Anda di halaman 1dari 65

REFERAT

MANAGEMENT HIPERTENSI PADA PREEKLAMPSIA


BERAT

Penyusun:
Meylan Fitriyani
030.14.122

Pembimbing:
dr. Jaenudin, Sp.OG

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI


KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEBIDANAN DAN KANDUNGAN
RUMAH SAKIT SOESELO SLAWI
PERIODE 2019
PENGESAHAN REFERAT
Judul:

Nama mahasiswa : Meylan Fitriyani


NIM : 030.14.122

Disusun untuk memenuhi syarat dalam pembelajaran


Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu kebidanan dan kandungan
Rumah Sakit DR Soeselo slawi

Pada Hari , Tanggal Juni 2019

Dokter Pembimbing
dr. Jaenudin, Sp.OG

iii
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan segala
limpahan rahmat, kasih sayang dan ridho-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan referat ini yang berjudul ”Preeklampsia”. Referat ini disusun untuk
memenuhi tugas kepaniteraan klinik departemen ilmu kebidanan dan kandungan
Studi Pendidikan Dokter Universitas Trisakti di Rumah Sakit DR Soeselo Slawi
Penulis mengucapkan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada semua
pihak yang telah membantu meyelesaikan referat ini terutama kepada:
1. dr. Jaenudin, Sp.OG selaku pembimbing yang telah memberi masukan
dan saran dalam penyusunan referat.
2. Teman-teman yang turut membantu penyelesaian referat ini.
3. Pihak-pihak yang telah meluangkan waktunya untuk membantu penulis.

Penulis menyadari bahwa referat ini masih belum sempurna, oleh sebab itu
segala saran dan kritik yang bersifat membangun sangatlah penulis harapkan
untuk menyempurnakan referat ini di kemudian hari, terlepas dari segala
kekurangan yang ada, penulis berharap semoga referat ini dapat bermanfaat bagi
ilmu pengetahuan.

Slawi, Juni 2019


Penulis

iv
DAFTAR ISI

Lembar Pengesahan ................................................................................................ii


Kata Pengantar .......................................................................................................iii
Daftar Isi ................................................................................................................iv
BAB I Pendahuluan ................................................................................................1
BAB II Tinjauan Pustaka ........................................................................................3
2.1 Definisi Preeklampsia...............................................................................3
2.2 Epidemiologi Preeklampsia......................................................................3
2.3 Faktor resiko Preeklampsia.......................................................................9
2.4 Patologi Preeklampsia............................................................................12
2.5 Penegakan diagnosis Preeklampsia........................................................14
2.6 Tatalaksana Preeklampsia.......................................................................19
2.7 Komplikasi Preeklampsia.......................................................................25
BAB III Kesimpulan..............................................................................................26
Daftar Pustaka .......................................................................................................27

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Angka Kematian Ibu (AKI) merupakan permasalahan kesehatan di dunia,


hal ini terjadi karena setiap hari sekitar 830 wanita meninggal akibat komplikasi
kehamilan dan persalinan. Angka Kematian Ibu ini 99% terjadi di negara-negara
berkembang, dan sampai saat ini kematian ibu masih merupakan masalah utama
di bidang kesehatan ibu dan anak, sebab angka kematian ibu dan bayi merupakan
tolak ukur dalam menilai derajat kesehatan suatu bangsa. Indonesia memiliki AKI
yang masih tergolong tinggi diantara negara- negara ASEAN. Penyebab utama
kematian ibu di Indonesia pada umumnya adalah komplikasi
kehamilan/persalinan yaitu perdarahan (42%), eklampsi/preeklampsi (13%),
abortus (11%), infeksi (10%), partus lama/persalinan macet (9%) dan penyebab
lain (15%).1
Menurut World Health Organization (WHO) pada tahun 2008, bahwa
setiap tahunnya wanita yang bersalin meninggal dunia mencapai lebih dari
500.000 orang, salah satu penyebab morbiditas dan mortalitas ibu dan janin
adalah Preeklampsia (PE), angka kejadiannya berkisar antara 0,51%- 38,4%. Di
negara maju angka kejadian preeklampsia berkisar 6-7% dan eklampsia 0,1-0,7%.
Sedangkan angka kematian ibu yang diakibatkan preeklampsia dan eklampsia di
negara berkembang masih tinggi. Preeklampsia salah satu sindrom yang dijumpai
pada ibu hamil di atas 20 minggu terdiri dari hipertensi dan proteinuria dengan
atau tanpa edema. (1,2)
Pada 20% wanita preeklampsia berat didapatkan sindrom HELLP (Hemolysis,
Elevated Liver Enzyme, Low Platelet Count) yang ditandai dengan hemolisis,
peningkatan enzim hepar, trombositopenia akibat kelainan hepar dan sistem
koagulasi. Angka kejadian sindrom HELLP ini sekitar 1 dari 1000 kehamilan.
Sekitar 20% sindrom HELLP mengalami koagulasi intravaskuler diseminata,
yang memperburuk prognosis baik ibu maupun bayi.

1
Angka Kematian Ibu (AKI) menurut target Millenium Development Goals
(MDG’s) tahun 2015 yaitu 102/100.000 kelahiran hidup, untuk itu diperlukan
upaya yang maksimal dalam pencapaian target tersebut. Kejadian kematian Ibu
bersalin sebesar 49,5%, hamil 26,0% nifas 24%. Penyebab terjadinya angka
kematian ibu di Indonesia adalah perdarahan 60-70%, infeksi 10-20%,
preeklampsia dan eklampsia 20-30%. Penyebab angka kematian di Indonesia
adalah perdarahan 38,24% (111,2 per 100.000 kelahiran hidup), infeksi 5,88%
(17,09 per 100.000 kelahiran hidup), preeklampsia dan eklampsia 10-20% (30,7
per 100.000). (2)

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Preeklampsia merupakan suatu hipertensi disertai dengan proteinuria pada ibu


dengan usia kehamilan di atas 20 minggu, awalnya edema termasuk dalam
salah satu kriteria diagnosis preeklampsia, tetapi sekarang tidak lagi masuk ke
dalam kriteriadiagnosis karena sangat banyak ditemukan pada wanita dengan
kehamilan normal, kecuali edema anasarka yang bisa ditandai dengan kenaikan
berat badan >500 gr/minggu. Meskipun edema tidak lagi menjadi bagian
kriteria diagnosis pre-eklampsia, tetapi bila adanya penumpukan cairan secara umum
dan berlebihan pada jaringan tubuh seperti di pretibia, dinding perut, lumbosakral,
wajah dan tangan tetap harus diwaspadai. Edema dapat menyebabkan
kenaikan berat badan tubuh. Normalnya, pada wanita hamil mengalami kenaikan berat
badan sekitar 500gr per minggu, 2000 gr per bulan, atau bisa juga 13 kg
selama kehamilan. Bila kenaikan berat badannya lebih dari normal, perlu
dicurigai untuk timbulnya pre-eklampsia. Seacra teori gejala-gejala yang akan
timbul pada preeklasi ialah hipertensi, proteinuria dan edema, dari semua gejala
tersebut yang paling pentig adalah timbulnya hipertensi dan proteinuria, namun
terkadang penderita sering tidak meraakan perubahan ini, tetapi bila penderita
sudah mengeluh adanya gangguan nyeri kepala, gangguan nyeri epigastrium,
gangguan penglihatan maka biasanya penyakit ini sudah cukup langsung. Apabila
gejala yang muncul yaitu gejala preeklampsia ditambah dengan gejala lain, seperti
koma dan ataupun kejang, maka diklasifikasikan sebagai eklampsia.
Preeklampsia, awalnya selalu didefinisikan dengan adanya hipertensi dan
proteinuri yang baru terjadi pada kehamilan (new onset hypertension with

3
proteinuria). Walaupun kedua kriteria ini masih menjadi definisi klasik
preeklampsia, beberapa wanita lain menunjukkan adanya hipertensi disertai
gangguan multi sistem lain yang menunjukkan adanya kondisi berat dari
preeklampsia meskipun pasien tersebut tidak mengalami proteinuri. 1,2)
Dari gejala klinik preeklampsia dibagi menjadi ringan dan berat. Dikatakan
preeklampsia berat ialah dengan tekanan darah sistolik ≥160 mmHg dan tekanan
darah diastolic ≥110 disertai protein uria lebih 5 g/24 jam, dan dikatakan
preeklamsi ringan bila tekanan darah sistolik ≥140mmHg dan teknan darah
diastolic ≥90mmHg (4,5,6)
Preeklampsia merupakan penyakit sistemik yang tidak
hanya ditandai oleh hipertensi, tetapi juga disertai peningkatan resistensi
pembuluh darah, disfungsi endotel difus, proteinuria, dan koagulopati. Pada 20%
wanita preeklampsia berat didapatkan sindrom HELLP (Hemolysis, Elevated
Liver Enzyme, Low Platelet Count) yang ditandai dengan hemolisis, peningkatan
enzim hepar, trombositopenia akibat kelainan hepar dan sistem koagulasi. Angka
kejadian sindrom HELLP ini sekitar 1 dari 1000 kehamilan. Sekitar 20% sindrom
HELLP mengalami koagulasi intravaskuler diseminata, yang memperburuk
prognosis baik ibu maupun bayi. Eklampsia merupakan jenis preeklampsia berat
yang di- tandai dengan adanya kejang, terjadi pada 3% dari seluruh kasus
preeklampsia. Kerusakan otak pada eklampsia disebabkan oleh edema serebri.
Perubahan substansia alba yang terjadi menyerupai ensefalopati hipertensi.
Komplikasi serebrovaskuler, seperti stroke dan perdarahan serebri, merupakan
penyebab kematian terbesar pada eklampsia. (5)

Dikatakan sebagai preeklampsia-eklampsia apabila memiliki salah satuatau


lebih dari gejala dan tanda-tanda yang ada dibawah ini:
1. Preeklampsia ringan, adalah suatu keadaan pada ibu hamil disertaikenaikan tekanan
darah sistolik 140/90 mm/Hg. Proteinuria ≥ 300mg/24 jam atau ≥ 1 + dipstick.
Edema local sudah tidak dimasukan kedalam krieria preeklamsi kecuali edema pada
lengan, muka, dan perut, edema generalisata (edema anasarka).
2. Preeklamsia berat, adalah suatu keadaan pada ibu hamil bila disertaikenaikan
tekanan darah ≥ 160/110 mm/Hg atau lebih. Adanya proteiunuria 5 gr/24 jam atau

4
4+ dalam pemeriksaan kualitatif. Oligouria kurang dari 500cc/24 jam. Kenaikan
kreatinin plasma. Gangguan penglihatan. Nyeri epigastrium. Edema paru dan
sianosis. Hemolisi mikroangiopatik. Trobositopenia berat < 100.000 sel/mm 3 atau
penurunan trombosit dengan cepat. Gangguan fungsi hepar. Sindrom HELLP.
3. Eklampsia merupakan preeklampsia yang disertai kejang dan disusuldengan koma

2.2 Epidemiologi

Menurut Survey Demografi kesehatan Indonesia (SDKI) 2007, Angka


Kematian Ibu (AKI) di Indonesia adalah 228 per 100.000 kelahiran hidup. Namun
menurut SDKI 2012, Angka Kematian Ibu di Indonesia mengalami peningkatan
menjadi 359 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2012. Angka ini masih jauh
dari target MDGs yaitu menurunkan AKI menjadi 102 per 100.000 kelahiran
hidup pada tahun 2015.5 Jumlah kematian ibu di Sumatera Barat pada tahun 2010
ada 86 kasus, meningkat menjadi 129 kasus pada tahun 2011 dan jumlah kematian
ibu di Sumatera Barat pada tahun 2012 ada 104 kasus. Sedangkan untuk tahun
2013 sampai bulan September 2013 tercatat ada 63 kasus. Penyebab kematian ibu
di Sumatera barat 2011 akibat eklampsia 23%, pada tahun 2012 menurun menjadi
22,9% dan pada tahun 2013 meningkat lagi menjadi 26,2%.(1,2)
Menurut World Health Organization (WHO) pada tahun 2008, bahwa setiap
tahunnya wanita yang bersalin meninggal dunia mencapai lebih dari 500.000
orang, salah satu penyebab morbiditas dan mortalitas ibu dan janin adalah
Preeklampsia (PE), angka kejadiannya berkisar antara 0,51%- 38,4%. Di negara
maju angka kejadian preeklampsia berkisar 6-7% dan eklampsia 0,1-0,7%.
Sedangkan angka kematian ibu yang diakibatkan preeklampsia dan eklampsia di
negara berkembang masih tinggi. Preeklampsia salah satu sindrom yang dijumpai
pada ibu hamil di atas 20 minggu terdiri dari hipertensi dan proteinuria dengan
atau tanpa edema. (1,2)
Angka Kematian Ibu (AKI) merupakan indikator utama derajat kesehatan
masyarakat dan ditetapkan sebagai salah satu tujuan Millenium Development
Goals (MDGs). AKI Indonesia diperkirakan tidak akan dapat mencapai target
MDGs yang ditetapkan yaitu 102 per 100 000 kelahiran hidup pada tahun 2015.

