Anda di halaman 1dari 29

Laporan Kasus

SEORANG BAYI DENGAN ASFIKSIA BERAT

Oleh:

Raissa Almira

2111901036

Pembimbing

dr. Hj. Rahayu Suharmadji, Sp.A

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR ILMU KESEHATAN ANAK RSUD


BANGKINANG PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER UNIVERSITAS
ABDURRAB PEKANBARU 2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas karunia, rahmat kesehatan, dan
keselamatan kepada penulis sehingga mampu menyelesaikan laporan kasus ini yang berjudul
“Asfiksia Neonatorum” yang diajukan sebagai persyaratan untuk mengikuti kepaniteraan
klinik senior Ilmu Kesehatan Anak program studi Kedokteran Universitas Abdurrab.
Terima kasih penulis ucapkan kepada dokter pembimbing dr. Hj. Rahayu Suharmadji,
Sp.A yang telah bersedia membimbing penulis, sehingga laporan kasus ini dapat selesai pada
waktunya.
Penulis menyadari bahwa penyusunan laporan kasus ini masih memiliki kekurangan
dan jauh dari kesempurnaan, oleh sebab itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun untuk menyempurnakan laporan kasus ini. Akhir kata, penulis berharap agar
laporan kasus ini dapat memberi manfaat kepada semua orang. Atas perhatian dan sarannya
penulis ucapkan terima kasih.

Bangkinang, 28 Oktober 2021

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR 2
DAFTAR ISI 3
BAB I.............................................................................................................4
PENDAHULUAN..........................................................................................4
1.1 Latar Belakang...........................................................................4
BAB II: TINJAUAN PUSTAKA 5
2.1 Asfiksia Neonatorum.................................................................5
2.1.1 Definisi............................................................................5
2.1.2 Epidemiologi....................................................................5
2.1.3 Etiologi dan Faktor Risiko...............................................5
2.1.4 Patofisiologi.....................................................................6
2.1.5 Klasifikasi .......................................................................7
2.1.6 Diagnosis ........................................................................8
2.1.7 Penatalaksanaan...............................................................10
2.1.8 Komplikasi.......................................................................14
2.1.9 Prognosis..........................................................................16
2.2 Berat Badan Lahir (BBL)........................................................17
2.1.1 Definisi............................................................................17
2.1.2 Klasifikasi .......................................................................18
BAB III : STATUS PASIEN..........................................................................19
BAB IV : DISKUSI KASUS..........................................................................25
BAB V : KESIMPULAN..............................................................................27
BAB VI : DAFTAR PUSTAKA 28
BAB VII: LAMPIRAN..................................................................................29

3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kematian neonatus masih menjadi masalah global yang penting. Setiap tahun diperkirakan
4 juta bayi meninggal dalam 4 minggu pertama dengan 85% kematian terjadi dalam 7 hari
pertama kehidupan. Terkait masalah ini, World Health Organization (WHO) menetapkan
penurunan angka kematian bayi baru lahir dan anak di bawah usia 5 tahun (balita), sebagai
salah satu sasaran Sustainable Development goals. Target untuk menurunkan angka kematian
hingga sebesar 12 kematian bayi per 1000 kelahiran hidup dan kematian dibawah 5 tahun
hingga setidaknya 25/1000 kelahiran hidup diharapkan dapat tercapai pada tahun 2030 .
Namun, angka kematian bayi berdasarkan Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI)
2012 masih cukup tinggi dibandingkankan target tersebut, yaitu 34 per 1000 kelahiran hidup.
WHO melaporkan komplikasi intrapartum, termasuk asfiksia, sebagai penyebab tertinggi
kedua kematian neonatus (23,9%) setelah prematuritas dan berkontribusi sebagai 11%
penyebab kematian balita di seluruh dunia. Di Asia Tenggara, asfiksia merupakan penyebab
kematian tertinggi ketiga (23%) setelah infeksi neonatal (36%) dan prematuritas / bayi berat
lahir rendah (BBLR) (27%).
Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 2001 di Indonesia turut melaporkan asfiksia
sebagai 27% penyebab kematian bayi baru lahir. Selain itu, asfiksia juga berkaitan dengan
morbiditas jangka panjang berupa palsi serebral, retardasi mental, dan gangguan belajar pada
kurang lebih 1 juta bayi yang bertahan hidup. Berbagai morbiditas ini berkaitan dengan
gangguan tumbuh kembang dan kualitas hidup yang buruk di kemudian hari.
Asfiksia pada neonatus terjadi akibat gangguan pertukaran oksigen dan karbondioksida
yang tidak segera diatasi, sehingga menimbulkan penurunan PaO2 darah (hipoksemia),
peningkatan PaCO2 darah (hiperkarbia), asidosis, dan berlanjut pada disfungsi multiorgan.
Kondisi ini dapat dicegah dengan mengetahui faktor risiko ibu dan bayi dalam kehamilan.
Apabila asfiksia perinatal tidak dapat dihindari, tata laksana dengan teknik resusitasi yang
optimal sangat diperlukan. Dalam hal ini, semua petugas kesehatan yang berperan diharapkan
dapat melakukan resusitasi neonatus secara terampil dengan menggunakan peralatan yang
memadai sehingga menurunkan risiko morbiditas dan mortalitas terkait asfiksia.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Asfiksia Neonatorum
2.1.1 Definisi
 Asfiksia adalah suatu kondisi yang terjadi ketika terjadi gangguan pertukaran
gas darah, yang mengakibatkan hipoksemia (kekurangan oksigen) dan
hiperkapnia (penumpukan karbon dioksida). Kombinasi penurunan suplai
oksigen (hipoksia) dan suplai darah (iskemia) menghasilkan serangkaian
perubahan biokimia di dalam tubuh, yang menyebabkan kematian sel saraf dan
kerusakan otak. Asfiksia terus menerus juga akan menyebabkan disfungsi
sistem organ multipel.4
 Asfiksia neonatorum adalah kegagalan bernafas secara spontan, tidak teratur
dan tidak adekuat segera setelah lahir. Keadaan ini disertai hipoksia,
hiperkapnia dan berakhir dengan asidosis. Bila proses ini berlangsung terlalu
jauh dapat mengakibatkan kerusakan otak atau kematian. Asfiksia juga dapat
mempengaruhi organ vital lainnya.4
 Menurut WHO Asfiksia neonatorum adalah kegagalan bernapas secara spontan
dan teratur segera setelah lahir.1

