Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEBIDANAN KEHAMILAN KOMPLEKS


PREEKLAMPSIA DAN EKLAMPSIA

Oleh :
Dian Hosiana Pangaribuan
NIM 012023243011

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIDAN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2021
ii

LEMBAR PENGESAHAN

Laporan pendahuluan dengan judul “Asuhan Kebidanan Kehamilan Kompleks –


Preeklampsia dan Eklampsia” telah diperiksa dan disetujui untuk memenuhi tugas
Praktek Klinik Profesi Pendidikan Bidan Universitas Airlangga pada:
Hari :
Tanggal :

Surabaya, 2021

Mahasiswa

Dian Hosiana Pangaribuan


NIM. 012023243011

Mengetahui

Pembimbing Akademik Pembimbing Klinik


Program Profesi Pendidikan Bidan

Farida Fitriana., S.Keb., Bd., M.Sc. _________________________


NIP. 199104162020073201
iii

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ......................................................................................... ii


DAFTAR ISI............................................................................................................... iii
BAB 1 PENDAHULUAN .......................................... Error! Bookmark not defined.
1.1 Latar Belakang ......................................... Error! Bookmark not defined.
1.2 Tujuan ...................................................... Error! Bookmark not defined.
1.3 Manfaat .................................................... Error! Bookmark not defined.
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ................................. Error! Bookmark not defined.
2.1 Konsep Dasar Preklamsia/Eklamsia ........ Error! Bookmark not defined.
2.2 Konsep Dasar Manajemen Asuhan Kebidanan pada
Preklamsia/Eklamsia ..................................... Error! Bookmark not defined.1
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................17
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pre-eklamPsia dan eklamPsia adalah dua gangguan hipertensi kehamilan, yang
dianggap sebagai salah satu penyebab utama kematian ibu dan perinatal di seluruh
dunia (Peres dkk, 2018). Gangguan hipertensi pada kehamilan adalah salah satu
penyebab utama morbiditas berat, disabilitas jangka panjang dan kematian pada ibu
dan atau janin. Di Afrika dan Asia, hampir satu dari 10 ibu meninggal yang meninggal
berkaitan dengan gangguan hipertensi kehamilan (Sammour dkk, 2011). Di Indonesia
preeklamsi/eklamsia menjadi penyebab kematian ibu kedua sebesar 25% (Fatmawati
dkk, 2017; Gustri dkk, 2016).
Preeklamsia adalah penyakit multisistemik yang ditandai dengan timbulnya
hipertensi setelah umur kehamilan 20 minggu, dengan adanya proteinuria atau, jika
tidak ada, tanda atau gejala yang menunjukkan cedera organ (Peres dkk, 2018).
Preeklampsia/eklampsia dikenal sebagai “disease of theories” karena banyak teori
yang menjelaskan tentang penyebab preeklampsia/eklampsia dan sampai saat ini
belum diketahui secara pasti penyebabnya (Fatmawati et al., 2017). Namun ada
beberapa faktor risiko yang dapat meningkatkan kemungkinan ibu menderita penyakit
ini, diantaranya umur, paritas, preeklampsia sebelumnya, riwayat keluarga
preeklampsia, kehamilan kembar, kondisi kesehatan sebelumnya seperti diabetes,
hipertensi kronis, penyakit autoimun, jarak kehamilan serta faktor lainnya (Gustri et
al., 2016)
Kebanyakan kematian akibat pre-eklamsia dan eklamsia dapat dihindari melalui
perawatan yang tepat waktu dan efektif. Mengoptimalkan pemeliharaan kesehatan
untuk mencegah dan mengobati wanita dengan gangguan hipertensi ini merupakan
langkah penting untuk mencapai Millennium Development Goals. Berdasarkan hal ini
lah penulis tertarik untuk membuat asuhan kebidanan pada preklamsia/eklamsia

1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan umum
Mahasiswa mampu memberikan asuhan kebidanan pada penderita
preklampsia/eklampsia

1
2

1.2.2 Tujuan khusus


a. Mahasiswa mampu memahami konsep dasar preklampsia/eklampsia
b. Mahasiswa mampu memahami konsep dasar asuhan kebidanan pada
preklampsia/eklampsia
c. Mahasiswa mampu melaksanakan asuhan kebidanan pada penderita
preklampsia/eklampsia
d. Mahasiswa mampu melakukan dokumentasi dengan metode SOAP pada
penderita prek preklampsia/eklampsia lamsia/eklamsia
e. Mampu melakukan pembahasan mengenai konsep dasar dan kasus yang
didapatkan berkaitan dengan asuhan kebidanan pada preklampsia/eklampsia

1.3 Manfaat
1.3.1 Bagi mahasiswa
Mahasiswa diharapkan dapat mengaplikasikan konsep dasar asuhan kebidanan
preklamsia/eklamsia kepada penderita sehingga dapat melakukan asuhan kebidanan
secara kompreshensif dan berkualitas.
1.3.2 Bagi pelayanan kesehatan
Laporan ini diharapkan dapat menjadi bahan acuan untuk meningkatkan kualitas
pelayanan kebidanan.
1.3.3 Bagi institusi
Laporan ini diharapkan dapat bermanfaat untuk menambah referensi khususnya
tentang asuhan kebidanan pada ibu dengan preklamsia/eklamsia
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar Preklamsia/Eklamsia


