Anda di halaman 1dari 21

TUGAS UJIAN OBSTETRI

EKLAMPSIA
Disusun Sebagai Tugas Kepaniteraan Klinik Senior (KKS)

Pembimbing :
dr. H. Muslich Parangin – Angin , Sp.OG

Disusun Oleh :
Suryani 18360159

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI


KEPANITERAAN KLINIK SENIOR
RUMAH SAKIT HAJI MEDAN
2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT, karena atas
berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan paper ini tepat pada waktunya.

Paper yang berjudul “EKLAMPSIA” ini disusun dalam rangka mengikuti


Kepaniteraan Klinik Senior Ilmu Kebidanan Rumah Sakit Umum Haji Medan.

Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-


besarnya kepada semua pihak yang telah banyak memberikan bimbingan kepada
penulis :

1. dr. H. Muslich Parangin – Angin, Sp.OG yang telah bersedia dan meluangkan
waktunya untuk dapat memberikan bimbingan kepada penulis agar paper ini
dapat terselesaikan dengan baik.

2. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah memberikan
bantuan kepada penulis.

Akhirnya penulis menyadari bahwa dalam penulisan tinjauan kasus ini masih banyak
kekurangan. Oleh itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis
harapkan demi kesempurnaan paper ini.

Semoga paper ini dapat memberikan manfaat dan tambahan pengetahuan


khususnya kepada penulis dan kepada pembaca.

Terima kasih.

Medan , Agustus 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ................................................................................... i

KATA PENGANTAR ................................................................................. ii

DAFTAR ISI ................................................................................................ iii

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Eklampsia.............................................................................. 2

2.1.1 Definisi ...................................................................... 2

2.1.2 Insiden ........................................................................ 3

2.1.3 Etiologi dan Patofisiologi .......................................... 3

2.1.4 Gambaran Klinis......................................................... 7

2.1.5 Tatalaksana ................................................................. 10

2.1.6 Komplikasi ................................................................. 12

BAB III KESIMPULAN............................................................................ 15

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kematian dan kesakitan Ibu masih merupakan masalah

kesehatan yang serius di negara berkembang. World Health Organisation

(WHO) mencatat sekitar delapan juta perempuan per tahun mengalami

komplikasi kehamilan dan sekitar 536.000 meninggal dunia dimana

99% terjadi di negara berkembang.1 Angka kematian ibu akibat

komplikasi kehamilan dan persalinan di negara berkembang adalah 1

dari 11 perempuan dimana angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan di

negara maju yaitu 1 dari 5000 perempuan. Tingginya angka kematian

ibu (AKI) dan bayi (AKB) merupakan masalah kesehatan di Indonesia

dan juga mencerminkan kualitas pelayanan kesehatan selama hamil dan

masa nifas. AKI di Indonesia merupakan salah satu yang tertinggi di

Asia Tenggara, yaitu 228 per 100.000 kelahiran hidup. Walaupun AKI

di Indonesia menurun secara bertahap dari 390 (1997) menjadi 228 per

100.000 kelahiran hidup dalam kurun waktu 10 tahun (1997 –

2007). Namun, angka tersebut masih jauh dari target Milenium

Development Goals (MDGs) untuk menurunkan AKI menjadi 102

per kelahiran hidup pada tahun 2015. Peningkatan jumlah penduduk

dan jumlah kehamilan berisiko turut mempengaruhi sulitnya pencapaian

target MDGs.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Eklampsia

2.1.1 Definisi

Eklampsia merupakan keadaan dimana ditemukan serangan kejang

tiba- tiba yang dapat disusul dengan koma pada wanita hamil,

persalinan atau masa nifas yang menunjukan gejala preeklampsia

sebelumnya. Kejang disini bersifat grand mal dan bukan diakibatkan


5
oleh kelainan neurologis. Istilah eklampsia berasal dari bahasa

Yunani yang berarti halilintar. Kata-kata tersebut dipergunakan karena

seolah-olah gejala eklampsia timbul dengan tiba-tiba tanpa didahului

tanda-tanda lain.9

Eklampsia dibedakan menjadi eklampsia gravidarum

(antepartum), eklampsia partuirentum (intrapartum), dan eklampsia

puerperale (postpartum), berdasarkan saat timbulnya serangan. Eklampsia

banyak terjadi pada trimester terakhir dan semakin meningkat saat

mendekati kelahiran. 5,8 Pada kasus yang jarang, eklampsia terjadi pada

usia kehamilan kurang dari 20 minggu. Sekitar 75% kejang eklampsia

terjadi sebelum melahirkan, 50% saat 48 jam pertama setelah

melahirkan, tetapi kejang juga dapat timbul setelah 6 minggu postpartum.

