Anda di halaman 1dari 9

ESSAY

ASUHAN KEBIDANAN KEHAMILAN KOMPLEKS

KUALITAS PELAYANAN ANC DI INDONESIA DALAM MELAKUKAN DETEKSI


DINI PREEKLAMPSIA

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Profesi


Asuhan Kebidanan Kehamilan Kompleks

Dosen Pengampu:
Farida Fitriana., S.Keb., Bd., M.Sc.

Disusun Oleh :
Dian Hosiana Pangaribuan
011911223008

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIDAN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2021
Bagaimana kualitas pelayanan ANC di Indonesia dalam melakukan deteksi
dini preeklampsia?

PENDAHULUAN
Preeklampsia/eklampsia merupakan suatu penyakit yang unik karena hanya dapat terjadi pada
wanita yang sedang hamil (Fatmawati et al., 2017). Pre-eklampsia dan eklampsia adalah dua
gangguan hipertensi kehamilan yang dianggap sebagai salah satu penyebab utama kematian
ibu dan perinatal di seluruh dunia (Peres dkk, 2018). Gangguan hipertensi pada kehamilan
dapat menyebabkan morbiditas berat, disabilitas jangka panjang dan kematian pada ibu dan
atau janin. Di Afrika dan Asia, hampir satu dari 10 ibu meninggal yang meninggal berkaitan
dengan gangguan hipertensi kehamilan (Sammour dkk, 2011). Data kematian ibu di
Indonesia yang terbaru menunjukkan bahwa penyebab kematian Ibu nomor satu di Indonesia
adalah preeklampsia, dengan menyumbang angka sebesar 27,1% (Surya, 2021).

Kematian akibat pre-eklapmsia dan eklapmsia sebenarnya dapat dihindari melalui perawatan
yang tepat waktu dan efektif (Sammour dkk, 2011). Kunjungan kehamilan / ANC (Antenatal
Care) merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan sebagai pencegahan awal dari
preeklampsia (Kartika dkk, 2018). Ibu yang rutin melakukan kunjungan antenal diharapkan
dapat menurunkan angka kejadian preeklampsia dengan melakukan deteksi dini sehingga ibu
dapat diberikan pengobatan segera jika ditemukan adanya kelainan. Namun dari 7 penelitian
faktor risiko preeklampsia di Indonesia yang saya baca, 5 diantaranya tidak menemukan
hubungan yang signifikan pada ibu yang rutin dan tidak rutin melakukan ANC. Ibu yang
rutin melakukan ANC juga mengalami preeklampsia yang sampai dirawat di rumah sakit.
Sebenarnya bagaimana kualitas pelayanan ANC di Indonesia dalam melakukan deteksi dini
preeklampsia?

PEMBAHASAN
Preeklampsia adalah penyakit multisistemik yang ditandai dengan timbulnya hipertensi
setelah umur kehamilan 20 minggu, dengan adanya proteinuria, atau jika tidak ada dapat
menunjukkan tanda atau gejala cedera organ (Peres dkk, 2018). Menurut American College
of Obstetrics and Gynaecology (ACOG) preeklamsia didefinisikan sebagai adanya hipertensi
dan proteinuria (≥140mmHg / 90mmHg) atau tidak adanya proteinuria, hipertensi onset baru
dengan memiliki gejalah dari salah satu berikut ini: trombositopenia, insufisiensi ginjal,
gangguan fungsi hati, edema paru, dan penyebab yang tidak dapat dijelaskan seperti sakit
kepala, tidak responsif terhadap pengobatan dan gejala visual (ACOG, 2019). Preeklampsia
yang tidak ditangani dapat menyebabkan eklampsia yang menyebabkan kejang tonik-klonik,
fokal, maupun multifokal (ACOG, 2019). Jika berlangsung lama dapat menyebabkan
kerusakan organ seperti edema paru, gagal ginjal dan gagal hati, penyakit jantung, gangguan
pembekuan darah, solusio plasenta, stroke hemoragik dan Sindrom HELLP hingga jatuh
dalam keadaan koma (Hemolysis, Elevated Liver Enzymes and Low Platelet Count
Syndrome). Komplikasi yang dapat terjadi pada janin adalah pertumbuhan janin terhambat,
lahir prematur, lahir dengan berat badan rendah (IUGR), dan neonatal respiratory distress
syndrome (NRDS) (Lukas, 2016). Selain kematian pada ibu dan janin, preeklampsia juga
menyebabkan morbiditas dan disabilitas jangka panjang yang dapat mempengaruhi kualitas
hidup seseorang.