2.1.1 Pengertian
Preekalamsia adalah penyakit multisistemik yang ditandai dengan timbulnya
hipertensi setelah umur kehamilan 20 minggu, dengan adanya proteinuria, atau jika
tidak ada dapat menunjukkan tanda atau gejala cedera organ (Peres dkk, 2018).
Menurut American College of Obstetrics and Gynaecology (ACOG) preeklamsia
didefinisikan sebagai adanya hipertensi dan proteinuria (≥140mmHg / 90mmHg) atau
tidak adanya proteinuria, hipertensi onset baru dengan memiliki gejalah dari salah satu
berikut ini: trombositopenia, insufisiensi ginjal, gangguan fungsi hati, edema paru, dan
penyebab yang tidak dapat dijelaskan seperti sakit kepala, tidak responsif terhadap
pengobatan dan gejala visual (ACOG, 2019).
Hipertensi muncul setelah usia kehamilan 20 minggu pada wanita yang
sebelumnya mengalami normotensi setidaknya dua kali lebih dari empat jam dan
menghilang sepenuhnya pada minggu ke-6 pascapartum (ACOG, 2019). Eklamsia
adalah kejadian dimana ibu mengalami kejang general yang tidak berhubungan dengan
penyakit lain seperti epilespi dan tumor otak akibat preeklamsi yang tidak segera
ditangani (Meazaw, Chojenta, Muluneh, & Loxton, 2020). Eklampsia merupakan
salah satu penyebab utama kematian ibu, kejang dapat menyebabkan hipoksia parah,
trauma, dan pneumonia aspirasi (ACOG, 2019).

2.1.3 Klasifikasi Preeklamsia


Sekarang ini tidak digunakan lagi istilah preeklamsi ringan atau berat dikarenakan
setiap preeklampsia merupakan kondisi yang berbahaya dan dapat mengakibatkan
peningkatan morbiditas dan mortalitas secara signifikan dalam waktu singkat.
Preeklampsia hanya ada dua kriteria yaitu preeklampsia dan preeklampsia berat,
dengan kriteria diagnosis sebagai berikut: (ACOG, 2019; POGI, 2016)
a. Preeklampsia
1) TD: Sistolik ≥140 mmHg , Diastolik ≥ 90 mmHg, pada UK >20 minggu (dalam
2 kali pengukuran selang 4 jam pd ibu yang sebelumnya normal)

3
4

2) Ekskresi protein dalam urin ≥ 300mg/24 jam atau ≥+1 dipstik, rasio protein:
kreatinin: ≥0,3mg/dl
b. Preeklampsia berat
1) TD: Sistolik ≥ 160 mmHg, Diastolik ≥ 110 mmHg (penegakan diagnosis dapat
dilakukan segera)
2) Pembacaan dipstick reading of 2+ (jika metode lain tidak ada). Protein urine
dapat negatif jika ditemukan hal-hal dibawah ini:
3) Trombositopenia < 100.000
4) Gangguan fungsi hati. Peningkatan kadar transaminase 2x nilai normal, nyeri
perut kuadaran kanan atas atau nyeri epigastrium yang berat yang tidak
merespon dengan pengobatan dan hal tersebut bukan karena penyakit lain
5) Tanda insufisiensi renal, serum kreatinin > 1,1 mg/dl atau meningkat dua kali
padahal sebelumnya tidak memiliki penyakit ginjal
6) Edema paru
7) Gangguan serebral atau gangguan visual

2.1.3 Faktor presdiposisi (Gustri dkk, 2016; Quan, Xu dkk, 2018)


a. Umur >35 tahun
Usia lebih dari 35 tahun terjadi proses degeneratif yang mengakibatkan perubahan
struktural dan fungsional yang terjadi pada pembuluh darah perifer yang bertanggung
jawab terhadap perubahan tekanan darah. Ibu hamil dengan umur lebih dari 35 tahun,
tubuhnya mengalami proses pengapuran. Keadaan ini nantinya akan mempengaruhi
sirkulasi makanan ke janin, yang pada akhirnya akan mempengaruhi kesehatan
janinnya.
b. Overweight (BMI >24kg/m2) dan Obesitas
Kelebihan berat badan meningkatkan risiko terjadinya penyakit kardiovaskuler.
Oleh sebab itu, seseorang yang memiliki berat badan berlebih, akan lebih mudah untuk
mengalami hipertensi dibandingkan dengan orang normal.
c. Riwayat hipertensi
Angka kejadian preeklampsia akan meningkat pada ibu yang menderita hipertensi
kronis, karena pembuluh darah plasenta sudah mengalami gangguan. Hipertensi
disebabkan oleh vasospasme (penyempitan pembuluh darah). Vasospasme itu sendiri

4
5

dapat menyebabkan kerusakan pembuluh darah. Perubahan ini akan menyebabkan


kerusakan endotel dan kebocoran di sel sub-endotel.
d. Nulipara
Penelitian oleh Mayrink et al (2019) menujukkan bahwa nulipara meningkatkan
kemungkinan kejadian preeklamsia. Nulipara ditemukan memiliki kenaikan berat
badan per minggu yang banyak serta diastol ≥ 75 mmHG pada UK 20 minggu, dimana
kedua hal ini berpengaruh pada preeklamsia.
e. Kehamilan kembar
Terjadinya preeklampsia lebih sering pada kehamilan ganda, karena adanya
peregangan uterus yang berlebihan sehingga menyebabkan aliran darah ke uterus
berkurang (Quan et al., 2018)
f. Riwayat IUGR dan riwayat keluarga preeklamsi. Hal ini berkaitan dengan faktor
maldiposisi genetic predipsosisi yang akan dijelaskan dibawah (POGI, 2016)
g. Riwayat penyakit
Riwayat penyakit seperti kelainan kardiovaskuler, pregestational diabetes,
gestational diabetes thrombophilia, systemic lupus erythematosus, kelainan ginjal
dapat meningkatkan kejadian preekalmpsia. Hal ini berkaitan dengan perfusi plasenta
yang berkurang (ACOG, 2019)
h. Lain-lain seperti: sindrom polikistik ovarium, maternal preterm, donor
inseminasi/donasi oosit, donasi embrio, merokok, infeksi maternal, dll (POGI,
2016)