5
Kematian ibu akibat kehamilan, persalinan dan nifas sebenarnya sudah banyak
dikupas dan dibahas penyebab serta langkah‐langkah untuk mengatasinya. Meski
demikian tampaknya berbagai upaya yang sudah dilakukan pemerintah masih
belum mampu mempercepat penurunan AKI seperti diharapkan. Pada Oktober
yang lalu kita dikejutkan dengan hasil perhitungan AKI menurut SDKI 2012 yang
menunjukkan peningkatan (dari 228 per 100 000 kelahiran hidup menjadi 359 per
100 000 kelahiran hidup). Diskusi sudah banyak dilakukan dalam rangka
membahas mengenai sulitnya menghitung AKI dan sulitnya menginterpretasi data
AKI yang berbeda‐beda dan fluktuasinya kadang drastic. (3)
Angka Kematian Ibu (AKI) menurut target Millenium Development Goals
(MDG’s) tahun 2015 yaitu 102/100.000 kelahiran hidup, untuk itu diperlukan
upaya yang maksimal dalam pencapaian target tersebut. Kejadian kematian Ibu
bersalin sebesar 49,5%, hamil 26,0% nifas 24%. Penyebab terjadinya angka
kematian ibu di Indonesia adalah perdarahan 60-70%, infeksi 10-20%,
preeklampsia dan eklampsia 20-30%. Penyebab angka kematian di Indonesia
adalah perdarahan 38,24% (111,2 per 100.000 kelahiran hidup), infeksi 5,88%
(17,09 per 100.000 kelahiran hidup), preeklampsia dan eklampsia 10-20% (30,7
per 100.000). (2)

6
2.3 Faktor Resiko

Gambar 2. Faktor Risiko Preeklampsia menurut SOGC 20148


Faktor risiko pada preeklamsia yaitu:4,5,9,10
1. Faktor risiko maternal :
a. Kehamilan pertama

7
b. Primipaternity
c. Usia < 18 tahun atau > 35 tahun
d. Riwayat preeklamsia
e. Riwayat preeklamsia dalam keluarga
f. Ras kulit hitam
g. Obesitas (BMI ≥ 30)
h. Interval antar kehamilan < 2 tahun atau > 10 tahun.
i. Fertilisasi in vitro
2. Faktor risiko medikal maternal :
a. Hipertensi kronik, khusunya sebab sekunder hipertensi kronik
seperti hiperkortisolisme, hiperaldosteronisme, phaeokromositoma,
dan stenosis arteri renalis
b. Sindrom antibodi antifosfolipid yang mendasari
c. Diabetes yang sedang diderita (tipe 1 atau 2), khususnya dengan
komplikasi mikrovaskular
d. Penyakit ginjal
e. Systemic Lupus Erythematosus
f. Obesitas
g. Trombofilia
h. Riwayat migraine
i. Penggunaan obat selective  serotonin  uptake  inhibitor 
antidepressants (SSRIs) setelah trimester pertama
3. Faktor risiko plasental atau fetal :
a. Kehamilan multipel
b. Hidrops fetalis
c. Penyakit trofoblastik gestasional
d. Triploidi.

Etiologi preeklampsia tidak diketahui secara pasti.(3,4) Dapat terjadi pada masa
antenatal, intrapartum, ataupun postnatal. Beberapa penelitian menyebutkan
beberapa faktor yang menunjang terjadinya preeklampsia dan eklampsia. Antara

8
lain, gizi buruk, kegemukan dan gangguan aliran darah ke rahim. Faktor risiko
terjadinya preeklampsia, umumnya terjadi pada kehamilan yang pertama kali,
kehamilan di usia remaja dan kehamilan pada wanita di atas 35 tahun. Faktor
risiko lainnya adalah riwayat preeklampsia sebelumnya, riwayat preeklampsia
pada ibu atau saudara perempuan, kegemukan, mengandung lebih dari satu orang
bayi, riwayat kencing manis, kelainan ginjal, lupus, atau rematoid arthritis.
Menurut Kurniawati, faktor risiko preeklampsia adalah paritas, usia, kehamilan
ganda, riwayat preeklampsia, riwayat preeklampsia dalam keluarga, riwayat
penyakit (hipertensi, ginjal dan diabetes) dan obesitas. (2,4,5)
Salah satu upaya menurunkan Angka Kematian Perinatal (AKP) akibat
preeclampsia dengan menurunkan angka kejadian preeklampsia. Angka kejadian
dapat diturunkan melalui pencegahan, pengamatan dini, dan terapi. Upaya
pencegahan kematian perinatal dapat diturunkan bila dapat diidentifikasi faktor-
faktor yang mempunyai nilai prediks, beberapa faktor resiko telah berhasil
diidentifikasi, sehingga diharapkan dapat mencegah timbulnya preeklampsia. (2)
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tingginya angka kematian maternal
antara lain faktor umur, faktor paritas, faktor perawatan antenatal, faktor
penolong, sarana dan fasilitas, sistem rujukan, sosial ekonomi, kepercayaan dan
ketidaktahuan penderita. (2)
2.4 Klasifikasi Hipertensi
Klasifikasi yang dipakai di Indonesia adalah berdasarkan Report of the
National High Blood Pressure Education Program Working Group on High Blood
Pressure in Pregnancy tahun 2000, yaitu:
1. Hipertensi Kronik
2. Preeklampsia-eklampsia
3. Hipertensi kronik dengan superimposed preeklampsia
4. Hipertensi gestasional
Klasifikasi di atas juga digunakan oleh American College of Obstetricians and
Gynecologists(ACOG) Task Force on Hypertension tahun 2013 dengan
modifikasi di bagian-bagian tertentu sehingga didapatkan klasifikasi sebagai
berikut:

9
1. Preeklampsia-eklampsia
2. Hipertensi kronik (karena sebab apapun)
3. Hipertensi kronik dengan superimposed preeklampsia
4. Hipertensi gestasional
Pada tahun 2013 The International Society for the Study of Hypertension in
Pregnancy (ISSHP) melakukan revisi klasifikasi hipertensi pada wanita hamil.
Salah satu isu utama dalam revisi ini adalah adalah apakah proteinuria masih
harus dimasukkan sebagai kewajiban untuk diagnosis preeklampsia. Hasilnya
adalah untuk definisi klinis preeklampsia, proteinuria dapat dieksklusikarena
dibutuhkan definisi yang lebih luas, sedangkan inklusi proteinuria akan menjamin
spesifisitas diagnosis yang lebih tinggi ketika digunakan sebagai kriteria klinis
untuk pasien yang dimasukkan dalam laporan ilmiah. Klasifikasi yang diajukan
adalah sebagai berikut:5
1. Hipertensi kronik
2. Hipertensi gestasional
3. Preeklampsia – de novo atau superimposed pada hipertensi kronik
4. White coat hypertension (hipertensi kerah putih)
Klasifikasi ISSHP di atas juga digunakan oleh Royal College of Obstetricians and
Gynaecologists (RCOG) dalam pedoman diagnosis dan penanganan hipertensi
yang dikeluarkan oleh National Insitute for Health and Care Excellence(NICE
guideline) tahun 2010 dengan modifikasi pada bagian tertentu, yaitu pada bagian
hipertensi yang mendahului kehamilan namun tidak diketahui sebelum kehamilan
dan hipertensi gestasional yang membaik setelah persalinan, karena keadaan-
keadaan ini tidak dapat dibedakan sampai periode post natal, oleh sebab itu pada
pedoman RCOG 2010 definisi hipertensi kronik tidak memasukkan hipertensi
baru yang muncul setelah usia kehamilan 20 minggu yang tidak membaik pada
periode post natal.6
Society of Obstetric Medicine of Australia and New Zealand(SOMANZ)pada
tahun 2009 mengeluarkan klasifikasi hipertensi dalam kehamilan sebagai
berikut:7
1. Preeklampsia–eklampsia

10
2. Hipertensi gestasional
3. Hipertensi kronik
a. Esensial
b. Sekunder
c. White Coat (Kerah putih)
4. Preeklampsia superimposed pada hipertensi kronik
Canadian Hypertensive Disorders of Pregnancy (HDP) Working
Groupdidukung oleh Society of Obstetricians and Gynaecologists of Canada
(SOGC) pada tahun 2014 merevisi klasifikasi gangguan hipertensi dalam
kehamilan berdasarkan pertimbangan diagnostik dan terapeutik yang berbeda
sebagai berikut:
1. pre-existing (chronic)hypertension (hipertensi yang sudah ada
sebelumnya/kronik)
a. dengan kondisi komorbid
b. dengan bukti preeklampsia
2. hipertensi gestasional
a. Dengan kondisi komorbid
b. Dengan bukti preeklamsia
3. Preeklamsia
4. Efek hipertensi lainnya
a. efek hipertensif sementara
b. efek hipertensif kerah putih (white coat)
c. efek hipertensif tersamarkan (masked)
Pre-existing Hipertensi yang muncul baik sebelum kehamilan atau yang terjadi di
(chronic)hypertensio bawah usia kehamilan 20 minggu
n
1. Dengan Kondisi komorbid (seperti diabetes mellitus tipe I atau II pre-gestasional
kondisi atau penyakit ginjal membutuhkan kontrol tekanan darah yang lebih

komorbid ketat selain dari kehamilan karena kaitannya dengan peningkatan risiko
kardiovaskuler.
2. Dengan Juga dikenal dengan nama ‘superimposed preeklampsia’ dan
bukti didefiniskan sebagai munculnya satu atau lebih keadaan di bawah ini

11
preeklamp pada usia kehamilan ≥20 minggu:
sia 1. Hipertensi resisten (membutuhkan tiga obat
antihipertensif untuk mengontrol tekanan darah pada usia
kehamilan ≥ 20 minggu)
2. Proteinuria baru atau perburukan proteinuria
3. Satu atau lebih kondisi yang memperburuk (Tabel 3)
4. Satu/lebih komplikasi berat (Tabel 3)
Preeklampsia berat didefinikan sebagai preeklampsia dengan satu atau
lebih komplikasi berat.
Hipertensi Didefinisikan sebagai hipertensi yang muncul pertama kali pada ≥ usia
gestasional kehamilan 20 minggu
1. Dengan Kondisi komorbid (seperti diabetes mellitus tipe I atau II pre-gestasional
kondisi atau penyakit ginjal membutuhkan kontrol tekanan darah yang lebih

komorbid ketat selain dari kehamilan karena kaitannya dengan peningkatan risiko
kardiovaskuler.
2. Dengan Bukti preeklampsia dapat muncul beberapa minggu setelah onset
bukti hipertensi gestasional.

preeklamp Preeklampsia didefinisikan sebagai hipertensi gestasional dan satu atau


lebih keadaan berikut:
sia
1. Proteinuria baru
2. Satu atau lebih kondisi yang memperburuk (Tabel 3)
3. Satu/lebih komplikasi berat (Tabel 3)
Preeklampsia berat didefinikan sebagai preeklampsia dengan satu atau
lebih komplikasi berat.
Preeklampsia Preeklampsia dapat terjadi secara sejak awal dan difenisikan sebagai
hipertensi gestasional dan satu atau lebih keadaan berikut:
4. Proteinuria baru
5. Satu atau lebih kondisi yang memperburuk (Tabel 3)
6. Satu/lebih komplikasi berat (Tabel 3)
Preeklampsia berat didefinikan sebagai preeklampsia dengan satu atau
lebih komplikasi berat.
Efek hipertensif Catatan: hal ini dapat terjadi pada perempuan dengan peningkatan
lainnya tekanan darah pada usia kehamilan <20 minggu bagi yang memiliki
hipertensi kronik atau ≥20 minggu bagi yang memiliki hipertensi kronik
atau gestasional/preeklampsia..
Efek hipertensif Peningkatan tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg atau diastolik ≥ 90

12
sementara mmHg yang diukur pada tempat pemeriksaan yang tidak dikonfirmasi
setelah istirahat, atau pada pengukuran berulang pada kunjungan yang
sama atau selanjutnya
Peningkatan tekanan darah dapat terjadi contohnya akibat stimulus
lingkungan atau nyeri persalinan.
Efek hipertensif Peningkatan tekanan darah pada tempat pemeriksaan (Peningkatan
kerah putih tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg atau diastolik ≥ 90 mmHg) tetapi
kembali normal secara konsisten di luar tempat pemeriksaan (<135/85
mmHg) yang diukur menggunakan alat monitor tekanan darah
ambulatori atau rumahan (ambulatory BP monitoring (ABPM) or home
BP monitoring (HBPM))
Efek hipertensif Tekanan darah yang normal secara konsisten di tempat pemeriksaan
tersamarkan (tekanan darah sistolik < 140 mmHg atau diastolik < 90 mmHg) tetapi
meningkat di luar tempat pemeriksaan (≥135/85 mmHg) dengan ABPM
atau HBPM berulang
Tabel . Klasifikasi gangguan hipertensi dalam kehamilan oleh SOGC 2014

ACOG 2013 dan SOGC 2014 membagi hipertensi menjadi ringan ketika
tekanan diastolik kurang dari atau sama dengan 110 mm Hg atau tekanan darah
sistolik kurang dari atau sama dengan 160 mm Hg, sedangkan lebih dari nilai
tersebut hipertensi disebut berat. Sedangkan SOMANZ 2008 mengklasifikasikan
hipertensi menjadi berat ketika tekanan darah sistolik lebih dari atau sama 170
mmHg dan/atau tekanan darah diastolik lebih dari atau sama dengan 110 mmHg.

