Anda di halaman 1dari 18

DAFTAR ISI

Daftar Isi........................................................................................ 1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang .................................................................... 2


B. Rumusan Masalah ............................................................... 3
C. Tujuan ................................................................................. 3

BAB II PEMBAHASAN

A. Definisi................................................................................ 4

B. Epidemiologi Eklampsia..................................................... 4

C. Patofisiologi Eklampsia ...................................................... 5

D. Diagnosis dan Gambaran Klinis Eklampsia ..................... 10

E. Prinsip Tatalaksana Eklampsia secara Umum .................. 11

F. Tatalaksana Eklampsia di ICU ......................................... 13

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ....................................................................... 17
B. Saran ................................................................................. 17

Daftar Pustaka ............................................................................. 18

1
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Setiap keadaan menginginkan kelahiran normal, namun tidak akan mungkin terjadi
apabila terdapat indikasi dalam kehamilannya. Diantaranya preeklamsia berat, hal jika
tidak segera diatasi dalam penanganan yang tepat dapat terjadi cedera pada ibu dan juga
bayi. Sehingga ibu hamil dengan PEB ataupun eklamsia dapat melakukan persalinan
sectio caesarea yang tujuannya untuk menyelamatkan bagi ibu, anak atau mungkin
keduanya.1

Eklampsia adalah kejang yang terjadi pada ibu hamil dengan tanda-tanda
preeklampsia. Preeklampsia sendiri merupakan kumpulan gejala yang terdiri dari
hipertensi (Tekanan darah ≥140/90 mmHg) bersamaan dengan proteinuriamasif yang
terjadi pada usia kehamilan lebih dari 20 minggu. Proteinuria ialah ekskresi protein
dalam urin yang melebihi 300 mg dalam 24 jam, rasio protein:kreatinin urin ≥ 0,3 atau
adanya protein sebanyak 30 mg\dL. Eklampsia dibagi menjadi tiga yaitu, eklampsia
antepartum, eklampsia intrapartum, dan eklampsia postpartum. Eklampsia banyak terjadi
pada trimester terakhir dan semakin meningkat saat mendekati persalinan. (1) Sekitar 60-
75% eklampsia dapat terjadi sebelum persalinan, dansekitar 40-50% terjadi saat
persalinan dan 48 jam pertama setelah melahirkan. Ancaman kejang dapat tetap terjadi
hingga 6 minggu pasca persalinan yang sering disebut dengan eclampsia late onset.1,2,3

Eklampsia dan preeklampsia terjadi sekitar 1 dalam 2000 kelahiran. Pada national
Vital Statistics Report menyebutkan insidensi di Amerika Serikat pada tahun 1998 sekitar
1:3250 kehamilan. Menurut Royal College of Obstetricians and Gynaecologists
dilaporkan sekitar 1:2000.5

Gangguan hipertensi merupakan komplikasi medis yang paling umum yang dapat
terjadi pada kehamilan, mempengaruhi sekitar 5% sampai 10% dari seluruh kehamilan.
Gangguan ini bertanggung jawab terhadap sekitar 16% kematian ibu akibat hipertensi
dalam kehamilan, dan 30 – 40% dari kematian perinatal di Indonesia. Tingginya angka
kematian yang disebabkan hipertensi dalam kehamilan merupakan masalah di bidang
obstetri. Menurut data kesehatan indonesia 2007 angka kematian ibu (AKI) dinilai masih

2
cukup tinggi, sekitar 228/100.000 pada tahun 2007. Penelitian terakhir di Medan oleh
Girsang ES (2004) melaporkan angka kejadian preeklamsia berat di RSUP. H. Adam
Malik dan RSUD Dr. Pirngadi Medan pada tahun 2000 – 2003 adalah 5.94%, sedangkan
eklamsia 1.07%. Disamping perdarahan dan infeksi, preeklampsia, impending eklampsia
serta eklampsia merupakan penyebab kematian maternal dan kematian perinatal yang
tinggi terutama di negara berkembang.4
Kejadian preeklamsia berat (PEB) menempati urutan kedua dari kematian ibu
dan perinatal di Indonesia.5 PEB jarang dilakukan persalinan pervaginam karena dapat
membahayakan ibu dan bayinya serta berisiko terjadi injuri. Biasanya ibu hamil yang
mengalami tekanan darah yang tinggi berakhir dengan persalinan Sectio Caesarea (SC).5
sementara itu PEB dapat berakhir pada eklampsia sebagai komplikasinya. Oleh karena
itu, penting untuk mengkaji tatalaksana eklampsia post SC di rumah sakit dalam
perawatan Intensice Care Unit (ICU)

B. Rumusan Masalah
1) Apa definisi Eklampsia post SC?
2) Bagaimana Tatalaksana Eklampsia post SC?

C. Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini yaitu untuk menjelaskan mengenai dan diharapkan
tulisan ini bisa menjadi rujukan referensi untuk pembuatan materi-materi serupa.