2.1.4 Patofisiologi
Meskipun penyebab preeklampsia masih belum diketahui, ada beberapa
mekanisme preeklamsia yaitu iskemia uteroplasenta kronk, maladaptasi imun,
toksisitas lipoprotein densitas sangat rendah, genetic imprinting, peningkatan
apoptosis atau nekrosis trofoblas, dan respons inflamasi ibu yang berlebihan terhadap
trofoblas. Pengamatan yang lebih baru menunjukkan peran yang mungkin
menyebabkan ketidakseimbangan faktor angiogenik dalam patogenesis preeklamsia.
Ada kemungkinan bahwa kombinasi dari beberapa mekanisme diatas mungkin
bertanggung jawab untuk memicu spektrum klinis dari preeklamsia. Sebagai contoh,
terdapat bukti klinis dan eksperimental yang menunjukkan bahwa iskemia
6

uteroplasenta menyebabkan peningkatan konsentrasi faktor antianggogenik dan


ketidakseimbangan angiogenik dalam sirkulasi (ACOG, 2019)
Faktor maladaptasi menurut (Indah & Apriliana, 2016) adalah sebagai berikut
a. Faktor imunologi
Kegagalan respon imun maternal dapat secara langsung menyebabkan invansi
tromboplastik dan gangguan fungsi plasenta. Kegagalan respon imun ini menjadi
postulat yang menyebabkan berkurangnya human leukocyte antigent (HLA)-G protein
yang normalnya diproduksi untuk membantu ibu mengenal komponen imunologi
asing plasenta atau berkurangnya formasi dari bloking antibody untuk menekan atau
imunoprotec dari imun asing plasenta.
b. Faktor genetic predipsosisi
Preeklamsi diduga berhubungan dengan single recesives gene.dominant gen
dengan incomplete penetrance atau multifakrorial. Penelitian lain mengatakan pasien
dengan riwayat mempunyai anak intra uterine growth retardation (IUGR)
dipertimbangkan mempunyai resiko untuk terjadi hipertensi pada kehamilan.
c. Faktor media-vaskular
Adanya defek vaskuler menyebabkan penyakit seperti diabetes mellitus, hipertensi
kronik, penyakit gangguan vaskuler, resistensi insulin dan obesitas menyebabkan
perfusi plasenta yang berkurang sehingga meningkatkan resiko preeklamsia. Hal ini
menjadi postulat berkembangnya preeklamsia menjadi tiga cara yaitu: defective
plasentation, plasental ischemia, endothelial cell dysfunction. Teori yang sekarang
dipakai sebagai penyebab preeklamsia adalah teori “iskemia plasenta”.

2.1.5 Tanda dan Gejala


Tanda umum yang mudah dikenali pada preeklampsia adalah mungkin adanya
oedema pada tungkai, namun oedema belum tentu terjadi pereeklampsi. Pada PEB,
oedem bisa ditemukan tidak hanya pada tungkai, namun bisa ditemukan pada perut,
wajah, dan bagian lain. Jika ibu sudah mengalami impending eklampsia, ibu dapat
mengalami gejala seperti mata berkunang-kunang, nyeri epigastrium, dan mual-
muntah (Fatmawati et al., 2017)
Jika preeklampsi tidak segera dilakukan penanganan, maka dapat menyebabkan
eklampsia. Tanda terjadinya eklamsia adalah new onset kejang tonik-klonik, fokal,
maupun multifokal tanpa adanya kondisi penyebab lain seperti epilepsi, iskemia dan
7

infark arteri serebral, perdarahan intrakranial, atau penggunaan obat. Pada beberapa
kasus new onset terjadi setelah 48-72 jam post partum atau kejang dapat terjadi selama
pemberian magnesium sulfat (ACOG, 2019)

