Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN KASUS

“P2A0 partus maturus dengan SC a/i BSC 1x + anemia”

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mengikuti Ujian Akhir Kepaniteraan Klinik
Madya SMF Obstetri dan Ginekologi RSUD Jayapura

Oleh :
Anggun Anugrah Layuk
0130840014

Pembimbing :
dr. Fitri Ria Dini, Sp.OG (K)

SMF OBSTETRI DAN GINEKOLOGI


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH JAYAPURA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS CENDERAWASIH
JAYAPURA
2019
LEMBAR PENGESAHAN

Telah diterima, disetujui dan dipresentasikan di hadapan penguji, Laporan Kasus dengan
judul “P2A0 partus maturus dengan SC a/i BSC 1x + anemia”

Sebagai salah satu syarat untuk mengikuti ujian akhir Kepaniteraan Klinik Madya di SMF
Obstetri dan Ginekologi Rumah Sakit Umum Daerah Jayapura.

Yang dilaksanakan pada:

Hari :

Tanggal :

Tempat :

Menyetujui Dokter

Penguji/Pembimbing

dr. Fitri Ria Dini, Sp.OG (K)


LEMBAR PENILAIAN PRESENTASI LAPORAN KASUS
Nama : Anggun Anugrah Layuk Moderator :
Nim : 0130840014
Semester : Co-Ass Penilai : dr. Fitri Ria Dini, Sp. OG (K)
Presentasi ke :

Hari/Tgl Presentasi :

Tanda tangan

JUDUL :
“P2A0 partus maturus dengan SC a/i BSC 1x + anemia”

No Variable Yang Dinilai Nilai dalam SKS

1 Ketepatan penentuan masalah dan judul, data kepustakaan,


diskusi.
2 Kelengkapan data:
 Kunjungan Rumah
 Kepustakaan
3 Analisa data:
 Logika kejadian
 Hubungan kejadian dengan teori
4 Penyampaian data:
 Cara penulisan
 Cara berbicara dan audiovisual
5 Cara diskusi:
Aktif/mampu menjawab pertanyaan secara logis
6 Kesimpulan dan saran (harus berkaitan dengan diskusi)

7 Daftar Pustaka

8 Total Angka

9 Rata-rata

Catatan untuk perbaikan dilihat dari segi :


 Pengetahuan :
 Keterampilan :
 Sikap :
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Beberapa masalah dalam ilmu kedokteran modern telah sama kontroversialnya
dengan penatalaksanaan wanita yang pernah memiliki riwayat pelahiran caesar. Selama
banyak dekade, uterus dengan parut diyakini sebagian besar ahli dikontraindikasikan
untuk melahirkan karena khawatir akan ruptur uterus. Pada tahun 1916, Cragin membuat
sebuah pernyataan yang sering disebut-sebut, terkenal dan saat ini tampak berlebihan,
yaitu, “Sekali caesar, selalu caesar.” Mengingat hal tersebut bahwa ketika pernyataan ini
dibuat, hampir semuanya menggunakan insisi uterus vertikal klasik. Bahkan, beberapa
rekan pada masa itu tidak sepenuhnya setuju dengan pernyataan beliau.
Sejak tahun 1989 dengan meningkatnya jumlah wanita yang mencoba pelahiran
pervagina, makin banyak laporan mengenai peningkatan angka ruptur uteri serta
morbiditas dan mortalitas perinatal menyebabkan beberapa ahli berpikir bahwa VBAC
mungkin lebih berisiko daripada yang diperkirakan (Flamm, 1997; Leveno, 1999; Scott,
1991). Pada tahun 1998 dan 1999 American College of Obstetricians and Gynecologist
mengeluarkan Practice Bulletins terkini yang mendukung VBAC, tetapi juga
menganjurkan pendekatan yang hati-hati. Selanjutnya, lebih sedikit wanita yang
menjalani VBAC, dan terdapat peningkatan yang bersamaan dalam angka pelahiran
caesar keseluruhan.
Argumen potensial lain yang mendukung VBAC adalah bahwa percobaan persalinan
mengakibatkan penurunan risiko pada ibu dibandingkan dengan pelahiran caesar
berulang. Sebagian besar penelitian menunjukkan bahwa angka mortalitas maternal tidak
berbeda secara bermakna antara wanita yang menjalani percobaan persalinan
dibandingkan dengan wanita yang menjalani caesar berulang efektif. Secara spesifik,
angka kematian maternal untuk wanita yang menjalani pelahiran caesar berulang elektif
adalah 5,6 per 100.000 dibandingkan dengan 1,6 per 100.000 untuk yang menjalani
percobaan persalinan.
Asfiksia neonatorum dimana kegagalan nafas secara spontan dan teratur
pada saat lahir atau beberapa saat setelah lahir yang dtandai dengan
hipoksemia, hiperkarbia dan asidosis
Asfiksia termasuk dalam bayi baru lahir dengan risiko tinggi karena
memiliki kemungkinan lebih besar mengalami kematian bayi atau menjadi
sakit berat dalam masa neonatal. Oleh karena itu asfiksia memerlukan
intervensi dan tindakan yang tepat untuk meminimalkan terjadinya kematian
bayi, yaitu dengan pelaksanaan manajemen asfiksia neonatorum pada bayi
baru lahir.
Faktor risiko penyebab asfiksia dapat dibagi menjadi faktor risiko ibu, faktor risiko
intrapartum, dan faktor risiko janin.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apakah tindakan SC pada kasus ini sudah tepat?
2. Apa faktor risiko asfiksia berat pada kasus ini?
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 IDENTITAS PENDERITA


