MORBUS HANSEN
Disusun oleh :
Iqbal Musyaffa
Pembimbing :
2020
BAB I
PENDAHULUAN
Kusta merupakan penyakit tertua yang sampai sekarang masih ada. Kusta
merupakan penyakit yang sangat ditakuti oleh masyarakat karena dapat menyebabkan
ulserasi, mutilasi dan deformitas. Kata kusta berasal dari bahasa India kustha,dikenal
sejak 400 tahun SM. Kata lepra disebut dalam kitab Injil,terjemahan dari bahasa
Hebrew zaraath.
Kusta (lepra atau penyakit Hansen) adalah infeksi menahun yang disebabkan
oleh Mycobacterium leprae, bakteri ini menyerang saraf perifer, kulit, mukosa traktus
respiratorius bagian atas, kemudian organ lainnya. Kuman dapat ditemukan di kulit,
folikel rambut, kelenjar keringat, dan ASI, namun jarang di urin. Mycobacterium
leprae masih belum dapat dibiakkan dalam medium buatan sehingga diagnosis yang
tepat dalam waktu pendek masih belum memungkinkan. Pada sebagian besar orang
yang terinfeksi, penyakit bersifat asimptomatik. Sebagian kecil terlambat didiagnosis
dan terlambat diobati, memperlihatkan gejala klinis dan mempunyai kecenderungan
untuk menjadi cacat. Tetapi diagnosis dapat dibuat berdasarkan gejala-gejala klinis
yang spesifik pada pasien1. Penyakit ini disebarkan melalui droplet infeksi dan
mempunyai masa tunas yang panjang (antara 2 bulan sampai 40 tahun)2.
1
BAB II
LAPORAN KASUS
Identitas Pasien
Nama : Ny.S
Umur : 21 tahun
Tanggal Lahir : 15 Agustus 1998
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Gintung Lor
Agama : Islam
Suku Bangsa : Jawa
Tanggal Pemeriksaan : 05 Maret 2020
Ruang : Di Ruangan bangsal Cut Nyadien RSUD Arjawinangun
Anamnesis
Autoanamnesis dilakukan tanggal 05 Maret 2020 di ruang Cut Nyadien .
Keluhan Utama
Kemerahan seperti bentol pada daerah muka, badan, tangan serta kaki dan
hilangnya sensasi pada kulit ekstremitas atas dan bawah.
2
selama 1 bulan. Pada awalnya pasien selalu patuh minum obat tersebut namun,
karena menurutnya obat terlalu banyak dan keluhan merah-merah sudah mulai
berkurang, pasien berhenti meminum obat. Namun selang beberapa bulan kemudian
merah-merah timbul kembali dengan jumlah yang banyak dan tersebar di seluruh
tubuh ditambah dengan hilangnya sensasi pada kulit hingga saat ini.
Pemeriksaan Fisik
Status Generalis
Keadaan umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran : Composmentis
Kepala : Normocephali, rambut hitam, distribusi merata
Thoraks : Bentuk normal, pergerakan simetris, terdapat kelainan
kulit (lihat status dermatologis)
Abdomen : Datar, ada kelainan kulit (lihat status dermatologis)
Ekstremitas Atas : Tidak ada edema, tidak sianosis, ada kelainan kulit
(lihat status dermatologis)
Ekstremitas Bawah : Tidak ada edema, tidak sianosis, ada kelainan kulit
(lihat status dermatologis)
3
Status Dermatologis
Distribusi : Generalisata
Ad Regio : Facialis, punggung belakang, abdomen, ekstremitas superior
dextra-sinistra, ekstremitas inferior dextra-sinistra
Efloresensi : Papul, nodul, makula eritematous
4
Gambar di regio ekstremitas atas
5
Gambar di regio ekstremitas bawah
Pemeriksaan Penunjang
Tidak dilakukan pemeriksaan penunjang
Resume
Pasien perempuan usia 21 tahun datang ke RSUD Arjawinangun mengeluh
timbul nodul-papul eritematous dan generalisata. Keluhan disertai hipoestesi pada
sebagian lesinya (ekstremitas). Keluhan dirasa sudah 2 bulan yang lalu. Lesi muncul
pertama kali pada regio auricula dan facialis, menurut pengakuan pasien lesi pertama
timbul berjumlah lebih dari 3. Pada anamnesis, pasien menyangkal adanya febris dan
tidak ada mialgia pada bagian tubuh tertentu, hanya hipoestesi pada sebagian lesinya.
