Anda di halaman 1dari 39

Laporan Kasus

G4P3A0 Hamil 22 Minggu Belum Inpartu dengan


Preeklampsia Berat Janin Tunggal Hidup
Presentasi Kepala

Disusun Oleh:
Dokter Muda Stase Obstetrik dan Ginekologi
Periode 11 November 2019 – 20 Januari 2020

Dita Marisca 04084821921131


Velly Ezka Raissa A. 04084821921161
Jesica Moudy 04084821921155
Katheline Tamara Tamba 04084821921167
Azhari Syarif Rizki 04084821921003
Cindy Virgina Larasati Susetyo 04084821921016
Shavira Dwi Hidayani 04084821921104
Katheline Tamara Tamba 04084821921167
Kania Mutia Yazid 04084821921127

Pembimbing: dr. Bertha Octarina, Sp.OG

DEPARTEMEN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI


RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2019
i
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus

Judul:
G4P3A0 Hamil 22 Minggu Belum Inpartu dengan Preeklampsia Berat
Janin Tunggal Hidup Presentasi Kepala

Oleh:

Dita Marisca 04084821921131


Velly Ezka Raissa A. 04084821921161
Jesica Moudy 04084821921155
Katheline Tamara Tamba 04084821921167
Azhari Syarif Rizki 04084821921003
Cindy Virgina Larasati Susetyo 04084821921016
Shavira Dwi Hidayani 04084821921104
Katheline Tamara Tamba 04084821921167
Kania Mutia Yazid 04084821921127

Telah diterima dan disahkan sebagai salah satu syarat menyelesaikan Kepaniteraan
Klinik Senior di Bagian Obstetrik dan Ginekologi RSMH Palembang, Fakultas
Universitas Sriwijaya Palembang periode 11 November 2019 – 20 Januari 2020.

Muara Enim, Desember 2019

dr. Bertha Octarina, Sp.OG

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT atas berkah dan
rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul
“G4P3A0 Hamil 22 Minggu Belum Inpartu dengan Preeklampsia Berat Janin
Tunggal Hidup dengan Presentasi Kepala” sebagai syarat untuk memenuhi tugas
ilmiah yang merupakan bagian dari sistem pembelajaran kepaniteraan klinik di
Departemen Obsetrik dan Ginekologi, Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
Rumah Sakit Dr. Mohammad Hoesin Palembang.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada dr.
Bertha Octarina, Sp.OG selaku pembimbing yang telah membantu memberikan
bimbingan dan masukan sehingga laporan ini dapat selesai.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan laporan kasus ini masih banyak
terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, segala saran dan kritik yang
bersifat membangun sangat penulis harapkan. Demikianlah penulisan laporan
kasus ini, semoga laporan ini dapat memberi manfaat bagi pembaca.

Muara Enim, Desember 2019

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................. i


HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................. ii
KATA PENGANTAR ......................................................................................... iii
DAFTAR ISI ........................................................................................................ iv
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................1
BAB II STATUS PASIEN .....................................................................................2
BAB III TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................10
BAB IV ANALISIS KASUS ................................................................................32
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................34

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Hipertensi dalam kehamilan merupakan komplikasi kehamilan yang sering


diderita ibu hamil yaitu sekitar 5 hingga 10 persen. Hipertensi, perdarahan dan
infeksi adalah penyebab tersering morbiditas dan mortalitas ibu hamil
(Cunningham, 2014). Preeklampsia merupakan penyakit hipertensi yang diinduksi
oleh kehamilan pada masa kehamilan lebih dari 20 minggu dan merupakan
penyebab umum kematian ibu dan bayi, serta menjadi penyebab terjadinya
kelahiran prematur di seluruh dunia. Menurut laporan yang dibuat untuk mencapai
salah satu tujuan Millennium Development Goals, rasio mortalitas ibu di ASEAN
pada tahun 2010 adalah 150. Dan penyakit hipertensi berkontribusi sekitar 1 dari 6
kematian ibu di ASEAN (WHO, 2012).
WHO memperkirakan kasus preeklampsia tujuh kali lebih tinggi di negara
berkembang daripada negara maju. Prevalensi preeklampsia di negara maju adalah
1,3% - 6%, sedangkan di negara berkembang adalah 1,8% - 18%. Insiden
preeklampsia di Indonesia sendiri adalah 128.273/tahun atau sekitar 5,3%
(Bappenas, 2007). Kecenderungan yang ada dalam dua dekade terakhir ini tidak
terlihat adanya penurunan yang nyata terhadap insiden preeklampsia, berbeda
dengan insiden infeksi yang semakin menurun sesuai dengan perkembangan
temuan antibiotik (POGI, 2016).
Preeklampsia/eklampsia merupakan masalah kedokteran yang serius karena
bukan hanya berdampak pada ibu hamil dan melahirkan, namun juga menyebabkan
masalah pasca persalinan dan berdampak juga kepada bayi seperti persalinan
prematur atau pertumbuhan janin terhambat. Di Indonesia preeklampsia berat dan
eklampsia merupakan penyebab kematian ibu berkisar 1,5-25 %, sedangkan
kematian bayi antara 45-50 %.
Etiologi pasti preeklampsia masih belum diketahui, namun terdapat faktor
risiko yang mempengaruhi kejadian preeklampsia. Faktor risiko yang
mempengaruhi terjadinya preeklampsia kehamilan pertama (primigravida), adanya
riwayat kehamilan sebelumnya menderita preeklampsia, usia kehamilan tua (lebih
dari 40 tahun), terdapat hipertensi kronis atau penyakit ginjal kronis, riwayat

1
trombofilia, kehamilan multifetus, fertilisasi in vitro, adanya riwayat preeklampsia
pada keluarga, mengalami diabetes melitus tipe I atau tipe II, serta lupus
ertiyematosus sistemik.
Diagnosis preeklampsia dapat didasari oleh temuan klinis. Seperti yang telah
didefinisikan oleh American College of Obstetrics and Gynecology, diagnosis
penyakit ini didasari oleh nilai tekanan darah ≥ 140/90 mmHg pada minimal dua
kali pengukuran, disertai dengan proteinuria ≥ 300 mg/dl. Edema, temuan klasik
pada penyakit ini, tidak lagi dianggap sebagai kriteria diagnostik karena rendahnya
angka sensitivitas dan spesifisitasnya. Pemeriksaan laboratorium, seperti tes fungsi
hati, tes urine, dan kreatinin serum dapat membantu dalam menentukan
karakteristik kerusakan organ, namun juga tidak spesifik untuk mendiagnosis
preeklampsia (ACOG, 2013).
Preeklampsia merupakan salah satu penyulit dalam kehamilan yang
menyebabkan sakit berat, serta kematian pada ibu, janin dan neonatus, serta
kejadian preeklampsia di Indonesia yang cukup tinggi, maka penulis melaporkan
salah satu kasus preeklampsia yang ditemukan di RS H.M. Rabain beserta tinjauan
pustaka dan analisisnya. Laporan kasus ini diharapkan bermanfaat bagi praktisi
kesehatan sebagai referensi yang ingin mengkaji mengenai preeklampsia.

2
BAB II
STATUS PASIEN

2.1 IDENTIFIKASI
1. Nama pasien : Ny. LP
2. Umur : 33 tahun
3. Alamat : Dusun I, Muara Enim
4. Pekerjaan : Ibu rumah tangga
5. No. Med. Rec. : 271613
6. Datang ke IGD : 25 Desember 2019

2.2 ANAMNESIS

Keluhan Utama
Hamil kurang bulan dengan darah tinggi dan sakit ulu hati

Riwayat Perjalanan Penyakit


± 2 hari SMRS, pasien mengeluh rasa sakit di ulu hati. Keluhan disertai sakit
kepala yang dirasa semakin lama semakin memberat. Riwayat mual muntah (-),
riwayat pandangan mata kabur (-). Riwayat perut mules menjalar ke pinggang yang
semakin lama semakin sering (-), riwayat keluar darah lendir dari kemaluan (-),
keluar air-air dari kemaluan (-). Riwayat darah tinggi sebelum hamil (-), riwayat
darah tinggi hamil sebelumnya (+) pada kehamilan anak ketiga, riwayat darah
tinggi hamil ini (+). Pasien mengaku hamil kurang bulan dan gerakan janin masih
dirasakan.