13
2.5 Diagnosis Hipertensi

Hipertensi Kronis
Pembagian Hipertensi sendiri memilik perbedaan diantara pedemon. Salah
satunya berdasarkan the Guideline Development Group (GDG) telah
mendefinisikan hipertensi ringan, sedang dan berat untuk membantu implementasi
pedoman ini sebagai berikut:
- Hipertensi ringan: tekanan darah diastolik 90-99 mmHg, tekanan darah
sistolik 140–149 mmHg.
- Hipertensi sedang: tekanan darah diastolik 100-109 mmHg, tekanan darah
sistolik 150–159 mmHg.
- Hipertensi berat: tekanan darah diastolik 110 mmHg atau lebih, tekanan
darah sistolik 160 mmHg atau lebih.

Diagnosis hipertensi kronik ditegakkan jika ditemukan:


1. Tekanan darah ≥140/90 mmHg sebelum kehamilan atau didiagnosis
sebelum usia kehamilan 20 minggu (SOMANZ 2008, ISSHP
2013,ACOG 2013)4,5,7 yang tidak terkait dengan penyakit trofoblastik
gestasional (National High Blood Pressure Education Program
Working Group Report on High BloodPressure in Pregnancy 2000)1,3
atau
2. Hipertensi yang pertama kali terdiagnosis setelah usia kehamilan 20
minggu dan bertahan hingga 12 minggu postpartum (National High
Blood Pressure Education Program Working Group Report on High
BloodPressure in Pregnancy 2000, ACOG 2013)1,3,4 atau
3. Ketika hipertensi terdapat pada booking visit atau sebelum 20 minggu
atau jika wanita tersebut telah mengonsumsi antihipertensif ketika
dirujuk ke perawatan maternal dan dapat bersifat primer atau sekunder.
(RCOG dan NICE guideline 2010) 6 atau
4. Hipertensi yang muncul baik sebelum kehamilan atau yang terjadi di
bawah usia kehamilan 20 minggu yang dapat disertai dengan kondisi

14
komorbid, atau dengan bukti preeklampsia, yang disebut superimposed
preeklampsia (SOGC 2014)8 atau
5. Hipertensi tanpa proteinuria yang timbul dari sebelum kehamilan dan
menetap setelah persalinan. Langkah diagnosis hipertensi kronik adalah
tekanan darah ≥140/90 mmHg, sudah ada riwayat hipertensi sebelum
hamil, atau diketahui adanya hipertensi pada usia kehamilan <20
minggu, tidak ada proteinuria (diperiksa dengan tes celup urin), dan
dapat disertai keterlibatan organ lain, seperti mata, jantung, dan ginjal.
(Kemenkes 2013).

Preeklamsia
Menurut American College of Obstetrics and Gynecology tahun 2013,
diagnosis dibuat jika tekanan darah >140/90 mmHg pada dua kali pengukuran
disertai proteinuria >300 mg/ hari. Edema, yang merupakan gambaran klasik
preeklampsia, tidak lagi digunakan sebagai dasar diagnosis karena sensitivitas
maupun spesi sitasnya rendah. Pada 20% kasus tidak ditemukan proteinuria
ataupun hipertensi. Pemeriksaan laboratorium, seperti tes fungsi hepar,
pemeriksaan protein urin, dan kreatinin serum dapat membantu mengetahui
derajat kerusakan target organ, tetapi tidak ada yang spesifik untuk diagnosis
preeklampsia. (7)

15
Gambar 3.3 Algoritma diagnosis hipertensi pada kehamilan. (7)

Seperti telah disebutkan sebelumnya, bahwa preeklampsia didefinisikan


sebagai hipertensi yang baru terjadi pada kehamilan / diatas usia kehamilan 20
minggu disertai adanya gangguan organ. Jika hanya didapatkan hipertensi saja,
kondisi tersebut tidak dapat disamakan dengan peeklampsia, harus didapatkan
gangguan organ spesifik akibat preeklampsia tersebut. Kebanyakan kasus
preeklampsia ditegakkan dengan adanya protein urin, namun jika protein urin
tidak didapatkan, salah satu gejala dan gangguan lain dapat digunakan untuk
menegakkan diagnosis preeklampsia, yaitu:
1. Trombositopenia : trombosit < 100.000 / mikroliter
2. Gangguan ginjal : kreatinin serum >1,1 mg/dL atau didapatkan peningkatan
kadar kreatinin serum pada kondisi dimana tidak ada kelainan ginjal lainnya
3. Gangguan liver : peningkatan konsentrasi transaminase 2 kali normal dan
atau adanya nyeri di daerah epigastrik / regio kanan atas abdomen
4. Edema Paru
5. Didapatkan gejala neurologis : stroke, nyeri kepala, gangguan visus

16
6. Gangguan pertumbuhan janin yang menjadi tanda gangguan sirkulasi
uteroplasenta : Oligohidramnion, Fetal Growth Restriction (FGR) atau
didapatkan adanya absent or reversed end diastolic velocity (ARDV)

Beberapa gejala klinis meningkatkan morbiditas dan mortalitas pada


preeklampsia, dan jika gejala tersebut didapatkan, akan dikategorikan menjadi
kondisi pemberatan preeklampsia atau disebut dengan preeklampsia berat. Kriteria
gejala dan kondisi yang menunjukkan kondisi pemberatan preeklampsia atau
preklampsia berat adalah salah satu dibawah ini : (8)
1. Tekanan darah sekurang-kurangnya 160 mmHg sistolik atau 110 mmHg
diastolic pada dua kali pemeriksaan berjarak 15 menit menggunakan lengan
yang sama
2. Trombositopenia : trombosit < 100.000 / microliter
3. Gangguan ginjal : kreatinin serum >1,1 mg/dL atau didapatkan peningkatan
kadar kreatinin serum pada kondisi dimana tidak ada kelainan ginjal lainnya
4. Gangguan liver: peningkatan konsentrasi transaminase 2 kali normal dan
atau adanya nyeri di daerah epigastrik / regio kanan atas abdomen
5. Edema Paru
6. Didapatkan gejala neurologis : stroke, nyeri kepala, gangguan visus
7. Gangguan pertumbuhan janin menjadi tanda gangguan sirkulasi
uteroplasenta: Oligohidramnion, Fetal Growth Restriction (FGR) atau
didapatkan absent or reversed end diastolic velocity (ARDV). (8)
Beberapa penelitian terbaru menunjukkan rendahnya hubungan antara
kuantitas protein urin terhadap luaran Preeclampsia, sehingga kondisi protein urin
( lebih dari 5 g) telah dieleminasi dari kriteria pemberatan Preeclampsia
(Preeclampsia berat). Kriteria terbaru tidak lagi mengkategorikan lagi
Preeclampsia ringan, dikarenakan setiap Preeclampsia merupakan kondisi yang
berbahaya dan dapat mengakibatkan peningkatan morbiditas dan mortalitas secara
signifikan dalam waktu singkat. (8)

17
Tabel 2.3 Kriteria Preeklampsia berat (diagnosis preeklampsia dipenuhi dan jika
didapatkan salah satu kondisi klinis dibawah ini. (8)
Penentuan proteinuria
Rekomendasi:
Proteinuria ditegakkan jika didapatkan secara kuantitatif produksi protein urin
lebih dari 300 mg per 24 jam, namun jika hal ini tidak dapat dilakukan,
pemeriksaan dapat digantikan dengan pemeriksaan semikuantitatif menggunakan
dipstik urin > 1+. (8)

Menurut RCOG dan NICE guideline 2010, preeklampsia adalah hipertensi


baru yang terjadi setelah usia kehamilan 20 minggu dengan proteinuria signifikan.
Preeklampsia berat adalah preeklampsia dengan hipertensi berat dan/atau dengan
gejala, dan/atau gangguan biokimia dan/atau hematologis. Disebut proteinuria

18
signifikan adalah jika terdapat lebih dari 300 mg protein dalam sampel urin 24
jam atau lebih dari 30 mg/mmol dalam sampel protein : kreatinin sewaktu.6
Kriteria diagnostik preeklampsia menurut SOMANZ 2008 adalah
hipertensi setelah usia kehamilan 20 minggu dan disertai satu atau lebih keadaan
berikut:
1. Keterlibatan ginjal
a. Proteinuria signifikan – proteinuria dipstick yang selanjutnya
dikonfirmasi dengan rasio protein/kreatinin urin sewaktu ≥30
mg/mmol
b. Kreatinin serum atau plasma ≥ 90 μmol/L
c. Oligouria
2. Keterlibatan hematologis
a. Trombositopenia
b. Hemolisis
c. Disseminated intravascular coagulation (DIC)
3. Keterlibatan hepar
a. Peningkatan transaminase serum
b. Nyeri epigastrik atau kuadran kanan atas berat
4. Keterlibatan neurologis
a. Kejang (eklampsia)
b. Hiperrefleksia dengan klonus yang berlangsung terus-menerus
c. Nyeri kepala hebat
d. Gangguan visual persisten (fotopsia, skotomata, kebutaan kortikal,
vasospasme retina)
e. Stroke
5. Edema paru
6. Pertumbuhan janin terhambat
7. Abruptio plasenta
Akan tetapi, pada kriteria SOMANZ 2008 proteinuria bukanlah suatu
keharusan untuk membuat diagnosis klinis. Selain itu hiperurisemia juga
dilaporkan sebagai kejadian yang sering didapatkan namun bukan kriteria

19
diagnostik preeklampsia, dan pada kriteria ini sindrom HELLP dimasukkan
sebagai suatu presentasi preeklampsia berat yang khas dan tidak dipisahkan dari
preeklampsia.7
Menurut SOCG 2014, Preeklampsia dapat terjadi secara sejak awal dan
difenisikan sebagai hipertensi gestasional dan satu atau lebih keadaan berikut:
1. Proteinuria baru
2. Satu atau lebih kondisi yang memperburuk (Tabel 3)
3. Satu/lebih komplikasi berat (Tabel 3)
Preeklampsia berat didefinikan sebagai preeklampsia dengan satu atau
lebih komplikasi berat.
Sistem organ Kondisi yang Komplikasi berat (yang
yang memperburuk membutuhkan terminasi
terpengaruh (meningkatkan risiko kehamilan)
komplikasi berat)
Sistem saraf 1. Gejala sakit 1. Eklampsia
pusat kepala/visual 2. PRES (posterior
reversible
leukoencephalopathy
syndrome)
3. Buta kortikal atau ablasio
retina
4. Glasgow coma scale <13
5. Stroke, Transient
ischemic attack, atau
RIND (reversible
neurological deficit < 48
jam
Kardiorespirasi 1. Nyeri dada/dispnea 1. Hipertensi berat yang
2. Saturasi oksigen tidak terkontrol (selama
<97% periode 12 jam walaupun
dengan penggunaan 3