2.1.2 Epidemiologi
Angka kejadian asfiksia pada masing-masing negara sangat beragam. WHO melaporkan
insidens asfiksia bervariasi antara 2 - 27 per 1000 kelahiran, tergantung pada lokasi, periode,
dan kriteria definisi asfiksia yang digunakan. Asfiksia dilaporkan terjadi pada 1 - 4 per 1000
kelahiran hidup di negara maju dan 4 - 9 per 1000 kelahiran hidup di negara berkembang.
Keadaan ini diperkirakan menyebabkan 21% kematian bayi, terutama di negara berkembang.1

2.1.3 Etiologi dan Faktor Risiko


Asfiksia dapat terjadi selama kehamilan, pada proses persalinan, atau sesaat segera
setelah lahir. Beberapa faktor risiko yang diperkirakan meningkatkan risiko asfiksia meliputi
faktor ibu (antepartum atau intrapartum) dan faktor janin (antenatal atau pascanatal). Faktor
risiko ini perlu dikenali untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap terjadinya asfiksia.1
 Faktor ibu

5
Antepartum sosioekonomi rendah, primipira, kehamilan ganda, infeksi saat
kehamilan, hipertensi dalam kehamilan, anemia, diabetes melitus, perdarahan
antepartum, riwayat kematian bayi sebelumnya.
Intrapartum penggunaan anestesi atau opiat, partus lama, persalinan sulit dan
traumatik, mekonium dalam ketuban, ketuban pecah dini, induksi oksitosin,
kompresi tali pusat, prolaps tali pusat,trauma lahir.1
 Faktor janin
Antenatal (intrauterin) malpresentasi (misal sungsang, distosia bahu),
prematuritas, bayi berat lahir rendah (BBLR), pertumbuhan janin terhambat,
anomali kongenital, pneumonia intrauterin, aspirasi mekonium yang berat.1
Pascanatal sumbatan jalan napas atas dan sepsis kongenital

2.1.4 Patofisiologi
Asfiksia neonatorum dimulai saat bayi kekurangan oksigen akibat gangguan aliran
oksigen dari plasenta ke janin saat kehamilan, persalinan, ataupun segera setelah lahir karena
kegagalan adaptasi di masa transisi. Saat keadaan hipoksia akut, darah cenderung mengalir ke
organ vital seperti batang otak dan jantung, dibandingkan ke serebrum, pleksus koroid,
substansia alba, kelenjar adrenal, kulit, jaringan muskuloskeletal, organ-organ rongga toraks
dan abdomen lainnya seperti paru, hati, ginjal, dan traktus gastrointestinal. Perubahan dan
redistribusi aliran darah tersebut disebabkan oleh penurunan resistensi vaskular pembuluh
darah otak dan jantung serta peningkatan resistensi vaskular perifer. Keadaan ini ditunjang
hasil pemeriksaan ultrasonografi Doppler yang menunjukkan kaitan erat antara peningkatan
endotelin-1 (ET-1) saat hipoksia dengan penurunan kecepatan aliran darah dan peningkatan
resistensi arteri ginjal dan mesenterika superior. Hipoksia yang tidak mengalami perbaikan
akan berlanjut ke kondisi hipoksik-iskemik pada organ vital. Proses hipoksik-iskemik otak
dibagi menjadi fase primer (primary energy failure) dan sekunder (secondary energy failure).1
Pada fase primer, kadar oksigen rendah memicu proses glikolisis anaerob yang
menghasilkan produk seperti asam laktat dan piruvat, menimbulkan penurunan pH darah
(asidosis metabolik). Hal ini menyebabkan penurunan ATP sehingga terjadi akumulasi
natrium-kalium intrasel dan pelepasan neurotrasmiter eksitatorik akibat gangguan sistem
pompa Na-K-ATP-ase dan glial-ATP-ase. Akumulasi natrium intrasel berkembang menjadi
edema sitotoksik yang memperburuk distribusi oksigen dan glukosa, sedangkan interaksi
glutamat dengan reseptor mengakumulasi kalsium intrasel, mengaktivasi fosfolipase, nitrit