Riwayat Penyakit Dahulu


- Darah tinggi sebelum kehamilan (-)
- Kencing manis (-)
- Asma (-)
- Penyakit Jantung (-)
- Alergi (-)

3
Riwayat Dalam Keluarga
Riwayat darah tinggi dalam keluarga (-)
Riwayat kencing manis dalam keluarga (-)
Riwayat asma dalam keluarga (-)
Riwayat alergi dalam keluarga (-)

Status Sosial Ekonomi dan Gizi : Cukup


Status Perkawinan : Menikah 1 kali, selama 15 tahun
Status Reproduksi : Menarche usia 12 tahun, siklus haid
28 hari, teratur, lamanya 7 hari,
banyaknya 2-3x ganti pembalut.
HPHT: 3 Juni 2019
Status Persalinan : G4P3A0
1. Tahun 2005, perempuan, spontan
BBL 3700 g, ditolong bidan, sehat.
2. Tahun 2008, perempuan, spontan,
BBL 3700 g, ditolong bidan, sehat
3. Tahun 2016, laki-laki, spontan,
preterm, BBL 1600 g, ditolong
dokter, sehat
4. Hamil ini

2.3 PEMERIKSAAN FISIK


PEMERIKSAAN FISIK UMUM
Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : compos mentis
Tekanan darah : 180/110 mmHg
Nadi : 102 kali/menit
Pernafasan : 22 kali/menit
Suhu : 36,9 0C
Berat badan : 66 kg

4
Tinggi badan : 152 cm
BMI : 28,56 kg/m2
Gizi : Cukup

PEMERIKSAAN KHUSUS
Kepala dan Leher
Kepala : Normocephali.
Mata : Konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-)
Leher : JVP (5-2) cmH2O

Thorax
Paru
Inspeksi : Simetris
Palpasi : Stem fremitus kanan=kiri
Perkusi : Sonor di seluruh lapang dada
Auskultasi : Vesikuler (+/+), wheezing (-/-), ronkhi (-/-)
Jantung
Inspeksi : Iktus cordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus cordis tidak teraba
Perkusi : Batas jantung normal
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II (+) 102x/menit regular, murmur (-),
gallop (-)

Abdomen
Inspeksi : Cembung, linea nigra (+)
Lihat pemeriksaan obstetrik

Ekstremitas
Akral dingin (-), edema pretibial (-), palmar pucat (-)

PEMERIKSAAN OBSTETRIK
Pemeriksaan Luar

5
Tinggi fundus uteri 2 jari di atas umbilikus (19 cm), letak janin memanjang,
punggung kiri, bagian terbawah kepala, U 5/5, detak jantung janin 148 kali/menit,
teratur, his (-).

Pemeriksaan Dalam
Vaginal toucher :
Tidak dilakukan.

2.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG


Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
Hematologi
Hemoglobin 14,7 g/dL 11,4-15,0 g/dL
Leukosit 15,02 x 103/m3 4,73-10,89 x 103/m3
Eritrosit 4,63 x 106/m3 4,0-5,7x106/m3
Hematokrit 41,8% 35-45%
Trombosit 214.000/m3 189-436 x 103/m3
MCV 90,3 fL 85-95 fL
MCH 31,7 pg 28-32 pg
MCHC 35,2 g/dL 33-35 g/dL
RDW-SD 43,1 fL 35-47 fL
RDW-CV 13,3% 11,5-14,5%
PDW 11,4 fL 9-13 fL
MPV 9,6 fL 7,2-11,1 fL
P-LCR 22,5% 15-25%
PCT 0,20% 0,15-0,4%
Diff Count
Basofil 0,1 0-1%
Eosinofil 0,8 1-6%
Neutrofil 83,2 50-70%
Limfosit 8,2 20-40%
Monosit 7,7 2-8%
Kimia Darah
BSS 110 mg/dL 76-115 mg/dL
Ureum 12 mg/dL 10-50 mg/dL
Kreatinin 0,7 mg/dL 0,6-1,1 mg/dL
SGOT 36 U/L <37 U/L
SGPT 23 U/L <41 U/L

6
LDH 480 U/L 0-480 U/L
Urinalisa
Glukosa Negatif Negatif
Protein Negatif Negatif
Bilirubin Negatif Negatif
Urobilinogen Negatif Negatif
Keton Negatif Negatif
pH 7,0 4,6-8,5
Berat jenis 1010 1003-1030
Nitrit Negatif Negatif
Darah Negatif Negatif
Warna Kuning Kuning muda
Kejernihan Jernih Jernih
Sedimen
Leukosit 5-9/LP 0-6/LP
Eritrosit <4/LP 0-3/LP
Sel Epitel Skuamosa 5-9 Positif
Silinder Negatif Negatif
Kristal Negatif Negatif
Lain-lain Negatif Negatif
Imunologi
HbsAg Non reaktif Non reaktif
VDRL/RPR Non reaktif Non reaktif
HIV Negatif Negatif

Pemeriksaan USG

7
Interpretasi
• Tampak JTH Intrauterine
• Biometri janin
BPD : 5,53 cm
HC : 20,57 cm
AC : 18,21 cm
FL : 3,54 cm
EFW : 492 g
• Cairan ketuban cukup, tampak plasenta di korpus anterior

Kesimpulan:
Hamil 22 minggu 3 hari JTH intrauterine

2.5 DIAGNOSA KERJA


G4P3A0 hamil 22 minggu belum inpartu dengan preeklampsia berat, janin
tunggal hidup presentasi kepala.

2.6 PROGNOSIS
Ibu : dubia ad bonam
Anak : dubia ad bonam

2.7 TATALAKSANA
a. Terapi
- IVFD RL gtt xx/menit
- Nifedipin 10 mg/ 8 jam PO
- MgSO4 40% 4 gram IM boka-boki

b. Monitoring
- Balance cairan (pasang kateter)
- Ada tidak kejang

8
c. Follow up
Tanggal, Pukul Follow up
25 Desember 2019, S :
20.50 Nyeri ulu hati (+), sakit kepala (+)
O:
KU : tampak sakit sedang
TD : 160/90 mmHg, Nadi : 120 x/min, RR : 20 x/min, Suhu :
36,7ºC,
DJJ : 148 x/ menit
A:
G4P3A0 hamil 22 minggu belum inpartu dengan preeklampsia
berat, janin tunggal hidup presentasi kepala.
P:
IVFD RL gtt xx/menit
Nifedipin 10 mg/ 8 jam PO
Inj. MgSO4 40% 4 gram IM boka-boki
26 Desember 2019, S:
07.00 WIB Nyeri ulu hati (+), sakit kepala (+)
O:
KU : tampak sakit sedang
TD : 160/110 mmHg, Nadi : 120 x/min, RR : 20 x/min, Suhu :
36,7ºC,
DJJ : 145 x/ menit
A:
G4P3A0 hamil 22 minggu belum inpartu dengan preeklampsia
berat, janin tunggal hidup presentasi kepala.
P:
IVFD RL gtt xx/menit
Nifedipin 10 mg/ 8 jam PO
Inj. MgSO4 40% 4 gram IM boka-boki

9
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

PREEKLAMPSIA
Preeklampsia merupakan suatu gangguan multisistem idiopatik yang
spesifik pada kehamilan dan nifas. Pada keadaan khusus, preeklampsia juga
didapati pada kelainan perkembangan plasenta (kehamilan mola komplit).
Meskipun patofisiologi preeklampsia kurang dimengerti, jelas bahwa tanda
perkembangan ini tampak pada awal kehamilan. Telah dinyatakan bahwa
pathologic hallmark adalah suatu kegagalan total atau parsial dari fase kedua invasi
trofoblas saat kehamilan 16-20 minggu kehamilan, hal ini pada kehamilan normal
bertanggung jawab dalam invasi trofoblas ke lapisan otot arteri spiralis. Seiring
dengan kemajuan kehamilan, kebutuhan metabolik fetoplasenta makin meningkat.
Bagaimanapun, karena invasi abnormal yang luas dari plasenta, arteri spiralis tidak
dapat berdilatasi untuk mengakomodasi kebutuhan yang makin meningkat tersebut,
hasil dari disfungsi plasenta inilah yang tampak secara klinis sebagai preeklampsia.
Meskipun menarik, hipotesis ini tetap perlu ditinjau kembali.
Preeklampsia merupakan suatu diagnosis klinis. Definisi klasik
preeklampsia meliputi 3 elemen, yaitu onset baru hipertensi (didefinisikan sebagai
suatu tekanan darah yang menetap ≥ 140/90 mmHg pada wanita yang sebelumnya
normotensif), onset baru proteinuria (didefinisikan sebagai protein urine > 300
mg/24 jam atau ≥ +1 pada urinalisis bersih tanpa infeksi traktus urinarius), dan
onset baru edema yang bermakna. Pada beberapa konsensus terakhir dilaporkan
bahwa edema tidak lagi dimasukkan sebagai kriteria diagnosis.