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi
Eklampsia adalah kejang yang terjadi pada ibu hamil dengan preeklampsia. Pre-
eklampsia sendiri merupakan hipertensi bersamaan dengan proteinuria yang terjadi pada
usia kehamilan lebih dari 20 minggu.Gejala hipertensi biasanya muncul lebih dulu dari
pada tanda lain.2
Sectio caesarea (SC) adalah operasi mengeluarkan bayi dengan pembedahan di perut dan
rahim pada wanita hamil.6 SC adalah persalinan yang menggunakan pembedahan untuk
mengeluarkan anak lewat insisi dinding abdomen dan uterus.7 Jadi menurut dua pengertian tersebut
dapat disimpulkan SC adalah persalinan buatan yang sengaja dilakukan pembedahan pada perut
ibu (laparatomi) dan rahim (histeretomi) untuk mengeluarkan bayi. Sementara itu, Eklampsia post
SC adalah kejadian eklampsia yang terjadi setelah pasien menjalani operasi SC.
B. Epidemiologi Eklampsia
Eklampsia dibedakan menjadi eklampsia gravidarum (antepartum),eklampsia
partuirentum (intrapartum), dan eklampsia puerperale (postpartum), berdasarkan saat
timbulnya serangan. Eklampsia banyak terjadi pada trimester terakhir dan semakin
meningkat saat mendekati kelahiran.5,8 Pada kasus yang jarang, eklampsia terjadi pada
usia kehamilan kurang dari 20 minggu. Sektar 75% kejang eklampsia terjadi sebelum
melahirkan, 50% saat 48 jam pertama setelah melahirkan, tetapi kejang juga dapat timbul
setelah 6 minggu postpartum.8
Preeklamsi merupakan salah satu komplikasi medis yang paling sering dalam
kehamilan, diperkirakan mengenai sekitar 5 - 10% dari seluruh kehamilan di dunia dan
dilaporkan terdapat sekitar 50.000 sampai 76.000 kematian setiap tahun akibat
preeklampsia. Kelainan ini merupakan penyebab dari sekitar 16% kematian ibu di negara
maju. Di Amerika Serikat dilaporkan angka kejadian preeklamsi sekitar 5% hingga 8%
dari seluruh kehamilan. Angka kejadian preeklamsi di Indonesia bervariasi antara 2,1-
8,5%. Untuk angka kejadian di RSUP Sanglah Denpasar, periode 2002-2003 dilaporkan
kejadian preeklamsi sebesar 5,83%, pada periode 2004 - 2005 sebesar 6,06%, sementara
pada periode 2009-2010, dilaporkan sebesar 7,31%.9

Secara umum, hipertensi pada kehamilan dikategorikan dalam beberapa kategori:5

4
a. Hipertensi gestasional; hipertensi yang terjadi pada kehamilan setelah 20 minggu
dengan tekanan darah ≥ 140/90 mmHg tanpa disertai proteinuria.
b. Preeklampsia; hipertensi yang terjadi pada kehamilan setelah 20 minggu dengan
tekanan darah ≥ 140/90 mmHg dan disertai dengan proteinuria. Preeklampsia dapat
dikategorikan menjadi ringan, sedang, berat.
c. Eklampsia; Kejang disertai dengan gejala preeklampsia.
d. Hipertensi kronis ialah hipertensi yang menetap oleh sebab apapun yang ditemukan
pada umur kehamilan kurang dari 20 minggu atau hipertensi yang menetap setelah 6
minggu pasca persalinan.
e. Preeklampsia superimposed ialah timbulnya preeklampsia pada wanita yang
menderita hipertensi kronis.

Berdasarkan timbulnya serangan eklamsia, eklamsia dibedakan menjadi 3.


Diantaranya adalah sebagai berikut.5

Eklampsia di bagi menjadi 2 golongan :

1. Eklampsia antepartum ialah eklampsia yang terjadi sebelum persalinan (ini paling
sering terjadi)

• kejadian 150 % sampai 60 %

 serangan terjadi dalam keadaan hamil

2. Eklampsia intrapartum ialah eklampsia saat persalinan.

• Kejadian sekitar 30 % sampai 35 %.


• Saat sedang inpartu Batas dengan eklampsia gravidarum sukar ditentukan terutama saat

mulai inpartu.

3. Eklampsia postpartum ialah eklampsia setelah persalinan

• Kejadian jarang
• Terjadinya serangan kejang atau koma setelah persalinan berakhir

