PREEKLAMPSIA BERAT
Oleh:
Penguji:
2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat-
Nya Tugas Laporan Kasus ini dengan judul “Preeklampsia Berat” dapat diselesaikan
tepat pada waktunya. Tinjauan pustaka ini disusun sebagai salah satu syarat dalam
mengikuti Kepaniteraan Klinik Madya (KKM) di Departemen/KSM Obstetrik dan
Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah. Penulis juga
ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kelancaran
penyusunan tinjauan pustaka ini, antara lain:
2. Dr. dr. I G.N. Harry Wijaya Surya, Sp.OG (K), selaku penanggung jawab
pendidikan profesi dokter Departemen/KSM Obstetri dan Ginekologi FK
UNUD/RSUP Sanglah
Penulis sadar bahwa tinjauan pustaka ini masih jauh dari sempurna sehingga
kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan dalam rangka
penyempurnaan tinjauan pustaka ini. Akhir kata, semoga tinjauan pustaka ini dapat
memberikan manfaat bagi kita semua.
Penulis
2
DAFTAR ISI
PREEKLAMPSIA BERAT 1
KATA PENGANTAR 2
DAFTAR ISI 3
BAB I PENDAHULUAN 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5
2. 1. Definisi 5
2. 2. Epidemiologi 6
2. 3. Etiologi dan Faktor Risiko 7
2. 4. Patofisiologi 9
2. 5. Manifestasi Klinis 12
2. 6. Diagnosis 13
2. 7. Penatalaksanaan 15
2. 8. Komplikasi 20
2. 9. Pencegahan 22
2. 10. Prognosis 23
BAB III LAPORAN KASUS 24
3. 1. Pemeriksaan Fisik 27
3. 2. Pemeriksaan Penunjang 28
3. 3. Diagnosis 35
3. 4. Penatalaksanaan 35
3. 5. Perjalanan Persalinan 35
BAB IV 45
PEMBAHASAN 45
BAB V 48
SIMPULAN 48
DAFTAR PUSTAKA 49
3
BAB I
PENDAHULUAN
Preeklampsia masih menjadi salah satu penyebab utama kematian ibu dan
perinatal. Preeklampsia merupakan penyakit yang ditandai dengan adanya hipertensi,
proteinuria dan edema. Preeklampsia menimbulkan dampak yang bervariasi pada ibu
hamil mulai dari ringan hingga berat, seperti gangguan ginjal pada ibu hamil,
menyebabkan hipoksia janin intrauterine, rendahnya berat badan bayi ketika lahir dan
melahirkan sebelum waktunya.
Menurut World Health Organization (WHO), secara global kematian ibu di dunia
adalah sebesar 289.000 pada tahun 2013. Di Indonesia preeklampsia merupakan
penyebab kematian ibu peringkat kedua dengan persentase sebesar 24%. Pada tahun
2012, kejadian preeklampsia di Indonesia menjadi 32,4%. Keluaran persalinan yang
sering ditemukan pada perinatal dari persalinan dengan preklampsia antara lain neonatal
yang lahir dengan asfiksia neonatorum (44%), BBLR (35,3%), kelainan premature (15-
67%), pertumbuhan janin terhambat/IUGR (10-25%) dan kematian perinatal (1-2%). 1
Preeklampsia berat adalah preeklampsia dengan tekanan sistolik ≥160 mmHg dan
tekanan darah diastolik ≥110 mmHg disertai proteinuria lebih dari 5 gram dalam 24 jam. 2
Pada preeklampsia tekanan darah yang tinggi menyebabkan berkurangnya aliran darah ke
plasenta. Hal ini menyebabkan berkurangnya suplai oksigen dan makanan bagi janin,
akibatnya perkembangan janin menjadi terhambat, terjadi hipoksia intrauterine dan dapat
menyebabkan lepasnya jaringan plasenta secara tiba-tiba dari uterus sebelum waktunya.3
Oleh karena itu antenatal care yang baik untuk mencari tanda-tanda preeklampsia
sangat penting dilakukan untuk mencegah preeklampsia berat dan eklampsia, selain itu
pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan sangat dianjurkan untuk penanganan
komplikasi obstetrik yang mungkin timbul pada ibu dan janin. Pelayanan antenatal care
yang kurang baik dapat menyebabkan masalah kesehatan pada masa kehamilan yang
tidak dapat ditangani. Deteksi dini adanya preeklampsia sangat diperlukan untuk dapat
mendiagnosis dan memberikan penanganan yang segera untuk mencegah terjadinya
mortalitas dan morbiditas yang tinggi pada ibu dan janin.4
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2. 1. Definisi
Hipertensi adalah tekanan darah sekurang-kurangnya 140 mmHg sistolik atau 90
mmHg diastolik pada dua kali pemeriksaan berjarak 4-6 jam pada wanita yang
sebelumnya normotensi. Derajat hipertensi berdasarkan tekanan darah diastolik pada saat
datang, dibagi menjadi:
3. Berat: tekanan darah diastolik lebih besar sama dengan 110 mmHg atau tekanan
darah sekurang-kurangnya 160 mmHg sistolik atau 110 mmHg diastolik.5
Ekskresi protein abnormal didefinisikan sebagai eksresi urin 24 jam melebihi 300
mg, rasio kreatinin 0,3 atau persisten 30 mg/dL (1+ dipstick) protein pada sampel urin
acak.
5
Kebanyakan kasus preeklampsia ditegakkan dengan adanya proteinuria, namun
jika protein urin tidak didapatkan, salah satu gejala dan gangguan lain dapat digunakan
untuk menegakkan diagnosis preeklampsia, yaitu:
4. Edema Paru
2. 2. Epidemiologi
Angka kejadian preeklampsia – eklampsia berkisar antara 2% dan 10% dari
kehamilan di seluruh dunia. Kejadian preeklampsia merupakan penanda awal dari
kejadian eklampsia, dan diperkirakan kejadian preeklampsia menjadi lebih tinggi di
negara berkembang. Angka kejadian preeklampsia di negara berkembang, seperti di
negara Amerika Utara dan Eropa adalah sama dan diperkirakan sekitar 5-7 kasus per
10.000 kelahiran. Di sisi lain kejadian eklampsia di negara berkembang bervariasi secara
luas. Mulai dari satu kasus per 100 kehamilan untuk 1 kasus per 1700 kehamilan. Rentang
angka kejadian preeklampsia-eklampsia di negara berkembang seperti negara Afrika
seperti Afrika selatan, Mesir, Tanzania, dan Ethiopia bervariasi dari 1,8% sampai 7,1%.
Di Nigeria angka kejadiannya berkisar antara 2% sampai 16,7% dan juga preeklampsia
ini juga dipengaruhi oleh ibu nullipara, karena ibu nullipara memiliki resiko 4-5 kali lebih
tinggi dari pada ibu multipara.