2
2.1.2 Insiden

Insiden eklampsia bervariasi antara 0,2% - 0,5% dari seluruh

persalinan dan lebih negara maju (0,05%-0,1%).8-9 Insiden yang

bervariasi dipengaruhi antara lain oleh paritas, gravida, obesitas, ras,

etnis, geografi, faktor genetik dan faktor lingkungan yang merupakan

faktor risikonya. Eklampsia termasuk dari tiga besar penyebab

kematian ibu di Indonesia. Menurut laporan KIA Provinsi tahun2011,

jumlah kematian ibu yang dilaporkan sebanyak 5.118 jiwa. Penyebab

kematian ibu terbanyak masih didominasi Perdarahan (32%), disusul

hipertensi dalam kehamilan (25%), infeksi (5%), partus lama (5%) dan

abortus (1%). Penyebab lain –lain (32%) cukup besar, termasuk di

dalamnya penyebab penyakit non obstetrik.26

2.1.3 Etiologi dan Patofisiologi

Penyebab Eklamsia kehamilan masih belum diketahui dengan

pasti. Telah banyak hipotesis yang diajukan untuk mencari etiologi dan

patogenesis dari hipertensi dalam kehamilan namun hingga kini belum

memuaskan sehinggan Zweifel menyebut preeklampsia dan eklampsia

sebagai “the disease of theory”.20 Adapun hipotesis yang diajukan

diantaranya adalah :

1) Genetik

Terdapat suatu kecenderungan bahwa faktor keturunan turut

berperanan dalam patogenesis preeklampsia dan eklampsia. Telah

dilaporkan adanya peningkatan angka kejadian preeklampsia dan

3
eklampsia pada wanita yang dilahirkan oleh ibu yang menderita

preeklampsia preeklampsia dan eklampsia.21 Bukti yang mendukung

berperannya faktor genetik pada kejadian preeklampsia dan

eklampsia adalah peningkatan Human Leukocyte Antigene (HLA)

pada penderita preeklampsia.

2) Iskemia Plasenta

Pada kehamilan normal, proliferasi trofoblas akan menginvasi

desidua dan miometrium dalam dua tahap. Pertama, sel-sel

trofoblas endovaskuler menginvasi arteri spiralis yaitu dengan

mengganti endotel, merusak jaringan elastis pada tunika media

dan jaringan otot polos dinding arteri serta mengganti dinding

arteri dengan material fibrinoid. Proses ini selesai pada akhir

trimester I dan pada masa ini proses tersebut telah sampai

pada deciduomyometrial junction.22

Pada usia kehamilan 14-16 minggu terjadi invasi tahap kedua

dari sel trofoblas di mana sel-sel trofoblas tersebut akan menginvasi

arteri spiralis lebih dalam hingga kedalaman miometrium.

Selanjutnya terjadi proses seperti tahap pertama yaitu penggantian

endotel, perusakan jaringan muskulo-elastis serta perubahan material

fibrionid dinding arteri. Akhir dari proses ini adalah pembuluh

darah yang berdinding tipis, lemas dan berbentuk seperti kantong

yang memungkinkan terjadi dilatasi secara pasif untuk

4
menyesuaikan dengan kebutuhan aliran darah yang meningkat pada

kehamilan.22

Pada preeklampsia, proses plasentasi tersebut tidak berjalan

sebagaimana mestinya disebabkan oleh dua hal, yaitu : (1)

tidak semua arteri spiralis mengalami invasi oleh sel-sel trofoblas;

