Disusun Oleh:
Pembimbing:
dr. Indra Syakti Nasution, Sp.FM
DEPARTEMEN FORENSIK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
2021
HALAMAN PENGESAHAN
Referat
Judul:
KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK
Oleh:
Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik di Departemen Forensik Fakultas Kedokteran Universitas
Sriwijaya RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang periode 23 September – 9
Oktober 2021.
ii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul “Kekerasan
Terhadap Perempuan dan Anak”. Referat ini disusun sebagai salah satu tugas dalam
kepaniteraan klinik di Departemen Forensik Fakultas Kedokteran Universitas
Sriwijaya RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Indra Syakti Nasution,
Sp.FM, selaku pembimbing referat ini yang telah memberikan bimbingan dan
nasihat dalam penyusunan telaah ilmiah ini.
Penulis menyadari bahwa referat ini masih memiliki banyak kekurangan.
Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun
agar referat ini menjadi lebih baik. Harapan penulis semoga referat ini bisa
membawa manfaat bagi semua orang dan dapat digunakan dengan sebaik-baiknya.
Penulis
iii
DAFTAR ISI
iv
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Sebaran kekerasan terhadap anak menurut jenis kekerasan, 2016 .................. 17
2. Jumlah kasus kekerasan terhadap anak menurut jenis kelamin dan jenis
kekerasan yang dialami, 2016 ......................................................................... 17
v
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2
dalam lingkungan keluarga atau masyarakat.6 Dalam Deklarasi PBB tahun
1993, kekerasan terhadap perempuan dirumuskan dalam Pasal 1 Deklarasi
Penghapusan Kekerasan.7
Terhadap Perempuan 1993 sebagai setiap tindakan berdasarkan
perbedaan jenis kelamin yang berakibat atau mungkin berakibat
kesengsaraan atau penderitaan terhadap wanita secara fisik, seksual atau
psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau
perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di
depan umum atau dalam kehidupan pribadi.
Definisi kekerasan terhadap anak menurut WHO mencakup semua
bentuk perlakuan yang salah baik secara fisik dan/atau emosional, seksual,
penelantaran, dan eksploitasi yang berdampak atau berpotensi
membahayakan kesehatan anak, perkembangan anak, atau harga diri anak
dalam konteks hubungan tanggung jawab.8 Kekerasan terhadap Anak yang
selanjutnya disingkat KtA adalah semua bentuk tindakan/perlakuan yang
menyakitkan secara fisik, psikis, seksual atau penelantaran, yang
mengakibatkan atau dapat mengakibatkan cidera/kerugian nyata terhadap
kesehatan anak, kelangsungan hidup anak, tumbuh kembang anak atau
martabat anak.9
3
Dalam Deklarasi PBB tahun 1993, kekerasan terhadap
perempuan dirumuskan dalam Pasal 1 Deklarasi Penghapusan
Kekerasan Terhadap Perempuan 1993 sebagai setiap tindakan
berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat atau mungkin
berakibat kesengsaraan atau penderitaan terhadap wanita secara
fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu,
pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-
wenang, baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan
pribadi.10
Kekerasan dalam rumah tangga merupakan salah satu bagian
dari kekerasan terhadap perempuan. Menurut Undang-Undang RI
No. 23 Tahun 2004, yang dimaksud dengan kekerasan dalam rumah
tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama
perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau
penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan atau penelantaran
rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,
pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum
dalam lingkup rumah tangga. Tindakan kekerasan terhadap istri
dalam rumah tangga merupakan salah satu bentuk kekerasan yang
seringkali terjadi pada perempuan. Tindakan ini seringkali dikaitkan
dengan penyiksaan baik fisik maupun psikis yang dilakukan oleh
orang yang mempunyai hubungan yang dekat.6
4
Kekerasan fisik juga didefinisikan dalam undang-undang yakni
UU No. 23 Tahun 2004 mengenai Penghapusan Kekerasan
dalam Rumah Tangga dimana pemerintah menjelaskan bahwa
kekerasan fisik meliputi tindakan yang mengakibatkan rasa
sakit, jatuh sakit, atau luka berat pada orang lain.12
b. Kekerasan Psikis/Emosional
Kekerasan secara emosional seringkali tidak menimbulkan
luka secara fisik, tetapi dapat berdampak buruk pada kondisi
mental korban. Selain itu, kondisi mental juga tentu dapat
mempengaruhi seluruh kehidupan korban, pemikiran korban,
dan bahkan dapat membuat korban merasakan sakit secara fisik.
Menurut KemenPPPA (2018) kekerasan emosional meliputi
tindakan mengancam atau memanggil dengan sebutan yang
mempermalukan, menjelek-jelekan.11
UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
dalam Rumah Tangga pada Bab III Pasal 7 mendefinisikan
kekerasan psikis sebagai perbuatan yang mengakibatkan
ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan
untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis
berat pada seseorang.12
c. Kekerasan Seksual
Menurut KemenPPPA (2018) kekerasan seksual yang
diterima perempuan berupa tindakan memeluk, mencium,
meraba hingga memaksa untuk melakukan hubungan seksual
dibawah ancaman.11 Kemudian, UU No. 23 Tahun 2004 dalam
Bab III Pasal 8 menyatakan bahwa kekerasan seksual meliputi:12
1) Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap
orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut.
2) Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam
lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan
komersial dan/atau tujuan tertentu.
5
d. Kekerasan Ekonomi
Menurut UU No. 23 Tahun 2004 menyatakan bahwa setiap
orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah
tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau
karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan
kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang
tersebut.12
6
dan/atau seksual dibandingkan perempuan yang menikah secara
resmi diakui negara melalui catatan sipil atau KUA.