6
2. 3. Etiologi dan Faktor Risiko
Penyebab pasti preeklampsia sampai saat ini belum diketahui, adanya
disfungsi plasenta dan respon maternal terhadap adanya inflamasi sistemik dengan
aktivasi endotel dan koagulasi diduga menjadi penyebab dari preeklampsia. Terdapat
beberapa faktor risiko yang berhubungan dengan preeklampsia. Beberapa faktor risiko
yang dapat dinilai pada kunjungan antenatal pertama pada anamnesis atau
pemeriksaan fisik adalah sebagai berikut.
● Usia >40 tahun
Duckitt melaporkan peningkatan risiko preeklampsia hampir 2 kali lipat pada
wanita hamil berusia 40 tahun atau lebih baik pada primipara, maupun multipara.
Usia muda tidak meningkatkan risiko preeklampsia secara bermakna. Robillard,
dkk melaporkan bahwa risiko preeklampsia pada kehamilan kedua meningkat
dengan usia ibu (1,3 kali tiap 5 tahun pertambahan umur).
● Nullipara
Duckitt melaporkan nullipara memiliki risiko hampir tiga kali lipat untuk
menderita preeklampsia.
● Multipara dengan riwayat preeklampsia sebelumnya
Hal ini merupakan faktor risiko utama. Menurut Duckitt, risiko meningkat hingga
7 kali lipat. Kehamilan pada wanita dengan riwayat preeklampsia sebelumnya
berkaitan dengan tingginya kejadian preeklampsia berat, preeklampsia onset dini,
dan dampak perinatal yang buruk.
● Multipara dengan kehamilan oleh pasangan baru
Hal ini mungkin disebabkan oleh perubahan paternitas atau meningkatnya interval
antar-kehamilan. Risiko meningkat bila ibu dari pasangan baru tersebut memiliki
riwayat preeklampsia.
● Multipara dengan jarak kehamilan sebelumnya 10 tahun atau lebih
Studi yang melibatkan 760.901 wanita di Norwegia, memperlihatkan bahwa
wanita multipara dengan jarak kehamilan sebelumnya 10 tahun atau lebih
memiliki risiko preeklampsia hampir sama dengan nullipara. Robilard melaporkan
bahwa risiko preeklampsia semakin meningkat sesuai dengan lamanya interval
dengan kehamilan pertama (1,5 kali setiap 5 tahun jarak kehamilan pertama).
● Riwayat preeklampsia pada ibu atau saudara perempuan
7
Riwayat preeklampsia pada keluarga juga meningkatkan risiko hampir 3 (tiga)
kali lipat. Adanya riwayat preeklampsia pada ibu meningkatkan risiko sebanyak
3.6 kali lipat.
● Kehamilan multipel
Sebuah studi yang melibatkan 53.028 wanita hamil menunjukkan, kehamilan
kembar meningkatkan risiko preeklampsia hampir tiga kali lipat, dengan analisa
lebih lanjut menunjukkan kehamilan triplet memiliki risiko hampir 3 kali lipat
dibandingkan kehamilan duplet.
● IDDM (Insulin Dependent Diabetes Mellitus)
Kemungkinan preeklampsia meningkat hampir 4 (empat) kali lipat bila diabetes
terjadi sebelum hamil.
● Hipertensi Kronik
Chappell dkk meneliti 861 wanita dengan hipertensi kronik, didapatkan insiden
preeklampsia superimposed sebesar 22% (n=180) dan hampir setengahnya adalah
preeklampsia onset dini (≤ 34 minggu) dengan keluaran maternal dan perinatal
yang lebih buruk.
● Penyakit Ginjal
Semua studi yang diulas oleh Duckitt risiko preeklampsia meningkat sebanding
dengan keparahan penyakit pada wanita dengan penyakit ginjal.
● Sindrom antifosfolipid (APS)
Dari 2 (dua) studi kasus kontrol yang diulas oleh Duckitt menunjukkan adanya
antibodi antifosfolipid (antibodi antikardiolipin, antikoagulan lupus atau
keduanya) meningkatkan risiko preeklampsia hampir 10 kali lipat.
● Kehamilan dengan inseminasi donor sperma, oosit atau embrio
Kehamilan setelah inseminasi donor sperma, donor oosit atau donor embrio juga
dikatakan sebagai faktor risiko. Satu hipotesis yang populer penyebab
preeklampsia adalah maladaptasi imun. Mekanisme dibalik efek protektif dari
paparan sperma masih belum diketahui. Data menunjukkan adanya peningkatan
frekuensi preeklampsia setelah inseminasi donor sperma dan oosit, frekuensi
preeklampsia yang tinggi pada kehamilan remaja, serta semakin mengecilnya
kemungkinan terjadinya preeklampsia pada wanita hamil dari pasangan yang
sama dalam jangka waktu yang lebih lama. Walaupun preeklampsia
dipertimbangkan sebagai penyakit pada kehamilan pertama, frekuensi
preeklampsia menurun drastis pada kehamilan berikutnya apabila kehamilan
8
pertama tidak mengalami preeklampsia. Namun, efek protektif dari multiparitas
menurun apabila berganti pasangan. Robillard dkk melaporkan adanya
peningkatan risiko preeklampsia sebanyak dua kali pada wanita dengan pasangan
yang pernah memiliki istri dengan riwayat preeklampsia.
● Obesitas atau IMT ≥ 35 sebelum hamil
Obesitas merupakan faktor risiko preeklampsia dan risiko semakin besar dengan
semakin besarnya IMT. Obesitas sangat berhubungan dengan resistensi insulin,
yang juga merupakan faktor risiko preeklampsia. Obesitas meningkatkan risiko
preeklampsia sebanyak 2,47 kali lipat, sedangkan wanita dengan IMT sebelum
hamil > 35 dibandingkan dengan IMT 19-27 memiliki risiko preeklampsia 4 kali
lipat. Pada studi kohort yang dilakukan oleh Conde-Agudelo dan Belizan pada
878.680 kehamilan, ditemukan fakta bahwa frekuensi preeklampsia pada
kehamilan di populasi wanita yang kurus (BMI < 19,8) adalah 2,6% dibandingkan
10,1% pada populasi wanita yang gemuk (BMI > 29,0). 9, 10
2. 4. Patofisiologi
Patofisiologi terjadinya hipertensi dalam kehamilan masih belum dapat dipastikan
hingga saat ini. Namun, terdapat beberapa teori yang berkembang mengenai proses
terjadinya preeklampsia. Teori-teori tersebut adalah teori kelainan vaskularisasi plasenta,
teori iskemik, radikal bebas dan disfungsi endotel, teori intoleransi imunologik antara ibu
dan janin, teori adaptasi kardiovaskuler, teori defisiensi genetik, teori defisiensi gizi dan
teori inflamasi. 8,9,11
a. Teori kelainan vaskularisasi plasenta
Pada kehamilan normal, rahim, dan plasenta mendapatkan aliran darah dari
cabang-cabang arteri urterina dan arteri varika. Kedua pembuluh darah tersebut
menembus myometrium berupa arteri arkuata dan arteri arkuata memberi cabang
arteri radialis. Arteri radialis menembus endometrium menjadi arteri basalis dan
arteri basalis memberi cabang arteri spinalis. Pada hamil normal, dengan sebab
yang belum jelas, terjadi invasi tropoblas ke dalam lapisan otot arteri spinalis,
yang menimbulkan degenerasi lapisan otot tersebut sehingga terjadi dilatasi arteri
spinalis. Invasi tropoblas juga memasuki jaringan sekitar arteri spinalis, sehingga
jaringan matriks menjadi gembur dan memudahkan lumen arteri spinalis
mengalami distensi dan dilatasi. Distensi dan vasodilatasi lumen arteri spinalis ini
memberi dampak penurunan tekanan darah, penurunan resisten vaskuler, dan
9
peningkatan aliran darah pada daerah uteroplasenta. Akibatnya, aliran darah ke
janin cukup banyak dan perfusi jaringan juga meningkat, sehingga dapat
menjamin pertumbuhan janin dengan baik. Proses ini dinamakan “remodeling
arteri spinalis”.