Pada anamnesis terdapat riwayat alergi, pasien mengeluhkan ada alergi makanan
yaitu telor. Pasien mengakui adanya orang sekitar tetangga rumahnya yang
mempunyai keluhan yang sama. Pada awalnya pasien sudah berobat ke puskesmas
dan diberi obat, namun karena dirasa obat yang diberikan terlalu banyak dan keluhan
kemerahan sudah mulai memudar akhirnya pasien menghentikan pengobatannya
hingga muncul lagi di berbagai tempat dan disertai hipoestesi pada bagian
ekstremitas.
6
Diagnosis Banding
1. Psoriasis
2. Dermatitis seboroik
Diagnosis Kerja
Morbus Hansen (kusta/lepra)
Penatalaksanaan
1. Umum
Menjelaskan kepada pasien mengenai penyakit dan cara penularannya
Menjelaskan bahwa lepra adalah penyakit menular
Istirahat yang cukup
Makan-makanan yang bergizi
Menjelaskan pentingnya mengobati anggota keluarga yang menderita keluhan
yang sama.
Tetap menjaga kebersihan tubuh dengan mandi teratur 2 kali sehari
menggunakan sabun bayi.
2. Khusus
Metilprednisolon inj 125 mg/iv
Ranitidin Tablet 150 mg, 4 x 1 (untuk maag)
Neurobion Tablet 5000 mg, 2 x 1 (pagi – malam)
Betametason cream dioleskan 2 kali sehari (pagi - sore)
Wajib mandi dengan sabun bayi cair
Prognosis
Quo Ad vitam : Ad bonam
Quo Ad functionam : Dubia ad bonam
7
Quo Ad sanationam : Dubia ad bonam
o BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi
Istilah kusta berasal dari bahasa India, yakni kustha berarti kumpulan gejala-
gejala kulit secara umum. Penyakit kusta disebut juga Morbus Hansen, sesuai dengan
nama yang menemukan kuman yaitu Dr. Gerhard Armauwer Hansen pada tahun 1874
sehingga penyakit ini disebut Morbus Hansen. Kusta yang juga disebut lepra
merupakan penyakit infeksi granulomatous kronik yang disebabkan oleh
Mycobacterium leprae, terutama mengenai sistem saraf perifer, kulit, namun dapat
juga terjadi mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain
kecuali susunan saraf pusat 1.
3.2 Epidemiologi
Di Indonesia penderita anak-anak di bawah umur 14 tahun didapatkan ±13 %,
tetapi anak di bawah umur 1 tahun jarang sekali. Frekuensi tertinggi terdapat pada
kelompok umur antara 25-35 tahun. Kusta terdapat dimana-mana, tertama di Asia,
Afrika, Amerika latin, daerah tropis dan subtropis, serta masyarakat yang sosial
ekonominya rendah1. Penyakit kusta tersebar di seluruh dunia dengan endemisitas
yang berbeda-beda. Penyebaran penyakit kusta dari suatu tempat di seluruh dunia,
tampaknya disebabkan oleh perpindahan penduduk yang terinfeksi penyakit tersebut.
Penyakit ini disebarkan melalui droplet infeksi dan mempunyai masa tunas yang
panjang (antara 2 bulan sampai 40 tahun)2.
3.3 Etiologi
Kuman penyebab lepra adalah Mycobacterium leprae. Kuman ini bersifat
obligat intrasel, aerob, tidak dapat dibiakkan secara in vitro, berbentuk basil Gram
positif dengan ukuran 3 – 8 μm x 0,5 μm, bersifat tahan asam dan alkohol. Waktu
8
pembelahan Mycobacterium leprae sangat lama, yaitu 2-3 minggu, kuman ini dapat
bereproduksi optimal pada suhu 27°C – 30°C secara in vivo, tumbuh dengan baik
pada jaringan yang lebih dingin (kulit, sistem saraf perifer, hidung, cuping telinga,
anterior chamber of eye, saluran napas atas, kaki dan testis), dan tidak mengenai area
yang hangat (aksila, inguinal, kepala, garis tengah punggung1,2.
PB (Pausibasilar) MB (Multibasilar)
Lesi kulit (makula yang 1-5 lesi >5 lesi
datar, papul yang
Hipopigmentasi/eritema Distribusi lebih
meninggi, infiltrate,
simetris
plak eritem, nocus) Distribusi tidak simetris
9
Berdasarkan klasifikasi Ridley and Jopling, penyakit kusta dibagi menjadi3.
a. Indeterminate leprosy (I): makula hipopigmentasi, terkadang makula eritema.
