut.9

15
Anak korban kekerasan terhadap anak berupa kekerasan
seksual dapat diduga dengan ditemukannya riwayat dan/atau
tanda penetrasi, persetubuhan, pengakuan adanya pelecehan
seksual atau bentuk kekerasan seksual lainnya.9
d. Penelantaran
Kegagalan dalam menyediakan segala sesuatu yang
dibutuhkan untuk tumbuh kembang anak yang bukan disebabkan
oleh karena keterbatasan sumber daya. Penelantaran anak dapat
berupa kegagalan dalam memenuhi kebutuhan kesehatan,
pendidikan, perkembangan emosional, nutrisi, rumah atau
tempat bernaung, serta keadaan hidup yang aman dan layak.9
Anak korban kekerasan terhadap anak berupa
penelantaran dapat diduga dengan ditemukannya riwayat
dan/atau tanda penelantaran.3
e. Eksploitasi, penghilangan kemerdekaan, perdagangan orang
(trafficking)
Anak korban tindakan eksploitasi, penghilangan
kemerdekaan, dan perdagangan orang dapat diduga berdasarkan
adanya riwayat yang dapat dikuatkan dengan hasil penilaian
psiko-sosial anak.9
Anak korban tindakan eksploitasi, penghilangan
kemerdekaan, dan perdagangan orang yang telah meninggal
dapat diduga dari hasil pemeriksaan luar dan/atau bedah mayat
dengan atau tanpa pemeriksaan penunjang.9

Dari beberapa jenis kekerasan yang dilaporkan, ternyata


kekerasan seksual menempati posisi teratas diikuti kekerasan psikis
dan kekerasan fisik. Selama tahun 2016, Jumlah kasus kekerasan
seksual terhadap anak mencapai 35 persen dari total jumlah kasus
kekerasan terhadap anak, sementara kekerasan fisik dan kekerasan
psikis masing-masing sebanyak 28 persen dan 23 persen dari total

16
kasus. Jenis kasus kekerasan anak lain yang persentasenya cukup
besar adalah kasus penelantaran yaitu sekitar 7 persen.8

Gambar 1. Sebaran kekerasan terhadap anak menurut jenis


kekerasan, 2016

Gambar 2. Jumlah kasus kekerasan terhadap anak menurut jenis


kelamin dan jenis kekerasan yang dialami, 2016

Selanjutnya jika dilihat menurut jenis kelamin, kasus


kekerasan terhadap anak lebih banyak terjadi pada anak perempuan
di semua jenis kekerasan. Jumlah anak perempuan yang mengalami
kekerasan fisik mencapai hampir 3 kali lipat dari jumlah kasus yang
menimpa anak laki-laki, bahkan untuk kasus kekerasan seksual
jumlah kasus yang terjadi pada anak perempuan mencapai lebih dari
7 kali lipat dari jumah kasus kekerasan seksual yang menimpa anak
laki-laki. Selain itu, penelantaran anak juga lebih banyak terjadi
pada anak perempuan dibandingkan anak laki-laki. Kekerasan
terhadap anak perempuan didominasi oleh jenis kekerasan seksual,

17
sementara kekerasan terhadap anak laki-laki didominasi kekerasan
fisik.8

2.3.3 Faktor yang Mempengaruhi Kekerasan Terhadap anak


Terdapat beberapa faktor mengapa sering terjadi kekerasan
dengan anak sebagai korban, yaitu dapat dipengaruhi oleh pola asuh,
faktor tontonan (TV maupun games) yang bermuatan kekerasan fisik
maupun nonfisik, pengaruh permifisitas lingkungan, teman sebaya
maupun kultur di satuan pendidikan maupun di lingkungan rumah
tinggal. Keluarga sebagai sistem sosial terkecil memiliki kontribusi
dalam menimbulkan kekerasan pada anak antara lain karena faktor
orangtua (tidak mempunyai konsep pola asuh anak, orangtua
memiliki riwayat trauma masa kecil, agresif dan emosional, orang
tua tunggal, permasalahan ekonomi, riwayat KDRT dalam keluarga,
permasalahan hukum atau pengaruh obat, alkohol maupun narkoba,
gangguan psikologis lain).20
Terdapat juga kekerasan yang mungkin dilakukan oleh
tenaga pendidik yang mengatasnamakan “proses pendidikan”. Ini
bisa terjadi bila system dan peraturan sekolah tidak memiliki visi
perlindungan pada anak, paradigma mengajar lebih dominan
daripada mendidik, pemahaman terhadap regulasi minimal, serta
kemampuan memposisikan anak sebagai subjek pedidikan dan
bukan objek pendidikan yang masih lemah.20
Pada lingkungan sekitar anak juga memiliki kontribusi dalam
menimbulkan kekerasan bila kontribusi keluarga lemah, anak
cenderung mencari jatidiri diluar secara tidak tepat serta masyarakat
yang cenderung acuh terhadap kewaspadaan komunitas.20

2.3.4 Dampak Kekerasan Terhadap Anak


Konsekuensi dari kekerasan terhadap anak mungkin
bervariasi tergantung pada jenis kekerasan dan keparahannya, tetapi