Pada hipertensi kehamilan tidak terjadi invasi sel-sel tropoblas pada lapisan otot
arteri spinalis dan jaringan matriks sekitarnya. Lapisan otot arteri spinalis menjadi
tetap kaku dan keras sehingga lumen arteri spinalis tidak memungkingkan
mengalami distensi dan vasodilatasi. Akibatnya, arteri spinalis relatif mengalami
vasokontriksi dan terjadi kegagalan “remodeling arteri spinalis”, sehingga aliran
darah uteroplasenta menurun, dan perubahan-perubahan yang dapat menjelaskan
patogenesis hipertensi dalam kehamilan selanjutnya. Diameter rata-rata arteri
spinalis pada kehamilan normal adalah 500 mikron, sedangkan pada preeklampsia
rata-rata 200 mikron. Pada hamil normal vasodilatasi lumen arteri spinalis dapat
meningkatkan 10 kali aliran darah ke uteroplasenta.
b. Teori iskemik, radikal bebas, dan disfungsi endotel
1. Iskemia plasenta dan pembentukan oksidan
Sebagaimana dijelaskan pada teori invasi tropoblas, pada hipertensi dalam
kehamilan terjadi kegagalan “remodeling arteri spinalis”, dengan akibat
plasenta mengalami iskemia. Plasenta yang mengalami iskemia dan
hipoksia menghasilkan oksidan atau radikal bebas. Radikal bebas adalah
senyawa penerima electron atau atom/molekul yang mempunyai elektron
yang tidak berpasangan. Salah satu oksidan penting yang dihasilkan
plasenta iskemia adalah radikal hidroksil yang sangat toksis, khususnya
terhadap membran sel endotel pembuluh darah. Sebenarnya produksi
oksidan pada manusia adalah suatu proses normal, karena oksidan
memang dibutuhkan untuk perlindungan tubuh. Adanya radikal hidroksil
dalam darah mungkin dahulu mungkin dianggap sebagai bahan toksin
yang beredar dalam darah, maka dulu hipertensi dalam kehamilan disebut
”toksemia”. Radikal hidroksil merusak membran sel, yang mengandung
banyak asam lemak tidak jenuh menjadi peroksida lemak. Peroksida lemak
selain merusak dan protein sel endotel. Produksi oksidan atau radikal
bebas dalam tubuh yang bersifat toksis, selalu diimbangi produksi
antioksidan.
2. Disfungsi sel endotel
10
Akibat sel endotel terpapar peroksida lemak, maka terjadi kerusakan sel
endotel, yang kerusakannya dimulai dari membran sel endotel. Kerusakan
membran sel endotel mengakibatkan terganggunya fungsi endotel, bahkan
rusaknya seluruh struktur sel endotel. Keadaan ini disebut “disfungsi
endotel”.
c. Teori imunologik antara ibu dan janin
Konsep dari maternal fetal (paternal) maladaptasi imunologik menjadi implikasi
umum sebagai penyebab preeklampsia. Implantasi fetoplasenta ke permukaan
miometrium membutuhkan beberapa elemen yaitu toleransi imunologik antara
fetoplasenta dan maternal, pertumbuhan trofoblas yang melakukan invasi ke
dalam lumen arteri spiralis dan pembentukan sistem pertahanan imun. Komponen
fetoplasenta yang melakukan invasi ke miometrium melalui arteri spiralis secara
imunologik menimbulkan dampak adaptasi dan maladaptasi yang sangat penting
dalam proses kehamilan. Dampak adaptasi menyebabkan tidak terjadi penolakan
hasil konsepsi yang bersifat asing, hal ini disebabkan karena adanya Human
Leukocyte Antigen Protein G (HLA-G) berperan penting dalam modulasi sistem
imun. HLA-G pada plasenta dapat melindungi trofoblas janin dari lisis oleh sel
Natural Killer (NK) ibu dan mempermudah invasi sel trofoblas ke jaringan
desidua ibu. Sebaliknya pada plasenta hipertensi dalam kehamilan terjadi
penurunan HLA-G yang kemungkinan menyebabkan terjadinya maladaptasi.
Maladaptasi diikuti dengan peningkatan rasio sel T yaitu T-helper 1/T-helper 2
menyebabkan peningkatan produksi sitokin proinflamasi. Pada sel Thelper1
menyebabkan peningkatan TNFα dan peningkatan INFy sedangkan pada T-helper
2 menyebabkan peningkatan IL-6 dan penurunan TGFB1. Peningkatan inflamasi
sitokin menyebabkan hipoksia plasenta sehingga hal ini membebaskan zat-zat
toksis beredar dalam sirkulasi darah ibu yang menyebabkan terjadinya stress
oksidatif. Stress oksidatif bersamaan dengan zat toksis yang beredar dapat
merangsang terjadinya kerusakan pada sel pembuluh darah yang disebut disfungsi
endotel.
d. Teori adaptasi kardiovaskuler
Pada kehamilan normal pembuluh darah refrakter terhadap bahan-bahan
vasopressor. Refrakter berarti pembuluh darah tidak peka terhadap rangsangan
bahan vasopressor atau dibutuhkan kadar vasopressor lebih tinggi untuk
menimbulkan respons vasokontriksi. Pada kehamilan normal terjadi refrakter
11
pembuluh darah terhadap bahan vasopressor adalah akibat dilindungi oleh adanya
sintesis prostaglandin pada sel endotel pembuluh darah. Hal ini dibuktikan bahwa
daya refrakter terhadap bahan vasopressor hilang bila diberi prostaglandin sintesa
inhibitor (bahan yang menghambat produksi prostaglandin). Prostaglandin ini
dikemudian hari ternyata adalah prostasiklin. Pada hipertensi dalam kehamilan
kehilangan daya refrakter terhadap bahan vasokontriksi dan ternyata terjadi
peningkatan kepekaan terhadap bahan-bahan vasopressor. Artinya, daya refrakter
pembuluh darah terhadap bahan vasopressor hilang sehingga pembuluh darah
menjadi sangat peka terhadap bahan vasopressor.
e. Teori genetik
Preeklampsia merupakan penyakit poligenik multifaktorial. Risiko anak
perempuan mengalami preeklampsia dari ibu dengan riwayat preeklampsia adalah
20-40%, 11-37% preeklampsia diderita oleh saudara kandung ibu penderita
preeclampsia, dan 22-47% pada wanita kembar mengalami preeklampsia.
