Anda di halaman 1dari 28

Referat

KEKERASAN PADA ANAK

Disusun Oleh:

Muthia Adhana Y. 04054822022001

Pembimbing:

dr.Nur Adibah, SpFM

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN FORENSIK


RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2021
HALAMAN PENGESAHAN

Judul Referat

Kekerasan Pada Anak


Oleh:

Muthia Adhana Y. 04054822022001

Referat ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik di Departemen Forensik RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang
Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya periode 25 Februari - 13 Maret 2021.

Palembang, Maret 2021

dr.Nur Adibah, SpFM

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas
rahmat dan berkat-Nya referat yang berjudul “Kekerasan Pada Anak” ini dapat
diselesaikan tepat waktu. Referat ini dibuat untuk memenuhi salah satu syarat
ujian kepaniteraan klinik senior di Departemen Forensik RSUP Dr. Mohammad
Hoesin Palembang Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.
Penulis juga ingin menyampaikan terima kasih kepada dr.Nur Adibah,
SpFM atas bimbingannya sehingga penulisan ini menjadi lebih baik. Penulis
menyadari masih banyak kekurangan dan kekeliruan dalam penulisan referat ini.
Oleh karena itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan untuk
penulisan yang lebih baik di masa yang akan datang.

3
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN.................................................................................ii

KATA PENGANTAR.............................................................................................3

DAFTAR ISI............................................................................................................4

PENDAHULUAN...................................................................................................5

TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................................7

2.1 Definisi....................................................................................7

2.2 Epidemiologi...........................................................................8

2.3 Faktor Kekerasan Pada Anak..................................................9

2.4 Klasifikasi Kekerasan Pada Anak..........................................10

2.5 Pola Perlukaan Kekerasan Pada Anak...................................12

2.6 Perbedaan Accidental Trauma dan NAT pada anak...............19

2.7 Aspek Medikolegal................................................................21

KESIMPULAN......................................................................................................25

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................26

4
BAB I
PENDAHULUAN

Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas tahun),


termasuk anak yang masih dalam kandungan. Kekerasan pada anak adalah setiap
perbuatan pada anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan
secara fisik, psikis, seksual, dan/atau penelantaran, termasuk ancaman untuk
melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan
hukum. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kekerasan pada anak adalah
faktor orangtua, faktor situasi keluarga, faktor anak dan faktor budaya. Kekerasan
pada anak menurut keterangan WHO dibagi menjadi lima jenis, yaitu kekerasan
fisik, kekerasan seksual, kekerasan emosional, penelantaran anak, eksploitasi
anak. 1,2,3
Menurut data pelanggaran hak anak yang dikumpulkan oleh Komisi
Perlindungan Anak dari data induk lembaga perlindungan anak yang ada di 30
provinsi di Indonesia, pada tahun 2020 jumlah kasus pelanggaran hak anak yang
terpantau sebanyak 3.087 kasus kekerasan terhadap anak, diantaranya 852
kekerasan fisik, 768 psikis, dan 1.848 kasus kekerasan seksual. Sedangkan
menurut data dari World Health Organization tahun 2016 menunjukkan bahwa
sekitar 1.000.000 anak usia 2-17 tahun pernah mengalami kekerasan baik secara
fisik, emosi maupun seksual. 4,5
Diperlukan keterbukaan wawasan tentang kekerasan terhadap anak dan
perlindungan yang mampu diberikan untuk menanggulanginya serta pengetahuan
tentang adanya regulasi yang mengatur upaya perlindungan terhadap kekerasan
anak. Anak merupakan makhluk yang rentan sehingga mudah untuk dijadikan
objek kekerasan, eksploitasi bahkan kekejaman. Sedangkan pada saat ini
perlindungan anak masih dilakukan secara tradisional dan belum menjadi
perhatian penuh bagi para pemangku perlindungan anak baik pemerintah, negara,
masyarakat, keluarga dan orangtua.6

5
Kedokteran forensik dan medikolegal berguna untuk membantu
mengidentifikasi tindak kekerasan terhadap anak. Adanya peran yang maksimal
dari kedokteran forensik dan medikolegal dalam kasus kekerasan terhadap anak
akan membantu dalam penanggulangan kasus kekerasan terhadap anak. Makalah
ini akan membahas peran kedokteran forensik dan aspek medikolegal pada kasus
kekerasan pada anak.

