Anda di halaman 1dari 8

Bardja Sutiati. 2020. Faktor Risiko Kejadian Preeklampsia Berat/Eklampsia pada Ibu Hamil.

Jurnal
Kebidanan (Mei 2020), Volume 12, Nomor 1

Angka Kematian Ibu (AKI) merupakan salah satu indikator untuk melihat keberhasilan upaya kesehatan
ibu. AKI adalah rasio kematian ibu selama masa kehamilan, persalinan dan nifas yang disebabkan oleh
kehamilan, persalinan, dan nifas atau pengelolaannya tetapi bukan karena sebab-sebab lain seperti
kecelakaan atau terjatuh disetiap 100.000 kelahiran hidup. Hasil SUPAS Tahun 2015 memperlihatkan
angka kematian ibu tiga kali lipat dibandingkan target MDGs (Kemenkes RI, 2019).

sedangkan angka kejadian di Indonesia sekitar 3,4% - 8,5% (Legawati & Utama, 2017). Angka kejadian
preeklampsia di Indonesia berkisar antara 3-10% dari seluruh kehamilan (Gloria, 2017). Angka kejadian
preeklampsia/eklampsia di Kabupaten Cirebon tahun 2017 sebanyak 46% (Dinkes Kabupaten Cirebon,
2018). Prognosis bergantung kepada terjadinya eklampsiaa. Di negara-negara maju kematian akibat
preeklampsia sebesar ± 0,5%. Namun, jika eklampsia terjadi, prognosisnya menjadi kurang baik.
Kematian akibat eklampsia sebesar ± 5%. Prognosis sang anak juga turut memburuk bergantung kepada
saat preeklampsia menjelma dan keparahan preeklampsia. Kematian perinatal sebesar ± 20% dan sangat
dipengaruhi oleh prematuritas. Ada ahli yang berpendapat bahwa preeklampsia dapat menyebabkan
hipertensi menetap terutama bila preeklampsia berlangsung lama atau dengan kata lain bila gejala -
gejala preeklampsia timbul dini. Sebaliknya ahli lain menganggap bahwa penderita hipertensi menetap
seusai persalinan sudah menderita hipertensi sebelum hamil (Mose dan Irianti, 2018). Menurut
Hennyati, Syafrullah dan Syahfitri, (2017) WHO mencatat bahwa Angka Kematian Ibu (AKI) di dunia
tahun 2016 sebanyak 289.000 jiwa perempuan yang meninggal karena hamil dan melahirkan. AKI di
Indonesia sangat tinggi ditahun 2016 yaitu sekitar 305 per 100.000 kelahiran hidup. Di Jawa Barat tahun
2015 AKI sebesar 359 per 100.000 KH tertinggi di Indonesia (Dinkes Provinsi Jabar, 2018). Di Kabupaten
Cirebon jumlah kematian ibu pada tahun 2017 sebanyak 39 dari 47.585 kelahiran hidup. Tahun 2016
jumlah kematian ibu naik menjadi 48 orang dari 47.115 kelahiran hidup. Dari jumlah kematian ibu
(absolute) tahun 2017 mengalami penurunan dibanding tahun 2016 (Dinkes Kabupaten Cirebon, 2018).
Penyebab preeklampsia dan eklampsia sampai saat ini belum diketahui secara pasti. Beberapa penelitian
tentang faktor yang mempengaruhi terjadinya preeklampsia sudah banyak dilakukan. Menurut
penelitian Tolinggi, Mantulangi dan Nuryani, (2018) kejadian preeklampsia dan faktor risiko yang
mempengaruhi antara lain: paritas, jarak kehamilan dan pendidikan. Menurut penelitian Radjamuda dan
Montolalu, (2014) faktor yang berhubungan dengan kejadian preeklampsia adalah umur, dan riwayat
hipertensi (preeklampsiaeklampsia). . Menurut penelitian Prasetyo, Wijayanegara dan Yulianti, (2015)
terdapat hubungan antara karakteristik ibu hamil dengan kejadian preeklampsia diantaranya ditinjau
dari segi pekerjaan, usia, dan paritas. Menurut penelitian Isnawati (2012) Ibu hamil yang terpapar asap
rokok memiliki risiko mengalami preeklampsia 8.38 kali lebih besar daripada ibu hamil yang tidak
terpapar asap rokok setelah mengontrol berat badan ibu hamil, status gravida dan status ANC. Menurut
penelitian Sa’adah, Raharja dan Candrasari, (2013) terdapat hubungan antara berat badan ibu hamil
dengan preeklampsia, namun untuk usia dan graviditas tidak ada hubungan. Menurut penelitian
Hofmeyr et al., (2014) suplementasi dengan dosis rendah kalsium secara signifikan mengurangi risiko
preeklampsia (RR 0,38, 95% CI 0,28 hingga 0,52; I² = 0%). Ada juga pengurangan hipertensi, berat lahir
rendah dan neonatal masuk unit perawatan intensif.
Karima Nurulia Muthi et.al., 2015. Hubungan Faktor Risiko dengan Kejadian Pre-Eklampsia Berat di RSUP
Dr. M. Djamil Padang. Jurnal Kesehatan Andalas. 4(2)