2.1.6 Diagnosis
a. Anamnesis dan pemeriksaan fisik
Ketika ibu UK ≥ 20 minggu datang, kita dapat melihat keadaan umum klien, jika
pasien telah mengalami impending eklampsia mungkin telah terjadi penurunan
kesadaran, namun pada preeklampsi biasanya ibu masih sadar. Ibu dengan preeklampsi
bisa datang tanpa keluhan, atau bengkak pada tungkai dan bagian lain. Pada gejala
berat, ibu dapat mengeluh pusing, sakit kepala, mual-muntah, nyeri epigastrium, dan
gangguan penglihatan (Fatmawati et al., 2017)
b. Pemeriksaan fisik
Kita dapat melakukan palpasi pada tungkai dan bagian lain untuk melihat oedem
(namun tanpa palpasi biasanya sudah terlihat). Dilakukan pemeriksaan tekanan darah,
jika ditemukan sistol ≥140mmHg dan diastol ≥80mmHg dapat dilakukan pemeriksaan
tensi ulang dengan jarak 4 jam, jika tetap atau bertambah dapat dikatakan preeklampsia
(jika sebelumnya ibu normotensi). Pada sistol ≥160mmHg dan diastol ≥110mmHg
dapat segera dikonfirmasi dan dilakukan intervensi (ACOG, 2019)
c. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan dipstick urine dapat dilakukan, dikatakan preeklampsia jika ≥ +1,
pemeriksaan urine jika ditemukan ekskresi protein ≥300mg/24 jam, protein/kreatin
rasio ≥0.3 mg/dL. Jika proteinuria tidak ditemukan dapat dilakukan pemeriksaan:
trombosit (<100.000), serum kreatinin (>1,1 mg), evaluasi konsentrasi darah pada hati
(dapat meningkat 2x dari konsentrasi normal). Dapat ditemukan edema paru dan
komplikasi sindrom HELLP (ACOG, 2019; POGI, 2016). Pemeriksaan gula darah
dapat dilakukan untuk mengkaji risiko DM/diaberes gestasional

2.1.7 Komplikasi
Preeklampsia yang tidak ditangani dapat menyebabkan eklampsia yang
menyebabkan kejang tonik-klonik, fokal, maupun multifokal (ACOG, 2019). Jika
berlangsung lama dapat menyebabkan kerusakan organ seperti edema paru, gagal
ginjal dan gagal hati, penyakit jantung, gangguan pembekuan darah, solusio plasenta,
stroke hemoragik dan Sindrom HELLP hingga jatuh dalam keadaan koma (Hemolysis,
8

Elevated Liver Enzymes and Low Platelet Count Syndrome). Komplikasi yang dapat
terjadi pada janin adalah pertumbuhan janin terhambat, lahir prematur, lahir dengan
berat badan rendah (IUGR), dan neonatal respiratory distress syndrome (NRDS)
(Lukas, 2016).

2.1.7 Deteksi dini


Deteksi dini dapat dilakukan dengan mengkaji secara lengkap faktor-faktor risiko
yang dialami ibu. ANC yang teratur dapat dilakukan untuk mengetahui gejala awal
preeklampsia sehingga dapat langsung diberikan pengobatan (Lukas, 2016).
Ada beberapa metode skrninng yang dapat dilakukan oleh bidan yaitu pengukuran
tekanan arteri rata-rata (Mean Arterial Presure (MAP)), pemeriksaan perubahan
tekanan darah saat tidur miring dan telentang (Roll Over Test (ROT)) dan pemeriksaan
Indeks Masa Tubuh (IMT). MAP dan ROT merupakan suatu metode pemeriksaan
untuk menggambarkan keadaan haemodinamik pada pasien hamil. MAP diukur
dengan menjumlahkan 2x tekanan darah sistole dan tekanan darah diastole kemudian
dibagi 3, hasil dikatakan abnormal bila nilainya lebih dari 90 mmHg. Pengukuran ROT
yang dilakukan dengan membandingkan pengukuran tekanan darah saat tidur miring
dan telentang, dikatakan abnormal jika terdapat perbedaan tekanan darah lebih dari 15
mmHg pada kedua pengukuran tersebut. Dan IMT dihitung dari kuadrat tinggi badan
dalam meter dibagi dengan berat badan dalam kilogram. IMT dikatakan beresiko bila
nilainya lebih dari 30 yang artinya pasien masuk dalam kelompok obesitas.

2.1.9 Pencegahan (POGI, 2016; Sammour et al., 2011)


a. Deteksi dini yang baik adalah pencegahan yang paling utama dalam preeklampsi,
sehingga jika ditemukan ketidaknormalan dapat segera dilakukan penanganan
b. Pemberian suplemen kalsium dengan dosis 1,5-2 mg per hari bagi semua ibu hamil
c. Pemberian dosis rendah acetylsalicylic acid (aspirin, 75 mg) pada ibu hamil
berisko tinggi
d. Ibu hamil yang mendapatkan obat antihipertensi sebelumnya, ketika nifas tetap
melanjutkan terapi antihipertensi
e. Pemberian vitamin D, individual/kombinasi vitamin C dan E, serta obat diuretik
tidak dianjurkan sebagai pencegahan preeklampsia.
f. Isirahat bukan pencegahan primer, bedrest total tidak memperbaiki luaran
kehamilan, serta diet garam tidak membantu upaya pencegahan.
9

