Anda di halaman 1dari 42

Laboratorium/SMF Ilmu Obstetri dan Ginekologi LAPORAN KASUS

Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman

HIPERTENSI KRONIS SUPERIMPOSED PREEKLAMPSIA

DENGAN KETUBAN PECAH DINI

Disusun Oleh :

Rizki Pratama Nurbi Dayatulah

2210017028

Pembimbing :
dr. Hj. Alfiani Rachmiputeri, Sp. OG (K. Fer)

Laboratorium/SMF Ilmu Obstetri dan Ginekologi


Program Studi Pendidikan Profesi Dokter
Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman
Samarinda
2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkah dan
karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan laporan kasus ini yang
berjudul “Hipertensi Kronis Superimposed Preeklampsia dengan Ketuban Pecah
Dini”. Laporan kasus ini disusun untuk melengkapi tugas Kepaniteraan Klinik
Laboratorium Ilmu Obstetri dan Ginekologi Universitas Mulawarman RSUD
Abdul Wahab Sjaharanie Samarinda.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Hj. Alfiani Rachmiputeri,
Sp.OG (K. Fer) yang telah membimbing dan membantu dalam melaksanakan
kepaniteraan dan dalam menyusun laporan kasus ini.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan baik pada isi maupun format
laporan kasus ini. Oleh karena itu, kami menerima segala kritik dan masukan
dengan tangan terbuka.
Akhir kata kami berharap laporan kasus ini dapat berguna bagi rekan-
rekan serta semua pihak yang ingin mengetahui tentang hipertensi kronis
superimposed preeklampsia.

Samarinda, 18 November 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

Halaman Sampul
Kata Pengantar I
Daftar Isi Ii
BAB 1 Pendahuluan 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Tujuan 2
1.3 Manfaat 2
BAB 2 Laporan Kasus 3
BAB 3 Tinjauan Pustaka 10
3.1 Definisi Preeklamsia 10
3.2 Epidemiologi 10
3.3 Faktor Resiko 11
3.4 Etiopatogenesis 12
3.5 Diagnosis 15
3.6 Tatalaksana 16
3.7 Komplikasi 18
3.8 Definisi KPD 20
3.9 Klasifikasi KPD 20
3.10 Patomekanisme 22
3.11 Diagnosis KPD 23

3.12 Tatalaksana KPD 25

3.13 Prognosis KPD 30

BAB 4 Pembahasan 35
BAB 5 Kesimpulan 37
Daftar Pustaka 38

ii
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Hipertensi dalam kehamilan diderita oleh 10% ibu hamil di seluruh


dunia. Sekitar satu per sepuluh kematian ibu hamil di Asia dan Afrika
berkaitan dengan hipertensi dalam kehamilan (ACOG,2013). Kondisi
hipertensi menggambarkan komplikasi penting selama kehamilan. Di
Indonesia, hipertensi merupakan salah satu dari tiga penyebab tertinggi
mortalitas dan morbiditas ibu hamil (Sarwono, 2014). Pada tahun 2019,
hipertensi dalam kehamilan menjadi penyebab kematian ibu nomor dua
setelah perdarahan (Kemenkes, 2020). Hipertensi dalam kehamilan
diklasifikasikan menjadi hipertensi kronis, preeklampsia-eklampsia, hipertensi
kronis dengan superimposed preeklampsia dan hipertensi gestasional (ACOG,
2013).
Hipertensi didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah diatas
140/90 mmHg yang diukur pada 2 waktu setidaknya 4 jam setelah pengukuran
pertama (Nikos et al, 2022) dan preeklampsia didefinsikan sebagai hipertensi
yang timbul setelah kehamilan 20 minggu dan disertai proteinuria (ACOG,
2013). Hipertensi kronis superimposed preeklampsia mengacu pada hipertensi
yang terjadi baik sebelum kehamilan atau terjadi pada 20 minggu pertama
kehamilan disertai dengan kondisi preeklampsia (Nikos et al, 2022).
Penyebab terjadinya preeklampsia belum sepenuhnya dimengerti.
Namun, terdapat berbagai teori yang menjelaskan terjadinya preeklampsia
dalam kehamilan, seperti teori genetik, teori defisiensi gizi, teori iskemik
plasenta, teori maladaptasi vaskular dan teori stimulus inflamasi (Sarwono,
2014).
Preeklampsia merupakan sindrom spesifik kehamilan yang ditandai
dengan timbulnya hipertensi yang diikuti oleh satu atau lebih kondisi tertentu
seperti proteinuria, disfungsi organ maternal, dan atau disfungsi uteroplasenta
pada usia kehamilan 20 minggu atau lebih di mana sebelumnya memiliki
tekanan darah yang normal (Brown et al, 2018).

1
Kondisi preeklampsia mengakibatkan komplikasi pada ibu dan janin.
Komplikasi yang dapat terjadi pada ibu diantaranya adalah solusio plasenta,
sindrom Hemolysis, Elevated Liver Enzyme, Low Platelets Count (HELLP),
edema paru, kelainan ginjal, dan Disseminated Intravascular Coagulation
(DIC) (5). Pada bayi dapat terjadi prematuritas, sindrom distres napas,
Intrauterine Growth Restriction (IUGR), kematian janin dan neonatal
(Sarwono, 2014).
1.2 Tujuan
Menambah pengetahuan mengenai hipertensi kronis superimposed
preeklampsia dari definisi hingga penatalaksanaan.
1.3 Manfaat
Menambah wawasan dan ilmu pengetahuan penulis dan pembaca
mengenai preeklampsia.

2
BAB 2
LAPORAN KASUS
2.1 Anamnesis
2.1.1 Identitas Pasien

Nama : Ny. AW
Usia : 32 tahun
Agama : Islam
Alamat : Jl. Suwandi No. 3
Pendidikan : Diploma
Pekerjaan : IRT
MRS : 21 November 2022, 23.19 WITA :
2.1.2 Identitas Suami
Nama : Tn. DN
Usia : 31 tahun
Agama : Islam
Alamat : Jl. Suwandi No. 3
Pendidikan : Diploma
Pekerjaan : PNS
2.1.3 Keluhan Utama
Keluar air-air sejak pukul Sebelas malam
2.1.4 Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD Ponek RS Sjahranie dengan keluhan keluar air dari jalan
lahir sejak jam sebelas malam. Air yang keluar bewarna kehijauan dan berbau waktu .
Keluhan disertai dengan perut terasa kencang yang dirasakan 3 jam lalu dan dirasakan
hilang timbul. Pasien mengatakan kakinya mulai membengkak sejak 4 hari lalu.
Pasien tidak mengeluh pusing, tidak mengeluh pandangan kabur, nyeri ulu hati dan
menyangkal adanya keluar lendir darah dari jalan lahir. Pasien menjelaskan rutin
melakukan kontrol kehamilan dan mengatakan memang memiliki riwayat darah tinggi
sejak dia muda sampai hamil sekarang namun tidak ada masalah apapun selama
pemeriksaan dan tidak ada keluhan selama dia hamil. Pasien juga rutin meminum obat
hipertensi terakhir pasien meminum dopamet jam 5 sore hari.
2.1.5 Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien mengatakan dia memiliki riwayat hipertensi sejak dia muda, pasien
menyangkal memiliki riwayat penyakit DM, jantung dan ginjal. Pasien mengatakan
tidak memiliki alergi makanan atau obat-obatan tertentu.