Selain itu, faktor seringnya bertengkar dengan suami,
perempuan dengan faktor ini beresiko 3,95 kali lebih tinggi
mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual, dibandingkan yang
jarang bertengkar dengan suami/pasangan. Perempuan yang
sering menyerang suami/pasangan terlebih dahulu juga beresiko
6 kali lebih besar mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual
dibandingkan yang tidak pernah menyerang suami/pasangan
lebih dahulu.14
b. Faktor pasangan
Perempuan yang suaminya memiliki pasangan lain
berisiko 1,34 kali lebih besar mengalami kekerasan fisik
dan/atau seksual dibandingkan perempuan yang suaminya tidak
mempunyai istri/pasangan lain. Begitu juga dengan perempuan
yang suaminya berselingkuh dengan perempuan lain cenderung
mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual 2,48 kali lebih besar
dibandingkan yang tidak berselingkuh.
Disamping itu, ada pula perempuan yang memiliki suami
menggangur beresiko 1,36 kali lebih besar mengalami kekerasan
fisik dan/atau seksual dibandingkan yang pasangannya
bekerja/tidak menganggur. Faktor suami yang pernah minum
miras, perempuan dengan kondisi suami tersebut cenderung 1,56
kali lebih besar mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual
dibandingkan yang suaminya tidak pernah minum miras.
Perempuan dengan suami pengguna narkotika beresiko
mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual 2 kali lebih besar
dibandingkan yang tidak pernah menggunakan narkotika.14
c. Faktor ekonomi
Perempuan yang berasal dari rumahtangga dengan tingkat
kesejahteraan yang semakin rendah cenderung memiliki risiko
7
yang lebih tinggi untuk mengalami kekerasan fisik dan/atau
seksual oleh pasangan. Aspek ekonomi merupakan aspek yang
lebih dominan menjadi faktor kekerasan pada perempuan
dibandingkan dengan aspek pendidikan. Hal ini paling tidak
diindikasikan oleh pekerjaan pelaku yang sebagian besar adalah
buruh, dimana kita tahu bahwa tingkat upah buruh di Indonesia
masih tergolong rendah dan hal ini berdampak pada tingkat
kesejahteraan rumahtangga.14
d. Faktor sosial budaya
Seperti timbulnya rasa khawatir akan bahaya kejahatan
yang mengancam. Perempuan yang selalu dibayangi
kekhawatiran ini memiliki risiko 1,68 kali lebih besar
mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual oleh pasangan,
dibandingkan mereka yang tidak merasa khawatir. Perempuan
yang tinggal di daerah perkotaan memiliki risiko 1,2 kali lebih
besar mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual oleh pasangan
dibandingkan mereka yang tinggal di daerah perdesaan.14
8
(misalnya ketergantungan secara ekonomi). Seringkali pilihan
menempuh jalur hukum pun merupakan alternatif pilihan yang sulit
karena adanya ketergantungan tersebut. Akibat lain dari kekerasan
dalam perempuan adalah stress, depresi, rasa takut, trauma, cacat
fisik, perceraian, bahkan kematian.15
Kekerasan yang terjadi pada istri dapat pula melahirkan
kekerasan lanjutan. Anak dapat menjadi korban kekerasan dalam
rumah tangga baik itu secara langsung oleh si pelaku maupun
menjadi korban kedua (lanjutan) atas kekerasan dalam rumah tangga
yang dialami oleh si korban pertama. Misalnya, suami melakukan
kekerasan pada istri dan kemudian istri melampiaskan kekerasan
tersebut pada si anak. Pada anak, selain berdampak pada kondisi
psikologis (traumatik), dalam jangka panjang dapat berdampak pula
pada munculnya kecenderungan untuk menjadi pelaku kekerasan
dalam rumah tangga di masa yang akan datang. Proses tumbuh
kembang anak tentu menjadi terganggu.15
9
UU ini mengartikan HAM sebagai, “...seperangkat hak
yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai
makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya
yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh
negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan
serta perlindungan harkat dan martabat manusia” (Pasal 1 ayat
(1)). Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 3 ayat (3) menjelaskan bahwa
diskriminasi berdasarkan jenis kelamin telah dilarang oleh
hukum.17
10
4) Memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan
sejahtera
Pasal 2118
(1) Dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada korban,
tenaga kesehatan harus :
a. Memeriksa kesehatan korban sesuai dengan standar
profesinya
b. Membuat laporan tertulis hasil pemeriksaan terhadap
korban dan visum et repertum atas permintaan penyidik
kepolisian atau surat keterangan medis yang memiliki
kekuatan hukum yang sama sebagai alat bukti.
(2) Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat
dilakukan di sarana kesehatan milik pemerintah, pemerintah
daerah, atau masyarakat.
Pasal 3918
Untuk kepentingan pemulihan, korban dapat memperoleh
pelayanan dari:
a. Tenaga kesehatan;
b. Pekerja sosial;
c. Relawan pendamping; dan/atau
d. Pembimbing rohani.
Pasal 4018
(1) Tenaga kesehatan wajib memeriksa korban sesuai dengan
standar profesinya.
(2) Dalam hal korban memerlukan perawatan, tenaga kesehatan
wajib memulihkan dan merehabilitasi kesehatan korban.
Pasal 4218
Dalam rangka pemulihan terhadap korban, tenaga kesehatan,
pekerja sosial, relawan pendamping dan/atau pembimbing
rohani dapat melakukan kerja sama.
11
d. Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2005 tentang Komisi Nasional
Anti Kekerasan terhadap Perempuan
Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2005 tentang Komisi
Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan yang selanjutnya
disebut sebagai Perpres Komnas Perempuan ialah merupakan
penyempurnaan Keputusan Presiden No. 181 Tahun 1998
tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan.
Perpres Komnas Perempuan Pasal 24 telah mencabut dan
menyatakan tidak berlaku Keppres No. 181 Tahun 1998 tentang
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan.
Komnas Perempuan ini dibentuk berdasarkan prinsip
negara hukum yang menyadari bahwa setiap bentuk kekerasan
terhadap perempuan merupakan salah satu bentuk pelanggaran
atas hak-hak asasi manusia sehingga dibutuhkan satu usaha
untuk mencegah dan menanggulangi terjadinya kekerasan
terhadap perempuan.19
e. KUHP
Substansi hukum yang terkait dengan kekerasan terhadap
perempuan dapat dilihat dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP). Dalam KUHP terdapat beberapa Pasal yang
terkait secara Langsung dan dapat dikualifikasikan sebagai
tindak kekerasan fisik terhada perempuan yaitu Pasal 351
sampai dengan Pasal 356 KUHP.