6
oksida (NO), dan enzim degradatif hingga berakhir dengan kematian sel. Fase primer ini
berakhir dengan kematian neuron primer atau resolusi fungsi otak (periode laten).1
Reperfusi yang terjadi setelah fase primer akan mengembalikan sebagian fungsi
metabolisme, namun apabila cedera otak pada fase primer cukup berat, kerusakan neuron
akan kembali tejadi setelah 6 – 48 jam (fase sekunder). Fase sekunder ditandai dengan
penurunan ATP, aktivasi kaskade neurotoksik, dan pelepasan radikal bebas tanpa disertai
asidosis akibat disfungsi mitokondria. Selain itu, cedera hipoksik-iskemik otak juga memicu
produksi sitokin proinflamasi yang semakin memperburuk cedera jaringan. Keseluruhan
proses ini memicu terjadinya apoptosis sel (secondary energy failure).1
Beberapa studi memperlihatkan bahwa sel otak akan mengalami fase regenerasi
setelah fase sekunder berakhir. Namun pada sebagian bayi yang mengalami ensefalopati
hipoksik-iskemik (EHI), proses berupa gangguan neurogenesis, sinaptogenesis serta gangguan
perkembangan akson diikuti peningkatan inflamasi dan apoptosis tetap berlangsung.
Mekanisme yang belum diketahui dengan sempurna ini memberikan gambaran bahwa
kerusakan sel otak masih dapat berlanjut hingga beberapa waktu ke depan dan memengaruhi
luaran bayi EHI secara signifikan.

2.1.5 Klasifikasi
Klasifikasi asfiksia neonatorum dibagi berdasarkan tingkat keparahan asfiksia yang
dinilai berdasarkan APGAR Score.3 APGAR Score merupakan sebuah metode objektif untuk
menilai kondisi bayi baru lahir dan mudah diterapkan pada berbagai kondisi fasilitas
kesehatan, Penilaian ini menentukan respons bayi baru lahir Ketika melewati periode transisi
pada beberapa menit awal kehidupan. APGAR Score ditentukan pada menit ke-1 dan 5 serta
dilanjutkan setiap 5 menit sampai APGAR Score mencapai 7.5

Tanda 0 1 2
Warna kulit Biru/pucat Tubuh Tubuh dan
(Appearance) kemerahan, ekstremitas
ekstremitas kemerahan
biru
Frekuensi jantung Tidak ada <100x/menit >100x/menit
(Pulse)
7
Refleks Tidak ada Gerakan menangis
(Grimace) sedikit
Tonus Otot Lumpuh Ekstremitas Gerakan aktif
(Activity) fleksi sedikit
Usaha Nafas Tidak ada Lambat Menangis
(Respiration) kuat

Neonatus yang beradaptasi dengan baik mempunyai APGAR Score antara 7 sampai 10.
Nilai 4 sampai 6 menunjukkan keadaan asfiksia ringan sampai sedang, sedangkan nilai 0
sampai3 menunjukkan derajat asfiksia yang berat.3

2.1.6 Diagnosis
 Anamnesis
Anamnesis diarahkan untuk mencari faktor risiko terjadinya asfiksia.
 Pemeriksaan Fisik
a. Bayi tidak bernafas atau menangis.
b. Denyut jantung kurang dari 100x/menit.
c. Tonus otot menurun.
d. Bisa didapatkan cairan ketuban ibu bercampur mekonium atau sisa
mekonium pada tubuh bayi.
e. BBLR.
 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium beupa analisis gas darah tali pusat
menunjukkan hasil asidosis pada darah tali pusat:
a. PaO2 < 50 mm H2O
b. pH < 7,30

Bila bayi sudah tidak membutuhkan bantuan resusitasi aktif, pemeriksaan penunjang
diarahkan pada kecurigaan atas komplikasi, berupa :

 Darah perifer lengkap


 Analisis gas darah sesudah lahir
 Gula darah sewaktu
 Elektrolit darah (Kalsium, Natrium, Kalium)