Nama Inisial : Ny. S.A
Umur : 23 tahun
Tanggal Lahir : 25 Juni 1996
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Dok IX
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : IRT
Suku Bangsa : PAPUA
Agama : Kristen Protestan
Status Perkawinan : Menikah SAH
No. DM : 432610
Tanggal MRS / Jam : 20 Desember 2019 / 12.00 WIT

2.2 ANAMNESIS (Autoanamnesa)


2.2.1 Keluhan Utama
Mules-mules yang dirasakan semakin sering dan bertambah kuat

2.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien G2P1A0 merasa hamil 9 bulan datang keluhan mules-mules yang
dirasakan semakin sering dan bertambah kuat ± 6 jam SMRS. Keluar lendir
bercampur darah dari jalan lahir (+), keluar air-air dari jalan lahir (-), gerak janin
dirasakan aktif (+). Keputihan (-), bau (-), gatal (-)
Hari Pertama Haid Terakhir: 11-03-2019
Tafsiran Persalinan: 18-12-2019
Usia Kehamilan: 40 minggu 2 hari

2.2.3 Riwayat Kesehatan Dahulu


 Hipertensi (disangkal)
 Diabetes Melitus (disangkal)
 Penyakit Jantung (disangkal)
 Asma (disangkal)
 Alergi (disangkal)

2.2.4 Riwayat Kesehatan Keluarga


 Riwayat Hipertensi (disangkal)
 Diabetes Melitus (disangkal)
 Penyakit Jantung (disangkal)
 Asma (disangkal)
 Alergi (disangkal)

2.2.5 Riwayat Menstruasi


 Menarche : 13 tahun
 Siklus haid : teratur tiap bulan 28 hari
 Lama haid : 7 hari
 Nyeri haid : (disangkal)

2.2.6 Riwayat Sosial Ekonomi


- Tinggal di daerah pinggir kota
- Mengkonsumsi obat-obatan jangka panjang (-)
- Konsumsi Alkohol (-), Merokok (-)

2.2.7 Riwayat Kontrol Kehamilan


 ANC 2x di PKM (UK: 12 minggu), 2x di Sp.OG (UK:12 minggu)
 TT (1x)