EPIDEMIOLOGI DAN FAKTOR RESIKO


Kejadian preeklampsia di Amerika Serikat berkisar antara 2-6% dari ibu
hamil nulipara yang sehat. Di negara berkembang, kejadian preeklampsia berkisar
antara 4-18%. Penyakit preeklampsia ringan terjadi 75% dan preeklampsia berat
terjadi 25%. Dari seluruh kejadian preeklampsia, sekitar 10% kehamilan umurnya
kurang dari 34 minggu. Kejadian preeklampsia meningkat pada wanita dengan
riwayat preeklampsia, kehamilan ganda, hipertensi kronis dan penyakit ginjal. Pada
10
ibu hamil primigravida terutama dengan usia muda lebih sering menderita
preeklampsia dibandingkan dengan multigravida. Faktor predisposisi lainnya
adalah usia ibu hamil dibawah 25 tahun atau diatas 35 tahun, mola hidatidosa,
polihidramnion dan diabetes.
Walaupun belum ada teori yang pasti berkaitan dengan penyebab terjadinya
preeklampsia, tetapi beberapa penelitian menyimpulkan sejumlah faktor yang
mempengaruhi terjadinya preeklampsia. Faktor risiko tersebut meliputi:
a. Usia
Insidens tinggi pada primigravida muda, meningkat pada primigravida tua. Pada
wanita hamil berusia kurang dari 25 tahun insidens > 3 kali lipat. Pada wanita
hamil berusia lebih dari 35 tahun, dapat terjadi hipertensi yang menetap.
b. Paritas
Angka kejadian tinggi pada primigravida, muda maupun tua, primigravida tua
risiko lebih tinggi untuk preeklampsia berat.
c. Faktor Genetik
Jika ada riwayat preeklampsia/eklampsia pada ibu/nenek penderita, faktor risiko
meningkat sampai 25%. Diduga adanya suatu sifat resesif (recessive trait), yang
ditentukan genotip ibu dan janin. Terdapat bukti bahwa preeklampsia
merupakan penyakit yang diturunkan, penyakit ini lebih sering ditemukan pada
anak wanita dari ibu penderita preeklampsia. Atau mempunyai riwayat
preeklampsia/eklampsia dalam keluarga.
d. Diet/gizi
Tidak ada hubungan bermakna antara menu/pola diet tertentu (WHO). Penelitian
lain : kekurangan kalsium berhubungan dengan angka kejadian yang tinggi.
Angka kejadian juga lebih tinggi pada ibu hamil yang obese/overweight.
e.Tingkah laku/sosioekonomi
Kebiasaan merokok : insidens pada ibu perokok lebih rendah, namun merokok
selama hamil memiliki risiko kematian janin dan pertumbuhan janin terhambat
yang jauh lebih tinggi. Aktifitas fisik selama hamil atau istirahat baring yang
cukup selama hamil mengurangi kemungkinan/insidens hipertensi dalam
kehamilan.
f. Hiperplasentosis

11
Proteinuria dan hipertensi gravidarum lebih tinggi pada kehamilan kembar,
dizigotik lebih tinggi daripada monozigotik.
g. Mola hidatidosa
Degenerasi trofoblas berlebihan berperan menyebabkan preeklampsia. Pada
kasus mola, hipertensi dan proteinuria terjadi lebih dini/pada usia kehamilan
muda, dan ternyata hasil pemeriksaan patologi ginjal juga sesuai dengan pada
preeklampsia.
h. Obesitas
Hubungan antara berat badan wanita hamil dengan resiko terjadinya
preeklampsia jelas ada, dimana terjadi peningkatan insiden dari 4,3% pada
wanita dengan Body Mass Index (BMI) < 20 kg/m2 manjadi 13,3% pada wanita
dengan Body Mass Index (BMI) > 35 kg/m2.
i. Kehamilan multiple
Preeklampsia dan eklampsia 3 kali lebih sering terjadi pada kehamilan ganda
dari 105 kasus kembar dua didapat 28,6% preeklampsia dan satu kematian ibu
karena eklampsia.

ETIOLOGI
Apa yang menjadi penyebab terjadinya preeklampsia hingga saat ini belum
diketahui. Terdapat banyak teori yang ingin menjelaskan tentang penyebab dari
penyakit ini tetapi tidak ada yang memberikan jawaban yang memuaskan. Teori
yang dapat diterima harus dapat menjelaskan tentang mengapa preeklampsia
meningkat prevalensinya pada primigravida, hidramnion, kehamilan ganda dan
mola hidatidosa. Selain itu teori tersebut harus dapat menjelaskan penyebab
bertambahnya frekuensi preeklampsia dengan bertambahnya usia kehamilan,
penyebab terjadinya perbaikan keadaan penderita setelah janin mati dalam
kandungan, dan penyebab timbulnya gejala-gejala seperti hipertensi, edema,
proteinuria, kejang dan koma. Banyak teori-teori yang dikemukakan oleh para ahli
yang mencoba menerangkan penyebabnya, oleh karena itu disebut “penyakit teori”.
Namun belum ada yang memberikan jawaban yang memuaskan. Teori sekarang
yang dipakai sebagai penyebab preeklampsia adalah teori “iskemia plasenta”. Teori
ini pun belum dapat menerangkan semua hal yang berkaitan dengan penyakit ini.

12
Adapun teori-teori tersebut adalah (Prawirohardjo, 2016):
1. Peran Prostasiklin dan Tromboksan
Pada preeklampsia dan eklampsia didapatkan kerusakan pada endotel
vaskuler, sehingga sekresi vasodilatator prostasiklin oleh sel-sel endotelial
plasenta berkurang, sedangkan pada kehamilan normal, prostasiklin meningkat.
Sekresi tromboksan oleh trombosit bertambah sehingga timbul vasokonstriksi
generalisata dan sekresi aldosteron menurun. Akibat perubahan ini
menyebabkan pengurangan perfusi plasenta sebanyak 50%, hipertensi dan
penurunan volume plasma.
2. Peran Faktor Imunologis
Preeklampsia sering terjadi pada kehamilan pertama karena pada
kehamilan pertama terjadi pembentukan blocking antibodies terhadap antigen
plasenta tidak sempurna sehingga timbul respons imun yang tidak
menguntungkan terhadap Histikompatibilitas Plasenta. Pada preeklampsia
terjadi kompleks imun humoral dan aktivasi komplemen. Hal ini dapat diikuti
dengan terjadinya pembentukan proteinuria.
3. Peran Faktor Genetik
Menurut Chesley dan Cooper (1986) bahwa Preeklampsia/eklampsia
bersifat diturunkan melalui gen resesif tunggal. Beberapa bukti yang
menunjukkan peran faktor genetik pada kejadian Preeklampsia-Eklampsia
antara lain:
a) Preeklampsia hanya terjadi pada manusia.
b) Terdapatnya kecendrungan meningkatnya frekuensi Preeklampsia-
Eklampsia pada anak-anak dari ibu yang menderita Preeklampsia-
Eklampsia.
4. Iskemik dari uterus
Iskemik uteroplasentar yang ditemukan pada preeklampsia menyebabkan
terjadinya ketidakseimbangan antara massa plasenta yang meningkat dengan
aliran perfusi sirkulasi darah plasenta yang berkurang. Disfungsi plasenta juga
ditemukan pada preeklampsia, sehingga terjadi penurunan kadar 1 α-25 (OH)2
dan Human Placental Lactogen (HPL), akibatnya terjadi penurunan absorpsi
kalsium dari saluran cerna. Untuk mempertahankan penyediaan kalsium pada

13
janin, terjadi perangsangan kelenjar paratiroid yang mengekskresi paratiroid
hormon (PTH) disertai penurunan kadar kalsitonin yang mengakibatkan
peningkatan absorpsi kalsium tulang yang dibawa melalui sirkulasi ke dalam
intra sel. Peningkatan kadar kalsium intra sel mengakibatkan peningkatan
kontraksi pembuluh darah, sehingga terjadi peningkatan tekanan darah.
Pada preekslampsia terjadi perubahan arus darah di uterus, koriodesidua
dan plasenta adalah patofisiologi yang terpenting pada preeklampsia, dan
merupakan faktor yang menentukan hasil akhir kehamilan. Perubahan aliran
darah uterus dan plasenta menyebabkan terjadi iskemia uteroplasenter,
menyebabkan ketidakseimbangan antara massa plasenta yang meningkat dengan
aliran perfusi darah sirkulasi yang berkurang. Selain itu hipoperfusi uterus
menjadi rangsangan produksi renin di uteroplasenta, yang mengakibatkan
vasokonstriksi vaskular daerah itu. Renin juga meningkatkan kepekaan vaskular
terhadap zat-zat vasokonstriktor lain (angiotensin, aldosteron) sehingga terjadi
tonus pembuluh darah yang lebih tinggi. Oleh karena gangguan sirkulasi
uteroplasenter ini, terjadi penurunan suplai oksigen dan nutrisi ke janin.
Akibatnya terjadi gangguan pertumbuhan janin sampai hipoksia dan kematian
janin.