Karima Nurulia Muthi et.al., 2015 Pre-eklampsia merupakan suatu sindrom spesifik pada kehamilan. Pre-
eklampsia adalah keadaan dimana terjadinya hipoperfusi ke organ akibat vasospasme dan aktivasi
endotel yang ditandai dengan hipertensi, proteinuria dan edema.2

Penyebab terjadinya pre-eklampsia hingga saat ini belum diketahui. Ada banyak spekulasi mengenai
penyebab terjadi pre-eklampsia sehingga disebut penyakit teori. Banyak teori yang diungkapkan para
ahli tetapi tiga hipotesis yang saat ini menempati penyelidikan utama, yaitu faktor imunologi, sindroma
prostaglandin dan iskemia uteroplasenta.

Pre-eklampsia berat pada ibu hamil tidak terjadi dengan sendirinya. Ada banyak faktor risiko yang dapat
mempengaruhi kejadian pre-eklampsia berat seperti: usia ibu, paritas, usia kehamilan, jumlah janin,
jumlah kunjungan ANC dan riwayat hipertensi. Dasar patofisiologi pre-eklampsia-eklampsia adalah
vasospasme. Vasospasme akan mengakibatkan resistensi aliran darah dan menyebabkan hipertensi
arterial. Angiotensin II juga akan menyebabkan sel endotel berkontraksi. Semua perubahan ini akan
menyebabkan sel endotel menjadi rusak dan terjadinya kebocoran celah di antara sel-sel endotel.
Perubahan ini juga bersamaan dengan hipoksia vaskular jaringan di sekitarnya yang diduga dapat
menyebabkan perdarahan, nekrosis dan kerusakan end-organ lainnya.2,4 Pre-eklampsia merupakan
gangguan kehamilan akut yang dapat terjadi saat ante, intra, bahkan postpartum. Gambaran klinik dari
masingmasing individual berbeda. Manifestasi klinik yang paling penting sebagai tanda dari pre-
eklampsia adalah proteinuria, hipertensi, dan edema. Secara teoritik, urutan gejala tersebut adalah
edema, hipertensi dan proteinuria.2,5 Diagnosis pre-eklampsia berat ditegakkan dengan kriteria
minimum, yaitu tekanan darah ≥140/90 mmHg setelah gestasi lebih dari 20 minggu dan proteinuria
≥300 mg/24 jam atau ≥+1 pada dipstick.2,5,6

Beberapa penelitian yang telah dilakukan mengenai faktor risiko pre-eklampsia berat, Rozikhan pada
tahun 2007 mendapatkan bahwa paritas dan riwayat hipertensi memiliki hubungan terhadap kejadian
preeklampsia berat.7 Penelitian Aghamohammadi dan Nooritajeer pada tahun 2011 didapatkan usia ibu
> 35 tahun memiliki hubungan terhadap kejadian preeklampsia berat
Heriani Jessy. 2019. Penerapan Terapi Rendam Kaki Air Hangat Pada Ibu Nifas Dengan Riwayat
Preeklamsia Berat Di Ruangan Kebidanan Rsud Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi. Stikes Perintis Padang

Preeklamsia merupakan penyakit khas pada kehamilan yang memperlihatkan gejala trias (hipertensi,
edema, proteinuria) kadang-kadang hanya hipertensi dan edema atau hipertensi dan proteinuria (dua
gejala dari trias dan satu gejala yang harus ada yaitu hipertensi) (Heriani, 2019).