3
2.1.6 Riwayat Penyakit Keluarga
Pasien mengatakan ayahnya juga penderita Hipertensi, DM, Penyakit ginjal, Penyakit
jantung, penyakit menular disangakal pasien
2.1.7 Riwayat Menstruasi
Menarche : 12 tahun
Lama haid : 5-7 hari
Siklus : 30 hari Teratur
Banyak darah : 2 kali ganti pembalut per hari
HPHT : 22 Januari 2022
TP : 29 Oktober 2022
2.1.8 Riwayat Perkawinan
Pasien menikah 1 kali, pertama kali menikah pada usia 27 tahun.
Lama menikah dengan suami sekarang selama 5 tahun.
2.1.9 Riwayat Obstetri
G2P1001A000
No Tahun Penolong/Tempat Usia Jenis Penyulit Keterangan
Kehamilan Persalinan
1. 2018 Dokter/RS Aterm SC Hipertensi Hidup/3000 gr/
2. 2022 Hamil ini

2.1.10 Riwayat Kontrasepsi


Belum pernah menggunakan kontrasepsi.
2.2 Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : Sakit sedang
Kesadaran : Composmentis
BB/TB : 84 kg / 161 cm
Tanda vital
- Tekanan darah : 195/119 mmHg
- Nadi : 111x/menit
- Pernapasan : 20x/menit
- Suhu : 36,0 C

4
- SpO2 : 98%
Status generalis
- Kepala dan leher : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), dan
pembesaran KGB tidak ada.
- Jantung : S1/S2 reguler, murmur (-)
- Paru : Vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)
- Ekstremitas
Superior : Akral hangat, CRT˂2 detik, edema tidak ada.
Inferior : Akral hangat, CRT˂2 detik, pitting edema (+/+).
Status Obstetri
- Inspeksi : Perut membesar sesuai usia kehamilan, striae gravidarum (+),
liena nigra (+)
- Palpasi
TFU : 42 cm
Leopold I : Kesan kaki-tangan
Leopold II : Letak kepala
Leopold III : Kesan punggung kanan
Leopold IV : Belum masuk PAP
TBJ : 4865 gr
HIS :-
DJJ : 143x/menit
- Pemeriksaan dalam : Portio Keras, pembukaan 1 cm, H1, merembes
ketuban bewarna hijau, lama 1 Jam, Ph 8 pada kertas lakmus
2.3 Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
- Hematologi
Leukosit : 11,9 ↑
Eritrosit : 3,78
Hemoglobin : 10,4↓
Hematokrit : 32,5% ↓
Trombosit : 243. 000

5
- Kimia Klinik
GDS : 105 mg/dL
Ureum : 26,6 mg/dl
Creatinin : 0,9 mg/dl
- Urinalisa
Makroskopis
o Warna : Kuning
o Kejernihan : Keruh
o Ph :6
Mikroskopis
o Berat jenis : 1.025
o Keton :+1
o Protein : +1
2.4 Diagnosa Kerja
G2P1001A000 gravid 38 minggu + janin tunggal hidup intrauterin, + hipertensi kronis
superimposed preeklampsia + KPD + BSC 1x
2.5 Tatalaksana
- Observasi keadaan umum dan tanda-tanda vital
- Observasi DJJ, HIS
- Protap MgSO4 ( loading dose 4 gr MgSO4 40% + maintenance dose 6 gr
MgSO4 dalam 500 cc RL selama 6 jam sampai 24 jam)
- Nifedipine PO 3 x 10 mg
- Cefotaxim Injeksi 2 x 1 gr dalam 10 cc
- Keterolac 3 x 10 mg PO
- Terminasi kehamilan

6
2.6 Follow-Up
Tanggal Observasi

21/10/2022 Menerima pasien


Jam: 23.34 S: Keluar air-air sejak jam sebelas, Air bewarna kehijuan
O: GCS 15
TD: 191/119 mmHg
N: 111x/menit
RR: 22 x/menit
SpO2:98%
T: 36
His: Tidak ada
DJJ: 143x Menit
A: G2P1A0 gravid 38 mgg THIU PEB + KPD
P: Nifedipine 3x10 mg
Inj Cefotaxim 3x1 gram IV
Terminasi Kehamilan

22/10/2022 S: Masih Keluar air-air Gerak bayi masih ada


Jam: 06:00 O: GCS 15
RR: 18x Menit
SpO2: 98 %
TD: 147/85 mmHg
N: 97 x/Menit
T: 36 C
HIS: Tidak ada
DJJ: 140 x Menit
Produksi Urin 800 cc
A: G2P1A0 gravid 38 mgg THIU PEB + KPD
P: Lanjutkan terapi sesuai advis
Terminasi Pro SC Jam 9:30
Inj Cefotaxime 1 gr IV 1 sebelum SC

7
LAPORAN PARTUS

Bayi Lahir Tanggal : 22/10/2020 Jam: 10.20 WITA


Apgar Score : 8/9
BBL/PB : 3350 gram/52 cm
Indikasi : Aterm dengan PEB + KPD
Plasenta Lahir : 10:25
Kelainan Pada Plasenta : - (Lahir Lengkap)
Panjang tali Pusat : + 55 cm
Berat : + 500 gram
Pengobatan : IVFD RL + MgSO4 40 % 28 tpm Post Op
IVFD RL + Oksitosin 10 IU 25 tpm
Injeksi Cefotaxim, 1 gram
Injeksi Keterolac
Injeksi As. Traneksamat
Transfusi :-
Perdarahan : 300 cc

Keadaan Ibu Post Partum


S: Nyeri Bekas Operasi
O: KU Sakit Ringan
GCS 15
TD: 120/74 mmHg
N: 113 Kali/ Menit
RR: 14 Kali
T: 36,5 C
SpO2: 98
TFU: 1 Jari diatas Pusat
Kontraksi Keras
A: P2A0 Postpartum + PEB + KPD + BSC 2 x
P: IVFD RL + MgSO4 40 % 28 tpm Post Op 24 Jam
IVFD RL + Oksitosin 10 IU 25 tpm
Injeksi Cefotaxim, 1 gram
Injeksi Keterolac
Injeksi As. Traneksamat
Injeksi Ondansentron

8
23/10/2022
Jam 08:00
S: Tidak ada Keluhan
O: KU baik
GCS 15
TD: 158/95 mmHg
N: 83 x Menit
RR: 20x/Menit
SpO2: 97%
TFU: 1 Jari diatas Pusat
Kontraksi Kuat
A: P2A0 Postpartum + PEB + KPD + BSC 2x
P: Nifediphene PO 3x 10 mg
Ketorolac 3x 10 mg Peroral
Drip RL MgSO4 40 % 28 tpm 24 jam Post Op

24/10/2020
Pasien Sudah Pulang
Jam 08:00

9
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi

Hipertensi pada kehamilan didefinisikan sebagai peningkatan


tekanan darah diatas 140/90 mmHg yang diukur pada 2 waktu setidaknya 4
jam setelah pengukuran pertama (Nikos et al, 2022) dan preeklampsia
didefinsikan sebagai hipertensi yang timbul setelah kehamilan 20 minggu dan
disertai proteinuria (ACOG, 2013). Hipertensi kronis superimposed
preeklampsia mengacu pada hipertensi yang terjadi baik sebelum kehamilan
atau terjadi pada 20 minggu pertama kehamilan disertai dengan kondisi
preeklampsia (Nikos et al, 2022).
3.2 Epidemiologi
Angka kejadian preeklamsia di seluruh dunia berbeda-beda karena
banyak faktor yang memengaruhinya. Kejadian preeklamsia diperkirakan 3–
5% dari semua kehamilan, dengan mayoritas berupa preeklamsia berat.
Preeklamsia lebih sering terjadi pada usia kehamilan setelah 34 minggu yaitu
2,7% dibandingkan dengan preeklamsia sebelum usia kehamilan 34 minggu
sebesar 0,3% (Lisonkova et al, 2013). Sekitar sepertiga dari semua kematian
pada kehamilan disebabkan karena komplikasi preeklamsia (Dhariwal et al,
2017).
Berdasarkan data WHO tahun 2008, kejadian preeklamsia di seluruh
dunia diperkirakan 0,51–38,4% (WHO, 2008). WHO juga memperkirakan
kejadian preeklamsia di negara berkembang tujuh kali lebih tinggi
dibandingkan negara maju. Prevalensi di negara maju sebesar 0,4%
sedangkan di negara berkembang 2,8% (WHO,2005). Di Amerika Latin dan
Karibia, hipertensi dalam kehamilan berkontribusi terhadap 26% kematian
ibu, sedangkan di Afrika dan Asia hipertensi berkontribusi terhadap 9%
kematian ibu (ACOG, 2019). Di Indonesia, insiden preeklamsia 128.273
kasus per tahun atau sekitar 5,3% dari seluruh populasi ibu bersalin.
Preeklamsia merupakan penyebab kematian ibu yang tinggi setelah
perdarahan yaitu 25,3% (Kemenkes, 2020).