2.1.8 Penatalaksanaan
a. Di faskes primer
Ketika dilakukan pengkajian dan ditemukan ketidaknormalan atau salah satu tanda
preeklampsia dan ibu dan janin masih dalam keadaan baik, bidan dapat melakukan
rujukan ke faskes lanjutan atau ke poliklinik agar ibu mendapatkan segera pengobatan.
Jika ibu datang dalam keadaan PEB, impending eklampsia, atau eklampsia maka
bidan dapat melakukan pemberian magnesium sulfat melalui IV atau IM (rekomendasi
strong oleh WHO) sebagai loading dose (Sammour et al., 2011). Bidan juga sambil
melakukan stablisasi pasien seperti memasang oksigen jika diperlukan dan melakukan
persiapan rujukan. Jika perjalanan rujukan jauh dan waktu pemberian loading doses
sudah habis, maka dapat diberikan maintenance dose .
b. Di faskes lanjutan (Lukas, 2016)
1) UK < 37 minggu
a) Perawatan polikinik (manajemen ekspektatif)
Manajemen ekspestatif dilakukan apabila jika kondisi ibu dan janin baik.
Ibu dianjurkan kontrol 2 kali perminggu, melakukan evaluasi gejala
pemberatan preeklmapsia (tekanan darah, tanda impending, edemia paru,
melakukan cek laboratorium (trombosit, serum kreatinin, albumin, (AST/ALT)
setiap minggu, evaluasi kondisi janin (hitung fetal kick count/hari,
kesejahteraan janin (NST dan USG) 2 kali/minggu, evaluasi pertumbuhan
janin setaip 2 minggu), dan diberikan obat antihipertensi. Kehamilan
dipertahankan hingga usia kehamilan 37 minggu
b) Perawatan konservatif
Perawatan konservatif dilaksanakan pada ibu dengan UK < 34 minggu
yang mengalami pemberatan gejala seperti PEB. Ibu dilakukan terapi MgSO4
profilkasis (loading dose dan maintenance dose). Jika gejala tidak bertambah
parah, maka cukup dilakukan perawatan konservatif seperti evaluasi di kamar
bersalin selama 24-48 jam, rawat inap, berhentikan MgSO4 setelah 1x24 jam,
pemberian antihipertensi jika TD ≥ 160/110, pemberian pematangan paru 2x24
jam, dan evaluasi maternal-fetal secara berkala
c) Terminasi
Pada ibu UK >34 minggu yang mengalami PEB maka dilakukan terminasi
setelah stabilisasi. Namun jika UK <34 minggu dapat dilakukan terminasi jika
10

ditemukan hal-hal berikut ini: eklampsia, edema paru, DIC, HT berat/tidak


terkontrol, gawat janin, solusio plasenta, IUFD, janin tidak viabel, gejala
persisten, sindrom HELLP, pertumbuhan janin terhambat, severe
olygohydramnion, dan gangguan renal berat. Sebelum terminasi memberikan
terapi untuk pematangan paru (inj. Dexamethason IM 2x6 mg atau
betamethason IM 1x12 mg) selama 2x24 jam.
2) UK >37 minggu.
Pada usia kehamilan diatas 37 minggu disarankan untuk terminasi kehamilan
untuk mencegah preeklampsia menjadi berat namun bayi sudah mature untuk
hidup diluar kandungan.
c. Cara pemberian MgSO4
1) Loading dose/dosis awal
Pemberian MgSO4 diberikan sebagai pencegahan preeklampsi agar tidak
menjadi eklampsi dan sebagai pengobatan eklampsi. Pemberian magnesium sulfat
melalui IV atau IM merupakan rekomendasi kuat dari WHO (Sammour et al.,
2011). Di Indonesia pemberian IM sudah dikurangi dikarenakan mengakibatkan
nyeri. Pemberian loading dose/dosis awal dilakukan dengan pemberian dosis 4
gram MgSO4 40% dalam 10cc selama 5-10 menit (Irawati dkk, 2018) atau
pemberian dosis 4 gram MgSO4 40% dalam 100cc NaCl drip/habis sebelum 30
menit (Lukas, 2016).
2) Maintenance dose/dosis pertahanan
Pemberian maintenance dose dilakukan dengan pemberian MgSO4 6 gram
dalam larutan 500cc Ringer laktat dan dipantau dalam waktu 4-6 jam dan diberikan
selama 24 jam
Bila terdapat kejang ulangan dapat diberikan 2g MgSO4 40% IV. Pemeriksaan
tanda-tanda intoksikasi magnesium dilakukan pada setiap pemberian MgSO4 ulangan
(Lukas, 2016). Pemberian antidotum MgSO4 bertujuan mengantisipasi bila terjadi
intoksikasi, dapat diberikan glukonas 10% dalam 10 cc/1 gram IV selama 3 menit
sampai pernafasan membaik(Apriyana, 2021)
11

2.2 Konsep Dasar Manajemen Asuhan Kebidanan pada Preklamsia/Eklamsia


Tanggal pengkajian :
Waktu pengkajian :
Nama pengkaji :
No Register :

2.2.1 Pengkajian
1. Data subjektif
a. Identitas
Identitas meliputi nama, umur, alamat, pendidikan, pekerjaan, agama. Umur
perlu dikaji karena umur >35 th lebih berisiko mengalami preeklampsia, ada
beberapa litarur juga menyebutkan usia <20 th juga menjadi risiko.
b. Alasan kunjungan
Alasan kunjungan bervariasi tergantung kondisi ibu seperti kunjungan ulang
ANC, keluhan tungkai bengkak, sakit kepala, pandangan kabur, nyeri epigastrium,
mual-muntah. Di rumah sakit dapat berupa rujukan dari faskes primer, kunjungan
ulang poliklinik (pasien pada manajemen ekspektatif), atau kasus gawat darurat
eklampsia (kejang)
c. Keluhan utama
Pasien preeklampsi dapat tidak mempunyai keluhan atau sekedar oedema, jika
parah baru biasanya mengalami keluhan sakit kepala, pandangan kabur, nyeri
epigastrium, mual-muntah, hingga kejang.
d. Riwayat kehamilan saat ini
Riwayat kehamilan saat ini yang perlu dikaji adalah janin tunggal/multiple,
perkembangan janin (TBJ, DJJ, gerak janin), dan hasil ukuran TD yang lalu.
Kehamilan kembar dan IUGR merupakan faktor risiko preeklampsia. Gawat janin
merupakan salah satu alasan untuk dilakukan terminasi. Jika perhitungan TD yang
lalu nilai MAP >90 maka ada kemungkinan preeklampsi sudah lama terjadi.
e. Riwayat menstruasi
Riwayat menstruasi perlu dikaji untuk menghitung usia kehamilan dan tafsiran
persalinan. Preeklampsia dan eklampsia terjadi pada UK > 20 minggu. Usia
kehamilan juga dipakai sebagai pertimbangan untuk melakukan tindakan.
12