Kehilangan rasa sensoris belum ada. Sekitar 75% penderita mengalami
kesembuhan spontan, sedangkan pada yang lainnya akan tetap pada bentuk ini
sampai ketika imunitas menurun, maka akan berubah menjadi bentuk yang
lain.
b. Tuberculoid leprosy (TT): lesi kulit minimal. Biasanya hanya berupa satu plak
eritem dengan bagian tepi yang meninggi. Predileksi pada wajah, ekstremitas,
intertriginosa, dan kepala. Lesi kering, skuama, hipohidrotik, dan tanpa
rambut. Pada bentuk ini, lesi pada kulit sudah mengalami anestesi.
c. Bordeline tuberculoid leprosy (BT): lesi sama dengan tipe tuberculoid, namun
lesi lebih kecil dan banyak. Berupa makula anestesi atau plak yang disertai
lesi satelit di pinggirnya. Gambaran hipopigmentasi, kekeringan kulit dan
skuama tidak jelas. Saraf tidak terlalu membesar dan tidak terlalu
menyebabkan alopesia dibandingkan tipe tuberculoid. Bentuk ini biasanya
bertahan/tetap, namun dapat kembali pada tipe tuberkuloid atau progresif
menuju bentuk lepromatosa.
d. Borderline borderline leprosy (BB): tipe yang paling tidak stabil, disebut juga
dimorfik dan jarang dijumpai. Lesi kulit banyak, merah, berupa plak ireguler.
Lesi sangat bervariasi baik ukuran, bentuk, maupun distribusinya. Bisa
didapatkan lesi punched out yaitu hipopigmentasi yang oval pada bagian
tengah. Distribusi menyerupai bentuk lepromatosa, namun asimetris. Dapat
terjadi adenopati regional.
e. Borderline lepromatous leprosy(BL): lesi banyak dan terdiri atas makula,
papula, plak dan nodul. Terdapat lesi punched-out annular. Anestesi tidak
terjadi.
f. Lepromatous leprosy(LL): lesi awal berupa makula yang pucat. Makula kecil,
difus dan simetris. Anetesi tidak terjadi pada bentuk ini, saraf tidak menebal,
dan hidrotik. Hilangnya rangsang saraf lambat dan progresif.
10
Tabel 3.2 Gambaran klinis, Bakteriologis, dan Imunologik Kusta PB1
11
Borderline
Lepromatosa Mid-borderline
Karakteristik Lepromatosa
(LL) (BB)
(BL)
Lesi
Makula, infiltrat Plak, lesi bentuk
Makula, plak,
Bentuk difus, papul, kubah, lesi punched
papul
nodus out
Banyak distribusi
Banyak tapi kulit Beberapa, kulit
Jumlah luas, praktis tidak
sehat masih ada sehat (+)
ada kulit sehat
Cenderung
Distribusi Simetris Asimetris
simetris
Sedikit berkilap,
Permukaan Halus berkilat Halus berkilat
beberapa lesi kering
Anestesia Tidak jelas Tidak jelas Lebih jelas
Batas Tidak jelas Agak jelas Agak jelas
BTA
Pada lesi
Banyak Banyak Agak banyak
kulit
Sekret Biasanya tidak
Banyak Tidak ada
hidung ada
Tes
Negatif Negatif Biasanya negatif
Lepromin
TT BT I
12
LL BL BB
13
Gambar 3.2 Foto Manifestasi Tuberculoid Lepra di Punggung
14
Gambar 3.3 Foto Manifestasi Tuberculoid Lepra di Wajah
3.5 Patogenesis
M. leprae berpredileksi di daerah-daerah tubuh yang relatif lebih dingin.
Ketidakseimbangan antara derajat infeksi dan derajat penyakit disebabkan oleh
respon imun yang berbeda yang menyebabkan timbulnya reaksi granuloma setempat
atau menyeluruh yang dapat sembuh sendiri atau progresif. Oleh karena itu penyakit
kusta dapat disebut sebagai penyakit imunologik. Gejala klinisnya lebih sebanding
dengan tingkat reaksi selularnya daripada intensitas infeksinya. Meskipun cara masuk
M. leprae ke dalam tubuh masih belum diketahui dengan pasti, beberapa penelitian
telah memperlihatkan bahwa yang tersering ialah melalui kulit yang lecet pada bagian
tubuh yang bersuhu dingin dan melalui mukosa nasal. Pengaruh, M. leprae terhadap
kulit bergantung pada faktor imunitas seseorang, kemampuan hidup M. leprae pada
suhu tubuh yang rendah, waktu regenerasi yang lama, serta sifat kuman yang
avirulens dan nontoksis.
