Disusun Oleh:
Dokter Muda Stase Obstetrik dan Ginekologi
Periode 11 November 2019 – 20 Januari 2020
Laporan Kasus
Judul:
G4P3A0 Hamil 22 Minggu Belum Inpartu dengan Preeklampsia Berat
Janin Tunggal Hidup Presentasi Kepala
Oleh:
Telah diterima dan disahkan sebagai salah satu syarat menyelesaikan Kepaniteraan
Klinik Senior di Bagian Obstetrik dan Ginekologi RSMH Palembang, Fakultas
Universitas Sriwijaya Palembang periode 11 November 2019 – 20 Januari 2020.
ii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT atas berkah dan
rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul
“G4P3A0 Hamil 22 Minggu Belum Inpartu dengan Preeklampsia Berat Janin
Tunggal Hidup dengan Presentasi Kepala” sebagai syarat untuk memenuhi tugas
ilmiah yang merupakan bagian dari sistem pembelajaran kepaniteraan klinik di
Departemen Obsetrik dan Ginekologi, Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
Rumah Sakit Dr. Mohammad Hoesin Palembang.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada dr.
Bertha Octarina, Sp.OG selaku pembimbing yang telah membantu memberikan
bimbingan dan masukan sehingga laporan ini dapat selesai.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan laporan kasus ini masih banyak
terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, segala saran dan kritik yang
bersifat membangun sangat penulis harapkan. Demikianlah penulisan laporan
kasus ini, semoga laporan ini dapat memberi manfaat bagi pembaca.
Penulis
iii
DAFTAR ISI
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1
trombofilia, kehamilan multifetus, fertilisasi in vitro, adanya riwayat preeklampsia
pada keluarga, mengalami diabetes melitus tipe I atau tipe II, serta lupus
ertiyematosus sistemik.
Diagnosis preeklampsia dapat didasari oleh temuan klinis. Seperti yang telah
didefinisikan oleh American College of Obstetrics and Gynecology, diagnosis
penyakit ini didasari oleh nilai tekanan darah ≥ 140/90 mmHg pada minimal dua
kali pengukuran, disertai dengan proteinuria ≥ 300 mg/dl. Edema, temuan klasik
pada penyakit ini, tidak lagi dianggap sebagai kriteria diagnostik karena rendahnya
angka sensitivitas dan spesifisitasnya. Pemeriksaan laboratorium, seperti tes fungsi
hati, tes urine, dan kreatinin serum dapat membantu dalam menentukan
karakteristik kerusakan organ, namun juga tidak spesifik untuk mendiagnosis
preeklampsia (ACOG, 2013).
Preeklampsia merupakan salah satu penyulit dalam kehamilan yang
menyebabkan sakit berat, serta kematian pada ibu, janin dan neonatus, serta
kejadian preeklampsia di Indonesia yang cukup tinggi, maka penulis melaporkan
salah satu kasus preeklampsia yang ditemukan di RS H.M. Rabain beserta tinjauan
pustaka dan analisisnya. Laporan kasus ini diharapkan bermanfaat bagi praktisi
kesehatan sebagai referensi yang ingin mengkaji mengenai preeklampsia.
2
BAB II
STATUS PASIEN
2.1 IDENTIFIKASI
1. Nama pasien : Ny. LP
2. Umur : 33 tahun
3. Alamat : Dusun I, Muara Enim
4. Pekerjaan : Ibu rumah tangga
5. No. Med. Rec. : 271613
6. Datang ke IGD : 25 Desember 2019
2.2 ANAMNESIS
Keluhan Utama
Hamil kurang bulan dengan darah tinggi dan sakit ulu hati
3
Riwayat Dalam Keluarga
Riwayat darah tinggi dalam keluarga (-)
Riwayat kencing manis dalam keluarga (-)
Riwayat asma dalam keluarga (-)
Riwayat alergi dalam keluarga (-)
4
Tinggi badan : 152 cm
BMI : 28,56 kg/m2
Gizi : Cukup
PEMERIKSAAN KHUSUS
Kepala dan Leher
Kepala : Normocephali.
Mata : Konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-)
Leher : JVP (5-2) cmH2O
Thorax
Paru
Inspeksi : Simetris
Palpasi : Stem fremitus kanan=kiri
Perkusi : Sonor di seluruh lapang dada
Auskultasi : Vesikuler (+/+), wheezing (-/-), ronkhi (-/-)
Jantung
Inspeksi : Iktus cordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus cordis tidak teraba
Perkusi : Batas jantung normal
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II (+) 102x/menit regular, murmur (-),
gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : Cembung, linea nigra (+)
Lihat pemeriksaan obstetrik
Ekstremitas
Akral dingin (-), edema pretibial (-), palmar pucat (-)
PEMERIKSAAN OBSTETRIK
Pemeriksaan Luar
5
Tinggi fundus uteri 2 jari di atas umbilikus (19 cm), letak janin memanjang,
punggung kiri, bagian terbawah kepala, U 5/5, detak jantung janin 148 kali/menit,
teratur, his (-).
Pemeriksaan Dalam
Vaginal toucher :
Tidak dilakukan.