Pasal 351 KUHP18
(1) Penganiayaan dihukum dengan hukuman penjara selama-
lamanya dua tahun delapan bulan atau denda sebanyak-
banyaknya Rp. 4500,-
(2) Jika perbuatan itu menjadikan luka berat, sitersalah
dihukum penjara selama-lamanya lima tahun.
12
(3) Jika perbuatan itu menjadikan mati orangnya, dia dihukum
penjara selama-lamanya tujuh tahun.
(4) Dengan penganiayaan disamakan merusak kesehatan orang
dengan sengaja.
(5) Percobaan melakukan kejahatan ini tidak dapat dihukum.
Pasal 352 KUHP18
(3) Selain dari pada apa yang tersebut dalam pasal 353 dan 356,
maka penganiayaan yang tidak menjadikan sakit atau
halangan untuk melakukan jabatan atau pekerjaan sebagai
penganiayaan ringan, dihukum penjara selama-lamanya
tiga bulan atau dengan sebanyak-banyaknya Rp. 4.500,–.
Hukuman ini boleh ditambah dengan sepertiganya, bila,
kejahatan itu dilakukan terhadap orang yang bekerja
padanya atau yang ada dibawah perintahnya.
(4) Percobaan melakukan kejahatan ini tidak dapat dihukum.
Pasal 353 KUHP18
(1) Penganiayaan yang dilakukan dengan direncanakan
terlebih dahulu dihukum penjara selama-lamanya empat
tahun.
(2) Jika perbuatan itu menjadikan luka berat, sitersalah
dihukum penjara selama-lamanya tujuh tahun.
(3) Jika perbuatan itu menjadikan kematian orangnya ia
dihukum penjara selama-lamanya sembilan tahun.
Pasal 354 KUHP18
(2) Barang siapa dengan sengaja melukai berat orang lain,
diancam karena melakukan penganiayaan berat dengan
pidana penjara paling lama delapan tahun.
(3) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian yang bersalah
diancam dengan pidana penjara paling lama Sembilan
tahun.
Pasal 355 KUHP18
13
(3) Penganiayaan berat yang dilakukan dengan rencana
terlebih dahulu, diancam dengan pidana penjara paling
lama dua belas tahun.
(4) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah
diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas
tahun.
Pasal 356 KUHP18
Pidana yang ditentukan dalam pasal 351, 353, 354 dan 355 dapat
ditambah dengan sepertiga:
(1) bila kejahatan itu dilakukan terhadap ibunya, ayahnya yang
sah, istrinya atau anaknya.
(2) bila kejahatan itu dilakukan terhadap Seorang pejabat
ketika atau karena menjalankan tugasnya yang sah.
(3) bila kejahatan itu dilakukan dengan memberikan bahan
yang berbahaya bagi nyawa atau kesehatan untuk dimakan
atau diminum.
14
2.3.2 Bentuk Kekerasan Terhadap Anak
Beberapa jenis kekerasan terhadap anak menurut PMK no.68
tahun 2013, yaitu:9
a. Kekerasan Fisik
Kekerasan yang mengakibatkan cedera fisik nyata
ataupun potensial terhadap anak sebagai akibat dari interaksi
atau tidak adanya interaksi yang layaknya ada dalam kendali
orangtua atau orang dalam hubungan posisi tanggung jawab,
kepercayaan atau kekuasaan. Anak korban KtA berupa
kekerasan fisik dapat diduga dengan ditemukannya luka atau
cedera pada tubuh anak yang menurut ciri, letak dan sifatnya
bukan akibat suatu kecelakaan.9
b. Kekerasan Psikis/Emosional
Suatu perbuatan terhadap anak yang mengakibatkan atau
sangat mungkin akan mengakibatkan gangguan kesehatan atau
perkembangan fisik, mental, spiritual, moral dan sosial.
Kekerasan psikis dapat berupa pembatasan gerak, sikap tindak
yang meremehkan, mencemarkan, mengkambinghitamkan,
mengancam, menakut-nakuti, mendiskriminasi, mengejek atau
menertawakan anak, atau perlakuan kasar lain atau penolakan.9
Anak korban kekerasan terhadap anak berupa kekerasan
dapat diduga dengan ditemukannya riwayat kekerasan psikis,
perubahan emosi dan perilaku serta terhambatnya perkembangan
fungsi fisik mental dan sosial.9
c. Kekerasan seksual
Perlibatan anak dalam kegiatan seksual, dimana ia sendiri
tidak sepenuhnya memahami atau tidak mampu memberi
persetujuan, yang ditandai dengan adanya aktivitas seksual
antara anak dengan orang dewasa atau anak lain dengan tujuan
untuk memberikan kepuasan bagi orang tersebut.9
15
Anak korban kekerasan terhadap anak berupa kekerasan
seksual dapat diduga dengan ditemukannya riwayat dan/atau
tanda penetrasi, persetubuhan, pengakuan adanya pelecehan
seksual atau bentuk kekerasan seksual lainnya.9
d. Penelantaran
Kegagalan dalam menyediakan segala sesuatu yang
dibutuhkan untuk tumbuh kembang anak yang bukan disebabkan
oleh karena keterbatasan sumber daya. Penelantaran anak dapat
berupa kegagalan dalam memenuhi kebutuhan kesehatan,
pendidikan, perkembangan emosional, nutrisi, rumah atau
tempat bernaung, serta keadaan hidup yang aman dan layak.9
Anak korban kekerasan terhadap anak berupa
penelantaran dapat diduga dengan ditemukannya riwayat
dan/atau tanda penelantaran.3
e. Eksploitasi, penghilangan kemerdekaan, perdagangan orang
(trafficking)
Anak korban tindakan eksploitasi, penghilangan
kemerdekaan, dan perdagangan orang dapat diduga berdasarkan
adanya riwayat yang dapat dikuatkan dengan hasil penilaian
psiko-sosial anak.9
Anak korban tindakan eksploitasi, penghilangan