Predisposisi herediter preeklampsia merupakan hasil interaksi dari ratusan gen
yang diturunkan dari maternal maupun paternal yang mengontrol fungsi metabolik
dan enzimatik di setiap sistem organ. Ekspresi gen ini akan berbeda pada setiap
orang tergantung pula dengan interaksi terhadap faktor lingkungan.
2. 5. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis yang ditemukan pada pasien dengan preeklampsia bersifat tidak
nyaman. Adapun gejala yang sering ditemui adalah sakit kepala, pandangan kabur,
skotomata, dan hiperrefleksia. Walaupun jarang, kebutaan sementara yang terjadi dalam
beberapa jam sampai seminggu dapat muncul pada kondisi preeklampsia berat. Adapun
nyeri kepala berat, gangguan penglihatan, nyeri perut kuadran kanan atas dan
hiperrefleksia dapat merupakan tanda dari impending eklampsia, atau eklampsia yang
akan terjadi. Gejala lainnya yang dapat dikeluhkan adalah nyeri pada perut kanan atas
atau nyeri epigastrium yang merupakan tanda dari kondisi klinis yang lebih berat atau
adanya sesak nafas yang disebabkan oleh edema paru. Tanda yang yang ditemukan pada
preeklampsia adalah kenaikan berat badan karena edema ekstremitas dan hipertensi. 12,13
2. 6. Diagnosis
12
Menegakkan diagnosis dari preeklampsia dan preeklampsia berat dapat dilakukan
dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Diagnosis
preeklampsia dapat ditegakkan berdasarkan adanya hipertensi spesifik yang disebabkan
kehamilan disertai dengan gangguan sistem organ lainnya pada usia kehamilan di atas 20
minggu, adapun definisi lain dari preeklampsia adalah hipertensi onset baru yang disertai
dengan proteinuria. Pada penegakkan diagnosis hipertensi, hipertensi adalah tekanan
darah dengan minimal 140 mmHg sistolik atau 90 mmHg diastolik. Sedangkan hipertensi
berat adalah tekanan darah minimal 160 mmHg sistolik atau 110 mmHg diastolik. Dalam
menentukan seseorang memiliki proteinuria, proteinuria dapat ditetapkan bila ekskresi
protein urin melebihi 300 mg dalam 24 jam atau tes urin dipstick lebih dari positif 1.
Namun, karena kemungkinan positif palsu yang tinggi, pemeriksaan tes urin dipstick
hanya dapat digunakan sebagai tes skrining dan harus dikonfirmasi kembali dengan
pemeriksaan protein urin 24 jam atau rasio protein banding kreatinin .5 Preeklampsia
sendiri masih sulit untuk dilakukan diagnosis secara definitif, sehingga kelompok kerja
the American College of Obstetricians and Gynecologists merekomendasikan untuk ibu
hamil melakukan kunjungan prenatal secara berkala apabila Ia sudah dicurigai memiliki
preeklampsia. Hal ini dikarenakan meningkatnya tekanan darah sistolik dan diastolik
dapat terjadi karena adanya perubahan fisiologis normal atau memang adanya tanda
perkembangan patologis.10
Kriteria diagnosis dari preeklampsia oleh ACOG 2020 adalah adanya tekanan
darah sistolik 140 mmHg atau lebih atau diastolik 90 mmHg atau lebih dalam 2
pengukuran dengan minimum jeda 4 jam pada 20 minggu usia kehamilan atau lebih dan
sebelumnya memiliki tekanan darah normal dengan adanya proteinuria 300 mg atau lebih
per 24 jam urin, atau rasio urine protein banding kreatinin 0.3 mg/mmol, atau pembacaan
dipstick proteinuria 2+ (hanya bila metode kuantitatif tidak). Namun, apabila proteinuria
ditemukan negatif, preeklampsia dapat ditegakan dengan onset baru hipertensi dengan
onset baru salah satu dari berikut: 13
● Gangguan fungsi hati (peningkatan konsentrasi liver transaminase 2 kali dari batas
normal)
13
● Edema paru
● Nyeri kepala onset baru yang tidak berpengaruh dengan obat, dan tidak
berhubungan dengan diagnosis lain, atau gangguan visual.
● Hipertensi dengan tekanan darah sistolik 160 mmHg atau lebih, atau tekanan
darah diastolik 110 mmHg atau lebih dalam 2 kali pengukuran dengan jeda waktu
4 jam (kecuali pada waktu ini obat antihipertensi sudah diberikan)
● Edema paru
● Nyeri kepala onset baru yang tidak berpengaruh dengan obat, dan tidak
berhubungan dengan diagnosis lain, atau gangguan visual.
Menurut Panduan Praktis Klinis RSUP Sanglah tahun 2015 adapun kriteria
diagnosis dari Preeklampsia ringan dan berat adalah 23:
Preeklampsia Ringan: Tekanan darah sistolik ≥ 140 sampai < 160 mmHg, tekanan
darah diastolik ≥ 90 sampai <110 mmHg dan proteinuria >0,3 g/L atau +2
14
Preeklampsia Berat: Tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg, tekanan darah diastolik
≥110 mmHg dan proteinuria >5gr/24 jam atau +4, oliguria, edema paru atau sianosis,
sindroma HELLP dan tanda- tanda impending eklampsia
● HELLP sindrom: Platelet <100x 109/L, SGOT/SGPT >70, dan LDH >600
● Impending eklampsia: nyeri kepala frontal, penglihatan kabur dan nyeri
perut kuadran kanan atas
● Oliguria: produksi urin <500 cc/24 jam
2. 7. Penatalaksanaan
Melakukan tatalaksana pada preeklampsia, perlu dipertimbangkan dari derajat
beratnya dan usia kehamilannya. Pada keadaan preeklampsia, tatalaksananya bervariasi
sesuai dengan derajat beratnya dari disfungsi sel endotel dan disfungsi multiorgan.
Adapun tujuan dari tatalaksana dasar dari preeklampsia adalah terminasi kehamilan
dengan minimnya kemungkinan trauma pada janin dan ibu, kelahiran bayi yang dapat
hidup, dan restorasi kesehatan ibu secara penuh.
Pada ibu hamil dengan meningkatnya tekanan darah diastolik di atas 90mmHg
atau tekanan darah sistolik di atas 140 mmHg perlu untuk dilakukan rawat inap untuk
menentukan apakah kenaikan dari tekanan darah disebabkan oleh preeklampsia atau
tidak, serta melakukan observasi dari beratnya gejala atau kerusakan organ dari pasien.