20
agen antihipertensif)
2. Saturasi oksigen <90%,
membutuhkan oksigen
≥50% selama >1 jam,
intubasi (selain karena
untuk seksio Caesarean),
edema paru
3. Membutuhkan bantuan
inotropik
4. Iskemia atau infark
myokardium
Hematologis 1. Lekositosis 1. Trombosit di bawah 50 x
2. Peningkatan INR 109/L
atau aPTT 2. Transfusi dari produk
3. Trombositopenia darah apapun
Ginjal 1. Peningkatan 1. Gangguan ginjal akut
kreatinin serum (kreatinin > 150 µM
2. Peningkatan asam tanpa riwayat penyakit
urat serum ginjal sebelumnya)
2. Indikasi untuk dialisis
Hati 1. Mual atau muntah 1. Disfungsi hepar (INR >2
2. Nyeri kuadran kanan pada keadaan tidak ada
atas atau epigastrik DIC atau warfarin)
3. Peningkatan AST, 2. Hematom atau ruptur
ALT, LDH, atau hepar
bilirubin
4. Penurunan albumin
plasma
Feto-placental 1. Ketidakstabilan 1. Abruptio dengan bukti
denyut jantung janin gangguan maternal atau
2. Pertumbuhan janin

21
terhambat fetal
3. Oligohidramnion 2. Gelombang A duktus
4. Aliran diastolik venosus yang terbalik
akhir yang tidak ada 3. Kematian janin dalam
atau terbalik dengan rahim
velosimeter Doppler
Tabel 3. Kondisi yang memperburuk dan komplikasi berat preeklampsia
menurut SOGC 2014 8
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2013 membagi
preeklampsia menjadi ringan atau berat sebagai berikut:9
Preeklampsia Ringan:
1. Tekanan darah ≥140/90 mmHg pada usia kehamilan > 20 minggu
2. Tes celup urin menunjukkan proteinuria 1+ atau pemeriksaan protein
kuantitatif menunjukkan hasil >300 mg/24 jam
Preeklampsia Berat
1. Tekanan darah >160/110 mmHg pada usia kehamilan >20 minggu
2. Tes celup urin menunjukkan proteinuria ≥2+ atau pemeriksaan protein
kuantitatif menunjukkan hasil >5 g/24 jam
3. Atau disertai keterlibatan organ lain:
a. Trombositopenia (<100.000 sel/uL), hemolisis mikroangiopati
b. Peningkatan SGOT/SGPT, nyeri abdomen kuadran kanan atas
c. Sakit kepala , skotoma penglihatan
d. Pertumbuhan janin terhambat, oligohidramnion
e. Edema paru dan/atau gagal jantung kongestif
f. Oliguria (< 500ml/24jam), kreatinin > 1,2 mg/dl

Revisi definisi preeklampsia ISSHP tahun 2014 yaitu hipertensi yang


terjadi secara de novo setelah usia kehamilan 20 minggu atau superimposed pada
hipertensi kronik dan adanya satu atau lebih dari onset terbaru kejadian berikut:5
1. Proteinuria
2. Disfungsi lain organ matenal:

22
a. Insufisiensi ginjal (kreatinin >90 µmol/L)
b. Keterlibatan hepar (peningkatan transaminase dan/atau nyeri
berat kuadran kanan atas atau nyeri epigastrik)
c. Komplikasi neurologis (contoh termasuk eklampsia, perubahan
status mental, kebutaan, stroke, atau paling sering hiperrefleks
yang terjadi bersama klonus, nyeri kepala hebat yang terjadi
dengan hiperrefleksia, skotomata visual persisten)
d. Komplikasi hematologis (trombositopenia, DIC, hemolisis)
3. Disfungsi uteroplasenta : Pertumbuhan janin terhambat
Nyeri epigastriumatau nyeri pada kuadran kanan atas merupakan
akibat nekrosis hepatocelluler, iskemia, dan oedem yang meregangkan
kapsul Glissoni. Nyeri ini sering disertai dengan peningkatan serum
hepatik transaminase yang tinggi dan biasanya merupakan tanda untuk
mengakhiri kehamilan.1
Trombositopeni adalah karakteristik dari preeklamsia yang
memburuk, dan hal tersebut mungkin disebabkan oleh aktivasi dan
agregasi platelet serta hemolisis mikroangiopati yang disebabkan oleh
vasospasme yang berat. Bukti adanya hemolisis yang luas dengan
ditemukannya hemoglobinemia, hemoglobinuria, atau hiperbilirubinemi
dan merupakan indikasi penyakit yang berat.1
Preeklampsia tanpa gejala berat dahulu seringkali dikategorikan
sebagai preeklampsia ringan. Hal ini dapat menimbulkan kesalahan
berpikir, karena walaupun tanpa gejala berat, morbiditas dan mortalitas
telah meningkat secara signifikan. Oleh sebab itu kriteria ACOG 2013 ini
mengusulkan istilah “preeklampsia tanpa gejala berat.” Beberapa wanita
hamil datang dengan kumpulan temuan laboratorium –hemolisis,
peningkatan enzim hati (elevated liver enzymes), dan penurunan hitung
trombosit (trombosytopenia)- yang dinamakan sindrom HELLP, yang
sering dianggap subtipe preeklampsia. Laktat dehidrogenase dapat
digunakan untuk membedakan sindrom HELLP dari trombotik

23
trombositopenik purpura ketika kriteria tambahan untuk preeklampsia
tidak ditemukan.4
Beberapa tanda dan gejala serta hasil laboratorium membutuhkan
pengawasan lebih ketat terhadap tanda spesifik preeklampsia, bahkan pada
kondisi tidak adanya diagnosis preeklampsia yang dikonfirmasi. Gejala ini
adalah onset terbaru nyeri kepala atau gangguan penglihatan serta nyeri
abdomen, terutama kuadran kanan atas, atau nyeri epigastrik. Temuan lain
yang membutuhkan observasi yang lebih ketat adalah pertumbuhan janin
terhambat atau proteinuria baru pada paruh kedua kehamilan, peningkatan
tekanan darah sistolik lebih dari 30 mm Hg atau tekanan darah diastolik
lebih dari 15 mm Hg saat kehamilan, dan peningkatan konsentrasi asam
urat. Penting untuk dicatat bahwa temuan-temuan ini menandakan
preeklampsia yang akan terjadi, tetapi tidak digunakan untuk menginisiasi
intervensi spesifik. Edema atau peningkatan berat badan dapat
meningkatkan kecurigaan preeklampsia, tetapi tidak termasuk kriteria
diagnostik karena merupakan tanda yang tidak spesifik maupun sensitif
untuk preeklampsia.4
Beratnya preeklamsia menurut Williams dinilai dari frekuensi dan
intensitas abnormalitas yang dapat dilihat pada Tabel 2.1. Semakin banyak
ditemukan penyimpangan tersebut, semakin besar kemungkinan harus
dilakukan terminasi kehamilan. Perbedaan antara preeklamsia ringan dan
berat dapat sulit dibedakan karena preeklamsia yang tampak ringan dapat
berkembang dengan cepat menjadi berat. Akan tetapi, juga perlu diketahui
bahwa beberapa perempuan memiliki preeklampsia atipikal yang memiliki
seluruh aspek sindrom preeklampsia, tetapi tidak ada hipertensi atau
proteinuria, atau keduanya (Sibai and Stella, 2009)1
Abnormalitas Tidak Berat Berat
Tekanan darah diastolik < 100 mmHg ≥ 110 mmHg
Tekanan darah sistolik < 160 mmHg ≥160 mmHg
Proteinuria ≤2+ ≥3+
Sakit kepala Tidak ada Ada

24
Nyeri perut bagian atas Tidak ada Ada
Oliguria Tidak ada Ada
Kejang (eklamsia) Tidak ada Ada
Serum Kreatinin Normal Meningkat
Trombositopeni Tidak ada Ada
Peningkatan enzim hati Minimal Nyata
Hambatan pertumbuhan Tidak ada Nyata
janin
Edema paru Tidak ada Ada
Tabel 2.1 Gejala Beratnya Hipertensi Selama Kehamilan1
Superimposed Preeclampsia
Superimposed preeklampsia terjadi pada 13-40% perempuan dengan
hipertensi kronik.4Kriteria diagnosis Superimposed Preeclampsia menurut
National High Blood Pressure Education Program Working Group Report on
High Blood Pressure in Pregnancy tahun 2000 dan Kemenkes tahun 2013
adalah :1,9
1. Proteinuria 300 mg/24 jam pada wanita dengan hipertensi yang ada sebelum
kehamilan 20 minggu.
2. Peningkatan tiba-tiba proteinuria atau tekanan darah atau jumlah trombosit
<100.000/mm3 pada wanita dengan hipertensi atau proteinuria sebelum
kehamilan 20 minggu.
Menurut SOMANZ 2008 hipertensi kronik dengan superimposed
preeklampsia didiagnosis ketika seorang perempuan dengan diagnosis hipertensi
kronik sebelumnya mendapatkan salah satu gejala sistemik preeklampsia setelah
usia kehamilan 20 minggu.7
ISSHP 2014 tidak merekomendasikan mendiagnosis preeklampsia yang
superimposed pada hipertensi kronik hanya berdasarkan peningkatan tekanan
darah saja. Untuk pasien dengan hipertensi esensial yang mendasari,
superimposed preeklampsia dapat didiagnosis ketika satu atau lebih gejala
sistemik preeklampsia menurut ISSHP 2014 terjadi di samping hipertensi.

25
Mendiagnosis preeklampsia yang superimposed pada penyakit ginjal karena
umumnya pasien tersebut pada dasarnya memiliki gangguan GFR dan/atau
proteinuria. Pada kasus tersebut preeklampsia dapat didiagnosis ketika gejala lain
seperti onset terbaru disfungsi hepar, trombositopenia atau neurologis terjadi.
Bahkan masih terdapat ketidakpastian dan hal ini merupakan area dimana uji
diagnostik seperti pengukuran faktor angiogenik atau inflamasi pada serum atau
urin dapat bermanfaat di masa depan.5
Menurut SOGC 2014 terdapatklasifikasi hipertensi kronik dengan bukti
preeklampsia yang juga disebut superimposed preeklampsia yang didefiniskan
sebagai munculnya satu atau lebih keadaan di bawah ini pada usia kehamilan ≥ 20
minggu:8
1. Hipertensi resisten (membutuhkan tiga obat antihipertensif untuk
mengontrol tekanan darah pada usia kehamilan ≥ 20 minggu)
2. Proteinuria baru atau perburukan proteinuria
3. Satu atau lebih kondisi yang memperburuk (Tabel 3)
4. Satu/lebih komplikasi berat (Tabel 3)
Preeklampsia berat didefinikan sebagai preeklampsia dengan satu atau lebih
komplikasi berat.
Menurut ACOG 2013, hipertensi kronik dengansuperimposed
preeklampsia adalah perempuan dengan hipertensi kronik yang mendapatkan
preklampsia. ACOG 2013 membagi superimposed preeklampsia menjadi 2,
superimposed preeklampsia dan superimposed preeklampsia dengan gejala berat.
Diagnosis superimposed preeklampsia sangat mungkin jika salah satu dari hal
berikut ada:4
1. Peningkatan tekanan darah tiba-tiba yang sebelumnya terkontrol baik atau
peningkatan obat antihipertensi untuk mengontrol tekanan darah.
2. Onset terbaru proteinuria atau peningkatan tiba-tiba proteinuria pada wanita
dengan proteinuria yang telah diketahui sebelum kehamilan atau pada awal
kehamilan.
Diagnosis superimposed preeklampsia dengan gejala berat ditegakkan
ketika salah satu hal berikut ada:4

26
1. Hipertensi berat walaupun peningkatan terapi antihipertensif
2. Trombositopenia(di bawah 100.000/mikroliter);
3. Peningkatan transaminase hepar (dua kali lipat batas atas normal untuk
laboratorium tersebut)
4. Insufisiensi ginjal baru atau perburukan insufisiensi ginjal
5. Edema paru
6. Gangguan visual atau serebral persisten

2.2.5 Hipertensi Gestasional


Menurut National High Blood Pressure Education Program
Working Group Report on High Blood Pressure in Pregnancy tahun 2000
dan Kemenkes 2013, kriteria diagnosis pada hipertensi gestasional yaitu:1 
1. TD ≥ 140/90 mmHg yang timbul pertama kali selama kehamilan.
2. Tidak ada proteinuria.
3. TD kembali normal < 12 minggu postpartum.
4. Diagnosis akhir baru bisa ditegakkan postpartum.
5. Mungkin ada gejala preeklampsia lain yang timbul, contohnya nyeri
epigastrium atau trombositopenia.
Hampir setengah wanita dengan hipertensi gestasional
mendapatkan sindrom preeklampsia, yang termasuk tanda seperti
proteinuria dan trombositopenia atau gejala seperti nyeri kepala atau nyeri
epigastrik. Hipertensi gestasional diubahmenjadi hipertensi sementara
(transient) jika bukti preeklampsia tidak muncul dan tekanan darah
kembali ke normal dalam 12 minggu postpartum. Akan tetapi, ACOG
2013 tidak merekomendasikan penggunaan istilah tersebut karena di
lapangan rekam medis pemulangan pasien jarang diubah kembali.1,4
Proteinuria adalah pertanda objektif pasti yang menandakan
terjadinya kebocoran endotel sistemik yang luas, yang merupakan
karakteristik sindrom preeklampsia. Akan tetapi, ketika tekanan darah
meningkat secara signifikan, sangat berbahaya baik bagi ibu dan fetus
untuk mengacuhkan peninggian ini karena belum ada proteinuria. Seperti