6
LDH 480 U/L 0-480 U/L
Urinalisa
Glukosa Negatif Negatif
Protein Negatif Negatif
Bilirubin Negatif Negatif
Urobilinogen Negatif Negatif
Keton Negatif Negatif
pH 7,0 4,6-8,5
Berat jenis 1010 1003-1030
Nitrit Negatif Negatif
Darah Negatif Negatif
Warna Kuning Kuning muda
Kejernihan Jernih Jernih
Sedimen
Leukosit 5-9/LP 0-6/LP
Eritrosit <4/LP 0-3/LP
Sel Epitel Skuamosa 5-9 Positif
Silinder Negatif Negatif
Kristal Negatif Negatif
Lain-lain Negatif Negatif
Imunologi
HbsAg Non reaktif Non reaktif
VDRL/RPR Non reaktif Non reaktif
HIV Negatif Negatif
Pemeriksaan USG
7
Interpretasi
• Tampak JTH Intrauterine
• Biometri janin
BPD : 5,53 cm
HC : 20,57 cm
AC : 18,21 cm
FL : 3,54 cm
EFW : 492 g
• Cairan ketuban cukup, tampak plasenta di korpus anterior
Kesimpulan:
Hamil 22 minggu 3 hari JTH intrauterine
2.6 PROGNOSIS
Ibu : dubia ad bonam
Anak : dubia ad bonam
2.7 TATALAKSANA
a. Terapi
- IVFD RL gtt xx/menit
- Nifedipin 10 mg/ 8 jam PO
- MgSO4 40% 4 gram IM boka-boki
b. Monitoring
- Balance cairan (pasang kateter)
- Ada tidak kejang
8
c. Follow up
Tanggal, Pukul Follow up
25 Desember 2019, S :
20.50 Nyeri ulu hati (+), sakit kepala (+)
O:
KU : tampak sakit sedang
TD : 160/90 mmHg, Nadi : 120 x/min, RR : 20 x/min, Suhu :
36,7ºC,
DJJ : 148 x/ menit
A:
G4P3A0 hamil 22 minggu belum inpartu dengan preeklampsia
berat, janin tunggal hidup presentasi kepala.
P:
IVFD RL gtt xx/menit
Nifedipin 10 mg/ 8 jam PO
Inj. MgSO4 40% 4 gram IM boka-boki
26 Desember 2019, S:
07.00 WIB Nyeri ulu hati (+), sakit kepala (+)
O:
KU : tampak sakit sedang
TD : 160/110 mmHg, Nadi : 120 x/min, RR : 20 x/min, Suhu :
36,7ºC,
DJJ : 145 x/ menit
A:
G4P3A0 hamil 22 minggu belum inpartu dengan preeklampsia
berat, janin tunggal hidup presentasi kepala.
P:
IVFD RL gtt xx/menit
Nifedipin 10 mg/ 8 jam PO
Inj. MgSO4 40% 4 gram IM boka-boki
9
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
PREEKLAMPSIA
Preeklampsia merupakan suatu gangguan multisistem idiopatik yang
spesifik pada kehamilan dan nifas. Pada keadaan khusus, preeklampsia juga
didapati pada kelainan perkembangan plasenta (kehamilan mola komplit).
Meskipun patofisiologi preeklampsia kurang dimengerti, jelas bahwa tanda
perkembangan ini tampak pada awal kehamilan. Telah dinyatakan bahwa
pathologic hallmark adalah suatu kegagalan total atau parsial dari fase kedua invasi
trofoblas saat kehamilan 16-20 minggu kehamilan, hal ini pada kehamilan normal
bertanggung jawab dalam invasi trofoblas ke lapisan otot arteri spiralis. Seiring
dengan kemajuan kehamilan, kebutuhan metabolik fetoplasenta makin meningkat.
Bagaimanapun, karena invasi abnormal yang luas dari plasenta, arteri spiralis tidak
dapat berdilatasi untuk mengakomodasi kebutuhan yang makin meningkat tersebut,
hasil dari disfungsi plasenta inilah yang tampak secara klinis sebagai preeklampsia.
Meskipun menarik, hipotesis ini tetap perlu ditinjau kembali.
Preeklampsia merupakan suatu diagnosis klinis. Definisi klasik
preeklampsia meliputi 3 elemen, yaitu onset baru hipertensi (didefinisikan sebagai
suatu tekanan darah yang menetap ≥ 140/90 mmHg pada wanita yang sebelumnya
normotensif), onset baru proteinuria (didefinisikan sebagai protein urine > 300
mg/24 jam atau ≥ +1 pada urinalisis bersih tanpa infeksi traktus urinarius), dan
onset baru edema yang bermakna. Pada beberapa konsensus terakhir dilaporkan
bahwa edema tidak lagi dimasukkan sebagai kriteria diagnosis.
11
Proteinuria dan hipertensi gravidarum lebih tinggi pada kehamilan kembar,
dizigotik lebih tinggi daripada monozigotik.
g. Mola hidatidosa
Degenerasi trofoblas berlebihan berperan menyebabkan preeklampsia. Pada
kasus mola, hipertensi dan proteinuria terjadi lebih dini/pada usia kehamilan
muda, dan ternyata hasil pemeriksaan patologi ginjal juga sesuai dengan pada
preeklampsia.
h. Obesitas
Hubungan antara berat badan wanita hamil dengan resiko terjadinya
preeklampsia jelas ada, dimana terjadi peningkatan insiden dari 4,3% pada
wanita dengan Body Mass Index (BMI) < 20 kg/m2 manjadi 13,3% pada wanita
dengan Body Mass Index (BMI) > 35 kg/m2.
i. Kehamilan multiple
Preeklampsia dan eklampsia 3 kali lebih sering terjadi pada kehamilan ganda
dari 105 kasus kembar dua didapat 28,6% preeklampsia dan satu kematian ibu
karena eklampsia.