Hal ini juga dilakukan apabila keadaan sakit ringan bagi ibu yang hamil pertama kali,
apalagi disertai dengan adanya proteinuria. Adapun hal-hal yang harus diperhatikan
ketika rawat inap adalah pemeriksaan fisik secara detail dan lihat tanda dan gejala klinis:
seperti nyeri kepala, gangguan penglihatan, nyeri epigastrium dan turunnya berat badan
secara cepat; lalu perhatikan urin protein, tekanan darah, pemeriksaan laboratorium serum
kreatinin, AST/ALT, platelet dan LDH. Observasi janin perlu untuk dilakukan dengan
ultrasonografi mengevaluasi berat janin dan jumlah volume dari cairan amnion serta
melakukan fetal antepartum testing. Semua komponen tersebut membantu untuk
mengidentifikasi apakah adanya perburukan dari preeklampsia. Apabila dari observasi
tersebut ditemukan adanya diagnosis preeklampsia berat, tatalaksana lanjut harus segera
15
dilakukan berdasarkan hasil evaluasi tersebut dan usia kehamilan. Namun, apabila
tekanan darah di bawah dari angka 140/90 mmHg serta tidak ada gejala dan kerusakan
organ, pasien dapat dilakukan rawat jalan.10,13 Tujuan dari tatalaksana rawat inap pada
preeklampsia berat adalah terapi cairan, pencegahan kejang, penurunan tekanan darah,
mencegah kerusakan organ, dan melakukan persalinan sesuai dengan derajat berat dan
usia kehamilan. Selama rawat inap, urine output harus diobservasi di atas 30mL/jam dan
cairan IV harus diberikan kurang dari 100 mL/jam. 14
16
Gambar 2.1 Kriteria Terminasi Kehamilan 5
17
Gambar 2.2 Algoritma Manajemen Ekspektatif 5
18
dari 12x/menit, urine output kurang dari 30mL/jam atau kelumpuhan, pemberian MgSO4
harus dihentikan dan harus segera dilakukan pengecekan kadar serum magnesium serta
diberikan injeksi Kalsium Glukonat 10% 1 gram dalam 10 cc IV dalam 2-3 menit sebagai
antidotum.5,14 Adapun pemberian magnesium sulfat untuk preeklampsia berat adalah
dengan memberikan loading dose 4-6 gram dalam 100 mL Nacl 0,9% atau dekstrosa 5%
secara intravena dalam 15-20 menit, diikuti dengan rumatan infus kontinyu 2 gram per
jam. Dalam pemberiannya, lakukan monitoring refleks, status mental, status pernafasan,
kadar serum magnesium, dan urine output.13
2. 8. Komplikasi
Pada negara berkembang, preeklampsia merupakan penyebab terbanyak dalam
morbiditas dan mortalitas maternal serta fetal. Komplikasi tersering yang terjadi selama
mengidap preeklampsia adalah kelahiran preterm, pertumbuhan janin dalam kandungan
terhambat (Intrauterin Growth Restriction), kematian janin dalam rahim (Intrauterin fetal
death), sindrom HELLP, dan eklampsia. Komplikasi lainnya adalah disfungsi multiorgan
19
maternal seperti gagal jantung, peripartum cardiomyopathy, edema paru, disseminated
intravascular coagulation (DIC), komplikasi serebrovaskular seperti ensefalopati atau
stroke, gagal ginjal akut, dan gagal hati.15
Sindrom HELLP merupakan keadaan klinis adanya hemolisis, meningkatnya
enzim hati, dan rendahnya platelet yang muncul pada keadaan preeklampsia berat
lanjutan. Onset dari sindrom HELLP bersifat tiba-tiba dan berat serta sering muncul pada
waktu trimester ketiga, namun tidak sedikit terjadi saat atau berlanjut sampai waktu
postpartum. Gejala khas yang muncul pada sindrom HELLP adalah adanya nyeri pada
perut kanan atas, malaise, sakit kepala, disrupsi visual, mual, dan muntah. 13
Adapun ada
2 kriteria diagnosis dalam menegakkan sindrom HELLP adalah yakni Klasifikasi
Tennessee dan Klasifikasi Mississippi. Klasifikasi Tennesse dalam mendiagnosis sindrom
HELLP adalah adanya hemolisis, meningkatnya kadar LDH (> atau = 600 IU/L),
meningkatnya kadar enzim hati AST (> atau = 70 IU/L) dan rendahnya
platelet/trombositopeni (<100x109/L). Pada Klasifikasi Mississippi, selain dapat
menegakkan diagnosis, klasifikasi ini dapat mengukur tingkat beratnya sindrom yang
terjadi dengan Kelas I merupakan tingkatan terberat dengan risiko mortalitas dan
morbiditas yang lebih tinggi. 16
20
dalam keadaan lanjut. Adapun komplikasi maternal yang muncul adalah eklampsia,
solusio plasenta, DIC, gagal ginjal akut, asites berat, edema serebri, edema paru ditandai
dengan sesak nafas, infeksi/hematoma dari luka SC, hematoma subkapsuler hati, ruptur
hati, hepar infark, trombosis berulang, retinal detachment, infark serebri, perdarahan
serebri, dan kematian ibu. Pada fetal/neonatal komplikasi yang dapat terjadi adalah
kematian janin, IUGR, kelahiran preterm, trombositopeni neonatal, dan RDS. 18 Wanita
dengan sindrom HELLP harus mendapatkan MgSO4 dari sejak rawat inap sampai 24-48
jam postpartum. Transfusi platelet dapat diindikasikan untuk kadar platelet kurang dari 20
x 10 9/L sebelum persalinan pervaginam atau kurang dari 50 x 10 9/L sebelum sectio
cesaria. Pemberian kortikosteroid dapat membantu dalam peningkatan platelet dan secara
penelitian terbukti dalam maturasi paru janin usia kehamilan kurang dari 34 minggu. 14
2. 9. Pencegahan
Pencegahan dari preeklampsia yang sekarang ini dapat dilakukan adalah dengan
pencegahan yang difokuskan dari asuhan antenatal melihat faktor risiko, modifikasi gaya
hidup, suplementasi nutrisi, dan terapi farmakologis. Mengidentifikasi faktor risiko dan
mengontrolnya penting untuk mencegah peningkatan risiko preeklampsia.5 Beberapa
pencegahan non farmakologis ialah dengan melakukan tirah baring pada kesehariannya,
21
olahraga teratur, dan suplementasi antioxidant. Namun, beberapa modalitas tersebut perlu
dikaji lebih lanjut karena masih kurangnya bukti penelitian.19
2. 10. Prognosis
Kematian ibu akibat preeklampsia berat antara 9.8% hingga 25.5% dan kematian
bayi sebesar 42.2% hingga 48.9%. Morbiditas dan mortalitas perinatal kehamilan dengan
PJT lebih tinggi dari pada kehamilan normal. Kehamilan preeklampsia dengan PJT dapat
semakin memperburuk prognosis, dikatakan bahwa semakin rendah berat badan bayi
akan semakin meningkatkan angka kematian perinatal.8
22
23
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1 Identitas Pasien
Nama : Ni Nengah Suriati
Jenis Kelamin : Perempuan
Tempat, Tanggal Lahir : Bunglada, 15 Februari 1992
Umur : 29 tahun
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Pendidikan Terakhir : SMA
Agama : Hindu
Kebangsaan : Indonesia
Status Perkawinan : Menikah
Alamat : Br. Dinas Bunglada Tianyar Tengah Kubu
Karangasem
No. CM : 21051083
Tanggal MRS : 24 September 2021 pukul 20.00
3.2 Anamnesis
Keluhan Utama
Keluar cairan pervaginam sejak sore hari SMRS (24 September 2021) pukul 17.00
WITA
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSUP Sanglah diantar oleh suami pada tanggal 24 September
2021 pukul 20.00 WITA dalam keadaan sadar dengan keluhan keluar cairan
pervaginam sejak pukul 17.00 WITA. Cairan pervaginam yang keluar dikatakan
berwarna jernih, tanpa disertai darah dan tidak berbau dengan volume sedikit dan
tidak disertai nyeri perut yang hilang timbul. Gerak janin dikatakan baik, yang
diketahui sejak Mei 2021. Saat pasien melakukan pemeriksaan kehamilan di
Puskesmas Pembantu 2 Denpasar, di usia kehamilan 33 minggu, didapatkan tekanan
darah pasien tinggi (sistole 170 mmHg). Kemudian pasien disarankan untuk
memeriksakan keluhan tersebut ke dokter spesialis kandungan dan diberikan obat
penurun tekanan darah (Nifedipin). Pada saat melakukan pemeriksaan kehamilan di
24
dokter spesialis kandungan, janin pasien dikatakan letak sungsang sejak usia
kehamilan 36-37 minggu.