Masuknya M. leprae ke dalam tubuh akan ditangkap oleh APC (Antigen
Presenting Cell) dan melalui dua sinyal yaitu sinyal pertama dan sinyal kedua. Sinyal
pertama adalah tergantung pada TCR-terkait antigen (TCR = T cell receptor) yang
dipresentasikan oleh molekul MHC pada permukaan APC, sedangkan sinyal kedua
adalah produksi sitokin dan ekspresinya pada permukaan dari molekul kostimulator
APC yang berinteraksi dengan ligan sel T melalui CD28. Adanya kedua sinyal ini
15
akan mengaktivasi To sehingga To akan berdifferensiasi menjadi Th1 dan Th2.
Adanya TNF α dan IL 12 akan membantu differensiasi To menjadi Th1.
Th 1 akan menghasilkan IL 2 dan IFN γ yang akan meningkatkan fagositosis
makrofag (fenolat glikolipid I yang merupakan lemak dari M. leprae akan berikatan
dengan C3 melalui reseptor CR1, CR3, CR4 pada permukaannya lalu akan
difagositosis) dan proliferasi sel B. Selain itu, IL 2 juga akan mengaktifkan CTL lalu
CD8+. Di dalam fagosit, fenolat glikolipid I akan melindungi bakteri dari
penghancuran oksidatif oleh anion superoksida dan radikal hidroksil yang dapat
menghancurkan secara kimiawi. Karena gagal membunuh antigen maka sitokin dan
growth factors akan terus dihasilkan dan akan merusak jaringan akibatnya makrofag
akan terus diaktifkan dan lama kelamaan sitoplasma dan organella dari makrofag
akan membesar, sekarang makrofag seudah disebut dengan sel epiteloid dan
penyatuan sel epitelioid ini akan membentuk granuloma. Th2 akan menghasilkan IL
4, IL 10, IL 5, IL 13. IL 5 akan mengaktifasi dari eosinofil. IL 4 dan IL 10 akan
mengaktifasi dari makrofag. IL 4 akan mengaktifasi sel B untuk menghasilkan IgG4
dan IgE. IL 4 , IL10, dan IL 13 akan mengaktifasi sel mast.
Sinyal I tanpa adanya sinyal II akan menginduksi adanya sel T anergi dan
tidak teraktivasinya APC secara lengkap akan menyebabkan respon ke arah Th2.
Pada Tuberkoloid Leprosy, kita akan melihat bahwa Th 1 akan lebih tinggi
dibandingkan dengan Th2 sedangkan pada Lepromatous leprosy, Th2 akan lebih
tinggi dibandingkan dengan Th13.
3.6 Diagnosis
Diagnosis penyakit kusta didasarkan gambaran klinis, bakterioskopis, dan
histopatologis, dan serologis. Diantara ketiganya, diagnosis secara klinislah yang
terpenting dan paling sederhana. Hasil bakterioskopis memerlukan waktu paling
sedikit 15-30 menit, sedangkan histopatologik 10-14 hari. Kalau memungkinkan
dapat dilakukan tes lepromin (Mitsuda) untuk membantu penentuan tipe, yang
16
hasilnya baru dapat diketahui setelah 3 minggu. Kelainan kulit pada penyakit kusta
tanpa komplikasi dapat hanya berbentuk makula saja, infiltrat, saja atau keduanya.
Secara inspeksi mirip penyakit lain, ada tidaknya anestesia sangat banyak membantu
penentuan diagnosis, meskipun tidak terlalu jelas. Hal ini dengan mudah dilakukan
dengan menggunakan jarum terhadap rasa nyeri, kapas terhadap rasa raba, dan dapat
juga dengan rasa suhu, yaitu panas dan dingin dengan tabung reaksi. Perhatikan pula
ada tidaknya dehidrasi di daerah lesi yang dapat dipertegas dengan menggunakan
pensil tinta (tanda Gunawan). Cara menggoresnya mulai dari tengah lesi ke arah kulit
normal. Dapat pula diperhatikan adanya alopesia di daerah lesi. Dan ditemukan satu
atau lebih tanda kardinal pasien dari daerah endemik,lesi kulit dengan karakter lepra
dengan atau tidak rasa baal,disertai dengan saraf perifer,dan menemukan M.Leprae.