18
seperti halnya pada kekerasan terhadap perempuan, dampak dari
kekerasan terhadap anak dan masyarakat secara umum bisa serius
dan membahayakan baik dalam jangka pendek maupun jangka
panjang.8
Menurut Violence Prevention Initiative (2009), kekerasan
yang dialami oleh anak dalam berbagai jenisnya akan memengaruhi
perkembangan kognitif, social, emosional dan fisik anak. Violence
Prevention Initiative (2009) mencoba memahami kekerasan yang
terjadi pada anak dengan melihat dampak yang diakibatkan dari
setiap jenis kekerasan. Secara lebih detil, dampak dari kekerasan
yang terjadi untuk setiap jenis kekerasan dapat dilihat dari berbagai
tanda atau ciri-ciri sebagai berikut:8
a. Kekerasan fisik
1) Adanya luka lebam, bekas gigitan atau patah tulang yang
tidak terjelaskan
2) Sering tidak masuk sekolah
3) Cedera tetapi sering ditutup-tutupi
4) Tampak ketakutan ketika ada kehadiran orang tertentu
5) Sering lari dari rumah
b. Kekerasan seksual
1) Sering mimpi buruk
2) Adanya perubahan nafsu makan anak
3) Memperlihatkan kurang rasa percaya pada seseorang
4) Perubahan yang tiba-tiba pada kepribadian anak
c. Kekerasan emosional
1) Anak memperlihatkan perilaku yang ekstrim
2) Perkembangan fisik dan emosional anak lambat
3) Anak sering complain sakit kepala atau perut sakit karena
alasan yang tidak jelas
4) Anak terlihat frustasi ketika mengerjakan tugas
5) Anak mencoba bunuh diri

19
d. Penelantaran anak
1) Tidak masuk sekolah tanpa keterangan
2) Anak terlibat dalam kegiatan ilegal untuk memperoleh
kebutuhan dasar hidupnya
3) Anak terlihat kotor
4) Anak kekurangan pakaian yang pantas dan tampak tidak
berenergi
e. Anak terpapar kekerasan dalam rumah tangga
1) Meskipun anak tidak mengalami kekerasan, tetapi dia sering
melihat atau menyaksikan kekerasan yang terjadi dalam
rumahtangga, maka dampaknya dapat dilihat pada perubahan
perilaku anak seperti anak terlihat agresif, depresi, suka
marah, dan suka ketakutan.
2) Dampak social dari anak menyaksikan kekerasan bisa berupa
kesulitan dalam bergaul, berpotensi merasa terisolasi dan
terpinggirkan, dan masalah kepercayaan pada seseorang.
3) Selanjutnya dari aspek psikologis, anak yang terpapar
kekerasan dalam rumahtangga bisa berdampak pada stress,
tidur tidak teratur dan trauma.

2.3.5 Aspek Medikolegal Kekerasan Terhadap Anak


Dalam hal perlindungan pada anak, dicantumkan bahwa anak
berhak memperoleh perlindungan dari 6 hal tercantum dalam pasal
15 dan 16 UU RI 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak yang
termasuk perlindungan dari pelibatan dalam peristiwa yang
mengandung unsur kekerasan.Terdapat Bab khusus yang mengatur
larangan yaitu Bab XI A tentang Larangan.20
Dalam hal kekerasan pada anak, diatur tersendiri dalam pasal
76C-F. Dengan ketentuan sanksi pidana diatur dalam pasal 80-83.
Adapun kekerasan atau trauma yang timbul dapat menyebabkan luka

20
dan sampai kematian. Dalam hubungan dengan aspek hukum, akibat
luka juga tercantum dalam:20
a. KUHP pasal 352, yaitu penganiayaan yang tidak menimbulkan
penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan
atau mata pencaharian (sebagai penganiayaan ringan).
b. KUHP pasal 351:1, yaitu penganiayaan yang menimbulkan
penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan
atau mata pencaharian.
c. KUHP pasal 351:2, yaitu penganiayaan yang menimbulkan luka
berat.
d. KUHP pasal 90 terkait kriteria luka berat.
e. KUHP pasal 338, 340, 355, 359 (mati).

Secara istilah bahasa “luka” dianalogkan dengan akibat dari


suatu penganiayaan atau trauma. Istilah penganiayaan hanya
merupakan istilah hukum dan tidak dikenal dalam istilah kedokteran,
oleh karena penganiayaan dapat menimbulkan luka maka dalam
penulisan visum et repertum digunakan istilah luka sebagai
pengganti kata penganiayaan. Dengan kriteria kualifikasi luka terdiri
dari:20
a. Luka ringan: yang tergolong luka yang tidak menimbulkan
penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan
atau pencaharian.
b. Luka sedang: yang tergolong luka yang menimbulkan penyakit
atau halangan untuk menjalankan pekerjaan atau pencaharian
c. Luka berat, menurut KUHP pasal 90, maka “luka berat” berarti:
1) Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan
akan sembuh sama sekali atau yang menimbulkan bahaya
maut.
2) Tidak mampu secara terus menerus untuk menjalankan tugas
jabatan atau pekerjaan pencaharian.

21
3) Kehilangan salah satu panca indera.
4) Mendapat cacat berat
5) Menderita sakit lumpuh
6) Terganggu daya pikir selama 4 minggu lebih
7) Gugur atau matinya kandungan seorang perempuan

2.4 Jenis Kekerasan Menurut Hukum


Pada umumnya kekerasan berwujud pada perbuatan yang diatur
dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam KUHP
kekerasan dapat berbentuk tindak pidana: (1) Pengancaman dan pemerasan
(Pasal 368-371 KUHP), (2) Kejahatan terhadap nyawa (Pasal 338-350
KUHP), (3) Penganiayaan (Pasal 351-358 KUHP), (4) Penghancuran dan
perusakan barang (Pasal 406-412 KUHP), (5) Pemerkosaan (Pasal 285
KUHP), (6) Pembunuhan Berencana (Pasal 340 KUHP), (7) Pembunuhan
biasa (Pasal 338 KUHP). Selain perwujudan kekerasan yang tercantum pada
KUHP, ada pula yang diatur dalam peraturan di luar KUHP. Kekerasan
dalam rumah tangga (KDRT), diatur dalam Undang-undang Nomor 23
Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Terhadap Rumah Tangga,
kekerasan terhadap anak diatur dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak, kekerasan berkaitan dengan perdagangan
manusia (human trafficking) diatur dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun
2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, kekerasan
yang berkaitan dengan diskriminasi ras diatur dalam Undang-undang
Nomor 29 Tahun 1999 tentang Pengesahan Konvensi Internasional tentang
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial 1965.21