ETIOLOGI
Apa yang menjadi penyebab terjadinya preeklampsia hingga saat ini belum
diketahui. Terdapat banyak teori yang ingin menjelaskan tentang penyebab dari
penyakit ini tetapi tidak ada yang memberikan jawaban yang memuaskan. Teori
yang dapat diterima harus dapat menjelaskan tentang mengapa preeklampsia
meningkat prevalensinya pada primigravida, hidramnion, kehamilan ganda dan
mola hidatidosa. Selain itu teori tersebut harus dapat menjelaskan penyebab
bertambahnya frekuensi preeklampsia dengan bertambahnya usia kehamilan,
penyebab terjadinya perbaikan keadaan penderita setelah janin mati dalam
kandungan, dan penyebab timbulnya gejala-gejala seperti hipertensi, edema,
proteinuria, kejang dan koma. Banyak teori-teori yang dikemukakan oleh para ahli
yang mencoba menerangkan penyebabnya, oleh karena itu disebut “penyakit teori”.
Namun belum ada yang memberikan jawaban yang memuaskan. Teori sekarang
yang dipakai sebagai penyebab preeklampsia adalah teori “iskemia plasenta”. Teori
ini pun belum dapat menerangkan semua hal yang berkaitan dengan penyakit ini.
12
Adapun teori-teori tersebut adalah (Prawirohardjo, 2016):
1. Peran Prostasiklin dan Tromboksan
Pada preeklampsia dan eklampsia didapatkan kerusakan pada endotel
vaskuler, sehingga sekresi vasodilatator prostasiklin oleh sel-sel endotelial
plasenta berkurang, sedangkan pada kehamilan normal, prostasiklin meningkat.
Sekresi tromboksan oleh trombosit bertambah sehingga timbul vasokonstriksi
generalisata dan sekresi aldosteron menurun. Akibat perubahan ini
menyebabkan pengurangan perfusi plasenta sebanyak 50%, hipertensi dan
penurunan volume plasma.
2. Peran Faktor Imunologis
Preeklampsia sering terjadi pada kehamilan pertama karena pada
kehamilan pertama terjadi pembentukan blocking antibodies terhadap antigen
plasenta tidak sempurna sehingga timbul respons imun yang tidak
menguntungkan terhadap Histikompatibilitas Plasenta. Pada preeklampsia
terjadi kompleks imun humoral dan aktivasi komplemen. Hal ini dapat diikuti
dengan terjadinya pembentukan proteinuria.
3. Peran Faktor Genetik
Menurut Chesley dan Cooper (1986) bahwa Preeklampsia/eklampsia
bersifat diturunkan melalui gen resesif tunggal. Beberapa bukti yang
menunjukkan peran faktor genetik pada kejadian Preeklampsia-Eklampsia
antara lain:
a) Preeklampsia hanya terjadi pada manusia.
b) Terdapatnya kecendrungan meningkatnya frekuensi Preeklampsia-
Eklampsia pada anak-anak dari ibu yang menderita Preeklampsia-
Eklampsia.
4. Iskemik dari uterus
Iskemik uteroplasentar yang ditemukan pada preeklampsia menyebabkan
terjadinya ketidakseimbangan antara massa plasenta yang meningkat dengan
aliran perfusi sirkulasi darah plasenta yang berkurang. Disfungsi plasenta juga
ditemukan pada preeklampsia, sehingga terjadi penurunan kadar 1 α-25 (OH)2
dan Human Placental Lactogen (HPL), akibatnya terjadi penurunan absorpsi
kalsium dari saluran cerna. Untuk mempertahankan penyediaan kalsium pada
13
janin, terjadi perangsangan kelenjar paratiroid yang mengekskresi paratiroid
hormon (PTH) disertai penurunan kadar kalsitonin yang mengakibatkan
peningkatan absorpsi kalsium tulang yang dibawa melalui sirkulasi ke dalam
intra sel. Peningkatan kadar kalsium intra sel mengakibatkan peningkatan
kontraksi pembuluh darah, sehingga terjadi peningkatan tekanan darah.
Pada preekslampsia terjadi perubahan arus darah di uterus, koriodesidua
dan plasenta adalah patofisiologi yang terpenting pada preeklampsia, dan
merupakan faktor yang menentukan hasil akhir kehamilan. Perubahan aliran
darah uterus dan plasenta menyebabkan terjadi iskemia uteroplasenter,
menyebabkan ketidakseimbangan antara massa plasenta yang meningkat dengan
aliran perfusi darah sirkulasi yang berkurang. Selain itu hipoperfusi uterus
menjadi rangsangan produksi renin di uteroplasenta, yang mengakibatkan
vasokonstriksi vaskular daerah itu. Renin juga meningkatkan kepekaan vaskular
terhadap zat-zat vasokonstriktor lain (angiotensin, aldosteron) sehingga terjadi
tonus pembuluh darah yang lebih tinggi. Oleh karena gangguan sirkulasi
uteroplasenter ini, terjadi penurunan suplai oksigen dan nutrisi ke janin.
Akibatnya terjadi gangguan pertumbuhan janin sampai hipoksia dan kematian
janin.
14
proteinuria. Jika terjadi disfungsi endotel maka pada permukaan endotel akan
diekspresikan molekul adhesi. seperti vascular cell adhesion molecule-
1(VCAM-1) dan intercellular cell adhesion molecule-1 (ICAM-1). Peningkatan
kadar soluble VCAM-1 ditemukan dalam supernatant kultur sel endotel yang
diinkubasi dengan serum penderita preeklampsia, tetapi tidak dijumpai
peningkatan molekul adhesi lain seperti ICAM-1 dan E-selektin. Oleh karena itu
diduga VCAM-1 mempunyai peranan pada preeklampsia.