10
3.3 Faktor Resiko
Faktor resiko terjadinya preeklampsia adalah sebagai berikut.
a. Usia
Usia muda (≤19 tahun) berkaitan dengan peningkatan risiko
preeklampsia ringan dan berat, namun hal ini tidak berlaku untuk kasus
hipertensi kronis dengan superimposed preeklampsia. Sebaliknya,
perempuan yang hamil pada usia lanjut (≥35 tahun) memiliki risiko lebih
tinggi terkena hipertensi dan superimposed preeklampsia (Cavazos et al,
2015). Kehamilan di atas 35 tahun rentan mengalami komplikasi o bstetrik
seperti hipertensi dalam kehamilan. Hal ini kemungkinan berhubungan
dengan kerusakan endotel akibat proses degeneratif, termasuk pada arteri
spiralis.
b. Paritas
Hubungan antara paritas dan preeklampsia berkaitan dengan
imunitas ibu. Preeklampsia merupakan konsekuensi reaksi imun ibu
terhadap antigen plasenta, yang menyebabkan gangguan invasi trofoblas
dan disfungsi plasenta (Hernandez et al, 2009). Pada nullipara,
pembentukan blocking antibodies yang kurang optimal dan menurunnya
ekspresi HLA-G pada sitotrofoblas menyebabkan hambatan invasi
trofoblas pada arteri spiralis.
c. Indeks Massa Tubuh
Mekanisme obesitas sebagai faktor risiko preeklampsia belum
sepenuhnya dimengerti, namun terdapat faktor-faktor pada obesitas yang
juga terdapat pada preeklampsia, diantaranya stres oksidatif, beredarnya
faktor-faktor inflamasi dalam darah, dislipidemia, hiperinsulinemia,
resistensi insulin dan gangguan pada pembuluh darah.
d. Riwayat preeklampsia sebelumnya
e. Riwayat ANC

11
3.4 Etiopatogenesis
Preeklampsia merupakan hasil akhir berbagai faktor pada ibu,
plasenta dan janin. Faktor-faktor yang dianggap penting mencakup implantasi
plasenta disertai invasi trofoblas abnormal pada pembuluh darah uterus,
toleransi imunologis maladaptif, maladaptasi maternal terhadap perubahan
kardiovaskular atau inflamatorik selama kehamilan, serta faktor genetik
(Cunningham et al, 2012):
1. Teori Kelainan Vaskularisasi Plasenta
Pada kehamilan normal terjadi invasi sel-sel trofoblas ke lapisan
otot arteri spiralis, sehingga lapian otot berdegenerasi dan terjadi dilatasi
arteri spiralis. Invasi sel-sel trofoblas ke jaringan matriks sekitar juga
memudahkan lumen arteri mengalami vasodilatasi. Dilatasi lumen arteri
menurunkan resistensi vaskular. Akibatnya aliran darah uteroplasenta
meningkat, sehingga dapat menjamin pertumbuhan janin (Sarwono, 2014).
Pada hipertensi dalam kehamilan tidak terjadi invasi sel-sel trofoblas ke
lapisan otot arteri spiralis dan jaringan matriks sekitar. Lapisan otot
arteri spiralis tetap kaku dan keras, sehingga lumen arteri spiralis
mengalami vasokonstriksi. Kegagalan remodeling arteri spiralis
menyebabkan aliran darah uteroplasenta menurun, sehingga terjadi
hipoksia dan iskemik plasenta (Sarwono, 2014).
2. Teori iskemia plasenta, radikal bebas, dan disfungsi endotel
- Iskemia plasenta dan pembentukan oksidan/radikal bebas
Plasenta yang mengalami hipoksia dan iskemia dapat
menyebabkan produksi dari oksidan/radikal bebas. Oksidan/radikal
bebas merupakan senyawa penerima elektron atau molekul yang
mempunyai elektron yang tidak berpasangan. Salah satu oksidan
penting yang diproduksi oleh plasenta iskemia ialah radikal hidroksil
yang dimana radikal hidroksil tersebut memiliki sifat yang sangat
toksik, khususnya terhadap membran sel endotel pembuluh darah.
Pada kondisi hipoksia plasenta juga dapat menyebabkan peningkatan
faktor antiangiogenik yaitu Soluble fms-like tyrosine kinase 1 (sFlt 1),

12
soluble endoglin (sEng) dan penurunan faktor proangiogenik yaitu
placental growth factor (PIGF) dan vascular endothelial growth
factor(VEGF) (Sofiani, 2016). Placental growth factor (PIGF)
berperan sebagai vasodilator kuat dan melebarkan arteri. Soluble
fmslike tyrosine kinase- 1(sFlt 1) bereaksi antagonis terhadap reseptor
VEGF dan PIGF (VEGFR-1), akibat reaksi antagonis tersebut
menyebabkan terganggunya proses angiogenesis plasenta. Akhir dari
proses tersebut menyebabkan sindrom preeklamsia yaitu proteinuria,
hipertensi dan disfungsi endotel. Kadar sFlt-1 meningkat pada akhir
trimester II ,kemudian seiring berjalannya waktu pada kondisi
preeklamsia sFlt-1 meningkat 2-4 kali dibanding kehamilan normal
dan akan meningkat pesat pada preeklamsia berat. Kadar sFlt-1 akan
menurun setelah melahirkan, baik pada pasien dengan kehamilan
normal maupun kehamilan dengan preeklamsia.mereka.
- Disfungsi Endotel
Akibat peroksida lemak yang tinggi menyebabkan kerusakan
dari membran sel endotel yang pada akhirnya menyebabkan disfungsi
endotel/ endhotelial dysfunction. Akibat disfungsi endotel
menyebabkan penurunan produksi prostasiklin (PGE2), karena salah
satu fungsi sel endotel adalah memproduksi prostasiklin. Prostasiklin
merupakan suatu vasodilator, dengan begitu jika prostasiklin menurun
dapat menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah (Sarwono, 2014).
Disfungsi endotel juga menyebabkan terjadinya agregrasi sel-
sel trombosit pada daerah endotel yang mengalami kerusakan.
Agregasi ini merupakan mekanisme kompensasi yang memiliki tujuan
untuk menutup tempat-tempat di lapisan endotel yang mengalami
kerusakan. Agregasi sel-sel trombosit ini memproduksi tromboksan
(TXA 2) yang dimana tromboksan merupakan vasokonstriktor kuat
sehingga terjadilah vasokonstriksi dari pembuluh darah (Sarwono,
2014).

13
Selain itu akan terjadi perubahan khas pada sel endotel kapilar
glomelurus (glomerular endotheliosis), peningkatan permeabilitas
kapiler, peningkatan faktor koagulasi dan peningkatan produksi
bahan-bahan vasokonstriktor seperti endotelin sehingga kadar
vasodilator seperti nitrit oxide (NO) menurun.
3. Teori Intoleransi Imunologik
Human Leukocyte Antigen Protein G (HLA-G) berperan dalam
modulasi respon imun ibu sehingga tidak terjadi penolakan terhadap hasil
konsepsi. HLA-G juga melindungi trofoblas janin dari sel Natural Killer
(NK) agar tidak terjadi lisis. Kadar HLA-G menurun pada ibu yang
mengalami hipertensi dalam kehamilan. Penurunan ekspresi HLA-G
menyebabkan invasi trofoblas ke dalam desidua terhambat. Selain itu
HLA-G juga merangsang produksi sitikon sehingga memudahkan
terjadinya reaksi inflamasi (Sarwono, 2014).
4. Teori Adaptasi Vaskular
Pada kehamilan normal, pembuluh darah bersifat refakter terhadap
bahan-bahan vasopresor. Pembuluh darah menjadi tidak peka terhadap
bahan-bahan vasopresor sehingga dibutuhkan lebih banyak vasopresor
untuk menimbulkan vasokonstriksi. Hal ini berkaitan menurunnya sintesis
prostaglandin pada sel endotel pembuluh darah. Pada hipertensi dalam
kehamilan, pembuluh darah kehilangan daya refrakter tersebut sehingga
terjadi peningkatan kepekaan pembuluh darah terhadap bahan-bahan
vasopresor (Sarwono, 2014).
5. Teori Stimulus Inflamasi
Menurunnya perfusi dan lingkungan yang hipoksik menyebabkan
pelepasan debris plasenta ke dalam sirkulasi darah. Debris plasenta
tersebut mencetuskan respon inflamasi sistemik. Pada kehamilan normal,
plasenta juga melepaskan debris akibat reaksi stress oksidatif melalui
proses apoptosis dan nekrotik trofoblas. Debris ini dihasilkan dalam batas
wajar sehingga reaksi inflamasi masih dalam batas normal. Pada
preeklampsia terjadi peningkatan stress oksidatif sehingga debris trofoblas