2.2.8 Riwayat Pernikahan


Menikah Sah dengan suami ± 2 tahun yang lalu

2.2.9 Riwayat Obstetri


G2P1A0
I. RS/dokter/SC/laki-laki/gr?/1tahun/hidup
II. Hamil ini

2.2.10 Riwayat Pribadi


Suami : 32 tahun/S1/Swasta
Istri : 22 tahun/SMA/IRT

2.2.11 Riwayat KB
Tidak ada

2.2.12 CTG dan USG


CTG: Tidak dilakukan
USG : Tidak dibawa pasien

2.3 PEMERIKSAAN FISIK


2.3.1 Status Umum
Status Generalis
KESADARAN GCS KEADAAN UMUM
Compos E4V5M6 tampak sakit sedang
Mentis

TINGGI BADAN BERAT BADAN


(cm) (kg)
155 60

Tanda Vital
Tekanan Denyut Laju Suhu Saturasi
Darah Nadi Nafas Tubuh Oksigen
(mmHg) (kali/menit) (kali/menit) (°C) (%)
120/80 98 21 36.7 98

Pemeriksaan Fisik
Kepala – Leher
Mata konjungtiva anemis (-/-)
sklera ikterik (-/-)

Hidung deformitas (-)


sekret (-)

Telinga deformitas (-)


sekret (-)

Mulut caries (-)


oral candidiasis (-)

Leher pembesaran KGB (-)


JVP normal.
Thorax simetris ikut gerak napas
SN vesicular
Rho -/-
Whe -/-
Jantung SI – SII regular
murmur (-)
gallop (-)
Abdomen Cembung
bising usus (+) Normal
nyeri tekan (-)

Ekstremitas akral sedikit dingin


edema (-/-)
ulkus (-/-)

2.4 STATUS OBSTETRI


Pemeriksaan Luar :
- TFU : 32 cm
- LA : memanjang, letak kepala, punggung kanan, penurunan kepala 5/5
- DJJ : 127 dpm
- HIS : 2x/10’/25”
- TBJ : 2945 gr

Pemeriksaan Dalam :
- v/v : tidak ada kelainan
- portio : tebal, kaku, arah posterior
- pembukaan : 1 cm
- Ketuban : (+)
- Presentasi : -

2.5 PEMERIKSAAN PENUNJANG

LABORATORIUM
Parameter Hasil Nilai Rujukan Satuan
Hemoglobin 9,5 11.0 – 14.7 g/dL
Hematokrit 29,4 35.2 – 46.7 %
Leukosit 8,30 3.37 – 8.38 x 103 Unit/ Liter
Trombosit 161 140 – 400 x 10 3
Unit/Liter
Eritrosit 4,06 3.69 – 5.46 x 10 6
Unit/Liter
PT 10,2 10,2 – 12,1 Detik
APTT 25,1 24,8 – 34,4 Detik
GDS 107 < 140 mg/dL
HbSAg Non Reaktif

2.6 DIAGNOSA KERJA


G2P1A0 Parturien Aterm Kala I Fase Laten + BSC 1x + anemia

2.7 RENCANA TINDAKAN


Lapor dr Sp. OG, Advice:
• Pro sectio ceasarean a/i BSC 1x
• IVFD Ringer Laktat 20 tpm iv
• Pasang kateter
• Konsul anestesi
• SIO
• Hubungi perinatologi
• Inj. Ceftriaxone 2 gr IV preop (skin test)
• Sedia darah 2 bag (+)

2.8 LAPORAN OPERASI


 Pasien tidur terlentang di atas meja operasi dalam anestesi spinal.
 Dilakukan asepsis dan antisepsis daerah operasi dan sekitarnya.
 Dilakukan insisi pfannenstiel. Abdomen ditembus secara tajam dan tumpul.
 Setelah peritoneum dibuka tampak dinding anterior uterus,
 Plika vesika urinaria diidentikasi, dipotong melintang sehingga kandung kemih
disisihkan dan ditahan dengan rektraktor abdomen.
 SBR disayat konkaf, bagian tengahnya ditembus, lalu diperlebar ke lateral.
 Dengan meluksir kepala bayi, pukul 14.54 WIT lahir bayi laki-laki, BB: 3000
gram, PB: 48 cm, APGAR Score menit pertama 2 dan menit kelima 5 dan
menit kesepuluh 8
 Klem tali pusat, potong tali pusat.
 Inj. Oxytocin 10 IU intramural, kontraksi baik.
 Dengan tarikan ringan pada tali pusat, plasenta dilahirkan lengkap pukul
14.56 WIT.
 Dilakukan eksplorasi kavum uteri dengan kassa dan betadin
 Dilakukan penjahitan 1 lapis di SBR dengan vicryl 1-0 simple pada sisi dextra
kemudian dilanjutkan dengan teknik simple continue.
 Dilakukan penjahitan dinding abdomen lapis demi lapis.
 Dilakukan penjahitan peritoneum dengan vicryl 2-0
 Dilakukan penjahitan otot dengan vicryl 1.0 dengan teknik simple continue.
 Dilakukan penjahitan fascia dengan vicryl 1.0 dengan teknik simple continue.
 Dilakukan penjahitan subkutis dengan vicryl 2.0 dengan teknik simple continue.
 Dilakukan penjahitan kulit dengan vicryl 2.0 dengan teknik subcuticular.
 Perdarahan durante operasi ± 300 cc.
 Luka jahitan ditutup.
 Operasi selesai.
2.9 DIAGNOSA PASCA OPERASI
P2A0 partus maturus dengan SC ai/ BSC 1x + anemia