Namun belum diketahui apakah tingginya kadar sVCAM-1 dalam serum
mempunyai hubungan dengan beratnya penyakit. Disfungsi endotel juga
mengakibatkan permukaan non trombogenik berubah menjadi trombogenik,
sehingga bisa terjadi aktivasi koagulasi. Sebagai petanda aktivasi koagulasi
dapat diperiksa D-dimer, kompleks trombin-antitrombin, fragmen protrombin 1
dan 2 atau fibrin monomer.
PATOFISIOLOGI
Patogenesis terjadinya Preeklamsia dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Penurunan kadar angiotensin II dan peningkatan kepekaan vaskuler
Pada preeklamsia terjadi penurunan kadar angiotensin II yang
menyebabkan pembuluh darah menjadi sangat peka terhadap bahan-bahan
vasoaktif (vasopresor), sehingga pemberian vasoaktif dalam jumlah sedikit saja
sudah dapat menimbulkan vasokonstriksi pembuluh darah yang menimbulkan
hipertensi. Pada kehamilan normal kadar angiotensin II cukup tinggi. Pada
preeklamsia terjadi penurunan kadar prostacyclin dengan akibat meningkatnya
thromboksan yang mengakibatkan menurunnya sintesis angiotensin II sehingga
peka terhadap rangsangan bahan vasoaktif dan akhirnya terjadi hipertensi.
2. Hipovolemia Intravaskuler
Pada kehamilan normal terjadi kenaikan volume plasma hingga mencapai
45%, sebaliknya pada preeklamsia terjadi penyusutan volume plasma hingga
mencapai 30-40% kehamilan normal. Menurunnya volume plasma
menimbulkan hemokonsentrasi dan peningkatan viskositas darah. Akibatnya
perfusi pada jaringan atau organ penting menjadi menurun (hipoperfusi)
sehingga terjadi gangguan pada pertukaran bahan-bahan metabolik dan
15
oksigenasi jaringan. Penurunan perfusi ke dalam jaringan utero-plasenta
mengakibatkan oksigenasi janin menurun sehingga sering terjadi pertumbuhan
janin yang terhambat (intrauterine growth retardation), gawat janin, bahkan
kematian janin intrauterin.
3. Vasokonstriksi pembuluh darah
Pada kehamilan normal tekanan darah dapat diatur tetap meskipun cardiac
output meningkat, karena terjadinya penurunan tahanan perifer. Pada kehamilan
dengan hipertensi terjadi peningkatan kepekaan terhadap bahan-bahan
vasokonstriktor sehingga keluarnya bahan- bahan vasoaktif dalam tubuh dengan
cepat menimbulkan vasokonstriksi. Adanya vasokonstriksi menyeluruh pada
sistem pembuluh darah arteriole dan pra kapiler pada hakekatnya
merupakansuatu sistem kompensasi terhadap terjadinya hipovolemik. Sebab bila
tidak terjadi vasokonstriksi, ibu hamil dengan hipertensi akan berada dalam syok
kronik. Perjalanan klinis dan temuan anatomis memberikan bukti presumtif
bahwa preeklampsi disebabkan oleh sirkulasi suatu zat beracun dalam darah
yang menyebabkan trombosis di banyak pembuluh darah halus, selanjutnya
membuat nekrosis berbagai organ.Gambaran patologis pada fungsi beberapa
organ dan sistem, yang kemungkinan disebabkan oleh vasospasme dan iskemia,
telah ditemukan pada kasus-kasus preeklampsia dan eklampsia berat.
Vasospasme bisa merupakan akibat dari kegagalan invasi trofoblas ke dalam
lapisan otot polos pembuluh darah, reaksi imunologi, maupun radikal bebas.
Semua ini akan menyebabkan terjadinya kerusakan/jejas endotel yang kemudian
akan mengakibatkan gangguan keseimbangan antara kadar vasokonstriktor
(endotelin, tromboksan, angiotensin, dan lain-lain) dengan vasodilatator
(nitritoksida, prostasiklin, dan lain-lain). Selain itu, jejas endotel juga
menyebabkan gangguan pada sistem pembekuan darah akibat kebocoran
endotelial berupa konstituen darah termasuk platelet dan fibrinogen.
Vasokontriksi yang meluas akan menyebabkan terjadinya gangguan pada
fungsi normal berbagai macam organ dan sistem. Gangguan ini dibedakan atas
efek terhadap ibu dan janin, namun pada dasarnya keduanya berlangsung secara
simultan. Gangguan ibu secara garis besar didasarkan pada analisis terhadap
perubahan pada sistem kardiovaskular, hematologi, endokrin dan metabolisme,
16
serta aliran darah regional. Sedangkan gangguan pada janin terjadi karena
penurunan perfusi uteroplasenta.
Perubahan Kardiovaskuler
Gangguan fungsi kardiovaskuler yang parah sering terjadi pada preeklampsia
dan eklampsia. Berbagai gangguan tersebut pada dasarnya berkaitan dengan
peningkatan afterload jantung akibat hipertensi, preload jantung yang secara nyata
dipengaruhi oleh berkurangnya secara patologis hipervolemia kehamilan atau yang
secara iatrogenic ditingkatkan oleh larutan onkotik atau kristaloid intravena, dan
aktivasi endotel disertai ekstravasasi ke dalam ruang ektravaskular terutama paru
(Dharma, 2005).