5. Disfungsi dan aktivasi dari endotelial


Kerusakan sel endotel vaskuler maternal memiliki peranan penting dalam
pathogenesis terjadinya preeklampsia. Fibronektin dilepaskan oleh sel endotel
yang mengalami kerusakan dan meningkat secara signifikan dalam darah wanita
hamil dengan preeklampsia. Kenaikan kadar fibronektin sudah dimulai pada
trimester pertama kehamilan dan kadar fibronektin akan meningkat sesuai
dengan kemajuan kehamilan.
Jika endotel mengalami gangguan oleh berbagai hal seperti shear stress
hemodinamik, stress oksidatif maupun paparan dengan sitokin inflamasi dan
hiperkolesterolemia, maka fungsi pengatur menjadi abnormal dan disebut
disfungsi endotel. Pada keadaan ini terjadi ketidakseimbangan substansi
vasoaktif sehingga dapat terjadi hipertensi. Disfungsi endotel juga menyebabkan
permeabilitas vaskular meningkat sehingga menyebabkan edema dan

14
proteinuria. Jika terjadi disfungsi endotel maka pada permukaan endotel akan
diekspresikan molekul adhesi. seperti vascular cell adhesion molecule-
1(VCAM-1) dan intercellular cell adhesion molecule-1 (ICAM-1). Peningkatan
kadar soluble VCAM-1 ditemukan dalam supernatant kultur sel endotel yang
diinkubasi dengan serum penderita preeklampsia, tetapi tidak dijumpai
peningkatan molekul adhesi lain seperti ICAM-1 dan E-selektin. Oleh karena itu
diduga VCAM-1 mempunyai peranan pada preeklampsia.
Namun belum diketahui apakah tingginya kadar sVCAM-1 dalam serum
mempunyai hubungan dengan beratnya penyakit. Disfungsi endotel juga
mengakibatkan permukaan non trombogenik berubah menjadi trombogenik,
sehingga bisa terjadi aktivasi koagulasi. Sebagai petanda aktivasi koagulasi
dapat diperiksa D-dimer, kompleks trombin-antitrombin, fragmen protrombin 1
dan 2 atau fibrin monomer.

PATOFISIOLOGI
Patogenesis terjadinya Preeklamsia dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Penurunan kadar angiotensin II dan peningkatan kepekaan vaskuler
Pada preeklamsia terjadi penurunan kadar angiotensin II yang
menyebabkan pembuluh darah menjadi sangat peka terhadap bahan-bahan
vasoaktif (vasopresor), sehingga pemberian vasoaktif dalam jumlah sedikit saja
sudah dapat menimbulkan vasokonstriksi pembuluh darah yang menimbulkan
hipertensi. Pada kehamilan normal kadar angiotensin II cukup tinggi. Pada
preeklamsia terjadi penurunan kadar prostacyclin dengan akibat meningkatnya
thromboksan yang mengakibatkan menurunnya sintesis angiotensin II sehingga
peka terhadap rangsangan bahan vasoaktif dan akhirnya terjadi hipertensi.
2. Hipovolemia Intravaskuler
Pada kehamilan normal terjadi kenaikan volume plasma hingga mencapai
45%, sebaliknya pada preeklamsia terjadi penyusutan volume plasma hingga
mencapai 30-40% kehamilan normal. Menurunnya volume plasma
menimbulkan hemokonsentrasi dan peningkatan viskositas darah. Akibatnya
perfusi pada jaringan atau organ penting menjadi menurun (hipoperfusi)
sehingga terjadi gangguan pada pertukaran bahan-bahan metabolik dan

15
oksigenasi jaringan. Penurunan perfusi ke dalam jaringan utero-plasenta
mengakibatkan oksigenasi janin menurun sehingga sering terjadi pertumbuhan
janin yang terhambat (intrauterine growth retardation), gawat janin, bahkan
kematian janin intrauterin.
3. Vasokonstriksi pembuluh darah
Pada kehamilan normal tekanan darah dapat diatur tetap meskipun cardiac
output meningkat, karena terjadinya penurunan tahanan perifer. Pada kehamilan
dengan hipertensi terjadi peningkatan kepekaan terhadap bahan-bahan
vasokonstriktor sehingga keluarnya bahan- bahan vasoaktif dalam tubuh dengan
cepat menimbulkan vasokonstriksi. Adanya vasokonstriksi menyeluruh pada
sistem pembuluh darah arteriole dan pra kapiler pada hakekatnya
merupakansuatu sistem kompensasi terhadap terjadinya hipovolemik. Sebab bila
tidak terjadi vasokonstriksi, ibu hamil dengan hipertensi akan berada dalam syok
kronik. Perjalanan klinis dan temuan anatomis memberikan bukti presumtif
bahwa preeklampsi disebabkan oleh sirkulasi suatu zat beracun dalam darah
yang menyebabkan trombosis di banyak pembuluh darah halus, selanjutnya
membuat nekrosis berbagai organ.Gambaran patologis pada fungsi beberapa
organ dan sistem, yang kemungkinan disebabkan oleh vasospasme dan iskemia,
telah ditemukan pada kasus-kasus preeklampsia dan eklampsia berat.
Vasospasme bisa merupakan akibat dari kegagalan invasi trofoblas ke dalam
lapisan otot polos pembuluh darah, reaksi imunologi, maupun radikal bebas.
Semua ini akan menyebabkan terjadinya kerusakan/jejas endotel yang kemudian
akan mengakibatkan gangguan keseimbangan antara kadar vasokonstriktor
(endotelin, tromboksan, angiotensin, dan lain-lain) dengan vasodilatator
(nitritoksida, prostasiklin, dan lain-lain). Selain itu, jejas endotel juga
menyebabkan gangguan pada sistem pembekuan darah akibat kebocoran
endotelial berupa konstituen darah termasuk platelet dan fibrinogen.
Vasokontriksi yang meluas akan menyebabkan terjadinya gangguan pada
fungsi normal berbagai macam organ dan sistem. Gangguan ini dibedakan atas
efek terhadap ibu dan janin, namun pada dasarnya keduanya berlangsung secara
simultan. Gangguan ibu secara garis besar didasarkan pada analisis terhadap
perubahan pada sistem kardiovaskular, hematologi, endokrin dan metabolisme,

16
serta aliran darah regional. Sedangkan gangguan pada janin terjadi karena
penurunan perfusi uteroplasenta.

PERUBAHAN FISIOLOGI PATOLOGIK


Otak
Tekanan darah yang tinggi dapat menyebabkan autoregulasi tidak berfungsi.
Pada saat autoregulasi tidak berfungsi sebagaimana mestinya, jembatan penguat
endotel akan terbuka dan dapat menyebabkan plasma dan sel-sel darah merah
keluar ke ruang ekstravaskular. Hal ini akan menimbulkan perdarahan petekie atau
perdarahan intrakranial yang sangat banyak. Pada penyakit yang belum berlanjut
hanya ditemukan edema dan anemia pada korteks serebri.
Diaporkan bahwa resistensi pembuluh darah dalam otak pada pasien
hipertensi dalam kehamilan lebih meninggi pada eklampsia. Pada pasien
preeklampsia, aliran darah ke otak dan penggunaan oksigen otak masih dalam batas
normal. Pemakaian oksigen pada otak menurun pada pasien eklampsia.