2.5 Tata cara Pemeriksaan dan Interpretasi Korban Kekerasan terhadap


Perempuan dan anak
2.5.1 Tata cara Pemeriksaan Pemeriksaan
Sebelum pemeriksaan, perlu diperhatikan hal-hal sebagai
berikut:9

22
a. Melakukan informed consent untuk menjelaskan kepada anak
maupun kepada orangtuanya tentang maksud, tujuan, proses dan
lama pemeriksaan serta mendapatkan persetujuan dari anak yang
diduga sebagai korban maupun orangtua.
b. Dalam melakukan pemeriksaan, petugas kesehatan harus
didampingi oleh petugas kesehatan lainnya. Jika anak yang
diduga sebagai korban berjenis kelamin perempuan, sebaiknya
diperiksa oleh petugas kesehatan perempuan dan sebaliknya.
c. Melakukan pemeriksaan fisik secara menyeluruh dengan ramah
dan sopan.
d. Menjalin hubungan yang akrab dan saling percaya antara
petugas kesehatan dan anak yang diduga sebagai korban KtA.
e. Menyiapkan alat bantu seperti boneka, alat gambar dan mainan
untuk berkomunikasi dan menggali data dari anak.
f. Semua hasil pemeriksaan pada kasus KtA merupakan catatan
penting yang harus disimpan dalam rekam medis dan bersifat
rahasia.

Langkah-langkah pemeriksaan terdiri dari :


a. Melakukan persetujuan/penolakan untuk dilakukan pemeriksaan
medis (informed consent/informed refusal)
b. Anamnesis melakukan auto dan atau alloanamnesis.
Autoanamnesis dilakukan setelah terjalin hubungan yang akrab
dan saling percaya antara petugas kesehatan dan anak yang
diduga sebagai korban dengan menggunakan alat bantu seperti:
boneka, alat tulis dan buku gambar. Hal-hal yang perlu
diperhatikan dalam anamnesis :
1) Apabila memungkinkan, anamnesa terhadap anak yang
diduga sebagai korban dan pengantar dilakukan secara
terpisah.

23
2) Menilai adanya kemungkinan ketidaksesuaian yang muncul
antara penuturan orang tua/pengantar dan anak dengan
temuan medis.
3) Memperhatikan sikap/perilaku anak yang diduga sebagai
korban dan pengantar, apakah korban terlihat takut, cemas,
ragu-ragu dan tidak konsisten dalam memberikan jawaban.
4) Melengkapi rekam medis dengan identitas dokter pemeriksa,
pengantar, tanggal, tempat dan waktu pemeriksaan serta
identitas korban, terutama umur dan perkembangan seksnya,
tanggal hari pertama haid terakhir dan apakah sedang haid
saat kejadian.
5) Melakukan konfirmasi ulang urutan kejadian, apa yang
menjadi pemicu, penyiksaan apa yang telah terjadi, oleh
siapa, dengan menggunakan apa, berapa kali, apa
dampaknya terhadap anak yang diduga sebagai korban,
waktu dan lokasi kejadian.
6) Menggali informasi tentang :
a) Adakah perubahan perilaku anak setelah mengalami
trauma, seperti ngompol, mimpi buruk, susah tidur, suka
menyendiri, murung, atau agresif.
b) Keadaan kesehatan sebelum trauma.
c) Adakah riwayat trauma seperti ini sebelumnya.
d) Adakah riwayat penyakit dan masalah perilaku
sebelumnya.
e) Adakah faktor-faktor sosial budaya ekonomi yang
berpengaruh terhadap perilaku di dalam keluarga.
7) Jika ditemukan amnesia (organik atau psikogenik) lakukan
konseling atau rujuk jika memerlukan intervensi psikiatrik.
8) Periksa apakah ada tanda-tanda kehilangan kesadaran yang
diakibatkan pemberian NAPZA. Pada kasus kekerasan

24
seksual, tambahkan pertanyaan tentang hal-hal sebagai
berikut :
a) Waktu dan lokasi kejadian, ada tidaknya kekerasan
sebelum kejadian, segala bentuk kegiatan seksual yang
terjadi, termasuk bagian-bagian tubuh yang mengalami
kekerasan, ada tidaknya penetrasi, dengan apa penetrasi
dilakukan.
b) Adanya rasa nyeri, perdarahan dan atau keluarnya cairan
dari vagina.
c) Adanya rasa nyeri dan gangguan pengendalian buang air
besar dan/atau buang air kecil.
d) Apa yang dilakukan korban setelah kejadian kekerasan
seksual tersebut, apakah korban mengganti pakaian,
buang air kecil, membersihkan bagian kelamin dan
dubur, mandi atau gosok gigi.
e) Khusus untuk kasus kekerasan seksual pada remaja,
tanyakan kemungkinan adanya hubungan seksual dua
minggu sebelumnya.
c. Observasi selama melaksanakan anamnesis, lakukan
pengamatan tentang :
1) Adanya keterlambatan yang bermakna antara saat terjadinya
kekerasan dan saat mencari pertolongan medis.
2) Adanya ketidaksesuaian antara tingkat kepedulian orang tua
dengan beratnya trauma yang dialami anak.
3) Adanya interaksi yang tidak wajar antara orangtua/pengasuh
dengan anak, seperti adanya pengharapan yang tidak
realistis, keinginan yang tidak memadai atau perilaku marah
yang impulsif dan tidak menyadari kebutuhan anak.