2.10 TERAPI POST OPERASI


- IVFD RL 500 ml 20 tpm
- Ceftriaxone 1 gr / 12 jam
- Paracetamol drip 500 mg / 8 jam
- Metronidazole 500 mg / 8 jam
- Tramadol amp / 8 jam
- Vit C amp / 8 jam
- Neurosanbe amp / 8 jam
- Transfusi PRC II kolf
- Tirah baring 24 jam post op
- Puasa 6 jam post op
- Observasi perdarahan, KU dan TTV

2.11 FOLLOW UP POST SC ai/ BSC 1x

Tanggal 20 Desember 2019 Jam 17.00 WIT

S: pasien baru pindahan dari OK dengan post SC ai/


BSC 1x.

O: KU: baik, Kes: CM, puasa (+), pasien masih


pengaruh anastesi (+), TD: 110/80 mmHg, N: 64
x/menit, R: 22 x/menit, SB: 36.5oC, SpO2: 98%

A: P2A0 partus maturus dengan SC a/i BSC 1x

P: - Obs KU dan TTV


- Tx inj lanjut
- R/ cek DL post op (+)
Tanggal 21 Desember 2019 Jam 10.00 WIT

S: pasien tidak ada keluhan

O: KU: baik, Kes: CM, TD: 110/70 mmHg, N: 70


x/menit, R: 22 x/menit, SB: 36.6oC, SpO2: 98%

A: P2A0 partus maturus dengan SC a/i BSC 1x

P: - Terapi dilanjutkan
- Lepas kateter
- Lepas infus
- Mobilisasi

Tanggal 22 Desember 2019 Jam 11.00 WIT

S: pasien tidak ada keluhan

O: KU: baik, Kes: CM, TD: 110/80 mmHg, N: 75


x/menit, R: 20 x/menit, SB: 36.3oC, SpO2: 99%

A: P2A0 partus maturus dengan SC a/i BSC 1x

P:
- Ganti verban besok, bila baik boleh pulang
- Cefadroxyl 2x500 mg
- Asam Mefenamat 3x500 mg
- SF 1x1 tab
Tanggal 23 Desember 2019 Jam 11.05 WIT

S: pasien tidak ada keluhan

O: KU: baik, Kes: CM, TD: 110/70 mmHg, N: 72


x/menit, R: 20 x/menit, SB: 36.5oC, SpO2: 99%
A: P2A0 partus maturus dengan SC a/i BSC 1x