kemerdekaan, dan perdagangan orang yang telah meninggal
dapat diduga dari hasil pemeriksaan luar dan/atau bedah mayat
dengan atau tanpa pemeriksaan penunjang.9
16
kasus. Jenis kasus kekerasan anak lain yang persentasenya cukup
besar adalah kasus penelantaran yaitu sekitar 7 persen.8
17
sementara kekerasan terhadap anak laki-laki didominasi kekerasan
fisik.8
18
seperti halnya pada kekerasan terhadap perempuan, dampak dari
kekerasan terhadap anak dan masyarakat secara umum bisa serius
dan membahayakan baik dalam jangka pendek maupun jangka
panjang.8
Menurut Violence Prevention Initiative (2009), kekerasan
yang dialami oleh anak dalam berbagai jenisnya akan memengaruhi
perkembangan kognitif, social, emosional dan fisik anak. Violence
Prevention Initiative (2009) mencoba memahami kekerasan yang
terjadi pada anak dengan melihat dampak yang diakibatkan dari
setiap jenis kekerasan. Secara lebih detil, dampak dari kekerasan
yang terjadi untuk setiap jenis kekerasan dapat dilihat dari berbagai
tanda atau ciri-ciri sebagai berikut:8
a. Kekerasan fisik
1) Adanya luka lebam, bekas gigitan atau patah tulang yang
tidak terjelaskan
2) Sering tidak masuk sekolah
3) Cedera tetapi sering ditutup-tutupi
4) Tampak ketakutan ketika ada kehadiran orang tertentu
5) Sering lari dari rumah
b. Kekerasan seksual
1) Sering mimpi buruk
2) Adanya perubahan nafsu makan anak
3) Memperlihatkan kurang rasa percaya pada seseorang
4) Perubahan yang tiba-tiba pada kepribadian anak
c. Kekerasan emosional
1) Anak memperlihatkan perilaku yang ekstrim
2) Perkembangan fisik dan emosional anak lambat
3) Anak sering complain sakit kepala atau perut sakit karena
alasan yang tidak jelas
4) Anak terlihat frustasi ketika mengerjakan tugas
5) Anak mencoba bunuh diri
19
d. Penelantaran anak
1) Tidak masuk sekolah tanpa keterangan
2) Anak terlibat dalam kegiatan ilegal untuk memperoleh
kebutuhan dasar hidupnya
3) Anak terlihat kotor
4) Anak kekurangan pakaian yang pantas dan tampak tidak
berenergi
e. Anak terpapar kekerasan dalam rumah tangga
1) Meskipun anak tidak mengalami kekerasan, tetapi dia sering
melihat atau menyaksikan kekerasan yang terjadi dalam
rumahtangga, maka dampaknya dapat dilihat pada perubahan
perilaku anak seperti anak terlihat agresif, depresi, suka
marah, dan suka ketakutan.
2) Dampak social dari anak menyaksikan kekerasan bisa berupa
kesulitan dalam bergaul, berpotensi merasa terisolasi dan
terpinggirkan, dan masalah kepercayaan pada seseorang.
3) Selanjutnya dari aspek psikologis, anak yang terpapar
kekerasan dalam rumahtangga bisa berdampak pada stress,
tidur tidak teratur dan trauma.
20
dan sampai kematian. Dalam hubungan dengan aspek hukum, akibat
luka juga tercantum dalam:20
a. KUHP pasal 352, yaitu penganiayaan yang tidak menimbulkan
penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan
atau mata pencaharian (sebagai penganiayaan ringan).
b. KUHP pasal 351:1, yaitu penganiayaan yang menimbulkan
penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan
atau mata pencaharian.
c. KUHP pasal 351:2, yaitu penganiayaan yang menimbulkan luka
berat.
d. KUHP pasal 90 terkait kriteria luka berat.
e. KUHP pasal 338, 340, 355, 359 (mati).
21
3) Kehilangan salah satu panca indera.
4) Mendapat cacat berat
5) Menderita sakit lumpuh
6) Terganggu daya pikir selama 4 minggu lebih
7) Gugur atau matinya kandungan seorang perempuan
22
a. Melakukan informed consent untuk menjelaskan kepada anak
maupun kepada orangtuanya tentang maksud, tujuan, proses dan
lama pemeriksaan serta mendapatkan persetujuan dari anak yang
diduga sebagai korban maupun orangtua.
b. Dalam melakukan pemeriksaan, petugas kesehatan harus
didampingi oleh petugas kesehatan lainnya. Jika anak yang
diduga sebagai korban berjenis kelamin perempuan, sebaiknya
diperiksa oleh petugas kesehatan perempuan dan sebaliknya.
c. Melakukan pemeriksaan fisik secara menyeluruh dengan ramah
dan sopan.
d. Menjalin hubungan yang akrab dan saling percaya antara
petugas kesehatan dan anak yang diduga sebagai korban KtA.
e. Menyiapkan alat bantu seperti boneka, alat gambar dan mainan
untuk berkomunikasi dan menggali data dari anak.
f. Semua hasil pemeriksaan pada kasus KtA merupakan catatan
penting yang harus disimpan dalam rekam medis dan bersifat
rahasia.
23
2) Menilai adanya kemungkinan ketidaksesuaian yang muncul
antara penuturan orang tua/pengantar dan anak dengan
temuan medis.
3) Memperhatikan sikap/perilaku anak yang diduga sebagai
korban dan pengantar, apakah korban terlihat takut, cemas,
ragu-ragu dan tidak konsisten dalam memberikan jawaban.
4) Melengkapi rekam medis dengan identitas dokter pemeriksa,
pengantar, tanggal, tempat dan waktu pemeriksaan serta
identitas korban, terutama umur dan perkembangan seksnya,
tanggal hari pertama haid terakhir dan apakah sedang haid
saat kejadian.
