Anda di halaman 1dari 51

LAPORAN KASUS

TATALAKSANA G3P2A0 USIA KEHAMILAN 39-40 MINGGU


INPARTU KALA I FASE LATEN DENGAN
PREEKLAMPSIA BERAT

Pembimbing :
dr. Ronny, Sp.OG

Disusun oleh :
Azka Aulia Shafira
1102015042

KEPANITERAAN KLINIK ILMU OBSTETRI DAN GINEKOLOGI


PERIODE 15 MARET – 25 APRIL 2021 FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS YARSI RSUD KABUPATEN BEKASI
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Segala puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang
Maha Esa, karena atas rahmat dan hidayah-Nya saya dapat menyelesaikan laporan
kasus dengan judul “Tatalaksana G3P2A0 Usia Kehamilan 38-39 minggu Inpartu
Kala I Fase Laten dengan Preeklampsia Berat“ sebagai salah satu tugas
Kepaniteraan Ilmu Obstetri dan Ginekologi RSUD Kabupaten Bekasi. Tidak lupa
shalawat serta salam saya haturkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW.
Pada kesempatan ini, saya selaku penulis mengucapkan terima kasih
kepada semua pihak yang telah membantu kami untuk menyelesaikan makalah
referat, terima kasih kepada dr. Ronny, Sp.OG selaku pembimbing dan klinisi
Kepaniteraan Ilmu Obstetri dan Ginekologi yang telah meluangkan waktu dalam
membimbing dan memberi masukan-masukan kepada penulis, dan juga kepada
seluruh dokter, staf bagian kebidanan dan kandungan, orang tua saya yang telah
mendukung secara moril maupun materil dan teman-teman sejawat lainnya yang
turut membantu penulis selama kepaniteraan di bagian Ilmu Obstetri dan
Ginekologi. Semoga Allah SWT memberikan balasan yang sebesar-besarnya atas
bantuan yang telah diberikan selama ini.
Saya menyadari bahwa dalam penulisan laporan kasus ini masih banyak
terdapat kekurangan. Oleh sebab itu, saya mengharapkan saran serta kritik yang
dapat membangun dalam laporan presentasi kasus ini untuk perbaikan di
kemudian hari. Semoga presentasi kasus ini dapat berguna dan bermanfaat bagi
kita semua. Aamiin yaa rabbal’alamii.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

Bekasi, April 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………………………………….ii
DAFTAR ISI……………………………………………………………………..iii
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………...1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA………………………………………………….2
2.1 PRE EKLAMPSIA
2.1.1 DEFINISI…………………………………………………………….2
2.1.2 EPIDEMIOLOGI…………………………………………………….2
2.1.3 ETIOLOGI…………………………………………………………...3
2.1.4 FAKTOR RISIKO…………………………………………………...7
2.1.5 KLASIFIKASI……………………………………………………...10
2.1.6 PATOFISIOLOGI…………………………………………………..11
2.1.7 DIAGNOSIS………………………………………………………..15
2.1.8 PENATALAKSANAAN…………………………………………...19
2.1.9 KOMPLIKASI……………………………………………………...28
2.1.10 PROGNOSIS……………………………………………………….29
2.1.11 PENCEGAHAN……………………………………………………30
BAB III LAPORAN KASUS
3.1 IDENTITAS PASIEN……………………………………………………...32
3.2 ANAMNESIS………………………………………………………………32
3.3 PEMERIKSAAN FISIK……………………………………………………35
3.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG…………………………………………..37
3.5 RESUME…………………………………………………………………...38
3.6 DIAGNOSIS KERJA………………………………………………………39
3.7 RENCANA PENATALAKSANAAN……………………………………..39
3.8 FOLLOW UP PASIEN…………………………………………………….40
3.9 PROGNOSIS……………………………………………………………….43
BAB IV ANALISA KASUS…………………………………………………… 44
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………47

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Angka Kematian Ibu (AKI) masih menjadi permasalahan yang dihadapi


diseluruh dunia. Berdasarkan data World Health Organization (WHO) pada tahun
2013 terdapat sekitar 800 wanita meninggal di dunia akibat kehamilan dan
persalinan setiap harinya, 99% kematian ini terjadi di negara berkembang.
Hipertensi kehamilan menyumbang 10% penyebab AKI sekaligus penyebab
terbesar angka morbiditas dan mortalitas maternal dan perinatal di seluruh dunia.1
Termasuk didalamnya adalah preeklampsia, eklampsia, hipertensi
gestasional dan hipertensi kronik. Kejadian preeklampsia sendiri terus meningkat
selama dua dekade terakhir sebesar 25%, terdapat 50.000-60.000 kematan akibat
preeklampsia setiap tahunnya di seluruh dunia.2
Pada tahun 2015 terdapat 305 kasus kematian per 100.000 kelahiran hidup
dari target 102 per 100.000 kehamilan. Preeklampsia menjadi penyebab kedua
terbesar dari AKI di Indonesia.3
Preeklampsia menjadi salah satu komplikasi obstetri yang paling serius dan
mempengaruhi 5-8% wanita hamil. preeklampsia juga menjadi salah satu
penyebab utama morbiditas dan mortalitas ibu dan perinatal bersama dengan
perdarahan dan infeksi.4
Preeklampsia merupakan keadaan hipertensi arteri dengan proteinuria yang
diidentifikasi setelah usia kehamilan 20 minggu. Dapat disertai dengan beberapa
disfungsi organ dengan gejala berupa sakit kepala, gangguan visual, nyerti
epigastrium, edema paru, kejang atau adanya perubahan hasil tes laboratorium
seperti trombositopenia, peningkatan enzim hati dan hiperkreatinin.5
Komplikasi yang dapat terjadi pada ibu berupa sindroma hemolisis, elevated
liver enzyme, and low platelet count (HELLP), edema paru, gangguan ginjal,
perdarahan, solusio plasenta bahkan kematian ibu. Jika preeklampsia bisa
dideteksi sedini mungkin, tentunya dapat mencegah terjadinya perburukan dan
menurunkan angka kematian ibu.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 PRE EKLAMPSIA


2.1.1 DEFINISI
Preeklampsia merupakan kondisi spesifik pada kehamilan yang
ditandai dengan adanya disfungsi plasenta dan respon maternal terhadap
adanya inflamasi sistemik dengan aktivasi endotel dan koagulasi.
Diagnosis preeclampsia ditegakkan berdasarkan adanya hipertensi
spesifik yang disebabkan kehamilan disertai dengan gangguan sistem
organ lainnya pada usia kehamilan disertai dengan gangguan sistem
organ lainnya pada usia kehamilan diatas 20 minggu.
Preeklampsia, sebelumnya selalu didefinisikan dengan adanya
hipertensi dan proteinuria yang baru terjadi pada kehamilan (new onset
hypertension with proteinuria). Meskipun kedua kriteria ini masih
menjadi definisi klasik preeklampsia, beberapa wanita lain menunjukkan
adanya hipertensi disertai gangguan multiorgan lain yang menunjukkan
adanya kondisi berat dari preeklampsia meskipun pasien tersebut tidak
mengalami proteinuria. Sedangkan, untuk edema tidak lagi dipakai
sebagai kriteria diagnostik karena sangat banyak ditemukan pada wanita
dengan kehamilan normal.6,7,8

2.1.2 EPIDEMIOLOGI3,6
Sekitar delapan juta perempuan per tahun mengalami komplikasi
kehamilan dan lebih dari setengah juta diantaranya meninggal dunia,
dimana 99% terjadi di Negara berkembang. Angka kematian akibat
komplikasi kehamilan dan persalinan di Negara maju yaitu 1 dari 5000
perempuan, dimana angka ini jauh lebih rendah dibandingkan di Negara
berkembang, yaitu 1 dari 11 perempuan meninggal akibat komplikasi
dalam kehamilan dan persalinan.

2
Di Indonesia kematian ibu terjadi setiap 1 jam. Berdasarkan survey
Dermografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012, angka
kematian ibu (AKI) sebesar 359 per 100.000 kelahiran hidup, angka ini
meningkat jika dibandingkan dengan tahun 2007 yaitu sebesar 228 per
100.000 kelahiran hidup. padahal sebelumnya tren AKI di Indonesia
menurun sejak tahun 1991 hingga 2007, yaitu dari 390 menjadi 228 per
100.000 kelahiran hidup.
Tiga penyebab utama kematian ibu adalah perdarahan (30%),
hipertensi dalam kehamilan (25%) dan infeksi (12%). WHO (World
Health Organization) memperkirakan kasus preeklampsia tujuh kali
lebih tinggi di negara-negara berkembang daripada negara maju.
Prevalensi preeklampsia di negara maju adalah 1,3% - 6%, sedangkan di
negara berkembang 1,8% - 18%.

2.1.3 ETIOLOGI9
Setiap teori mengenai asal-usul preeklampsia harus memperhitungkan
pengamatan bahwa gangguan hipertensi gestasional lebih mungkin
berkembang pada wanita dengan karakteristik sebagai berikut :
a. Terekspos vili korionik untuk pertama kalinya
b. Terekspos vili korionik yang melimpah, seperti pada kembar atau
molahidatidosa
c. Memiliki kondisi yang berkaitan dengan aktivasi atau peradangan sel
endotel, seperti diabetes, obesitas, penyakit kardiovaskular atau
ginjal, gangguan imunologi atau pengaruh herediter
d. Secara genetik cenderung mengalami hipertensi selama kehamilan

Janin bukanlah syarat untuk berkembangnya preeklampsia. Meskipun


vili korionik penting, mereka tidak perlu berada di intrauterin. Misalnya,
preeklampsia dapat berkembang dengan adanya kehamilan abdominal.
Terlepas dari penyebab utama, rangkaian kejadian yang mengarah ke
sindrom preeklampsia ditandai oleh kelainan yang mengakibatkan

3
kerusakan endotel vaskular sistemik yang mengakibatkan vasospasme,
transudasi plasma dan gejala iskemik dan trombotik.
Sejumlah mekanisme telah diajukan untuk menjelaskan penyebab
preeklampsia. Mekanisme yang saat ini dianggap penting meliputi :
1) Invasi Trofoblas Abnormal
Pada kehamilan normal vili korialis dari trofoblas akan
menginvasi arteriola spiralis dan menggantikan lapisan endotel dan
muskularnya, sehingga terjadi proses remodeling berupa pelebaran
diameter arteriola spiralis.
Pada preeklampsia, oleh sesuatu proses tertentu, tidak terjadi
invasi menyeluruh (incomplete trophoblastic invasion), sehingga
sebagian arteriola masih memiliki endotel dan lapisan muskularnya
dan tidak mengalami pelebaran diameter. Oleh karena itu, timbul
vasospasme yang berujung pada iskemia di bagian distal arteriola
tersebut.
Vasospasme bersama dengan faktor imunologi maupun radikal
bebas akan menyebabkan jejas endotel, yang merupakan awal
pelepasan zat-zat vasoaktif yang berujung pada timbulnya sindrom
preeklampsia.