P: - Ganti verban
- Boleh pulang
- Konsul poli
BAB III
PEMBAHASAN

2.1 Apakah tindakan SC pada kasus ini sudah tepat?

Sectio sesarea adalah kelahiran bayi melalui insisi pada dinding abdomen
(laparatomi) dan dinding uterus (histerotomi).
Persalinan secara seksio sesarea sebenarnya diindikasikan untuk menghindari
kematian ibu dan bayi terutama bila terdapat kontraindikasi selama persalinan atau
bila persalinan pervaginam menghadapi hambatan atau beresiko. Dari penelitian yang
dilakukan didapatkan indikasi yang paling sering menyebabkan seksio adalah seksio
sebelumnya dan distosia pada pasien tersebut, selain itu fetal distress juga merupakan
penyebab hanya dalam proporsi yang lebih kecil. Di sini kita mengenal indikasi ibu
dan indikasi janin.
Pada bekas SC tidak harus selalu diikuti dengan tindakan SC pada persalinan
berikutnya. Suatu persalinan ditetapkan sebagai persalinan pervaginam pasca seksio
sesarea apabila cara persalinan dinyatakan sebagai persalinan pervaginam pasca
seksio sesarea atau sebagai persalinan pervaginam seksio sesarea dengan bantuan alat
(misalnya persalinan yang dibantu dengan forsep atau vakum).
Dalam “ACOG VBAC Guidelines”, dinyatakan bahwa apabila tidak terdapat
kontraindikasi pada wanita dengan riwayat persalinan seksio sesarea dengan insisi
segmen bawah rahim, maka wanita tersebut adalah kandidat untuk persalinan
pervaginam pasca seksio sesarea dan harus diberi penyuluhan dan dianjurkan untuk
menjalani persalinan percobaan.
Insisi pada segmen bawah rahim diterapkan pada lebih dari 90% kasus. Tipe insisi
ini banyak dipilih karena tidak membahayakan segemen bagian atas uterus dan
memberikan kemungkinan pilihan persalinan percobaan pada kehamilan berikutnya.
Apabila insisi diperlebar ke lateral, maka laserasi dapat terjadi pada salah satu atau
kedua arteri uterina. Pada umumnya insisi transversal pada segmen bawah rahim: (1)
menyebabkan lebih sedikit perdarahan, (2) lebih mudah diperbaiki, (3) lokasinya pada
tempat dengan kemungkinan ruptur paling kecil pada kehamilan selanjutnya, dan (4)
tidak menyebabkan perlengketan ke usus atau omentum pada garis insisi. Daerah
segmen bawah rahim memiliki vaskularisasi lebih sedikit dan pada saat persalinan
mengalami peregangan secara perlahan-lahan, sehingga memiliki kecenderungan
yang lebih kecil untuk terjadinya ruptur.
Insisi vertikal dilakukan bila segmen bawah rahim tidak terbentuk dengan
baik atau apabila janin dalam posisi backdawn transverse. Insisi vertikal
merupakan pilihan yang bijaksana kecuali bila segmen bawah rahim telah
terbentuk dengan baik. Insisi klasik adalah insisi yang melibatkan segmen
uterus bagian atas. Kekurangannya adalah bahwa insisi klasik memiliki
kecenderungan terjadinya perlengketan yang lebih besar dan memiliki resiko ruptur
yang lebih besar pada kehamilan selanjutnya. Dalam kehamilan berikutnya, ruptur
lebih sering terjadi pada insisi vertikal yang melebar ke miometrium bagian atas
daripada segmen bawah rahim, khususnya pada saat persalinan. Insisi vertikal atau
insisi klasik memiliki jaringan parut yang lebih tebal dan terletak pad asegmen atas
uterus yang lebih kontraktil.
Vermont /New Hampshire VBAC Guidelines membagi pasien-pasien kandidat
TOLAC menjadi tiga kelompok berdasarkan resiko:
1. Kelompok resiko rendah, yaitu pasien-pasien dengan:
a. satu kali persalinan SCTPP
b. saat mulainya persalinan berlangsung spontan
c. tidak memerlukan augmentasi persalinan
d. tidak terdapat kelainan pola denyut jantung anak yang berulang
e. riwayat persalinan pervaginam pasca seksio sesarea
2. Kelompok resiko sedang, yaitu pasien-pasien dengan :
a. induksi persalinan secara mekanik atau dengan oksitosin
b. augmentasi persalinan dengan oksitosin
c. ≥ 2 kali persalinan SCTPP
d. Jarak antara SC sebelum kehamilan ini dengan waktu persalinan
saat ini < 18 bulan.
Kelompok resiko tinggi, yaitu pasien-pasien dengan :
a. Kelainan pola DJA yang meragukan dan berulang yang tidak
responsif terhadap intervensi pengobatan
b. Perdarahan yang menunjukkan tanda-tanda terjadinya solusio
plasenta
c. Dua jam tanpa perubahan serviks dalam fase aktif walaupun his
adekuat.
Komplikasi yang dapat terjadi pada riwayat pelahiran caesar adalah ruptur uteri,
yaitu robeknya dinding uterus pada saat kehamilan atau dalam persalinan dengan atau
tanpa robeknya peritoneum viserale.