C. Patofisiologi Eklampsia
Banyak penelitian aktor risiko, etiologi, atau intervensi yang terbaik untuk
preeklamsia sudah dilakukan dan. Sejumlah teori mengenai mekanisme etiologi dan
5
patofisiologi preeklapmsia telah banyak didiskusikan, namun teori-teori etiologi dan
patogenesis tersebut masih belum dapat dibuktikan secara pasti. Karena itulah
preeklamsia masih digambarkan sebagai sebuah “disease of theories”. Dari banyak teori
yang telah dikemukakan, tidak ada satu pun teori tersebut yang dianggap mutlak benar.
Teori-teori tersebut di antaranya adalah; (1) teori iskemia plasenta, radikal bebas, dan
disfungsi endotel, (2) teori intoleransi imunologik antara ibu dan janin, (3) teori kelainan
pada vaskularisasi plasenta, (4) teori adaptasi kardiovaskular, (5) teori inflamasi, (6)
teori defisiensi gizi, dan (7) teori genetik . Salah satu teori etiologi preeklamsi yang saat
ini cukup banyak dianut adalah yaitu teori iskemia plasenta, radikal bebas, dan disfungsi
endotel.2
Teori ini mengatakan adanya ketidakseimbangan antara produksi radikal bebas
dan sistem pertahanan antioksidan akibat iskemik plasenta, sehingga terjadi stress
oksidatif dan peningkatan lipid peroksidasi berperan peranan penting didalamnya. Pada
kehamilan normal, setelah terjadi implantasi maka diikuti oleh proses invasi tropoblas
pada awal perkembangan plasenta. Invasi tropoblas terjadi melalui dua mekanisme, yaitu
invasi sitotropoblas ke dalam endometrium sampaisepertiga miometrium, dan invasi
endovaskular ke dalam arteri spiralis. Sel-sel ekstravilous tropoblas yang infiltrasi
dinding pembuluh darah akan menggantikan sel-sel endotel dan otot polos dinding arteri,
sehingga arteri spiralis akan kehilangan tonusnya, dilatasi dan lumennya menjadi lebih
lebar sehingga aliran darah ke plasenta dan janin meningkat. Proses invasi gelombang
pertama berlangsung hingga umur kehamilan 10-12 minggu, kemudian disusul dengan
invasi tropoblas gelombang kedua pada umur kehamilan 14-16 minggu hingga maksimal
umur kehamilan 20 minggu. Proses invasi yang baik akan menjamin aliran darah yang
baik menuju plasenta. 2
Pada preeklamsi terjadi kegagalan invasi tropoblas ekstravilus ke dalam lumen
arteri spiralis, sehingga aliran darah ke plasenta terganggu dan menyebabkan terjadinya
kondisi hipoksia-reoksigenasi tropoblas yang mengakibatkan produksi radikal bebas
berlebihan dan penurunan kadar antioksidan sehingga menyebabkan suatu keadaan stress
oksidatif. Stress oksidatif dianggap merupakan elemen penting dalam patogenesis
preeklamsi yang berujung pada gangguan fungsi endotel dan pada akhirnya
menimbulkan sindroma preeklamsi, walaupun peranannya belum sepenuhnya dapat
diuraikan.2
Teori iskemia plasenta, radikal bebas, dan disfungsi endotel di atas telah
didukung oleh banyak peneliti yang menganggap preeklamsi sebagai salah satu penyakit
6
dengan ketidak seimbangan antioksidan/oksidan. Banyak peneliti yang menemukan
bahwa preeklamsi merupakan keadaan dengan disfungsi endotel menyeluruh, termasuk
perubahan respon vaskular yang kehilangan resistensinya terhadap agen-agen
vasokonstriktor seperti norepinephrine dan angiotensin II, berkurangnya produksi
prostasiklin endothelial, dan peningkatan produksi fibronektin selular. Semua gambaran
preeklamsi di atas dimiliki juga oleh sejumlah kelainan medis (atherosclerosis, diabetes,
sepsis, dan cedera iskemikreperfusi) yang bersama-sama diduga penyebab utamanya
adalah adanya stress oksidatif. Namun teori patogenesis yang menekankan terjadinya
stress oksidatif diatas tidak dengan mudah dibuktikan dan dilakukan intervensi. Beberapa
penelitianklinis telah dilakukan dengan memberikan vitamin C dan E sebagai
antioksidanpada wanita berisiko menderita preeklamsi, gagal mengurangi insidensi
preeklamsi.
Radikal bebas adalah suatu atom atau molekul yang dapat bertahan secara
independen dan memiliki elektron tidak berpasangan, sifatnya sangat reaktif dan dapat
mengakibatkan terjadinya reaksi berantai dalam upaya untuk mencari pasangan
elektronnya. Radikal bebas merupakan produk yang senantiasa selalu diproduksi dalam
tubuh manusia. Dibandingkan dengan keadaan tidak hamil, pada saat kehamilan terdapat
peningkatan produksi radikal bebas, dan pada preeklamsi dikatakan produksinya lebih
banyak lagi. Ketika produksi radikal bebas meningkat dan melebihi kemampuan sistim
pertahanan antioksidan dalam tubuh, maka terjadilah suatu keadaan yang disebut stress
oksidatif. Sumber radikal bebas dan stress oksidatif yang terbesar pada kehamilan
dipercaya berasal dari stress oksidatif yang terjadi di plasenta, terutama mitokondria
plasenta.
Pada preeklamsi, remodeling arteri spiralis sangat minimal dan perubahan hanya
terjadi pada bagian desidual arteri spiralis dan sebagian besar pembuluh lainnya tetap
dalam keadaan vasoreaktif. Bersamaan dengan berkurangnya invasi tropoblas ke dalam
uterus dan arteri spiralis menyebabkan suplai darah ke plasenta menjadi sangat
berkurang. Gangguan plasentasi ini menyebabkan terjadinya hipoksia plasenta. Darah
ibu yang memasuki ruang intervilus memiliki tekanan dan kecepatan yang tinggi, bersifat
sangat pulsatil, menyebabkan vili plasenta terpapar pada konsentrasi oksigen yang
berfluktuasi. Keadaan ini diperkirakan dapat menyebabkan cedera tipe Hypoxia-
Reoxigenation (H/R), sehingga dihasilkan lebih banyak radikal bebas maka timbul suatu
keadaan stress oksidatif. Pada keadaan stress oksidatif, terdapat radikal bebas berlebihan,
terutama ROS, dan penurunan kapasitas anti oksidan. Radikal bebas berlebihan ini
7
kemudian bereaksi dengan polyunsaturated fatty acids (PUFA) pada membran sel dan
lipoprotein pada plasma yang membentuk lipid peroksida, melalui proses lipid
peroksidasi. Lipid peroksida merupakan komponen yang sangat reaktif dan dapat
menyebabkan aktivasi leukosit, adhesi platelet, vasokonstriksi, kerusakan pada membran
sel endotel, dan dapat merusak seluruh struktur sel endotel. Kerusakan atau gangguan
karena lipid peroksidasi pada keadaan stress oksidatif ini berperan penting menyebabkan
gangguan fungsi endotel. Disfungsi endotel yang terjadi pada preeklamsi akibat
terpaparnyamembran sel endotel pada lipid peroksida dalam keadaan stress oksidatif
akan mengakibatkan banyak gangguan, seperti :
(1) menurunnya produksi prostasiklin synthase yang menyebabkan penurunan
produksi prostasiklin
(2) aktivasi enzyme cyclooxygenase untuk sintesis tromboksan A2
(3) Penurunan dan inaktivasi NO
(4) peningkatan endothelin