d. Pemeriksaan fisik

25
1) Memeriksa keadaan umum korban yang meliputi kesadaran
dan tanda-tanda vital.
2) Memperhatikan apakah ada luka lama dan baru yang sesuai
dengan urutan peristiwa kekerasan yang dialami. Suatu
kasus patut diduga sebagai kta bila ditemukan adanya:
a) Memar/jejas di kulit pada daerah yang tidak lazim
terkena kecelakaan seperti pipi, lengan atas, paha,
bokong dan genital.
b) Perlukaan multipel (ganda) dengan berbagai tingkat
penyembuhan; tanda dengan konfigurasi sesuai jari
tangan, tali atau kabel, kepalan, ikat pinggang bahkan
gigi orang dewasa.
c) Patah tulang pada anak usia dibawah tiga tahun, patah
tulang baru dan lama yang ditemukan bersamaan, patah
tulang ganda, patah tulang bentuk spiral pada tulang-
tulang panjang lengan dan tungkai, patah tulang pada
kepala, rahang dan hidung serta patahnya gigi.
d) Luka bakar seperti bekas sundutan rokok, luka bakar
pada tangan, kaki, atau bokong akibat kontak bagian-
bagian tubuh tersebut dengan benda panas, bentuk luka
yang khas sesuai dengan bentuk benda panas yang
dipakai untuk menimbulkan luka tersebut.
e) Cedera pada kepala, seperti perdarahan (hematoma)
subkutan atau subdural, yang dapat dilihat pada foto
rontgen, bercak/area kebotakan akibat tertariknya
rambut, baik yang baru atau berulang.
f) Lain-lain: dislokasi/lepas sendi pada sendi bahu atau
pinggul. Pada kasus kekerasan seksual, perlu
memperhatikan:
(1) Adanya tanda-tanda perlawanan atau kekerasan
seperti pakaian yang robek, bercak darah pada

26
pakaian dalam, gigitan, cakaran, ekimosis,
hematoma dan perhatikan kesesuaian tanda
kekerasan dengan urutan kejadian kekerasan.
Kadang-kadang tanda ini muncul dengan segera atau
setelah beberapa waktu kemudian. Gunting/kerok
kuku korban kanan dan kiri, masukkan dalam amplop
terpisah dan diberi label.
(2) Pemeriksaan ginekologik pada anak perempuan
(hanya dilakukan pemeriksaan luar, sedangkan untuk
pemeriksaan dalam harus dirujuk) :
(a) Rambut pubis disisir, rambut lepas yang
ditemukan mungkin milik pelaku dimasukan ke
dalam amplop. Rambut pubis korban
dicabut/digunting 3-5 helai masukan ke dalam
amplop yang berbeda dan diberi label.
(b) Periksa adanya luka di daerah sekitar paha, vulva
dan perineum.
(c) Catat jenis, lokasi, bentuk, dasar dan tepi luka.
Periksa selaput dara; pada selaput dara tentukan
ada atau tidaknya robekan, robekan baru atau
lama, lokasi robekan tersebut dan teliti apakah
sampai ke dasar atau tidak. Dalam hal tidak
adanya robekan, padahal ada informasi terjadinya
penetrasi, lakukan pemeriksaan besarnya
lingkaran lubang. Pada balita diameter hymen
(selaput dara) tidak lebih dari 5 mm, dan dengan
bertambahnya usia akan bertambah 1 mm. Bila
ditemukan diameter sama atau lebih dari 10 mm,
patut dicurigai sudah terjadi penetrasi oleh benda
tumpul misalnya jari. Pada remaja pemeriksaan

27
dilakukan dengan memasukkan satu jari
kelingking.
Bila kelingking dapat masuk tanpa hambatan
dan rasa nyeri, lanjutkan pemeriksaan dengan
satu jari telunjuk, bila tanpa hambatan, teruskan
dengan jari telunjuk dan jari tengah (2 jari). Bila
dengan 2 jari tanpa hambatan, dicurigai telah
terjadi penetrasi. Bercak kering dikerok dengan
menggunakan skalpel, bercak basah diambil
dengan kapas lidi, dikeringkan pada suhu kamar
dan dimasukkan ke dalam amplop. Pemeriksaan
colok dubur baik pada anak laki-laki maupun
perempuan. Pada balita pemeriksaan dilakukan
dalam posisi menungging (knee-chest position).
Jangan menggunakan anuskop pada anak di
bawah 6 tahun, agar tidak menambah trauma baru
pada anak. Anuskop hanya digunakan sesuai
indikasi (dicurigai ada keluhan, infeksi,
perdarahan dalam).

e. Pemeriksaan status mental


Kekerasan berdampak pada berbagai aspek kehidupan
korban yang membutuhkan daya adaptasi yang luar biasa dan
menimbulkan distres serta gejala-gejala paska trauma. Anak
memiliki ciri temperamen dan perasaan yang unik, sehingga
dapat memberikan reaksi yang berbeda terhadap trauma/tekanan
yang sama. Anak mungkin akan mengekspresikan masalah
melalui kata-kata, keluhan-keluhan fisik atau tingkah laku yang
tidak sesuai dengan tahapan perkembangannya. Gejala yang
muncul antara lain:
1) Ketakutan

28
a) Takut akan reaksi keluarga maupun teman-teman,
b) Takut orang lain tidak akan mempercayai
keterangannya,
c) Takut diperiksa oleh dokter pria,
d) Takut melaporkan kejadian yang dialaminya,
e) Takut terhadap pelaku.
f) Takut ditinggal sendirian
g) Reaksi emosional lain, seperti syok, rasa tidak percaya,
marah, malu, menyalahkan diri sendiri, kacau, bingung,
histeris yang menyebabkan sulit tidur (insomnia), hilang
nafsu makan, mimpi buruk, selalu ingat peristiwa itu.
2) Siaga berlebihan (mudah kaget terkejut, curiga)
3) Panik
4) Berduka (perasaan sedih terus menerus)

f. Pemeriksaan penunjang pemeriksaan penunjang meliputi


rontgen dan USG (jika tersedia); pemeriksaan laboratorium:
darah dan urin rutin. Pada kasus kekerasan seksual ditambah
dengan:
1) Lakukan penapisan (screening) penyakit kelamin
2) Test kehamilan untuk mengetahui kemungkinan terjadinya
kehamilan.
3) Pemeriksaan mikroskop adanya sperma dengan
menggunakan nacl.
4) Apabila diperlukan, lakukan pengambilan darah dan urine
untuk pemeriksaan kandungan NAPZA, usapan rugae untuk
pemeriksaan adanya sperma.