27
yang Chesley (1985) simpulkan, 10 persen dari kejang eklampsia terjadi
sebelum proteinuria nyata bisa diidentifikasi.1
Menurut SOMANZ 2008 dan ISSHP 2014 hipertensi gestasional
adalah hipertensi yang muncul pertama kali setelah usia kehamilan 20
minggu, tanpa gejala preeklampsia.7,8
Menurut SOCG 2014, hipertensi gestasional adalah hipertensi yang
muncul pertama kali pada usia kehamilan ≥ 20 minggu, dan dapat disertai
keadaan komorbid, atau dengan bukti preeklampsia.8
Menurut ACOG 2013 dan RCOG 2010, hipertensi gestasional
didiagnosis ketika terdapat hipertensi baru setelah usia kehamilan 20
minggu, pada keadaan tidak adanya proteinuria. Kegagalan tekanan darah
untuk kembali normal post partum membutuhkan perubahan diagnosis
menjadi hipertensi kronik. Hipertensi gestasional dapat menjadi pertanda
hipertensi kronik di masa depan, dan oleh sebab itu membutuhkan
pengawasan yang lebih ketat.4,6

Eklamsia
Serangan konvulsi (grand mal) pada wanita dengan preeklampsia
yang tidak dapat dihubungkan dengan sebab lainnya (seperti epilepsi,
perdarahan subarahnoid, dan meningitis) disebut eklamsia. Konvulsi
terjadi secara general dan dapat terlihat sebelum, selama, atau setelah
melahirkan. Pada studi terdahulu, sekitar 10% wanita eklamsia, terutama
nulipara, serangan tidak muncul hingga 48 jam setelah postpartum. Setelah
perawatan prenatal bertambah baik, banyak kasus antepartum dan
intrapartum sekarang dapat dicegah, dan studi yang lebih baru melaporkan
bahwa seperempat serangan eklampsia terjadi setelah 48 jam
postpartum.Penyebab lain kejang selain eklampsia termasuk perdarahan
malformasi arterivena, ruptur aneurisma, atau gangguan kejang idiopatik.
Diagnosis alternatif ini sangat mungkin ditemukan pada kasus kejang baru
yang terjadi 48-72 jam post partum atau ketika kejang terjadi sewaktu
penggunaan terapi antiepileptik dengan magnesium sulfat.1,4,6,9

28
Usulan terbaru
Pada klasifikasi SOGC 2013 terdapat gangguan hipertensi dalam
kehamilan baru yang dimasukkan, yaitu efek hipertensif lainnya yang terdiri atas
efek hipertensif sementara, efek hipertensif kerah putih, dan efek hipertensif
tersamarkan (masked) yang dapat dilihat pada tabel 1.8
Salah satu masalah yang dibahas oleh pedoman ACOG tahun 2013 adalah
hipertensi post partum, karena preeklampsia dapat terjadi pertama kali pada
periode post partum. Fenomena hipertensi post partum lambat didefinisikan
sebagai wanita dengan kehamilan normotensif yang mendapatkan hipertensi pada
periode 2 minggu hingga 6 minggu post partum. Tekanan darah biasanya bersifat
labil selama berbulan-bulan post partum, biasanya kembali normal pada akhir
tahun pertama. Hanya sedikit pengetahuan yang dimiliki tentang hipertensi post
partum dan seperti hipertensi gestasional, dapat menjadi prediktor hipertensi
kronik di masa depan.4
Revisi klasifikasi ISSHP 2013 memasukkan hipertensi kerah putih.
Diketahui bahwa satu dari empat pasien dengan peningkatan tekanan darah di
klinik memiliki hipertensi kerah putih. Idealnya, diagnosis dikonfirmasi dengan
mendapatkan tekanan darah normal menggunakan alat monitoring tekanan darah
24 jam ambulatori (ABPM) pada separuh awal kehamilan, akan tetapi ISSHP
mengetahui bahwa hal ini tidak praktikal dalam skala nasional atau internasional
dan beberapa negara tidak memiliki akses terhadap alat ini. Ketika diagnosis
hipertensi kerah putih dikonfirmasi, ibu dapat ditangani dengan penilaian tekanan
darah rumah reguler dan obat antihipertensif dapat dihindari sampai tekanan darah
mencapai 160-170/110 mmHg. Prognosis hipertensi kerah putih dalam kehamilan
terbatas tetapi ditunjukkan bahwa hingga setengah pasien akan mendapatkan
hipertensi gestasional atau preeklampsia. Untuk menurunkan efek kerah putih,
sebaiknya pasien dengan hipertensi kerah putih diperiksa tiap minggu oleh orang
selain dokter atau menggunakan alat pengukur tekanan darah di rumah.5

29
Gambar 1. Aplikasi klinis (ABPM) pada awal kehamilan untuk mendiagnosis dan
penanganan hipertensi kerah putih. Hipertensi didiagnosis jika baik rata-rata
tekanan darah sistolik atau diastolik meningkat saat sadar atau saat tidur. ABPM =
ambulatory blood pressure monitoring; GH = gestational hypertension; PE = pre-
eclampsia5

Sindroma HELLP merupakan salah satu komplikasi dari preeklampsia


berat yang didiagnosa berdasarkan hasil laboratorium. Sindroma HELLP bisa
terjadi sebelum atau sesudah melahirkan. Onset terjadinya sindroma HELLP post
partum adalah beberapa jam sehingga 6 hari setelah melahirkan. Kejadian
sindroma HELLP post partum paling sering dijumpai setelah 48 jam melahirkan. 4
Sindroma HELLP didiagnosa berdasarkan hasil temuan laboratorium yaitu
adanya hemolysis, elevated liver enzyme, dan low platelet. ISSHP 2014, ACOG
2013, dan SOMANZ 2008 merekomendasikan agar sindrom HELLP masih
dianggap sebagai bagian dari preeklampsia agar seluruh fitur preeklampsia dapat
diinvestigasi.1,4

30
2.6 Manajemen Preeklampsia

Penanganan Prakehamilan
Wanita dengan gejala sugestif hipertensi sekunder membutuhkan rujukan
ke dokter dengan keahlian dalam menangani hipertensi. (ACOG 2013)4
Wanita dengan hipertensi kronik yang merencanakan kehamilan harus
tetap menjaga asupan natrium tetap rendah, baik dengan mengurangi atau
mengganti asupan garam natrium karena dapat mengurangi tekanan darah.
(RCOG 2010)6 Akan tetapi tidak disarankan mengurangi berat badan dan asupan
natrium hingga kurang dari 100 mEq/L (ACOG 2013).4
Wanita dengan hipertensi kronik yang terbiasa berolahraga dengan tekanan
darah yang terkontrol disarankan melanjutkan olahraga moderat saat hamil.
(ACOG 2013)4
Apabila wanita yang merencakan kehamilan mengonsumsi obat
antihipertensi angiotensin converting enzyme (ACE) inhibitor atau angiotensin
II receptor blockers (ARB), dan cholothiazid maka perlu didiskusikan
peningkatan risiko abnormalitas kongenital serta komplikasi neonatal untuk
cholothiazid jika dikonsumsi selama hamil dan mengganti obat antihipertensif
untuk penanganan hipertensinya. ACE inhibitor dan ARB harus dihentikan bila
seorang wanita menjadi hamil, sebaiknya dalam 2 hari setelah mengetahui
kehamilan dan diberikan obat antihipertensi lain. (RCOG 2010)6
Disarankan penggunaan alat pengukur tekanan darah ambulatori untuk
wanita yang dicurigai hipertensi kerah putih untuk mengonfirmasi diagnosis
sebelum memulai terapi antihipertensif. Wanita dengan hipertensi kronik dan
kontrol tekanan darah yang buruk disarankan menggunakan alat pengukur
tekanan darah rumahan. (RCOG 2010)6

Manajemen Hipertensi pada Kehamilan


Pada wanita hamil dengan hipertensi kronik yang tidak berkomplikasi jaga
tekanan darah di bawah 150/100 mmHg. Pada wanita hamil dengan kerusakan
organ sekunder karena hipertensi kronik terapi bertujuan untuk menjaga tekanan

31
darah di bawah 140/90 mmHg (RCOG 2010).6 ACOG 2013 menyarankan
menjaga tekanan darah antara 120/80 mmHg hingga 160/105 mmHg.4 Hindari
pemberian terapi untuk menurunkan tekanan darah diastol di bawah 80 mmHg
pada wanita hamil dengan hipertensi kronik yang tidak berkomplikasi. Rujuk
wanita hamil dengan hipertensi kronik sekunder ke ahli di bidang hipertensi.
(RCOG 2010)6
Pada hipertensi kronik, penurunan tekanan darah ibu akan
mengganggu perfusi serta tidak ada bukti-bukti bahwa tekanan darah yang normal
akan memperbaiki keadaan janin dan ibu.Jika pasien sebelum hamil sudah
mendapat obat antihipertensi, dan terkontrol dengan baik, lanjutkan pengobatan
tersebut. Berikan suplementasi kalsium1,5-2 g/hari dan aspirin 75 mg/hari mulai
dari usia kehamilan 20 minggu, pantau pertumbuhan dan kondisi janin. Jika tidak
ada komplikasi, tunggu sampai aterm. Jika denyut jantung janin <100 kali/menit
atau >180 kali/menit, tangani seperti gawat janin. Jika terdapat pertumbuhan janin
terhambat, pertimbangkan terminasi kehamilan. (Kemenkes 2013)9
Jika tekanan diastolik >110 mmHg atau tekanan sistolik >160 mmHg
(Kemenkes 2013)9, tekanan diastolik lebih dari 105 mmHg atau sistolik lebih dari
160 mmHg secara persisten (ACOG 2013)4, sistolik lebih dari sama dengan 160
mmHg dan/atau 100 mmHg diastolik (SOMANZ 2008), berikan antihipertensi.
Pemberian terapi pada rentang tekanan darah sistolik 140-159 mmHg dan/atau
diastolik 90-99 mmHg juga didokumentasikan menghasilkan luaran yang baik
(SOMANZ 2008).7 Obat yang digunakan untuk hipertensi kronik sama yang
direkomendasikan sama dengan hipertensi gestasional dan preeklampsia
(SOMANZ 2008, tabel 5).7Penggunaan ACE inhibitor, ARB, renin inhibitor, dan
antagonis reseptor mineralokortikoid tidak disarankan pada wanita usia
reproduktif dengan hipertensi kronik kecuali terdapat penyakit ginjal proteinuria
(ACOG 2013).4
Menurut SOGC 2014, tekanan darah harus diturunkan <160/110
mmHg. Antihipertensif pertama di rumah sakit adalah nifedipine kerja pendek,
hydralazine parenteral, atau labetolol parenteral. Alternatif lain infus
nitroglycerin, methyldopa oral, clonidine oral, atau captopril oral yang hanya