Dengan komplikasi yang sangat berat dan kejadiannya sangat banyak, pencegahan menjadi
hal yang utama dalam usaha mengurangi angka kejadiannya. Perhitungan risiko pada
trimester pertama menjadi yang paling efektif dalam metode pencegahan preeklampsi.
Tujuan diagnosis dini adalah untuk memulai terapi pencegahan dengan pemberian 100 mg
asetilsalisilat (ASS, aspirin) sebelum 16 minggu kehamilan (penurunan risiko preeklamsia
yang parah). Tiga fokus utama dalam deteksi dini adalah mengkaji secara lengkap faktor-
faktor risiko, parameter biofisik seperti tekanan darah, serta penentuan biokimia parameter
(Mikat et al., 2012). Beberapa faktor risiko yang dapat membantu bidan dalam menepis
kemungkinan preeklampsia adalah faktor umur (<20th, >35th), obesitas, riwayat hipertensi,
riwayat keluarga hipertensi/preeklampsia, kehamilan kembar, riwayat penyakit seperti
kelainan kardiovaskuler, pregestational diabetes, gestational diabetes thrombophilia, systemic
lupus erythematosus, kelainan ginjal, dll (Gustri dkk, 2016; Quan, Xu dkk, 2018).

Hal lain yang dapat dilakukan oleh bidan adalah paramter biofisik seperti pengkuran tensi.
Bidan dapat melakukan pengukuran tekanan arteri rata-rata (Mean Arterial Presure (MAP)),
pemeriksaan perubahan tekanan darah saat tidur miring dan telentang (Roll Over Test
(ROT)). MAP dan ROT merupakan suatu metode pemeriksaan untuk menggambarkan
keadaan haemodinamik pada pasien hamil. MAP diukur dengan menjumlahkan 2x tekanan
darah sistole dan tekanan darah diastole kemudian dibagi 3, hasil dikatakan abnormal bila
nilainya lebih dari 90 mmHg. Pengukuran ROT yang dilakukan dengan membandingkan
pengukuran tekanan darah saat tidur miring dan telentang, dikatakan abnormal jika terdapat
perbedaan tekanan darah lebih dari 15 mmHg pada kedua pengukuran tersebut.

Deteksi dini preeklampsia sebenarnya cukup mudah dilakukan, namun mengapa angka
kejadian preeklampsia semakin meningkat? Apakah deteksi dini yang kita lakukan tidak
efektif atau mungkin kualitas pelayanan antenal dalam deteksi dini masih buruk? Dari 7
penelitian faktor risiko preeklampsia di Indonesia yang saya baca, 5 diantaranya tidak
menemukan hubungan yang signifikan pada ibu yang rutin (≥4) dan tidak rutin melakukan
ANC (Faiqoh & Hendrati, 2018; Fuji, 2015; Gamadarenda et al., 2017; Gustri et al., 2016;
Karima et al., 2015). Hal ini tidak sesuai dengan pernyataan kunjungan kehamilan/ANC
(Antenatal Care) merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan sebagai pencegahan awal
dari preeklampsia (Kartika dkk, 2018) yang selama ini selalu dicangangkan di Indonesia
maupun di luar negeri.