Perubahan Kardiovaskuler
Gangguan fungsi kardiovaskuler yang parah sering terjadi pada preeklampsia
dan eklampsia. Berbagai gangguan tersebut pada dasarnya berkaitan dengan
peningkatan afterload jantung akibat hipertensi, preload jantung yang secara nyata
dipengaruhi oleh berkurangnya secara patologis hipervolemia kehamilan atau yang
secara iatrogenic ditingkatkan oleh larutan onkotik atau kristaloid intravena, dan
aktivasi endotel disertai ekstravasasi ke dalam ruang ektravaskular terutama paru
(Dharma, 2005).

Mata
Pada preeklampsia tampak edema retina, spasmus setempat atau menyeluruh
pada satu atau beberapa arteri, jarang terjadi perdarahan atau eksudat. Spasmus
arteri retina yang nyata dapat menunjukkan adanya preeklampsia yang berat, tetapi
bukan berarti spasmus yang ringan adalah preeklampsia yang ringan. Pada
preeklampsia dapat terjadi ablasio retina yang disebabkan edema intraokuler dan

17
merupakan indikasi untuk dilakukannya terminasi kehamilan. Ablasio retina ini
biasanya disertai kehilangan penglihatan.
Skotoma, diplopia dan ambliopia pada penderita preeklampsia merupakan
gejala yang menunjukan akan terjadinya eklampsia. Keadaan ini disebabkan oleh
perubahan aliran darah dalam pusat penglihatan di korteks serebri atau dalam retina.

Paru
Edema paru biasanya terjadi pada pasien preeklampsia berat dan eklampsia
dan merupakan penyebab utama kematian. Edema paru bisa diakibatkan oleh
kardiogenik ataupun non-kardiogenik dan biasa terjadi setelah melahirkan. Pada
beberapa kasus terjadinya edema paru berhubungan dengan adanya peningkatan
cairan yang sangat banyak. Hal ini juga dapat berhubungan dengan penurunan
tekanan onkotik koloid plasma akibat proteinuria, penggunaan kristaloid sebagai
pengganti darah yang hilang, dan penurunan albumin yang dihasilkan oleh hati.

Hati
Pada preeklampsia berat terkadang terdapat perubahan fungsi dan integritas
hepar, termasuk perlambatan ekskresi bromosulfoftalein dan peningkatan kadar
aspartat aminotransferase serum. Sebagian besar peningkatan fosfatase alkali
serum disebabkan oleh fosfatase alkali tahan panas yang berasal dari plasenta.
Nekrosis hemoragik periporta di bagian perifer lobulus hepar kemungkinan
besar penyebab terjadinya peningkatan enzim hati dalam serum. Perdarahan pada
lesi ini dapat menyebabkan ruptur hepatika, atau dapat meluas di bawah kapsul
hepar dan membentuk hematom subkapsular.

Ginjal
Selama kehamilan normal, aliran darah dan laju filtrasi glomerulus meningkat
cukup besar. Dengan timbulnya preeklampsia, perfusi ginjal dan filtrasi glomerulus
menurun. Lesi karakteristik dari preeklampsia, glomeruloendoteliosis, adalah
pembengkakan dari kapiler endotel glomerular yang menyebabkan penurunan
perfusi dan laju filtrasi ginjal. Konsentrasi asam urat plasma biasanya meningkat,
terutama pada wanita dengan penyakit berat.

18
Pada sebagian besar wanita hamil dengan preeklampsia, penurunan ringan
sampai sedang laju filtrasi glomerulus tampaknya terjadi akibat
berkurangnyavolume plasma sehingga kadar kreatinin plasma hampir dua kali lipat
dibandingkan dengan kadar normal selama hamil (sekitar 0,5 ml/dl). Namun pada
beberapa kasus preeklampsia berat, keterlibatan ginjal menonjol dan kreatinin
plasma dapat meningkat beberapa kali lipat dari nilai normal ibu tidak hamil atau
berkisar hingga 2-3 mg/dl. Hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh perubahan
intrinsik ginjal yang ditimbulkan oleh vasospasme hebat yang dikemukakan oleh
Pritchard (1984) dalam Cunningham (2005).
Kelainan pada ginjal yang penting adalah dalam hubungan proteinuria dan
retensi garam dan air. Taufield (1987) dalam Cunningham (2005) melaporkan
bahwa preeklampsia berkaitan dengan penurunan ekskresi kalsium melalui urin
karena meningkatnya reabsorpsi di tubulus. Pada kehamilan normal, tingkat
reabsorpsi meningkat sesuai dengan peningkatan filtrasi dari glomerulus.
Penurunan filtrasi glomerulus akibat spasmus arteriol ginjal mengakibatkan filtrasi
natrium melalui glomerulus menurun, yang menyebabkan retensi garam dan juga
retensi air.
Untuk mendiagnosis preeklampsia atau eklampsia harus terdapat proteinuria.
Namun, karena proteinuria muncul belakangan, sebagian wanita mungkin sudah
melahirkan sebelum gejala ini dijumpai. Meyer (1994) menekankan bahwa yang
diukur adalah ekskresi urin 24 jam. Mereka mendapatkan bahwa proteinuria +1
atau lebih dengan dipstick memperkirakan minimal terdapat 300 mg protein per 24
jam pada 92% kasus. Sebaliknya, proteinuria yang samar (trace) atau negatif
memiliki nilai prediktif negatif hanya 34% pada wanita hipertensif. Kadar dipstick
urin +3 atau +4 hanya bersifat prediktif positif untuk preeklampsia berat pada 36%
kasus.
Seperti pada glomerulopati lainnya, terjadi peningkatan permeabilitas
terhadap sebagian besar protein dengan berat molekul tinggi. Maka ekskresi Filtrasi
yang menurun hingga 50% dari normal dapat menyebabkan diuresis turun, bahkan
pada keadaan yang berat dapat menyebabkan oligouria ataupun anuria. Lee (1987)
dalam Cunningham (2005) melaporkan tekanan pengisian ventrikel normal pada

19
tujuh wanita dengan preeklampsia berat yang mengalami oligouria dan
menyimpulkan bahwa hal ini konsisten dengan vasospasme intrarenal.
Protein albumin juga disertai protein-protein lainnya seperti hemoglobin,
globulin dan transferin. Biasanya molekul-molekul besar ini tidak difiltrasi oleh
glomerulus dan kemunculan zat-zat ini dalam urin mengisyaratkan terjadinya
proses glomerulopati. Sebagian protein yang lebih kecil yang biasa difiltrasi
kemudian direabsorpsi juga terdeksi di dalam urin.

Darah
Kebanyakan pasien dengan preeklampsia memiliki pembekuan darah yang
normal. Perubahan tersamar yang mengarah ke koagulasi intravaskular dan
destruksi eritrosit (lebih jarang) sering dijumpai pada. Trombositopenia merupakan
kelainan yang sangat sering, biasanya jumlahnya kurang dari 150.000/μl yang
ditemukan pada 15-20% pasien. Level fibrinogen meningkat sangat aktual pada
pasien preeklampsia dibandingkan dengan ibu hamil dengan tekanan darah normal.
Level fibrinogen yang rendah pada pasien preeklampsia biasanya berhubungan
dengan terlepasnya plasenta sebelum waktunya (placental abruption).
Pada 10 % pasien dengan preeklampsia berat dan eklampsia menunjukan
terjadinya HELLP syndrome yang ditandai dengan adanya anemia hemolitik,
peningkatan enzim hati dan jumlah platelet rendah. Sindrom biasanya terjadi tidak
jauh dengan waktu kelahiran (sekitar 31 minggu kehamilan) dan tanpa terjadi
peningkatan tekanan darah. Kebanyakan abnormalitas hematologik kembali ke
normal dalam dua hingga tiga hari setelah kelahiran tetapi trombositopenia bisa
menetap selama seminggu.

Sistem Endokrin dan Metabolism Air dan Elektrolit


Selama kehamilan normal, kadar renin, angiotensin II dan aldosteron
meningkat. Pada preeklampsia menyebabkan kadar berbagai zat ini menurun ke
kisaran normal pada ibu tidak hamil. Pada retensi natrium dan atau hipertensi,
sekresi renin oleh aparatus jukstaglomerulus berkurang sehingga proses
penghasilan aldosteron pun terhambat dan menurunkan kadar aldosteron dalam
darah.