8
 Ureum kreatinin
 Laktat
 Rontgen dada
 Ronsen abdomen tiga posisi
 Pemeriksaan USG kepala
 Pemeriksaan EEG dan CT Scan kepala. 2

A. ACOG (American College Obstetry and Gynecology) dan AAP (American Academy
of Pediatrics) menyusun suatu kriteria penegakan diagnosis asfiksia neonatorum,
sebagai berikut :
1) Bukti asidosis metabolik atau campuran (pH <7,0) pada pemeriksaan darah
tali pusat;
2) APGAR Score 0 - 3 pada menit ke-5
3) Manifestasi neurologis, seperti kejang, hipotonia atau koma (ensefalopati
neonatus); dan
4) Disfungsi multiorgan, seperti gangguan kardiovaskular, gastrointestinal,
hematologi, respirasi, atau renal
Diagnosis asfiksia neonatorum dapat ditegakkan apabila minimal 1 dari 4
kriteria ditemukan pada bayi, namun hal ini sulit dipenuhi pada kondisi berbasis
komunitas dan fasilitas terbatas.1

B. WHO dalam ICD-10 menganggap bayi mengalami asfiksia berat apabila APGAR
Score 0 - 3 pada menit pertama yang ditandai dengan:
1) Laju denyut jantung (LDJ) menurun atau menetap (<100kali/menit) saat
lahir,
2) Tidak bernapas atau megap-megap, dan
3) Warna kulit pucat, serta tidak ada tonus otot.

2.1.7 Penatalaksanaan
Tujuan utama mengatasi asfiksia adalah mempertahankan kelangsungan hidup bayi dan
membatasi gejala sisa yang mungkin timbul dikemudian hari. Tindakan yang dilakukan
berupa resusitasi bayi baru lahir. Penilaian awal dilakukan pada setiap bayi baru lahir untuk
menentukan apakah tindakan resusitasi harus segera dimulai.

9
Untuk beberapa bayi kebutuhan akan resusitasi dapat diantisipasi dengan melihat
faktor risiko, antara lain : bayi yang dilahirkan dari ibu yang pernah mengalami kematian
janin atau neonatal, ibu dengan penyakit kronik, kehamilan multipara, kelainan letak, pre-
eklampsia, persalinan lama, prolaps tali pusat, kelahiran prematur, ketuban pecah dini, cairan
amnion tidak bening.1

10
Gambar 1. Alur Resusitasi Neonatus
11
A. Langkah awal
Pada saat bayi lahir harus dilakukan penilaian untuk menjawab pertanyaan diatas
(Gambar). Jika semua pertanyaan dijawab YA, cukup dilakukan perawatan rutin,
tetapi jika pada penilaian didapatkan satu jawaban TIDAK, maka dilakukan
LANGKAH AWAL resusitasi, meliputi:
 Berikan kehangatan dengan menempatkan bayi di bawah pemancar panas.
 Posisikan kepala bayi sedikit tengadah agar jalan napas terbuka, kemudian
jika perlu bersihkan jalan napas dengan melakukan pengisapan pada mulut
hingga orofaring kemudian hidung.
 Keringkan bayi dan rangsang taktil, kemudian reposisi kepala agar
sedikittengadah. Langkah awal diselesaikan dalam waktu ≤ 30 detik.
Jika ketuban tercampur mekonium, diperlukan tindakan tambahan
dalam membersihkan jalan napas. Setelah seluruh tubuh bayi lahir, lakukan
penilaian apakah bayi bugar atau tidak bugar. Tidak bugar ditandai dengan
depresi pernapasan dan atau tonus otot kurang baik dan atau frekuensi jantung
< 100 kali /menit. Jika bayi bugar, tindakan bersihkan jalan napas sama seperti
di atas, tetapi jika bayi tidak bugar lakukan pengisapan dari mulut dan trakea
terlebih dahulu, kemudian lengkapi dengan LANGKAH AWAL.1
B. Ventilasi Tekanan Positif (VTP)
VTP dilakukan apabila pada penilaian pasca langkah awal didapatkan salah satu
keadaan berikut:
a. Apnu
b. Frekuensi jantung < 100 kali/menit
c. Tetap sianosis sentral walaupun telah diberikan oksigen aliran bebas.
 Sebelum VTP diberikan pastikan posisi kepala dalam keadaan setengah
tengadah.
 Pilihlah ukuran sungkup. Ukuran 1 untuk bayi berat normal, ukuran 0 untuk
bayi berat lahir rendah (BBLR).
 Sungkup harus menutupi hidung dan mulut, tidak menekan mata dan tidak
menggantung di dagu .
 Tekan sungkup dengan jari tangan. Jika terdengar udara keluar dari sungkup,
perbaiki perlekatan sungkup. Kebocoran yang paling umum adalah antara
hidung dan pipi.