32
diberikan postpartum. Hipertensi refrakter dapat ditangani dengan sodium
nitroprusside. Nifedipine dan Magnesium sulfat dapat digunakan secara
bersamaan. Pengawasan denyut jantung janin berkelanjutan disarankan sampai
tekanan darah stabil. Antihipertensif dapat digunakan untuk menjaga tekanan
darah 130-155/80-105 mmHg pada perempuan tanpa kondisi komorbid. Pada
wanita dengan kondisi komorbid tekanan darah dijaga dengan antihipertensif
<140/90 mmHg. Pemilihan obat antihipertensif disesuaikan sesuai keadaan
pasien. ACE inhibitor dan ARB tidak disarankan selama kehamilan. Atenolol dan
prazosin tidak direkomendasikan sebelum persalinan. Captopril, enalapril, atau
quinapril dapat digunakan postpartum dan masa menyusui.8
Disarankan pemantauan pertumbuhan janin terhambat menggunakan
ultrasonografi pada ibu dengan hipertensi kronik. Jika terdapat bukti pertumbuhan
janin terhambat, direkomendasikan penilaian fetoplasental termasuk dengan
velosimetri Doppler arteri umbilikal. Persalinan sebelum usia kehamilan 38
minggu tidak disarankan pada hipertensi kronik tanpa komplikasi maternal dan
fetal. Pertimbangkan persalinan pada hipertensi kronik refrakter setelah pemberian
kortikosteroid untuk pematangan paru. (RCOG 2010, ACOG 2013, SOGC
2014)4,8
Pada wanita dengan hipertensi kronik yang telah melahirkan, ukur tekanan
darah setiap hari untuk dua hari pertama post partum, setidaknya sekali antara hari
ke-3 dan ke-5, dan setiap kali diindikasikan jika terapi antihipertensif diubah
setelah melahirkan. Tujuan terapi pada ibu dengan hipertensi kronik yang telah
melahirkan adalah tekanan darah di bawah 140/90 mmHg. Lanjutkan terapi
antihipertensif antenatal dan tinjau kembali terapi antihipertensif jangka panjang 2
minggu setelah melahirkan. Jika digunakan methyldopa untuk mengobati
hipertensi kronik selama kehamilan, hentikan dalam 2 hari setelah melahirkan dan
mulai kembali terapi antihipertensif yang digunakan sebelum kehamilan. Lakukan
penilaian medis postnatal (6-8 minggu postpartum) dengan tim pelayanan
prekonsepsi(RCOG 2010).6

33
Tabel 5. Obat antihipertensif untuk penurunan urgensi hipertensi berat ≥170/110
mmHg (atas) dan tidak urgen (bawah) dalam kehamilan menurut SOMANZ
20087

34
Tabel 6. Obat antihipertensif untuk keadaan akut di rumah sakit (atas) dan kronik
pada kondisi rawat jalan (bawah)untuk hipertensi dalam kehamilan menurut
ACOG 20134

35
Tabel 7. Obat antihipertensif untuk tekanan darah >160/110 mmHg (atas) dan
antara 140-159/90-109 mmHg (bawah) menurut pedoman SOGC 20144

Penatalaksanaan hipertensi gestasional


Pantau tekanan darah, urin (untuk proteinuria), dan kondisi janin setiap
minggu. Jika tekanan darah meningkat, tangani sebagai preeklampsia ringan.Jika
kondisi janin memburuk atau terjadi pertumbuhan janin terhambat, rawat untuk
penilaian kesehatan janin. Beri tahu pasien dan keluarga tanda bahaya dan gejala
preeklampsia dan eklampsia. Jika tekanan darah stabil, janin dapat dilahirkan
secara normal.(Kemenkes 2013)9
Pada wanita dengan hipertensi gestasional perlu diketahui faktor risiko
berikut yang membutuhkan penilaian lebih lanjut: nullipara, umur 40 atau lebih,
interval kehamilan lebih 10 tahun, riwayat preeklampsia dalam keluarga,
kehamilan multipel, indeks massa tubuh 35 kg/m2 atau lebih, usia gestasi saat
kunjungan, riwayat preeklampsia atau hipertensi gestasional sebelumnya, riwayat
penyakit vaskuler sebelumnya, riwayat penyakit ginjal. (RCOG 2010)6

Derajat Ringan (140/90 – Sedang (150/100 – Berat (160/100 atau


Hipertensi 149/99 mmHg) 159/109 mmHg) lebih)
Rawat inap
Ya (hingga tekanan darah
di rumah Tidak Tidak
159/109 atau kurang)
sakit
Dengan labetolol oral Dengan labetolol oral
sebagai lini pertama sebagai lini pertama untuk
untuk menjaga: menjaga:
Terapi Tidak 1. tekanan diastol antara 80-1. tekanan diastolantara 80-
100 mmHg 100 mmHg
2. tekanan sistolik kurang 2. tekanan sistolik kurang
dari 150 mmHg dari 150 mmHg
Ukur Tidak lebih dari Minimal dua kali Minimal empat kali sehari

36
tekanan
sekali seminggu seminggu
darah
Pada setiap
Pada setiap kunjungan
kunjungan
menggunakan alat Setiap hari menggunakan
Pemeriksaa menggunakan alat
pengukur reagen-strip alat pengukur reagen-strip
n pengukur reagen-
atau rasio atau rasio protein:kreatinin
proteinuria strip atau rasio
protein:kreatinin urin urin otomatis
protein:kreatinin
otomatis
urin otomatis
Fungsi ginjal, elektrolit,
darah lengkap,
Periksa pada kunjungan
Hanya yang rutin transaminase, bilirubin.
pertama dan monitor setiap
Pemeriksaa dikerjakan pada Tidak perlu dilakukan
minggu: fungsi ginjal,
n darah pemeriksaan pemeriksaan darah lagi
elektrolit, darah lengkap,
antenatal bila proteinuria negatif
transaminase, bilirubin.
pada kunjungan
selanjutnya
Tabel 8. Penanganan kehamilan dengan hipertensi gestasional menurut RCOG
2010 6
Antihipertensif lain yang dapat diberikan selain labetalol adalah
methyldopa dan nifedipine setelah mempertimbangkan efek samping ke ibu dan
janin. Periksa tekanan darah dan urin rutin dua kali seminggu pada ibu dengan
hipertensi ringan yang muncul sebelum 32 minggu atau berisiko tinggi
preeklampsia dan pada pasien rawat jalan yang telah mendapatkan kontrol
tekanan darah di rumah sakit karena hipertensi gestasional berat. Jangan
menawarkan persalinan sebelum usia kehamilan 37 minggu pada hipertensi
gestasional dengan tekanan darah tidak lebih dari 160/100 mmHg dengan atau
tanpa terapi antihipertensif. Pada hipertensi gestasional refratif persalinan
ditawarkan setelah menyelesaikan pemberian kortikosteroid (jika dibutuhkan).
Tekanan darah tetap diperiksa setiap hari untuk 2 hari pertama setelah melahirkan,
setidaknya sekali pada hari 3-5, dan sesuai indikasi jika terapi antihipertensif

37
diubah setelah persalinan. Obat antihipertensif tetap dilanjutkan dan
pertimbangkan untuk mengurangi obat bila tekanan darah di bawah 140/90
mmHg, dan kurangi obat bila tekanan darah di bawah 130/80 mmHg. Methyldopa
dihentikan dalam 2 hari postpartum jika digunakan sebagai antihipertensif pada
hipertensi gestasional. Obat antihipertensif diberikan pada ibu dengan hipertensi
gestasional. yang memiliki tekanan darah lebih dari 149/99 mmHg postpartum,
dan rujuk ke perawatan postnatal pada 2 minggu dan 6-8 minggu. Bila pasien
masih membutuhkan antihipertensif pada 6-8 minggu postpartum, rujuk ke ahli
hipertensi. (RCOG 2010)6
ISSHP 2014 menambahkan pemeriksaan asam urat dalam pemeriksaan
darah untuk hipertensi gestasional karena dapat menjadi suatu pertanda adanya
kemungkinan pertumbuhan janin terhambat.5

Penatalaksanaan preeklampsia, eklampsia, dan superimposed preeklampsia


Menurut ACOG 2013, diperlukan pengawasan ketat pada wanita dengan
preeklampsia tanpa gejala berat, dengan penilaian gejala maternal dan pergerakan
janin tiap hari oleh ibu, pengukuran tekanan darah serial dua kali seminggu, dan
penilaian hitung platelet dan enzim hepar tiap minggu. Antihipertensif tidak
diberikan pada preeklampsia dengan tekanan darah persisten <160/100 mmHg.
Penilaian antenatal pada preeklampsia tanpa gejala berat dengan USG dan uji
antenatal untuk menilai pertumbuhan fetal disarankan. Jika ditemukan
pertumbuhan janin terhambat, disarankan penilaian fetoplasental penilaian dengan
velosimetri Doppler arteri umbilikal.4

Derajat Ringan (140/90 – Sedang (150/100 – Berat (160/100 atau


Hipertensi 149/99 mmHg) 159/109 mmHg) lebih)
Rawat inap
di rumah Ya Ya Ya
sakit
Terapi Tidak Dengan labetolol oral Dengan labetolol oral
sebagai lini pertama sebagai lini pertama

38
untuk menjaga: untuk menjaga:
1. tekanan diastol antara 1. tekanan diastol antara
80-100 mmHg 80-100 mmHg
2. tekanan sistolik 2. tekanan sistolik
kurang dari 150 kurang dari 150
mmHg mmHg
Ukur Lebih dari empat kali
Setidaknya empat Setidaknya empat kali
tekanan sehari tergantung
kali sehati sehati
darah kepentingan klinis
Pemeriksaa Jangan mengulang
Jangan mengulang Jangan mengulang
n kuantifikasi
kuantifikasi proteinuria kuantifikasi proteinuria
proteinuria proteinuria
Monitor dengan tes
berikut dua kali Monitor dengan tes Monitor dengan tes
seminggu: fungsi berikut tiga kali berikut tiga kali
Pemeriksaa
ginjal, elektrolit, seminggu: fungsi ginjal, seminggu: fungsi ginjal,
n darah
darah lengkap, elektrolit, darah lengkap, elektrolit, darah lengkap,
transaminase, transaminase, bilirubin transaminase, bilirubin
bilirubin
Tabel 9. Penanganan kehamilan dengan preeklampsia menurut RCOG 20106

39
Tabel 10. Indikasi persalinan pada perempuan dengan preeklampsia atau
hipertensi gestasional menurut SOMANZ 20087

Tabel 11. Indikasi spesifik persalinan pada perempuan dengan preeklampsia atau
menurut revisi ISSHP 20148

Antihipertensif lain seperti methyldopa dan nifedipine merupakan lini


kedua selain labetalol dan hanya diberikan setelah mempertimbangkan efek
samping ke ibu dan janin (RCOG 2010). Kehamilan dengan preeklampsia tanpa
gejala berat dan indikasi persalinan dapat ditangani secara konservatif hingga 34
minggu (RCOG 2010) atau 37 minggu (ACOG 2013).Persalinan dapat dimajukan
sebelum 34 minggu setelah diskusi dengan tim neonatal dan anestesi dan
pemberian kortikosteroid jika: 1) hipertensi berat yang refraktif terhadap terapi, 2)
ada indikasi maternal atau fetal yang didokumentasikan oleh konsultan obstetrik
mengenai perubahan biokimiawi, hematologis, dan klinis maternal dan ambang
batas janin (RCOG 2010). Wanita dengan preeklampsia berat, pada usia
kehamilan 34 minggu atau lebih dan dengan kondisi maternal atau fetal yang tidak
stabil (ACOG 2013), tanpa memperdulikan usia kehamilan (SOGC 2014)
disarankan persalinan segera setelah stabilisasi keadaan ibu. Wanita dengan
preeklampsia berat dengan usia kehamilan kurang dari 34 minggu dengan
keadaan ibu dan fetal yang stabil direkomendasikan melanjutkan kehamilan hanya
pada fasilitas dengan sumber daya perawatan intensif ibu dan neonatal yang

40
adekuat (ACOG 2013). Direkomendasikan persalinan pada wanita dengan
preeklampsia dengan hipertensi berat setelah 34 minggu ketika tekanan darah
telah terkontrol dan pemberian kortikosteroid telah diselesaikan (jika dibutuhkan)
(RCOG 2010, ACOG 2013). Pada wanita dengan usia kehamilan 24-34 minggu 6
hari dengan preeklampsia tidak berat yang memiliki sindrom HELLP tunda
persalinan sampai pemberian kortikosteroid selesai jika terdapat perbaikan
laboratorium maternal, dan seluruh wanita dengan sindrom HELLP pada usia
kehamilan 35 minggu atau lebih harus disarankan terminasi kehamilan. (SOGC
2014). Tawarkan persalinan pada wanita dengan preeklampsia dengan hipertensi
ringan atau sedang pada 34 minggu 0 hari sampai 36 minggu 6 hari bergantung
pada kondisi maternal dan fetal, faktor risiko, dan ketersediaan perawatan intensif
neonatal. Rekomendasikan persalinan dalam 24-48 jam pada wanita dengan
preeklampsia dengan hipertensi ringan atau sedang setelah 37 minggu (RCOG
2010, ACOG 2013). Pada wanita dengan preeklampsia berat dan sebelum
viabilitas fetal disarankan terminasi setelah stabilisasi maternal dan tidak
disarankan manajemen ekspektatif (ACOG 2013).4,6,8
Magnesium sulfat tidak disarankan pada preeklampsia dengan tekanan
darah <160/110 dan tidak ada gejala maternal (ACOG 2013). Magnesium sulfat
disarankan pada pencegahan dan penanganan eklampsia pada wanita dengan
preeklampsia berat dibanding antikonvulsan lain (WHO 2013) dan keadaan-
keadaan berikut digunakan sebagai gejala preeklampsia berat: hipertensi berat dan
proteinuria atau hipertensi ringan atau sedang dan proteinuria dengan satu atau
lebih gejala (nyeri kepala hebat, masalah penglihatan seperti kabur atau silau pada
mata, nyeri hebat di bawah rusuk atau muntah, papilloedema, tanda klonus [≥3
denyut], nyeri hepar, sindrom HELLP, trombositopenia <100.000/mikroliter,
enzim hepar abnormal [ALT/AST lebih 70 iu/liter]) atau pada wanita dengan
eklampsia sebelumnya (RCOG 2010).2,4,6