20
Pada ibu hamil dengan preeklampsia juga meningkat kadar peptida natriuretik
atrium. Hal ini terjadi akibat ekspansi volume dan dapat menyebabkan
meningkatnya curah jantung dan menurunnya resistensi vaskular perifer baik pada
normotensif maupun preeklamptik. Hal ini menjelaskan temuan turunnya resistensi
vaskular perifer setelah ekspansi volume pada pasien preeklampsia.
Pada pasien preeklampsia terjadi hemokonsentrasi yang masih belum
diketahui penyebabnya. Pasien ini mengalami pergeseran cairan dari ruang
intravaskuler ke ruang interstisial. Kejadian ini diikuti dengan kenaikan hematokrit,
peningkatan protein serum, edema yang dapat menyebabkan berkurangnya volume
plasma, viskositas darah meningkat dan waktu peredaran darah tepi meningkat. Hal
tersebut mengakibatkan aliran darah ke jaringan berkurang dan terjadi hipoksia.
Pada pasien preeklampsia, jumlah natrium dan air dalam tubuh lebih banyak
dibandingkan pada ibu hamil normal. Penderita preeklampsia tidak dapat
mengeluarkan air dan garam dengan sempurna. Hal ini disebabkan terjadinya
penurunan filtrasi glomerulus namun penyerapan kembali oleh tubulus ginjal tidak
mengalami perubahan.

Plasenta dan Uterus


Menurunnya aliran darah ke plasenta mengakibatkan gangguan fungsi
plasenta. Pada hipertensi yang agak lama, pertumbuhan janin terganggu dan pada
hipertensi yang singkat dapat terjadi gawat janin hingga kematian janin akibat
kurangnya oksigenisasi untuk janin.
Kenaikan tonus dari otot uterus dan kepekaan terhadap perangsangan sering
terjadi pada preeklampsia. Hal ini menyebabkan sering terjadinya partus
prematurus pada pasien preeklampsia. Pada pasien preeklampsia terjadi dua
masalah, yaitu arteri spiralis di miometrium gagal untuk tidak dapat
mempertahankan struktur muskuloelastisitasnya dan atheroma akut berkembang
pada segmen miometrium dari arteri spiralis. Atheroma akut adalah nekrosis
arteriopati pada ujung-ujung plasenta yang mirip dengan lesi pada hipertensi
malignan. Atheroma akut juga dapat menyebabkan penyempitan kaliber dari lumen
vaskular. Lesi ini dapat menjadi pengangkatan lengkap dari pembuluh darah yang
bertanggung jawab terhadap terjadinya infark plasenta.

21
KLASIFIKASI
Preeklampsia terbagi atas dua yaitu Preeklampsia dan Preeklampsia dengan
gejala berat berdasarkan Klasifikasi menurut American College of Obstetricians
and Gynecologists, yaitu:
1) Preeklampsia, bila disertai keadaan sebagai berikut:
 Tekanan darah 140/90 mmHg, atau kenaikan diastolik 15 mmHg atau lebih,
atau kenaikan sistolik 30 mmHg atau lebih setelah 20 minggu kehamilan
dengan riwayat tekanan darah normal.
 Proteinuria kuantitatif ≥ 300 mg perliter dalam 24 jam atau kualitatif 1+ atau
2+ pada urine kateter atau midstream.
2) Preeklampsia berat, bila disertai keadaan sebagai berikut:
 Tekanan darah 160/110 mmHg atau lebih.
 Proteinuria 5 gr atau lebih perliter dalam 24 jam atau kualitatif 3+ atau 4+.
 Oligouri, yaitu jumlah urine kurang dari 500 cc per 24 jam/kurang dari 0,5
cc/kgBB/jam.
 Adanya gangguan serebral, gangguan penglihatan, dan rasa nyeri di
epigastrium.
 Terdapat edema paru dan sianosis
 Hemolisis mikroangiopatik
 Trombositopeni (< 100.000 sel/mm3 atau penurunan trombosit dengan cepat)
 Gangguan fungsi hati.
 Pertumbuhan janin terhambat.
 Sindrom HELLP.

DIAGNOSIS
Gejala subjektif
Pada preeklampsia didapatkan sakit kepala di daerah frontal, skotoma,
diplopia, penglihatan kabur, nyeri di daerah epigastrium, mual atau muntah-
muntah. Gejala-gejala ini sering ditemukan pada preeklampsia yang meningkat dan
merupakan petunjuk bahwa eklampsia akan timbul (impending eklampsia).

22
Tekanan darah pun akan meningkat lebih tinggi, edema dan proteinuria bertambah
meningkat (Prawirohardjo, 2016).

Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik didapatkan peningkatan tekanan sistolik 30mmHg
dan diastolik 15 mmHg atau tekanan darah meningkat ≥ 140/90mmHg pada
preeklampsia ringan dan≥ 160/110 mmHg pada preeklampsia berat. Selain itu kita
juga akan menemukan takikardia, takipneu, edema paru, perubahan kesadaran,
hipertensi ensefalopati, hiperefleksia,sampai tanda-tanda pendarahan otak
(Prawirohardjo, 2016).

Penemuan Laboratorium
Penemuan yang paling penting pada pemeriksaan laboratorium penderita
preeklampsia yaitu ditemukannya protein pada urine. Pada penderita preeklampsia
ringan kadarnya secara kuantitatif yaitu ≥ 300 mg perliter dalam 24 jam atau secara
kualitatif +1 sampai +2 pada urine kateter atau midstream. Sementara pada
preeklampsia berat kadanya mencapai ≥ 500 mg perliter dalam 24 jam atau secara
kualitatif ≥ +3 (Prawirohardjo, 2016).
Pada pemeriksaan darah, hemoglobin dan hematokrit akan meningkat akibat
hemokonsentrasi. Trombositopenia juga biasanya terjadi. Penurunan produksi
benang fibrin dan faktor koagulasi bisa terdeksi. Asam urat biasanya meningkat
diatas 6 mg/dl. Kreatinin serum biasanya normal tetapi bisa meningkat pada
preeklampsia berat. Alkalin fosfatase meningkat hingga 2-3 kali lipat. Laktat
dehidrogenase bisa sedikit meningkat dikarenakan hemolisis. Glukosa darah dan
elektrolit pada pasien preeklampsia biasanya dalam batas normal.

PENATALAKSANAAN
Tujuan utama penanganan preeklampsia adalah mencegah terjadinya
preeklampsia berat atau eklampsia, melahirkan janin hidup dan melahirkan janin
dengan trauma sekecil-kecilnya, mencegah perdarahan intrakranial serta mencegah
gangguan fungsi organ vital.

23
Secara garis besar, tatalaksana untuk preeklampsia dibagi menjadi
manajemen aktif dan manajemen ekspektatif. Manajemen ekspektatif adalah
manajemen dengan tetap mempertahankan janin di dalam kandungan. Manajemen
ini dilakukan apabila usia kehamilan dibawah 34 minggu untuk preeklampsia
dengan gejala berat dan dibawah 37 minggu untuk preeklampsia tanpa gejala berat.
Selain itu kondisi janin harus stabil, tidak ada tanda-tanda inpartu, dan tidak ada
perdarahan antepartum. Manajemen aktif dilakukan apabila kriteria untuk
dilakukannya manajemen ekspektatif tidak terpenuhi.

1. Manajemen Ekspektatif
Tujuan utama dari manajemen ekspektatif adalah untuk memperbaiki luaran
perinatal dengan mengurangi morbiditas neonatas serta memperpanjang usia
kehamilan tanpa membahayakan ibu.
Manajemen ekspektatif tidak meningkatkan kejadian morbiditas maternal
seperti gagal ginjal, sindrom HELLP, angka seksio sesar, atau solusio plasenta.
Sebaliknya dapat memperpanjang usia kehamilan, serta mengurangi morbiditas
perinatal seperti penyakit membran hialin, necrotizing enterocolitis, kebutuhan
perawatan intensif dan ventilator serta lama perawatan. Berat lahir bayi rata-rata
lebih besar pada manajemen ekspektatif, namun insiden pertumbuhan janin
terhambat juga lebih banyak (POGI, 2016).
Pada preeklampsia tanpa gejala berat, manajemen ekspektatif dapat
dilakukan sampai usia kehamilan 37 minggu dengan kondisi ibu dan janin baik.
Apabila hal ini tidak memungkinkan maka dilakukan terminasi kehamilan.