5) Melakukan konfirmasi ulang urutan kejadian, apa yang
menjadi pemicu, penyiksaan apa yang telah terjadi, oleh
siapa, dengan menggunakan apa, berapa kali, apa
dampaknya terhadap anak yang diduga sebagai korban,
waktu dan lokasi kejadian.
6) Menggali informasi tentang :
a) Adakah perubahan perilaku anak setelah mengalami
trauma, seperti ngompol, mimpi buruk, susah tidur, suka
menyendiri, murung, atau agresif.
b) Keadaan kesehatan sebelum trauma.
c) Adakah riwayat trauma seperti ini sebelumnya.
d) Adakah riwayat penyakit dan masalah perilaku
sebelumnya.
e) Adakah faktor-faktor sosial budaya ekonomi yang
berpengaruh terhadap perilaku di dalam keluarga.
7) Jika ditemukan amnesia (organik atau psikogenik) lakukan
konseling atau rujuk jika memerlukan intervensi psikiatrik.
8) Periksa apakah ada tanda-tanda kehilangan kesadaran yang
diakibatkan pemberian NAPZA. Pada kasus kekerasan
24
seksual, tambahkan pertanyaan tentang hal-hal sebagai
berikut :
a) Waktu dan lokasi kejadian, ada tidaknya kekerasan
sebelum kejadian, segala bentuk kegiatan seksual yang
terjadi, termasuk bagian-bagian tubuh yang mengalami
kekerasan, ada tidaknya penetrasi, dengan apa penetrasi
dilakukan.
b) Adanya rasa nyeri, perdarahan dan atau keluarnya cairan
dari vagina.
c) Adanya rasa nyeri dan gangguan pengendalian buang air
besar dan/atau buang air kecil.
d) Apa yang dilakukan korban setelah kejadian kekerasan
seksual tersebut, apakah korban mengganti pakaian,
buang air kecil, membersihkan bagian kelamin dan
dubur, mandi atau gosok gigi.
e) Khusus untuk kasus kekerasan seksual pada remaja,
tanyakan kemungkinan adanya hubungan seksual dua
minggu sebelumnya.
c. Observasi selama melaksanakan anamnesis, lakukan
pengamatan tentang :
1) Adanya keterlambatan yang bermakna antara saat terjadinya
kekerasan dan saat mencari pertolongan medis.
2) Adanya ketidaksesuaian antara tingkat kepedulian orang tua
dengan beratnya trauma yang dialami anak.
3) Adanya interaksi yang tidak wajar antara orangtua/pengasuh
dengan anak, seperti adanya pengharapan yang tidak
realistis, keinginan yang tidak memadai atau perilaku marah
yang impulsif dan tidak menyadari kebutuhan anak.
d. Pemeriksaan fisik
25
1) Memeriksa keadaan umum korban yang meliputi kesadaran
dan tanda-tanda vital.
2) Memperhatikan apakah ada luka lama dan baru yang sesuai
dengan urutan peristiwa kekerasan yang dialami. Suatu
kasus patut diduga sebagai kta bila ditemukan adanya:
a) Memar/jejas di kulit pada daerah yang tidak lazim
terkena kecelakaan seperti pipi, lengan atas, paha,
bokong dan genital.
b) Perlukaan multipel (ganda) dengan berbagai tingkat
penyembuhan; tanda dengan konfigurasi sesuai jari
tangan, tali atau kabel, kepalan, ikat pinggang bahkan
gigi orang dewasa.
c) Patah tulang pada anak usia dibawah tiga tahun, patah
tulang baru dan lama yang ditemukan bersamaan, patah
tulang ganda, patah tulang bentuk spiral pada tulang-
tulang panjang lengan dan tungkai, patah tulang pada
kepala, rahang dan hidung serta patahnya gigi.
d) Luka bakar seperti bekas sundutan rokok, luka bakar
pada tangan, kaki, atau bokong akibat kontak bagian-
bagian tubuh tersebut dengan benda panas, bentuk luka
yang khas sesuai dengan bentuk benda panas yang
dipakai untuk menimbulkan luka tersebut.
e) Cedera pada kepala, seperti perdarahan (hematoma)
subkutan atau subdural, yang dapat dilihat pada foto
rontgen, bercak/area kebotakan akibat tertariknya
rambut, baik yang baru atau berulang.
f) Lain-lain: dislokasi/lepas sendi pada sendi bahu atau
pinggul. Pada kasus kekerasan seksual, perlu
memperhatikan:
(1) Adanya tanda-tanda perlawanan atau kekerasan
seperti pakaian yang robek, bercak darah pada
26
pakaian dalam, gigitan, cakaran, ekimosis,
hematoma dan perhatikan kesesuaian tanda
kekerasan dengan urutan kejadian kekerasan.
Kadang-kadang tanda ini muncul dengan segera atau
setelah beberapa waktu kemudian. Gunting/kerok
kuku korban kanan dan kiri, masukkan dalam amplop
terpisah dan diberi label.
(2) Pemeriksaan ginekologik pada anak perempuan
(hanya dilakukan pemeriksaan luar, sedangkan untuk
pemeriksaan dalam harus dirujuk) :
(a) Rambut pubis disisir, rambut lepas yang
ditemukan mungkin milik pelaku dimasukan ke
dalam amplop. Rambut pubis korban
dicabut/digunting 3-5 helai masukan ke dalam
amplop yang berbeda dan diberi label.
(b) Periksa adanya luka di daerah sekitar paha, vulva
dan perineum.
(c) Catat jenis, lokasi, bentuk, dasar dan tepi luka.
Periksa selaput dara; pada selaput dara tentukan
ada atau tidaknya robekan, robekan baru atau
lama, lokasi robekan tersebut dan teliti apakah
sampai ke dasar atau tidak. Dalam hal tidak
adanya robekan, padahal ada informasi terjadinya
penetrasi, lakukan pemeriksaan besarnya
lingkaran lubang. Pada balita diameter hymen
(selaput dara) tidak lebih dari 5 mm, dan dengan
bertambahnya usia akan bertambah 1 mm. Bila
ditemukan diameter sama atau lebih dari 10 mm,
patut dicurigai sudah terjadi penetrasi oleh benda
tumpul misalnya jari. Pada remaja pemeriksaan
27
dilakukan dengan memasukkan satu jari
kelingking.