41
Gambar 7. Penanganan hipertensi gestasional ringan atau preeklampsia tanga
gejala berat menurut ACOG 20134

Rejimen Collaborative Eclampsia Trial untuk magnesium sulfat adalah


dosis pembebanan 4 g intravena selama 5 menit (10-15 menit SOMANZ 2008)
dilanjutkan 1g/jam selama 24 jam. Kejang berulang harus ditangani dengan dosis
lanjutan 2-4 g diberikan selama 5 menit. Diazepam, phenytoin atau cocktail lytic
tidak disarankan sebagai alternatif magnesium sulfat. (RCOG 2010). Diazepam
intravena (2 mg/menit maksimal 10 mg) atau clonazepam (1-2 mg selama 2-5
menit) dapat diberikan sambil menunggu persiapan magnesium sulfat menurut
SOMANZ 2008. Tidak diperlukan pengukuran kadar magnesium serum jika
fungsi ginjal normal, dan tidak boleh diberikan lebih dari 12 jam pada wanita

42
dengan oligouria atau gangguan ginjal dan pada keadaan tersebut kadar
magnesium serum harus dipantau (SOMANZ 2008).6,7

Gambar 8. Penanganan preeklampsia berat pada usia kehamilan di bawah 34


minggu menurut ACOG 20134

43
Gambar 9. Cara pemberian magnesium sulfat menurut Kemenkes 20139

Pada sindrom HELLP dengan usia kehamilan sebelum viabilitas fetal dan
pada 34 minggu atau lebihdisarankan terminasi kehamilan segera setelah
stabilisasi maternal. Pada usia kehamilan antara viabilitas fetus sampai 33 minggu
6 hari disarankan menunda 24-48 jam untuk pemberian kortikosteroid untuk
pematangan paru.Terdapat indikasi pemberian transfusi trombosit pada keadaan
tertentu seperti pada tabel 10. Tidak disarankan pemberian kortikosteroid selain
untuk pematangan paru. (SOGC 2014, WHO 2013, ROGC 2010, ACOG
2013).2,4,6,8
Pemberian kortikosteroid disarankan untuk pematangan paru diberikan
dalam bentuk betamethasone 12 mg dua dosis intramuskular selang 24 jam pada
perempuan dengan preeklampsia antara 24-34 minggu, dan pertimbangkan
pemberian dosis di atas pada perempuan antara 35-36 minggu (RCOG 2010).
Alternatif lain menurut Kemenkes 2013 adalah deksametason 6 mg intramuskular
setiap 12 jam sebanyak 4 kali.6

44
Tabel 11. Rekomendasi transfusi trombosit terkait proses persalinan pada sindrom
HELLP menurut SOGC 20148

45
Gambar 10. Algoritme manajemen ekspektatif pada preeklampsia menurut
Kemenkes 20139
Pada proses persalinan ibu dengan hipertensi dalam kehamilan selalu
disarankan persalinan pervaginam kecuali dibutuhkan seksio Caesarean bila ada
indikasi obstetrik. Jika direncakan persalinan pervaginam tetapi serviks belum
matang maka dapat digunakan pematangan serviks. Pada usia kehamilan yang
masih jauh dari aterm, wanita dengan hipertensi dalam kehamilan dengan bukti
gangguan fetus dapat mendapatkan manfaat dari seksio Caesarean emergensi.
Selama proses persalinan tetap diberikan antihipertensi untuk menjaga tekanan
darah <160/110 mmHg. Kala 3 harus dimanajemen secara aktif dengan oksitosin
5 unit intravena atau 10 unit intramuskular terutama jika ada trombositopenia atau
koagulopati. Ergometrine maleate tidak boleh diberikan pada hipertensi dalam
kehamilan. Analgesia yang terpilih untuk proses persalinan atau operasi Caesar
adalah anestesi epidural, spinal, kombinasi spinal-epidural, dan anestesi umum
jika tidak ada kontraindikasi. Pemberian cairan intravena dan oral harus
diminimalkan pada wanita dengan preeklampsia untuk mencegah edema paru.
Pada keadaan oligouria cairan tidak secara rutin diberikan, dan pada oligouria
persisten tidak disarankan pemberian dopamin atau furosemid. Efedrin atau
phenylephrine dapat digunakan untuk mencegah atau mengatasi hipotensi saat
anestesi neuraxial. (ACOG 2013, SOGC 2014)8
Bila terjadi edema paru pada ibu dengan preeklampsia, yang ditandai
dengan sesak napas, hipertensi, batuk berbusa, ronki basah halus pada basal paru
pada ibu dengan preeklampsia berat, maka posisikan ibu dalam posisi tegak,
berikan oksigen, berikan furosemide 40 mg IV, bila produksi urin masih rendah
(<30 ml/jam dalam 4 jam), pemberian furosemid dapat diulang, ukur
keseimbangan cairan, dan batasi cairan yang masuk. (Kemenkes 2013)9
Pada periode postpartum, tekanan darah tetap dipantau setidaknya hingga
72 jam postpartum dan dipantau kembali pada 7-10 hari postpartum atau lebih
awal jika bergejala. Jika terdapat hipertensi onset baru dengan nyeri kepala atau
pandangan kabur atau preeklampsia dengan gejala berat pada periode postpartum,
disarankan pemberian magnesium sulfat parenteral. Pada perempuan dengan

46
hipertensi postpartum dengan tekanan darah ≥150/100 mmHg pada dua
pemeriksaan selang 4-6 jam maka harus diberikan antihipertensif. Tekanan darah
persisten lebih dari 160/110 mmHg harus diterapi segera dalam 1 jam. (ACOG
2013). Bagi ibu yang menyusui yang mendapatkan antihipertensif perlu diberitahu
bahwa obat antihipertensif berikut tidak diketahui memiliki efek samping pada
bayi: labetalol, nifedipine, enalapril, captopril, atenolol, metoprolol dan
menghindari diuretik dan obat-obatan berikut karena belum memiliki cukup bukti
mengenai keamanan pada bayi: ARB, amlodipine, ACE inhibitor selain enalapril
dan captopril (RCOG 2010). Wanita dengan riwayat hipertensi dalam kehamilan
bahwa terdapat peningkatan risiko tekanan darah tinggi dan komplikasi di masa
depan dan risiko rekurensi, serta untuk menjaga indeks massa tubuh pada rentang
yang normal sebelum kehamilan berikutnya (RCOG 2010). Direkomendasikan
pemeriksaan tekanan darah, profil lipid, glukosa darah puasa, dan indeks massa
tubuh setiap tahun bagi ibu dengan preeklampsia yang melahirkan preterm atau
riwayat preeklampsia rekuren (ACOG 2013). 4,6
Bila tidak terdapat fasilitas, maka pasien dengan hipertensi berat atau
preeklampsia harus dirujuk sesuai kriteria berikut. Perawatan level 3 untuk
preeklampsia berat dan membutuhkan ventilasi, perawatan level 2 untuk pasien
yang mengalami penurunan perawatan dari level 3 atau preeklampsia berat
dengan salah satu komplikasi berikut: eklampsia, sindrom HELLP, perdarahan,
hiperkalemia, oligouria berat, membutuhkan bantuan koagulasi, terapi
antihipertensi intravena, stabilisiasi inisial hipertensi berat, bukti gagal jantung,
atau neurologis yang abnormal. Perawatan level 1 bagi: preeklampsia dengan
hipertensi ringan atau sedang, penanganan antenatal konservatif pada hipertensi
berat preterm, dan penurunan level pada terapi post partum. (RCOG 2010)6

47
Sedangkan menerut POGI, Manajemen ekspektatif tidak meningkatkan
kejadian morbiditas maternal seperti gagal ginjal, sindrom HELLP, angka seksio
sesar, atau solusio plasenta. Sebaliknya dapat memperpanjang usia kehamilan,
serta mengurangi morbiditas perinatal seperti penyakit membran hialin,
necrotizing enterocolitis, kebutuhan perawatan intensif dan ventilator serta lama
perawatan. Berat lahir bayi rata – rata lebih besar pada manajemen ekspektatif,
namun insiden pertumbuhan janin terhambat juga lebih banyak. (8)
Pemberian kortikosteroid mengurangi kejadian sindrom gawat napas,
perdarahan intraventrikular, infeksi neonatal serta kematian neonatal. (8)
Perawatan ekspektatif pada preeklamsia tanpa gejala berat.

48
Tabel 2.4 Perawatan Ekspektatif Pada Preeklampsia Berat. (6)

49
Manajemen Ekspertatif pada Preeklamsia Berat

50
MEDIKAMENTOSA
Pemberian Magnesium Sulfat Untuk Cegah Kejang

Sejak tahun 1920-an, magnesium sulfat sudah digunakan untuk eklampsia


di Eropa dan Amerika Serikat. Tujuan utama pemberian magnesium sulfat pada
preeklampsia adalah untuk mencegah dan mengurangi angka kejadian eklampsia,
serta mengurangi morbiditas dan mortalitas maternal serta perinatal. (8)

Tabel 2.6 Pemberian Magnesium Sulfat pada Preeklampsia Berat. (8

Cara kerja magnesium sulfat belum dapat dimengerti sepenuhnya. Salah


satu mekanisme kerjanya adalah menyebabkan vasodilatasi melalui relaksasi dari
otot polos, termasuk pembuluh darah perifer dan uterus, sehingga selain sebagai
antikonvulsan, magnesium sulfat juga berguna sebagai antihipertensi dan

51
tokolitik. Magnesium sulfat juga berperan dalam menghambat reseptor N-metil-
D-aspartat (NMDA) di otak, yang apabila teraktivasi akibat asfiksia, dapat
menyebabkan masuknya kalsium ke dalam neuron, yang mengakibatkan
kerusakan sel dan dapat terjadi kejang. (8)

Tabel 2.6 Pemberian Magnesiium Sulfat pada Preeklampsia Berat. (4)


Dosis Awal Dosis awal 4 gr MgSO4 sesuai prosedur untuk mencegah kejang
atau kejang berulang
Cara pemberian:
Ambil 4 gr larutan MgSO4 (10 ml larutan MgSO4 40%) dan
larutkan dengan 10 ml akuades. Berikan larutan tersebut secara
perlahan IV selama 20 menit
Dosis Dosis rumatan 6 gr MgSO4 dalam 6 jam
rumatan Cara pemberian:
Ambil 6 gr MgSO4 (15 ml larutan MgSO4 40%) dan larutkan
dalam 500 ml larutan Ringer Laktat / Ringer Asetat, lalu berikan
secara IV dengan kecepatan 28 tetes/menit selama 6 jam, dan
diulang hingga 24 jam setelah persalinan atau kejang berakhir (bila
eklampsia)
Syarat Tersedia Ca Glukonas 10 %
pemberian Ada reflek patella
MgSO4 Jumlah urin minimal 0,5 ml/kgBB/jam
Sebelum Refleks patella positif
pemberian Urin minimal 30 ml/jam dalam 4 jam terakhir
MgSO4 Frekuensi pernapasan minimal 16 x/menit
ulangan,
periksa:
Hentikan Frekuensi pernapasan < 16 x/menit, dan atau
MgSO4 Tidak didapatkan refleks tendon patella, dan atau
bila: Terdapat oliguria (produksi urin < 0,5 ml/kgBB/jam
Jika terjadi Berikan Ca Glukonas 1 gr IV (10 ml larutan 10 %) bolusn dalam 10

52
depresi menit
napas
Selama ibu dengan preeklamsia dan eklamsia dirujuk, pantau dan nilai adanya
perburukan preeklamsia. Apabila terjadi eklamsia, lakukan penilaian awal dan
tatalaksana kegawatdaruratan. Berikan kembali MgSO4 2 gr IV perlahan (15-20
menit). Bila setelah pemberian MgSO4 ulangan masih terdapat kejang, dapat
dipertimbangkan pemberian diazepam 10 mg IV selama 2 menit