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
A. Definisi Anak
Dalam hukum nasional Indonesia terdapat berbagai macam definisi
mengenai anak, karena dalam tiap perundang-undangan diatur kriteria
tersendiri mengenai pengertian anak. Hal tersebut dapat dilihat dari
beberapa perumusan perundang-undangan yang mengatur mengenai
pengertian anak, sebagai berikut:7
a. Pasal 1 Convention on the Right of the Child
Anak diartikan sebagai setiap orang dibawah usia 18 (delapan
belas) tahun, kecuali berdasarkan hukum yang berlaku terhadap anak,
kedewasaan telah diperoleh sebelumnya. Artinya yang dimaksud
dengan anak adalah mereka yang belum dewasa dan yang menjadi
dewasa karena peraturan tertentu sedangkan secara mental dan fisik
masih belum dewasa.
b. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia
Anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan
belas) tahun dan belum menikah termasuk anak yang masih dalam
kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.
c. Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak
Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah
mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18
(delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.

7
d. Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang
Perlindungan Anak
Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas)
tahun termasuh anak yang masih dalam kandungan.
e. Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang
Kesejahteraan Anak
Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh
satu) tahun dan belum pernah kawin.
f. RUU Sistem Peradilan Pidana Anak, dalam Pasal 1 ayat (2)
Menyebutkan Anak yang berkonflik dengan hukum, yang
selanjutnya disebut anak adalah orang yang telah berumur 12 (dua
belas) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun
yang disangka, didakwa atau dijatuhi pidana karena melakukan tindak
pidana.

B. Definisi Kekerasan Pada Anak


Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014
tentang Perlindungan Anak kekerasan pada anak adalah setiap perbuatan
pada anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara
fisik, psikis, seksual, dan/atau penelantaran, termasuk ancaman untuk
melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara
melawan hukum.1
Menurut WHO kekerasan adalah penggunaan kekuatan fisik dan
kekuasaan, ancaman atau tindakan terhadap diri sendiri, perorangan atau
sekelompok orang atau masyarakat yang mengakibatkan atau
kemungkinan besar mengakibatkan memar/trauma, kematian, kerugian
psikologis, kelainan perkembangan atau perampasan hak. Kekerasan
umumnya ditujukan kepada kelompok yang dianggap lemah. Anak
merupakan salah satu kelompok yang rentan mendapatkan perilaku
kekerasan.8

8
2.2 Epidemiologi
Angka kekerasan terhadap anak dari tahun ke tahun terus
meningkat. Menurut data pelanggaran hak anak yang dikumpulkan oleh
Komisi Perlindungan Anak dari data induk lembaga perlindungan anak
yang ada di 30 provinsi di Indonesia, pada tahun 2020 jumlah kasus
pelanggaran hak anak yang terpantau sebanyak 3.087 kasus kekerasan
terhadap anak, diantaranya 852 kekerasan fisik, 768 psikis, dan 1.848
kasus kekerasan seksual. Sedangkan menurut data dari World Health
Organization tahun 2016 menunjukkan bahwa sekitar 1.000.000 anak usia
2-17 tahun pernah mengalami kekerasan baik secara fisik, emosi maupun
seksual. 2,4,5
2.3 Faktor Kekerasan Pada Anak
Terjadinya kekerasan terhadap anak dapat dipengaruhi oleh
beberapa faktor, yaitu:9,10
1. Faktor Internal
a. Berasal dalam diri anak
Terjadinya kekerasan terhadap anak dapat disebabkan oleh
kondisi dan tingkah laku anak. Kondisi anak tersebut misalnya: Anak
menderita gangguan perkembangan, ketergantungan anak pada
lingkungannya, anak mengalami cacat tubuh, retardasi mental, gangguan
tingkah laku, anak yang memiliki perilaku menyimpang dan tipe
kepribadian dari anak itu sendiri.
b. Keluarga / orang tua
Faktor orang tua atau keluarga memegang peranan penting
terhadap terjadinya kekerasan pada anak. Beberapa contoh seperti orang
tua yang memiliki pola asuh membesarkan anaknya dengan kekerasan atau
penganiayaan, keluarga yang sering bertengkar mempunyai tingkat
tindakan kekerasan terhadap anak yang lebih tinggi dibandingkan dengan
keluarga yang tanpa masalah, orangtua tunggal lebih memungkinkan
melakukan tindakan kekerasan terhadap anak karena faktor stres yang
dialami orang tua tersebut, orang tua atau keluarga belum memiliki

9
kematangan psikologis sehingga melakukan kekerasan terhadap anak,
riwayat orang tua dengan kekerasan pada masa kecil juga memungkinkan
melakukan kekerasan pada anaknya.
2. Faktor Eksternal
a. Lingkungan luar
Kondisi lingkungan juga dapat menjadi penyebab terjadinya
kekerasan terhadap anak, diantaranya seperti kondisi lingkungan yang
buruk, terdapat sejarah penelantaran anak dan tingkat kriminalitas yang
tinggi dalam lingkungannya.