(2) pada arteri spiralis yang mengalami invasi, terjadi tahap pertama

invasi sel trofoblas secara normal tetapi invasi tahap kedua tidak

berlangsung sehingga bagian arteri spiralis yang berada dalam

miometrium tetapi mempunyai dinding muskulo-elastis yang reaktif

yang berarti masih terdapat resistensi vaskuler. Disamping itu juga

terjadi arterosis akut (lesi seperti atherosklerosis) pada arteri spiralis

yang dapat menyebabkan lumen arteri bertambah kecil atau bahkan

mengalami obliterasi. Hal ini akan menyebabkan penurunan aliran

darah ke plasenta dan berhubungan dengan luasnya daerah infark

pada plasenta. Pada preeklampsia, adanya daerah pada arteri

spiralis yang memiliki resistensi vaskuler disebabkan oleh karena

kegagalan invasi trofoblas ke arteri spiralis pada tahap kedua.

Akibatnya, terjadi gangguan aliran darah di daerah intervilli yang

menyebabkan penurunan perfusi darah ke plasenta.21-22 Hal ini

dapat menimbulkan iskemi dan hipoksia di plasenta yang

berakibat terganggunya pertumbuhan bayi intra uterin (IUGR)

hingga kematian bayi.

5
3) Prostasiklin-tromboksan

Prostasiklin merupakan suatu prostaglandin yang dihasilkan di sel

endotel yang berasal dari asam arakidonat di mana dalam

pembuatannya dikatalisis oleh enzim sikooksigenase. Prostasiklin

akan meningkatkan cAMP intraselular pada sel otot polos dan

trombosit dan memiliki efek vasodilator dan anti agregasi

trombosit. Tromboksan A2 dihasilkan oleh trombosit, berasal dari

asam arakidonat dengan bantuan enzim siklooksigenase. Tromboksan

memiliki efek vasikonstriktor dan agregasi trombosit

prostasiklin dan tromboksan A 2 mempunyai efek yang berlawanan

dalam mekanisme yang mengatur interaksi antara trombosit dan

dinding pembuluh darah.21

4) Imunologis

Beberapa penelitian menyatakan kemungkinan maladaptasi

imunologis sebagai patofisiologi dari preeklampsia. Pada penderita

preeklampsia terjadi penurunan proporsi T-helper dibandingkan

dengan penderita yang normotensi yang dimulai sejak awal

trimester II. Antibodi yang melawan sel endotel ditemukan pada

50% wanita dengan preeklampsia, sedangkan pada kontrol hanya

terdapat 15%.22

Patofisiologi kejang eklamptik belum diketahui secara pasti.

Kejang eklamptik dapat disebabkan oleh hipoksia karena vasokonstriksi

lokal otak, dan fokus perdarahan di korteks otak. Kejang juga sebagai

6
manifestasi tekanan pada pusat motorik di daerah lobus

frontalis. Beberapa mekanisme yang diduga sebagai etiologi kejang

adalah sebagai berikut :Edema serebral, perdarahan serebral, infark

serebral, vasospasme serebral pertukaran ion antara intra dan ekstra

seluler, koagulopati intravaskuler serebral, ensefalopati

hipertensi.

2.1.4 Gambaran Klinis Eklampsia

Seluruh kejang eklampsia didahului dengan preeclampsia.

Preeklampsia dibagi menjadi ringan dan berat. Penyakit digolongkan bila

ada satu atau lebih tanda dibawah ini.