Mengenai saraf perifer yang perlu diperhatikan ialah pembesaran, konsistensi,
dan nyeri atau tidak. Hanya beberapa saraf superfisial yang dapat dan perlu diperiksa,
yaitu N. fasialis, N. aurikuralis magnus, N. radialis, N. ulnaris, N. medianus, N.
poplitea lateralis, dan N. tibialis posterior. Untuk tipe lepramatosa kelainan saraf
biasanya bilateral dan menyeluruh, sedang untuk tipe tuberkuloid kelainan sarafnya
lebih terlokalisasi mengikuti tempat lesinya. Deformitas pada kusta, sesuai dengan
patofisiologinya, dapat dibagi dalam deformitas primer dan sekunder. Deformitas
primer sebagai akibat langsung oleh granuloma yang terbentuk sebgai reaksi terhadap
M. leprae, yang mendesak dan merusak jaringan di sekitarnya, yaitu kulit, mukosa
traktus respiratorius atas, tulang-tulang jari, dan wajah. Deformitas sekunder terjadi
sebagai akibat kerusakan saraf, umumnya deformitas diakibatkan keduanya, tetapi
terutama karena kerusakan saraf. Gejala-gejala kerusakan saraf1,4 :
1. N. ulnaris: anestesia pada ujung jari anterior kelingking dan jari manis,
clawing kelingking dan jari manis, atrofi hipotenar dan otot interoseus serta
kedua otot lumbrikalis medial.
2. N. medianus: anestesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk, dan
jari tengah, tidak mampu aduksi ibu jari, clawing ibu jari, telunjuk, dan jari
tengah, ibu jari kontraktur, atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral.
17
3. N. radialis: anestesia dorsum manus, serta ujumg proksimal jari telunjuk,
tangan gantung (wrist drop), tak mampu ekstensi jari-jari atau pergelangan
tangan.
4. N. poplitea lateralis: anestesia tungkai bawah, bagian lateral dan dorsum
pedis, kaki gantung (foot drop), kelemahan otot peroneus.
5. N. tibialis posterior: anestesia telapak kaki, claw toes, paralisis otot intristik
kaki dan kolaps arkus pedis.
6. N. fasialis: lagoftalmus (cabang temporal dan zigomatik), kehilangan ekspresi
wajah dan kegagalan mengaktupkan bibir (cabang bukal, mandibular dan
servikal).
7. N. trigeminus: anestesia kulit wajah, kornea dan konjungtiva mata.
1. Pemeriksaaan Bakterioskopik
18
Digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis dan pengamatan obat.
Sediaan dibuat dari kerokan jaringan kulit atau usapan mukosa hidung yang diwarnai
dengan pewarnaan Ziehl Neelson. Bakterioskopik negatif pada seorang penderita,
bukan berarti orang tersebut tidak mengandung basil M. leprae. Pertama – tama harus
ditentukan lesi di kulit yang diharapkan paling padat oleh basil setelah terlebih dahulu
menentukan jumlah tepat yang diambil. Untuk riset dapat diperiksa 10 tempat dan
untuk rutin sebaiknya minimal 4 – 6 tempat yaitu kedua cuping telinga bagian bawah
dan 2 -4 lesi lain yang paling aktif berarti yang paling eritematosa dan paling
infiltratif. Pemilihan cuping telinga tanpa menghiraukan ada atau tidaknya lesi di
tempat tersebut karena pada cuping telinga biasanya didapati banyak M. leprae.
Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada sebuah sediaan
dinyatakan dengan indeks bakteri (I.B) dengan nilai 0 sampai 6+ menurut Ridley. 0
bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang (LP).
19
Syarat perhitungan IM adalah jumlah minimal kuman tiap lesi 100 BTA, I.B
1+ tidak perlu dibuat IM karena untuk mendapatkan 100 BTA harus mencari dalam
1.000 sampai 10.000 lapangan, mulai I.B 3+ maksimum harus dicari 100 lapangan.1
2. Pemeriksaan Histopatologi
Makrofag dalam jaringan yang berasal dari monosit di dalam darah ada yang
mempunyai nama khusus, dan yang dari kulit disebut histiosit. Apabila SIS nya
tinggi, makrofag akan mampu memfagosit M. leprae. Datangnya histiosit ke tempat
kuman disebabkan karena proses imunologik dengan adanya faktor kemotaktik.
Kalau datangnya berlebihan dan tidak ada lagi yang harus difagosit, makrofag akan
berubah bentuk menjadi sel epiteloid yang tidak dapat bergerak dan kemudian akan
dapat berubah menjadi sel datia Langhans. Adanya massa epiteloid yang berlebihan
dikelilingi oleh limfosit yang disebut tuberkel akan menjadi penyebab utama
kerusakan jaringan dan cacat.