f. Riwayat obstetrik
Riwayat kejadian preeklampsi pada kehamilan selanjutnya merupakan salah
satu faktor risiko kuat preeklampsia. Kenaikan berat badan perlu dikaji. Kejadian
preeklampsia pada nulipara lebih banyak dibanding yang lain.
g. Riwayat penyakit
Ibu dengan kelainan kardiovaskuler, pregestational diabetes, gestational
diabetes thrombophilia, systemic lupus erythematosus, kelainan ginjal, sindrom
polikistik ovarium, dan infeksi maternal dapat meningkatkan kejadian
preekalmpsia
h. Riwayat penyakit keluarga
Keluarga yang memiliki riwayat diabetes dan hipertensi dapat meningkatkan
kemungkinan diabetes dan hipertensi pada ibu, dimana ini saling berkaitan dengan
preeklampsia. Keluarga riwayat preeklampsia juga merupakan faktor risko.
i. Data psikososial
Perkembangan psikologis ibu hamil dapat dikaji seperti bagaimana perasaannya
saat kehamilan saat ini, karena pengobatan preeklampsi cukup panjang sehingga
diperlukan semangat yang kuat dari ibu. Pengkajian psikologis ibu hamil dapat
dilihat juga sesuai perubahan psikologis sesuai trimester.
j. Gaya hidup
Pasien perokok pasien/pasif (misal suami merokok) merupakan faktor risiko
k. Pola fungsional
1) Nutrisi. Pasien dengan pola makan tidak sehat dapat menyebabkan obseitas
yang mana merupakan faktor risiko preeklampsi.
2) Personal hygiene. Sebagai pengkajian umum
3) Seksual. Ibu hamil TM 3 (<37 minggu) dianjurkan tidak melakukan
hubungan seksual karena dapat menyebabkan persalinan preterm
2. Data objektif
a. Pemeriksaan umum
 Keadaan umum: bervariasi tergantung klasifikasinya dari baik hingga buruk
 Kesadaran: bervariasi tergantung klasifikasinya. Compos mentis umumnya
pada pasien preklampsia, namum pada eklampsia yang lama hingga berat
dapat hingga
 Berat badan: obsesitas berisiko
13

 TTV: bervariasi tergantung klasifikasinya: preeklampsia ≥ 140/90mmHg


dan preeklampsia berat ≥ 160/110mmHg
 Suhu jika >37,5oC kemungkinan infeksi maternal (faktor risiko), nadi 80-
100x/m, respirasi pada impending dan eklampsi kadang mengalami sesak
nafas >24x/m
b. Pemeriksaan fisik
 Wajah: penampakan wajah klien dapat baik/lemah, pada PEB oedem bisa
terjadi pada wajah, ruam merah tanda seperti kupu-kupu merupakan gejala
lupus yang merupakan faktor risiko
 Mata: konjungtiva anemis/tidak sebagai pemeriksaan umum, sklera bisa
ikterik menandakan gangguan hati sebagai komplikasi preeklampsi
 Leher: ada pembengkakan kelenjar tiroid/tidak sebagai pemeriksaan umum
 Payudara: adannya benjolan/tidak, apakah sudah keluar kolostrum sebagai
pemeriksaan umum
 Abdomen: pemeriksaan leopold 1-4, TFU untuk memperkirakan TBJ (IUGR
risiko), bayi kembar risiko. Pemeriksaan DJJ <120x/m atau >160x/m
merupakan tanda gawat janin (indikasi terminasi)
 Genitalia: apakah ada keputihan abnormal, apakah vulva vagina oedema,
apakah ada varises, apakah ada nyeri tekan bartholini, mungkin telah
terpasang DC
c. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan dipstick urine (jika pemeriksaan lain tidak memadai), ekskresi
protein ≥300mg/24 jam, protein/kreatin rasio ≥0.3 mg/dL. Jika proteinuria tidak
ditemukan dapat dilakukan pemeriksaan: trombosit (<100.000), serum kreatinin
(>1,1 mg), evaluasi konsentrasi darah pada hati (dapat meningkat 2x dari
konsentrasi normal), dapat ditemukan edema paru dan komplikasi sindrom HELLP,
pemeriksaan gula darah.

2.2.2 Intrepretasi data


Diagnosa: GPapah usia kehamilan xx minggu janin tunggal/multiple hidup/tidak dengan
preeklampsia/preklampsia berat/eklampsia
Masalah: sakit kepala, pandangan kabur, nyeri epigastrium
14

2.2.3 Diagnosa dan masalah potensial


Diagnosa potensial: eklampsia
Masalah potensial: kejang, koma, gawat janin

2.2.4 Kebutuhan segera


Preklampsia berat dan Eklampsia dilakukan penanganan segera dengan pemberian
loading dose: dosis 4 gram MgSO4 40% dalam 10cc IV selama 5-10 menit atau
pemberian dosis 4 gram MgSO4 40% dalam 100cc NaCl drip/habis sebelum 30 menit.
Hal ini dilakukan di fakses primer maupun sekunder.