(5) agregasi trombosit pada daerah endotel yang rusak yang juga menghasilkan
tromboksan A2
(6) Perubahan khas pada kapiler glomerulus berupa glomerular endotheliosis
(7) Peningkatan permeabilitas kapiler
(8) Peningkatan faktor koagulasi
(9) Meningkatkan mitogenisitas dan apoptosis dari sel vaskular
(10) Meningkatkan mitogenisitas dan apoptosis dari selvaskular
(11) Modifikasi oksidatif pada DNA dan protein; dan
(12) Meningkatkan ekspresi dan aktivasi gen yang sensitive terhadap reaksi
oksidasi, seperti reseptoruntuk LDL teroksidasi, molekul adhesi, faktor kemotaksis,
sitokin peradangan,regulator siklus sel dan matrix metalloproteinase. Keseluruhan dari
gangguandisfungsi endotel di atas secara bersama-sama dianggap bertanggung
jawabmenyebabkan timbulnya gejala klinis preeklamsia. Stress oksidatif yang terjadi
pada plasenta preeklamsi diyakini menyebabkan terjadinya apoptosis sinsitiotropoblas,
yang meningkatkan lepasnya fragmen-fragmen mikrovillus ke dalam sirkulasi maternal
dan memicu timbulnya reaksi inflamasi.
Stress oksidatif juga diperkirakan dapatmengaktivasi leukosit pada saat leukosit
tersebut berada di plasenta. Lipid peroksida mengaktivasi leukosit ketika leukosit
tersebut bersirkulasi melaluiruangan intervillous. Kemudian leukosit aktif ini akan
menginduksi stressoksidatif pada sirkulasi maternal pada tempat yang jauh dari plasenta
8
dengan menempel pada sel endotel dan menyebabkan disfungsi endotel. Beberapa faktor
yang dianggap masuk akal memiliki kontribusi lebihlanjut pada stress oksidatif adalah
adanya debris atau sel apoptotik yang dapatmenyebabkan stimuli proinflamasi terutama
pada keadaan plasenta yangberukuran besar seperti pada kehamilan kembar, atau
plasenta yang kecil sebagaiakibat dari degradasi yang meningkat. Leukosit dan makrofag
yang diaktivasioleh infeksi atau oleh respons imun ibu yang berlebihan juga mungkin
menambahkan stimuli proinflamasi yang pada akhirnya turut mendukung bertambahnya
stress oksidasi.
Mekanisme Terjadinya Stress Oksidatif2
Penyebab pasti stress oksidatif pada preeklamsi belum diketahui, tetapididuga
kuat berasal dari tidak sempurnanya perubahan arteri spiralis uterus.Kegagalan
remodeling pembuluh darah ini mengakibatkan terganggunya perfusiplasenta dan adanya
konsentrasi oksigen yang berfluktuasi, sehinggamemungkinkan timbulnya cedera sesuai
teori cedera Hypoxia-Reoxigenation (H/R), yang dikenal juga sebagai cedera iskemik-
reperfusi (ischemic-reperfusion injury). Efek yang menganggu dari proses H/R adalah
dihasilkannya radikalbebas, terutama ROS, dalam jumlah besar. ROS dapat dihasilkan
melalui beberapa tempat, tetapi dua prinsip yang sejauh ini menjadi perhatian H/R adalah
kebocoranelektron dari rantai respirasi pada mitokondria dan sistim
xanthinedehydrogenase/xanthine oxidase (XDH/XO). Dalam keadaan aerobik normal,
elektron ditransportasikan oleh enzimrantai respirasi pada membran dalam mitokondria
sampai elektron tersebutditeruskan pada molekul oksigen, sehingga membuat gradient
proton pada ruangintermembran, yang menyebabkan pembentukan ATP. Apabila
enzimmitokondria tidak berfungsi dengan baik, maka dapat terjadi kebocoran
sejumlahkecil elektron kepada oksigen sehingga terbentuk radikal superoksida.
Selamaperiode hipoksia, hanya terdapat sedikit bahkan tidak ada molekuler oksigen yang
tersedia sebagai reseptor akhir, sehingga elektron ditimbun pada rantai respirasi.
Akumulasi elektron ini berpotensi menyebabkan peningkatan produksisuperoksida
dengan meningkatnya potensi kebocoran elektron dari membranmitokondria. Jika
kemudian kadar oksigen kembali pada keadaan normal sebelumfungsi sel menurun
terlalu jauh, maka akan terbentuk superoksida secara tiba-tibadalam jumlah besar.
Dengan kata lain, superoksida terbentuk karena terdapatoksigen yang banyak untuk
menerima elektron yang bocor dari hasil akumulasipada rantai pernapasan.Sumber lain,
mungkin lebih utama, dari radikal superoksida menurut teoriH/R adalah melalui
perubahan XDH menjadi XO. Biasanya enzim ini dibentuksebagai holoenzim XDH/XO.
9
XDH merubah purin menjadi asam urat melaluireduksi nicotinamide adenine
dinucleotide (NAD), sementara XO memetabolismexantin dan hipoxantin menjadi asam
urat, menggunakan oksigen sebagai reseptorelektron, yang kemudian menghasilkan
radikal superoksida. Dalam keadaam hipoksia dan respon terhadap beberapa sitokin,
produksi enzim XDH/XOmeningkat dan konversi enzim menjadi XO juga meningkat.
Sementara itu,selama periode hipoksia, substrat hipoxantin dibentuk sebagai hasil
daripemecahan ATP. Dengan demikian, akibat dari hipoksia, semakin banyakhipoxantin
yang terbentuk dan diubah menjadi asam urat yang menggunakanoksigen sebagai
reseptor elektron. Sehingga ketika oksigen sebagai reseptorelektron hadir kembali dalam
jumlah yang cukup, maka terjadi produksi superoksida secara cepat dan banyak.
D. Diagnosis dan Gambaran Klinik Eklampsia
Seluruh kejang eklampsia didahului dengan preeklampsia. Preeklampsia dibagi
menjadi ringan dan berat. Penyakit digolongkan berat bila ada satu atau
lebih tanda dibawah ini :
1) Tekanan sistolik 160 mmHg atau lebih, atau tekanan diastolik 110 mmHg atau lebih.
2) Proteinuria 5 gr atau lebih dalam 24 jam; 3+ atau 4+ pada pemeriksaan kualitatif.
3) Oliguria, diuresis 400 ml atau kurang dalam 24 jam.
4) Keluhan serebral, gangguan penglihatan atau nyeri di daerah epigastrium.
5) Edema paru atau sianosis.
Pada umumnya serangan kejang didahului dengan memburuknya preeklampsia
dan terjadinya gejala-gejala nyeri kepala di daerah frontal, gangguan penglihatan, mual
keras, nyeri di daerah epigastrium, dan hiperrefleksia. Kejang eklamptik hampir selalu
diawali dengan preeklampsia. Bergantung pada saat terjadinya kejang, apakah sebelum,
saat terjadi atau setelah persalinan. Hal ini disebut sebagai eklampsia antepartum,
intrapartum dan pascapartum. Eklampsia sering terjadi pada trimester ketiga dan semakin
sering ketika kehamilan mendekati aterm.
Tanpa memandang waktu dari onset kejang, gerakan kejang biasanyadimulai dari
daerah mulut sebagai bentuk kejang di daerah wajah. Beberapa saat kemudian seluruh
tubuh menjadi kaku karena kontraksi otot yang menyeluruh, fase ini dapat berlangsung
10 sampai 15 detik. Pada saat yang bersamaan rahang akan terbuka dan tertutup dengan
keras, demikian juga hal ini akan terjadi pada kelopak mata, otot-otot wajah yang lain
dan akhirnya seluruh otot mengalami kontraksi dan relaksasi secara bergantian dalam
waktu yang cepat. Keadaan ini kadang-kadang begitu hebatnya sehingga dapat