b. Media massa
Media massa merupakan salah satu alat informasi. Media massa
telah menjadi bagian dari kehidupan manusia sehari – hari dan media ini
tentu mempengaruhi penerimaan konsep, sikap, nilai dan pokok moral.
Seperti halnya dalam media cetak menyediakan berita – berita tentang
kejahatan, kekerasan, pembunuhan. Kemudian media elektronik seperti
radio, televisi, video, kaset dan film sangat mempengaruhi perkembangan
kejahatan yang menampilkan adegan kekerasan, menayangkan film action
dengan perkelahian, acara berita kriminal, penganiayaan, kekerasan
bahkan pembunuhan dalam lingkup keluarga. Pada hakekatnya media
massa memiliki fungsi yang positif, namun kadang dapat menjadi negatif.
c. Budaya
Budaya yang masih menganut pemikiran bahwa status anak yang
dipandang rendah sehingga ketika anak tidak dapat memenuhi harapan
orangtua maka anak harus dihukum. Bagi anak laki – laki, adanya nilai
dalam masyarakat bahwa anak laki – laki tidak boleh cengeng atau anak
laki – laki harus tahan uji. Pemahaman itu mempengaruhi dan membuat
orangtua ketika memukul, menendang, atau menindas anak adalah suatu
hal yang wajar untuk menjadikan anak sebagai pribadi yang kuat dan tidak
boleh lemah.

10
2.4 Klasifikasi Kekerasan Pada Anak
1. Kekerasan Fisik
Kekerasan yang mengakibatkan cidera fisik nyata ataupun
potensial terhadap anak sebagai akibat dari tindakan kekerasan yang
dilakukan orang lain. Kekerasan fisik merupakan kekerasan yang
mengakibatkan cedera fisik nyata ataupun potensial terhadap anak,
sebagai akibat dari interaksi atau tidak adanya interaksi, yang layaknya
berada dalam kendali orang tua atau orang dalam posisi hubungan
tanggung jawab, kepercayaan atau kekuasaan. Bentuk kekerasan yang
sifatnya bukan kecelakaan yang membuat anak terluka. Contoh:
menendang, menjambak (menarik rambut), menggigit, membakar,
menampar.11,12,13
2. Kekerasan Seksual
Kekerasan terhadap anak dalam kegiatan seksual yang tidak
dipahaminya, tidak mampu memberikan persetujuan atau oleh karena
perkembangannya belum siap atau tidak dapat memberi persetujuan, atau
yang melanggar hukum atau pantangan masyarakat, atau merupakan
segala tingkah laku seksual yang dilakukan antara anak dan orang dewasa.
Contoh, pelacuran anak-anak, intercourse, pornografi, eksibionisme, oral
sex, dan lain-lain.11,12,14
3. Kekerasan Emosional
Suatu perbuatan terhadap anak yang mengakibatkan atau sangat
mungkin akan mengakibatkan gangguan kesehatan atau perkembangan
fisik, mental, spiritual, moral dan sosial. Contohnya seperti pembatasan
gerak, sikap tindak yang meremehkan anak, mengancam, menakut-nakuti,
mendiskriminasi, mengejek atau menertawakan, atau perlakuan lain yang
kasar atau penolakan. Contoh: tidak pernah memberikan pujian/
reinforcemen yang positif, membandingkannya dengan anak yang lain,
tidak pernah memberikan pelukan antara orang tua dan anak.14
4. Penelantaran anak

11
Ketidakpedulian orang tua atau orang yang bertanggung jawab atas
anak pada kebutuhan mereka. Kelalaian di bidang kesehatan seperti
penolakan atau penundaan memperoleh layanan kesehatan, tidak
memperoleh kecukupan gizi dan perawatan medis. Kelalaian di bidang
pendidikan meliputi pembiaran mangkir (membolos) sekolah yang
berulang, tidak menyekolahkan pada pendidikan yang wajib diikuti setiap
anak, atau kegagalan memenuhi kebutuhan pendidikan yang khusus.
Kelalaian di bidang fisik meliputi pengusiran dari rumah dan pengawasan
yang tidak memadai. Kelalaian di bidang emosional meliputi kurangnya
perhatian, penolakan atau kegagalan memberikan. perawatan psikologis,
kekerasan terhadap pasangan di hadapan anak dan pembiaran penggunaan
rokok, alkohol dan narkoba oleh anak. 12,14
5. Eksploitasi anak
Penggunaan anak dalam pekerjaan atau aktivitas lain untuk
keuntungan orang lain, termasuk pekerja anak dan prostitusi. Kegiatan ini
merusak atau merugikan kesehatan fisik dan mental, perkembangan
pendidikan, spiritual, moral dan sosial - emosional anak. 12,14

2.5 Pola Perlukaan Kekerasan Pada Anak


Akibat suatu kekerasan fisik adalah luka-luka mulai dari derajat

yang ringan sampai dengan berat bahkan kematian.