24
Gambar 1. Alur Manajemen Ekspektatif pada Preeklampsia Tanpa Gejala
Berat
Sumber: POGI, 2016

Evaluasi maternal dan janin perlu dilakukan dengan ketat, yakni dengan:
 Evaluasi gejala maternal dan gerakan janin setiap hari oleh pasien
 Evaluasi tekanan darah 2 kali dalam seminggu secara poliklinis
 Evaluasi jumlah trombosit dan fungsi liver setiap minggu
 Evaluasi USG dan kesejahteraan janin secara berkala (dianjurkan 2 kali
dalam seminggu)
 Jika didapatkan tanda pertumbuhan janin terhambat, evaluasi menggunakan
doppler velocimetry terhadap arteri umbilikal (ACOG, 2013; Canadian
Hypertensive Disorder of Pregnancy Working Group, 2014).

Pada preeklampsia dengan gejala berat, manajemen ekspektatif juga


direkomendasikan pada usia kehamilan kurang dari 34 minggu dengan syarat
kondisi ibu dan janin stabil. Selama dilakukan perawatan ekspektatif ini, pasien
direkomendasikan untuk dirawat inap dan dipantau secara ketat.

25
Selama pemantauan, apabila didapatkan kondisi ibu dan janin tidak baik,
maka segera dilakukan terminasi kehamilan (Tabel 1).

Tabel 1. Kondisi yang Memerlukan Manajemen Aktif pada Preeklampsia Berat

Sumber: ACOG, 2013

26
Gambar 2. Alur Manajemen Ekspektatif pada Preeklampsia dengan Gejala Berat
Sumber: POGI, 2016

2. Obat Anti Kejang


Obat anti kejang yang digunakan adalah magnesium sulfat. Tujuan utama
pemberian magnesium sulfat pada preeklampsia adalah untuk mencegah dan
mengurangi angka kejadian eklampsia, serta mengurangi morbiditas dan mortalitas
maternal serta perinatal (Sibai, 2005). Cara kerja magnesium sulfat belum dapat
dimengerti sepenuhnya. Salah satu mekanisme kerjanya adalah menyebabkan
vasodilatasi melalui relaksasi dari otot polos, termasuk pembuluh darah perifer dan
uterus, sehingga selain sebagai antikonvulsan, magnesium sulfat juga berguna
sebagai antihipertensi dan tokolitik. Magnesium sulfat juga berperan dalam
menghambat reseptor N-metil-D-aspartat (NMDA) di otak, yang apabila teraktivasi

27
akibat asfiksia, dapat menyebabkan masuknya kalsium ke dalam neuron, yang
mengakibatkan kerusakan sel dan dapat terjadi kejang (Duley, 2005).
Guideline RCOG merekomendasikan dosis loading magnesium sulfat 4 g
selama 5–10 menit, dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 1-2 g/jam selama 24
jam post partum atau setelah kejang terakhir, kecuali terdapat alasan tertentu untuk
melanjutkan pemberian magnesium sulfat. Pemantauan produksi urin (harus >100
cc), refleks patella, frekuensi napas dan saturasi oksigen penting dilakukan saat
memberikan magnesium sulfat. Selain itu juga harus tersedia antidotumnya yakni
kalsium glukonas 10% dalam 10 cc yang diberikan IV selama 3 menit. Pemberian
ulang 2 g bolus dapat dilakukan apabila terjadi kejang berulang.

3. Obat Anti Hipertensi


Antihipertensi direkomendasikan pada preeklampsia dengan hipertensi
berat, atau tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg atau diastolik ≥ 110 mmHg. Target
penurunan tekanan darah adalah sistolik < 160 mmHg dan diastolik < 110 mmHg.
Dari hasil metaanalisis menunjukkan pemberian anti hipertensi meningkatkan
kemungkinan terjadinya pertumbuhan janin terhambat sebanding dengan
penurunan tekanan arteri rata-rata. Hal ini menunjukkan pemberian antihipertensi
untuk menurunkan tekanan darah memberikan efek negatif pada perfusi
uteroplasenta. Oleh karena itu, indikasi utama pemberian obat antihipertensi pada
kehamilan adalah untuk keselamatan ibu dalam mencegah penyakit serebrovaskular
(Montan, 2010). Meskipun demikian, penurunan tekanan darah dilakukan secara
bertahap tidak lebih dari 25% penurunan dalam waktu 1 jam. Hal ini untuk
mencegah terjadinya penurunan aliran darah uteroplasenter (Meyeon, 2007).
Antihipertensi yang banyak digunakan adalah dari golongan calcium
channel blocker, yakni nifedipin. Calcium channel blocker bekerja pada otot polos
arteriolar dan menyebabkan vasodilatasi dengan menghambat masuknya kalsium
ke dalam sel. Berkurangnya resistensi perifer akibat pemberian calcium channel
blocker dapat mengurangi afterload, sedangkan efeknya pada sirkulasi vena hanya
minimal. Pemberian calcium channel blocker dapat memberikan efek samping
maternal, diantaranya takikardia, palpitasi, sakit kepala, flushing, dan edema
tungkai akibat efek lokal mikrovaskular serta retensi cairan (Alex, 2005).

28
Selain nifedipin, alternatif lain yang dapat diberikan adalah metildopa.
Metildopa adalah agonis reseptor alfa yang bekerja di sistem saraf pusat, adalah
obat antihipertensi yang paling sering digunakan untuk wanita hamil dengan
hipertensi kronis. Walaupun metildopa bekerja terutama pada sistem saraf pusat,
namun juga memiliki sedikit efek perifer yang akan menurunkan tonus simpatis dan
tekanan darah arteri. Frekuensi nadi, cardiac output, dan aliran darah ginjal relatif
tidak terpengaruh. Efek samping pada ibu antara lain letargi, mulut kering,
mengantuk, depresi, hipertensi postural, anemia hemolitik dan drug-induced
hepatitis". Metildopa biasanya dimulai pada dosis 250-500 mg per oral 2 atau 3 kali
sehari, dengan dosis maksimum 3 g per hari. Efek obat maksimal dicapai 4-6 jam
setelah obat masuk dan menetap selama 10-12 jam sebelum diekskresikan lewat
ginjal. Alternatif lain penggunaan metildopa adalah intra vena 250-500 mg tiap 6
jam sampai maksimum 1 g tiap 6 jam untuk krisis hipertensi.

4. Kortikosteroid
Pada preeklampsia berat dapat terjadi edema paru akibat kardiogenik (payah
jantung ventrikel kiri akibat peningkatan afterload) atau non kardiogenik (akibat
kerusakan sel endotel pembuluh darah paru). Prognosis preeclampsia berat menjadi
buruk bila edema paru disertai oligouria.
Pemberian glukokortikoid untuk pematangan paru janin tidak merugikan
ibu. Diberikan pada kehamilan 32-34 minggu, 2 x 24 jam.

PENCEGAHAN
Pemeriksaan antenatal yang teratur dan teliti dapat menemukan tanda-tanda
dini preeklampsia, dalam hal ini harus dilakukan penanganan preeklampsia
tersebut. Walaupun preeklampsia tidak dapat dicegah seutuhnya, namun frekuensi
preeklampsia dapat dikurangi dengan pemberian pengetahuan dan pengawasan
yang baik pada ibu hamil.
Pencegahan primer dilakukan dengan mencegah adanya faktor resiko pada
ibu yang dinilai pada saat dilakukannya ANC. Faktor resiko tersebut antara lain:
 Umur > 40 tahun
 Nulipara

29
 Multipara dengan riwayat preeklampsia sebelumnya
 Multipara dengan kehamilan oleh pasangan baru
 Multipara yang jarak kehamilan sebelumnya 10 tahun atau lebih
 Riwayat preeklampsia pada ibu atau saudara perempuan
 Kehamilan multipel
 IDDM (Insulin Dependent Diabetes Melitus)
 Hipertensi kronik
 Penyakit Ginjal
 Sindrom antifosfolipid (APS)
 Kehamilan dengan inseminasi donor sperma, oosit atau embrio
 Obesitas sebelum hamil
Pemeriksaan fisik:
 Indeks masa tubuh > 35
 Tekanan darah diastolik > 80 mmHg
 Proteinuria (Risiko Tinggi
 Riwayat preeklampsia
 Kehamilan multipel
 Hipertensi kronis
 Diabetes Mellitus tipe 1 atau 2
 Penyakit ginjal
 Penyakit autoimun (contoh: systemic lupus erythematous, antiphospholipid
syndrome)