12
 VTP menggunakan balon sungkup diberikan selama 30 detik dengan kecepatan
40- 60 kali/menit atau 0-30 kali/30 detik. Pastikanlah bahwa dada bergerak
naik turun tidak terlalu tinggi secara simetris.
 Lakukan penilaian setelah VTP 30 detik.
C. VTP+Kompresi dada
Apabila setelah tindakan VTP selama 30 detik, frekuensi jantung < 60 detik maka
lakukan kompresi dada yang terkoordinasi dengan ventilasi selama 30 detik
dengan kecepatan 3 kompresi : 1 ventilasi selama 2 detik. Kompresi dada
dilakukan dengan meletakkan jari pada sepertiga bawah sternum, di bawah garis
imajiner yang menghubungkan kedua puting, dengan kedalaman sepertiga
diameter anteroposterior dada. Teknik yang dapat digunakan adalah teknik dua ibu
jari (two thumb-encircling hands technique) dengan jari-jari tangan lain melingkari
dada dan menyanggah tulang belakang. Teknik dua ibu jari lebih dianjurkan
karena teknik ini dapat memberikan tekanan puncak sistolik dan perfusi koroner
yang lebih baik pada bayi baru lahir.1
D. Intubasi
Intubasi Endotrakea dilakukan pada keadaan berikut:
1. Ketuban tercampur mekonium & bayi tidak bugar
2. Jika VTP dengan balon & sungkup tidak efektif
3. Membantu koordinasi VTP & kompresi dada
4. Pemberian epinefrin untuk stimulasi jantung
5. Indikasi lain: sangat prematur & hernia diafragmatika.
E. Obat-obatan
Obat-obatan yang harus disediakan untuk resusitasi bayi baru lahir adalah
epinefrin dan cairan penambah volume plasma.
Epinefrin
 Indikasi : Setelah pemberian VTP selama 30 detik dan pemberian secara
terkoordinasi VTP + kompresi dada selama 30 detik, frekuensi jantung tetap <
60 kali/menit.
 Cara pemberian & dosis :
 Persiapan: 1 mL cairan 1:10000 (semprit yang lebih besar diperlukan
untuk pemberian melalui pipa endotrakea)
 Melalui vena umbilikalis (dianjurkan) : 0.1-0.3 mL/kgBB
 Melalui pipa endotrakea : 0.3-1.0 mL/kgBB
13
 Kecepatan pemberian: secepat mungkin
Cairan penambah volume plasma
 Indikasi : Apabila bayi pucat, terbukti ada kehilangan darah dan atau bayi tidak
memberikan respons yang memuaskan terhadap resusitasi.
 Cairan yang dipakai :
• Garam normal (dianjurkan)
• Ringer laktat
• Darah O – negatif
Persiapan : dalam semprit besar (50 mL)
Dosis : 10 mL/kgBB
Jalur : vena umbilikalis
Kecepatan : 5-10 menit (hati-hati bayi kurang bulan)
F. Penghentian resusitasi
 Jika sesudah 10 menit resusitasi yang benar, bayi tidak bernapas dan tidak ada
denyut jantung, pertimbangkan untuk menghentikan resusitasi.
 Orang tua perlu dilibatkan dalam pengambilan keputusan, jelaskan keadaan
bayi.
 Persilakan ibu memegang bayinya jika ia menginginkan.1
2.1.8 Komplikasi
Asfiksia menyebabkan gangguan sistemik ke berbagai organ tubuh. 62% gangguan
terjadi pada sistem saraf pusat, 16% kelainan sistemik tanpa gangguan neurologik dan sekitar
20% kasus tidak memperlihatkan kelainan. Gangguan fungsi susunan saraf pusat akibat
asfiksia hampir selalu disertai dengan gangguan fungsi beberapa organ lain (multiple organ
failure). Gangguan sistemik secara berurutan dari yang terbanyak, yaitu melibatkan sistem
hepatik, respirasi, ginjal, kardiovaskular. Kelainan susunan saraf pusat tanpa disertai
gangguan fungsi organ lain umumnya tidak disebabkan oleh asfiksia perinatal. Berikut ini
penjelasan mengenai komplikasi asfiksia pada masing-masing organ.1

a. Susunan sistem saraf pusat


Gangguan akibat hipoksia otak pada masa perinatal yang paling sering ditemukan
adalah EHI. Kerusakan otak akibat EHI merupakan proses yang dimulai sejak terjadi
hipoksia dan dapat berlanjut selama hingga setelah periode resusitasi. Kerusakan ini
diawali dengan kegagalan pembentukan energi akibat hipoksia dan iskemia, yang
diperberat dengan terbentuknya radikal bebas pada tahap lanjut. Cedera otak akibat EHI

14
ini menimbulkan area infark pada otak yang dikelilingi oleh area penumbra. Area
penumbra dapat mengalami nekrosis atau apoptosis neuron yang berlanjut setelah
hipoksia berakhir. Tata laksana suportif dalam periode 48 jam pertama pasca-asfiksia
dapat mengurangi kerusakan neuron di area penumbra ini.