12
Gambar 1. Tanda Kekerasan fisik pada anak15

Gambar 2. Tanda penelantaran dan kekerasan pada anak15

13
2.5.1 Perlukaan pada kulit

Perlukaan pada kulit adalah bentuk yang paling sering ditemukan

pada penganiayaan anak. Beberapa bentuk perlukaan yang sering dikaitkan

adalah :

1. Memar

Memar terdapat pada 90% kasus kekerasan pada anak. Memar muncul

ketika darah keluar dari ruang intravaskuler ke kulit dan jaringan

subkutis. Memar tidak hilang dengan penekanan dan meiliki

karakteristik warna tertentu dapat mirip dengan cat atau tinta, pewarna

baju, tanda lahir. 16,17

Bentuk dan warna dapat menyatakan perkiraan usia memar, Waktu

yang diperlukan memar untuk terlihat tergantung pada kedalaman

luka, warna kekuningan akan tampak dalam 3 hari pada memar

superfisial, sementara pada memar yang lebih dalam warna kuning

mungkin memerlukan waktu 7,5 – 10 hari untuk muncul. Salah satu

penelitian menyatakan bahwa memar kekunigan berusia >18 jam dan

warna lain seperti merah, biru, ungu atau hitam dapat terjadi sejak 1

jam sebelumnya sampai proses penyembuhan. 16,17

Memar pada anak-anak korban kekerasan sering ditemukan pada :

- Bokong, punggung, paha luar, sering berkaitan dengan hukuman

- Paha dalam dan daerah genitalia, memberi kesan kekerasan

seksual atau adanya hukuman karena tidak melakukan kebiasaan

toilet dengan baik

14
- Penis mungkin tetarik dan kadang-kadang diikat dengan karet

- Kepala dan leher, akibat bekas tamparan atau pukulan

2. Gigitan

Manusia adalah omnivore, dan giginya serupa dalam ukuran, bentuk

dan tonjolan tulang. Memar yang dihasilkan berbentuk bulan sabit dan

bekas gigi dapat diidentifikasi pemiliknya jika luka masih baru.

Bagaimanapun juga, bekas gigitan mungkin mengalami distorsi akibat

kontur area gigitan antara orang dewasa dengan anak <8 tahun harus

diingat bahawa jarak antara kedua gigi taring kiri dan kanan pada

orang dewasa >3cm, sedangkan pada anak-anak usia 8 tahun berjarak

< 3 cm.18

3. Luka Bakar

Luka bakar sering terjadi pada masa anak-anak baik karena kecelakaan

maupun karena kesengajaan. Kecelakaan sering terjadi pada usia 18

bulan sampai 5 tahun. Luka bakar pada anak harus dipikirkan karena

adanya kelainan atau kesengajaan untuk menyakiti anak, Tipe, luas,

dalam, dan pola luka bakar dapat menjadi petunjuk penyebabnya.