2.5.2 Ciri-Ciri Korban Kekerasan


Ciri-ciri dari korban kekerasan adalah sebagai berikut:9

29
a. Anak korban kekerasan meliputi kekerasan fisik, kekerasan
psikis, kekerasan seksual dan penelantaran.
b. Anak korban dugaan kekerasan fisik memiliki ciri-ciri yaitu luka
atau cedera pada tubuh anak yang bukan akibat suatu
kecelakaan.
c. Anak korban kekerasan psikis dapat diketahui melalui
autoanamnesis atau aloanamnesis tentang adanya riwayat
kekerasan psikis, adanya perubahan ekspresi wajah, sikap dan
perilaku anak sebelum kejadian seperti anak takut berpisah dari
orang tua, menyendiri, tidak mau bergaul, mengompol, mimpi
buruk dan lain-lain.
d. Anak korban dugaan kekerasan seksual dapat diketahui melalui
identifikasi kasus anak yang datang dengan keluhan nyeri atau
pendarahan pada saat buang air kecil atau buang air besar;
riwayat penyakit infeksi menular seksual atau adanya infeksi
berulang (rekuren) pada kemaluan; adanya tanda-tanda
kehamilan pada remaja, ditemukan cairan mani pada semen
disekitar mulut, genitali, anus atau pakaian; gangguan
pengendalian buang air besar dan buang air kecil; adanya
robekan atau bercak darah pada pakaian dalam anak, adanya
cedera atau perlukaan pada buah dada, bokong, perut bagian
bawah, paha, sekitar alat kelamin atau dubur; adanya tanda-
tanda penetrasi dan atau persetubuhan, atau bentuk kekerasan
seksual lainnya.
e. Anak korban penelantaran dapat diketahui melalui adanya
kegagalan tumbuh fisik maupun mental; malnutrisi tanpa dasar
penyakit organik yang sesuai; luka atau penyakit yang dibiarkan
tidak diobati; tidak memperoleh imunisasi dasar; ditemukannya
anak dengan tanda-tanda kulit kotor, rambut kotor, gimbal, tidak
terawat dan berkutu; gigi tidak bersih, bau; keadaan umum
lemah, letargik, dan lelah berkepanjangan.

30
2.5.3 Interpretasi Hasil Pemeriksaan Medikolegal
Hasil pemeriksaan medikolegal terhadap korban adalah
dokumentasi seluruh hasil temuan pemeriksaan medis pada korban
yang kemudian dituangkan di dalam sebuah keterangan yang di
Indonesia disebut sebagai Visum et Repertum (VeR). Keterangan
tersebut memberikan bukti bahwa benar telah terjadi kekerasan dan
seberapa parah akibat kekerasan tersebut, atau pada kasus kekerasan
seksual dapat pula menjelaskan apakah telah terjadi persetubuhan
ataukah penetrasi. Bahkan dengan menggunakan teknik mutakhir
(pemeriksaan DNA), pemeriksaan medikolegal secara praktis dapat
menunjuk siapa pelaku kekerasan seksual tersebut.9
Seberapa jauh Visum et Repertum (VeR) membantu proses
peradilan sangat bergantung kepada seberapa lengkap dan
spesifiknya temuan medikolegalnya sehingga dapat
diinterpretasikan sebagai bukti yang determinatif. Bukti medis
bukanlah satu-satunya komponen dalam pembuktian adanya KtA
dalam perkara pidana. Pemeriksaan Tempat Kejadian Perkara
(TKP), kesaksian, dan pemeriksaan barang bukti lain memiliki nilai
yang sama sebagai alat bukti yang sah. Selain itu, wawancara
forensik, penilaian sikap perilaku korban pasca kekerasan,
pemeriksaan laboratorium forensik seringkali sangat mendukung
pembuktian.

a. Pemeriksaan Fisik
Perlukaan yang ditemukan pada pemeriksaan fisik dapat
bervariasi, mulai dari memar, lecet, luka bakar, dan luka terbuka,
hingga ke cedera yang lebih dalam letaknya seperti patah tulang
ataupun cedera alat-alat dalam tubuh. Memar umumnya
diakibatkan oleh kekerasan tumpul yang memiliki permukaan
yang relatif rata atau lunak, seperti tangan kosong atau

31
tendangan. Memar seringkali dapat menunjukkan bentuk atau
pola permukaan kontak benda penyebabnya.
1) Memar yang berbentuk garis sejajar (tramline atau railway
haematome) menunjukkan cedera yang diakibatkan oleh
pukulan tongkat atau benda sejenis.
2) Bila bentuknya dua garis sejajar melengkung mungkin
disebabkan oleh benda berupa tali yang cukup kuat seperti
kabel.
3) Memar kadangkala tidak terjadi di lokasi trauma, misalnya
apabila terjadi di daerah dahi yang memarnya dapat terlihat
di kelopak mata atau di daerah tungkai bawah daerah tulang
kering yang memarnya dapat terlihat di pergelangan kaki.