10
mengakibatkan penderita terlempar dari tempat tidurnya, bila tidak dijaga. Lidah
penderita dapat tergigit oleh karena kejang otot-otot rahang. Fase ini dapat berlangsung
sampai satu menit, kemudian secara berangsur kontraksi otot menjadi semakin lemah dan
jarang dan pada akhirnya penderita tak bergerak.
Setelah kejang diafragma menjadi kaku dan pernapasan berhenti. Selama
beberapa detik penderita seperti meninggal karena henti napas, namun kemudian
penderita bernapas panjang dan dalam, selanjutnya pernapasan kembali normal. Apabila
tidak ditangani dengan baik, kejang pertama ini akan diikuti dengan kejang-kejang
berikutnya yang bervariasi dari kejang yang ringan sampai kejang yang berkelanjutan
yang disebut status epileptikus.
Setelah kejang berhenti, penderita mengalami koma selama beberapa saat.
Lamanya koma setelah kejang eklampsia bervariasi. Apabila kejang yang terjadi jarang,
penderita biasanya segera pulih kesadarannya segera setelah kejang. Namun, pada kasus-
kasus yang berat, keadaan koma berlangsung lama, bahkan penderita dapat mengalami
kematian tanpa sempat pulih kesadarannya. Pada kasus yang jarang, kejang yang terjadi
hanya sekali namun dapat diikuti dengan koma yang lama bahkan kematian.
Frekuensi pernapasan biasanya meningkat setelah kejang eklampsia dan dapat
mencapai 50 kali per menit. Hal ini dapat menyebabkan hiperkarbia sampai asidosis
laktat, tergantung derajat hipoksianya. Pada kasus yang berat ditemukan sianosis.
Demam tinggi merupakan keadaan yang jarang terjadi, apabla hal tersebut terjadi maka
penyebabnya adalah perdarahan pada susunan saraf pusat.
E. Prinsip tatalaksana Eklampsia Secara Umum
Prinsip penatalaksanaan pada eklampsia memiliki prinsip sebagai berikut:9
a. Pengendalian kejang dengan Magnesium Sulfat dalam dosis awal yang dibeerikan
intravena. Dosis ini kemudian dilanjutkan dengan infus magnesium sulfat
berkesinambungan.
b. Pemberian obat antihipertensi intermitten untuk menurunkan tekanan darah saat dianggap
terlalu tinggi.
c. Menghindari pemberian diuretik kecuali adanya edema paru yang nyata, pembatasan
pemberian cairan intravena kecuali terdapat kehilangan cairan banyak dan tidak
menggunakan agen hiperosmotik.
d. Terminasi kehamilan.