4
Gambar 1. Representasi skematis dari implantasi plasenta normal
menunjukkan proliferasi trofoblas ekstravili dari vili penahan. Trofoblas
ini menyerang desidua dan meluas ke dinding arteriol spiral untuk
menggantikan endothelium dan dinding otot untuk membuat pembuluh
darah resistensi rendah yang melebar. Dengan preeklampsia, implantasi
yang kurang sempurna ditandai dengan invasi yang tiadk lengkap dari
dinding arteriol spiral oleh trofoblas ekstravili. Ini menghasilkan
pembuluh darah kaliber kecil dengan resistensi tinggi terhadap aliran.

2) Faktor Imunologi
Hal ini didasarkan atas pengamatan bahwa preeklampsia lebih
sering ditemukan pada primigravida, hiperplasentosis, kehamilan
dengan inseminasi donor, penurunan konsentrasi komplemen C4,
wanita dengan fenotip HLA DR4, dan aktivasi sistem komplemen
neutrophil dan makrofag.
Reaksi penolakan janin oleh ibu dapat disebabkan oleh
perubahan histologis di perbatasan sel/jaringan ibu dan plasenta
sehingga terjadi gangguan pembentukan blocking antibodi di daerah
perbatasan tersebut, terutama pada primigavida atau multigravida
dengan suami atau sperma yang baru.
Maladaptasi imunologi juga diduga terjadi akibat rendahnya
ekspresi HLA-G di jaringan trofoblas ekstravili, yang berakibat
pada gangguan vaskularisasi plasenta. Peningkatan rasio Th1/Th2

5
menyebabkan peningkatan produksi sitokin proinflamasi, yang
merupakan salah satu faktor penyebab jejas endotel.

3) Faktor Endotel
Teori jejas endotel akhir-akhir ini banyak dikemukakan
sehubungan dengan peranannya mengatur keseimbangan antara
kadar zat vasokonstriktor (tromboksan, endotelin, angiotensin, dll)
dan vasodilator (prostasiklin nitrioksida, dll) serta pengaruhnya
terhadap sistem pembekuan darah.
Reaksi imunologi, inflamasi atau gangguan keseimbangan
radikal bebas dan antioksidan banyak diamati sebagai penyebab
vasospasme dan jejas endotel.

4) Faktor Genetik
Preeklampsia merupakan kelainan multifaktor dan poligenik.
Oleh sebab itu, tidak ada satupun kandidat gen tunggal yang
bertanggung jawab terhadap kejadiannya. Sudah ditemukan lebih
dari 70 kandidat gen yang terkait dengan preeklampsia, tetapi hanya
7 gen yang paling banyak diteliti, yaitu gen MTHFR, F5 (Leiden,
AGT (M235T), HLA, NOS3 (Glu 298 Asp), F2 (G20210A) dan
ACE. Kecenderungan herediter ini mungkin merupakan akibat
interaksi ratusan gen yang diwariskan baik dari ayah atau ibu yang
mengendalikan sejumlah besar fungsi metabolik dan enzimatik di
setiap sistem organ. Variasi genetik lainnya, termasuk faktor
lingkungan dan epigenetik, juga sangat berpengaruh terhadap
ekspresi genotip dan fenotip sindrom preeklampsia.

6
Tabel 1. Gen yang berhubungan dengan terjadinya preeklampsia

2.1.4 FAKTOR RISIKO7


a. Familial
Preeklampsia adalah kelainan kompleks, yang terlihat diwariskan dalam
pola keluarga. Plasenta memainkan peran sentral dalam patogenesis
preeklampsia, dengan demikian menyiratkan bahwa gen janin yang
diturunkan baik dari ibu maupun ayah dapat memainkan peran dalam
perkembangan penyakit. Preeklampsia yang terjadi pada seorang ibu
hamil merupakan faktor risiko pada kehamilan anak perempuannya
kelak.
b. Usia
Usia ekstrim ibu telah dikaitkan dengan risiko preeklampsia atau
eklampsia. WHO melaporkan bahwa wanita usia ≥ 35 tahun berisiko
tinggi untuk mengalami preeklampsia, meskipun tidak sampai terjadi
eklampsia.
c. Nullipara
Duckitt melaporkan bahwa nulipara memiliki risiko hampir tiga kali
lipat untuk preeklampsia.
d. Kehamilan pertama oleh pasangan baru
Kehamilan pertama oleh pasangan baru yang dianggap sebagai faktor
risiko, walaupun buka nulipara karena risiko meningkat pada wanita
yang memiliki paparan rendah terhadap sperma

7
e. Jarak kehamilan
Studi yang melibatkan 760.901 wanita di Norwegia, memperlihatkan
bahwa wanita multipara dengan jarak kehamilan sebelumnya 10 tahun
atau lebih memiliki risiko preeklampsia hampir sama dengan nulipara.
Rollibord, dkk malporkan bahwa risiko preeklampsia semakin
meningkat sesuai dengan lamanya interval dengan kehamilan pertama.
f. Riwayat preeklampsia sebelumnya
Riwayat preeklampsia pada kehamilan sebelumnya merupakan faktor
risiko utama. Menurut Duckitt, risiko meningkat hingga tujuh kali lipat.
Kehamilan pada wanita dengan riwayat preeklampsia sebelumnya
berkaitan dengan tingginya kejadian preeklampsia berat, preeklampsia
onset dini dan dampak perinatal yang buruk.
g. Riwayat keluarga dengan preeklampsia
Riwayat preeklampsia pada keluarga juga meningkatkan risiko hampir
tiga kali lipat. Adanya riwayat preeklampsia pada ibu meningkatkan
risiko sebanyak 3,6 kali lipat.
h. Kehamilan ganda
Sebuah studi multisenter oleh Sibai dkk, melaporkan bahwa wanita
dengan kehamilan kembar memiliki tingkat hipertensi gestasional dan
preeklampsia yang lebih tinggi. Peningkatan massa plasenta selama
kehamilan kembar dapat menyebabkan peningkatan tingkat sirkulasi
sFlt-1, yang merupakan penanda antiangiogenik yang bersirkulasi dari
asal plasenta, dan dapat memainkan peran penting dalam patofisiologi
terutama preeklampsia awitan dini.
i. Donor oosit, sperma dan embrio
Kehamilan setelah inseminasi donor sperma, donor oosit atau donor
embrio juga dikatakan sebagai faktor risiko. Satu hipotesis yang popular
penyebab preeklampsia adalah maladaptasi imun. Mekanisme dibalik
efek protektif dari paparan sperma masih belum diketahui. Data
menunjukkan adanya peningkatan frekuensi preeklampsia yang tinggi
pada kehamilan remaja, serta makin mengecilnya kemungkinan terjadi

8
pada wanita hamil dari pasangan yang sama dalam jangka waktu yang
lebih lama. Walaupun preeklampsia dipertimbangkan sebagai penyakit
pada kehamilan pertama, frekuensi preeklampsia menurun drastis pada
kehamilan berikutnya apabila kehamilan pertama tidak mengalami
preeklampsia. Namun, efek dari multiparitas menurun apabila berganti
pasangan. Rollibard dkk melaporkan adanya peningkatan risiko
preeklampsia sebanyak dua kali pada wanita dengan pasangan yang
pernah memiliki istri dengan riwayat preeklampsia.
j. Perawakan dan indeks massa tubuh (IMT) sebelum hamil
Studi berbasis populasi yang besar melaporkan bahwa perawakan
pendek wanita membuat mereka cenderung mengalami peningkatan
risiko preeklampsia yang berat. Wanita yang kelebihan berat badan atau
obesitas diketahui berisiko lebih tinggi mengalami preeklampsia. Sebuat
meta analisis menyimpulkan bahwa dengan kelebihan berat badan atau
obesitas serta adipositas ibu dikaitkan dengan peningkatan risiko
preeklampsia. Risiko ini dapat meningkat dua hingga tiga kali lipat
karena IMT meningkat dari 21 kg/m2 menjadi 30 kg/m2.
k. DMTI (Diabetes Mellitus Tergantung Insulin)
Kemungkinan preeklampsia meningkat hampir empat kali lipat bila
diabetes terjadi sebelum hamil.
l. Penyakit ginjal
Semua studi yang diulas oleh Duckitt, risiko preeklampsia meningkat
sebanding dengan keparahan penyakit pada wanita dengan penyakit
ginjal
m. Sindrom antifosfolipid
Dari dua studi kasus kontrol yang diulas oleh Duckitt menunjukkan
adanya antibodi antifosfolipid (antibodi antikardiolipin, antikoagulan
lupus atau keduanya) meningkatkan risiko preeklampsia hampir sepuluh
kali lipat

9
n. Hipertensi kronik
Chaappell dkk meneliti 861 wanita dengan hipertensi kronik, didapatkan
insiden preeklampsia superimposed sebesar 22% (n=80) dan hampir
setengahnya adalah preeklampsia onset dini (<34 minggu) dengan
keluaran maternal dan perinatal yang lebih buruk
o. Status sosial ekonomi
Penduduk pedesaan negara berkembang mempunyai dua kali mungkin
berkembang menjadi preeklampsia dibandingkan dengan mereka yang
tinggal di daerah perkotaan. Lebih lanjut, wanita dengan anemia
bersamaan dan asupan buah-buahan dan sayuran yang buruk memiliki
risiko preeklampsia yang lebih tinggi. Anemia berat (hemogloblin <7
gr/dl) dikaitkan dengan risiko preeklampsia tiga kali lipat lebih besar
pada wanita yang tinggal di negara kurang berkembang.