Preeklamsia merupakan penyulit utama dalam kehamilan dan penyebab utama morbiditas dan
mortalitas ibu dan janin. Angka kematian ibu yang disebabkan oleh preeklamsia masih tinggi (Pusdatin,
2014). Menurut World Health Organization (WHO) angka kejadian preeklamsia berkisar antara 0,51% -
38,4%. World Health Organization (WHO) memperkirakan bahwa ada 39.8% per 500.000 kematian ibu
melahirkan diseluruh dunia setiap tahunnya, 99% diantaranya terjadi di negara berkembang. Angka
kejadian preeklamsia didunia sebesar 46%, di Indonesia 75%, di Afrika 62%, di Asia Selatan 24%, India
17% dan Singapura 6,6%. Di Indonesia preeklamsia masih merupakan salah satu penyebab kematian ibu,
yang berkisar 15%-25%, sedangkan kematian bayi antara 45%-50% (Pratiwi, 2015) . Survei Demografi
dan Kependudukan Indonesia (SDKI) 2016, di Indonesia terdapat kenaikan angka kematian ibu (AKI) dari
291 per 100.000 kelahiran menjadi 412 per 100.000 kelahiran. SDKI (2016), menyebut penyebab AKI
anatara lain perdarahan 22%, preeklamsia dan eklamsia 45%, partus lama 26% dan komplikasi aborsi
18% (Sabattani, 2016) Data Laporan Kematian ibu di Dinas Kesehatan Sumatera Barat kasus kematian
ibu di Sumatera Barat pada tahun 2014 adalah 99 kasus, pada tahun 2015 adalah 102 kasus, pada tahun
2016 sebanyak 108 kasus dan pada tahun 2017 sebanyak 113 kasus mengalami peningkatan setiap
tahunnya (Dinkes Sumbar, 2018) Laporan tahunan Dinas Kesehatan Kota Padang penyebab kematian
maternal pada tahun 2015-2016 adalah preeklamsia-eklamsia 31,25%, perdarahan 18,75% dan infeksi
12,5% dapat diketahui bahwa setiap tahunnya penyebab utama kematian ibu (Dinkes Kota Padang,
2015). Sebagian besar ibu hamil yang mengalami hipertensi yaitu pada umur kurang dari 20 tahun
(65,5%), Primipara (52,7%), dan ibu hamil yang memiliki riwayat hipertensi (preeklamsia-eklamsia)
(55,6%) (Hasni, 2017)

Peran perawat sangat penting disini, perawat murupakan bagian dari pemberi pelayanan kesehatan
diharapkan mempunyai perhatian yang tinggi dalam membantu ibu untuk meminimalkan dampak
dari preelamsai berat baik seacara fisik maupun psikologis. Pertama perawat berperan sebagai
pemberi asuhan keperawatan, perawat harus memperhatikan keadaan kebutuhan dasar manusia
yang dibutuhkan melalui pemberian pelayanan keperawatan. Yang kedua perawat berperan sebagai
advokad dimana peran ini dilakukan perawat dalam membantu klien dan keluarga
menginterpretasikan berbagai informasi, yang ketiga perawat berperan sebagai edukator peran ini
dilakukan dengan membantu klien dalam meningkatkan tingkat pengetahuan kesehatan, gejala
penyakit bahkan tindakan yang akan diberikan (Machmudah, 2015).