Mata
Pada preeklampsia tampak edema retina, spasmus setempat atau menyeluruh
pada satu atau beberapa arteri, jarang terjadi perdarahan atau eksudat. Spasmus
arteri retina yang nyata dapat menunjukkan adanya preeklampsia yang berat, tetapi
bukan berarti spasmus yang ringan adalah preeklampsia yang ringan. Pada
preeklampsia dapat terjadi ablasio retina yang disebabkan edema intraokuler dan
17
merupakan indikasi untuk dilakukannya terminasi kehamilan. Ablasio retina ini
biasanya disertai kehilangan penglihatan.
Skotoma, diplopia dan ambliopia pada penderita preeklampsia merupakan
gejala yang menunjukan akan terjadinya eklampsia. Keadaan ini disebabkan oleh
perubahan aliran darah dalam pusat penglihatan di korteks serebri atau dalam retina.
Paru
Edema paru biasanya terjadi pada pasien preeklampsia berat dan eklampsia
dan merupakan penyebab utama kematian. Edema paru bisa diakibatkan oleh
kardiogenik ataupun non-kardiogenik dan biasa terjadi setelah melahirkan. Pada
beberapa kasus terjadinya edema paru berhubungan dengan adanya peningkatan
cairan yang sangat banyak. Hal ini juga dapat berhubungan dengan penurunan
tekanan onkotik koloid plasma akibat proteinuria, penggunaan kristaloid sebagai
pengganti darah yang hilang, dan penurunan albumin yang dihasilkan oleh hati.
Hati
Pada preeklampsia berat terkadang terdapat perubahan fungsi dan integritas
hepar, termasuk perlambatan ekskresi bromosulfoftalein dan peningkatan kadar
aspartat aminotransferase serum. Sebagian besar peningkatan fosfatase alkali
serum disebabkan oleh fosfatase alkali tahan panas yang berasal dari plasenta.
Nekrosis hemoragik periporta di bagian perifer lobulus hepar kemungkinan
besar penyebab terjadinya peningkatan enzim hati dalam serum. Perdarahan pada
lesi ini dapat menyebabkan ruptur hepatika, atau dapat meluas di bawah kapsul
hepar dan membentuk hematom subkapsular.
Ginjal
Selama kehamilan normal, aliran darah dan laju filtrasi glomerulus meningkat
cukup besar. Dengan timbulnya preeklampsia, perfusi ginjal dan filtrasi glomerulus
menurun. Lesi karakteristik dari preeklampsia, glomeruloendoteliosis, adalah
pembengkakan dari kapiler endotel glomerular yang menyebabkan penurunan
perfusi dan laju filtrasi ginjal. Konsentrasi asam urat plasma biasanya meningkat,
terutama pada wanita dengan penyakit berat.
18
Pada sebagian besar wanita hamil dengan preeklampsia, penurunan ringan
sampai sedang laju filtrasi glomerulus tampaknya terjadi akibat
berkurangnyavolume plasma sehingga kadar kreatinin plasma hampir dua kali lipat
dibandingkan dengan kadar normal selama hamil (sekitar 0,5 ml/dl). Namun pada
beberapa kasus preeklampsia berat, keterlibatan ginjal menonjol dan kreatinin
plasma dapat meningkat beberapa kali lipat dari nilai normal ibu tidak hamil atau
berkisar hingga 2-3 mg/dl. Hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh perubahan
intrinsik ginjal yang ditimbulkan oleh vasospasme hebat yang dikemukakan oleh
Pritchard (1984) dalam Cunningham (2005).
Kelainan pada ginjal yang penting adalah dalam hubungan proteinuria dan
retensi garam dan air. Taufield (1987) dalam Cunningham (2005) melaporkan
bahwa preeklampsia berkaitan dengan penurunan ekskresi kalsium melalui urin
karena meningkatnya reabsorpsi di tubulus. Pada kehamilan normal, tingkat
reabsorpsi meningkat sesuai dengan peningkatan filtrasi dari glomerulus.
Penurunan filtrasi glomerulus akibat spasmus arteriol ginjal mengakibatkan filtrasi
natrium melalui glomerulus menurun, yang menyebabkan retensi garam dan juga
retensi air.
Untuk mendiagnosis preeklampsia atau eklampsia harus terdapat proteinuria.
Namun, karena proteinuria muncul belakangan, sebagian wanita mungkin sudah
melahirkan sebelum gejala ini dijumpai. Meyer (1994) menekankan bahwa yang
diukur adalah ekskresi urin 24 jam. Mereka mendapatkan bahwa proteinuria +1
atau lebih dengan dipstick memperkirakan minimal terdapat 300 mg protein per 24
jam pada 92% kasus. Sebaliknya, proteinuria yang samar (trace) atau negatif
memiliki nilai prediktif negatif hanya 34% pada wanita hipertensif. Kadar dipstick
urin +3 atau +4 hanya bersifat prediktif positif untuk preeklampsia berat pada 36%
kasus.
Seperti pada glomerulopati lainnya, terjadi peningkatan permeabilitas
terhadap sebagian besar protein dengan berat molekul tinggi. Maka ekskresi Filtrasi
yang menurun hingga 50% dari normal dapat menyebabkan diuresis turun, bahkan
pada keadaan yang berat dapat menyebabkan oligouria ataupun anuria. Lee (1987)
dalam Cunningham (2005) melaporkan tekanan pengisian ventrikel normal pada
19
tujuh wanita dengan preeklampsia berat yang mengalami oligouria dan
menyimpulkan bahwa hal ini konsisten dengan vasospasme intrarenal.