11
Pemberian Magnesium sulfat jalur intravena dapat diberikan dosis awal sebesar 4 hinga 6
gram yang diencerkan dalam 100mL cairan IV dan diberiksan selama 15 hingga 20 menit.
Mulai dosis rumatan infus 2 g/jam dalam 100 mL cairan IV dengan kecepatan dosis 1g/jam.
Syarat pemberian magnesium sulfat dengan memantau toksisitas, yaitu:

a. Periksa refleks tendon dalam secara berkala.


b. Tidak terdapat bradipneu dan frekuensi nafas ≥ 16 kali permenit.
c. Tidak adanya olguria, produksi urin 0,5 ml/kgbb/jam atau 300 mL/24 jam.
d. Beberapa ahli mengukur kadar magnesium serum pada jam ke-4 hingga 6 dan
menyesuaikan kecepatan infus untuk mempertahankan kadar magnesium antara 4 dan 7
meq/L (4,8 – 8,4 mg/dL).
e. Pemberian magnesium sulfat dihentikan 24 jam postpartum.
Terapi Magnesium sulfat intramuskular intermiten dengan:
a. Pemberian 4 gram magnesium sulfat sebagi larutan 20% secara intravena dengan
kecepatan tidak melebihi 1 gram permenit.
b. Lanjutkan dengan 10 gram larutan magnesium 50%, separuhnya disuntikkan profunda
di kuadran kanan luar kedua bokong menggunakan jarum ukuran 20 sepanjang 3 inci.
(Penambahan 1,0 ml lidokain 2% meminimalkan nyeri). Jika kejang menetap setelah
15 menit, berikan kembali magnesium sulfat dalam larutan 20% dengan dosis hingga
2 gram dan kecepatan tidak melebihi 1g/menit.
c. Kemudian tiap 4 jam berikan 5 gram larutan magnesium sulfat 50% yang disuntikan
profunda dikuadran kanan luar bokong kanan dan kiri secara bergantian, dengan
syarat pemberian sama dengan pemberian intravena.

12
F. TATALAKSANA EKLAMPSIA DI ICU
Panduan Tatalaksana Eklampsia dan PEB dalam buku fundamental Critical Care
Support (FCCS) edisi ke 6 adalah sebagai berikut10
1. Panduan Secara Umum
Pasien dengan eklampsia atau preeklamsia berat perlu dirawat di rumah sakit.
Pemberian magnesium sulfat untuk pencegahan kejang, kontrol TD, dan pemantauan
ibu dan janin harus dimulai sejak dini. Masalah seperti masuk ICU, tatalaksana, dan
pengiriman janin harus didiskusikan dengan dokter kandungan dan perawatan kritis
sesegera mungkin. Pencegahan Ibu cedera, memastikan oksigenasi ibu dan janin, dan
memulai profilaksis kejang adalah aspek terapi yang paling penting. Pengobatan
pilihan pada preeklampsia berat adalah terminasi kehamilan, tetapi kematangan janin
harus dipertimbangkan. Pada sebagian besar kasus preeklampsia berat yang terjadi
setelah kehamilan 32 minggu, persalinan diindikasikan. Dianjurkan untuk
berkonsultasi dengan spesialis kedokteran ibu-janin.

2. Profilaksis kejang
Magnesium sulfat intravena digunakan sebagai pencegahan untuk mencegah kejang
Pada Preeklampsia berat. Terapi magnesium sulfat harus dimulai pada pasien dengan
gambaran atau gejala klinis yang dianggap sebagai pertanda akan terjadi kejang,
seperti sakit kepala, perubahan status mental, penglihatan kabur, scotomata, clonus,
dan kanan atas nyeri perut kuadran. Terapi magnesium sulfat juga harus dimulai
dengan munculnya tanda-tanda perkembangan dari preeklampsia ringan menjadi
penyakit berat. Ibu yang diberi magnesium sulfat untuk mencegah atau mengobati
kejang eklampsia diberikan dosis rumatan intravena 4 hingga 6 g, diikuti dengan dosis
pemeliharaan 1 hingga 2 g / jam dilanjutkan selama setidaknya 24 jam.
Kadar magnesium diperiksa 2 hingga 4 jam kemudian dan harus dalam kisaran 2,0
hingga 3,5 mmol / L (4-7 mEq / L). Laju pernapasan ibu, refleks tendon dalam,
tingkat kesadaran, dan keluaran urin dipantau secara teratur dan berkorelasi baik
dengan kadar magnesium serum. Depresi pernapasan, mengantuk, atau kehilangan
refleks patela menunjukkan kadar magnesium lebih dari kisaran terapeutik (> 3,5
mmol / Lor 7 mEq / L). Karena magnesium diekskresikan ke dalam ginjal, laju infus
harus dikurangi jika output urin turun. Infus pemeliharaan juga harus dikurangi atau
ditahan berdasarkan kadar kreatinin serum. Penangkal toksisitas magnesium adalah 1