14
yang dihasilkan juga semakin banyak, menyebabkan reaksi inflamasi
menjadi lebih hebat (Sarwono, 2014).
6. Teori Defisiensi Gizi
Beberapa penelitian menyatakan bahwa kekurangan gizi berperan
dalam terjadinya hipertensi dalam kehamilan. Asupan asam askorbat
kurang dari 85 mg per hari meningkatkan risiko preeklampsia dua kali
lipat. Diet tinggi buah dan sayuran berkaitan dengan penurunan tekanan
darah karena kandungan antioksidannya. Penelitian lain menunjukkan
bahwa konsumsi vitamin C, vitamin E dan suplementasi kalsium pada
populasi dengan intake kalsium yang rendah tidak memiliki manfaat dalam
pencegahan preeklampsia.5 Penelitian yang dilakukan Schoenaker dkk
(2016) menyatakan tingginya intake energi total, kurangnya asupan
kalsium dan magnesium selama kehamilan berkaitan dengan kejadian
hipertensi dalam kehamilan (Schoenaker et al, 2014).
Phipps E memaparkan patogenesis preeklampsia melalui dua tahap:
remodeling arteri spiralis inkomplit menyebabkan iskemik plasenta dan
pelepasan faktor-faktor antiangiogenik dari plasenta yang iskemik ke dalam
sirkulasi maternal yang berkontribusi dalam kerusakan endotel (Phipps et al,
2016).
3.5 Diagnosis
Pada preeklampsia ringan, diagnosis ditegakkan jika ditemukan
hipertensi, proteinuria dengan/tanpa udem pada usia kehamilan diatas 20
minggu. Kriteria preeklampsia ringan jika tekanan darah ≥140/90 mmHg.
Hipertensi diiringi proteinuria ≥300 mg/24 jam atau ≥1+ dipstick dan udem
pada lengan, wajah, perut atau seluruh tubuh. Pada hipertensi kronis
superimposed preeklampsia, terdapat riwayat hipertensi yang telah terjadi
sebelum kehamilan disertasi dengan preeklampsia pada kehamilan.
Diagnosis preeklampsia berat ditegakkan bila ditemukan satu atau
lebih gejala berikut.
1. Tekanan darah sistolik ≥160 mmHg dan diastolik ≥110 mmHg
2. Proteinuria > 5 g dalam 24 jam atau 4+ pada pemeriksaan kualitatif.

15
3. Oliguria.
4. Kadar kreatinin plasma meningkat.
5. Gangguan visus dan serebral, seperti nyeri kepala, penurunan kesadaran,
skotoma dan pandangan kabur.
6. Nyeri epigastrium atau nyeri pada kuadran kanan atas abdomen.
7. Edema paru.
8. Hemolisis mikroangiopatik.
9. Trombositopenia berat (<100.000 sel/mm3).
10. Gangguan fungsi hepar, ditandai peningkatan kadar alanin dan aspartate
aminotransferase.
11. Pertumbuhan janin intrauterin terhambat.
12. Sindrom HELLP (Sarwono, 2014)).
Sindrom HELLP adalah kumpulan gejala yang mencakup hemolisis,
peningkatan enzim liver, dan jumlah platelet yang kurang dari ambang
normal (Harmon et al,2015).
Pada penderita preeklampsia dapat memberikan gejala atau tanda khas
sebelum terjadinya kejang yang disebut sebagai tanda prodromal.
Preeklampsia disertai dengan tanda prodromal disebut impending eklampsia.
Tanda-tanda tersebut antara lain nyeri kepala hebat, gangguan visus, muntah-
muntah,nyeri epigastrium dan kenaikan progresif tekanan darah (Sarwono,
2014).
3.6 Tatalaksana
Tatalaksana Kehamilan yang disertai preeklamsia diterapi berdasarkan
tingkat keparahan dan usia gestasinya. Tatalaksana dasar pada preeklamsia
ditujukan untuk: (1) terminasi kehamilan dengan kemungkinan trauma bagi
ibu dan janin; (2) melahirkan bayi yang cukup bulan agar dapat bertahan
hidup; dan (3) pemulihan kesehatan ibu secara total. Adapun manajemen
tatalaksana preeklamsia sebagai berikut (ACOG, 2013).
1. Manajemen ekspektatif atau aktif
Tujuan utamanya untuk mengurangi angka morbiditas neonatal
dengan cara memperbaiki luaran perin atal serta memperpanjang usia

16
kehamilan atau mempertahankan kehamilan selama mungkin dengan
medikamentosa
a. Manajemen ekspektatif pada preeklamsia ringan
 Direkomendasikan pada kasus preeklamsia ringan dengan usia
kehamilan yang kurang dari 37 minggu dengan evaluasi pada ibu
dan janin yang ketat.
 Perawatan poliklinis dilakukan secara ketat.
 Evaluasi yang dilakukan meliputi: evaluasi gejala maternal dan
gerakan janin setiap hari oleh pasien, evaluasi tekanan darah
2x/minggu, evaluasi jumlah trombosit dan fungsi liver tiap minggu,
evaluasi USG dan kesejahteraan janin, dan evaluasi menggunakan
Doppler velocimetry jika didapatkan tanda pertumbuhan janin
terhambat.
b. Manajemen ekspektatif pada preeklamsia berat
 Direkomendasikan pada preeklamsia berat dengan usia kehamilan
kurang dari 34 minggu dengan kondisi ibu dan janin stabil, dan
untuk melakukan perawatan di fasilitas kesehatan yang adekuat
dengan tersedianya perawatan intensif.
 Pemberian kortikosteroid direkomendasikan untuk membantu
pematangan paru janin.
 Direkomendasikan untuk rawat inap selama perawatan ekspektatif
2. Pemberian MgSO4 untuk mencegah kejang
Pada preeklamsia, pemberian MgSO4 ditujukan untuk mencegah
dan mengurangi angka kejadian eklampsia. Magnesium sulfat
direkomendasikan sebagai profilaks terhadap eklampsia pada pasien
dengan preeklamsia berat dan merupakan pilihan utama dibandingkan
diazepam atau fenitoin. Magnesium sulfat yang diberikan secara parenteral
(intravena ataupun intramuskular) bersifat sebagai antikonvulsan yang
efektif dan tidak menimbulkan penekanan sistem saraf pusat, baik pada ibu
maupun pada janin. Magnesium sulfat menyebabkan vasodilatasi melalui
relaksasi otot polos, pembuluh darah perifer, dan uterus sehingga

17
berperan juga sebagai antihipertensi dan tokolitik. Magnesium sulfat juga
berperan menghambat reseptor NMDA di otak yang jika teraktivasi dapat
menyebabkan masuknya kalsium kedalam neuron sehingga
mengakibatkan kerusakan sel yang berujung pada timbulnya kejang10,24.
3. Antihipertensi
Indikasi utama pemberian antihipertensi adalah untuk
menyelamatkan ibu dan mencegah penyakit serebrovaskular. Diberikan
pada pasien preeklamsia dengan hipertensi berat atau tekanan darah ≥
160/110 mmHg dengan target penurunan tekanan darah < 160/110 mmHg.
Obat antihipertensi yang umumnya dipakai di Indonesia adalah nifedipine
sebagai lini pertama yang bekerja menghambat kanal kalsium untuk
mencegah persalinan preterm dan tentu sebagai antihipertensi. Alternatif
pemberian antihipertensi lainnya adalah nitrogliserin, metildopa, ataupun
labetalol24.
4. Kortikosteroid untuk pematangan paru
Pemberian kortikosteroid antenatal pada usia kehamilan ≤ 34
minggu ditujukan untuk menurunkan mortalitas janin dan neonatal serta
menurunkan risiko Respiratory Distress Syndrome (RDS). Pemberian ini
tidak berhubungan dengan adanya infeksi atau sepsis puerperalis pada
ibu24.
5. Terminasi kehamilan
Terminasi kehamilan merupakan terapi definitif preeklamsia.
Tujuan utamanya adalah untuk mencegah kejang, mencegah terjadinya
perdarahan intrakranial, mencegah kerusakan pada organ vital, serta untuk
melahirkan bayi yang sehat10,52.
3.7 Komplikasi
Dampak preeklamsia bisa mempengaruhi kondisi ibu dan janin.
Beberapa komplikasi yang bisa terjadi pada ibu,yaitu (Kalam et al, 2017).
1. Edema paru, pada preeklamsia terjadi kerusakan endotel vascular sehingga
menyebabkan pelepasan sitokin proinflamasi seperti TNF- α dan IL-1
maka akibat dari inflamasi yang terjadi menyebabkan terganggunya