Bila kelingking dapat masuk tanpa hambatan
dan rasa nyeri, lanjutkan pemeriksaan dengan
satu jari telunjuk, bila tanpa hambatan, teruskan
dengan jari telunjuk dan jari tengah (2 jari). Bila
dengan 2 jari tanpa hambatan, dicurigai telah
terjadi penetrasi. Bercak kering dikerok dengan
menggunakan skalpel, bercak basah diambil
dengan kapas lidi, dikeringkan pada suhu kamar
dan dimasukkan ke dalam amplop. Pemeriksaan
colok dubur baik pada anak laki-laki maupun
perempuan. Pada balita pemeriksaan dilakukan
dalam posisi menungging (knee-chest position).
Jangan menggunakan anuskop pada anak di
bawah 6 tahun, agar tidak menambah trauma baru
pada anak. Anuskop hanya digunakan sesuai
indikasi (dicurigai ada keluhan, infeksi,
perdarahan dalam).
28
a) Takut akan reaksi keluarga maupun teman-teman,
b) Takut orang lain tidak akan mempercayai
keterangannya,
c) Takut diperiksa oleh dokter pria,
d) Takut melaporkan kejadian yang dialaminya,
e) Takut terhadap pelaku.
f) Takut ditinggal sendirian
g) Reaksi emosional lain, seperti syok, rasa tidak percaya,
marah, malu, menyalahkan diri sendiri, kacau, bingung,
histeris yang menyebabkan sulit tidur (insomnia), hilang
nafsu makan, mimpi buruk, selalu ingat peristiwa itu.
2) Siaga berlebihan (mudah kaget terkejut, curiga)
3) Panik
4) Berduka (perasaan sedih terus menerus)
29
a. Anak korban kekerasan meliputi kekerasan fisik, kekerasan
psikis, kekerasan seksual dan penelantaran.
b. Anak korban dugaan kekerasan fisik memiliki ciri-ciri yaitu luka
atau cedera pada tubuh anak yang bukan akibat suatu
kecelakaan.
c. Anak korban kekerasan psikis dapat diketahui melalui
autoanamnesis atau aloanamnesis tentang adanya riwayat
kekerasan psikis, adanya perubahan ekspresi wajah, sikap dan
perilaku anak sebelum kejadian seperti anak takut berpisah dari
orang tua, menyendiri, tidak mau bergaul, mengompol, mimpi
buruk dan lain-lain.
d. Anak korban dugaan kekerasan seksual dapat diketahui melalui
identifikasi kasus anak yang datang dengan keluhan nyeri atau
pendarahan pada saat buang air kecil atau buang air besar;
riwayat penyakit infeksi menular seksual atau adanya infeksi
berulang (rekuren) pada kemaluan; adanya tanda-tanda
kehamilan pada remaja, ditemukan cairan mani pada semen
disekitar mulut, genitali, anus atau pakaian; gangguan
pengendalian buang air besar dan buang air kecil; adanya
robekan atau bercak darah pada pakaian dalam anak, adanya
cedera atau perlukaan pada buah dada, bokong, perut bagian
bawah, paha, sekitar alat kelamin atau dubur; adanya tanda-
tanda penetrasi dan atau persetubuhan, atau bentuk kekerasan
seksual lainnya.
e. Anak korban penelantaran dapat diketahui melalui adanya
kegagalan tumbuh fisik maupun mental; malnutrisi tanpa dasar
penyakit organik yang sesuai; luka atau penyakit yang dibiarkan
tidak diobati; tidak memperoleh imunisasi dasar; ditemukannya
anak dengan tanda-tanda kulit kotor, rambut kotor, gimbal, tidak
terawat dan berkutu; gigi tidak bersih, bau; keadaan umum
lemah, letargik, dan lelah berkepanjangan.
30
2.5.3 Interpretasi Hasil Pemeriksaan Medikolegal
Hasil pemeriksaan medikolegal terhadap korban adalah
dokumentasi seluruh hasil temuan pemeriksaan medis pada korban
yang kemudian dituangkan di dalam sebuah keterangan yang di
Indonesia disebut sebagai Visum et Repertum (VeR). Keterangan
tersebut memberikan bukti bahwa benar telah terjadi kekerasan dan
seberapa parah akibat kekerasan tersebut, atau pada kasus kekerasan
seksual dapat pula menjelaskan apakah telah terjadi persetubuhan
ataukah penetrasi. Bahkan dengan menggunakan teknik mutakhir
(pemeriksaan DNA), pemeriksaan medikolegal secara praktis dapat
menunjuk siapa pelaku kekerasan seksual tersebut.9
Seberapa jauh Visum et Repertum (VeR) membantu proses
peradilan sangat bergantung kepada seberapa lengkap dan
spesifiknya temuan medikolegalnya sehingga dapat
diinterpretasikan sebagai bukti yang determinatif. Bukti medis
bukanlah satu-satunya komponen dalam pembuktian adanya KtA
dalam perkara pidana. Pemeriksaan Tempat Kejadian Perkara
(TKP), kesaksian, dan pemeriksaan barang bukti lain memiliki nilai
yang sama sebagai alat bukti yang sah. Selain itu, wawancara
forensik, penilaian sikap perilaku korban pasca kekerasan,
pemeriksaan laboratorium forensik seringkali sangat mendukung
pembuktian.
a. Pemeriksaan Fisik
Perlukaan yang ditemukan pada pemeriksaan fisik dapat
bervariasi, mulai dari memar, lecet, luka bakar, dan luka terbuka,
hingga ke cedera yang lebih dalam letaknya seperti patah tulang
ataupun cedera alat-alat dalam tubuh. Memar umumnya
diakibatkan oleh kekerasan tumpul yang memiliki permukaan
yang relatif rata atau lunak, seperti tangan kosong atau
31
tendangan. Memar seringkali dapat menunjukkan bentuk atau
pola permukaan kontak benda penyebabnya.