13
g kalsium klorida (10 mL larutan 10%) yang diberikan secara intravena selama
beberapa menit.
3. Kontrol Tekanan Darah
Tujuan terapi antihipertensi adalah pencegahan komplikasi ibu seperti stroke,
perdarahan intrakranial, infark miokard akut, atau gagal jantung akut. Tidak ada data
yang meyakinkan untuk menentukan tekanan darah optimal di mana obat
antihipertensi harus dimulai, tetapi tekanan darah yang bertahan pada sistolik minimal
160 mm Hg atau diastolik minimal 110 mm Hg harus diobati. Perawatan rawat inap di
rumah sakit untuk terapi antihipertensi akut direkomendasikan untuk peningkatan TD
yang ditandai dengan adanya keterlibatan kerusakan organ. Terapi intravena adalah
metode standar pemberian agen antihipertensi untuk kondisi yang mengancam jiwa.
Hydralazine, labetalol, atau oral nifedipine dapat digunakan untuk mengobati
hipertensi berat akut pada kehamilan. Pilihan dan rute pemberian obat harus
didasarkan pada kenyamanan dan pengalaman petugas kesehatan.
Penurunan TD yang drastis dapat terjadi dengan terapi antihipertensi yang agresif,
terutama pada pasien preeklampsia dengan volume plasma darah yang berkurang.
Diuretik harus dihindari karena sebagian besar pasien preeklampsia mengalami
penurunan volume plasma secara signifikan.

4. Penilaian Suportif
Edema paru kardiogenik dan non-kardiogenik sering terjadi selama preeklamsia berat.
Oleh karena itu, Tatalaksana harus termasuk oksigen tambahan untuk menjaga PaO2
ibu> 70 mm Hg (> 9,3 kPa) atau saturasi oksigen ≥94% untuk mencegah hipoksia
janin. Indikasi untuk intubasi trakea dan ventilasi mekanik sama dengan indikasi
untuk pasien yang tidak hamil.
Oleh karena peningkatan konsumsi oksigen ibu dan penurunan area permukaan paru
fungsional, ibu berisiko lebih besar mengalami hipoventilasi dan apnea. Intubasi harus
didekati dengan hati-hati pada wanita hamil karena potensi hipoksemia selama
induksi, peningkatan risiko aspirasi, dan kemungkinan edema orofaringeal. Biasanya,
diperlukan tabung endotrakeal kecil (6,5 atau 7,0 mm) untuk intubasinya. Seorang
wanita hamil yang membutuhkan intubasi harus ditatalaksana dengan intubasi perut
penuh. Ventilasi dengan alat bag-mask dan intubasi harus dilanjutkan dengan tekanan
krikoid selama prosedur ini untuk mengurangi peningkatan risiko aspirasi.

14
Karena pasien preeklampsia dan eklampsia sering mengalami penurunan volume
intravaskular, pemantauan hemodinamik invasif mungkin diperlukan untuk
mengoptimalkan manajemen edema paru. Nilai tekanan vena sentral belum terbukti
berkorelasi dengan tekanan pengisian arteri pulmonalis selama kehamilan tetapi dapat
mungkin dapat berguna sebagai acuan resusitasi volume.
Teknik noninvasif seperti ekokardiografi dapat digunakan untuk menilai curah
jantung, status volume, dan fraksi ejeksi. Vasokonstriksi pembuluh darah ginjal pada
preeklampsia berat sering menyebabkan oliguria. Tantangan cairan intravena harus
dimonitor dengan hati-hati. Penggunaan diuretik secara empiris tanpa pemantauan
hemodinamik invasif volume intravaskular tidak dianjurkan. Sebagian besar wanita
preeklampsia dengan oliguria akan merespons 1 sampai 2 L kristaloid tanpa perlu
pemantauan invasif. Kegagalan pasien untuk merespon tantangan cairan berulang,
atau adanya gagal jantung atau pernapasan, harus segera dijadikan pertimbangan
untuk melakukan pemantauan hemodinamik dan konsultasi perawatan kritis. Terapi
vasodilator mungkin bermanfaat jika volume intravaskular adekuat

5. Monitoring (pemantauan)
Semua pasien harus dimonitor tekanan darahnya secara teratur, dan mereka yang
hipertensi memerlukan penilaian yang lebih sering. Ketika magnesium sulfat
digunakan, pemantauan harus mencakup pengecekan refleks patela, laju pernapasan,
dan kadar magnesium berkala. Pemantauan hemodinamik invasif biasanya tidak
diperlukan pada pasien preeklampsia, meskipun dianjurkan untuk mereka yang
memiliki kelainan jantung, pernapasan, atau ginjal yang signifikan.