18
permeabilitas kapiler diseluruh organ dan salah satunya ialah paru.
Dengan permeabilitas kapiler yang terganggu menyebabkan
transudasi cairan ke alveoli sehingga terjadilah edema paru (Sofiani,
2016).
2. Gangguan visus (pandangan kabur, scotomata, amaurosis, ablasio
retina) karena spasme arteri retina dan edema retina (Sarwono,
2014).
3. Konvulsi/kejang yang disebabkan oleh edema serebri, vasospasme
serebri dan iskemia serebri (Sarwono, 2014).
4. Gagal ginjal akut
5. Ablasio plasenta
6. HELLP syndrome
7. Mortalitas ibu
Kemudian, komplikasi yang akan mempengaruhi kondisi janin adalah :
(Kalam et al, 2017).
1. Intrauterine growth restriction(IUGR)
2. Berat badan lahir rendah(BBLR), terjadi akibat bekurangnya aliran
darah plasenta menyebabkan terjadinya hipoksia dan iskemia
plasenta. Kondisi tersebut menyebabkan penurunan aliran nutrisi dan
oksigen ke janin sehingga janin berisiko mengalami PJT yang pada
akhirnya bisa menjadi BBLR.
3. Asfiksia, terjadi karena berkurangnya aliran darah ke plasenta maka
suplai oksigen yang dibawa pun berkurang. Maka dari itu bisa
menyebabkan hipoksia, efek dari hipoksia itu bisa menyebabkan
asfiksia neonatorum.
4. Prematuritas terjadi karena peningkatan sensitivitas otot rahim akibat
reaksi stress individu yang dipicu oleh peningkatan resistensi
pembuluh darah pada preeklamsia. Peningkatan sensitivitas otot
rahim menyebabkan terjadinya kontraksi uterus sehingga terjadilah
persalinan preterm. Selain itu, akibat peningkatkan resistensi
pembuluh darah berisiko akan terjadi ketuban pecah dini, dimana
kondisi tersebut perlu dilakukannya tindakan secepatnya maka bisa

19
berakhir pada persalinan preterm.
5. Gawat janin
6. Mortalitas perinatal.

KPD

4.1 Definisi
Ketuban pecah dini (KPD) didefinisikan sebagai pecahnya selaput
ketuban sebelum terjadinya persalinan. Ketuban pecah dini dapat terjadi
pada atau setelah usia gestasi 37 minggu dan disebut KPD aterm atau
premature rupture of membranes (PROM) dan sebelum usia gestasi 37
minggu atau KPD preterm atau preterm premature rupture of membranes
(PPROM) (Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia, 2016).

4.2 Klasifikasi
4.2.1 KPD Preterm (PPROM)
Ketuban pecah dini preterm adalah pecah ketuban yang terbukti
dengan vaginal pooling, tes nitrazin dan, tes fern atau IGFBP-1 (+) pada
usia <37 minggu sebelum onset persalinan. KPD sangat preterm adalah
pecah ketuban saat umur kehamilan ibu antara 24 sampai kurang dari 34
minggu, sedangkan KPD preterm saat umur kehamilan ibu antara 34
minggu sampai kurang 37 minggu (Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi
Indonesia, 2016).
Definisi preterm bervariasi pada berbagai kepustakaan, namun
yang paling diterima dan tersering digunakan adalah persalinan kurang
dari 37 minggu (Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia, 2016).
4.2.2 KPD Aterm (PROM)
Ketuban pecah dini/ premature rupture of membranes (PROM)
adalah pecahnya ketuban sebelum waktunya yang terbukti dengan vaginal
pooling, tes nitrazin dan tes fern (+), IGFBP-1 (+) pada usia kehamilan ≥
37 minggu (Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia, 2016).
4.2.3 Faktor Risiko
Penyebab ketuban pecah dini belum diketahui secara pasti, namun
faktor predisposisi yang mungkin adalah infeksi yang terjadi langsung
pada ketuban atau asenderen dari vagina atau serviks. Selain itu, kelainan
fisiologi ketuban, inkompetensi serviks, malposisi janin, wanita lebih

20
muda dari 20 tahun dan lebih tua dari 35 tahun, faktor golongan darah,
faktor multi-graviditas/paritas, merokok, kondisi sosial ekonomi,

21
pendidikan ibu, perdarahan antepartum, catatan abortus dan riwayat partus
prematur, catatan ketuban pecah dini sebelumnya, defisiensi nutrisi asam
askorbat, ketegangan rahim yang berlebihan, pinggul yang sempit,
kelelahan ibu saat bekerja, dan trauma seperti hubungan seksual,
pemeriksaan internal dan amniosentesis (Maryuni, 2017).
Berbagai faktor risiko berhubungan dengan KPD, khususnya pada
kehamilan preterm. Pasien berkulit hitam memiliki risiko yang lebih tinggi
bila dibandingkan dengan pasien kulit putih (Perkumpulan Obstetri dan
Ginekologi Indonesia, 2016). Infeksi, malpresentasi janin, kehamilan
ganda dan kelebihan cairan ketuban, inkompetensi serviks, trauma pada
abdomen juga merupakan faktor risiko pada KPD (Gahwagi, Busarira, &
Atia, 2015). Selain itu, terdapat beberapa faktor risiko lainnya antara lain,
rendahnya status sosial ibu hamil, kurangnya pengobatan selama hamil,
rendahnya status gizi saat hamil, infeksi menular seksual, perdarahan per
vaginam, merokok saat hamil dan berat janin (Maryuni, 2017).
Prosedur yang dapat berakibat pada kejadian KPD aterm antara lain
sirklase dan amniosentesis. Tampaknya tidak ada etiologi tunggal yang
menyebabkan KPD. Penurunan jumlah kolagen dari membran amnion juga
diduga merupakan faktor predisposisi KPD preterm (Perkumpulan Obstetri
dan Ginekologi Indonesia, 2016).

4.3 Patomekanisme
Ketuban pecah dalam persalinan secara umum disebabkan oleh
kontraksi uterus dan peregangan berulang. Selaput ketuban pecah karena
pada daerah tertentu terjadi perubahan biokimia yang menyebabkan
selaput ketuban rapuh. Dimana proses biokimia terjadi pada kolagen
matriks ekstra selular amnion, korion, dan apoptosis membran janin.
Membran janin dan desidua bereaksi terhadap stimuli seperti infeksi dan
peregangan selaput ketuban dengan memproduksi mediator seperti
prostaglandin, sitokinin, dan protein hormone yang merangsang aktivitas
“matrix degrading enzym”. Normalnya, terdapat keseimbangan antara
sintesis dan degradasi matriks ekstraselular. Namun, perubahan struktur,

22
jumlah sel, dan katabolisme kolagen menyebabkan aktivitas kolagen
berubah dan menyebabkan selaput ketuban pecah (Soewarto, 2014).

4.4 Diagnosis
Penilaian awal dari ibu hamil yang datang dengan keluhan KPD
aterm harus meliputi 3 hal, yaitu konfirmasi diagnosis, konfirmasi usia
gestasi dan presentasi janin, dan penilaian kesejahteraan maternal dan
fetal. Tidak semua pemeriksaan penunjang terbukti signifikan sebagai
penanda yang baik dan dapat memperbaiki luaran. Oleh karena itu, akan
dibahas mana pemeriksaan yang perlu dilakukan dan mana yang tidak
cukup bukti untuk perlu dilakukan (Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi
Indonesia, 2016).
 Anamnesis dan pemeriksaan fisik (termasuk pemeriksaan spekulum)
KPD aterm didiagnosis secara klinis pada anamnesis pasien dan
visualisasi adanya cairan amnion pada pemeriksaan fisik. Dari anamnesis
perlu diketahui waktu dan kuantitas dari cairan yang keluar, usia gestasi
dan taksiran persalinan, riwayat KPD aterm sebelumnya, dan faktor
risikonya. Pemeriksaan digital vagina yang terlalu sering dan tanpa
indikasi sebaiknya dihindari karena hal ini akan meningkatkan risiko
infeksi neonatus. Spekulum yang digunakan dilubrikasi terlebih dahulu
dengan lubrikan yang dilarutkan dengan cairan steril dan sebaiknya tidak
menyentuh serviks. Pemeriksaan spekulum steril digunakan untuk
menilai adanya servisitis, prolaps tali pusat, atau prolaps bagian terbawah
janin (pada presentasi bukan kepala); menilai dilatasi dan pendataran
serviks, mendapatkan sampel dan mendiagnosis KPD aterm secara
visual. Dilatasi serviks dan ada atau tidaknya prolaps tali pusat harus
diperhatikan dengan baik. Jika terdapat kecurigaan adanya sepsis, ambil
dua swab dari serviks (satu sediaan dikeringkan untuk diwarnai dengan
pewarnaan gram, bahan lainnya diletakkan di medium transport untuk
dikultur. Jika cairan amnion jelas terlihat mengalir dari serviks, tidak
diperlukan lagi pemeriksaan lainnya untuk mengkonfirmasi diagnosis.
Jika diagnosis tidak dapat dikonfirmasi, lakukan tes pH dari forniks