b. Sistem respirasi
Penelitian melaporkan sekitar 26% bayi asfiksia mengalami gangguan sistem
pernapasan. Kelainan sistem pernapasan yang dapat ditemukan antara lain peningkatan
persisten tekanan pembuluh darah paru (persistent pulmonary hypertension of the
newborn / PPHN), perdarahan paru, edema paru akibat disfungsi jantung, sindrom gawat
napas (respiratory distress syndrome / RDS) sekunder akibat kegagalan produksi
surfaktan, serta aspirasi mekonium.

c. Sistem kardiovaskular
Diperkirakan 29% bayi asfiksia mengalami gangguan sistem kardiovaskular, yang
meliputi transient myocardial ischaemia (TMI), transient mitral regurgitation (TMR),
transient tricuspid regurgitation (TTR), persistent pulmonary hypertension of the newborn
(PPHN).
Bayi dianggap mengalami disfungsi sistem kardiovaskular terkait asfiksia apabila
terdapat ketergantungan terhadap obat inotropik untuk mengatasi hipotensi dan
mempertahankan tekanan darah normal selama lebih dari 24 jam atau ditemukan
gambaran TMI pada pemeriksaan elektrokardiografi.

d. Sistem urogenital
Salah satu gangguan ginjal yang disebabkan oleh hipoksia berat adalah hypoxic-
ischemic acute tubular necrosis. Bayi dapat dinyatakan mengalami gagal ginjal bila
memenuhi 3 dari 4 kriteria sebagai berikut : pengeluaran urin 40 mg/dL, kadar kreatinin
serum >1 mg/dL, serta hematuria atau proteinuria signifikan dalam 3 hari pertama
kehidupan.

e. Sistem gastrointestinal
Keterlibatan sistem gastrointestinal pada bayi asfiksia mencapai 29% kasus. Hipoksia
berakibat pada pengalihan aliran darah dari usus yang meningkatkan risiko enterokolitis
nekrotikan / EKN. Selain itu, hipoksia dapat menyebabkan gangguan fungsi hati. Kriteria

15
disfungsi sistem hepatik antara lain nilai aspartat aminotransferase >100 IU/l atau alanin
transferase >100 IU/l pada minggu pertama setelah kelahiran.

f. Sistem audivisual
Retinopati pada neonatus tidak hanya terjadi akibat toksisitas oksigen, tetapi dapat
pula ditemukan pada beberapa penderita yang mengalami hipoksemia menetap.
Autoregulasi aliran darah serebral pada hipoksia, selain menyebabkan peningkatan
tekanan intrakranial, juga meningkatkan tekanan aliran balik vena.
Selain itu, hipoksia dapat menyebabkan pembuluh darah menjadi rapuh sehingga
meningkatkan risiko terjadi perdarahan. Penelitian melaporkan insidens perdarahan retina
pada bayi cukup bulan dengan asfiksia neonatal dan / atau EHI lebih tinggi (29,3%)
dibandingkankan bayi cukup bulan tanpa asfiksia dan / atau EHI (15,7%).
Leukomalasia periventrikular merupakan tahap akhir cedera pada EHI, yang terjadi
pada sekitar 32% bayi prematur pada usia gestasi 24-34 minggu. Keadaan ini dapat
menyebabkan penurunan ketajaman visus, penyempitan lapangan pandang bagian inferior,
gangguan visual kognitif, gangguan pergerakan bola mata, dan diplegia spastik. Suatu
studi retrospektif mencatat 24% bayi memperlihatkan gambaran diskus optikus (optic
disc) yang normal, 50% bayi mengalami hipoplasia saraf optik dengan beberapa derajat
atrofi, dan 26% bayi dengan atrofi optik terisolasi (isolated optic atrophy).
Insidens gangguan pendengaran pada bayi prematur dengan asfiksia mencapai 25%.
Kelainan pendengaran ini disebabkan oleh kerusakan nukleus koklearis dan jaras
pendengaran. Suatu studi melaporkan kelainan brainstem auditory evoked responses
(BAER) pada 40,5% bayi pascaasfiksia yang mengalami gangguan perkembangan otak
dan 12,2% bayi tanpa gangguan perkembangan otak.1

2.1.9 Prognosis
Tergantung pada komplikasi yang terjadi (metabolik atau cardiopulmonal), usia
kehamilan (prognosis akan buruk jika preterm), tingkat keparahan ensefalopati hipoksik
iskemik, APGAR score rendah pada menit ke-20, tidak terdapat respirasi spontan setelah usia
20 menit, dan menetapnya tanda – tanda kelainan neurologis pada usia 2 minggu dapat
menyebabkn kematian atau defisit kognitif dan motorik yang berat.