Pada tanggal 25 September 2021 pukul 01.00, dilakukan tindakan operasi sesar,
kemudian lahir bayi perempuan dengan berat lahir 2920 gram tanpa adanya
kelainan kongenital. Setelah dilakukan tindakan operasi sesar pasien dipindahkan ke
ruang Intermediate. Pada siang hari pukul 15.00 WITA, pasien mengeluhkan sakit
kepala, kemudian pasien mengalami kejang sebanyak 1 kali dengan durasi sekitar 1
menit dan setelah kejang pasien tidak sadarkan diri kurang lebih selama 40 menit.
Setelah kondisi pasien stabil, pasien dipindahkan ke ruangan Cempaka 2 Obstetri
(26 September 2021)
Riwayat Menstruasi
Pasien mengalami menstruasi pertama kali pada saat pasien berusia 14 tahun, saat
pasien duduk di bangku sekolah menengah pertama. Menstruasi sebelum hamil
dikatakan teratur setiap bulan dengan siklus 28 hari. Lama menstruasi saat
menggunakan kontrasepsi IUD sekitar 5 hari, dan saat pasien tidak menggunakan
IUD sekitar 7 hari. Frekuensi mengganti pembalut sekitar 3 kali dalam sehari (±60
ml). Hari pertama haid terakhir (HPHT) dikatakan lupa.
Riwayat Pernikahan
Pasien menikah satu kali pada tahun 2010, saat pasien berusia 18 tahun dan suami
pasien berusia 20 tahun.
Riwayat Pemakaian Kontrasepsi
Pasien mengatakan menggunakan kontrasepsi berupa IUD setelah kelahiran anak
pertama dan kedua. Beberapa bulan sejak penggunaan IUD pertama, pasien
merasakan nyeri di sekitar pemasangan IUD, sehingga IUD dilepas. Pada saat
penggunaan kedua, pasien tidak merasakan keluhan apapun. Pasien mengatakan
melakukan kontrol penggunaan IUD apabila mengalami keluhan. Kemudian IUD
dilepas satu tahun yang lalu, sehinga lama penggunaan IUD kedua sekitar 5 tahun.
Segera setelah dilahirkannya anak ketiga, dilakukan pemasangan IUD pada pasien.
25
Riwayat Obstetri
26
Riwayat Sosial dan Keluarga
Pasien merupakan ibu rumah tangga, yang sebelumnya bekerja sebagai pegawai
swasta dan berhenti bekerja 2 tahun yang lalu. Selama kehamilan pasien tetap
beraktivitas seperti biasa. Suami pasien bekerja sebagai driver ojek online. Riwayat
merokok maupun minum alkohol disangkal oleh pasien, namun dikatakan suami
pasien merokok. Suami pasien dapat menghabiskan sekitar satu bungkus rokok
dalam dua hari.
Riwayat penyakit kronis dalam keluarga seperti hipertensi, diabetes melitus,
penyakit jantung, ginjal, keganasan, asma, dan penyakit ginekologi disangkal oleh
pasien. Riwayat aborsi dalam keluarga di sangkal.
3. 1. Pemeriksaan Fisik
Status Present
Keadaan Umum : Baik
GCS : E4V5M6 (Compos Mentis)
Tekanan Darah : 160/100 mmHg
Nadi : 94 x/ menit
Respirasi : 18 x/ menit
Suhu Aksila : 36,7 oC
Sp O2 : 98% udara ruangan
Berat badan
- Sebelum hamil : 58 kg
- Setelah hamil : 64 kg
Tinggi badan : 155 cm
IMT :
- Sebelum hamil : 24,14 kg/m2
- Setelah hamil : 26,63 kg/m2
Status General
Mata : anemis -/-, ikterus -/-, cowong -/-, pupil isokor
THT : dalam batas normal
Leher : pembesaran KGB (-), pembesaran kelenjar tiroid(-)
Thorax :
Cor : S1S2 tunggal, regular, murmur (-)
Pulmo : suara napas vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-
27
Mamae : bentuk simetris, putting susu menonjol,
pengeluaaran (-), kebersihan cukup
Abdomen : sesuai dengan keadaan obstetri
Ekstremitas : edema (-/-,-/-), akral hangat, refleks patella (+)
Status Obstetri
Inspeksi : tampak cairan keluar dari OUE, lakmus test (+)
Palpasi :
Leopold I : Teraba bagian bulat keras kesan kepala
Leopold II : Teraba bagian panjang mendatar keras pada sisi
kiri
Leopold III : Teraba bagian bulat lunak kesan bokong
Leopold IV : Konvergen
Auskultasi : bising usus (+), DJJ 148x/menit.
Anogenital
Vaginal Toucher : pembukaan 1 1cm, penipisan 25%, ketuban (-)
teraba bokong, denominator belum jelas, penurunan Hodge I, tidak teraba
bagian kecil atau tali pusat
3. 2. Pemeriksaan Penunjang
● Pemeriksaan Laboratorium
DARAH LENGKAP
28
MO% 5.40 4.80 4.40 % 2.0 - 11.0
29
14.8
KIMIA DARAH
30
diperiksa 1.11
31
Ca Tidak 8.2 6.9 mg/dL 8.80 –
diperiksa 10.2
URINALISIS
32
Bilirubin Negatif Tidak Tidak mg/dL Negatif
diperiksa diperiksa
33
HC 32.98 cm – 37W4D
AC 33.48 cm – 37W3D
FL 7.30 cm – 37W3D
Placenta fundus corpus anterior
EFW 3214 gram
AUA 37W5D
EDD 14/10/2021
● Pemeriksaan Rapid Antigen COVID-19
Non-reaktif.