Luka bakar akibat disundut rokok dicurigai sebagai bentuk kekerasan

jika ditemukan luka bakar multiple pada daerah yang tidak mudah

dijangkau. Luka bakar pada tangan, kaki atau bokong akibat kontak

dengan benda panas, menimbulkan bentuk luka yang khas sesuai

dengan bentuk benda panas yang dipakai.19

15
Hal yang sering dilakukan adalah memasukkan bagian tubuh anak

kedalam air panas, tindakan ini dilakukan dengan memegang paha atau

perut anak dan mencelupkan pantat dan daerah selangkangan kedalam

air panas. Luka bakar akibat merendam tangan dan kaki anak kedalam

air panas data pula ditemukan. 19

2.5.2 Perlukaan Pada Daerah Wajah

a. Mata

Mata adalah organ yang sensitif, bila anak mendapat pukulan didaerah

rongga mata maka harus dicari kemungkinan perdarahan dalam rongga

bola mata, dislokasi lensa, perdarahan retina atau perdarahan selaput

kelopak mata.20

b. Hidung

Hidung yang mengalami pukulan langsung akan menimbulkan

pergeseran sekat hidung atau patahnya tulang rawan. Tanda yang

mudah dilihat adalah pengeluaran darah dari rongga hidung.16,18

c. Mulut

Mulut yang mendapatkan pukulan langsung dapat menimbulkan

lepasnya gigi bahkan patah tulang rahang bawah. Pemberian makanan

yang dipaksakan akan menimbulkan memar pada bibir bahkan

robekan pada dasar lidah. 16,18

d. Telinga

Telinga sering mendapatkan jeweran yang berlebihan dapat

menimbulkan emar. Pukulan yang keras pada telinga dapat

16
menimbulkan robekan gendang telinga dan perdarahan. Adanya

perdarahan dibelakang gendang telinga atau bercak perdarahan pada

tulang mastoid dapat menunjukkan adanya patah pada dasar

tengkorak. 15

2.7.3 Perlukaan pada Kepala dan Sistem Saraf Pusat

Traumatik alopecia diakibatkan oleh jambakan atau cakaran pada kulit

kepala. Rambut menjadi spiral dan terdapat ptekie di akar rambut diikuti

kulit kepala yang nyeri. Berbeda dengan alopecia areata yang terjadi pada

anak anak kurang gizi, dengan tidak atau hanya sedikit rambut di perifer,

inflamasi atau kerak pada kulit kepala. Tarikan kuat pada kepala seperti

mengangkat anak melalui rambutnya dapat menyebabkan bengkak atau

hematom.21

Guncangan pada bayi menimbulkan cidera ekselerasi pada otak,

menyebabkan regangan dan pecahnya pembuluh darah. Hal ini dapat

menimbulkan cedera berat pada system saraf pusat.21

2.5.4 Perlukaan pada Organ Dalam

Cedera pada organ dalam telah banyak ditemukan pada kasus kekerasan

pada anak. Paling sering ditemukan adalah cedera abdominal yang

mengakibatkan kematian karena haemoperitoneum. Kejadian yang sering

ditimbulkan antara lain :18,21

- Laserasi mesentrium pada usus kecil yang disebabkan oleh pukulan

langsung pada dinding anterior abdomen. Jika kerusakan vaskuler

tidak komplit, end arteri pada sisi cedera mengalami kerusakan

17
sehingga menyebabkan iskemi pada iusus dengan perforasi lambat

atau timbulnya striktur.

- Lengkung usus kecil meregang karena pukulan dengan perforasi akut

atau lambat dan kebocoran isi usus ke dalam rongga intraperitoneal

- Kerusakan duodenum dan pancreas

- Ruptur hepar pada cedera tipe shaking tekanan langsung dapat

menyebabkan robekan

- Ruptur gaster, akibat tekanan pada sisi kiri atau abdomen

2.5.5 Perlukaan Akibat Tindakan Seksual

Adanya robekan, lecet, dan memar pada daerah kelamin atau genital yang

tidak disebabkan oleh kecelakaan mendorong kecurigaan kea rah

pelanggaran seksual. Gejala yang dapat dilihat adalah peradangan pada

vagina, saluran kencing, atau perlukaan pada penis dan kantong zakar

akibat diputar (twisting injuries). Selain itu anus juga diperiksa terutama

tonus otot sfingter yang menunjukan tindakan seksual berulang-ulang.15

2.5.6 Perlukaan pada Tulang

Gejala yang tampak pada kekerasan ini adalah kelainan bentuk tulang, rasa

sakit dan bengkak, kelumpuhan serta kesulitan bergerak. Hal ini dapat

terjadi akibat kecelakaan atau kesengajaan. Patah tulang yang patut

dicurigai sebagai suatu bentuk kekerasan antara lain :21

- Anamnesis yang diceritakan orang tua atau pengasuh tidak sesuai

dengan pemeriksaaan fisik yang ditemukan

18
- Semua patah tulang yang timbul sebelum usia 18 bulan atau sebelum 1

tahun atau sebelum anak dapat berjalan

- Patah tulang dengan luka-luka yang jauh dari lokasi patah tulang

- Cidera berulang pada tempat yang sama

- Bila didapati patah tulang melingkar atau spiral fraktur pada tungkai

bawah bayi.

- Bila anggota gerak (lengan atau tungkai) anak dengan paksa ditarik

atau ditekan mengakibatkan lepasnya sendi.