Protein albumin juga disertai protein-protein lainnya seperti hemoglobin,
globulin dan transferin. Biasanya molekul-molekul besar ini tidak difiltrasi oleh
glomerulus dan kemunculan zat-zat ini dalam urin mengisyaratkan terjadinya
proses glomerulopati. Sebagian protein yang lebih kecil yang biasa difiltrasi
kemudian direabsorpsi juga terdeksi di dalam urin.
Darah
Kebanyakan pasien dengan preeklampsia memiliki pembekuan darah yang
normal. Perubahan tersamar yang mengarah ke koagulasi intravaskular dan
destruksi eritrosit (lebih jarang) sering dijumpai pada. Trombositopenia merupakan
kelainan yang sangat sering, biasanya jumlahnya kurang dari 150.000/μl yang
ditemukan pada 15-20% pasien. Level fibrinogen meningkat sangat aktual pada
pasien preeklampsia dibandingkan dengan ibu hamil dengan tekanan darah normal.
Level fibrinogen yang rendah pada pasien preeklampsia biasanya berhubungan
dengan terlepasnya plasenta sebelum waktunya (placental abruption).
Pada 10 % pasien dengan preeklampsia berat dan eklampsia menunjukan
terjadinya HELLP syndrome yang ditandai dengan adanya anemia hemolitik,
peningkatan enzim hati dan jumlah platelet rendah. Sindrom biasanya terjadi tidak
jauh dengan waktu kelahiran (sekitar 31 minggu kehamilan) dan tanpa terjadi
peningkatan tekanan darah. Kebanyakan abnormalitas hematologik kembali ke
normal dalam dua hingga tiga hari setelah kelahiran tetapi trombositopenia bisa
menetap selama seminggu.
20
Pada ibu hamil dengan preeklampsia juga meningkat kadar peptida natriuretik
atrium. Hal ini terjadi akibat ekspansi volume dan dapat menyebabkan
meningkatnya curah jantung dan menurunnya resistensi vaskular perifer baik pada
normotensif maupun preeklamptik. Hal ini menjelaskan temuan turunnya resistensi
vaskular perifer setelah ekspansi volume pada pasien preeklampsia.
Pada pasien preeklampsia terjadi hemokonsentrasi yang masih belum
diketahui penyebabnya. Pasien ini mengalami pergeseran cairan dari ruang
intravaskuler ke ruang interstisial. Kejadian ini diikuti dengan kenaikan hematokrit,
peningkatan protein serum, edema yang dapat menyebabkan berkurangnya volume
plasma, viskositas darah meningkat dan waktu peredaran darah tepi meningkat. Hal
tersebut mengakibatkan aliran darah ke jaringan berkurang dan terjadi hipoksia.
Pada pasien preeklampsia, jumlah natrium dan air dalam tubuh lebih banyak
dibandingkan pada ibu hamil normal. Penderita preeklampsia tidak dapat
mengeluarkan air dan garam dengan sempurna. Hal ini disebabkan terjadinya
penurunan filtrasi glomerulus namun penyerapan kembali oleh tubulus ginjal tidak
mengalami perubahan.
21
KLASIFIKASI
Preeklampsia terbagi atas dua yaitu Preeklampsia dan Preeklampsia dengan
gejala berat berdasarkan Klasifikasi menurut American College of Obstetricians
and Gynecologists, yaitu:
1) Preeklampsia, bila disertai keadaan sebagai berikut:
Tekanan darah 140/90 mmHg, atau kenaikan diastolik 15 mmHg atau lebih,
atau kenaikan sistolik 30 mmHg atau lebih setelah 20 minggu kehamilan
dengan riwayat tekanan darah normal.
Proteinuria kuantitatif ≥ 300 mg perliter dalam 24 jam atau kualitatif 1+ atau
2+ pada urine kateter atau midstream.
2) Preeklampsia berat, bila disertai keadaan sebagai berikut:
Tekanan darah 160/110 mmHg atau lebih.
Proteinuria 5 gr atau lebih perliter dalam 24 jam atau kualitatif 3+ atau 4+.
Oligouri, yaitu jumlah urine kurang dari 500 cc per 24 jam/kurang dari 0,5
cc/kgBB/jam.
Adanya gangguan serebral, gangguan penglihatan, dan rasa nyeri di
epigastrium.
Terdapat edema paru dan sianosis
Hemolisis mikroangiopatik
Trombositopeni (< 100.000 sel/mm3 atau penurunan trombosit dengan cepat)
Gangguan fungsi hati.
Pertumbuhan janin terhambat.
Sindrom HELLP.
DIAGNOSIS
Gejala subjektif
Pada preeklampsia didapatkan sakit kepala di daerah frontal, skotoma,
diplopia, penglihatan kabur, nyeri di daerah epigastrium, mual atau muntah-
muntah. Gejala-gejala ini sering ditemukan pada preeklampsia yang meningkat dan
merupakan petunjuk bahwa eklampsia akan timbul (impending eklampsia).
22
Tekanan darah pun akan meningkat lebih tinggi, edema dan proteinuria bertambah
meningkat (Prawirohardjo, 2016).
Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik didapatkan peningkatan tekanan sistolik 30mmHg
dan diastolik 15 mmHg atau tekanan darah meningkat ≥ 140/90mmHg pada
preeklampsia ringan dan≥ 160/110 mmHg pada preeklampsia berat. Selain itu kita
juga akan menemukan takikardia, takipneu, edema paru, perubahan kesadaran,
hipertensi ensefalopati, hiperefleksia,sampai tanda-tanda pendarahan otak
(Prawirohardjo, 2016).