16
2.2 Berat Badan Lahir (BBL)
2.1.1 Definisi
Berat badan lahir (BBL) adalah berat bayi yang ditimbang dalam waktu 1 jam pertama
setelah lahir. Pengukuran ini dilakukan di tempat fasilitas (Rumah Sakit, Puskesmas, dan
Polindes), sedangkan bayi yang lahir dirumah waktu pengukuran berat badan dapat dilakukan
dalam waktu 24 jam.6
Berat badan merupakan salah satu indikator kesehatan bayi baru lahir. Rerata berat bayi
normal (usia gestasi 37 minggu s.d 41 minggu) adalah 3200gram. Penentuan umur kehamilan
bisa dimulai antenatal sampai setelah persalinan. Grafik pertumbuhan terhadap usia
kehamilan digunakan untuk menentukan apakah berat badan bayi lahir sesuai untuk usia
kehamilan atau tidak. Menurut WHO adalah bayi yang lahir sebelum usia gestasi 37 minggu
disebut sebagai bayi yang prematur.6

Berdasarkan usia gestasi, bayi dikelompokan sebagai berikut6,7:


 Neonatus Kurang Bulan (NKB): Bayi dilahirkan dengan masa gestasi <37 minggu.
 Neonatus Cukup Bulan (NCB): Bayi dilahirkan dengan masa gestasi antara 37-42
minggu.
 Neonatus Lebih Bulan (NLB): Bayi dilahirkan dengan masa gestasi >42 minggu.
 Amat sangat prematur (extremely preterm): Jika lahir pada usia gestasi <28 minggu.
 Sangat premature (very preterm): Jika lahir pada usia gestasi 28 minggu sampai 28
minggu sampai <32minggu.
 Moderate to late preterm: Jika lahir pada usia gestasi 32 minggu sampai <37 minggu.

Masalah lebih sering dijumpai pada Neonatus Kurang Bulan (NKB) dan BBLR
dibandingkan dengan Neonatus Cukup Bulan (NCB) dan Bayi Berat Lahir Normal. Berikut
masalah yang sering dijumpai6 :
a. Ketidakstabilan suhu
b. Kesulitan pernapasan
c. Kelainan gastrointestinal dan nutrisi
d. Imaturitas hati
e. Imaturitas ginjal
f. Imaturitas imunologis
g. Kelainan neurologis
h. Kelainan kardiovaskuler
i. Kelainan hematologis
17
j. Metabolisme

2.1.2 Klasifikasi BBL


Menurut hubungan berat lahir dengan umur kehamilan, berat bayi baru lahir dapat
dikelompokkan menjadi6,7 :
 Kecil Masa Kehamilan (KMK): bila berat lahir P90 menurut masa gestasi grafik
Lubchenco.
 Sesuai Masa Kehamilan (SMK): bila berat lahir berada antara P10 dan P90 menurut
masa gestasi grafik Lubchenco.
 Besar Masa Kehamilan (BMK): bila berat lahir >P90 menurut masa gestasi grafik
Lubchenco.

Gambar 2. Grafik Lubchenco

Menurut berat lahir yaitu :


 Bayi berat lahir rendah (BBLR): bila berat lahir <2500 gram
 Bayi berat lahir sangat rendah (BBLSR): bila berat lahir <1500 gram
 Bayi berat lahir amat sangat rendah (BBLASR): bila berat lahir <1000
gram
 Bayi berat lahir cukup/normal: bila berat lahir 2500-4000 gram
 Bayi berat lahir lebih: bila berat lahir >4000 gram

18
BAB III
STATUS PASIEN

3.1 I. Identitas Pasien


Nama anak :-
Nama Orang Tua : Tn. Mawarman / Ny. Riza Midayeni
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Alamat : Bangkinang
Kiriman dari :-
Waktu Masuk RS : Tgl 11 Oktober 2021/ Jam 13:04:57

II. S.O.A.P

A. SUBJEKTIF (Anamnesis)

A.1. Keluhan utama: Bayi lahir tidak langsung menangis

A.2. R.P.S ( Penyakit + pengobatan saat sakit ):


Bayi laki-laki lahir secara SC di RSUD Bangkinang dengan ibu G4P3A0H3 atas
indikasi KPD dan PEB. Bayi lahir tidak menangis dengan APGAR Score 2/4/6.