2.6 Perbedaan Accidental Trauma dan Non-accidental Trauma pada


kekerasan anak
Pada saat melakukan pemeriksaan luka pada kasus yang dicurigai
sebagai kekerasan anak, beberapa hal yang perlu untuk dipertimbangkan
untuk mengetahui apakah luka diperoleh secara tidak sengaja (accidental
injury) atau secara sengaja (Non-Accidental Trauma) antara lain adalah:
2.6.1 Lokasi Luka
Lokasi tertentu pada tubuh lebih mungkin mengalami cedera yang
tidak disengaja seperti lutut, siku, tulang kering, dahi adalah bagian tubuh
yang dapat terluka jika terjatuh atau terbentur secara tidak sengaja. Bagian
tubuh yang terlindungi atau tidak menonjol, seperti punggung, paha, area
genital, bokong, punggung kaki, atau wajah, kecil kemungkinannya untuk
secara tidak sengaja bersentuhan dengan benda-benda yang dapat
menyebabkan cedera.16,19,22

19
Gambar 3. Lokasi luka yang tidak disengaja dan luka yang dicurigai akibat
kekerasan
2.6.2 Jumlah luka
Dalam melakukan anamnesis perlu ditanyakan jika anak pernah
mengalami beberapa cedera yang terjadi pada satu waktu atau selama
periode waktu yang sama. Semakin banyak jumlah cedera, kemungkinan
kekerasan perlu dipertimbangkan, kecuali jika didapatkan riwayat
kecelakaan serius seperti kecelakaan lalu lintas. Pada umumnya seorang
anak tidak mungkin mengalami sejumlah cedera yang berbeda secara tidak
sengaja. Cedera pada tahap penyembuhan yang berbeda dapat menunjukkan
pola kronologis kejadiannya.22
2.6.3 Ukuran dan Bentuk luka
Pada saat melakukan pemeriksaan bentuk dan ukuran luka dapat
menjelaskan penyebab dari luka. Pada kasus kekerasan anak banyak luka
yang disebabkan oleh benda-benda yang sudah dikenal, seperti tongkat,
papan, ikat pinggang, atau sikat rambut. Tanda yang dihasilkan sangat mirip
dengan benda yang digunakan.

20
Gambar 4. Pola luka menyerupai benda.19
Selain bentuk luka yang mirip dengan benda, pada kekerasan anak
dapat juga ditemui memar yang menyerupai bentuk telapak tangan, buku-
buku tangan dan bekas gigitan.17,18,22

Gambar 5. Memar menyerupai bentuk jari akibat grabbing (Kiri), Memar


akibat dipukul dengan telapak tangan (Kanan).
2.6.4 Deskripsi kejadian
Jika suatu cedera tidak disengaja, harus terdapat penjelasan tentang
bagaimana luka dapat terbentuk yang sesuai dengan tingkat keparahan, jenis,
dan lokasinya. Jika deskripsi tentang bagaimana cedera terjadi dan
penampilan cedera tampaknya tidak berhubungan dapat dicurigai sebagai
kekerasan. 17,18,22
Usia anak juga perlu diperhatikan untuk menentukan apakah luka
didapat dengan tidak disengaja atau disengaja. Pada anak berusia 10-11
bulan yang baru bisa berjalan mungkin dapat ditemukan luka memar pada

21
lutut yang diperoleh karena jatuh, akan tetapi pada anak usia dibawah 4
bulan pada umumnya jarang ditemukan luka karena belum dapat merangkak
maupun berjalan. 17,18,22
2.7 Aspek Medikolegal
Di Indonesia tanggung jawab pelaku pencederaan pada anak tertera

dalam kitab UU Hukum Pidana (KUHP) yang pasal-pasalnya berkaitan

dengan jenis dan akibat pencederaan anak, yaitu :7

1. Pasal 351 ayat 1, pencederaan pada anak yang bersifat penganiayaan dan

menimbulkan cedera fisik (ancaman hukuman paling lama 2 tahun 8

bulan), ayat 2 bila mengakibatkan luka-luka berat (ancaman hukuman

penjara paling lama 5 tahun), ayat 3 bila mengakibatkan kematian

(ancaman hukuman penjara paling lama 7 tahun).

2. Pasal 356, pencederaan pada anak (fisik) yang dilakukan orang tua,

hukuman ditambah sepertiganya.

3. Pencederaan pada anak berupa penelantaran, pasal 301 (ancaman pidana

penjara paling lama 4 tahun), pasal 304 (ancaman pidana penjara paling

lama 5 tahun 6 bulan), pasal 306 ayat 1 bila mengakibatkan luka

(ancaman pidana penjara paling lama 9 tahun), pasal 307 bagi orang tua

sebagai pelaku dikenakan ancaman pidana pasal 305 dan 306 ditambah

dengan sepertiganya.

4. Pencederaan anak bersifat seksual, pasal 287 (ancaman pidana penjara

paling lama 9 tahun), pasal 290 butir 3 (ancaman pidana penjara paling

lama 7 tahun).