2.1.5 KLASIFIKASI10
Preeklampsia adalah bagian dari spektrum hipertensi dalam
kehamilan, sebagaimana ditentukan oleh NHBPEP (National High
Blood Pressure Education Program), klasifikasinya adalah sebagai
berikut :
1) Hipertensi Gestasional ditandai dengan tekanan darah 140/90 mmHg
atau lebih untuk pertama kali selama kehamilan, tidak ada
proteinuria, tekanan darah kembali normal kurang dari 12 minggu
post partum
2) Hipertensi kronis ditandai oleh (1) tekanan darah 140/90 mmHg atau
lebih sebelum kehamilan atau didiagnosis sebelum usia kehamilan
20 minggu, tidak disebabkan oleh penyakit trofoblas gestasional atau
(2) hipertensi yang pertama kali didiagnosis setelah usia gestasi 20
minggu dan menetap setelah 12 minggu post partum
3) Preeklampsia ditandai dengan kriteria minimum yaitu : (1) tekanan
darah 140/90 mmHg atau lebih setelah kehamilan 20 minggu pada
wanita dengan tekanan darah normal sebelumnya dan (2) memiliki

10
proteinuria (≥ 0,3 gr protein dalam spesimen urin 24 jam atau ≥ 300
mg/24 jam atau ≥ +1 pada pemeriksaan carik celup). Kemungkinan
preeklampsia menjadi meningkat ketika (1) tekanan darah ≥ 160/110
mmHg (2) proteinuria 2,0 gr/24 jam atau ≥ +2 pada pemeriksaan
carik celup (3) kreatinin serum >1,2 mg/dL, kecuali memang
sebelumnya diketahui meningkat (4) trombositopenia (<100.000/μL)
(5) hemolisis mikroangiopatik; peningkatan laktat dehydrogenase
(LDH) (6) peningkatan kadar transaminase serum (7) nyeri kepala
yang persisten atau gangguan serebral atau visual lainnya (8) nyeri
epigastrik persisten
4) Eklampsia ditandai dengan kejang yang disebabkan oleh penyebab
lain pada perempuan dengan preeklampsia
5) Sindrom HELLP (hemolisis, peningkatan transaminase serum dan
trombositopenia) mungkin merupakan hasil dari preeklampsia berat,
meskipun beberapa penulis percaya bahwa hal itu memiliki etiologi
yang tidak berhubungan. Sindrom ini telah dikaitkan dengan
morbiditas dan mortalitas ibu dan perinatal yang sangat tinggi dan
dapat muncul tanpa hipertensi atau dalam beberapa kasus, tanpa
proteinuria.

2.1.6 PATOGENESIS & PATOFISIOLOGI7,8


Patogenesis preeklamsia tidak sepenuhnya dijelaskan tetapi banyak
kemajuan telah dibuat dalam beberapa dekade terakhir. Plasenta selalu
menjadi tokoh sentral dalam etiologi preeklamsia karena pengangkatan
plasenta diperlukan agar gejala berkurang. Pemeriksaan patologis
plasenta dari kehamilan dengan preeklamsia lanjut sering
mengungkapkan banyak infark plasenta dan penyempitan arteriol
sklerotik. Hipotesis bahwa invasi trofoblas yang rusak dengan
hipoperfusi uteroplasenta terkait dapat menyebabkan preeklampsia
didukung oleh penelitian pada hewan dan manusia. Dengan demikian,
model dua tahap dikembangkan: remodeling arteri spiralis yang tidak

11
lengkap di uterus yang berkontribusi terhadap iskemia plasenta (tahap 1)
dan pelepasan faktor antiangiogenik dari plasenta iskemik ke dalam
sirkulasi ibu yang berkontribusi pada kerusakan endotel (tahap 2).
Selama implantasi, trofoblas plasenta menginvasi uterus dan
menyebabkan pembentukan ulang arteri spiralis, sementara
melenyapkan tunika media dari arteri spiralis miometrium; hal yang
memungkinkan arteri untuk mengakomodasi peningkatan aliran darah
terlepas dari perubahan vasomotor ibu untuk memberi makan janin yang
sedang berkembang. Bagian dari remodeling ini mengharuskan trofoblas
mengadopsi fenotip endotel dan berbagai molekul adhesi. Jika
remodeling ini terganggu, plasenta kemungkinan akan kekurangan
oksigen, yang menyebabkan keadaan iskemia relatif dan peningkatan
stres oksidatif selama keadaan perfusi intermiten. Remodeling arteri
spiralis yang abnormal ini terlihat dan dijelaskan lebih dari lima dekade
yang lalu pada wanita hamil yang mengalami hipertensi.
Selain itu terdapat juga empat konsep yang secara mendetail
membahas tentang perkiraan patogenesis terjadinya preeklampsia ini,
diantaranya adalah :
a. Vasospasme
Konstriksi vaskular menyebabkan peningkatan tahanan pembuluh
darah sehingga timbul hipertensi. Pada saat bersamaan kerusakan sel
endotel menyebabkan kebocoran interstisial tempat lewatnya
komponen-komponen darah, termasuk trombosit dan fibrinogen, yang
kemudian tertimbun di subendotel. Dengan berkurangnya aliran darah
akibat maldistribusi, iskemia pada jaringan sekitar akan menyebabkan
nekrosis, perdarahan dan gangguan end-organ lain yang khas untuk
sindrom preeklampsia.
b. Aktivasi Sel Endotel
Aktivasi sel endotel telah menjadi pusat dari pemahaman
kontemporer mengenai patogenesis preeklampsia. Pada skema ini,
faktor-faktor yang tidak diketahui kemungkinan berasal dari plasenta

12
yang mencetuskan terjadinya aktivasi dan disfungsi sel endotel
vaskular.
Endotel yang utuh memiliki sifat antikoagulan, dan sel endotel
menumpulkan respons otot polos pembuluh darah terhadap agonis
dengan cara melepaskan nitrat oksidan. Sel endotel yang rusak atau
teraktivasi dapat menghasilkan lebih sedikit nitrat oksida dan
menyekresikan substansi yang memacu koagulasi, serta ,eningkatkan
sensitivitas terhadap vasopressor. Bukti ini dilengkapi oleh perubahan
khas pada marfologi endotel kapiler glomerulus, peningkatan
permeabilitas kapiler, dan peningkatan kadar zat-zat terkait aktivasi
endotel dalam darah.
− Peningkatan respon presor
Perempuan hamil secara normal mengalami ketidaksensitifan
terhadap vasopressor yang diinfuskan, namun pada perempuan
hamil dengan preeklampsia dini memiliki peningkatan reaktivasi
vaskular terhadap norepinefrin dan angiotensin II.
− Prostaglandin
Sejumlah prostanoid diduga menjadi pusat patofisiologi sindrom
preeklampsia. Jika dibandingkan dengan kehamilan normal,
produksi prostaglandin endotel (PGI2) menurun pada preeklampsia.
Efek ini tampaknya dimediasi oleh fosfolipase A2. Pada saat yang
sama sekresi tromboksan A2 oleh trombosit meningkat dan rasio
prostasiklin : tromboksan A2 menurun dan hasilnya adalah
cenderung meningkatkan sensitivitas terhadap angiotensin II yang
diinfuskan pada akhirnya menyebabkan vasokonstriksi.
− Nitrat Oksida
Merupakan vasodilator poten yang disintesis oleh sel endotel. Pada
preeklampsia terjadi penurunan drastis nitrat oksida sehingga
menyebabkan meningkatnya tekanan arteri rerata, menurunkan laju
jantung dan membalikkan ketidaksensitifan terhadap vasopressor
yang diinduksi kehamilan. dimana nitrat oksida ini memiliki fungsi

13
untuk menjaga kondisi normal pembuluh darah agar tetap
berdilatasi dan bertekanan darah agar aliran darah uteroplasenta
tetap baik. Namun ketika keadaannya menurun keadaan tersebut
tidak bisa dipertahankan.
c. Endotelin
Peptida 21-asam amino ini merupakan vasokonstriktor poten dan
endothelin-1 (ET-1) merupakan isoform utama yang dihasilkan oleh
endotel manusia. Kadar ET-1 dalam plasma meningkat pada
perempuan hamil normotensif, tetapi perempuan dengan
preeklampsia memiliki kadar ET-1 yang bahkan lebih tinggi.
Peningkatan ini tampaknya berasal dari kerusakan sel endotel
sistemik. Yang menarik, tatalaksana perempuan preeklampsi dengan
magnesium sulfat menurunkan kadar ET-1.
d. Protein Angiogenik dan Antiangiogenik
Pembentukan vaskularisasi plasenta sudah tampak sejak 21 hari
pasca-konsepsi. Kelompok faktor pertumbuhan endotel vaskularisasi
(VEGF) dan produk gen angiopoietin (Ang) merupakan yang paling
banyak diteliti. Istilah ketidakseimbangan angiogenik digunakan
untuk menggambarkan jumlah berlebihan faktor antiangiogenik yang
diduga dirangsang oleh hipoksia yang memburuk pada permukaan
kontak uteroplasenta. Jaringan trofoblas pada perempuan yang
mengalami preeklampsia menghasilkan sedikitnya dua peptida
antiangiogenik secara berlebihan, yang selanjutnya memasuki
sirkulasi maternal yang kadarnya dalam darah ibu akan menurun
drastis setelah pelahiran :
1) Soluble Fms-like tyrosine kinase 1 (sFlt-1) merupakan varian
reseptor Flt-1 untuk faktor pertumbuhan (PIGF) dan faktor
pertumbuhan endotel vaskularisasi (VEGF). Peningkatan kadar
sFlt-1 pada sirkulasi ibu akan menginaktifkan dan menurunkan
kadar PIGF dan VEGF bebas dalam sirkulasi sehingga terjadi

14
disfungsi endotel. Kadar sFlt-1 mulai meningkat pada serum ibu
berbulan-bulan sebelum preeklampsia menjadi nyata.
2) Soluble Endoglin (sEng) merupakan molekul 65-kDa yang
dihasilkan plasenta dan menyekat endoglin disebut juga CD105
yang merupakan koreseptor famili TGF-β. Bentuk endoglin
terlarut ini menghambat berbagai isotop TGF-β untuk berikatan
dengan reseptor di endotel sehingga menyebabkan penurunan
vasodilatasi yang bergantung nitrat oksida endotelial. Kadar sEng
mulai meningkat pada serum ibu berbulan-bulan sebelum
preeklampsia menjadi nyata.