1. Tekanan sistolik 160 mmHg atau lebih, atau tekanan diastolik 110

mmHg atau lebih

2. Proteinuria 5 gr atau lebih dalam24 jam; 3+ atau 4+ pada pemetiksaan

kualitatif

3. Oliguria, diuresis 400 ml atau kurang dalam 24 jam

4. Keluhan serebral, gangguan penglihatan atau nyeri di daerah

epigastrium

5. Edema paru atau sianosis.

Pada umumnya serangan kejang didahului dengan memburuknya

preeklampsia dan terjadinya gejala-gejala nyeri kepala di daerah frontal,

gangguan penglihatan, mual keras, nyeri di daerah epigastrium, dan

hiperrefleksia.9 Menurut Sibai terdapat beberapa perubahan klinis yang

memberikan peringatan gejala sebelum timbulnya kejang, adalah sakit

7
kepala yang berat dan menetap, perubahan mental sementara,

pandangan kabur, fotofobia, iritabilitas, nyeri epigastrik, mual,

muntah. Namun, hanya sekitar 50% penderita yang mengalami gejala

ini. Prosentase gejala sebelum timbulnya kejang eklampsia adaah

sakit kepala yang berat dan menetap (50-70%), gangguan penglihatan

(20-30%), nyeri epigastrium (20%), mual muntah (10-15%),

perubahan mental sementara (5- 10%).Tanpa memandang waktu dari

onset kejang, gerakan kejang biasanya dimulai dari daerah mulut

sebagai bentuk kejang di daerah wajah. Beberapa saat kemuadian seluruh

tubuh menjadi kaku karena kontraksi otot yang menyeluruh, fase ini

dapat berlangsung 10 sampai 15 detik. Pada saat yang bersamaan

rahang akan otot-otot wajah yang lain dan akhirnya seluruh otot

mengalami kontraksi dan relaksasi secara bergantian dalam waktu yang

cepat. Keadaan ini kadang-kadang begitu hebatnya sehingga dapat

mengakibatkan penderita terlempar dari tempat tidurnya, bila tidak

dijaga. Lidah penderita dapat tergigit oleh karena kejang otot-otot rahang.

Fase ini dapat berlangsung sampai satu me nit, kemudian secara

berangsur kontraksi otot menjadi semakin lemah dan jarang dan

pada akhirnya penderita tak bergerak.Setelah kejang diafragma menjadi

kaku dan pernapasan berhenti. Selama beberapa detik penderita

seperti meninggal karena henti napas, namun kemudian penderita

bernapas panjang dan dalam, selanjutnya pernapasan kembali normal.

Apabila tidak ditangani dengan baik, kejang pertama ini akan diikuti

8
dengan kejang-kejang berikutnya yang bervariasi dari kejang yang ringan

sampai kejang yang berkelanjutan yang disebut status epileptikus.

Setelah kejang berhenti, penderita mengalami koma sel ama

beberapa saat. Lamanya koma setelah kejang eklampsia bervariasi.

Apabila kejang yang terjadi jarang, penderita biasanya segera

pulih kesadarannya segera setelah kejang. Namun, pada kasus-kasus

yang berat, keadaan koma belangsung lama, bahkan penderita

dapat mengalami kematian tanpa sempat pulih kesadarannya. Pada

kasus yang jarang, kejang yang terjadi hanya sekali namun dapat

diikuti dengan koma yang lama bahkan kematian. Frekuensi pernapasan

biasanya meningkat setelah kejang eklampsia dan dapat mencapai

50 kali per menit. Hal ini dapat menyebabkan hiperkarbia dampai

asidosis laktat, tergantung derajat hipoksianya. Pada kasus yang

berat ditemukan sianosis. Demam tinggi merupakan keadaan yang

jarang terjadi, apabla hal tersebut terjadi maka penyebabnya adalah

perdarahan pada susunan saraf pusat. Proteinuria hampir selalu

didapatkan, produksi urin berkurang, bahkan kadang – kadang sampai

anuria dan pada umumnya terdapat hemoglobinuria. Setelah persalinan

urin output akan meningkat dan ini merupakan tanda awal

perbaikan kondisi penderita. Proteinuria dan edema menghilang dalam

waktu beberapa hari sampai dua minggu setelah persalinan apabila

keadaan hipertensi menetap setelah persalinan maka hal ini merupakan

akibat penyakit vaskuler kronis.

9
2.1.5 Tatalaksana

Penatalaksanaan eklampsia pada prinsipnya adalah untuk

mencegah dan juga menghentikan kejang secepatnya, mempertahankan

fungsi organ vital, koreksi terhadap terjadinya hipoksia dan

asidosis,mengendalikan tekanan darah dalam batas aman pengakhiran,

dan mencegah ser ta mengatasi penyulit untuk mencapai sta bilisasi

keadaan ibu seoptimal mungkin.