3. 3. Diagnosis
Diagnosis masuk : G3P2002 40 Minggu 0 Hari Tunggal/Hidup presentasi
bokong, preeklampsia dengan gambaran berat, ketuban
pecah dini
Diagnosis terakhir : P3003 post SC hari ke-3, follow up eklampsia, HELLP
Syndrome class I, hipoalbuminemia
3. 4. Penatalaksanaan
● Rawat inap
● SC Cito + IUD
● IVFD RL + MgSO4 40% 6 gram ~ 28 tpm s/d 24 jam post operasi
● IVFD RL + Oksitosin 20 IU ~ 28 tpm s/d 24 jam post operasi
● Ceftriaxone 1 gr tiap 12 jam IV
● DC s/d 6 jam post MgSO4
● Nifedipine 10 mg tiap 8 jam po bila MAP > 125 mmHg
● Perawatan post operatif
Monitoring: keluhan, tanda-tanda vital, tanda impending eklampsia, tanda
intoksikasi MgSO4, produksi urin, kontraksi uterus, perdarahan.
KIE
34
● Menjelaskan kondisi pasien saat ini kepada pasien dan keluarga
serta rencana tindakan dan perawatan selanjutnya.
3. 5. Perjalanan Persalinan
35
O Keadaan umum tampak sakit ringan, dengan kesadaran
compos mentis
Status present:
Tekanan darah: 160/100 mmHg
Nadi: 94 x/menit
Respirasi: 18x/menit
Suhu aksila: 36,7 o C
Skor nyeri: VAS 2/10
Status General:
Mata : mata anemis (-/-), isokor, sklera ikterik
(-/-)
Thoraks :
Cor : S1S2 reguler, murmur (-)
Pulmo : Vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing
(-/-)
Ekstremitas : hangat (+/+), edema (-/-)
Status Obstetri :
Abdomen :
Leopold I : tinggi fundus uteri 2 jari di bawah pusat,
teraba bagian bundar keras, kesan kepala.
Leopold II : teraba bagian keras memanjang, kesan
punggung di sisi kiri ibu.
Leopold III : teraba bagian bundar lunak, kesan bokong.
Leopold IV : konvergen
His (-)
DJJ 148x/menit
Vaginal Toucher :
Pø 1 cm, penipisan 25%
Teraba bokong, denominator belum jelas, penurunan H I
Tidak teraba bagian kecil/tali pusat
36
ketuban pecah dini
P
SC Cito + IUD
37
Tinggi fundus uteri 2 jari di bawah pusat, kontraksi (+)
baik
Vaginal Toucher :
Perdarahan (-), lochia (+)
P
IVFD RL + MgSO4 40% 6 gram ~ 28 tpm s/d 24 jam post
operasi
Puasa 6 jam
38
S Nyeri luka operasi minimal, BAK via DC, flatus (-), mobilisasi (+)
duduk. Nyeri kepala (-), pandangan kabur (-), nyeri ulu hati (-)
P
IVFD RL 500 cc ~ 20 tpm
39
Analgesik~TS Anestesi
Mobilisasi bertahap
Diet bubur
S Nyeri luka operasi (+) minimal, BAK via DC, flatus (+),
mobilisasi (+) duduk. Nyeri kepala (-), pandangan kabur (-),
nyeri ulu hati (-)
40
HELLP Syndrome class I, trombositopenia, hipoalbuminemia
P
IVFD RL 500 ml ~ 20 tpm
Lepas DC
Mobilisasi bertahap
Diet bubur
S Nyeri luka operasi (+) minimal, flatus (+) BAK (+), BAB (-),
mobilisasi (+) jalan, nyeri kepala (-) pandangan kabur (-) nyeri ulu
hati (-)
Status General:
Mata : mata anemis (-/-), isokor, sklera ikterik(-/-)
Thoraks :
Cor : S1S2 reguler, murmur (-)
Pulmo : Vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing(-/-)
Ekstremitas : hangat (+), edema (-)
Status Obstetri :
Abdomen :
Tinggi fundus uteri 2 jari di bawah pusat, kontraksi (+)
baik
41
Luka operasi terawat
Vaginal Toucher :
Perdarahan (-), lochia (+)
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Diagnosis
42
pasien adalah 160/100 mmHg dan ditemukannya bagian terendah janin dari pemeriksaan
leopold 3 adalah bokong. Berdasarkan pemeriksaan penunjang, dari pemeriksaan
urinalisis didapatkan proteinuria +4. Dengan demikian, berdasarkan hasil anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, pasien didiagnosis awal dengan G3P2002
40 Minggu 0 Hari Tunggal/Hidup presentasi bokong, preeklampsia dengan gambaran
berat, ketuban pecah dini. Hal ini sesuai dengan kriteria diagnosis preeklampsia berat oleh
ACOG 2020 dan PPK Sanglah 2015.
Pasien dilakukan tindakan SC pada pukul 01.00 tanggal 25 September 2021 dan
melahirkan bayi perempuan BBL 2920 gram. Menurut anamnesis pasien, diceritakan
bahwa setelah dilakukannya tindakan SC, siang hari nya pasien mengalami kejang 1 kali
berdurasi sekitar 1 menit yang mana sebelum kejang pasien mengeluhkan adanya sakit
kepala. Setelah kejang selesai, pasien tidak sadarkan diri kurang lebih selama 40 menit.
Saat dilakukan pemeriksaan penunjang tanggal 26 September 2021 ditemukan bahwa
kadar platelet 20x103/µL, AST (SGOT) 243.4 U/L, ALT (SGPT) 146.8 U/L, LDH 1898
U/L serta adanya hipoalbimunemia di pemeriksaan penunjang awal. Dari hasil tersebut,
pasien mengalami eklampsia yang terjadi postpartum dan memenuhi kriteria sindrom
HELLP klas 1 berdasarkan Kriteria Mississippi sehingga diagnosis akhir pada tanggal 28
September 2021 adalah P3003 post SC hari ke-2, follow up eklampsia, HELLP Syndrome
class I, hipoalbuminemia
43
Pasien atas nama Ibu Ni Nengah Suriati saat ini berumur 29 tahun. Ibu Ni Nengah
Suriati telah melahirkan dua anak sebelum kehamilan saat ini. Sebelum kehamilan saat
ini, pasien tidak memiliki riwayat preeklampsia pada kehamilan-kehamilan sebelumnya.
Pasien juga hanya menikah satu kali dan seluruh kehamilan adalah bersama dengan
pasangan yang sama. Jarak kehamilan saat ini dengan sebelumnya cukup jauh walaupun
belum melebihi 10 tahun. Kehamilan sebelumnya adalah pada saat tahun 2014 dan 2010,
atau 7 tahun yang lalu. Dalam keluarga pasien juga tidak ditemukan adanya riwayat
preeklampsia. Kehamilan pasien saat ini bukanlah kehamilan multipel. Pasien juga
menyangkal adanya penyakit seperti diabetes mellitus, penyakit ginjal, atau sindrom
antifosfolipid. Kehamilan ini juga bukan program inseminasi donor sperma, oosit, atau
embrio. Status gizi ibu sebelum hamil juga tergolong sehat dengan nilai IMT 24,14
kg/m2. Pasien tidak obesitas. Dari hal-hal ini dapat disimpulkan bahwa pasien ini tidak
memiliki faktor risiko terhadap terjadinya preeklampsia.