Penelitian oleh Faiqoh & Hendrati (2018) menemukan tidak ada hubungan antara kunjungan
ANC dengan kejadian preeklampsia, namun ada poin menarik yang ditemukan yaitu ada
hubungan informasi dan saran yang diberikan oleh petugas kesehatan dengan kejadian
preeklampsia. Pada ibu yang mengalami preeklampsi sebanyak 90,9% mengaku tidak pernah
diberikan informasi tentang preeklampsi oleh tenaga kesehatan. Selain itu 95,8% ibu
preeklampsi mengaku tidak pernah diberikan saran bagaimana cara pencegahan preeklampsi.
Temuan Fatkhiyah (2015) dalam ketidakpatuhan bidan dalam mendeteksi preeklampsia
dengan tepat pada kunjungan awal juga menunjukkan 32% bidan tidak menanyakan riwayat
penyakit hipertensi pada keluarga ibu, 35% tidak menanyakan riwayat kejadian preeklampsia
pada kehamilan/persalinan dan atau nifas sebelumnya, 24% tidak melakukan pemeriksaan
edema di ekstrimitas dan 32% bidan tidak memberikan memberikan konseling tanda bahaya
kehamilan. Berdasarkan data diatas, masih banyak bidan yang tidak mengkaji faktor-faktor
risiko preeklampsia dengan baik apalagi memberikan informasi mengenai preeklampsia.
Mengkaji faktor-faktor risiko adalah tahap yang paling awal dalam menentukan apakah ibu
masuk dalam kelompok berisiko atau tidak, dimana hal ini sangat berpengaruh pada
penentuan asuhan apa yang akan diberikan. Preeklampsia adalah penyebab pertama kematian
ibu di Indonesia, sebaiknya penyumbang kematian ibu yang terbesar seperti preeklampsia dan
perdarahan harus dijelaskan kepada ibu hamil, sehingga mereka lebih “aware” terhadap
penyakit-penyakit tersebut.
Sikap dan etika bidan sangat mempengaruhi ketaatan ibu dalam memeriksakan
kehamilannya. Hasil studi oleh Mariyana, Jati, & Purnami (2017) menemukan bahwa ada
hubungan antara dukungan dan sikap tenaga kesehatan dengan perilaku kepatuhan ibu hamil
preeklamsia dalam pemanfaatan layanan antenatal care. Respon tenaga kesehatan yang baik
dapat meningkatkan pemanfaatan ANC pada ibu hamil, sehingga sikap dan etika bidan sangat
harus dijaga untuk memberi kesan yang baik kepada ibu hamil. Ketika kita memberikan
kesan yang baik, maka ibu hamil akan senang untuk kembali memeriksakan dirinya dan tidak
sekedar hanya periksa melainkan aktif berpartisipasi dalam pelayanan yang diberikan
kepadanya. Bidan tidak hanya sekedar melakukan pemeriksaan, namun memberdayakan ibu
agar ia menjadi lebih “kuat” dan mandiri, sehingga ia mampu mengambil keputusan yang
tepat untuk kebutuhan dirinya.

Sayangnya saya tidak menemukan jurnal yang membahas kepatuhan bidan dalam melakukan
pemeriksaan MAP dan ROT. Namun hasil fenomenalogi yang dilakukan oleh Puspita (2013)
menemukan bahwa seluruh ibu hamil (10) mengatakan bahwa mereka akan selalu dilakukan
tes tekanan darah ketika duduk dan tidur setiap melakukan pemeriksaan kehamilan. Hasil
studi lainnya mengatakan bidan selalu melakukan pemeriksaan tekanan darah tiap ibu
melakukan pemeriksaan kehamilan, namun masih belum jelas apakah mereka melakukan
pemeriksaan MAP dan ROT

Mengapa masih banyak bidan yang masih kurang baik dalam bersikap kepada kliennya dan
tidak patuh dalam melakukan skrinning risiko? Fatkhiyah (2015) menemukan ada hubungan
antara motivasi dan kualitas supervisi dengan kepatuhan bidan dalam mendeteksi
preeklampsia. Bidan yang mendapatkan motivasi yang baik dapat melakukan mendeteksi
preeklampsia. Sama halnya dengan kualitis supervisi, bidan yang memiliki supervisi yang
baik mereka dapat melakukan skrinning faktor risiko dengan baik. Bidan yang memiliki
motivasi yang baik dapat melakukan pekerjaanya dengan baik dan bersungguh-sungguh,
sehingga pelayanan yang ia berikan berkualitas. Sebuah manajemen yang baik adalah ketika
memiliki supervisi yang berkualitas, mereka rutin melakukan pemantauan dan mengevaluasi
tindakan yang dilakukan oleh bidan sehingga bidan selalu berusaha untuk memberikan
pelayanan yang terbaik. Hal yang dapat dilakukan dalam meningkatan motivasi bidan berupa;
reward seperti gelar bidan berprestasi, mengadakan pelatihan gratis deteksi dini preklampsia,
serta supervisi yang baik dalam pemantauan pelaksanaan deteksi preeklampsia sesuai standar.
Upaya untuk meningkatkan mutu pelayanan dapat dilakukan dengan menjalankan kegiatan
sesuai dengan pedoman dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Untuk
menghasilkan pembinaan yang baik, diperlukan interaksi yang fasilitatif, produktif serta
harmonis antara pembina dan yang dibina. Dengan dasar interaksi yang baik inilah kemudian
direncanakan strategi pembinaan yang mantap dan terarah. Pembinaan yang efektif akan
menghasilkan tenaga yang ber-etika, terampil, efisien dan tangguh. Kualitas tenaga bidan
yang demikian akan mempunyai dampak dalam mempercepat penurunan angka kematian ibu,
bayi baru lahir, bayi dan anak balita (Fatkhiyah, 2015)