Perkiraan kapan terjadinya memar kadang membantu


menegakkan kesimpulan ada atau tidaknya kekerasan berulang.
Luka-luka terkadang memperlihatkan luka yang tidak sama
usianya, misalnya terdapat memar yang merah ungu dan memar
lainnya berwarna hijau kekuningan. Keadaan ini menunjukkan
adanya kekerasan yang berulang yang sangat mungkin bukan
akibat kecelakaan Dengan berjalannya waktu, memar akan
berubah warna dari merah ungu menjadi kehijauan, coklat
kekuningan dan akhirnya hilang. Satuan waktu yang dibutuhkan
untuk masing-masing perubahan warna tersebut sangat
bergantung kepada intensitas memar itu sendiri. Pada umumnya
apabila memar telah dikelilingi warna kuning menunjukkan
bahwa memar telah berumur setidaknya 18 jam.
Beberapa luka menunjukkan ciri khas akibat kekerasan
yang bukan akibat kecelakaan. Luka-luka seperti tramline
hematome, luka dengan bentuk dan pola tertentu yang khas, luka
bakar akibat sundutan rokok, dan memar berbentuk telapak
tangan, adalah sebagian contohnya.. Hal sama juga bisa

32
ditemukan dalam bentuk luka lecet, luka terbuka dan bahkan
patah tulang, yang terlihat dari perbedaan masa
penyembuhannya Luka lecet tekan hanya terlihat dengan baik
pada korban yang telah meninggal oleh karena terjadi
pengeringan epidermis, sedangkan pada korban hidup tidak
terlihat dengan jelas oleh karena pengeringan dicegah dengan
adanya perfusi jaringan. Luka lecet tekan biasanya diakibatkan
oleh benda tumpul yang permukaannya relatif rata dan relatif
lunak dengan gaya yang relatif ringan. Bentuk luka lecet tekan
juga dapat memperlihatkan bentuk permukaan kontak benda
penyebabnya. Luka lecet geser diakibatkan oleh geseran benda
tumpul dengan permukaan yang relatif tidak rata. Luka terbuka
(vulnus apertura) harus dapat dibedakan antara:21
1) Luka terbuka akibat kekerasan tajam (vulnus scissum)
dengan memperlihatkan ciri-ciri luka dengan bentuk seperti
garis lurus atau lengkung, tepi luka atau dinding luka yang
rata, dan pada sekitar lukanya tidak ditemukan lecet atau
memar. Apabila terjadi di daerah berambut maka besar
kemungkinan terlihat adanya folikel rambut yang terpotong
rata.
2) Luka terbuka akibat kekerasan tumpul (vulnus laceratum)
menunjukkan ciri-ciri luka sebaliknya, dan seringkali masih
terlihat adanya jembatan jaringan (ikat) yang
menghubungkan kedua tepi/dinding luka.

Hal penting lainnya adalah bahwa bukti adanya


kekerasan tersebut harus relevan dengan keterangan yang
diberikan oleh saksi korban. Suatu luka memar atau lecet kecil
di daerah pipi, leher, pergelangan tangan atau paha mungkin
tidak khas dan tidak bermakna dari segi kedokteran, namun
bermakna bagi hukum apabila relevan dengan riwayat terjadinya

33
peristiwa, seperti ditampar, dicekik, dipegangi dengan keras atau
dipaksa diregangkan pahanya (pada kasus kejahatan seksual).
Adanya sindroma mental tertentu dapat mendukung relevansi
temuan bukti fisik tersebut dari sisi psikologis.
Pemeriksaan status tumbuh kembang dan status gizi anak
sangat relevan dalam upaya menegakkan ada atau tidaknya
penelantaran. Beberapa pengukuran dan parameter dapat
digunakan sebagai alat ukurnya.9

b. Pemeriksaan fisik pada korban kekerasan seksual


Dalam hal kekerasan seksual yang diduga terjadi, maka
pemeriksaan anogenital yang teliti dan pemeriksaan laboratorik
harus dilakukan sesuai dengan prosedur baku pemeriksaan.
Ditemukannya memar, lecet dan atau laserasi di sekitar
kemaluan, seperti di daerah vulva, vagina dan selaput dara, dapat
membawa kita kepada kesimpulan bahwa cedera tersebut adalah
sebagai tanda kekerasan. Perlu diingat bahwa daerah yang paling
sering mengalami cedera adalah daerah posterior fourchette,
selaput dara, fosa naviculare dan labium minus. Cedera yang
sering terlihat adalah memar, lecet, laserasi dangkal, dan
robekan selaput dara.
Dalam hal tanda kekerasan tersebut terletak di daerah
yang lebih “dalam” seperti di selaput dara atau vagina, maka
dapat ditarik kesimpulan bahwa kemungkinan besar atau hampir
pasti telah terjadi penetrasi (dengan pengertian bahwa penetrasi
tersebut tidak harus berupa penetrasi lengkap, dan tidak harus
oleh penis).
Memang harus diakui bahwa masih ada kelemahan dari
kesimpulan ini, yaitu kita tidak dapat memastikan kapan
terjadinya kekerasan tersebut – apalagi bila cedera tersebut
adalah cedera “lama”. Robekan selaput dara yang telah berusia

34
lebih dari lima hari umumnya memiliki ciri yang sama dengan
robekan lama lainnya.
Sebaliknya, tidak ditemukannya tanda kekerasan di atas
tidak dapat langsung diartikan bahwa tidak pernah ada
kekerasan. Hal ini disebabkan oleh sifat dari kekerasan tersebut,
jarak waktu antara saat kekerasan dengan saat pemeriksaan, dan
tindakan terapi yang pernah diberikan. Demikian pula tidak
ditemukannya tanda penetrasi tidak berarti bahwa tidak pernah
terjadi penetrasi atau persetubuhan. Hal ini sebagai akibat dari
penetrasi yang hanya sebagian, penetrasi oleh benda yang
ukurannya “terlalu” kecil, atau selaput dara elastis sehingga
tidak robek meskipun telah terjadi penetrasi. Ditemukannya sel
sperma di dalam sediaan yang diambil dari vagina membawa
kita kepada kesimpulan pasti bahwa korban telah bersetubuh
atau disetubuhi.
Demikian pula bila ditemukan hasil positif pada uji
fosfatase asam (berubah warna dalam waktu kurang dari 30
detik), uji kristal (Berberio dan Florence) dan uji PAN (kadar
Zn), menunjukkan adanya cairan mani.
Namun demikian identitas si pelaku belum dapat
ditentukan sebelum dilakukan pemeriksaan DNA dari sel sperma
dan pemeriksaan DNA dari si tersangka pelaku, serta
pembandingan keduanya.
Sebaliknya, tidak ditemukannya sel sperma atau cairan
mani tidak berarti bahwa tidak pernah terjadi persetubuhan. Hal
ini sebagai akibat dari jarak waktu antara saat persetubuhan
dengan saat pemeriksaan, atau persetubuhan tanpa ejakulasi,
persetubuhan dengan kondom, dan pencucian pasca
persetubuhan. Bahkan literatur mengatakan bahwa sel sperma
hanya ditemukan pada 50% dari seluruh pemeriksaan medis
yang dilakukan segera setelah terjadi perkosaan.