Pada kasus pasien memiliki resiko sedang untuk melahirkan pervaginam yaitu
jarak antara SC sebelum kehamilan ini dengan waktu persalinan saat ini < 18 bulan,
nilai VBAC score menurut Flamm and Geiger adalah 3 (angka keberhasilan (59-
60%), dapat terjadi komplikasi ruptur uteri akibat bekas sectio sesarea, sehingga
tindakan SC merupakan tindakan yang tepat pada kasus ini.

2.2 Apa faktor risiko asfiksia berat pada kasus ini?


Asfiksia neonatorum adalah keadaan bayi baru lahir yang gagal bernafas
secara spontan dan teratur segera setelah lahir. Menurut American College of
Obstetricans and Gynecologists (ACOG) dan American Academy of Pediatrics
(AAP), seorang
neonatus disebut mengalami asfiksia bila memenuhi kondisi sebagai berikut.
a. Nilai Apgar menit kelima 0-3.
b. Adanya asidosis pada pemeriksaan darah tali pusat (pH<7.0).
c. Gangguan neurologis (misalnya: kejang, hipotonia atau koma).
d. Adanya gangguan sistem multiorgan (misalnya: gangguan kardiovaskular,
gastrointestinal, hematologi, pulmoner, atau sistem renal).
e. Asfiksia dapat bermanifestasi sebagai disfungsi multi organ, kejang dan
ensefalopati hipoksik-iskemik, serta asidemia metabolik. Bayi yang mengalami
episode hipoksia-iskemi yang signifikan saat lahir memiliki risiko disfungsi dari
berbagai organ, dengan disfungsi otak sebagai pertimbangan utama (Health
Technology Assessment Indonesia Depkes RI, 2008).
Beberapa faktor risiko yang berperan dalam menimbulkan asfiksia neonatorum
diuraikan sebagai berikut.
1. Faktor Risiko Ibu
a. Primigravida dan primiparitas
Gravida dan paritas turut menjadi faktor risiko terjadinya asfiksia neonatorum
karena persalinan yang lama biasanya terjadi pada wanita yang baru menjalani
kehamilan dan persalinan anak pertama.
b. Penyakit pada ibu
Penyakit pada ibu seperti Pregnancy Induced Hypertension/PIH yang apabila
telah timbul gejala kejang dan disusul dengan koma akan menyebabkan gangguan
aliran darah ke uterus sehingga berakibat terjadinya asfiksia berat. Anemia juga dapat
menyebabkan kurangnya pasokan oksigen akibat gangguan aliran darah ke uterus
sehingga dapat menyebabkan anemia.
2. Faktor Risiko Intrapartum
a. Kelainan tali pusat
Adanya lilitan pusat pada bayi dapat menyebabkan asfiksia, dimana saat mulai
timbul kontraksi dan kepala janin mulai turun, maka lilitan tali pusat menjadi semakin
erat akibat terkompresi sehingga dapat mengakibatkan hipoksia.
b. Partus lama
Kala II lama akan menyebabkan kompresi tali pusat dan kontraksi uterus yang
berlangsung lama sehingga transportasi oksigen ke janin berkurang
c. Mekoneum dalam ketuban
Kondisi hipoksia pada janin akan menyebabkan reaksi pengurangan aliran
darah ke beberapa organ untuk mempertahankan aliran darah ke otak dan jantung.
Vasokontriksi pembuluh darah usus yang diikuti relaksasi sfingter ani akan
mengakibatkan pengeluaran mekonium dalam air ketuban sehingga bercampurnya air
ketuban dalam mekonium merupakan kondisi yang dapat menunjukkan terjadinya
gawat janin dan apabila teraspirasi oleh janin akan menyebabkan asfiksia.
d. Induksi Oksitosin
Induksi oksitosin adalah pemberian oksitosin pada ibu yang bertujuan untuk
merangsang atau menginduksi terjadinya persalinan. Induksi oksitosin ini dapat
menyebabkan meningkatnya risiko kelahiran dengan seksio sesaria.
e. Plasenta Previa
Plasenta previa adalah plasenta yang letaknya abnormal, yaitu pada segmen
bawah uterus sehingga dapat menutupi sebagian ataupun seluruh pembukaan jalan
lahir.
f. Seksio sesarea
Seksio sesarea adalah operasi untuk melahirkan atau mengeluarkan bayi dari
rahim ibu dengan cara membuat sayatan pada perut dan rahim ibu. Hal ini dapat
mengakibatkan asfiksia neonatorum karena tidak adanya kompresi bayi seperti pada
persalinan normal
3. Faktor Risiko Janin
a. Prematuritas
Preterm adalah kelahiran yang terjadi sebelum usia kehamilan mencapai 37
minggu. Prematuritas memiliki risiko yang lebih besar terhadap kematian akibat
asfiksia neomatorum. Bayi prematur mempunyai organ tubuh yang belum berfungsi
dengan baik termasuk pada organ paru-paru sehingga mengalami kesulitan untuk
beradaptasi dengan lingkungan yang baru.
b. BBLR
Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) adalah neonatus dengan berat badan lahir
pada saat kelahiran kurang dari 2.500 gram (1500 gram sampai dengan 2.499 gram)
tanpa memandang masa kehamilan. Pada bayi BBLR biasanya disertai dengan
prematuritas maupun dismaturitas termasuk organ-organ seperti sistem respirasi. Bayi
BBLR sering mengalami defisiensi surfaktan akibat paru yang belum sempurna
sehingga tegangan membran permukaan udara-air (darah) menjadi tinggi dan risiko
alveoli kolaps pada saat ekspirasi sangat besar yang menyebabkan alveoli akan
menguncup selama ekspirasi (atelektasis) dan paru kolaps yang pada akhirnya akan
menyebabkan asfiksia.
c. Keterlambatan pertumbuhan dalam rahim/IUGR
Janin tidak mendapat dukungan plasenta secara adekuat karena terjadi
insufisiensi uteroplasenta sehingga masukan nutrisi dan oksigenisasi menjadi sangat
terbatas. Pada saat persalinan terjadi pengurangan aliran oksigen ke plasenta sebagai
akibat kontraksi dinding uterus sehingga kekurangan oksigen yang terjadi akan
bertambah menjadi lebih berat.