2.1.7 DIAGNOSIS6,8
Berdasarkan PNPK Diagnosis dan Tatalaksana Preeklampsia tahun
2016, preeklampsia sebelumnya selalu didefinisikan dengan adanya
hipertensi dan proteinuria yang baru terjadi saat kehamilan. meskipun
kedua kriteria ini masih menjadi definisi klasik preeklampsia, beberapa
wanita lain menunjukkan adanya hipertensi disertai dengan gangguan
multisistem lain yang menunjukkan adanya kondisi berat dari
preeklampsia meskipun pasien tersebut tidak mengalami proteinuria.
Sedangkan, untuk edema tidak lagi dipakai sebagai kriteria diagnostik
karena sangat banyak ditemukan pada wanita dengan kehamilan normal.
a. Penegakkan Diagnosis Hipertensi
Hipertensi adalah tekanan darah sekurang-kurangnya 140 mmHg
sistolik atau 90 mmHg diastolik pada dua kali pemeriksaan berjarak
15 menit menggunakan lengan yang sama. Definisi hipertensi berat
adalah peningkatan tekanan darah sekurang-kurangnya 160 mmHg
sistolik atau 110 mmHg diastolik. Mat tansimeter sebaiknya
menggunakan tensimeter air raksa, namun apabila tidak tersedia dapat
menggunakan tensimeter jarum atau tensimeter otomatis yang sudah
divalidasi. Laporan terbaru menunjukkan pengukuran tekanan darah

15
menggunakan alat otomatis sering memberikan hasil yang lebih
rendah.
Berdasarkan American Society of Hypertention ibu diberi
kesempatan duduk tenang dalam 15 menit sebelum dilakukan
pengukuran tekanan darah pemeriksaan. Pengukuran dilakukan pada
posisi duduk posisi manset setinggi jantung dan tekanan diastolic
diukur dengan mendengar bunyi Korotkoff V (hilangnya bunyi).
Ukuran manset yang sesuai dan kalibrasi alat juga senantiasa
diperlukan agar tercapai pengukuran tekanan darah yang tepat.
Pemeriksaan tekanan darah pada wanita dengan hipertensi kronik
harus dilakukan pada kedua tangan, dengan menggunakan hasil
pemeriksaan yang tertinggi.
b. Penegakkan Diagnosis Proteinuria
Proteinuria ditetapkan bila ekskresi protein di urin melebihi 300
mg dalam 24 jam atau tes urin dipstik > positif 1. Pemeriksaan urin
dipstik bukan merupakan pemeriksaan yang akurat dalam
memperkirakan kadar proteinuria. Konsentrasi protein pada sampel
urin sewaktu bergantung pada beberapa faktor, termasuk jumlah urin.
Kuo melaporkan bahwa pemeriksaan kadar protein kuantitatif pada
hasil dipstik positif 1 berkisar 0-2400 mg/24 jam, dan positif 2
berkisar 700-4000mg/24jam. Pemeriksaan tes urin dipstik memiliki
angka positif palsu yang tinggi, seperti yang dilaporkan oleh Brown,
dengan tingkat positif palsu 67- 83%. Positif palsu dapat disebabkan
kontaminasi duh vagina, cairan pembersih, dan urin yang bersifat basa.
Konsensus Australian Society for the Study of Hypertension in
Pregnancy (ASSHP) dan panduan yang dikeluarkan oleh Royal
College of Obstetrics and Gynecology (RCOG) menetapkan bahwa
pemeriksaan proteinuria dipstik hanya dapat digunakan sebagai tes
skrining dengan angka positif palsu yang sangat tinggi, dan harus
dikonfirmasi dengan pemeriksaan protein urin tampung 24 jam atau
rasio protein banding rasio protein banding kreatinin. Pada telaah

16
sistematik disimpulkan bahwa pemeriksaan rasio protein banding
kreatinin dapat memprediksi proteinuria dengan lebih baik.
c. Penegakkan Diagnosis Preeklampsia
Seperti telah disebutkan sebelumnya, bahwa preeklampsia
didefinisikan sebagai hipertensi yang baru terjadi pada kehamilan
diatas usia kehamilan 20 minggu disertai adanya gangguan organ.
Jika hanya didapatkan hipertensi saja, kondisi tersebut tidak dapat
disamakan dengan preeklampsia, harus didapatkan gangguan organ
spesifik akibat preeklampsia tersebut. Kebanyakan kasus
preeklampsia ditegakkan dengan adanya protein urin, namun jika
protein urin tidak didapatkan, salah satu gejala dan gangguan lain
dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis preeklampsia, yaitu :
1) Hipertensi : Tekanan darah sekurang-kurangnya 140 mmHg
sistolik atau 90 mmHg diastolik pada dua kali pemeriksaan
berjarak 15 menit menggunakan lengan yang sama
2) Proteinuria : protein di urin melebihi 300 mg dalam 24 jam atau
tes urin dipstick > positif 1
3) Trombositopenia : trombosit <100.000/μL
4) Gangguan ginjal : kreatinin serum >1,1 mg/dL atau didapatkan
peningkatan kadar kreatinin serum pada kondisi dimana tidak ada
kelainan ginjal lainnya
5) Gangguan hepar : peningkatan konsentrasi transaminase 2 kali
normal atau adanya nyeri di daerah epigastrik atau region kanan
atas abdomen
6) Edema paru
7) Didapatkan gejala neurologis : stroke, nyeri kepala, gangguan
visus
8) Gangguan pertumbuhan janin yang menjadi tanda gangguan
sirkulasi uteroplasenta : oligohidramnion, feel growth restriction
velocity (ARDV)

17
d. Penegakkan Diagnosis Preeklampsia Berat
Beberapa gejala klinis meningkatkan morbiditas dan mortalitas
pada preeklampsia dan jika gejala tersebut didapatkan akan
dikategorikan menjadi kondisi pemberatan preeklampsia atau disebut
dengan preeklampsia berat. Kriteria gejala dan kondisi yang
menunjukkan kondisi pemberatan preeklampsia atau preeklampsia
berat adalah salah satu dibawah ini :
1) Hipertensi : Tekanan darah sekurang-kurangnya 160 mmHg
sistolik atau 110 mmHg diastolik pada dua kali pemeriksaan
berjarak 15 menit menggunakan lengan yang sama
2) Proteinuria : protein di urin melebihi 300 mg dalam 24 jam atau
tes urin dipstick > positif 2
3) Trombositopenia : trombosit <100.000/μL
4) Gangguan ginjal : kreatinin serum >1,1 mg/dL atau didapatkan
peningkatan kadar kreatinin serum pada kondisi dimana tidak ada
kelainan ginjal lainnya
5) Gangguan hepar : peningkatan konsentrasi transaminase 2 kali
normal atau adanya nyeri di daerah epigastrik / region kanan atas
abdomen
6) Edema paru
7) Didapatkan gejala neurologis : stroke, nyeri kepala, gangguan
visus
8) Gangguan pertumbuhan janin yang menjadi tanda gangguan
sirkulasi uteroplasenta : oligohidramnion, feel growth restriction
velocity (ARDV)

Beberapa penelitian terbaru menunjukkan rendahnya hubungan antara


kuantitas protein urin terhadap luaran preeklampsia, sehingga kondisi
protein urin masif (lebih dari 5 gram) telah dieliminasi dari kriteria
pemberatan preeklampsia (preeklampsia berat). Kriteria terbaru tidak
lagi mengkategorikan lagi preeklampsia ringan, dikarenakan setiap

18
preeklampsia merupakan kondisi yang berbahaya dan dapat
mengakibatkan peningkatan morbiditas dan mortalitas secara signifikan
dalam waktu singkat.

2.1.8 PENATALAKSANAAN7,8
Penatalaksanaan preeklampsia bertujuan untuk mengurangi
komplikasi kehamilan, menghindari prematuritas dan memaksimalkan
keselamatan ibu dan bayi.
Pada penatalaksaan preeklampsia ringan (PER) adalah hanya dengan
tirah baring disertai dengan pemberian suplemen kalsium dan terminasi
baru dilakukan apabila usia kehamilan ≥ 37 minggu.
Namun pada preeklampsia berat (PEB) dibagi menjadi berdasarkan
usia kehamilan, yaitu :
a. Usia kehamilan <24 minggu
Lakukan terminasi kehamilan
b. Usia kehamilan 24-34 minggu dengan gejala berat
Pemberian MgSO4 dan lakukan induksi persalinan
c. Usia kehamilan >34 minggu
Pemberian MgSO4 dan lakukan terminasi kehamilan apabila terjadi
perburukan dan atau komplikasi

a. Manajemen Ekspektatif atau Aktif


Tujuan utama dari manajemen ekspektatif adalah untuk
memperbaiki luaran perinatal dengan mengurangi morbiditas
neonatal serta memperpanjang usia kehamilan tanpa membahayakan
ibu. Manajemen ekspektatif tidak meningkatkan kejadian morbiditas
maternal seperti gagal ginjal, sindrom HELLP, angka seksio caesaria
atau solusio plasenta. Sebaliknya dapat memperpanjang usia
kehamilan, serta mengurangi morbiditas perinatal seperti penyakit
membrane hialin, necroting enterocolitis, kebutuhan perawatan
intensif dan ventilator serta lama perawatan. Berat lahir bayi rata-rata