Pada penderita dengan SIS rendah atau lumpuh, histiosit tidak dapat
menghancurkan M. leprae yang sudah ada didalamnya, bahkan dijadikan tempat
berkembang biak dan disebut sebagai sel Virchow atau sel lepra atau sel busa dan
sebagai alat pengangkut penyebarluasan. Gambaran histopatologi tipe tuberkoloid
adalah tuberkel dan kerusakan saraf yang lebih nyata, tidak ada basil atau hanya
sedikit dan non solid. Tipe lepromatosa terdapat kelim sunyi subepidermal
(subepidermal clear zone) yaitu suatu daerah langsung di bawah epidermis yang
jaringannya tidak patologik. Bisa dijumpai sel virchow dengan banyak basil. Pada
tipe borderline terdapat campuran unsur – unsur tersebut1.
3. Pemeriksaan Serologik
Didasarkan terbentuk antibodi pada tubuh seseorang yang terinfeksi oleh M.
leprae. Antibodi yang terbentuk dapat bersifat spesifik terhadap M. leprae, yaitu
antibodi anti phenolic glycolipid-1 (PGL-1) dan antibodi antiprotein 16kD serta
35kD. Sedangkan antibodi yang tidak spesifik antara lain antibodi anti-
20
lipoarabinomanan (LAM), yang juga dihasilkan oleh kuman M. tuberculosis1.
Kegunaan pemeriksaan serologik ialah dapat membantu diagnosis kusta yang
meragukan, karena tanda klinis dan bakteriologik tidak jelas.Pemeriksaan serologik
adalah MLPA (Mycobacterium Leprae Particle Aglutination), uji ELISA (Enzyme
Linked Immuno-Sorbent Assay) dan ML dipstick (Mycobacterium Leprae dipstick)1.
Pitiariasis Vesikolor Malassezia Bercak berskuama halus yang berwarna putih sampai
furfur Robin coklat hitam, terutama meliputi badan dan kadang-
kadang dapat menyerang ketiak, lipat paha, lengan,
tungkai atas, leher, muka dan kulit kepala yang
berambut
Dermatitis Seboroik Idiopatik,Status Eritema dan skuama berminyak dan agak kekuningan
seboroik batasnya agak kurang tegas
Psoriasis Autoimun,Genet Bercak eritema yang meninggi (plak)dengan skuama di
ik atasnya. Fenomena tetesan Lilin,Auspitz dan Kobner
Neurofibromatosis Mutasi gen NF1 Neurofibroma,Cafe-au-lait spot
Granuloma Idiopatik Ruam berbentuk benjol kemerahan
Anulare
Xantomatosis Genetik Deposit lemak kekuning kuningan pada kulit atau
tempat lain (dalam sel retikulo-endotelial) karena
hiperlipidemia
Skleroderma Idiopatik Bercak skleropatik atau plak soliter (tersering) atau
bercak-bercak multiple (terjarang)
Leukemia Kutis Leukimia Infiltrasi sel-sel leukemia yang bersifata gresif kedalam
lapisan epidermis,dermis maupun subkutis.
Tuberkulosis Kutis M. Tuberculosis Skrofuloderma,chancre
21
Verukosa HPV Kutil berbentuk bulat,berwarna abu-abu,permukaan
kasar
Birth mark Overgrowth of Gambaran kelainan kulit yang timbul saat atau setelah
B.V.,Melanocyt lahir
es,smooth
muscle,fat,fibro
blast, or
keratinocytes
Dermatofitosis Jamur Gatal dan kelainan berbatas tegas,polomorfi. Eczema
marginatum
3.9 Penatalaksanaan
1. Pasien pausibasiler (PB)
Dewasa
Pengobatan bulanan: hari pertama (obat diminum didepan petugas)
2 kapsul rifampisin @ 300 mg(600mg)
1 tablet dapson /DDS 100mg
Pengobatan harian: hari ke 2-28.
1 tablet dapson/DDS 100mg
Satu blister untuk 1 bulan. Dibutuhkan 6 blister yang diminum selama 6-9 bulan3.
22
1 tablet lampren 50 mg
Satu blister untuk 1 bulan. Dibutuhkan 12 blister yang diminum selama 12-18
bulan3.