Preeklamsia ada dua macam yaitu preeklamsia ringan dan preeklamsia berat, preeklamsia ringan
ditandai dengan tingginya tekanan darah mencapai 140/90 mmHg, edema umum pada kaki, jari, tangan
dan wajah, kenaikan BB 1 Kg atau bahkan bisa lebih dalam 1 minggu, proteinuria kuantitatif 0,3 gr/L,
sedangkan pada preeklamsia berat biasanya ditandai dengan tingginya tekanan darah mencapai
160/110 bahkan bisa lebih, proteinuria 5 gr/L, oliguria jumlah urine < 100.000/mm (Nurarif, 2015).
Terapi yang diterapkan pada pasien yaitu terapi nonfarmakologi rendam kaki dengan air hangat
(Sabattani, 2016). Penelitian terdahulu oleh Sabattani (2016) tentang efektivitas rendam kaki dengan air
hangat terhadap penurunan tekanan darah pada ibu hamil penderita preeklamsi di Puskesmas Ngaliyan
Semarang tahun 2016. Hasil penelitian didapatkan dari 30 ibu hamil dengan preeklamsia sebanyak 16
ibu hamil yang dillakukan penerapan rendam kaki dengan air hangat dan terbukti ada pengaruh
efektivitas rendam kaki dengan air hangat terhadap penurunan tekanan darah pada ibu hamil penderita
preeklamsi dengan pvalue = 0,001.
Aditya Nora. 2019. Asuhan Keperawatan Pada Ny.D Dengan Diagnosa Medis Post Sectio Caesarea
Indikasi Pre Eklampsia Berat Di Rs Bangil Pasuruan. Akademi Keperawatan Kerta Cendekia Sidoarjo.

Devita Nova. 2018. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Post Sectio Caesarea Atas Indikasi Pre Eklampsia
Berat Di Ruang Rawat Kebidanan Rsup Dr. M. Djamil Padang. Poltekkes Kemenkes Ri Padang