35
Penelitian awal menunjukkan bahwa pemeriksaan
adanya DNA laki-laki di dalam vagina ternyata lebih sensitif dan
lebih akurat dalam memastikan adanya persetubuhan ditujukan
untuk menemukan ada atau tidaknya salah satu penyakit akibat
hubungan seksual, yaitu misalnya Gonorrhoe. Penyakit GO ini
adalah penyakit yang paling sering tertularkan dari suatu
hubungan seksual (1:30). Apabila ditemukan adanya penyakit
ini maka dokter dapat menyimpulkan bahwa kemungkinan besar
memang telah terjadi persetubuhan, dan dokter akan
memberikan pengobatan.
Adanya kuman GO ekstrasel saja menunjukkan bahwa
pasien relatif baru terinfeksi, sedangkan adanya kuman GO
intrasel menunjukkan waktu infeksi yang lebih lama. Sebaiknya
diagnostik GO ditegakkan melalui pemeriksaan kultur. Penyakit
akibat hubungan seksual lainnya tidak rutin diperiksa oleh
karena frekuensi terjadinya di dalam masyarakat yang sangat
rendah, sehingga hanya akan dilakukan apabila terdapat indikasi
ke arah hal tersebut.9

2.5.4 Tatalaksana dan Rujukan


Penatalaksanaan Medis
Prinsip penatalaksanaan medis pada kasus kekerasan pada
anak adalah sebagai berikut:9
a. Tangani kegawatdaruratan yang mengancam nyawa
b. Tangani luka sesuai dengan prosedur
c. Bila dicurigai terdapat patah tulang, lakukan rontgen dan
penanganan yang sesuai
d. Bila dicurigai terdapat perdarahan dalam, lakukan USG atau
rujuk
e. Dengarkan dan beri dukungan pada anak, sesuai panduan
konseling

36
f. Pastikan keamanan anak
g. Periksa dengan teliti, lakukan rekam medis, dan berikan surat-
surat yang diperlukan.
h. Buatkan VeR bila ada permintaan resmi dari polisi (surat resmi
permintaan VeR harus diantar polisi).
i. Informasikan dengan hati-hati hasil temuan pemeriksaan dan
kemungkinan dampak yang terjadi, kepada anak dan keluarga
serta rencana tindak lanjutnya.
j. Pada anak yang mempunyai status gizi buruk atau kurang
diberikan makanan tambahan dan konseling gizi kepada orang
tua/keluarga.

Penatalaksanaan medis pada kasus kekerasan seksual pada


anak sama seperti pada kasus kekerasan fisik, dengan beberapa
tambahan:13
a. Mencegah kehamilan (bila perlu)
b. Berikan Kontrasepsi Darurat (Kondar) apabila kejadian
perkosaan belum melebihi 72 jam.
c. Periksa, cegah dan obati infeksi menular seksual atau rujuk ke
Rumah Sakit.
d. Berikan konseling untuk pemeriksaan HIV/AIDS dalam 6-8
minggu atau rujuk bila perlu.

Rujukan
Rujukan berupa:9
a. Rujukan medis: dilakukan dari puskesmas ke Rumah Sakit
Umum Daerah (RSUD) atau Rumah Sakit Bhayangkara
b. Rujukan non medis: dilakukan untuk memperoleh bantuan
pendampingan psikososial dan bantuan hukum antara lain ke
P2TP2A, Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (UPPA),

37
rumah aman/shelter atau Rumah Perlindungan Sosial Anak
(RPSA) atau Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA).

Penanganan rujukan non medis di rumah sakit: dilakukan


melalui pelayanan terpadu atau one stop service atau pusat
pelayanan terpadu (PPT) atau pusat krisis terpadu.9

Pencatatan dan Pelaporan


Semua kasus ditangani di puskesmas dan rumah sakit dicatat
pada rekam medis. Hasil pelaksanaan kegiatan pelayanan KtA baik
di puskesmas maupun rumah sakit dicatat pada format register dan
dilaporkan secara berjenjang sesuai format yang tersedia pada buku
Pedoman Pengembangan Puskesmas Mampu Tatalaksana KtP/A.13

Pembuatan Visum et Repertum (VeR)


Visum et Repertum (VeR) dibuat atas permintaan dari
penyidik Polri melalui surat resmi yang ditandatangani minimal oleh
Kepala Kepolisian Sektor. Surat permintaan VeR tersebut harus
diantar oleh petugas kepolisian dan hasilnya diserahkan langsung
kepada penyidik. Salinan VeR tidak boleh diserahkan kepada
siapapun. Selain penyidik POLRI, Instansi lain yang berwenang
meminta VeR adalah Polisi Militer, hakim, jaksa penyidik dan jaksa
penuntut umum.9
Sebelum tindakan pemeriksaan untuk pembuatan VeR, perlu
dibuatkan informed consent. Apabila korban menolak untuk
diperiksa maka hendaknya dokter meminta pernyataan tertulis
secara singkat penolakan tersebut dari korban disertai alasannya atau
bila hal itu tidak mungkin dilakukan, agar mencatatnya didalam
rekam medis.9