23
posterior vagina (pH cairan amnion biasanya ~ 7.1-7.3 sedangkan sekret
vagina ~ 4.5 - 6) dan cari arborization of fluid dari forniks posterior
vagina. Jika tidak terlihat adanya aliran cairan amnion, pasien tersebut
dapat dipulangkan dari rumah sakit, kecuali jika terdapat kecurigaan
yang kuat ketuban pecah dini. Semua presentasi bukan kepala yang
datang dengan KPD aterm harus dilakukan pemeriksaan digital vagina
untuk menyingkirkan kemungkinaan adanya prolaps tali pusat
(Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia, 2016).
 Ultrasonografi (USG)
Pemeriksaan USG dapat berguna untuk melengkapi diagnosis untuk
menilai indeks cairan amnion. Jika didapatkan volume cairan amnion
atau indeks cairan amnion yang berkurang tanpa adanya abnormalitas
ginjal janin dan tidak adanya pertumbuhan janin terhambat (PJT) maka
kecurigaan akan ketuban pecah sangatlah besar, walaupun normalnya
volume cairan ketuban tidak menyingkirkan diagnosis. Selain itu USG
dapat digunakan untuk menilai taksiran berat janin, usia gestasi dan
presentasi janin, dan kelainan kongenital janin (Perkumpulan Obstetri
dan Ginekologi Indonesia, 2016).
 Pemeriksaan laboratorium
Pada beberapa kasus, diperlukan tes laboratorium untuk menyingkirkan
kemungkinan lain keluarnya cairan/ duh dari vagina/ perineum. Jika
diagnosis KPD aterm masih belum jelas setelah menjalani pemeriksaan
fisik, tes nitrazin dan tes fern, dapat dipertimbangkan. Pemeriksaan
seperti insulin-like growth factor binding protein 1(IGFBP-1) sebagai
penanda dari persalinan preterm, kebocoran cairan amnion, atau infeksi
vagina terbukti memiliki sensitivitas yang rendah. Penanda tersebut juga
dapat dipengaruhi dengan konsumsi alkohol. Selain itu, pemeriksaan lain
seperti pemeriksaan darah ibu dan CRP pada cairan vagina tidak
memprediksi infeksi neonatus pada KPD preterm (Perkumpulan Obstetri
dan Ginekologi Indonesia, 2016).

24
4.5 Penatalaksanaan

Gambar 3.1 Algoritma Manajemen Ketuban Pecah Dini (Perkumpulan


Obstetri dan Ginekologi Indonesia, 2016)

25
Gambar 3.2 Manajemen KPD Berdasakan Usia Kehamilan (American
College of Obstetricians and Gynecologists, 2020)
Prinsip utama penatalaksanaan KPD adalah untuk mencegah
mortalitas dan morbiditas perinatal pada ibu dan bayi yang dapat
meningkat karena infeksi atau akibat kelahiran preterm pada kehamilan
dibawah 37 minggu. Prinsipnya penatalaksanaan ini diawali dengan
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan beberapa pemeriksaan penunjang yang
mencurigai tanda-tanda KPD. Setelah mendapatkan diagnosis pasti, dokter
kemudian melakukan penatalaksanaan berdasarkan usia gestasi. Hal ini
berkaitan dengan proses kematangan organ janin, dan bagaimana
morbiditas dan mortalitas apabila dilakukan persalinan maupun tokolisis.
Terdapat dua manajemen dalam penatalaksanaan KPD, yaitu manajemen
aktif dan ekspektatif. Manajemen ekspektatif adalah penanganan dengan
pendekatan tanpa intervensi, sementara manajemen aktif melibatkan
klinisi untuk lebih aktif mengintervensi persalinan. Berikut ini adalah
tatalaksana yang dilakukan pada KPD berdasarkan masing-masing
kelompok usia kehamilan (Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi
Indonesia, 2016).
 Usia kehamilan <24 minggu

26
Pada usia kehamilan kurang dari 24 minggu dengan KPD preterm
didapatkan bahwa morbiditas minor neonatus seperti hiperbilirubinemia
dan takipnea transien lebih besar apabila ibu melahirkan pada usia tersebut
dibanding pada kelompok usia lahir 36 minggu. Morbiditas mayor seperti
sindroma distress pernapasan dan perdarahan intraventrikular tidak secara
signifikan berbeda. Pada saat ini, penelitian menunjukkan bahwa
mempertahankan kehamilan adalah pilihan yang lebih baik (Perkumpulan
Obstetri dan Ginekologi Indonesia, 2016).
Ketuban Pecah Dini usia kehamilan 24 - 34 minggu. Pada usia
kehamilan antara 30-34 minggu, persalinan lebih baik daripada
mempertahankan kehamilan dalam menurunkan insiden korioamnionitis
secara signifikan. Tetapi tidak ada perbedaan signifikan berdasarkan
morbiditas neonatus. Pada saat ini, penelitian menunjukkan bahwa
persalinan lebih baik dibanding mempertahankan kehamilan
(Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia, 2016).
 Usia kehamilan 34-38 minggu
Pada usia kehamilan lebih dari 34 minggu, mempertahankan
kehamilan akan meningkatkan resiko korioamnionitis dan sepsis. Tidak
ada perbedaan signifikan terhadap kejadian respiratory distress syndrome.
Pada saat ini, penelitian menunjukkan bahwa mempertahankan kehamilan
lebih buruk dibanding melakukan persalinan (Perkumpulan Obstetri dan
Ginekologi Indonesia, 2016).
Manajemen Aktif
Pada kehamilan ≥37 minggu, lebih dipilih induksi awal. Meskipun
demikian, jika pasien memilih manajemen ekspektatif harus dihargai.
Lamanya waktu manajemen ekspektatif perlu didiskusikan dengan pasien
dan keputusan dibuat berdasarkan keadaan per individu. Induksi persalinan
dengan prostaglandin pervaginam berhubungan dengan peningkatan risiko
korioamnionitis dan infeksi neonatal bila dibandingkan dengan induksi
oksitosin. Sehingga, oksitosin lebih dipilih dibandingkan dengan
prostaglandin pervaginam untuk induksi persalinan pada kasus KPD

27
(Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia, 2016).
Kemajuan pada pelayanan maternal dan manajemen PPROM pada
batas yang viable dapat mempengaruhi angka survival; meskipun
demikian untuk PPROM <24 minggu usia gestasi morbiditas fetal dan
neonatal masih tinggi. Konseling kepada pasien untuk mengevaluasi
pilihan terminasi (induksi persalinan) atau manajemen ekspektatif
sebaiknya juga menjelaskan diskusi mengenai keluaran maternal dan fetal
dan jika usia gestasi 22-24 minggu juga menambahkan diskusi dengan
neonatologis (Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia, 2016).
Pemberian kortikosteroid antenatal pada wanita dengan KPD
preterm telah dibuktikan manfaatnya dari 15 RCT yang meliputi 1400
wanita dengan KPD dan telah disertakan dalam suatu metaanalisis.
Kortikosteroid antenatal dapat menurunkan risiko respiratory distress
syndrome, perdarahan intraventrikkular dan enterokolitis nekrotikan, dan
mungkin dapat menurunkan kematian neonates. Tokolisis pada kejadian
KPD preterm tidak direkomendasikan (Perkumpulan Obstetri dan
Ginekologi Indonesia, 2016).
KPD memanjang
Antibiotik profilaksis disarankan pada kejadian KPD preterm.
Terdapat penurunan signifikan dari korioamnionitis, jumlah bayi yang
lahir dalam 48 jam setelah KPD, jumlah bayi yang lahir dalam 7 hari
setelah KPD, infeksi neonatal, dan jumlah bayi dengan USG otak yang
abnormal setelah keluar dari RS. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
antibiotik mengurangi morbiditas maternal dan neonatal dengan menunda
kelahiran yang akan memberi cukup waktu untuk profilaksis dengan
kortikosteroid prenatal. Pemberian co-amoxiclav pada prenatal dapat
menyebabkan neonatal necrotizing enterocolitis sehingga antibiotik ini
tidak disarankan. Pemberian eritromisin atau penisilin adalah pilihan
terbaik. Pemberian antibiotik dapat dipertimbangkan digunakan bila KPD
memanjang (> 24 jam):
Tabel 2.1 Antibiotik yang Digunakan pada KPD >24 jam (Perkumpulan

28
Obstetri dan Ginekologi Indonesia, 2016)
Medikamentosa D R Frekuensi
Benzilpenisilin 1,2 gr IV Setiap 4 jam
Klindamisin 600 mg IV Setiap 8 jam
(jika sensitif pensilin)

Jika pasien datang dengan KPD >24 jam, pasien sebaiknya tetap
dalam perawatan sampai berada dalam fase aktif. Penggunaan antibiotik
IV sesuai dengan tabel di atas (Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi
Indonesia, 2016).