KESIMPULAN

Data kematian ibu di Indonesia yang menunjukkan penyebab kematian Ibu nomor satu di
Indonesia adalah preeklampsia, dengan menyumbang angka sebesar 27,1% (Surya, 2021).
Preeklampsia adalah penyakit multisistemik yang ditandai dengan timbulnya hipertensi
setelah umur kehamilan 20 minggu, dengan adanya proteinuria, atau jika tidak ada dapat
menunjukkan tanda atau gejala cedera organ (Peres dkk, 2018). Preeklampsia yang tidak
ditangani dapat menyebabkan eklampsia yang menyebabkan kejang (ACOG, 2019).
Preeklampsia dapat menyebabkan morbiditas, disabilitas jangka panjang, dan kematian.

Kematian akibat pre-eklapmsia dan eklapmsia dapat dihindari melalui perawatan yang tepat
waktu dan efektif (Sammour dkk, 2011). ANC merupakan salah satu upaya yang dapat
dilakukan sebagai pencegahan awal (Kartika dkk, 2018). Perhitungan risiko pada trimester
pertama menjadi yang paling efektif dalam metode pencegahan preeklampsi untuk memulai
terapi pencegahan sebelum 16 minggu kehamilan. Tiga fokus utama dalam deteksi dini
adalah mengkaji secara lengkap faktor-faktor risiko, parameter biofisik seperti tekanan darah
(MAP dan ROT), serta penentuan biokimia parameter (Mikat et al., 2012).

Dari 7 penelitian faktor risiko preeklampsia di Indonesia, 5 diantaranya tidak menemukan


hubungan yang signifikan pada ibu yang rutin (≥4) dan tidak rutin melakukan ANC. Temuan
oleh Faiqoh & Hendrati (2018) menunjukkan ibu preeklampsia sekitar 90% mengaku tidak
mendapatkan informasi tentang preeklampsia sebelumnya. Temuan Fatkhiyah (2015) juga
menunjukkan sekitar 30% bidan tidak mengkaji faktor riskiko dengan baik. Hasil studi oleh
Mariyana, Jati, & Purnami (2017) menemukan bahwa ada hubungan antara dukungan dan
sikap tenaga kesehatan dengan perilaku kepatuhan ibu hamil preeklamsia dalam pemanfaatan
layanan antenatal care. Namun Fatkhiyah (2015) menemukan ada hubungan antara motivasi
dan kualitas supervisi dengan kepatuhan bidan dalam mendeteksi preeklampsia.

Bidan diharapkan untuk patuh dalam melakukan deteksi preeklampsia dengan baik dengan
menjaga sikap dan etikanya. Pembinaan dapat dilakukan dengan melakukan pelatihan,
pemberian motivasi dan reward, serta pemantauan yang teratur oleh supervisi, sehingga
diharapkan dapat menghasilkan tenaga yang ber-etika, terampil, efisien dan tangguh. Bidan
yang berkualitas akan membantu mempercepat penurunan angka kematian ibu dan bayi
(Fatkhiyah, 2015).
DAFTAR PUSTAKA