19
lebih besar pada manajemen ekspektatif, namun insiden
pertumbuhan janin terhambat juga lebih banyak.
Pemberian kortikosteroid mengurangi kejadian sindrom gawat
napas, perdarahan intraventrikular, infeksi neonatal serta kematian
neonatal.
Rekomendasi perawatan ekspektatif pada preeklampsia tanpa
gejala berat berdasarkan PNPK Preeklampsia tahun 2016 adalah
sebagai berikut :
1) Manajemen ekspektatif direkomendasikan pada kasus
preeklampsia tanpa gejala berat dengan usia kehamilan kurang
dari 37 minggu dengan evaluasi maternal dan janin yang lebih
ketat
2) Perawatan poliklinis secara ketat dapat dilakukan pada kasus
preeklampsia tanpa gejala berat
3) Evaluasi ketat yang dilakukan adalah :
− Evaluasi gejala maternal dan gerakan janin setiap hari oleh
pasien
− Evaluasi tekanan darah dua kali dalam seminggu secara
poliklinis
− Evaluasi jumlah trombosit dan fungsi hepar setiap minggu
− Evaluasi USG dan kesejahteraan janin secara berkala
(dianjurkan dua kali seminggu)
− Jika didapatkan tanda pertumbuhan janin terhambat, evaluasi
menggunakan dopplet velocimetry terhadap areteri umbilikalis
direkomendasikan

20
Gambar 2. Rekomendasi perawatan pada pasien preeklampsia

Rekomendasi perawatan ekspektatif pada preeklampsia berat


berdasarkan PNPK Preeklampsia tahun 2016 adalah sebagai berikut :
1) Manajemen ekspektatif direkomendasikan pada kasus PEB
dengan usia kehamilan kurang dari 34 minggu dengan syarat
kondisi ibu dan janin stabil
2) Manajemen ekspektatif pada PEB juga direkomendasikan untuk
melakukan perawatan di fasilitas kesehatan yang adekuat dengan
tersedia perawatan intensif bagi maternal dan neonatal
3) Bagi wanita yang melakukan perawatan ekspektatif PEB,
pemberian kortikosteroid direkomendasikan untuk membantu
pematangan paru janin
4) Pasien dengan PEB direkomendasikan untuk melakukan rawat
inap selama melakukan perawatan ekspektatif

21
Gambar 3. Rekomendasi perawatan ekspektatif untuk PEB

Berikut merupakan kriteria terminasi kehamilan pada


preeklampsia berat berdasarkan PNPK Preeklampsia tahun 2016 :

Tabel 2. Kriteria terminasi pada kehamilan dengan PEB

Indikasi untuk dilakukan pengelolaan aktif adalah salah satu


sebagai berikut :

22
− Kehamilan >34 minggu
− Adanya gejala impending eklampsia
− Gagal perawatan konservatif
− Diduga solusio plasenta
− Adanya fetal distress/gawat janin
− IUGR (Intra Uterine Growth Restriction)
− Terjadi oligohidramnion
− Tanda-tanda HELLP Syndrome khususnya penurunan trombosit
yang cepat

b. Pemberian Magnesium Sulfat untuk Mencegah Kejang


Eklampsia merupakan ancaman langsung bagi ibu dan janin dan
telat dikaitkan dengan lesi pada daerah di otak. Risiko morbiditas
jangka pendek dan segera muncul merupakan hal yang harus
menjadi fokus pentingnya pencegahan kejang selama kehamilan dan
preeklampsia.
MgSO4 memiliki sejarah yang kontroversial dan penggunaannya
sebagai profilaksis kejang telah diteliti selama beberapa dekade.
Namun penelitian yang luas telah menunjukkan bahwa MgSO4
mengurangi risiko eklampsia hingga >50% dan lebih aktif dalam
pencegahan kejang eklampsia berulang daripada plasebo dan
menerima obat antikonvulsan lainnya.
Konsentrasi serum normal Mg2+ pada manusia adalah 1,8 – 3,0
mg/dL dan target kisaran terapi pengobatan sebagai anti kejang pada
preeklampsi adalah meningkatkan kadar Mg2+ serum menjadi 4,2-8,4
mg/dL. Preparat MgSO4 berupa cairan biasanya diberikan secara
intramuskular, intravena, titrasi atau kombinasi. Meskipun menjadi
obat yang paling banyak diberikan untuk profilaksis kejang pada
kasus preeklampsia, penggunaannya dikaitkan dengan efek samping
yang berpotensi serius termasuk kelumpuhan otot pernapasan.
Hipermagnesemia menyebabkan kelemahan otot, tetapi dapat

23
berkembang menjadi kelumpuhan penuh jika cukup berat,
mekanisme kelumpuhan otot disebabkan terjadinya kompetitif
inhibitor ion kalsium oleh ion magnesium pada sel otot. Seperti
diketahui ion kalsium dibutuhkan dalam proses kontraksi, sehingga
otot dapat berkontraksi karena terhambatnya pelepasan asetilkolin.
Hiporefleksia mulai terjadi pada kadar Mg2+ >5gr/dL dan
arefleksia sekitar 10gr/dL membuat pemantauan konstan konsentrasi
serum Mg2+ dan reflex patella merupakan upaya untuk menilai
kekuatan otot masih adekuat sebelum pasien menerima MgSO4. Obat
MgSO4 berkolerasi dengan peningkatan konsentrasi Mg2+ diseluruh
otak, selain itu memiliki pula sifat anti-konvulsan karena langsung
berefek pada reseptor N-methyl-D-aspartate (NMDA). Hal ini
disebabkan kemungkinan karena sifat berpasangan Mg2+ pada
reseptor ini.
Beberapa penelitian menjelaskan mekanisme MgSO4 yang
bertindak sebagai profilaksis kejang eklampsia pada wanita dengan
preeklampsia. Gangguan sawar darah otak adalah konsekuensi dari
beberapa patologi dan proses penyakit yang mungkin menjadi pusat
serangan kejang eklampsia, dan merupakan target terapi potensial
MgSO4. Penelitian telah menunjukkan bahwa pengobatan MgSO4
mengurangi permeabilitas sawar darah otak. Efek perlindungan ini
dalam kondisi patologis yang dapat meningkatkan permeabilitas
kemungkinan karena aksi antagonis kalsium yaitu Mg2+. Proses
menghambat yang tergantung pada kalsium dengan cara MgSO4
memberikan efek penyempitan
Pemberian magnesium sulfat lebih baik dalam mencegah kejang
atau kejang berulang dibandingkan antikonvulsan lainnya. Dosis
yang digunakan :
1) Loading Dose : Initial Dose
4 gram MgSO4 I.V (10 cc MgSO4 40% atau 20cc MgSO4 20%)
selama 5-10 menit

24
2) Maintenance Dose :
Diberikan infus 6 gram dalam larutan Ringer Laktat (RL) per 6
jam atau 1-2 gram/jam, atau diberikan 4-5 gram I.M. Selanjutnya
maintenance dose diberikan 4 gram I.M tiap 4-6 jam. Dosis
pemeliharaan dilanjutkan selama 24 jam postpartum atau setelah
kejang terakhir, kecuali terdapat alasan tertentu untuk
melanjutkan pemberian magnesium sulfat.

Syarat-syarat pemberian MgSO4 :


1) Harus tersedia antidotum MgSO4, bila terjadi intoksikasi yaitu
Ca glukonas 10% 1gr diberikan I.V, selama 10 menit
2) Refleks patella (+) kuat
3) Frekuensi pernapasan >16 kali/menit, tidak ada tanda-anda
distress pernapasan
4) Produksi urin >30 cc dalam 1 jam sebelumnya
(0,5cc/kgBB/jam)

MgSO4 dihentikan bila :


1) Ada tanda-tanda intoksitasi
2) Setelah 24 jam postpartum atau 24 jam setelah kejang terakhir
3) Dalam 6 jam postpartum sudah terjadi perbaikan (normotensif)

Tabel 3. Efek toksisitas pemberian MgSO411

25
Belum ada kesepakatan dari penelitian yang telah dipublikasi
mengenai waktu yang optimal untuk memulai magnesium sulfat,
dosis (loading dan pemeliharaan), rute administrasi (intramuskular
atau intravena) serta lama terapi.

c. Antihipertensi
Keuntungan dan risiko pemberian antihipertensi pada hipertensi
ringan - sedang (tekanan darah 140 – 169 mmHg/90 – 109 mmHg),
masih kontroversial. European Society of Cardiology (ESC)
guidelines 2010 merekomendasikan pemberian antihipertensi pada
tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg atau diastolik ≥ 90 mmHg pada
wanita dengan hipertensi gestasional (dengan atau tanpa proteinuria),
hipertensi kronik superimposed, hipertensi gestasional, hipertensi
dengan gejala atau kerusakan organ subklinis pada usia kehamilan
berapa pun. Pada keadaan yang lain, pemberian antihipertansi
direkomendasikan bila tekanan darah ≥ 150/95 mmHg.
Antihipertensi direkomendasikan pada preeklampsia dengan
hipertensi berat, atau tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg atau
diastolik ≥ 110 mmHg. Target penurunan tekanan darah adalah
sistolik < 160 mmHg dan diastolik < 110 mmHg. Pemberian
antihipertensi pilihan pertama adalah nifedipin oral short acting,
hidralazine dan labetalol parenteral. Alternatif pemberian
antihipertensi yang lain adalah nitogliserin, metildopa, labetalol.
Dapat diberikan:
1) Diuretik
Meningkatkan eksresi urin tubuh, membantu ginjal
menghilangkan garam dan air yang berlebihan dari jaringan tubuh
dan darah
− Diuretic loop : Furosemid
− Diuretic thiazide : Hidroklorotiazid, klorotiazid
− Diuretic hemat kalium : Spironolakton