Pencegahan berikutnya dilakukan untuk mencegah berkembangnya preeclampsia


bertambah parah. Istirahat dapat menurunkan resiko memburuknya preeklampsia.
Istirahat tidak selalu berarti berbaring, dalam hal ini yaitu dengan mengurangi
pekerjaan sehari-hari dan dianjurkan lebih banyak duduk dan berbaring. Diet tinggi
protein dan rendah lemak, karbohidrat, garam dan penambahan berat badan yang
tidak berlebihan sangat dianjurkan.
Restriksi garam tidak direkomendasikan karena tidak memberi efek berarti
dibandingkan dengan diet biasa. Selain itu, pemberian antiplatelet aspirin juga

30
ditemukan memberikan efek baik dalam pencegahan primer dan sekunder terhadap
preeklampsia. Penggunaan aspirin dosis rendah untuk pencegahan primer
berhubungan dengan penurunan risiko preeklampsia, persalinan preterm, kematian
janin atau neonatus dan bayi kecil masa kehamilan, sedangkan untuk pencegahan
sekunder berhubungan dengan penurunan risiko preeklampsia, persalinan preterm
< 37 minggu dan berat badan lahir < 2500 g. Pemberian aspirin ini disarankan untuk
dilakukan sebelum usia 20 minggu dengan dosis rendah (75 mg/hari). Aspirin
ditambah dengan suplementasi kalsium minimal 1 gram/hari direkomendasikan
sebagai pencegahan preeklampsia pada wanita dengan resiko tinggi. Sementara itu
pemberian suplementasi lain seperti antioksidan yang mengacu pada teori oksidan
pada patofisiologi preeklampsia ditemukan tidak memberikan efek berarti.

31
BAB V
ANALISIS KASUS

Ny. LP usia 33 tahun G4P3A0 hamil 27 minggu datang ke RS H. M. Rabain


dengan keluhan nyeri ulu hati dan sakit kepala. Pada riwayat perjalanan
penyakitnya, didapatkan sejak ± 2 hari SMRS, pasien mengeluh rasa sakit di ulu
hati. Keluhan disertai sakit kepala yang dirasa semakin lama semakin memberat.
Riwayat mual muntah (-), riwayat pandangan mata kabur (-). Riwayat perut mules
menjalar ke pinggang yang semakin lama semakin sering (-), riwayat keluar darah
lendir dari kemaluan (-), keluar air-air dari kemaluan (-). Riwayat darah tinggi
sebelum hamil (-), riwayat darah tinggi hamil sebelumnya (+) pada kehamilan anak
ketiga, riwayat darah tinggi hamil ini (+). Pasien mengaku hamil kurang bulan dan
gerakan janin masih dirasakan.
Pada pemeriksaan tanda vital didapatkan tekanan darah pasien 180/110
mmHg yang termasuk pada tekanan darah tinggi dan pemeriksaan vital lain dalam
batas normal. Hasil pemeriksaan tanda vital tersebut mengarahkan diagnosis ibu ini
kepada hipertensi dalam kehamilan. Apabila dilihat dari usia kehamilan ibu yang
sudah 22 minggu dan tidak adanya riwayat hipertensi sebelum hamil, hal ini
menyingkirkan diagnosis hipertensi kronik dan hipertensi kronik superimposed
preeklampsia.
Pada pemeriksaan penunjang tidak ditemukan proteinuria, namun telah
ditemukan adanya gangguan neurologis berupa sakit kepala dan nyeri ulu hati,
sehingga kriteria untuk diagnosis preeklampsia telah terpenuhi. Tekanan darah
pasien yang ≥ 160/110 mmHg berarti bahwa preeklampsia yang diderita pasien ini
adalah preeklampsia berat (PEB). Hasil pemeriksaan tanda-tanda hemolisis, enzim
hati, dan platelet berada pada batas normal sehingga kita dapat menyingkirkan
adanya sindrom HELLP.
Pada pemeriksaan luar ditemukan tinggi fundus uteri 2 jari di atas umbilikus
(19 cm), letak janin memanjang, punggung kiri, bagian terbawah kepala, U 5/5,
detak jantung janin 148 kali/menit, teratur, his (-). Ini menunjukkan bahwa janin
dalam keadaan baik dan tidak ada tanda-tanda inpartu.

32
Faktor risiko yang memungkinkan terjadinya PEB pada kasus yaitu adanya
riwayat preeklampsia pada kehamilan sebelumnya. Pencegahan sebelumnya yang
dapat dilakukan adalah dengan pemberian aspirin dosis rendah (75 mg/hari)
sebelum usia kehamilan 20 minggu, tetapi pada pasien ini tidak dilakukan.
Sesuai dengan protokol, maka pasien diberi obat-obatan medikamentosa
berupa obat antikejang (MgSO4) dan obat antihipertensi (Nifedipine). Selain itu
pengelolaan pasien PEB, selain mencegah terjadinya kejang dan pengobaan
hipertensi, juga mencakup pengelolaan cairan karena penderita memiliki resiko
tinggi terjadinya edema paru dan oliguria. Oleh karena itu, monitoring input cairan
dan output cairan sangat penting dan harus dilakukan. Pada pasien dilakukan
management ekspektatif karena usia kehamilan kurang dari 37 minggu dan kondisi
ibu dan janin stabil.

33
DAFTAR PUSTAKA

ACOG. Hypertension in Pregnancy: Report of the ACOG Task Force on


Hypertension in Pregnancy Obstetrics & Gynecology Vol 122 No 5.
November 2013.

Alex C. Vidaeff; Mary A. Carroll SMR. Acute hypertensive emergencies in


pregnancy. Crit CareMed. 2005;33:S307-S12.
Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional. Report on the achievement of
millennium development goals Indonesia. Jakarta: Bappenas; 2007:51.

Canadian Hypertensive Disorders of Pregnancy Working Group, Diagnosis,


Evaluation, and Management of the Hypertensive Disorders of Pregnancy:
Executive Summary. Journal of Obstetrics Gynecology Canada. 2014: 36(5);
416-438
Cunningham, F. G., Kenneth J. Leveno, Steven L. Bloom, John C. Hauth, Dwight
J. Rouse, dan Catherine Y. Spong. 2014. Williams Obstetrics: “Pregnancy
Hypertension”. McGraw-Hill Medical, New York, United States America.
Dharma Rahajuningsih, Noroyono Wibowo dan Hessyani Raranta. Disfungsi
Endotel pada Preeklampsia. Jakarta. Universitas Indonesia. 2005
Duley L. Evidence and practice: the magnesium sulphate story. Clinical Obstetrics
and Gynaecology. 2005;19(1):57-74.
Meyeon Park UCB. Management of preeclampsia. Hospital Physician. 2007:25-32.
Osungbade KO, Ige OK. Public Health Perspectives of Preeclampsia in Developing
Countries: Implication for Health System Strengthening. Journal of
Pregnancy. 2011.

POGI. 2016. Panduan Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) Tentang


Preeklampsia.
Prawirohardjo Sarwono dkk. Ilmu Kebidanan, Hipertensi Dalam Kehamilan.
Jakarta. PT Bina Pustaka. 2010. Hal : 542-50
Sibai BM. Magnesium Supfate Prophylaxis in Preeclampsia: Evidence From
Randomized Trials Clinical Obstetrics and Gynecology. 2005;48 478-88.

34
Sitti ND. Gambaran Epidemiologi Kejadian Preeklampsia/Eklampsia di RSU PKU
Muhammadiyah Yogyakarta Tahun 2007–2009. Buletin Penelitian Sistem
Kesehatan, 13(4):378–385; 2010.

Task Force on Hypertension in Pregnancy, American College of Obstetricians and


Gynecologist. Hypertension in Pregnancy. Washington: ACOG. 2013
Tin TT, Theingi M, Saw L, Win MO, Aung KK, Moe KM, Kyaw ZT. Promoting
antenatal care services for early detection of pre-eclampsia. WHO South-East
Asia Journal of Public Healt, 1(3):290-298; 2012.

35

Anda mungkin juga menyukai