 Pemberian MgSO4

A. ALTERNATIF 1 (Pemberian kombinasi iv dan im) (untuk Faskes

primer, sekunder dan tersier)

Loading dose

• Injeksi 4g iv bolus (MgSO 420%) 20cc selama 5 menit (jika tersedia

MgSO4 40%, berikan 10cc diencerkan dengan 10 cc aquabidest)

• Injeksi 10g im (MgSO4 40%) 25cc pelan, masing – masing pada

bokong kanan dan kiri berikan 5g (12,5cc). Dapat ditambahkan 1mL

Lidokain 2% untuk mengurangi nyeri

Maintenance Dose

Injeksi 5g im (MgSO 4 40%) 12,5cc pelan, pada bokong bergantian

setiap 6 jam

B. ALTERNATIF 2 (Pemberian iv saja) (hanya untuk Faskes

sekunder dan tersier)

10
Initial Dose

• Injeksi 4g iv bolus (MgSO 420%) 20cc selama 5 menit (jika tersedia

MgSO4 40%, berikan 10cc diencerkan dengan 10 cc aquabidest)

Dilanjutkan Syringe pump atau infusion pump

• Lanjutkan dengan pemberian MgSO4 1g/jam, contoh: sisa 15cc atau

6g (MgSO440%) diencerkan dengan 15cc aquabidest dan berikan

selama 6 jam

Atau dilanjutkan Infusion Drip *

• Lanjutkan dengan pemberian MgSO4 1g/jam, contoh: sisa 15cc atau

6g (MgSO440%) diencerkan dengan 500cc kristaloid dan berikan

selama 6 jam (28 tetes / menit)

C. Jika didapatkan kejang ulangan setelah pemberian MgSO 4

Tambahan 2g iv bolus (MgSO420%) 10cc (jika tersedia MgSO4 40%,

berikan 5cc diencerkan dengan 5cc aquabidest) . Berikan selama 2 – 5

menit, dapat diulang 2 kali. Jika masih kejang kembali beri diazepam

* Mudah, namun hanya boleh dilakukan jika dapat memastikan

jalannya tetesan dengan baik

• Syarat pemberian MgSO4: laju nafas > 12x/menit, refleks patela

(+), produksi urin 100cc/4jam sebelum pember ian, tersedianya

Calcium Glukonas 10% 1g (10cc) iv sebagai antidotum.

• Evaluasi syarat pemberian MgSO4 setiap akan memberikan

maintenance dose (im intermitent) pada ALTERNATIF 1 dan setiap

11
jam jika menggunakan ALTERNATIF 2 (syringe pump / infusion

pump, continuous pump)

• MgSO4 diberikan hingga 24 jam setelah persalinan atau kejang

terakhir (jika terjadi kejang postpartum)

 Perawatan pada waktu kejang

Pada penderita yang mengalami kejang tujuan pertama pertolongan

ialah menghentikan kejang dan mencegah terjadinya kejang ulangan.

Penderita dirawat di kamar isolasi cukup terang agar apabila

terjadi sianosis segera dapat diketahui. Hendaknya kepala dan

ekstremitas penderita yang kejang tidak terlalu kuat menghentak-

melepas sudap lidah yang sedang tergigit karena dapat mematahkan

gigi.

 Pengobatan Obstetrik

Sikap terhadap kehamilan ialah semua kehamilan dengan eklampsia

harus diakhiri tanpa memandang umur kehamilan dan keadaan janin.

Persalinan diakhiri bila sudah mencapai stabilitas hemodinamika dan

metabolism ibu. Pada perawatan pasca persalinan, bila persalinan

terjadi pervaginam sebaiknya dilakukan monitoring ttv secara

intensif.

2.1.6 Komplikasi

 Paru

Edema paru adalah tanda prognostik yang buruk yang menyertai

eklampsia. Faktor penyebab atau sumber terjadinya edema adalah : (1)

12
pneumonitis aspirasi setelah inhalasi isi lambung jika terjadi muntah

pada saat kejang; (2) kegagalan fungsi jantung yang mungkin

sebagai akibat hipertensi akibat berat dan pemberian cairan

intravena yang berlebihan

 Otak

Pada preeklampsia, kematian yang tiba-tiba terjadi bersamaan

dengan kejang atau segera setelahnya sebagai akibat perdarahan otak

yang hebat. Hemipelgia terjadi pada perdarahan otak yang sublethal.