Penemuan Laboratorium
Penemuan yang paling penting pada pemeriksaan laboratorium penderita
preeklampsia yaitu ditemukannya protein pada urine. Pada penderita preeklampsia
ringan kadarnya secara kuantitatif yaitu ≥ 300 mg perliter dalam 24 jam atau secara
kualitatif +1 sampai +2 pada urine kateter atau midstream. Sementara pada
preeklampsia berat kadanya mencapai ≥ 500 mg perliter dalam 24 jam atau secara
kualitatif ≥ +3 (Prawirohardjo, 2016).
Pada pemeriksaan darah, hemoglobin dan hematokrit akan meningkat akibat
hemokonsentrasi. Trombositopenia juga biasanya terjadi. Penurunan produksi
benang fibrin dan faktor koagulasi bisa terdeksi. Asam urat biasanya meningkat
diatas 6 mg/dl. Kreatinin serum biasanya normal tetapi bisa meningkat pada
preeklampsia berat. Alkalin fosfatase meningkat hingga 2-3 kali lipat. Laktat
dehidrogenase bisa sedikit meningkat dikarenakan hemolisis. Glukosa darah dan
elektrolit pada pasien preeklampsia biasanya dalam batas normal.
PENATALAKSANAAN
Tujuan utama penanganan preeklampsia adalah mencegah terjadinya
preeklampsia berat atau eklampsia, melahirkan janin hidup dan melahirkan janin
dengan trauma sekecil-kecilnya, mencegah perdarahan intrakranial serta mencegah
gangguan fungsi organ vital.
23
Secara garis besar, tatalaksana untuk preeklampsia dibagi menjadi
manajemen aktif dan manajemen ekspektatif. Manajemen ekspektatif adalah
manajemen dengan tetap mempertahankan janin di dalam kandungan. Manajemen
ini dilakukan apabila usia kehamilan dibawah 34 minggu untuk preeklampsia
dengan gejala berat dan dibawah 37 minggu untuk preeklampsia tanpa gejala berat.
Selain itu kondisi janin harus stabil, tidak ada tanda-tanda inpartu, dan tidak ada
perdarahan antepartum. Manajemen aktif dilakukan apabila kriteria untuk
dilakukannya manajemen ekspektatif tidak terpenuhi.
1. Manajemen Ekspektatif
Tujuan utama dari manajemen ekspektatif adalah untuk memperbaiki luaran
perinatal dengan mengurangi morbiditas neonatas serta memperpanjang usia
kehamilan tanpa membahayakan ibu.
Manajemen ekspektatif tidak meningkatkan kejadian morbiditas maternal
seperti gagal ginjal, sindrom HELLP, angka seksio sesar, atau solusio plasenta.
Sebaliknya dapat memperpanjang usia kehamilan, serta mengurangi morbiditas
perinatal seperti penyakit membran hialin, necrotizing enterocolitis, kebutuhan
perawatan intensif dan ventilator serta lama perawatan. Berat lahir bayi rata-rata
lebih besar pada manajemen ekspektatif, namun insiden pertumbuhan janin
terhambat juga lebih banyak (POGI, 2016).
Pada preeklampsia tanpa gejala berat, manajemen ekspektatif dapat
dilakukan sampai usia kehamilan 37 minggu dengan kondisi ibu dan janin baik.
Apabila hal ini tidak memungkinkan maka dilakukan terminasi kehamilan.
24
Gambar 1. Alur Manajemen Ekspektatif pada Preeklampsia Tanpa Gejala
Berat
Sumber: POGI, 2016
Evaluasi maternal dan janin perlu dilakukan dengan ketat, yakni dengan:
Evaluasi gejala maternal dan gerakan janin setiap hari oleh pasien
Evaluasi tekanan darah 2 kali dalam seminggu secara poliklinis
Evaluasi jumlah trombosit dan fungsi liver setiap minggu
Evaluasi USG dan kesejahteraan janin secara berkala (dianjurkan 2 kali
dalam seminggu)
Jika didapatkan tanda pertumbuhan janin terhambat, evaluasi menggunakan
doppler velocimetry terhadap arteri umbilikal (ACOG, 2013; Canadian
Hypertensive Disorder of Pregnancy Working Group, 2014).
25
Selama pemantauan, apabila didapatkan kondisi ibu dan janin tidak baik,
maka segera dilakukan terminasi kehamilan (Tabel 1).
26
Gambar 2. Alur Manajemen Ekspektatif pada Preeklampsia dengan Gejala Berat
Sumber: POGI, 2016
27
akibat asfiksia, dapat menyebabkan masuknya kalsium ke dalam neuron, yang
mengakibatkan kerusakan sel dan dapat terjadi kejang (Duley, 2005).
Guideline RCOG merekomendasikan dosis loading magnesium sulfat 4 g
selama 5–10 menit, dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 1-2 g/jam selama 24
jam post partum atau setelah kejang terakhir, kecuali terdapat alasan tertentu untuk
melanjutkan pemberian magnesium sulfat. Pemantauan produksi urin (harus >100
cc), refleks patella, frekuensi napas dan saturasi oksigen penting dilakukan saat
memberikan magnesium sulfat. Selain itu juga harus tersedia antidotumnya yakni
kalsium glukonas 10% dalam 10 cc yang diberikan IV selama 3 menit. Pemberian
ulang 2 g bolus dapat dilakukan apabila terjadi kejang berulang.
28
Selain nifedipin, alternatif lain yang dapat diberikan adalah metildopa.