1) Memar yang berbentuk garis sejajar (tramline atau railway
haematome) menunjukkan cedera yang diakibatkan oleh
pukulan tongkat atau benda sejenis.
2) Bila bentuknya dua garis sejajar melengkung mungkin
disebabkan oleh benda berupa tali yang cukup kuat seperti
kabel.
3) Memar kadangkala tidak terjadi di lokasi trauma, misalnya
apabila terjadi di daerah dahi yang memarnya dapat terlihat
di kelopak mata atau di daerah tungkai bawah daerah tulang
kering yang memarnya dapat terlihat di pergelangan kaki.
32
ditemukan dalam bentuk luka lecet, luka terbuka dan bahkan
patah tulang, yang terlihat dari perbedaan masa
penyembuhannya Luka lecet tekan hanya terlihat dengan baik
pada korban yang telah meninggal oleh karena terjadi
pengeringan epidermis, sedangkan pada korban hidup tidak
terlihat dengan jelas oleh karena pengeringan dicegah dengan
adanya perfusi jaringan. Luka lecet tekan biasanya diakibatkan
oleh benda tumpul yang permukaannya relatif rata dan relatif
lunak dengan gaya yang relatif ringan. Bentuk luka lecet tekan
juga dapat memperlihatkan bentuk permukaan kontak benda
penyebabnya. Luka lecet geser diakibatkan oleh geseran benda
tumpul dengan permukaan yang relatif tidak rata. Luka terbuka
(vulnus apertura) harus dapat dibedakan antara:21
1) Luka terbuka akibat kekerasan tajam (vulnus scissum)
dengan memperlihatkan ciri-ciri luka dengan bentuk seperti
garis lurus atau lengkung, tepi luka atau dinding luka yang
rata, dan pada sekitar lukanya tidak ditemukan lecet atau
memar. Apabila terjadi di daerah berambut maka besar
kemungkinan terlihat adanya folikel rambut yang terpotong
rata.
2) Luka terbuka akibat kekerasan tumpul (vulnus laceratum)
menunjukkan ciri-ciri luka sebaliknya, dan seringkali masih
terlihat adanya jembatan jaringan (ikat) yang
menghubungkan kedua tepi/dinding luka.
33
peristiwa, seperti ditampar, dicekik, dipegangi dengan keras atau
dipaksa diregangkan pahanya (pada kasus kejahatan seksual).
Adanya sindroma mental tertentu dapat mendukung relevansi
temuan bukti fisik tersebut dari sisi psikologis.
Pemeriksaan status tumbuh kembang dan status gizi anak
sangat relevan dalam upaya menegakkan ada atau tidaknya
penelantaran. Beberapa pengukuran dan parameter dapat
digunakan sebagai alat ukurnya.9
34
lebih dari lima hari umumnya memiliki ciri yang sama dengan
robekan lama lainnya.
Sebaliknya, tidak ditemukannya tanda kekerasan di atas
tidak dapat langsung diartikan bahwa tidak pernah ada
kekerasan. Hal ini disebabkan oleh sifat dari kekerasan tersebut,
jarak waktu antara saat kekerasan dengan saat pemeriksaan, dan
tindakan terapi yang pernah diberikan. Demikian pula tidak
ditemukannya tanda penetrasi tidak berarti bahwa tidak pernah
terjadi penetrasi atau persetubuhan. Hal ini sebagai akibat dari
penetrasi yang hanya sebagian, penetrasi oleh benda yang
ukurannya “terlalu” kecil, atau selaput dara elastis sehingga
tidak robek meskipun telah terjadi penetrasi. Ditemukannya sel
sperma di dalam sediaan yang diambil dari vagina membawa
kita kepada kesimpulan pasti bahwa korban telah bersetubuh
atau disetubuhi.
Demikian pula bila ditemukan hasil positif pada uji
fosfatase asam (berubah warna dalam waktu kurang dari 30
detik), uji kristal (Berberio dan Florence) dan uji PAN (kadar
Zn), menunjukkan adanya cairan mani.
Namun demikian identitas si pelaku belum dapat
ditentukan sebelum dilakukan pemeriksaan DNA dari sel sperma
dan pemeriksaan DNA dari si tersangka pelaku, serta
pembandingan keduanya.
Sebaliknya, tidak ditemukannya sel sperma atau cairan
mani tidak berarti bahwa tidak pernah terjadi persetubuhan. Hal
ini sebagai akibat dari jarak waktu antara saat persetubuhan
dengan saat pemeriksaan, atau persetubuhan tanpa ejakulasi,
persetubuhan dengan kondom, dan pencucian pasca
persetubuhan. Bahkan literatur mengatakan bahwa sel sperma
hanya ditemukan pada 50% dari seluruh pemeriksaan medis
yang dilakukan segera setelah terjadi perkosaan.
35
Penelitian awal menunjukkan bahwa pemeriksaan
adanya DNA laki-laki di dalam vagina ternyata lebih sensitif dan
lebih akurat dalam memastikan adanya persetubuhan ditujukan
untuk menemukan ada atau tidaknya salah satu penyakit akibat
hubungan seksual, yaitu misalnya Gonorrhoe. Penyakit GO ini
adalah penyakit yang paling sering tertularkan dari suatu
hubungan seksual (1:30). Apabila ditemukan adanya penyakit
ini maka dokter dapat menyimpulkan bahwa kemungkinan besar
memang telah terjadi persetubuhan, dan dokter akan
memberikan pengobatan.