- Magnesium untuk efek neuroproteksi, kortikosteroid-> deksamethason


6mg IM/ 12 jam, antibiotik -> ampicillin 2gr IV/6jam
Magnesium Untuk efek neuroproteksi pada PPROM < 31 minggu bila persalinan
diperkirakan dalam waktu 24 jam. Bolus 6 gram selama 40 menit dilanjutkan
infus 2 gram/ jam untuk dosis pemeliharaan sampai persalinan atau sampai 12
jam terapi.
- kortikosteroid
Untuk menurunkan risiko sindrom distress pernapasan, betametason 12 mg IM
setiap 24 jam dikali 2 dosis. Jika Betamethasone tidak tersedia, gunakan
deksamethason 6 mg IM setiap 12 jam.
- antibiotik
Untuk memperlama masa laten:
Ampicillin 2 gram iv setiap 6 jam dan erythromycin 250 mg iv setiap 6 jam
selama 48 jam, dikali 4 dosis diikuti dengan amoxicillin 250 mg po setiap 8 jam
selama 5 hari dan erythromycin 333 mg po setiap 8 jam selama 5 hari.
Jika alergi ringan dengan penisilin, dapat digunakan: cefazolin 1 gram iv setiap 8
jam selama 48 jam dan erythromycin 250 mg iv setiap 6 jam selama 48 jam
diikuti dengan : cephalexin 500 mg po setiap 6 jam selama 5 hari dan
erythromycin 333 mg po setiap 8 jam selama hari.
Jika alergi berat penisilin, dapat diberikan vancomycin 1 gram iv setiap 12 jam
selama 48 jam dan erythromycin 250 mg iv setiap 6 jam selama 48 jam diikuti
dengan clindamycin 300 mg po setiap 8 jam selama 5 hari.

29
4.6 Prognosis

4.6.1 Usia Kehamilan >37 minggu


KPD aterm cukup sering terjadi (8%) paling sering dikaitkan
dengan prognosis yang baik. Konseling harus menekankan perlunya
persalinan segera mengingat komplikasi yang mungkin berkembang.
Dalam situasi ini, manfaat manajemen ekspektatif tidak lebih besar
daripada risikonya. Terdapat pula banyak periode laten setelah KPD
dengan persalinan yang terjadi secara spontan dalam waktu 24 jam setelah
ketuban pecah pada aterm (Shazly, et al., 2020).
4.6.2 Usia Kehamilan <37 minggu
Pasien harus diberi tahu bahwa penatalaksanaan konservatif adalah
pendekatan standar jika ibu dan janin dalam keadaan stabil. Namun harus
waspada terhadap kemungkinan komplikasi ibu/janin dan kejadiannya,
karena beberapa komplikasi ini umum, serius, dan dapat berkembang
secara tiba-tiba. Komplikasi ini termasuk infeksi asendens (15% -25%),
infeksi postpartum (15% -20%), solusio plasenta (2% -5%), dan kematian
janin antenatal akibat kecelakaan tali pusat (1% -2%). Selain itu,
komplikasi prematuritas terjadi pada usia kehamilan ini dan pasien harus
menyadari bahwa kurangnya intervensi neonatal segera secara signifikan
memperburuk hasil misalnya, persalinan spontan sebelum transportasi
yang aman ke fasilitas yang lengkap. Penjelasan komplikasi ini penting
untuk membenarkan risiko manajemen rumah serta manajemen hamil
yang berkepanjangan setelah 34 minggu kehamilan (Shazly, et al., 2020).
4.6.3 Usia Kehamilan <24 minggu
Bahkan di negara maju dengan sumber daya yang tinggi, tingkat
kematian perinatal ketika KPD terjadi sebelum minggu ke-22 adalah
sekitar 58% dan terutama dikaitkan dengan hipoplasia paru.
Perkembangan alveolar terjadi sekitar 23 minggu kehamilan dan tingkat
kematian perinatal menurun secara signifikan setelah 24 minggu
kehamilan, hal ini mungkin berkaitan dengan fungsi alveolar menjadi
cukup matang untuk melakukan respirasi di luar rahim. Penting untuk

30
mendiskusikan KPD pada usia kehamilan sebelumnya yang berhubungan
dengan hipoplasia paru sekunder akibat oligohidramnion berkepanjangan.
Oligohidramnion juga menyebabkan kontraktur tungkai dan deformitas
potter-like (telinga rendah dan lipatan epikantus). Namun, kelainan posisi
tulang kemungkinan dapat diatasi dengan fisioterapi. Risiko maternal juga
harus ditinjau secara menyeluruh. Risiko infeksi pada ibu, yang dapat
berkembang menjadi sepsis yang mengancam jiwa, dapat terjadi pada 1%
kasus (Shazly, et al., 2020).

4.7 Komplikasi

4.7.1 Komplikasi Ibu


Komplikasi pada ibu yang terjadi biasanya berupa infeksi
intrauterin. Infeksi tersebut dapat berupa endomyometritis, maupun
korioamnionitis yang berujung pada sepsis (Perkumpulan Obstetri dan
Ginekologi Indonesia, 2016). Korioamnionitis adalah keadaan pada
perempuan hamil dimana korion, amnion, dan cairan ketuban terkena
infeksi bakteri. Penyebab korioamnionitis adalah infeksi bakteri yang
terutama berasal dari traktus urogenitalis ibu. Secara spesifik permulaan
infeksi berasal dari vagina, anus, atau rektum dan menjalan ke uterus
(Soewarto, 2014).

4.7.2 Komplikasi Janin


Salah satu komplikasi yang paling sering terjadi adalah persalinan
lebih awal. Periode laten, yang merupakan masa dari pecahnya selaput
amnion sampai persalinan secara umum bersifat proporsional secara
terbalik dengan usia gestasi pada saat KPD terjadi. Sebagai contoh, pada
sebuah studi besar pada pasien aterm menunjukkan bahwa 95% pasien
akan mengalami persalinan dalam 1 hari sesudah kejadian. Sedangkan
analisis terhadap studi yang mengevaluasi pasien dengan preterm 1
minggu, dengan sebanyak 22 persen memiliki periode laten 4 minggu. Bila
KPD terjadi sangat cepat, neonatus yang lahir hidup dapat mengalami
sekuele seperti malpresentasi, kompresi tali pusat, oligohidramnion,

31
necrotizing enterocolitis, gangguan neurologi, perdarahan intraventrikel,
dan respiratory distress syndrome (Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi
Indonesia, 2016). Selain itu dapat pula terjadi Cord Prolapse Fetal
Hypoxia and Asphyxia maupun abrupsi plasenta (Gahwagi, Busarira, &
Atia,2015).

32
BAB 4
PEMBAHASAN

5. 1 Anamnesis
Teori Kasus
- Pada pasien hipertensi kronis - Pasien datang dengan keluhan
superimposed preeklampsia Keluar air sejak pukul 22.00
ditandai dengan adanya riwayat WITA.
hipertensi sebelum kehamilan - Pasien mengeluhkan Perut
- Preeklampsia bermanifestasi Kencang 3 jam lalu juga.
berupa lemas nyeri kepala dan - Pasien memiliki riwayat hipertensi
edema dan dari pemeriksaan sejak Muda.
fisik ditemukan adanya
- Tidak ada riwayat KPD pada
proteinuria kehamilan sebelumnya
- Impending eklampsia memiliki
gejala prodromal seperti nyeri
kepala hebat, gangguan visus,
muntah-muntah,nyeri
epigastrium dan kenaikan
progresif tekanan darah.