22
Peran para dokter adalah menemukan kasus kekerasan terhadap anak dan

menolong anak tersebut beserta keluarganya dalam menempuh proses pemulihan.

Untuk mencapai peran tersebut para dokter dan tenaga kesehatan harus

memperoleh pelatihan khusus agar dapat memiliki kemampuan yang dibutuhkan,

serta membentuk tim yang multidisiplin guna menangani kekerasan pada anak. 22

Dalam menemukan kasus kekerasan pada anak, tindakan dini yang

dilakukan dapat meliputi:23

a. Melaporkan kasus tersebut ke Komisi Perlindungan Anak

b. Merawat inap korban kekerasan pada anak yang membutuhkan

perlindungan pada tahap evaluasi awal

c. Memberitahukan diagnosis dan diferensial diagnosis anak kepada orang tua

anak secara objektif tanpa bersifat menuduh

Evaluasi medis pada kasus dugaan kekerasan fisik terhadap anak

sebaiknya meliputi:23

a. Riwayat cedera

b. Pemeriksaan fisik

c. Survei radiologis terhadap trauma

d. Pemeriksaan kelainan perdarahan

e. Pemotretan berwarna

f. Pemeriksaan fisik saudara kandungnya

g. Laporan medis tertulis resmi

h. Skrining perilaku

i. Skrining tumbuh kembang pada bayi dan anak pra-sekolah

23
Disebutkan pula bahwa penanganan medis kasus kekerasan seksual

terhadap anak meliputi 3 hal:23

a. Pengobatan trauma fisik dan psikologis

b. Pengumpulan dan pemrosesan bukti (evidence)

c. Penanganan dan/atau pencegahan kehamilan dan penyakit hubungan seksual

Profesional kesehatan dalam menangani anak dugaan korban kekerasan

terhadap anak sedapat mungkin mencari bukti fisik (physical evidence) yang

nantinya dapat digunakan dalam upaya pembuktian di pengadilan. Untuk

mendapatkan bukti dapat dilakukan dengan melakukan anamnesis yang

mendalam, pemeriksaan fisik yang teliti, pemeriksaaan laboratorium dan

pemeriksaan penunjang lainnya, serta uji psikologis dan psikiatris yang

diperlukan.16,23

Pasal 108 KUHAP memberikan hak kepada setiap orang untuk

melaporkan adanya tindak pidana (termasuk kekerasan terhadap anak) apabila ia

mengetahuinya sebagai saksi, dan memberikan kewajiban bagi pegawai negeri

yang mengetahui adanya tindak pidana (termasuk kekerasan terhadap anak) pada

waktu ia menjalankan tugasnya.7

Pasal 78 UU No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak memberikan

ancaman pidana bagi setiap orang yang mengetahui dan sengaja membiarkan anak

dalam situasi darurat (termasuk anak korban kekerasan) padahal anak tersebut

memerlukan pertolongan dan harus dibantu.7

24
BAB III
KESIMPULAN

Kekerasan pada anak adalah perlakuan terhadap anak yang tidak berdaya
yang dapat menimbulkan penderitaan, kesengsaraan bahkan cacat. Kekerasan
pada anak menurut keterangan WHO dibagi menjadi lima jenis, yaitu kekerasan
fisik, kekerasan seksual, kekerasan emosional, penelantaran anak, eksploitasi
anak.
Di Indonesia tanggung jawab pelaku pencederaan pada anak tertera dalam
kitab UU Hukum Pidana (KUHP) yang pasal-pasalnya berkaitan dengan jenis dan
akibat pencederaan anak.
Peran kedokteran forensik dan aspek medikolegal dalam kasus kekerasan
terhadap anak adalah menemukan kasus kekerasan terhadap anak dan menolong
anak tersebut beserta keluarganya dalam menempuh proses pemulihan.

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Undang-Undang Republik Indonesia No. 35 Tahun 2014 tentang


PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002
TENTANG PERLINDUNGAN ANAK
2. Liel C, Susanne M, Lorenz S, Eickhorst A, Fluke J, Walper S.Risk factors
for child abuse, neglect and exposure to intimate partner violence in early
childhood: Findings in a representative cross-sectional sample in
Germany. Child Abuse & Neglect 2020, Vol. 106
3. Ten RW, Rheinberger MM, Radbill SX. Children in a world of violence:
the roots of child maltreatment. In: Helfer ME, Kempe RS, Krugman RD,
eds. The battered child. Chicago, IL, University of Chicago Press,
1997:3(28).
4. Hillis S, Mercy J, Amobi A, Kress H. Global prevalence of past-year
violence against children: a systematic review and minimum estimates. 
Pediatrics 2016; 137(3): e20154079.