World Health Organization (WHO) tahun 2016 menyebutkan setiap harinya sekitar 830 wanita
meninggal karena komplikasi kehamilan dan persalinan. Komplikasi utama pada kehamilan dan
persalinan yang menyebabkan hampir 75% kematian maternal seperti pendarahan, infeksi, preeklamsia
dan eklamsia.Di Indonesia terdapat sebesar 305 kematian ibu setiap 100.000 kelahiran hidup. Angka
kematian ibu di Indonesia pada tahun 2016 tercatat sebanyak 4912 kasus kematian ibu, dimana angka
tersebut mengalami penurunan dari tahun sebelumnya yaitu pada tahun 2015 tercatat sebanyak 4999
kasus kematian ibu (Kementrian Kesehatan RI, 2017) Jumlah kematian ibu di provinsi Sumatera Barat
tahun 2016 sebanyak 107 orang, menurun dibanding tahun sebelumnya. Selanjutnya data dari bulan
(Januari-September) tahun 2017 tercatat jumlah kematian ibu sebanyak 82 orang, diantaranya kematian
ibu yang disebabkan preeklamsia sebanyak 19 orang(Dinas Kesehatan Provinsi Sumbar, 2017). Dinas
Kesehatan Kota Padang tahun 2016, menyebutkan angka kematian ibu mengalami kenaikan dari tahun
sebelumnya, yaitu pada tahun 2015 terdapat 17 kasusdan puncaknya pada tahun 2016 menjadi 20kasus
kematian ibu, penyebabnya adalah preeklamsia (25%) disusul oleh perdarahan (15%) dan infeksi nifas
(10%). RSUP. Dr. M. Djamil Padang merupakan rumah sakit rujukan terbesar di Sumatera Barat. Menurut
data yang didapatkan dari rekam medis RSUP. Dr. M. Djamil Padang, pada tahun 2016 sebanyak 76
orang penderita preeklamsia berat yang dirawat di instalasi rawat inap kebidanantelah dilakukan
tindakan sectio caesarea. Angka tersebut meningkat dari tahun sebelumnya yaitu pada tahun 2015
sebanyak 43 orang. Preeklampsia berat masih merupakan salah satu penyebab morbiditas dan
mortalitas ibu apabila tidak ditangani secara adekuat. Hasil penelitian Karima, dkk, 2015 di RSUP Dr. M.
Djamil Padang menunjukkan kejadian preeklamsia berat dapat terjadi pada berbagai kategori usia
kehamilan, dimana usia kehamilan 20-36 minggu kejadian preeklamsia berat sebesar 35,3%, dan pada
usia kehamilan ≥37 minggu sebesar 64,8% dari 74 responden.Terminasi kehamilan selalu merupakan
terapi yang tepat bagi penderita preeklamsia berat (Reeder, dkk, 2014). Hasil penelitian Aprina (2016) di
RSUD Dr.H Abdul Moeloek Lampung,dari 105 responden yang mengalami preeklamsia berat sebanyak
53 responden (50,5%) telah dilakukan tindakan sectio caesarea.Selanjutnya Odds Ratio (OR) yang
diperoleh sebanyak 2,947 yang berarti responden yang mengalami preeklamsia berat mempunyai
peluang 2,947 kali untuk dilakukan tindakan sectio caesarea. Penatalaksanaan keperawatan yang baik
sangat dibutuhkan pada pasien post sectio caesarea atas indikasi preeklamsia berat, mengingat
banyaknya komplikasi yang ditimbulkannya. Komplikasi sectio caesarea diantaranya berupa perdarahan,
yang dapat 16 disebabkan karena laserasi atau sayatan pada dinding abdomen. Selain itu retensio
plasenta, atonia uterus dan distensi kandung kemih jugadapat mengakibatkan perdarahan yang apabila
tidak cepat diatasi akan dapat menyebabkan syok. Komplikasi lain dapat berupa infeksi puerperalis,yaitu
infeksi bakteri pada traktus genitalia yang muncul setelah persalinan dari endometrium bekas insersi
plasenta(Medforth, dkk, 2011).Sejalan dengan hasil penelitian Wardhani (2016) di RSUD Assalam
Gemolong Surakarta, menyebutkan bahwa komplikasi utama persalinan sectio caesarea adalah
kerusakan organ-organ seperti vesika urinaria dan uterus, komplikasi anestesi, perdarahan, infeksi dan
tromboemboli. Infeksi setelah persalinan penyebabnya adalah luka persalinan, matritis, tromboflebitis,
dan radang panggul. Meskipun terminasi kehamilandengan sectio caesarea merupakan terapi yang tepat