26
2) Calcium Channel Blocker (CCB)
Berfungsi untuk memblokir masuknya kalium sel otot dinding
arteri
a. Nifedipin
Merupakan salah satu CCB yang sudah digunakan sejak
decade terakhir, untuk mencegah persalinan preterm
(tokolisis) dan sebagai antihipertensi. Nifedipin dapat
menurunkan perfusi dari uteroplasenta. Selain itu, berperan
sebagai vasodilator arteriolar ginjal yang selektif dan
bersifat natriuretic, serta meningkatkan produksi urin.
Regimen yang direkomendasikan adalah 10 mg kapsul oral,
diulangi setiap 15-30 mrnit, dengan dosis maksimum 30
mg (maksimal 120 mg/24 jam) sampai terjadi penurunan
MABP <20%. Nifedipin tidak boleh diberikan sublingual
karena dapat menyebabkan hipoperfusi pada ibu dan janin.
b. Nikardipin
Merupakan CCB parenteral, yang mulai bekerja setelah 10
menit pemberian dan menurunkan tekanan darah dengan
efektif dalam 20 menit (lama kerja 4-6 jam). Merupakan
lini kedua yang dapat diberikan jika pada setelah nifedipin
dan metildopa tidak ada perubahan atau diberikan bila
tekanan darah ≥180/110 mmHg atau pada hipertensi
emergensi. Efek samping yang paling sering dilaporkan
adalah sakit kepala. Dosis awal nikardipin yang dianjurkan
melalui infus yaitu 5 mg/jam dan dapat dititrasi 2,5 mg/jam
tiap 5 menit hingga maksimum 10 mg/jam atau hingga
penurunan tekanan arterial rata-rata sebesar 25% tercapai.
Kemudian dosis dapat dikurangi dan disesuaikan dengan
respon.

27
3) Agonis Reseptor Alfa
Metildopa. Bekerja pada sistem saraf pusat (SSP), merupakan
obat antihipertensi yang paling sering digunakan untuk wanita
hamil dengan hipertensi kronis. Digunakan sejak tahu 1960,
metildopa mempunyai safety margin yang luas (paling aman).
Walaupun metildopa bekerja terutama pada SSP, namun juga
memiliki sedikit efek perifer yang akan menurunkan tonus
simpatis dan tekanan darah arteri. Frekuensi nadi, cardiac output
dan aliran darah ginjal relatif tidak terpengaruh. Efek samping
pada ibu antara lain; letargi, mulut kering, sedatif, drug induced
hepatitis. Metildopa biasanya dimulai pada dosis 250-500 mg, per
oral, 2-3 kali sehari, dengan dosis maksimum 300 mg/hari. Efek
obat maksimal dicapai 4-6 jam setelah obat masuk dan menetap
selama 10-12 jam sebelum diekskresikan lewat ginjal. Alternatif
lain penggunaan metildopa adalah invtravena 250-500 mg tiap 6
jam sampai maksimum 100 mg tiap 6 jam untuk krisis hipertensi.
Metildopa dapat melalui plasenta pada jumlah tertentu
disekresikan di ASI.

2.1.9 KOMPLIKASI12
Pada kasus preeklampsia yang segera ditangani :
a. Ibu
1) Selama kehamilan
− Eklampsia (2%) lebih banyak pada kasus akut dibandingkan
pada kasus subakut
− Perdarahan tidak disengaja
− Oliguria dan anuria
− Penglihatan kabur dan bahkan kebutaan
− Persalinan prematur
− Sindrom HELLP
− Perdarahan otak

28
− Sindrom gangguan pernapasan akut (ARDS)
2) Selama persalinan
− Eklampsia
− Perdarahan postpartum yang mungkin terkait dengan kegagalan
koagulasi
3) Puerperium :
− Eklampsia biasanya terjadi dalam waktu 48 jam
− Syok-kolaps vasomotor nifas dikaitkan dengan penurunan
konsentrasi natrium dan klorida karena penurunan tiba-tiba
tingkat kortikosteroid
− Sepsis karena peningkatan insiden induksi, gangguan operasi
dan vitalitas rendah
b. Janin
Risiko janin berhubungan dengan beratnya preeklampsia, durasu
penyakit dan derajat proteinuria. Bahaya yang mungkin terjadi
diantaranya adalah :
− Kematian intrauterin (IUFD) akibat spasme sirkulasi
uteroplasenta yang menyebabkan perdarahan tak disengaja
− Hambatan pertumbuhan intrauterin (IUGR) karena insufisiensi
plasenta kronis
− Asfiksia
− Prematuritas baik karena onset premature spontan persalinan
atau karena induksi prematur

2.1.10 PROGNOSIS12
Prognosis preeklampsia tergantung pada masa gestasi, keparahan
penyakit dan respon terhadap pengobatan. Jika preeklampsia terdeteksi
dini, dengan pengobatan yang tepat dan efektif, hal-hal yang berperan
pada preeklampsia mereda sepenuhnya dan prognosisnya tidak buruk,
prognosis baik untuk ibu maupun bayinya. Namun, jika kasus dibiarkan

29
tanpa perawatan atau dengan kasus onset akut, kemungkinan besar akan
terjadi komplikasi serius. Dalam kondisi seperti itu, ibu dan bayinya
berada dalam bahaya.
a. Kematian Ibu
Peningkatan kematian ibu terutama terkait dengan eklampsia,
perdarahan tidak disengaja, gagal ginjal akut, edema paru,
koagulopati intravascular diseminata dan sindrom HELLP. Meskipun
angka kematian telah berkurang secara signifikan di Negara-negara
maju, angka itu masih tetap tinggi di Negara berkembang
b. Kematian Perinatal
Meskipun kematian ibu telah berkurang secara signifikan, kematian
perinatal masih tetap sangat tinggi bahkan di negara maju (7-10%). Di
Negara berkembang, kematian perinatal tetap sekitar 20%, sekitar
50% di antaranya lahir mati

2.1.11 PENCEGAHAN6
Pencegahan yang direkomendasikan pada PNPK Preeklampsia 2016,
yaitu:
a. Perlu dilakukan skrining risiko terjadinya preeklampsia untuk setiap
wanita hamil sejak awal kehamilannya
b. Penggunaan aspirin dosis rendah (75 mg/hari) direkomendasikan
untuk prevensi preeklampsia pada wanita dengan risiko tinggi.
Aspirin dosis rendah sebaiknya mulai digunakan sebelum usia
kehamilan 20 minggu
c. Suplementasi kalsium minimal 1 gr/hari direkomendasikan terutama
pada wanita dengan asupan kalsium yang rendah sebagai prevensi
preeklampsia pada wanita dengan risiko tinggi terjadinya
preeklampsia
d. Pemberian antioksidan vitamin C dan vitamin E dianggap tidak
efektif serta tirah baring dan pembatasan garam terbukti tidak
bermanfaat dalam pencegahan terjadinya preeklampsia.

30
Wanita dengan faktor risiko tinggi preeklamsia seperti memiliki
riwayat preeklamsia sebelumnya, kehamilan lebih dari satu janin,
penyakit ginjal, autoimun, diabetes melitus tipe 1 dan 2, serta hipertensi
kronis dan wanita dengan faktor risiko sedang serperti kehamilan
pertama, hamil >35 tahun, BMI >30 dan lain – lain dapat diberikan
aspirin dosis rendah 81mg/hari sebagai profilaksis dari preeklamsia
diantara kehamilan 12 – 28 minggu dan hasil optimal di kehamilan 16
minggu. Pemberian MgSO4 untuk pencegahan kejang.

31
BAB III
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Istri Suami
Nama : Ny. T Nama : Tn. S
Umur : 35 tahun Umur : 46 tahun
Pendidikan : SMP Pendidikan : SMP
Pekerjaan : IRT Pekerjaan : Tukang ojek
Agama : Islam Agama : Islam
Suku : Betawi Suku : Betawi

Alamat : Kp. Kandang RT 004/005, Sukakarya, Karang Bahagia,


Tambun – Bekasi.
No. RM : 201xxx
Tgl Masuk : 21 Maret 2020, pukul 07.20 WIB

II. ANAMNESIS
Dilakukan dengan teknik autoanamnesis di Ruang Delima IGD Kebidanan
RSUD Kabupaten Bekasi pada tanggal 21 Maret 2021 pada pukul 08.05
WIB
a. Keluhan Utama
Mulas sejak 3 jam sebelum masuk rumah sakit (SMRS)

b. Keluhan Tambahan
Bengkak pada kedua tungkai kaki dan terdapat lendir bercampur
darah yang keluar dari vagina pada saat perjalanan menuju ke RS

c. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien Ny. T datang ke IGD Kebidanan RSUD Kabupaten
Bekasi pukul 07.30 dengan G3P2A0 merasa hamil ± 10 bulan

32
dengan keluhan mulas sejak 3 jam SMRS, yang disarasakan semakin
sering dan bertambah hebat. Pasien juga mengeluhkan adanya lendir
bercampur darah yang keluar dari jalan lahir pada saat perjalanan ke
RS.
Sekitar 2 minggu SMRS pasien juga merasakan sesak napas
ketika sedang melakukan aktivitas, namun menjadi lebih baik ketika
pasien beristirahat.
Selama kehamilan pasien tidak mengetahui adanya darah tinggi.
Namun 1 minggu SMRS pada saat pasien ke puskesmas di dekat
rumahnya untuk melakukan imunisasi tetanus yang kedua, petugas
puskesmas mengatakan bahwa tekanan darah pasien tinggi dan lebih
baik untuk segera dibawa ke RSUD untuk pananganan lebih lanjut.
Pasien memberitahukan bahwa akhir-akhir ini ia seringkali
begadang karena harus menjaga ibunya yang sedang sakit.
Keluhan lainnya seperti pandangan kabur, sakit kepala, nyeri
perut ulu hati, kejang dan penurunan kesadaran disangkal.

d. Riwayat Penyakit Dahulu


− Pasien mengatakan belum pernah mengalami keluhan yang sama
pada kehamilan sebelumnya
− Hipertensi diluar kehamilan disangkal
− Riwayat DM disangkal
− Riwayat alergi disangkal
− Riwayat asma disangkal

e. Riwayat Penyakit Keluarga


− Riwayat hipertensi pada ibu pasien
− Riwayat DM pada ibu pasien
− Riwayat asma disangkal
− Riwayat alergi disangkal