2.2.5 Perencanaan
1. Menjelaskan hasil pemeriksaan pada ibu dan keluarga
R/ Pasien dan keluarga harus diberikan informasi secara singkat namun jelas, cara
penyampaian juga harus caring, agar asuhan dapat berjalan dengan baik dan
komprehensif.
Faskes primer
2. Melakukan rujukan ke fasilitas lebih tinggi
R/ Preeklampsia bukan wewenang bidan. Jika keadaan ibu dan janin masih baik
(preeklampsia) maka dapat dilakukan rujukan ke poliklinik, namun jika keadaan sudah
berat (PEB), gawat janin, impending eklampsi, atau lakukan penanganan segera dan
stabilisasi pasien. Jika tempat rujukan jauh dapat melanjutkan maintenance dose.
Faskes sekunder
2. Melakukan kolaborasi dengan dokter spesialis obstetri dan ginekologi dalam
manajemen ekspestatif
R/ Dilakukan pada ibu UK < 37 minggu pada keadaan ibu dan janin masih baik.
Bertujuan memperbaiki luaran perinatal dengan mengurangi morbiditas neonatal serta
memperpanjang usia kehamilan tanpa membahayakan ibu. Hal-hal yang dilakukan
adalah:
a. Menganjurkan ibu kontrol 2x/minggu untuk evaluasi pemberatan preeklampsi
dan menghitung gerakan janin tiap hari
b. Kolaborasi dengan pihak laboratorium untuk pengecekan trombosit, serum
kreatinin, albumin, (AST/ALT) setiap minggu
15

c. Kolaborasi dengan dokter obgyn dalam pemberian obat antihipertensi dosis


rendah (aspirin 75mg/hari) dan evaluasi kesejahteraan janin melalui NST dan
USG 2x/minggu
d. Memberitahukan pada ibu agar segera pergi ke fasilitas kesehatan jika
menemukan tanda pemberatan preeklampsi seperti TD meningnkat, impending
(sakit kepala, pandangan kabur, nyeri epigastrium, mual-muntah)
3. Melakukan kolaborasi dengan dokter spesialis obstetri dan ginekologi dalam
perawatan konservatif
R/ Dilaksanakan pada ibu dengan UK <34 minggu yang mengalami pemberatan gejala
seperti PEB, mempunyai tujuan yang sama dengan manajemen ekspestatif. Hal-hal
yang dilakukan adalah:
a. Kolaborasi dengan dokter obgyn dalam pemberian MgSO4 profilaksis
(loading dose dan maintenance dose 1x24 jam), pemberian obat pematang paru
janin 2x24 jam, dan pemberian antihipertensi jika TD ≥ 160/110
b. Evaluasi ibu dan janin secara berkala (observasi TTV dan DJJ)
c. Evaluasi di kamar bersalin 24-48 jam/ruang rawat inap
4. Melakukan kolaborasi dengan dokter spesialis obstetri dan ginekologi dalam
persiapan terminasi
R/ Ibu dengan UK > 37 minggu dapat segera dilakukan terminasi karena janin sudah
mature dan menurunkan kemungkinan preeklampsia tambah parah. Pada UK < 34mg
dilakukan terminasi jika membahayakan ibu dan janin
a. Menjelaskan pada ibu bahwa ibu dianjurkan untuk terminasi kehamilan untuk
kebaikan ibu dan janin
b. Kolaborasi dengan dokter obgyn dalam pemberian obat-obatan untuk
merangsang persalinan seperti misoprostol 2x dengan jarak 6 jam untuk
pematangan serviks. Drip oksistosin 1-4miliunit/menit dan dinaikkan dosisnya
secara perlahan dalam interval 20-30 menit sampai mencapai pola persalinan
normal (his 3-4x dalam 10 menit). Dosis maksimum 20-32mU/menit dengan
total pemberian tidak boleh dati 5 unit per hari. Dosis dikurangi secara perlahan
jika proses persalinan mengalami kemajuan. Jika induksi persalinan gagal,
maka dilakukan SC.
c. Kolaborasi dengan dokter obgyn dalam terapi untuk pematangan paru (inj.
Dexamethason IM 2x6 mg atau betamethason IM 1x12 mg) selama 2x24 jam.
16

5. Memberi dukungan emosional kepada ibu


R/ Pasien dengan preeklampsia mungkin dapat mengalami ketakukan karena
memikirkan dirinya dan janinnya

2.2.6 Pelaksanaan
Pelaksanaan tindakan dilaksanakan berdasarkan rencana asuhan kebidanan yang
telah ditetapkan sebelumnya untuk mencapai tujuan yang diharapkan sesuai dengan
kriteria yang telah ditetapkan.