4.3 Penatalaksanaan
Untuk penanganan awal dari preeklampsia berat sudah sesuai dengan kepustakaan
yang menyebutkan pasien preeklampsia berat perlu diberikan antikonvulsan MgSO4
dengan dosis awal 4 mg yang dilarutkan dalam normal saline dan diberi dalam waktu 15-
20 menit dilanjutkan dengan pemberian 6 mg sampai 24 jam setelah partus. Dari segi
penatalaksanaan hipertensi telah sesuai dengan rekomendasi dari berbagai kepustakaan
yang menyarankan untuk mengontrol tekanan darah dengan menggunakan nifedipine 10
mg sebagai obat antihipertensi lini pertama. Selain itu, tatalaksana persalinan pasien
sudah tepat dengan melakukan tindakan SC cito dimana usia kehamilan pasien sudah
lebih dari 34 minggu dengan adanya ketuban pecah dini sehingga dapat langsung
dilakukan persalinan.
4.4 Komplikasi
Komplikasi yang ditemukan pada pasien preeklampsia berat ini adalah terjadinya
eklampsia post partum yang sebelumnya didahului dengan klinis impending eklampsia.
Pasien mengalami kejang selama 1 menit setelah persalinan yang mana sebelumnya
didahului dengan adanya nyeri kepala. Setelah kejang, pasien ditemukan tidak sadarkan
diri selama 40 menit. Hal ini sesuai dengan kepustakaan yang menyebutkan bahwa
eklampsia dapat terjadi pada pasien preeklampsia berat sebagai komplikasi dan dapat
44
terjadi setelah persalinan. Selain terjadinya eklampsia, pasien mengalami sindrom
HELLP yang ditandai dengan adanya trombositopenia, meningkatnya kadar enzim liver
transaminase, dan meningkatnya kadar LDH sesuai dengan kriteria Mississippi. Menurut
kepustakaan, onset dari sindrom HELLP bersifat tiba-tiba dan berat serta sering muncul
pada waktu trimester ketiga, namun tidak sedikit terjadi saat atau berlanjut sampai waktu
postpartum. Pada pasien ditemukan sindrom HELLP muncul saat postpartum tanpa
adanya manifestasi klinis sebelumnya, namun memenuhi kriteria Mississippi Sindrom
HELLP klas 1. Tidak ditemukan komplikasi lainnya pada pasien.
BAB V
SIMPULAN
Preeklampsia berat adalah sebuah komplikasi kehamilan di mana terjadi kelainan
pada endotel yang menyebabkan peningkatan tekanan darah sistolik >160 mmHg,
diastolik >110 mmHg, dan proteinuria positif +2/+3, disertai dengan adanya edema pada
kehamilan ≤20 minggu. Faktor risiko terjadinya preeklampsia berat antara lain adalah
usia risiko >40 tahun, nullipara, riwayat preeklampsia sebelumnya, diabetes melitus,
hipertensi kronik, gemeli, riwayat keluarga, dan obesitas. Preeklampsia memiliki gejala
seperti adanya nyeri perut, sesak nafas, kenaikan berat badan, edema, dan hipertensi.
Penatalaksanaan kuratif terhadap preeklampsia adalah dengan terminasi kehamilan.
Telah dilaporkan suatu kasus pada wanita berusia 29 tahun dengan diagnosis
preeklampsia dengan gambaran berat. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pada pasien ditemukan tekanan darah
160/110 mmHg pada saat MRS dan proteinuria +4 dari pemeriksaan urinalisis. Pasien
juga memiliki riwayat hipertensi pada usia kehamilan 33 minggu. Telah dilakukan
perbandingan diagnosis dan penatalaksanaan pada kasus terhadap teori dan didapatkan
bahwa sebagian besar telah sesuai dengan teori yang ada.
45
DAFTAR PUSTAKA
46
9. Rana S., Lemoine E., Granger, J.P., Karumanchi, S.A. Pathophysiology,
Challenges and Perspectives. 2009. 124(7): 1094-1112.
10. Cunningham F, Leveno K, Bloom S, Hauth J, Rouse D, Spong C, et al. Pregnancy
Hypertension. William Obstetrics, edisi ke-24. New York: McGraw-Hill, 2014 :
706- 756
11. Gathiram P., Moodley J. 2016. Pre-eclampsia: its Pathophysiology. Cardiovasc J
Afr. 27(2): 71-78.
12. Angsar MD. Hipertensi dalam Kehamilan. Dalam: Prawirohardjo S. Ilmu
kebidanan. Edisi keempat. Cetakan ketiga. Jakarta: Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo; 2010: 530-561
13. American College of Obstetricians and Gynecologists (ACOG). Gestational
Hypertension and Preeclampsia. Obstetrics & Gynecology. 2020;135(6):e237-
e260.
14. Leeman L, Dresang LT, Fontaine P. Hypertensive Disorders of Pregnancy. Am
Fam Physician. 2016 Jan 15;93(2):121-7. PMID: 26926408
15. Pankiewicz K, Szczerba E, Maciejewski T, Fijałkowska A. Non-obstetric
complications in preeclampsia. Menopausal Review. 2019;18(2):99-109.
16. Khalid F, Tonismae T. HELLP Syndrome [Internet]. Ncbi.nlm.nih.gov. 2021
[diakses pada 2 October 2021]. Tersedia di:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK560615/
17. Frias Gomes C. Gastrointestinal diseases during pregnancy: what does the
gastroenterologist need to know?. Annals of Gastroenterology. 2018;.
18. Haram K, Svendsen E, Abildgaard U. The HELLP syndrome: Clinical issues and
management. A Review. BMC Pregnancy and Childbirth. 2009;9(1).
19. Bezerra Maia e Holanda Moura S, Marques Lopes L, Murthi P, da Silva Costa F.
Prevention of Preeclampsia. Journal of Pregnancy. 2012;2012:1-9.
20. American College of Obstetricians and Gynecologists. ACOG Committee
Opinion No. 743 Summary: Low-Dose Aspirin Use During Pregnancy. Obstetrics
& Gynecology. 2018;132(1):254-256.
21. Rolnik D, Nicolaides K, Poon L. Prevention of preeclampsia with aspirin.
American Journal of Obstetrics and Gynecology. 2020;.
22. Wertaschnigg D, Reddy M, Mol B, da Silva Costa F, Rolnik D. Evidence-Based
Prevention of Preeclampsia: Commonly Asked Questions in Clinical Practice.
Journal of Pregnancy. 2019;2019:1-7.
47
23. SMF Obstetri dan Ginekologi RSUP Sanglah. Preeklampsia. In: SMF Obstetri dan
Ginekologi (ed.) Panduan Praktik Klinis.; 2015
48