Perdarahan otak cenderung terjadi pada wanita usia tua dengan

hipertensi kronik. Yang jarang adalah sebagai akibat pecahnya

aneurisma arteri atau kelainan vasa otak (acute vascular accident,

stroke). Koma atau penurunan kesadaran yang terjadi setelah

kejang, atau menyertai preeklampsia yang tanpa kejang adalah

sebagai akibat edema otak yang luas. Herniasi batang otak juga

dapat menyebabkan kematian. Bila tidak ada perdarahan otak yang

menyebabkan koma dan dengan pemberian terapi suportif yang

tepat sampai penderita kembali sadar umumnya prognosis pada

penderita adalah baik.

 Mata

Kebuataan dapat terjadi setelah kejang atau dapat terjadi spontan

bersama dengan preeklampsia. Ada dua penyebab kebutaan, yaitu :

a. Ablasio retina, yaitu lepasnya retina yang ringan sampai berat.

13
b. Iskemia atau infark pada lobus oksipitalis. Prognosis untuk

kembalinya penglihatan yang normal biasanya baik, apakah itu

yang disebabkan oleh kelainan retina maupun otak, dan akan kebali

normal dalam waktu satu minggu.

 Psikosis

Eklampsia dapat diikuti keadaan psikosis dan mengamuk, tapi

keadaan ini jarang terjadi. Biasanya berlangsung selama beberapa

hari sampai dua minggu, tetapi prognosis untuk kembali normal

umumnya baik, selama tidak ada kelainan mental sebelumnya.

 Sistem hematologi

Plasma darah menurun, viskositas darah meningkat, hemokonsentrasi,

gangguan pembekuan darah, disseminated intravascular coagulation

(DIC), sindroma HELLP.

 Ginjal

Filtrasi glomerulus menurun, aliran plasma ke ginjal meningkat,

klirens assam urat menurun, gagal ginjal akut.

 Hepar

Nekrosis periportal, gangguan sel liver,perdarahan subkapsuler.

 Uterus

Solusio plasenta yang dapat menyebabkan perdarahan pascapartum.

Abrutio plasenta yang dapat menyebabkan DIC.

14
BAB III

KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan

Eklampsia merupakan kasus akut pada penderita

preeclampsia,yang disertai dengan kejang menyeluruh dan koma. Pada

umumnya hanya terjadi dalam waktu 24 jam pertama setelah

persalinan.Umumnya penderita preeclampsia ini member gejala-gejala

atau tanda- tanda yang khas,hal tersebut dianggap sebagai tanda

prodoma sebagi tanda prodoma akan terjadinya kejang. Tanda-tanda itu

disebut sebagai impending eklampsia atau imminent eklapsia.

Kejang pada eklampsia harus dipikirkan kemungkinan kejang

akibat penyakit lain. Oleh karena itu, diagnosis banding eklampsia

menjadi sangat penting,misalnya pendarahan otak,hipertensi,lesi

otak,kelainan metabolic,minimitis,epilepsy iattrogenik.

Eklampsia selalu didahului oleh preeclampsia,perawatan parenatal

untuk kehamilan dengan predisposisi preeclampsia perlu dilakukan agar

dapat dikenal sedini mungkin gejala-gejala prodoma eklampsia. Kejang-

kejang dimulai dengan kejang tonik, kejang tonik ini segera disusul

dengan kejang kronik. Kemudian disusul dengan kontraksi. Pada waktu

timbul kejang,diafragma terfiksir,sehingga pernafasan tertahan,kejang

kronik berlangsung kurang lebih 1 menit. Setelah itu berangsur-angsur

kejang melemah kemudian penderita diam dan tidak bergerak. Koma

yang terjadi setelah kejang,berlangsung bervariasi dan jika tidak

15
segera diberi obat-obat antikejang akan segera disusul dengan kejang

berikutnya. Penderita yang sadar kembali dari koma umumnya

mengalami disorientasi dan sedikit gelisah.