Riwayat keluarnya air ketuban berupa


cairan jernih keluar dari vagina yang
banyak dan tiba tiba, tidak ada tanda
tanda inpartu.

Faktor Risiko
- Riwayat KPD pada
kehamilan sebelumnya
- Infeksi traktus genitalis
- Perdarahan antepartum
- Riwayat trauma
- Merokok
- Kurang vitamin C

5.2 Pemeriksaan Fisik

33
Teori Kasus
- Pada preeklampsia, tekanan darah - Pemeriksaan pada pasien
≥140/90 mmHg diiringi proteinuria didapatkan :
≥300 mg/24 jam atau ≥1+ dipstick Tekanan darah : 195/119 mmHg
dan udem pada lengan, wajah, Nadi : 111x/menit
perut atau seluruh tubuh. Pernapasan : 20x/menit
Suhu : 36,0
Pemeriksaan dalam, dengan adanya
cairan ketuban di vagina. Jika tidak ada SpO2 : 98%
dapat dicoba dengan menggerakkan
sedikit bagian terbawah janin atau
- Pemeriksaan dalam :
meminta pasien batuk atau mengedan.
Pemeriksaan spekulum steril Portio Keras,

digunakan untuk menilai adanya pembukaan 1 cm, H1,

servisitis, prolaps tali pusat, atau merembes ketuban

prolaps bagian terbawah janin bewarna hijau, lama 1

(pada presentasi bukan kepala); Jam

menilai dilatasi dan pendataran


serviks, mendapatkan sampel dan
mendiagnosis KPD aterm secara
visual.

34
5.3 Pemeriksaan Penunjang
Teori Kasus
- Pada pemeriksaan urin pada Laboratorium
preeklampsia, didapatkan - Hematologi
Leukosit : 11,9
Protein urin kuantitatif ≥ 300
Eritrosit : 3,78
mg/24 jam atau Rasio
Hemoglobin : 10,4
protein/kreatinin ≥ 0.3 mg/dL atau
Hematokrit : 32,5%
Pemeriksaan dipstick +1
Trombosit : 234.000
- jika tidak ditemukan proteinuria,
- Kimia Klinik
hipertensi dapat diikuti trombosit <
GDS : 109 mg/dL
100.000/μL atau konsentrasi
- Urinalisa
kreatinin > 1.1 mg/dL atau
Makroskopis
meningkat dua kali kadarnya pada
o Warna : Kuning
kondisi tidak ada penyakit ginjal
o Kejernihan : Keruh
lain atau SGOT dan SGPT
o Ph : 6,0
meningkat
Mikroskopis
tes pH cairan:
o Berat jenis : 1025
pH cairan amnion biasanya ~ 7.1-7.3
sedangkan sekret vagina ~ 4.5 – 6 o Keton :+1
o Protein : +1
- USG->Jika didapatkan volume
Ph pada tes lakmus adalah 8
cairan amnion atau indeks cairan
amnion yang berkurang tanpa
adanya abnormalitas ginjal janin
dan tidak adanya pertumbuhan
janin.

35
5.4 Tatalaksana
Teori Kasus
- Pada preeklampsia usia kehamilan Pada kasus dilakukan manajemen
< 37 minggu, manajemen sebagai berikut :
ekspektatif dengan evaluasi ibu - Protap MgSO4 ( loading dose 4
dan janin meliputi evaluasi gr MgSO4 40% + maintenance
maternal, tekanan darah, evaluasi dose 6 gr MgSO4 dalam 500 cc
pemeriksaan darah, dan evaluasi RL selama 6 jam sampai 24 jam)
pertumbuhan janin - Nifediphine 3x 10 mg PO
- Pada preeklampsia berat usia < 37 - Cefotaxim 2 x 1gr IV
minggu, dilakukan perawatan - Keterolac 3x 10 mg PO
intensif. Selain itu pemberian - Terminasi Pro SC
kortikosteroid.
- Pada preeklampsia dengan gejala
berat evaluasi di kamar bersalin
24-48 jam dengan pemberian
kortikosteroid, protap MgSO4,
antihipertensi, dan terminasi
Kehamilan
- Antibiotik -> ampisilin,
eritromisin Kortikosteroid->
deksamethason, betametason.
- Tatalaksana Simtomatik
- Tatalaksana kehamilan

36
BAB 5
KESIMPULAN

Telah dilaporkan kasus Ny. AW berusia 32 tahun dengan keluhan utama


perut kencang-kencang. Setelah melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang, maka didapatkan G2P1001A000 gravid 38 minggu +
janin tunggal hidup intrauterin, + hipertensi kronis superimposed preeklampsia +
KPD.
Secara umum penegakkan diagnosis pada pasien ini sudah tepat dan sesuai
dengan teori. Penatalaksanaan yang diberikan kepada pasien secara keseluruhan
sudah tepat dan sesuai dengan teori yang ada.

37
DAFTAR PUSTAKA

American College of Obstetrician and Gynecologist. Hypertension in Pregnancy.


2013.

Prawirodiharjo S. Ilmu Kebidanan. 3rd ed. Jakarta: PT Bina Sarwono


Prawirodihardjo; 2014.

Kementerian Kesehatan RI. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2019. Jakarta;


2020.

Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Rouse DJ, Spong CY.
Obstetri Williams. 23rd ed. Jakarta: EGC; 2012.

Cavazos-Rehg PA, Krauss MJ, Spitznagel EL, Bommarito K, Madden T, Olsen


MA, et al. Maternal Age and Risk of Labor and Delivery Complications. Matern
Child Health J. 2015;19(6):1202–11.

Hernandez-Diaz S, Toh S, Cnattingius S. Risk of Preeclampsia in First and


Subsequent Pregnancies: Prospective Cohort Study. BMJ. 2009;338:b2255.

Schoenaker DAJM, Soedamah-Muthu SS, Mishra GD. The association between


dietary factors and gestational hypertension and pre-eclampsia: A systematic
review and meta-analysis of observational studies. BMC Med. 2014;12(1):1–18.

Phipps E, Prasanna D, Brima W, Jim B. Preeclampsia: Updates in Pathogenesis,


Definitions, and Guidelines. Clin J Am Soc Nephrol. 2016;11(6):1102–13.
WHO recommendations : Drug treatment for severe hypertension in pregnancy.
Geneva: World Health Organization; 2018. 82 p.

38
World Health Organization. WHO recommendation on calcium supplementation
before pregnancy for the prevention of pre-eclampsia and its complications.
Geneva: World Health Organization; 2020. 48 p.

Kalam C, Wagey FW, Mongan SP. Luaran Ibu dan Perinatal pada Kehamilan
dengan Preeklampsia Berat di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado Periode 1
Januari - 31 Desember 2016. e-CliniC. 2017;5(2).

American College of Obstetricians and Gynecologist. ACOG Practice Bulletin


Summary No. 202: Gestational Hypertension and Preeclampsia. Obstetrics and
Gynecology. 2019;133(1):211-4.

American College of Obstetricians and Gynecologists. (2020). Prelabor Rupture of


Membranes. ACOG Practice Bulletin, 135.

Gahwagi, M. M., Busarira, M. O., & Atia, M. (2015). Premature Rupture of Membranes
Characteristics, Determinants, and Outcomes of in Benghazi, Libya. Open Journal of
Obstetrics and Gynecology, 494-504.

Maryuni, D. K. (2017). Risk Factors of Premature Rupture of Membrane.


Kesmas: National Public Health Journal, 133-137.

Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia. (2016). Pedoman Nasional Pelayanan


Kedokteran Ketuban Pecah Dini. 1-19.

Shazly, S. A., Ahmed, I. A., Radwan, A. A., Abd-Elkariem, A. Y., El-Dien, N. B.,
Ragab, E. Y., et al. (2020). Middle-East OBGYN Graduate Education (MOGGE)
Foundation Practice Guidelines: Prelabor rupture of membranes; Practice guideline
No.01-O-19. Journal of Global Health, 1- 17.

Soewarto, S. (2014). Ketuban Pecah Dini. In S. Prawirohardjo, Ilmu Kebidanan


(pp. 677-682). Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.

39

Anda mungkin juga menyukai