Kewajiban memberikan informasi

38
Kekerasan terhadap anak merupakan tindak pidana yang
melanggar hak asasi manusia yang apabila dibiarkan akan
memberikan dampak negatif bagi kesehatan dan tumbuh kembang
anak serta mengancam kualitas hidup dan masa depannya. Tenaga
kesehatan sebagai salah satu unsur pemerintah ikut
bertanggungjawab terhadap upaya penyelenggaraan perlindungan
anak. Selain itu tenaga kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan
seringkali menjadi tangan pertama yang menerima korban kekerasan
terhadap anak dan memiliki potensi untuk mencegah atau
memperkecil dampak negatif terhadap kesehatan anak, baik fisik
maupun mental, serta aspek hukum dan sosial, sehingga pelayanan
yang dilakukan melalui pendekatan multidisiplin. Agar anak korban
KtA memperoleh pelayanan secara komprehensif, maka tenaga
kesehatan dibawah tanggungjawab pimpinan fasilitas pelayanan
kesehatan mempunyai kewajiban melapor dugaan kasus kekerasan
terhadap anak.9

39
BAB III
KESIMPULAN

Kekerasan adalah penggunaan kekuatan fisik dan kekuasaan, ancaman atau


tindakan terhadap diri sendiri, perorangan atau sekelompok orang atau masyarakat
yang mengakibatkan memar / trauma hingga kematian. Bukti fisik kekerasan terdiri
dari dua tipe: bukti fisik dan laboratorium. Bukti-bukti ini harus dikumpulkan dan
diperiksa dengan hati-hati agar tidak mengaburkan pelaku tindak pidana. Dalam
memberikan pelayanan kesehatan kepada korban, tenaga kesehatan harus
memeriksa kesehatan korban sesuai dengan standar profesinya, membuat laporan
tertulis dan visum et repertum atas permintaan penyidik kepolisian atau surat
keterangan medis yang memiliki kekuatan hukum yang sama sebagai alat bukti.
Hasil pemeriksaan korban dituangkan dalam visum et repertum yang berguna untuk
pembuktian adanya tindakan kekerasan yang dialami korban sebagai alat bukti surat
ataupun sebagai keterangan ahli apabila dokter tersebut diminta hadir di
persidangan.

40
DAFTAR PUSTAKA
1. WHO. Definition and Typology of Violence [Internet]. WHO. 2021 [cited
2021 Oct 1]. Available from:
https://www.who.int/violenceprevention/approach/definition/en/
2. KEMENKUMHAM. Salinan Presiden Republik Indonesia Undang-Undang
Republik Indonesia No. 5 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 15 Tahun 2oo3 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2oo2 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang [Internet].
KEMENKUMHAM. 2018 [cited 2021 Oct 5]. Available from:
https://jdih.kemenkopmk.go.id/sites/default/files/2019-08/UU Nomor 5
Tahun 2018.pdf
3. Purwanti SH. Kekerasan pada Anak dan Wanita. Jakarta: Rayyana
Komunikasindo;
4. KBBI. Arti kata perempuan - Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
Online [Internet]. KBBI. 2021 [cited 2021 Oct 5]. Available from:
https://kbbi.web.id/perempuan
5. KEMENKUMHAM. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak [Internet]. KEMENKUMHAM.
2002 [cited 2021 Oct 5]. Available from:
https://jdihn.go.id/files/4/2002uu023.pdf
6. Harnoko BR. Dibalik Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan. Muwazah.
2010;2(1):181–8.
7. Jayani DH. Hampir 300 Ribu Kasus Kekerasan terhadap Perempuan
Terjadi pada 2020 | Databoks [Internet]. 2021 [cited 2021 Oct 5]. Available
from: https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/03/12/hampir-300-
ribu-kasus-kekerasan-terhadap-perempuan-terjadi-pada-2020
8. Said A, Budiati I, Ayuni S. Statistik Gender Tematik-Mengakhiri
Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak di Indonesia. Jakarta:
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Badan
Pusat Statistik; 2017.

41
9. Kementerian Kesehatan. Peraturan Menteri Kesehatan No. 68 Tahun 2013
tentang Kewajiban Pemberi Layanan Kesehatan Untuk Memberikan
Informasi Atas Adanya Dugaan Kekerasan Terhadap Anak. Jakarta
[Internet]. Kementerian Kesehatan. 2013 [cited 2021 Oct 5]. Available
from: https://kesga.kemkes.go.id/assets/file/pedoman/PMK No. 68 ttg
Kewajiban Memberikan Informasi Kekerasan Terhadap Anak.pdf
10. Widiastuti TW. Perlindungan Bagi Wanita. Wacana Huk. 2008;VII(1):30–
42.
11. KemenPPPA. Waspada Bahaya Kekerasan dalam Pacaran. 2018.
12. DPR RI. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004
tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. 2004.
13. Mia Amalia. Kekerasan Perempuan Dalam Perspektif Hukum Dan
Sosiokultural. J Wawasan Huk. 2011;25(1):399–411.
14. KemenPPPA. Perempuan Rentan Jadi Korban KDRT, Kenali Faktor
Penyebabnya. 2018.
15. Puspitasari CD. Perempuan dan Kekerasan dalam Rumah Tangga. 2014;
16. DPR RI. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Indonesia; 1945.
17. Kania D. Hak Asasi Perempuan dalam Peraturan Perundang-Undangan Di
Indonesia The Rights of Women in Indonesian. Fak Syariah dan Hukum,
UIN Syarif Hidayatullah. 2015;
18. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
19. Peraturan Presiden RI. Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 65
Tahun 2005 tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap
Perempuan. Indonesia;
20. Prawestiningtyas E. KEKERASAN PADA ANAK DAN ASPEK
MEDIKOLEGAL. In: Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahunan 2017
Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia. Pekanbaru: Perhimpunan Dokter
Forensik Indonesia; 2017. p. 15–6.
21. Anjari W. Fenomena Kekerasan Sebagai Bentuk Kejahatan. E-Journal
WIDYA Yust. 2014;1(1):45–51.

42
43

Anda mungkin juga menyukai