2.2.7 Evaluasi
Evaluasi bertujuan untuk menilai apakah tindakan yang di berikan sudah sesuai dengan
perencanaan serta menilai apakah rencana asuhan yang di berikan cukup efektif. Hasil
evaluasi yang diharapkan pada preeklampsia adalah adalah:
1. Pasien memahami dan menerima kondisi dirinya
2. Pasien dapat dirujuk tepat waktu
3. Pada manajemen ekspestatif, ibu dapat dipertahankan kehamilannya hingga UK 37
minggu
4. Pada perawatan konservatif, ibu dapat diperahankan kehamilanya hingga UK >34
minggu
5. Pada terminasi, ibu dapat menerima keadaan dirinya dan terminasi berjalan lancar
(ibu dan janin sehat)
6. Ibu terlihat lebih tenang

2.2.8 Pendokumentasian
Asuhan kebidanan yang diberikan kepada klien membutuhkan pencatatan dan
pelaporan yang dapat digunakan sebagai acuan untuk menuntut tanggung jawab dan
tanggung gugat dari berbagai permasalahan yang mungkin dialami oleh klien dan
bidan berkaitan dengan pelayanan yang diberikan. Dokumentasi kebidanan juga
dipakai sebagai informasi tentang status kesehatan pasien pada semua kegiatan asuhan
kebidanan yang dilakukan oleh bidan (Handayani & Mulyati, 2017)
DAFTAR PUSTAKA

ACOG. (2019). ACOG Practice Bulletin No. 202: Gestational Hypertension and
Preeclampsia. Obstetrics and Gynecology, 133(1), e1–e25.
https://doi.org/10.1097/AOG.0000000000003018
Apriyana, N. (2021). Peran Magnesium Sulfat Dalam Penatalaksanaan Preeklampsia.
Jurnal Penelitian Perawat Profesional, 3(1), 9–20. Retrieved from
http://jurnal.globalhealthsciencegroup.com/index.php/JPPP/article/download/83
/65
Fatmawati, L., Sulistyono, A., Basuki Notobroto, H., Magister Ilmu Kesehatan
Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga Surabaya, P.,
Soetomo Surabaya Bagian Obstetri dan Ginekologi KFM, R., & Biostatistika
dan Kependudukan FKM Unair Surabaya, D. (2017). Pengaruh Status
Kesehatan Ibu Terhadap Derajat Preeklampsia/Eklampsia di Kabupaten Gresik.
Sistem Kesehatan, 20(2), 52–58. Retrieved from
https://media.neliti.com/media/publications/63735-ID-pengaruh-status-
kesehatan-ibu-terhadap-d.pdf
Gustri, Y., Januar Sitorus, R., & Utama, F. (2016). Determinants Preeclampsia in
Pregnancy At Rsup Dr. Mohammad Hoesin Palembang. Jurnal Ilmu Kesehatan
Masyarakat, 7(3), 209–217. https://doi.org/10.26553/jikm.2016.7.3.209-217
Handayani, S. R., & Mulyati, T. S. (2017). Bahan Ajar Dokumentasi Kebidanan (1st
ed.). Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Indah, S. N., & Apriliana, E. (2016). Hubungan antara Preeklamsia dalam Kehamilan
dengan Kejadian Asfiksia pada Bayi Baru Lahir. Majority, 5(5), 55–60.
https://doi.org/10.31539/jks.v2i2.651
Irawati, I., Ahmad, M., & Syarif, S. (2018). Optimasi sistem pakar deteksi dini
preeklampsia berbasis mobile di puskesamas Jumpandang baru Makassar.
Jurnal Ners Dan Kebidanan (Journal of Ners and Midwifery), 5(2), 159–162.
https://doi.org/10.26699/jnk.v5i2.art.p159-162
Lukas, E. (2016). PENANGANAN TERKINI PREEKLAMSIA. Divisi
Fetomaternal, Departemen Obgyn FK Unhas / RS Dr.Wahidin Sudirohusodo
Makassar. Retrieved from https://med.unhas.ac.id/obgin/wp-
content/uploads/2016/08/PENANGANAN-TERKINI-PEB-EL-final.pdf

17
18

Mayrink, J., Souza, R. T., Feitosa, F. E., Rocha Filho, E. A., Leite, D. F., Vettorazzi,
J., … Silva, M. A. (2019). Incidence and risk factors for Preeclampsia in a
cohort of healthy nulliparous pregnant women: a nested case-control study.
Scientific Reports, 9(1), 1–9. https://doi.org/10.1038/s41598-019-46011-3
Meazaw, M. W., Chojenta, C., Muluneh, M. D., & Loxton, D. (2020). Systematic
and meta-analysis of factors associated with preeclampsia and eclampsia in sub-
Saharan Africa. PLoS ONE, Vol. 15.
https://doi.org/10.1371/journal.pone.0237600
https://doi.org/10.26699/jnk.v6i1.ART.p027
Peres, G., Mariana, M., & Cairrão, E. (2018). Pre-Eclampsia and Eclampsia: An
Update on the Pharmacological Treatment Applied in Portugal. Journal of
Cardiovascular Development and Disease, 5(1), 3.
https://doi.org/10.3390/jcdd5010003
POGI. (2016). Preeklamsi PNPK POGI/Kemenkes 2016. 1–57.
Quan, L. M., Xu, Q. L., Zhang, G. Q., Wu, L. L., & Xu, H. (2018). An analysis of
the risk factors of preeclampsia and prediction based on combined biochemical
indexes. Kaohsiung Journal of Medical Sciences, 34(2), 109–112.
https://doi.org/10.1016/j.kjms.2017.10.001
Sammour, M. B., El-Kabarity, H., Fawzy, M. M., & Schindler, A. E. (2011). WHO
recommendations for Prevention and treatment of pre-eclampsia and eclampsia.
In Journal of Steroid Biochemistry & Molecular Biology (Vol. 97). WHO.

Anda mungkin juga menyukai