23
Tabel 3.4 Obat dan dosis regimen MDT-PB
OBAT DEWASA
BB<35 kg BB>35 kg
Rifampisin 450 mg/bln (diawasi) 600 mg/bln (diawasi)
DEWASA
OBAT
BB<35 kg BB>35 kg
Rifampisin 450 mg/bln (diawasi) 600 mg/bln (diawasi)
50mg/hari(1-2mg/kgBB/hari)
Dapson swakelola 100 mg/hari
Tabel 3.6 Obat dan dosis regimen MDT WHO untuk anak
PB MB
< 10 tahun 10 th – 14 th < 10 th 10 th -14 th
OBAT
BB < 50kg BB < 50 kg
Rifampisin 300 mg/bln 450 mg/bln 300 mg/bln 450 mg/bln
24
2x/mgg mg/hr
Reaksi Kusta
Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan penyakit
yang sebenarnya sangat kronik.1 Penyakit kusta yang merupakan suatu reaksi
kekebalan (cellular response) atau reaksi antigen antibody (humoral response). Reaksi
ini dapat terjadi sebelum pengobatan, tetapi terutama terjadi selama atau setelah
pengobatan. Dari segi imunologis terdapat perbedaan prinsip antara reaksi tipe 1 dan
tipe 2, yaitu pada reaksi tipe 1 yang memegang peranan adalah imunitas seluler (SIS),
sedangkan pada reaksi tipe 2 yang memegang peranan adalah imunitas humoral. 1
25
Umumnya berupa nyeri
tekan saraf dan atau
gangguan fungsi saraf
6 Keterkaitan Hampr tidak ada Terjadi pada mata, KGB,
organ lain sendi, ginjal, testis, dll
7 Faktor pencetus Melahirkan Emosi
Obat-obat yang Kelelahan dan
meningkatkan stress fisik lainnya
kekebalan tubuh kehamilan
Tabel 3.8 Perbedaan Reaksi Kusta Ringan dan Berat tipe 1 dan tipe 2 3
26
n (-) (+)
3 Keadaan Dema Demam Demam (+) Demam (+)
umum m (-) (+)
4 Keterlibatan - - - +
organ lain Terjadi peradangan pada :
Mata:iridocyclitis
Testis:epididimoorchiti
s
Ginjal : nefritis
Kelenjar limpa:
limfadenitis
Gangguan pada tulang,
hidung, dan
tenggorokan
*bila ada reaksi pada lesi kulit yang dekat dengan saraf, dikategorikan sebagai reaksi
berat
Fenomena Lucio
Fenomena lucio merupakan reaksi kusta yang sangat berat yang terjadi pada
kusta tipe lepromatosa non nodular difus. Gambaran klinis berupa plak atau infiltrat
difus, bewarna merah muda, bentuk tidak teratur dan terasa nyeri. Lesi terutama di
ekstremitas, kemudian meluas ke seluruh tubuh. Lesi yang berat tampak lebih
eritematous disertai purpura dan bula kemudian dengan cepat terjadi nekrosis serta
ulserasi yang nyeri. Lesi lambat menyembuh dan akhirnya terbentuk jaringan parut.
Gambaran histopatologi menunjukkan nekrosis epidermal iskemik dengan
nekrosis pembuluh darah superfisial, edema, dan proliferasi endhotelial pembuluh
darah lebih dalam. Didapatkan banyak basil M.Leprae di endotel kapiler. Walaupun
27
tidak ditemukan infiltrat PMN seperti pada ENL namun dengan imunofluoresensi
tampak deposit imunoglobulin dan komplemen di dalam dinding pembuluh darah.1
Pengobatan ENL
Obat yang paling sering dipakai adalah tablet kortikosteroid, antara lain
prednisone. Dosisnya bergantung pada berat ringannya reaksi, biasanya 15-30
mg/hari dan dosisnya diturunkan bertahap. Klofazimin juga dapat dipakai sebagai anti
ENL, tetapi dengan dosis yang lebih tinggi. Dosisnya antara 200-300mg/hari.
Khasiatnya lebih lambat daripada kortikosteroid dan dapat dipakai untuk melepaskan
ketergantungan kortikosteroid1.
3.10 Prognosis
Quo ad vitam adalah ad bonam, karena MH tidak mengancam nyawa
walaupun bersifat kronik dan membutuhkan pengobatan jangka panjang. Quo ad
fungsionam adalah dubia ad bonam karena MH juga tidak mengakibatkan gangguan
28
fungsi organ-organ tubuh pada pasien ini, walaupun dapat menyebabkan deformitas
pada beberapa kasus yang terlambat mendapatkan pengobatan. Quo ad sanationam
pada pasien ini adalah dubia ad bonam karena pasien memiliki pendidikan yang
cukup dan mampu memahami pentingnya pengobatan jangka panjang terhadap
penyakitnya.