Secara ringkas, Tatalaksana Eklampsia dan PEB dijelaskan oleh John Fulle dkk. dalam
bukunya “Hand Book of ICU Therapy”, yaitu sebagai berikut :.11

 Kontrol hipertensi: labetalol oral adalah terapi lini pertama dengan tujuan
mencapai tekanan darah diastolik pada 80-100 mmHg dan sistolik <150 mmHg.
Antihipertensi lain yang perlu dipertimbangkan adalah termasuk di dalamnya,
hidralazin dan nifedipin. Pemberian bolus cairan secara hati-hati harus
dipertimbangkan ketika menggunakan hidralazin vasodilatasi pada pasien
hipovolemik ini. Penghambat enzim konversi angiotensin (Angiotensin-converting

15
inhibitors) atau agen reseptor antiangiotensin harus dihindari karena efek
fetotoksiknya
 Pencegahan dan kontrol kejang: magnesium sulfat intravena 4 g selama 5 menit
diikuti oleh 1 g / jam selama 24 jam. Dosis lebih lanjut 2-4 g dapat diberikan lebih
dari 5 menit untuk kejang berulang. Penggunaan fenitoin atau diazepam tidak
disarankan.
 Penatalaksanaan cairan pada pasien Eklampsia ini sampai sekarang masih
kontroversial. Risiko kelebihan volume pada pasien dengan tekanan onkotik
rendah yang mengakibatkan edema paru dan otak akibat hipotensi yang timbul dari
pemberian vasodilator tanpa penggantian volume harus diperhatikan.
 Urea dan elektrolit, dan juga enzim hati harus dipantau untuk menilai keterlibatan
kerusakan ginjal atau hati.

16
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Eklampsia merupakan kejang yang terjadi pada saat kehamilan tanpa didasari penyaebab
lain, eklamsia dibedakan menjadi eklampsia gravidarum (antepartum), eklampsia
partuirentum (intrapartum), dan eklampsia puerperale (postpartum), berdasarkan saat
timbulnya serangan. Eklampsia banyak terjadi pada trimester terakhir dan semakin meningkat
saat mendekati kelahiran. Pada kasus yang jarang, eklampsia terjadi pada usia kehamilan
kurang dari 20 minggu. Sekitar 75% kejang eklampsia terjadi sebelum melahirkan, Serta 50%
saat 48 jam pertama setelah melahirkan, tetapi kejang juga dapat timbul setelah 6 minggu
postpartum.
Tatalaksana Eklampsia pada pasie post SC adalah kontrol terhadap kejangnya dengan
Magnesium sulfat, kontrol tekanan darah, dan tatalaksana cairan serta monitor edem paru
kardiogenik, kerusakan ginjal ataupun hati.
B. Saran
Penulis menyarankan agar para pembaca dapat mengumpulan sumber pusaka yang lebih
detail sebagai tambahan referensi penatalaksanaan kasus eklampsia post SC.

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Prawirohardjo, Sarwono. Ilmu Kebidanan Jakarta: PT Bina Pustaka. 2010.p 15-45


2. Lindheimer MD, Taler SJ, Cunningham FG. Hipertension in pregnancy. In: Journal of the
American Society of Hypertension; 2008. 9 (3) :119-123
3. Rizky Amalia.Hubungan usia ibu hamil dengan angka kejadian preeklampsia di RSUD
dr. Zainoel Abidin Banda Aceh. 2013: p28-30
4. Royal College of Obstetricians and Gynaecologists. Induction of labour. Evidence-based
Clinical Guideline Number 9 [serial online]. June 2001 [cited August 27, 2013].
Available from: http://www.nice.org.uk/nicemedia/pdf/inductionoflabourrcogrep.pdf
5. Cunningham, F.G.et al. Hipertensive Disorder in Pregnancy In: Williams Obstetrics-
22nd Edition USA: Mc Graw Hill: 2008
6. Triyana, Yani Firda. Teknik prosedural Keperawatan. Yogyakarta : D. Medika. 2013
7. Oxorn, Harry dan William R. Forte. Ilmu Kebidanan Patologi & Fisiologi
Persalinan.Yogyakarta : Yayasan Essentia Medica. 2010
8. Sudarmayasa, I.M., Surya, I.G.P. 2006. Profil Penderita Hipertensi dalam Kehamilan di
RSUP Snaglah Denpasar Periode 1 Januari 2004-31 Desember 2005. (tesis) Program
Pendidikan Dokter Spesialis I lab/SMF Obstetri dan Ginekologi FK UNUD/RSUP
Denpasar. Denpasar : Universitas Udayan
9. ACOG. ACOG Practice Bulletin: Diagnosis and Management of Preeclampsia and
Eclampsia: The American College of Obstetricians and Gynecologists Number 33.2002:1
10. Mclean B. Fundamental Critical Care Support. Edisi ke-6. Society of. Critical Care
Medicine; 2007: 347-350
11. Fuller, John et al. Hand Book of ICU Therapy. Edisi ke-3. 2018. Hal : 406-407

18

Anda mungkin juga menyukai