bagi penderita preeklamsia berat, tidak menutup kemungkinan jika komplikasi preeklamsia berat masih
dirasakan segera setelah persalinan.Komplikasi preeklamsia berat yang dapat terjadi seperti eklamsia
dan sindrom HELLP (Ayu, 2016).Hasil penelitian Muhani dan Besral (2015) di RSUD Dr.H Abdul Moeloek
Lampung, menyebutkan dari 60 kasus kematian ibu karena komplikasi peb, sebanyak 23,3 % yang
mengalami sindrom HELLP dan sebanyak 46,7% yang mengalami eklamsia. Peran perawat penting dalam
asuhan keperawatan pada pasien post sectio caesarea atas indikasi preeklamsia berat. Pengkajian
keperawatan pada pasien meliputi pemantauan semua sistem tubuh, jumlah kehilangan darah serta
keseimbangan cairan. Pengkajian yang dilakukan juga mengarah pada tanda dan gejala preeklamsia
berat seperti terjadinya peningkatan tekanan darah, sakit kepala terus menerus, penglihatan gelap atau
kabur, edema, nyeri epigastrium, muntah dan letargi atau lemas(Reeder, dkk,
2014).Diagnosiskeperawatan yang dapat muncul diantaranya kelebihan volume cairan, gangguan
eliminasi urin, gangguan persepsi sensori penglihatan, hambatan mobilitas fisik, nyeri akut, dan
intoleransi aktifitas (NANDA International, 2015).Perencanaan dan tindakan keperawatan untuk
mencapai hasil yang diharapkan berupamanajemen cairan, manajemen nyeri, perawatan post partum.
Evaluasi keperawatan penting dilakukan untuk menilai sejauh mana masalah yang dihadapi pasien dapat
teratasi(Mitayani, 2011). 17 Studi pendahuluan yang peneliti lakukan pada tanggal 10 November 2017 di
ruang rawat kebidan RSUP Dr. M. Djamil padang didapatkan data dari bulan Agustus sampai bulan
November 2017 tercatat dari 92 orang yang dirawat ditemukan sebanyak 19 orang (20,6%) yang
mengalami post sectio caesarea atas indikasi preeklamsia berat.Wawancara yang penulis lakukan pada
salah satu perawat yang bertugas diruangan tentang penerapan asuhan keperawatan pasien dengan
post sectio caesarea atas indikasi preeklamsia berat. Perawat mengatakan sudah melakukan pengkajian
keperawatan yang meliputi pengumpulan data tentang identitas pasien, riwayat kesehatan, data
pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang lainnya. Diagnosis keperawatan yang ditemukan saat
kunjungan awal adalah nyeri akut, resiko infeksi, resiko perdarahan dan intoleransi aktifitas. Rencana
keperawatan berupa, manajemen nyeri, manajemen cairan, perawatan post partum. Tindakan
keperawatan yang telah dilakukan berupa kolaborasi pemberikan regimenMgSO4sebagai anti kejang
dan pemberian antibiotik yang bertujuan untuk mencegah terjadinya infeksi. Setelah penulis melakukan
pengamatan, pada pengkajian keperawatan perawat sudah menggunakan format
pengkajian.Selanjutnya padatindakan keperawatan seperti kolaborasi pemberian regimen MgSO4yang
diberikan belum sesuaidengan prosedur lama waktu pemberiannya. Regimen MgSO4seharusnya
diberikan per 6 jam, namun diruanganlama pemberiannyalebih dari 6 jam pada satu kali pemberian
yang diakibatkan karena infus kurang lancar atau macet. Pada pemantauan urin pasien dilakukan
dengan mencatat jumlah urinnamun belum melakukan pengambilan sampel urin untuk memeriksa
protein pada urin pasien, padahal dapat diketahui salah satu tanda seseorang mengalami preeklamsia
adalah terdapatnya protein dalam urine.Kemudian wawancara dilanjutkan pada salah satu pasien post
sectio caesarea atas indikasi preeklamsia berat, pasien tanpak cemas, pasien mengeluh nyeri pada
bagian perut bekas luka operasi, pasien mengatakan nyeri semakin terasa saat pasien batuk. Pasien
mengatakan belum pernah diajarkan oleh perawat cara mengurangi nyeri.
Disusun oleh :