BAB IV
PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN
4.1 Pembahasan
Diagnosis kerja pada pasien ini sudah tepat yaitu Morbus Hansen tipe
multibasilar dengan reaksi tipe 2 ringan karena pada pasien ini diketahui melalui
anamnesis, pemeriksaan fisik dan diperkuat dengan pemeriksaan penunjang,
terpenuhi kriteria untuk mendiganosis. Pada pasien ini didapatkan bercak kemerahan
lebih dari 3 lesi, kemudian diikuti pula dengan penurunan sensasi pada kulit. Hal ini
sesuai dengan teori untuk mendiagnosis dari lepra dengan melihat manifestasi klinis
yaitu berupa kelainan syaraf tepi, yang bisa bersifat sensorik, motorik dan autonomi.
Sensorik biasanya berupa hipoestesi ataupun anastesi pada lesi kulit yang terserang.
Motorik berupa kelemahan otot, biasanya didaerah ekstremitas atas, bawah, muka dan
otot mata. Autonomik menyerang persyarafan kelenjar keringat sehingga lesi
terserang tampak lebih kering.
Selain itu kelainan kulit bisa hipopigmentasi ataupun ertitematous dengan
adanya gangguan estesi yang jelas. Bila gejala lanjut dapat timbul gejala-gejala akibat
banyaknya kuman yaitu Facies leonina (gejala infiltrasi yang difus di muka),
Penebalan cuping telinga, Madarosis (penipisan alis mata bagian lateral), anestesi
29
simetris pada kedua tangan-kaki (gloves & stocking anaestesia). Saat pasien dating ke
RSUD Arjawinangun pasien ini telah mendapat obat dari puskesmas, kemudian
pasien menerima terapi di RSUD Arjawinangun seperti regimen MDT, kemudian
metilprednisolon, neurobion yang merupakan vitamin B12, salep betametson, dan
diwajibkan mandi dengan sabun bayi cair 2x sehari. Hal ini sejalan dengan yang di
terapkan pada buku pedoman nasional program pengendalian penyakit kusta berupa
pemberian vitamin B12 untuk memberikan nutrisi pada syaraf karena kuman lepra
umunya menyerang sistem syaraf perifer. Untuk mencegah kekeringan yang terjadi
pada kulit pasien ini diwajibkan untuk mandi dengan sabun bayi cair tidak dengan
sabun warung lainnya, yang mudah menyebabkan kulit semakin kering dan gatal.
Pada kasus ini prognosis quo ad vitam bonam, karena tidak mengancam
nyawa dan kehidupan pasien, prognosis quo ad functionam dubia ad bonam karena
warna kemerahan pada lesi-lesi kulit atau sesudah pengobatan dengan obat kusta.
Reaksi kusta dibagi menjadi 2, yaitu reaksi kusta tipe 1 dan reaksi kusta tipe 2. reaksi
kusta tipe 1 disebabkan karena meningkatnya kekebalan seluler secara cepat, ditandai
dengan lesi kulit yang memerah dan gangguan fungsi syaraf. Sedangkan reaksi tipe 2
merupakan rekasi humoral yang ditandai dengan timbulnya komplikasi pada organ.
Prognosis quo ad sanactionam adalah dubia ad bonam karena ENL dapat kambuh di
kemudian hari walaupun sudah diterapi. Kemungkinan untuk terjadi reinfeksi
kembali akan terjadi jika pengobatan dilakukan tidak teratur dan menghentikan
pengobatan sebelum terjadi eleminasi dari kuman.
4.2 Kesimpulan
Kusta atau lepra atau morbus hansen adalah suatu penyakit infeksi menular
yang disebabkan oleh bakteri M. leprae yang menyerang kulit dan saraf. Reaksi kusta
adalah episode akut pada perjalanan kronis penyakit kusta, salah satu bentuk reaksi
kusta adalah reaksi kusta tipe 1. Tujuan utama pengobatan kusta, yaitu memutuskan
mata rantai penularan untuk menurunkan insiden penyakit, mengobati dan
30
menyembuhkan penderita, serta mencegah timbulnya komplikasi. Kecacatan dapat
timbul apabila penyakit kusta tidak ditangani secara cepat dan tepat.
DAFTAR PUSTAKA
1. Linuwih, Sri., et al. 2018. Kusta. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi
http://emedicine.medscape.com/article/1104977-overview#showall
http://apps.who.int/medicinedocs/en/d/Jh2988e/1.html
31
32