33
f. Riwayat Kebiasaan, Sosial dan Status Ekonomi
Pada saat ini pasien tinggal di rumahnya bersama dengan suami,
ketiga anaknya dan ibu pasien yang sedang sakit. Suami pasien adalah
seorang tukang ojek di sekiatr rumah mereka. Pasien mengaku makan
teratur kurang lebih tiga kali sehari dengan lauk pauk yang bervariasi,
terdiri dari ayam, sayur, buah dll. Pasien juga tidak membatasi
makanan. Pasien juga tidak memiliki kebiasaan merokok atau
meminum alkohol

g. Riwayat Pernikahan
Pasien menikah sebanyak dua kali. Pertama kali menikah pada
tahun 2006 dan memiliki dua orang anak laki-laki, berlangsung
selama 16 tahun. Lalu suami pertama pasien meninggal. Setelah itu
pada tahun 2020 pasien menikah lagi sampai dengan sekarang

h. Riwayat Menstruasi
a) Menarche : 12 tahun
b) Siklus : 28 hari, teratur
c) Lama haid : 7 hari
d) Volume : Sehari pasien mengganti pembalut sebanyak
dua kali
e) Keluhan : Tidak terdapat keluhan pada saat menstruasi

i. Riwayat KB
a) Jenis KB : Suntik
b) Lama Pemakaian : 3 bulan
c) Keluhan : Tidak ada

j. Riwayat Obstetri
a) Paritas : G3P2A0
b) Hari Pertama Haid Terakhir : 8 Juni 2020

34
c) Hari Perkiraan Lahir : 15 Maret 2021
d) Usia Kehamilan : 39-40 Minggu

Tahun Tempat Usia Jenis Anak


No Penyulit
Partus Partus Kehamilan Persalinan JK BB PB

1. 2006 Rumah 9 bulan Normal - Lk - -

2. 2009 Rumah 9 bulan Normal - Lk 2800 -


Bidan gr

3. Hamil saat ini


Tabel 4. Riwayat Persalinan Pasien

k. Antenatal Care
Pasien rutin melakukan pemeriksaan kehamilan di puskesmas
dekat rumahnya sebanyak satu bulan sekali. Pasien sudah
mendapatkan imunisasi tetanus pertama, namun saat ingin melakukan
yang kedua, tekanan darah pasien tinggi dan disarankan untuk
menunda penerimaan imunisasi tersebut dan segera dirujuk ke RSUD
Selama pemeriksaan rutin ibu dan janin memiliki kondisi yang
baik dan tidak terdapat keluhan atau masalah sama sekali sebelum.

III. PEMERIKSAAN FISIK


a. Pemeriksaan Umum
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Composmentis
Tanda Vital
Tekanan Darah : 175/130 mmHg
Frekuensi Nadi : 101x/menit

35
Frekuensi Napas : 20x/menit
Saturasi Oksigen : 99%
Suhu : 36,4 oC
BB : 95 kg
TB : 165 cm
IMT : 31,2 kg/m2

b. Status Generalis
Kepala : Normocephal
Mata : Pupil bulat isokor, refleks cahaya langsung (+/+),
konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), edema
palpebral (-/-)
Leher : Deviasi trakea (-), pembesaran KGB (-), nyeri
tekan (-)
Thoraks : Mammae tampak simetris, membesar dan aerola
hiperpigmentasi
Paru : Suara napas vesikuler di seluruh lapang paru, suara
tambahan (-)
Jantung : BJ I/II regular murni, suara BJ tambahan (-)
Abdomen : Pembesaran perut (+) ke depan sesuai dengan
masa kehamilan, bising usus (+), striae gravidarum
(+), nyeri tekan epigastrium (-), terlihat dan teraba
gerakan janin di perut
Ekstremitas : Akral hangat, CRT <2s, edema tungkai kaki
(+/+), reflex patella (+) kuat

c. Status Obstetri
a) Pemeriksaan Luar
TFU : 34 cm
TBJ Klinis : (34 – 12) x 155 = 3410 gram
Leopold I : Teraba bagian lunak, kesan bokong

36
Leopold II : Teraba bagian keras memanjang disebelah kanan,
kesan punggung di kanan
Leopold III : Teraba bagian keras, bulat, simetris, melenting,
kesan kepala
Leopold IV : Bagian terbawah janin sudah masuk PAP
His : 2x10’10”
DJJ : 133 x/menit

b) Pemeriksaan Dalam
V/V : Tidak ada kelainan
Portio : Teraba tebal lunak
Ø : 4 cm
Ketuban : (+)
Presentasi : Kepala

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


21 Maret 2021 (08.17) di RSUD Kab Bekasi
HEMATOLOGI
Darah Lengkap
Hemoglobin 13,2 g/dL
Hematokrit 38%
Eritrosit 4,72 106/μL
MCV 80 fL
MCH 28 pg/mL
MCHC 35 g/dL
Trombosit 274 103/μL
Leukosit 7,7 103/μL
Hitung Jenis
Basofil 0%
Eosinofil 2%

37
Neutrofil 74% (H)
Limfosit 17% (L)
NLR 4,35
Monosit 7%
Laju Endap Darah (LED) 50 mm/jam (H)
Golongan Darah + Rhesus
Golongan Darah A
Rhesus (+) Positif
Kimia Klinik
SGOT (AST) 16 U/L
SGPT (ALT) 10 U/L
Ureum Kreatinin
Ureum 14 mg/dL (L)
Kreatinin 0,9 mg/dL
GFR 83,1 mL/min/1,73 m2
Glukosa Sewaktu 83 mg/dL
Asam Urat 5,7 mg/dL
Urinalisa
Protein Urin +3 mg/dL
Tabel 5. Hasil pemeriksaan penunjang pasien

V. RESUME
Pasien Ny. T usia 35 tahun datang ke IGD Kebidanan RSUD Kab Bekasi
pukul 07.30 dengan keluhan mulas sejak 3 jam SMRS. Disertai dengan keluarnya
lendir dari vagina, perut kencang, kedua tungkai kaki bengkak dan sesak napas.
Pada tanda vital ditemukan hipertensi. Pada pemeriksaan fisik ditemukan edema
kedua tungkai kaki. Pada pemeriksaan obstetri tinggi fundus uteri 34 cm dengan
his 2x10’10” dan DJJ 133x/menit. Pembukaan 4 cm dengan presentasi kepala.
Pada pemeriksaan penunjang ditemukan proteinuria +3.

38
VI. DIAGNOSIS KERJA
G3P2A0 Gravida 39-40 Minggu, Inpartu Kala I Fase Laten dengan Pre
Eklampsia Berat

VII. RENCANA PENATALAKSANAAN


Sebelum Persalinan :
1) Terapi Non-Medikamentosa :
− Pasang kateter urine untuk memantau urine output pasien
− Asuhan persalinan kala I, pantau pembukaan dan his pada pasien.
Mempersiapkan perlengkapan untuk persalinan
2) Terapi Medikamentosa
− IVFD RL 500 ml
− MgSO4 20% 4 gr, I.V, bolus selama 15 menit
3) Penatalaksanaan Obstetri
Asuhan persalinan kala I, pantau pembukaan dan his pada pasien.
Mempersiapkan perlengkapan untuk persalinan
Sesusah Persalinan
1) Terapi Medikamentosa
− Infus RL + MgSO4 8gr + 2 ampul oksitosin (16 tpm) → dilanjutkan
sampai 24 jam post partum
− Ceftriaxone 3x1 gr, IV
− Nifedipine 3x10 mg, PO
− Methyldopa 3x500 mg, PO
− Sulfas Ferrous 2x1 tab, PO
− Paracetamol 500 mg, 3x1, PO
− Gastrul 3 tab, rektal
2) Penatalaksanaan Obstetri
− Hecting (+) perineum grade I
− Manajemen persalinan normal kala III-IV, dilanjutkan dengan
observasi keadaan ibu (TD, nadi, suhu, TFU, kontraksi uerus, urine

39
dan perdarahan) → pada pasien terutama observasi tekanan
darahnya

VIII. FOLLOW UP PASIEN


Tanggal, Temuan Klinis dan
Jam Pemeriksaan Penatalaksanaan
S : Mules semakin sering dan teratur
O : K/U Baik, Kesadaran : Composmentis
TD : 175/130 mmHg, HR : 101x/menit, RR :
20x/menit, T : 36,4 oC
His : 3x10’30”
DJJ : 136x/menit
21 Maret 2021, Status Generalis → ekstremitas bawah kanan dan
Pukul 08.30 WIB kiri edema (+)
(VK) Status Obstetri →
Pemeriksaan Dalam
V/V : Tidak ada keluhan
Portio : Tidak teraba
Ø : Lengkap
Ketuban : (+) Pecah spontan
A : G3P2A0 hamil 39-40 minggu, inpartu kala II
Fase Aktif dengan PEB
P : - Melakukan asuhan persalinan normal kala II
- Menolong persalinan spontan pervaginam
- Bayi lahir pervaginam → Laki-laki, BB: 2890
gram, PB : 48 cm, A/S : 7/8
S : Masih merasakan mules (+)
O : K/U Baik, Kesadaran : Composmentis
TFU : Sepusat, Kontraksi Uterus : Baik
Perdarahan : (+)