Adanya kuman GO ekstrasel saja menunjukkan bahwa
pasien relatif baru terinfeksi, sedangkan adanya kuman GO
intrasel menunjukkan waktu infeksi yang lebih lama. Sebaiknya
diagnostik GO ditegakkan melalui pemeriksaan kultur. Penyakit
akibat hubungan seksual lainnya tidak rutin diperiksa oleh
karena frekuensi terjadinya di dalam masyarakat yang sangat
rendah, sehingga hanya akan dilakukan apabila terdapat indikasi
ke arah hal tersebut.9
36
f. Pastikan keamanan anak
g. Periksa dengan teliti, lakukan rekam medis, dan berikan surat-
surat yang diperlukan.
h. Buatkan VeR bila ada permintaan resmi dari polisi (surat resmi
permintaan VeR harus diantar polisi).
i. Informasikan dengan hati-hati hasil temuan pemeriksaan dan
kemungkinan dampak yang terjadi, kepada anak dan keluarga
serta rencana tindak lanjutnya.
j. Pada anak yang mempunyai status gizi buruk atau kurang
diberikan makanan tambahan dan konseling gizi kepada orang
tua/keluarga.
Rujukan
Rujukan berupa:9
a. Rujukan medis: dilakukan dari puskesmas ke Rumah Sakit
Umum Daerah (RSUD) atau Rumah Sakit Bhayangkara
b. Rujukan non medis: dilakukan untuk memperoleh bantuan
pendampingan psikososial dan bantuan hukum antara lain ke
P2TP2A, Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (UPPA),
37
rumah aman/shelter atau Rumah Perlindungan Sosial Anak
(RPSA) atau Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA).
38
Kekerasan terhadap anak merupakan tindak pidana yang
melanggar hak asasi manusia yang apabila dibiarkan akan
memberikan dampak negatif bagi kesehatan dan tumbuh kembang
anak serta mengancam kualitas hidup dan masa depannya. Tenaga
kesehatan sebagai salah satu unsur pemerintah ikut
bertanggungjawab terhadap upaya penyelenggaraan perlindungan
anak. Selain itu tenaga kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan
seringkali menjadi tangan pertama yang menerima korban kekerasan
terhadap anak dan memiliki potensi untuk mencegah atau
memperkecil dampak negatif terhadap kesehatan anak, baik fisik
maupun mental, serta aspek hukum dan sosial, sehingga pelayanan
yang dilakukan melalui pendekatan multidisiplin. Agar anak korban
KtA memperoleh pelayanan secara komprehensif, maka tenaga
kesehatan dibawah tanggungjawab pimpinan fasilitas pelayanan
kesehatan mempunyai kewajiban melapor dugaan kasus kekerasan
terhadap anak.9
39
BAB III
KESIMPULAN
40
DAFTAR PUSTAKA
1. WHO. Definition and Typology of Violence [Internet]. WHO. 2021 [cited
2021 Oct 1]. Available from:
https://www.who.int/violenceprevention/approach/definition/en/
2. KEMENKUMHAM. Salinan Presiden Republik Indonesia Undang-Undang
Republik Indonesia No. 5 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 15 Tahun 2oo3 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2oo2 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang [Internet].
KEMENKUMHAM. 2018 [cited 2021 Oct 5]. Available from:
https://jdih.kemenkopmk.go.id/sites/default/files/2019-08/UU Nomor 5
Tahun 2018.pdf
3. Purwanti SH. Kekerasan pada Anak dan Wanita. Jakarta: Rayyana
Komunikasindo;
4. KBBI. Arti kata perempuan - Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
Online [Internet]. KBBI. 2021 [cited 2021 Oct 5]. Available from:
https://kbbi.web.id/perempuan
5. KEMENKUMHAM. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak [Internet]. KEMENKUMHAM.
2002 [cited 2021 Oct 5]. Available from:
https://jdihn.go.id/files/4/2002uu023.pdf
6. Harnoko BR. Dibalik Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan. Muwazah.
2010;2(1):181–8.
7. Jayani DH. Hampir 300 Ribu Kasus Kekerasan terhadap Perempuan
Terjadi pada 2020 | Databoks [Internet]. 2021 [cited 2021 Oct 5]. Available
from: https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/03/12/hampir-300-
ribu-kasus-kekerasan-terhadap-perempuan-terjadi-pada-2020
8. Said A, Budiati I, Ayuni S. Statistik Gender Tematik-Mengakhiri
Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak di Indonesia. Jakarta:
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Badan
Pusat Statistik; 2017.
41
9. Kementerian Kesehatan. Peraturan Menteri Kesehatan No. 68 Tahun 2013
tentang Kewajiban Pemberi Layanan Kesehatan Untuk Memberikan
Informasi Atas Adanya Dugaan Kekerasan Terhadap Anak. Jakarta
[Internet]. Kementerian Kesehatan. 2013 [cited 2021 Oct 5]. Available
from: https://kesga.kemkes.go.id/assets/file/pedoman/PMK No. 68 ttg
Kewajiban Memberikan Informasi Kekerasan Terhadap Anak.pdf
10. Widiastuti TW. Perlindungan Bagi Wanita. Wacana Huk. 2008;VII(1):30–
42.
11. KemenPPPA. Waspada Bahaya Kekerasan dalam Pacaran. 2018.
12. DPR RI. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004
tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. 2004.
13. Mia Amalia. Kekerasan Perempuan Dalam Perspektif Hukum Dan
Sosiokultural. J Wawasan Huk. 2011;25(1):399–411.
14. KemenPPPA. Perempuan Rentan Jadi Korban KDRT, Kenali Faktor
Penyebabnya. 2018.
15. Puspitasari CD. Perempuan dan Kekerasan dalam Rumah Tangga. 2014;
16. DPR RI. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Indonesia; 1945.
17. Kania D. Hak Asasi Perempuan dalam Peraturan Perundang-Undangan Di
Indonesia The Rights of Women in Indonesian. Fak Syariah dan Hukum,
UIN Syarif Hidayatullah. 2015;
18. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
19. Peraturan Presiden RI. Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 65
Tahun 2005 tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap
Perempuan. Indonesia;
20. Prawestiningtyas E. KEKERASAN PADA ANAK DAN ASPEK
MEDIKOLEGAL. In: Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahunan 2017
Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia. Pekanbaru: Perhimpunan Dokter
Forensik Indonesia; 2017. p. 15–6.
21. Anjari W. Fenomena Kekerasan Sebagai Bentuk Kejahatan. E-Journal
WIDYA Yust. 2014;1(1):45–51.
42
43