ACOG. (2019). ACOG Practice Bulletin No. 202: Gestational Hypertension and
Preeclampsia. Obstetrics and Gynecology, 133(1), e1–e25.
https://doi.org/10.1097/AOG.0000000000003018
Faiqoh, E., & Hendrati, L. Y. (2018). Hubungan karakteristik ibu, anc dan kepatuhan
perawatan ibu hamil dengan terjadinya preeklampsia. Jurnal Kesehatan Andalas, 2(2),
240. Retrieved from https://media.neliti.com/media/publications/77088-ID-none.pdf
Fatkhiyah, N. (2015). Motivasi, Kualitas Supervisi Dan Kepatuhan Bidan Dalam Mendeteksi
Preeklampsia. Jurnal Kesehatan Masyarakat, 10(2), 195.
https://doi.org/10.15294/kemas.v10i2.3381
Fatmawati, L., Sulistyono, A., Basuki Notobroto, H., Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga Surabaya, P., Soetomo Surabaya
Bagian Obstetri dan Ginekologi KFM, R., & Biostatistika dan Kependudukan FKM
Unair Surabaya, D. (2017). Pengaruh Status Kesehatan Ibu Terhadap Derajat
Preeklampsia/Eklampsia di Kabupaten Gresik. Sistem Kesehatan, 20(2), 52–58.
Retrieved from https://media.neliti.com/media/publications/63735-ID-pengaruh-status-
kesehatan-ibu-terhadap-d.pdf
Fuji, A. S. (2015). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Preeklampsia
Kehamilan Di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Kota Tangerang Selatan Tahun
2014-2015. In FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UIN SYARIF
HIDAYATULLAH JAKARTA. FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU
KESEHATAN UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA.
Gamadarenda, I. W., Waspada, I., Diponegoro, U., Korespondensi, P., Atribut, S., Backward,
A., … Arifuddin, A. (2017). FAKTOR RISIKO KEJADIAN PREEKLAMPSIA PADA
IBU HAMIL DI RSU ANUTAPURA KOTA PALU 2 . Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan Universitas Tadulako Healthy Tadulako Journal ( A . Fahira Nur , Adhar
Arifuddin : 69-75 ) PENDAHULUAN Masalah kesehatan adalah suatu. Jurnal
Kesehatan Tadulako, 7(2), 52–58.
Gustri, Y., Januar Sitorus, R., & Utama, F. (2016). Determinants Preeclampsia in Pregnancy
At Rsup Dr. Mohammad Hoesin Palembang. Jurnal Ilmu Kesehatan Masyarakat, 7(3),
209–217. https://doi.org/10.26553/jikm.2016.7.3.209-217
Ilham Utama Surya. (2021, February 8). Fakta Eklampsia & Preeklampsia, Penyebab
Kematian Ibu Hamil No.1 di Indonesia. Retrieved March 31, 2021, from Haibunda
website: https://www.haibunda.com/kehamilan/20210203143402-49-189798/fakta-
eklampsia-preeklampsia-penyebab-kematian-ibu-hamil-no1-di-indonesia
Karima, N. M., Machmud, R., & Yusrawati, Y. (2015). Hubungan Faktor Risiko dengan
Kejadian Pre-Eklampsia Berat di RSUP Dr. M. Djamil Padang. Jurnal Kesehatan
Andalas, 4(2), 556–561. https://doi.org/10.25077/jka.v4i2.299
Kartika, A. R., Aldika Akbar, M. I., & Umiastuti, P. (2018). Risk factor of severe
preeclampsia in Dr. Soetomo Hospital Surabaya in 2015. Majalah Obstetri &
Ginekologi, 25(1), 6. https://doi.org/10.20473/mog.v25i12017.6-9
Lukas, E. (2016). PENANGANAN TERKINI PREEKLAMSIA. Divisi Fetomaternal,
Departemen Obgyn FK Unhas / RS Dr.Wahidin Sudirohusodo Makassar. Retrieved
from https://med.unhas.ac.id/obgin/wp-content/uploads/2016/08/PENANGANAN-
TERKINI-PEB-EL-final.pdf
Mariyana, K., Jati, S. P., & Purnami, C. T. (2017). Faktor Yang Berpengaruh Terhadap
Kepatuhan Ibu Hamil Preeklamsia Dalam Pemanfaatan Layanan Anc. Unnes Journal of
Public Health, 6(4), 237–244. https://doi.org/10.15294/ujph.v6i4.17736
Mikat, B., Gellhaus, A., Wagner, N., Birdir, C., Kimmig, R., & Köninger, A. (2012). Early
Detection of Maternal Risk for Preeclampsia. ISRN Obstetrics and Gynecology, 2012,
1–7. https://doi.org/10.5402/2012/172808
Peres, G., Mariana, M., & Cairrão, E. (2018). Pre-Eclampsia and Eclampsia: An Update on
the Pharmacological Treatment Applied in Portugal. Journal of Cardiovascular
Development and Disease, 5(1), 3. https://doi.org/10.3390/jcdd5010003
Puspita, D. (2013). Studi fenomenologi kualitas pemeriksaan antenatal dalam mendeteksi
preeklampsia di puskesmas ciputat kota tangerang selatan. Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.
Quan, L. M., Xu, Q. L., Zhang, G. Q., Wu, L. L., & Xu, H. (2018). An analysis of the risk
factors of preeclampsia and prediction based on combined biochemical indexes.
Kaohsiung Journal of Medical Sciences, 34(2), 109–112.
https://doi.org/10.1016/j.kjms.2017.10.001
Sammour, M. B., El-Kabarity, H., Fawzy, M. M., & Schindler, A. E. (2011). WHO
recommendations for Prevention and treatment of pre-eclampsia and eclampsia. In
Journal of Steroid Biochemistry & Molecular Biology (Vol. 97). WHO.

Anda mungkin juga menyukai