16
DAFTAR PUSTAKA

1. World Health Organization (WHO). Maternal Mortality in 2005. Geneva :


Departement of Reproductive Health and Research WHO; 2007.

2. World Health Organization (WHO). Dibalik angka – Pengkajian kematian


maternal dan komplikasi untuk mendapatkan kehamilan yang lebih aman.
Jakarta : W HO; 2007.

3. Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional. Report on the


achievement of millenium development goals Indonesia. Jakarta :
Bappenas; 2010:67.

4. Dinkes Kota Semarang. Profil kesehatan Kota Semarang 2011. Semarang :


Dinas Kesehatan Semarang ;2011.

5. Cunningham FG, Leveno KJ, Gant NF, Alexander GM, Bloom S L, Cassey
BM, et al. Williams manual of obstetrics. New York : McGRAW-HILL;
2003.

6. Manuaba IBG, Manuaba IAC, Manuaba IBGF. Hipertensi dalam


kehamilan. In : Astuti NZ, Purba Dl, Handayani S, Damayanti R, editors.
Pengantar kuliah obstetri. J akarta : Penerbit Buku Kedokteran ECG; 2003.

7. Sinaga Y, Wibowo B. Hubungan faktor risiko ibu hamil dan cara


persalinan pada penderita preeklampsia eklampsia dengan hasil keluaran
bayi. Semarang : Bagian Obstetri dan Gienkologi FK UNDIP Semarang;
2003.

8. Cunningham FG, Lenevo KJ, Gant NF, Gilstrap LC, Hauth JC, Wenstrom
KD. Hypertensive disorder in pregnancy. In : Rouse D,Rainey B, Song C,
George D, Wendel J, editors. Williams obstetrics 22 nd New York :
McGRAW-HILL; 2005.

9. Winkjosastro H, Ssaifuddin AB, Rachimhadhi T, editors. Preeklampsia


dan eklampsia. In : Ilmu kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo; 2007.

10. Benson RC, Pernoll ML.Hypertensive disorder during pregnancy. In :


Handbook of obstetrics and gynecology 9 th ed. New York : McGRAW-
HILL Inc; 1994.

11. Anggorowati D, Hadisaputro H. Kejadian preeklampsia/eklampsia di


RSUP Dr. Kariadi Semarang tahun 1997-1999. Kumpulan makalah/kuliah
utama. KOGI X Denpasar: POGI cabang Semarang; 2000.
12. Junaedi A, Soejoenoes A. Kematian maternal di RSUP Dr. Kariadi
Semarang tahun 1991-1995. Naskah lengkap POGI cabang Semarang. PIT
POGI Padang ;1996.

13. Wahdi, Suhartono A, Praptohardjo U. Kematian maternal di RSUP Dr.


Kariadi Semarang tahun 1996 – 1998. Majalah Obstetri dan Ginekologi
Indonesia. Jakarta : POGI; 2000.

14. Sibai BM, Fairlie FM. Hypertensive disorder in pregnancy. In : High Risk
Pregnancy. London : W.B Saunders Company. 1996

15. Dhananjay BS. A study factor affecting perinatal mortality in


eclampsia.PBS. 2009

16. Yaliwal RG, Jaju PB, Vanishree M. Eklampsia and perinatal outcome – a
retrospektive study in a teaching hospital. Journal of clinical and
diagnostic research. 2011

17. DeCherney AH, Nathan L. Hypertensive states of pregnancy. In : Current


obstetric and gynecologic diagnosis and treatment 9 th ed. New York :
McGRAW-HILL Inc; 2003.

18. National Hearth Lung and Blood Institute. National high blood pressure
education program : working group report on high pressure in pregnancy.
Bethesda : National He arth Lung and Blood Institute (NHLBI); 2000.

19. Gallinelli, Gennazeni AD, Matteo ML, Caruso A, Woodruff. Episodic


secretion of activin A in pregnant women. Euro J Endocrinol 1996

20. Brinkman C. Kelainan kehamilan hipertensif. Esensial Obstetri dan


Ginekologi Edisi 2. Jakarta : Hipokrates; 2001

Anda mungkin juga menyukai