26
5. KPAI. Rincian Data Kasus Berdasarkan Klaster Perlindungan Anak, 2011-
2016. Bank data KPAI, 2016
6. Zeanah CH, Humphreys KL. Child Abuse and Neglect. J Am Acad Child
Adolesc Psychiatry. 2018 Sep;57(9):637-644. 
7. Nathanael S, Henry O & Corine de R. The Relevance of Certain Case
Characteristics in the Successful Prosecution of Child Sexual Abuse Cases
in Indonesia. 2020. Journal of Child Sexual Abuse, 29:8, 984-1003
8. Merrick MT, Guinn AS. Child Abuse and Neglect: Breaking the
Intergenerational Link. Am J Public Health. 2018 Sep;108(9):1117-1118.
doi: 10.2105/AJPH.2018.304636. PMID: 30088995; PMCID:
PMC6085055.
9. Estroff SE. A cultural perspective of experiences of illness, disability, and
deviance. In: Henderson GE et al., eds. The social medicine reader.
Durham, NC, Duke University Press, 1997:6–11.
10. Korbin JE. Cross-cultural perspectives and research directions for the 21st
century. Child Abuse & Neglect, 1991, 15:67–77.
11. National Research Council. Understanding child abuse and neglect.
Washington, DC, National Academy of Sciences Press, 1993
12. Ketsela T, Kedebe D. Physical punishment of elementary school children
in urban and rural communities in Ethiopia. Ethiopian Medical Journal,
1997, 35:23–33.
13. Madu SN, Peltzer K. Risk factors and child sexual abuse among secondary
students in the Northern Province (South Africa). Child Abuse & Neglect,
2000, 24:259–268
14. Straus MA et al. Identification of child maltreatment with the Parent–Child
Conflict Tactics Scales: development and psychometric data for a national
sample of American parents. Child Abuse & Neglect, 1998, 22:249–270.
15. Ludwig S. Child Abuse and Neglect. Clinical Gate Pediatric. 2015
16. Kirschner RH. Wilson H. Pathology of fatal child abuse. In: Reece RM,
Ludwig S, eds. Child abuse: medical diagnosis and management, 2nd ed.
Philadelphia, PA, Lippincott Williams & Wilkins, 2001:467–516.

27
17. Reece RM, Krous HF. Fatal child abuse and sudden infant death
syndrome. In: Reece RM, Ludwig S, eds. Child abuse: medical diagnosis
and management, 2nd ed. Philadelphia, PA, Lippincott Williams &
Wilkins, 2001:517–543.
18. Fisher-Owens SA, Lukefahr JL, Tate AR; American Academy Of
Pediatrics, Section On Oral Health; Committee On Child Abuse And
Neglect; American Academy Of Pediatric Dentistry, Council On Clinical
Affairs, Council On Scientific Affairs; Ad Hoc Work Group On Child
Abuse And Neglect. Oral and Dental Aspects of Child Abuse and Neglect.
Pediatrics. 2017 Aug;140(2):e20171487. 
19. Hallie J, Joshua P, Nima K, Chad T, Eduardo A, Juan. Identifying Abuse
and Neglect in Hospitalized Children With Burn Injuries. Journal of
Surgical Research. 2021; 257;232-238
20. Christian CW, Levin AV; Council On Child Abuse And Neglect; Section
On Ophthalmology; American Association Of Certified Orthoptists;
American Association For Pediatric Ophthalmology And Strabismus;
American Academy Of Ophthalmology. The Eye Examination in the
Evaluation of Child Abuse. Pediatrics. 2018 Aug;142(2):e20181411. 
21. Delgado Álvarez I, de la Torre IB, Vázquez Méndez É. The radiologist's
role in child abuse: imaging protocol and differential diagnosis.
Radiologia. 2016 May;58 Suppl 2:119-28. 
22. Paul AR, Adamo MA. Non-accidental trauma in pediatric patients: a
review of epidemiology, pathophysiology, diagnosis and treatment. Transl
Pediatr. 2014 Jul;3(3):195-207. doi: 10.3978/j.issn.2224-4336.2014.06.01.
PMID: 26835337; PMCID: PMC4729847.
23. Solís-García G, Marañón R, Medina Muñoz M, de Lucas Volle S, García-
Morín M, Rivas García A. Child abuse in the Emergency department:
Epidemiology, management, and follow-up. An Pediatr (Barc). 2019
Jul;91(1):37-41.

28

Anda mungkin juga menyukai