40
21 Maret 2021, A : P3A0 Partus Kala III dengan PEB
Pukul 10.25 WIB P : - Melakukan manajemen aktif kala III
(VK) - Oxytocin 1 amp, IV
- Plasenta lahir manual, selaput dan kotiledon
lengkap
S : Masih terasa sedikit mules
O : K/U Baik, Kesadaran : Composmentis
TD : 193/128 mmHg, HR : 102x/menit, RR :
20x/menit, T : 36,4 oC
A : P3A0 Partus Kala IV dengan PEB
P :
21 Maret 2021, - IVFD RL + MgSO4 8gr + 2 ampul oksitosin (16
Pukul 10.35 WIB tpm) → dilanjutkan sampai 24 jam post partum
(VK) - Melakukan hecting perineum grade I dengan 4
jahitan
- Melakukan observasi persalinan kala IV
S : Pasien merasa lemas, dan nyeri dibagian jalan
Lahir, pasien sudah dalam keadaan stabil dan
persiapan untuk pindah ke Ruang Camelia
O : K/U baik, Kesadaran : Composmentis
TD : 172/100 mmHg, HR : 96x/menit, RR :
20x/menit, T : 36,5 oC, SpO2 : 94%
21 Maret 2021, Abdomen → TFU : 1 jari dibawah pusat,
Pukul 14.00 WIB Kontraksi uterus : baik
(VK) Genitalia → Inspeksi : Perdarahan ± 100 cc
Urine Output : ±150 cc (masih terpasang DC)
A : P3A0 post partum dengan PEB
P : IVFD RL + MgSO4 8gr + 2 ampul oksitosin (16
tpm) → masih terpasang sampai 24 jam
postpartum

41
21 Maret 2021, S : Pasien merasa lemas, nyeri dibagian jalan lahir
Pukul 15.30 dan merasa cemas karena tensi masih tinggi
(Ruang Camelia) O : K/U Baik, Kesadaran : Composmentis
Intake → minum : ± 500 cc, infus : ± 200 cc
Pemeriksaan Penunjang → Hb : 13,2 gr/dL,
Leukosit 7.700, Proteinuria +3
A : P3A0 post partum dengan PEB
P : IVFD RL + MgSO4 8gr + 2 ampul oksitosin (16
tpm) → masih terpasang sampai 24 jam
postpartum
22 Maret 2021, S : Nyeri luka jalan lahir, namun pasien sudah bisa
07.00 WIB berjalan
(Ruang Camelia) O : K/U baik, Kesadaran : Composmentis
TD : 150/94 mmHg, HR : 89x/menit, RR :
20x/menit
Abdomen → TFU : 2 jari dibawah pusat,
kontraksi uterus baik.
Genitalia → Lokia : (+) Rubra, Perdarahan : (-)
Terpasang infus RL 500 ml, 20 tpm
DC sudah dilepas
Pemeriksaan Penunjang → Hb : 13,5 gr/dL,
Leukosit : 10.200, Proteinuria +2
A : P3A0 post partum dengan PEB
P : Cek proteinuria kembali
23 Maret 2021, S : Nyeri luka jalan lahir berkurang, sudah tidak ada
11.00 WIB halangan atau keterbatasan untuk berjalan
(Ruang Camelia) O : K/U baik, Kesadaran : Composmentis
TD : 148/81 mmHg, HR : 81x/menit, RR :
21x/menit, T : 36,5 oC
Sudah tidak terpasang infus

42
Intake minum : ± 600 cc
Output urine : ± 500 cc
Pemeriksaan Penunjang → Hb : 13,5 gr/dL,
Proteinuria +1
A : P3A0 post partum dengan PEB yang sudah
teratasi
P : Intervensi pengobatan dihentikan, pasien BLPL
Tabel 6. Follow up pasien

IX. PROGNOSIS
Quo Ad Vitam : ad bonam
Quo Ad Sanactionam : dubia ad malam
Quo Ad Functionam : dubia ad bonam

43
BAB IV
ANALISA KASUS

4.1 Penegakkan Diagnosis pada Pasien


G3P2AO Usia Kehamilan 39-40 minggu Inpartu Kala I Fase Laten
dengan Preeklampsia Berat
a. G3P2AO Usia Kehamilan 39-40 minggu
Dari anamnesis didapatkan pasien mengaku hamil anak ketiga dengan
riwayat sudah melahirkan dua kali sebelumnya tanpa riwayat
keguguran. Pasien mengaku HPHT nya 8 Juni 2020, sehingga pada
saat pasien datang ke RS tanggal 21 Maret 2021, maka usia
kehamilannya adalah 39-40 minggu.
b. Preeklampsia Berat
Dari anamnesis didapatkan pasien tidak memiliki riwayat darah tinggi
sebelumnya, namun pasien baru tahu 1 minggu yang lalu bahwa
tekanan darahnya tinggi dan kedua kaki pasien membengkak. Dari
pemeriksaan fisik didapatkan TD 175/130 mmHg dan dari hasil
pemeriksaan urin didapatkan proteinuria positif 3. Pada pasien ini
tidak terdapat riwayat kejang, pandangan buram, penurunan kesadaran,
nyeri ulu hati dan sakit kepala hebat yang disertai dengan peningkatan
tekanan darah (menyingkirkan kemungkinan diagnosis eklampsia).

4.2 Tatalaksana pada Pasien di RSUD Kabupaten Bekasi


Pada pasien ini pengelolaan preeklampsia dimulai denhan memberikan
MgSO4 yang bertujuan untuk mencegah terjadinya kejang atau kejadian
eklampsia serta sebagai neuroprotektor. Sebelumnya syarat pemberian
MgSO4 harus terpenuhi, yaitu harus tersedia antidotum MgSO4, bila
terjadi intoksikasi yaitu Ca Glukonas 10% = 1 gram (10% dalam 10 cc)
diberikan I.V 3-5 menit (dalam keadaan siap pakai), refleks patella (+)
kuat, frekuensi pernafasan >16x/menit (tidak ada tanda distress
pernapasan) dan produksi urin >30 cc dalam 1 jam sebelumnya (0,5

44
cc/kgBB/jam).7 Setelah semua terpenuhi diberikan loading dose 4 gr
MgSO4 20% 20 cc I.V selama 5-10 menit dan dilanjutkan dengan drip 8 gr
MgSO4 40% dalam RL 500 cc yang juga dicampur dengan oksitosin 2
ampul 16 tetes per menit sampai 24 jam pasca-salin (karena pada saat itu
pasien sedang dalam proses persalinan). Dimana penatalaksanaan ini
sesuai dengan teori pemberian MgSO4. Dilakukan pemasangan kateter urin
untuk memantau urin output pasien.
Antihipertensi direkomendasikan pada preekalmpsia dengan hipertensi
berat atau tekanan sistolik ≥ 160 mmHg atau diastolik ≥ 110 mmHg.
Target penurunan tekanan darah adalah sistollik < 160 mmHg dan
diastolic <110 mmHg. Pemberian antihipertensi pilihan pertama adalah
nifedipin oral short acting, hydralazine dan labetalol parenteral. Alternatif
pemberian antihipertensi yang lain adalah nitrogliserin dan metildopa.
Sesuai dengan teori tersebut pasien memiliki tekanan darah 175/130
mmHg diberikan antihipertensi oral, yaitu metildopa 3x500 mg dan
nifedipin 3x10 mg untuk menurunkan tekanan darah dan daharapkan dapat
mencapat <160/110 mmHg.
Pada pasien ini juga diberikan obat tambahan sesuai dengan yang
dialami pasien, yaitu antibiotik ceftriaxone 3x1 gr PO (untuk mencegah
terjadinya infeksi, karena pada pasien ini dilakukan persalinan spontan
pervaginam dan telah dilakukan hecting perineum), Sulfas Ferrous 2x1 tab
PO (sebagai suplemen penambah zat besi karena pasien mengeluarkan
darah cukup banyak, ditakutkan terjadinya anemia pada pasien),
Paracetamol 500 mg 3x1 PO (analgetik untuk mengurangi rasa nyeri pada
pasien pasca salin) dan Gastrul 3 tab, rectal (untuk membantu
menghentikan perdarahan pasca salin).

4.3 Prognosis pada Pasien


Prognosis bergantung bagaimana pengelolaan penyakit pasien, jika
tepat dan cepat tentunya keadaan pasien akan kembali membaik setelah

45
proses persalinan. Pemberian obat yang sesuai dengan dosisnya juga akan
tetap menjaga pasien dari perburukan.

46
DAFTAR PUSTAKA

1. Preeclampsia and Maternal Mortality: a Global Burden. Preeclampsia


Foundation. (2017). Diakses 2 April 2019.
https://www/preeclampsia.org/health-information/149
2. Roberts James M,et al. (2013). Hypertension in Pregnancy. Washington:
The American College of Obstetricians and Gynecologists.
3. Kementerian Kesehatan RI. Pusat Data dan Informasi Kementrian
Kesehatan RI. (2016). Penyebab Kematian Ibu. Jakarta.
4. Than NG, et al. (2018). Integrated systems biology approach identifies
novel maternal and placental pathways of preeclampsia. Front Immunol.
Vol. 9. No. 1. Hh. 1-41.
5. Ramos JGL, Sass N, Costa SHM. (2017). Preeclampsia. Rev Bras Ginecol
e Obste. vol. 39. no. 9. hh. 496-512
6. POGI. 2016 Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran: Diagnosis dan
Tata Laksana Pre-eklampsia. Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi
Indonesia Himpunan Kedokteran Fetomaternal. Diakses pada tgl 15
Januari 2021 https://pogi.or.id/publish/download/pnpk-dan-ppk/
7. Pribadi Adhi, 2019, Preeklampsia “Stoppable”. Edisi pertama. Jakarta.
8. Sabarudin U, dkk. 2015. Departemen SMF Obstetri dan Ginekologi
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran RSUP Hasan Sadikin.
Bandung
9. Cunningham FG, et al. 2018 Williams Obstetrics, 25th Edition. New
York: McGraw-Hill Education
10. Lim Kee Hak. 2018. Preeclampsia. Medscape. Diakses 5 April 2021.
https://emedicine.medscape.com/article/1476919-overview#a2
11. Duley, L., Gülmezoglu, A. M., Henderson-Smart, D. J., & Chou, D.
(2010). Magnesium sulphate and other anticonvulsants for women with
pre-eclampsia. Cochrane Database of Systematic Reviews.
doi:10.1002/14651858.cd000025.pub2

47
12. Dutta D. 2015. DC Dutta’s Textbook of Obstetrics 8th Edition. New Delhi:
Jaypee Brothers Medical Publishers (P) LTD

48

Anda mungkin juga menyukai