Yang menjadi faktor risiko asfiksia pada kasus ini ialah faktor risiko ibu yaitu
anemia dalam kehamilan; faktor risiko intra partum yaitu kelainan tali pusat (adanya
lilitan tali pusat), mekoneum dalam ketuban, seksio sesarea.
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
1. Tatalaksana pada kasus ini sudah tepat, yaitu dilakukan tindakan SC karena pasien
memiliki resiko sedang untuk melahirkan pervaginam yaitu jarak antara SC sebelum
kehamilan ini dengan waktu persalinan saat ini < 18 bulan, nilai VBAC score menurut
Flamm and Geiger adalah 3 (angka keberhasilan (59-60%), dapat terjadi komplikasi
ruptur uteri akibat bekas sectio sesarea
2. Faktor risiko terjadinya asfiksia pada kasus ini ialah faktor risiko ibu yaitu anemia
dalam kehamilan; faktor risiko intra partum yaitu kelainan tali pusat (adanya lilitan
tali pusat), mekoneum dalam ketuban, seksio sesarea.
DAFTAR PUSTAKA

Prawirohardjo S. Persalinan Preterm in “ILMU KEBIDANAN”. 4th ed, P.T Bina


Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2008. Chap. 51: 667-76.

Cunningham FG et al : Preterm Labor in “ Williams Obstetrics” , 22nd ed, McGraw-


Hill, 2005

Vagina Birth After Previous Caesarean Delivery. ACOG Practice Bulletin. 5, 1999

Flamm BL, Geiger AM. Vaginal Birth After Caesarean Delivery. An Admission Scoring
System. Obstet Gynecol 1997; 90: 907-10

Anda mungkin juga menyukai