1. Pemberian Antihipertensi pada Preeklampsia Berat

Keuntungan dan risiko pemberian antihipertensi pada hipertensi ringan -


sedang (tekanan darah 140 – 169 mmHg/90 – 109 mmHg), masih kontroversial.
European Society of Cardiology (ESC) guidelines 2010 merekomendasikan
pemberian antihipertensi pada tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg atau diastolik ≥
90 mmHg pada wanita dengan hipertensi gestasional (dengan atau tanpa
proteinuria), hipertensi kronik superimposed, hipertensi gestasional, hipertensi
dengan gejala atau kerusakan organ subklinis pada usia kehamilan berapa pun.
Pada keadaan lain, pemberian antihipertensi direkomendasikan bila tekanan darah
≥ 150/95 mmHg. (4,8)

Calcium Channel Blocker


Calcium channel blocker bekerja pada otot polos arteriolar dan
menyebabkan vasodilatasi dengan menghambat masuknya kalsium ke dalam sel.
Berkurangnya resistensi perifer akibat pemberian calcium channel blocker dapat
mengurangi afterload, sedangkan efeknya pada sirkulasi vena hanya minimal.
Pemberian calcium channel blocker dapat memberikan efek samping maternal,
diantaranya takikardia, palpitasi, sakit kepala, flushing, dan edema tungkai akibat
efek lokal mikrovaskular serta retensi cairan. Nifedipin merupakan salah satu
calcium channel blocker yang sudah digunakan sejak dekade terakhir untuk
mencegah persalinan preterm (tokolisis) dan sebagai antihipertensi. Berdasarkan
RCT, penggunaan nifedipin oral menurunkan tekanan darah lebih cepat

53
dibandingkan labetalol intravena, kurang lebih 1 jam setelah awal pemberian.
Nifedipin selain berperan sebagai vasodilator arteriolar ginjal yang selektif dan
bersifat natriuretik, dan meningkatkan produksi urin. Dibandingkan dengan
labetalol yang tidak berpengaruh pada indeks kardiak, nifedipin meningkatkan
indeks kardiak yang berguna pada preeklampsia berat. Regimen yang
direkomendasikan adalah 10 mg kapsul oral, diulang tiap 15 – 30 menit, dengan
dosis maksimum 30 mg. Penggunaan berlebihan calcium channel blocker
dilaporkan dapat menyebabkan hipoksia janin dan asidosis. Hal ini disebabkan
akibat hipotensi relatif setelah pemberian calcium channel blocker.15
Nikardipin merupakan calcium channel blocker parenteral, yang mulai
bekerja setelah 10 menit pemberian dan menurunkan tekanan darah dengan efektif
dalam 20 menit (lama kerja 4 -6 jam). Efek samping pemberian nikardipin
tersering yang dilaporkan adalah sakit kepala.16 Dibandingkan nifedipin,
nikardipin bekerja lebih selektif pada pembuluh darah di miokardium, dengan
efek samping takikardia yang lebih rendah. Laporan yang ada menunjukkan
nikardipin memperbaiki aktivitas ventrikel kiri dan lebih jarang menyebabkan
iskemia jantung16 Dosis awal nikardipin yang dianjurkan melalui infus yaitu 5
mg/jam, dan dapat dititrasi 2.5 mg/jam tiap 5 menit hingga maksimum 10 mg/jam
atau hingga penurunan tekanan arterial rata –rata sebesar 25% tercapai. Kemudian
dosis dapat dikurangi dan disesuaikan sesuai dengan respon.16 Efek penurunan
tekanan darah pada hipertensi berat dan efek samping yang ditimbulkan pada
penggunaan nikardipin dan labetalol adalah sama, meskipun penggunaan
nikardipin menyebabkan penurunan tekanan darah sistolik dan diastolik yang
lebih besar bermakna.16

Beta-blocker
Atenolol merupakan beta-blocker kardioselektif (bekerja pada reseptor P1
dibandingkan P2). Atenolol dapat menyebabkan pertumbuhan janin terhambat,
terutama pada digunakan untuk jangka waktu yang lama selama kehamilan atau
diberikan pada trimester pertama, sehingga penggunaannya dibatasi pada keadaan
pemberian anti hipertensi lainnya tidak efektif.16

54
Metildopa
Metildopa, agonis reseptor alfa yang bekerja di sistem saraf pusat, adalah
obat antihipertensi yang paling sering digunakan untuk wanita hamil dengan
hipertensi kronis. Digunakan sejak tahun 1960, metildopa mempunyai safety
margin yang luas (paling aman). Walaupun metildopa bekerja terutama pada
sistem saraf pusat, namun juga memiliki sedikit efek perifer yang akan
menurunkan tonus simpatis dan tekanan darah arteri. Frekuensi nadi, cardiac
output, dan aliran darah ginjal relatif tidak terpengaruh. Efek samping pada ibu
antara lain letargi, mulut kering, mengantuk, depresi, hipertensi postural, anemia
hemolitik dan drug-induced hepatitis.16
Metildopa biasanya dimulai pada dosis 250-500 mg per oral 2 atau 3 kali
sehari, dengan dosis maksimum 3 g per hari. Efek obat maksimal dicapai 4-6 jam
setelah obat masuk dan menetap selama 10-12 jam sebelum diekskresikan lewat
ginjal. Alternatif lain penggunaan metildopa adalah intra vena 250-500 mg tiap 6
jam sampai maksimum 1 g tiap 6 jam untuk krisis hipertensi. Metildopa dapat
melalui plasenta pada jumlah tertentu dan disekresikan di ASI.17

Rekomendasi pemberian Antihipertensi menurut PNPK:


- Antihipertensi direkomendasikan pada preeklampsia dengan hipertensi
berat, atau tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg atau diastolik ≥ 110
mmHg.
- Target penurunan tekanan darah adalah sistolik < 160 mmHg dan diastolik
< 110 mmHg.
- Pemberian antihipertensi pilihan pertama adalah nifedipin oral short
acting, hidralazine danlabetalol parenteral.
- Alternatif pemberian antihipertensi yang lain adalah nitogliserin,
metildopa, labetalol

Tabel 2.7 Rekomendasi Pemberian Antihipertensi pada Preeklampsia Berat. (4,8)

55
Nifedipin - 4 x 10 – 30 mg per oral (short acting)
- 1 x 20 – 30 mg per oral (long acting)
Keterangan: dapat menyebabkan hipoperfusi pada ibu dan janin
bila diberikan sublingual
Nikardipin 5 mg / jam, dapat dititrasi 2,5 mg / jam tiap 5 menit hingga
maksimum 10 mg / jam
Metildopa 2 x 250 – 500 mg per oral
(dosis maksimum 2000 mg / hari)

Penanganan Umum Pre Eklamsia

2.7 Komplikasi
Preeklampsia dapat menyebabkan kelahiran awal atau komplikasi pada neonatus
berupa prematuritas. Resiko fetus diakibatkan oleh insufisiensi plasenta baik akut
maupun kronis. Pada kasus berat dapat ditemui fetal distress baik pada saat
kelahiran maupun sesudah kelahiran. Komplikasi yang sering terjadi pada
preklampsia berat adalah :

56
1. Solusio plasenta.
2. Hipofibrinogenemia.
3. Nekrosis Hati
4. Sindroma HELLP, yaitu hemolysis, elevated liver enzymes dan low
platelet.
5. Kelainan ginjal. Kelainan ini berupa endoteliosis glomerulus berupa
pembengkakan sitoplasma sel endotelial tubulus ginjal tanpa kelainan
struktur lainnya. Kelainan lain yang dapat timbul ialah anuria sampai
gagal ginjal.
6. Prematuritas, dismaturitas dan kematian janin intrauterin.
7. DIC.

57
BAB III
KESIMPULAN

Preeklampsia adalah hipertensi yang disertai dengan proteinuria pada ibu


dengan usia kehamilan di atas 20 minggu, dengan catatan bahwa tidak semua ibu
dengan preeklampsia memperlihatkan edema. Jika gejala yang muncul adalah
gejala preeklampsia dan ditambah dengan gejala lain, seperti koma dan/atau
kejang, maka hal tersebut diklasifikasikan sebagai eclampsia. Preeklampsia
merupakan penyulit kehamilan yang akut dan dapat terjadi ante, intra, post
partum. Dari gejala klinik preeklampsia dapat dibagi me njadi ringan dan berat.
Preeklampsia berat ialah preeklampsia dengan tekanan darah sistolik ≥160
mmHg dan tekanan darah diastolic ≥110 disertai protein uria lebih 5 g/24 jam .
(4,5,6)
Preeklampsia merupakan penyakit sistemik yang tidak hanya ditandai oleh
hipertensi, tetapi juga disertai peningkatan resistensi pembuluh darah, disfungsi
endotel difus, proteinuria, dan koagulopati.

Faktor resiko preeklampsia meliputi pekerjaan, pemeriksaan antenatal,


pengetahuan, dan riwayat hipertensi. Salah satu upaya unt uk menurunkan Angka
Kematian Perinatal (AKP) akibat preeklampsia adalah dengan menurunkan angka
kejadian preeklampsia. Angka kejadian dapat diturunkan melalui upaya
pencegahan, pengamatan dini, dan terapi. Upaya pencegahan kematian perinatal
dapat diturunkan bila dapat diidentifikasi faktor-faktor yang mempunyai nilai
prediksi Saat ini beberapa faktor resiko telah berhasil diidentifikasi, sehingga
diharapkan dapat mencegah timbulnya preeclampsia

58
DAFTAR PUSTAKA

1. Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, et al. Hypertensive Disorders in


Pregnancy. In: Williams Obstetrics. New York: McGraw-Hill, 2010, pp.
706–747.
2. World Health Organization. WHO Recommendations for Prevention and
Treatment Of Pre-Eclampsia and Eclampsia: WHO Handbook for guideline
development. 2011; 1–4.
3. Prawirohardjo S. Hipertensi Dalam Kehamilan. In: Wiknjosastro H,
Saifuddin A, Rachimhadhi T (eds) Ilmu Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2005, pp. 281–301.
4. Task Force on Hypertension in Pregnancy. Hypertension In Pregnancy:
Executive Summary. Am Coll Obstet Gynecol 2013; 1–12.
5. Tranquilli AL, Dekker G, Magee L, et al. The classification, diagnosis and
management of the hypertensive disorders of pregnancy: A revised
statement from the ISSHP. Pregnancy Hypertens An Int J Women’s
Cardiovasc Heal 2014; 97–104.
6. Royal College of Obstetricians and Gynaecologists. Hypertension in
pregnancy: the management of hypertensive disorders during pregnancy.
Natl Insitute Heal Care Excell.
7. Lowe SA, Brown MA, Dekker GA, et al. Guidelines for the management of
hypertensive disorders of pregnancy 2008. Aust New Zeal J Obstet
Gynaecol 2008; 49: 242–246.
8. Magee LA, Pels A, Helewa M, et al. Diagnosis, evaluation, and
management of the hypertensive disorders of pregnancy. Int Soc Study
Hypertens Pregnancy 2014; 105–145.
9. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Buku Saku Pelayanan
Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan : Pedoman Bagi
Tenaga Kesehatan. 2013.
10. Carson MP. Hypertension and Pregnancy. Medscape Reference 2016; 1–
15.

59
11. International Statistical Classification of Diseases and Related Health
Problems, 10th revision. Geneva (CH): World Health Organization, 2006
12. Hanum H, Faridah. Faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian
preeclampsia pada ibu bersalin di RSUP DR. M Djamil Padang Tahun
2013. Artikel Publikasi Poltekkes Kemenkes Jurusan Kebidanan Padang.
2013;1:1
13. Situmorang T, Damantalm Y, Januarista A, Sukri. Faktor-faktor yang
berhubungan dengan kejadian preeclampsia pada ibu hamil di poli KIA
RSU Anutapura Palu. Jurnal Kesehatan Tadulako. 2016;2(1):35-6
14. Delaney M, Roggensack A. Guidelines for the Management of Pregnancy
at 41+0 to 42+0 Weeks. SOGC Clinical Practice Guideline. 2008 Sept;
214: 800-10
15. Cunningham FG, et al. Postterm pregnancy. In: Williams Obstetrics. 22 nd
ed. McGraw-Hill New York. 2005: 881-90
16. Myrta R. Penatalaksanaan tekanan darah pada preeclampsia. CDK-227.
2015;42(4):262-4
17. Wibowo N, Irwinda R, Frisiantiny E, Karkata M, Mose J, Chalid M, et al.
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Diagnosis dan Tatalaksana
Preeklampsia. Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia Himpunan
Kedokteran Feto Maternal. 2016;1:

60

Anda mungkin juga menyukai