Metildopa adalah agonis reseptor alfa yang bekerja di sistem saraf pusat, adalah
obat antihipertensi yang paling sering digunakan untuk wanita hamil dengan
hipertensi kronis. Walaupun metildopa bekerja terutama pada sistem saraf pusat,
namun juga memiliki sedikit efek perifer yang akan menurunkan tonus simpatis dan
tekanan darah arteri. Frekuensi nadi, cardiac output, dan aliran darah ginjal relatif
tidak terpengaruh. Efek samping pada ibu antara lain letargi, mulut kering,
mengantuk, depresi, hipertensi postural, anemia hemolitik dan drug-induced
hepatitis". Metildopa biasanya dimulai pada dosis 250-500 mg per oral 2 atau 3 kali
sehari, dengan dosis maksimum 3 g per hari. Efek obat maksimal dicapai 4-6 jam
setelah obat masuk dan menetap selama 10-12 jam sebelum diekskresikan lewat
ginjal. Alternatif lain penggunaan metildopa adalah intra vena 250-500 mg tiap 6
jam sampai maksimum 1 g tiap 6 jam untuk krisis hipertensi.
4. Kortikosteroid
Pada preeklampsia berat dapat terjadi edema paru akibat kardiogenik (payah
jantung ventrikel kiri akibat peningkatan afterload) atau non kardiogenik (akibat
kerusakan sel endotel pembuluh darah paru). Prognosis preeclampsia berat menjadi
buruk bila edema paru disertai oligouria.
Pemberian glukokortikoid untuk pematangan paru janin tidak merugikan
ibu. Diberikan pada kehamilan 32-34 minggu, 2 x 24 jam.
PENCEGAHAN
Pemeriksaan antenatal yang teratur dan teliti dapat menemukan tanda-tanda
dini preeklampsia, dalam hal ini harus dilakukan penanganan preeklampsia
tersebut. Walaupun preeklampsia tidak dapat dicegah seutuhnya, namun frekuensi
preeklampsia dapat dikurangi dengan pemberian pengetahuan dan pengawasan
yang baik pada ibu hamil.
Pencegahan primer dilakukan dengan mencegah adanya faktor resiko pada
ibu yang dinilai pada saat dilakukannya ANC. Faktor resiko tersebut antara lain:
Umur > 40 tahun
Nulipara
29
Multipara dengan riwayat preeklampsia sebelumnya
Multipara dengan kehamilan oleh pasangan baru
Multipara yang jarak kehamilan sebelumnya 10 tahun atau lebih
Riwayat preeklampsia pada ibu atau saudara perempuan
Kehamilan multipel
IDDM (Insulin Dependent Diabetes Melitus)
Hipertensi kronik
Penyakit Ginjal
Sindrom antifosfolipid (APS)
Kehamilan dengan inseminasi donor sperma, oosit atau embrio
Obesitas sebelum hamil
Pemeriksaan fisik:
Indeks masa tubuh > 35
Tekanan darah diastolik > 80 mmHg
Proteinuria (Risiko Tinggi
Riwayat preeklampsia
Kehamilan multipel
Hipertensi kronis
Diabetes Mellitus tipe 1 atau 2
Penyakit ginjal
Penyakit autoimun (contoh: systemic lupus erythematous, antiphospholipid
syndrome)
30
ditemukan memberikan efek baik dalam pencegahan primer dan sekunder terhadap
preeklampsia. Penggunaan aspirin dosis rendah untuk pencegahan primer
berhubungan dengan penurunan risiko preeklampsia, persalinan preterm, kematian
janin atau neonatus dan bayi kecil masa kehamilan, sedangkan untuk pencegahan
sekunder berhubungan dengan penurunan risiko preeklampsia, persalinan preterm
< 37 minggu dan berat badan lahir < 2500 g. Pemberian aspirin ini disarankan untuk
dilakukan sebelum usia 20 minggu dengan dosis rendah (75 mg/hari). Aspirin
ditambah dengan suplementasi kalsium minimal 1 gram/hari direkomendasikan
sebagai pencegahan preeklampsia pada wanita dengan resiko tinggi. Sementara itu
pemberian suplementasi lain seperti antioksidan yang mengacu pada teori oksidan
pada patofisiologi preeklampsia ditemukan tidak memberikan efek berarti.
31
BAB V
ANALISIS KASUS
32
Faktor risiko yang memungkinkan terjadinya PEB pada kasus yaitu adanya
riwayat preeklampsia pada kehamilan sebelumnya. Pencegahan sebelumnya yang
dapat dilakukan adalah dengan pemberian aspirin dosis rendah (75 mg/hari)
sebelum usia kehamilan 20 minggu, tetapi pada pasien ini tidak dilakukan.
Sesuai dengan protokol, maka pasien diberi obat-obatan medikamentosa
berupa obat antikejang (MgSO4) dan obat antihipertensi (Nifedipine). Selain itu
pengelolaan pasien PEB, selain mencegah terjadinya kejang dan pengobaan
hipertensi, juga mencakup pengelolaan cairan karena penderita memiliki resiko
tinggi terjadinya edema paru dan oliguria. Oleh karena itu, monitoring input cairan
dan output cairan sangat penting dan harus dilakukan. Pada pasien dilakukan
management ekspektatif karena usia kehamilan kurang dari 37 minggu dan kondisi
ibu dan janin stabil.
33
DAFTAR PUSTAKA
34
Sitti ND. Gambaran Epidemiologi Kejadian Preeklampsia/Eklampsia di RSU PKU
Muhammadiyah Yogyakarta Tahun 2007–2009. Buletin Penelitian Sistem
Kesehatan, 13(4):378–385; 2010.
35