Indrieni Susi. 2020.

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTRIAN KESEHATAN JURUSAN KEPERAWATAN PRODI D-III KEPERAWATAN


SAMARINDA 2020

Kehamilan serta persalinan merupakan suatu peristiwa alamiah dan hal yang sangat dinanti setiap ibu
yang sedang menunggu proses kelahiran bayinya. Meskipun persalinan merupakan peristiwa fisiologis
namun setiap proses persalinan yang terjadi beresiko mengalami komplikasi selama persalinan. Hal
tersebut dapat memperburuk kondisi baik ibu maupun bayi selama persalinan berlangsung sehingga
berdampak terjadinya kematian pada ibu dan bayi (Winancy, 2019). Preeklampsia sebagai salah satu
komplikasi persalinan didefinisikan sebagai suatu kumpulan gejala pada ibu hamil ditandai dengan
peningkatan tekanan darah sistolik ≥ 140/90 MmHg dan tingginya kadar protein pada urine (proteinuria)
yang sering muncul pada usia kehamilan ≥ 20 minggu. Kedua kriteria ini masih menjadi definisi klasik
preeklampsia, sedangkan untuk edema tidak lagi dipakai sebagai kriteria diagnostik karena sangat
banyak ditemukan pada wanita dengan kehamilan normal (POGI, 2016). Menurut Andriyani, (2012)
dalam penelitiannya menyampaikan kejadian preeklampsi di negara Amerika Serikat dilaporkan 23,6
kasus per 1000 kelahiran. Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia dalam buku Pedoman
Nasional Pelayanan Kedokteran menyampaikan untuk 2 kejadian preeklampsi di Indonesia sebanyak
128.273/tahun atau sekitar 5,3% (POGI, 2016). Di Provinsi Lampung sendiri tercatat kasus preeklamsi
sebanyak 59 kasus sedangkan di Kabupaten Lampung Tengah sebesar 12,5% (Kurniasari, 2015). Masalah
preeklampsia bukan hanya berdampak pada ibu saat hamil dan melahirkan, namun juga menimbulkan
masalah pasca persalinan akibat disfungsi endotel di berbagai organ. Dampak jangka panjang pada bayi
yang dilahirkan ibu dengan preeklampsia antara lain bayi akan lahir prematur sehingga mengganggu
semua organ pertumbuhan bayi. Sampai dengan saat ini penyebab preeklampsi belum diketahui secara
pasti, beberapa faktor resiko yang menjadi dasar perkembangan kasus preeklampsi diantaranya adalah
usia, primigravida, multigravida, jarak antar kehamilan, janin besar dan kehamilan dengan janin lebih
dari satu (POGI, 2016). Pentingnya dilakukan serangkaian pemeriksaan serta bagaimanan proses
penanganan persalinan berlangsung sangat berpengaruh terhadap kondisi ibu pasca persalinan, oleh
karena itu penatalaksanaan awal pada masalah preeklampsi perlu dilakukan dengan mengidentifikasi
faktor resiko untuk setiap ibu hamil melalui asuhan antenatal care sebab masalah preeklamsi pada
awalnya tidak memberikan gejala dan tanda, namun dapat memperburuk kondisi ibu dan bayi dengan
cepat. Tujuan utama penatalaksanaan preeklampsia adalah kondisi ibu yang aman dan persalinan bayi
yang sehat. (POGI, 2016). 3 Setelah mengidentifikasi faktor resiko pada masa kehamilan,
penatalaksanaan preeklampsia selanjutnya adalah tergantung dari usia gestasi ibu. Penatalaksanaan
terapi definitif pada pasien preeklampsia dengan segera melakukan persalinan atau terminasi kehamilan
atas indikasi mengancam nyawa ibu dan bayi baik dengan tindakan operatif Sectio Caesarian ataupun
dengan persalinan normal (Khairani, 2020). Perubahan kondisi pasca persalinan pada setiap ibu dengan
preeklampsia tidak sama, hal ini dipengaruhi proses adaptasi ibu selama mengalami perubahan
tersebut. Kemampuan untuk beradaptasi terhadap perubahan selama masa nifas mempengaruhi
kebutuhan ibu baik secara fisiologis maupun psikologisnya. Dengan memberikan asuhan pada masa
nifas diharapkan mampu memenuhi kebutuhan tersebut sehingga ibu dapat melakukan dan
meningkatkan kemampuan secara mandiri terhadap perubahan yang terjadi pasca melahirkan (Rusniati,
2017). Salah satu model asuhan keperawatan yang menekankan pada konsep perubahan adaptasi
secara keseluruhan yaitu model keperawatan adaptasi Callista Roy atau “Holistic Adaptif Sytem” . Model
asuhan keperawatan yang diberikan menggunakan pendekatan perubahan kebutuhan fisiologis, konsep
diri, fungsi peran, dan hubugan interdependensi selama sehat dan sakit. Derajat adaptasi dibentuk oleh
dorongan tiga jenis stimulus yaitu : focal stimuli, kontesktual stimuli dan residual stimuli. Roy juga
mengadaptasi nilai “Humanisme” dalam model konseptualnya A.H. Maslow. Menurut Roy humanisme
dalam 4 keperawatan yaitu keyakinan terhadap kemampuan koping manusia untuk meningkatkan
derajat kesehatan (Rakhman, 2014). Peran perawat dengan memberikan asuhan keperawatan pada
pasien preeklampsia bertujuan untuk menjaga kesehatan ibu dan bayi selama masa nifas serta
mencegah terjadinya komplikasi pasca persalinan. Oleh sebab itu asuhan keperawata pasien dengan
preeklamsi dilakukan untuk meningkatkan penyesuaian diri pasien dalam menghadapi permasalahan
yang berhubungan dengan kondisinya pasca melahirkan serta memfasilitasi potensi pasien untuk
beradaptasi dalam menghadapi perubahan kebutuhan dasarnya.

Anda mungkin juga menyukai