A.3. Riwayat Penyakit Dahulu: -

A.4. Riwayat Penyakit Keluarga: -

A.5. Riwayat Imunisasi :


- Imunisasi dasar : -
- Imunisasi Lanjutan : -

A.6. Riwayat Pemberian Makanan (Gizi) : -

A.7. Riwayat Social Ekonomi:


- Pekerjaan dan Pendapatan Ayah : Wiraswasta

19
- Pekerjaan dan Pendapatan Ibu : IRT
- Jumlah Anak :4

B. OBJEKTIF (Pemeriksaan fisik dan Pemeriksaan Penunjang)

B.1. Keadaan Umum


- Kesan Keadaan Sakit : Tampak Sakit Berat
- Kesan Kesadaran : APGAR Score 2/4/6
- Kesan Status Gizi : Baik
B.2. Tanda – Tanda Vital
- Frekuensi Nadi : 132x/menit
- Tekanan Darah : Tidak dilakukan
- Respirasi : 40x/menit
- Temperature : 36,7oC

B.3. Data Antropometri

- BBL : 2750 gram


- PB : 48 cm
- LK : 35 cm
- LD : 31 cm

B.4. Pemeriksaan Fisik (IPPA)

Kepala dan Leher

- Bentuk/Ukuran Kepala : Normal


- Mata : Normal
- Telinga : Normal
- Mulut : (-) Stomatitis
- Faring : Tidak dilakukan
- Leher : Tidak ada pembesaran

Thoraks
- Inspeksi : Simetris
- Palpasi : Tidak dilakukan
- Perkusi : Tidak dilakukan

20
- Auskultasi : Vesikuler

Abdomen
- Inspeksi : Datar
- Palpasi : Soffel
- Perkusi : Tidak dilakukan
- Auskultasi : Normal

Ekstremitas
- Akral : Hangat
- CRT : Tidak dilakukan

Genitalia
- Lk/Pr : Laki-laki
Anus : Ada

B.5. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan darah Lengkap

- Hemoglobin :-
- LED :-
- Eritrosit :-
- Leukosit :-
- Hematokrit :-
- MCV :-
- MCH :-
- RDW :-
- Trombosit :-
- Leukosit -
• Eosinophil : -
• Basophil :-
• Netrofil Stab : -
• Netrofil Seg : -
• Lymfosit :-

21
• Monosit :-
• Cell Muda :-

Fungsi Hati

- SGOT/AST :-
- SGPT/ALT :-

Fungsi Ginjal
- Ureum :-
- Creatinin :-

Kimia Darah
- GDS :-

Urinalisa
- Warna :-
- Berat Jenis :-
- pH :-
- lekosit :-
- Nitrit :-
- Protein :-
- Glukosa ;-
- Keton :-
- Urobilinogen :-
- Bilirubin :-
- Eritrosit :-
- Sediment :-

C . Assessment (Diagnosis)
- Diagnosis Utama : Asfiksia berat
- Diagnosis Tambahan : SMK-NKB
- Diagnosis Gizi : Gizi baik
- Diagnosis Banding :-

22
D. Planning (Pengobatan)
- Terapi Medikamenrosa :
 Oksigen : 5 liter/menit
 Infus : D10%+Ca+KCL
 Injeksi : Vitamin K

- Terapi Dietetic : Pemberian Asi

- Terapi Edukasi :-

- Prognosis
Quo ad vitam : dubia bonam
Quo ad sanationam : dubia bonam
Quo ad fungsionam : dubia bonam

23
III. FOLLOW UP
No Tgl / Bulan Follow up
1. 11 Oktober S : Seorang bayi lahir dengan cara SC pada pukul 12.43 wib
2021 dengan usia gestasi 35-36 minggu, bayi lahir tidak langsung
menangis, air ketuban jernih, anus (+)
O : - Jenis Kelamin : laki-laki
- BBL : 2795 gram
- PB : 48 cm
- LK : 35 cm
-LD : 31 cm
- Apgar Score : 2/4/6
A: Asfiksia berat dan NKB-SMK
P : - Rawat Inkubator
- O2 : CPAP
- D10%+Ca+KCL dan Injeksi Vitamin K
12 Oktober S : Bayi dalam inkubator, bayi sadar, napas spontan tanpa
2021 bantuan O2 , sesak (-) dan retraksi (-), abdomen soffel,
muntah (-), refleks hisap (+), BAB/BAK (+)
O : - RR : 40 x /menit
- HR : 132 x /menit
A: Resti infeksi
P : - Mengobservasi
- Terapi lanjutan dan injeksi meropenem 2x200mg
3 13 Oktober S : Bayi dalam inkubator, bayi sadar, napas spontan tanpa
2021 bantuan O2 , sesak (-) dan retraksi (-), abdomen soffel,
muntah (-), refleks hisap (+), BAB/BAK (+)
O : - RR : 132 x/menit - HR : 40 x/menit - T : 370C
A : - Masalah teratasi
P : Acc boleh pulang
4 14 Oktober S : Bayi dalam inkubator, demam (-), bayi sadar, napas
2021 spontan tanpa bantuan O2 , sesak (-) dan retraksi (-), abdomen
soffel, muntah (-), refleks hisap (+), BAB/BAK (+)

24
Bayi dipulangkan jam 09.00 WIB

BAB IV
DISKUSI KASUS

Bayi Ny. R, berjenis kelamin laki – laki, lahir secara Sectio Caesaria (SC), G4P3A0,
dengan masa gestasi (35-36 minggu). Saat lahir bayi tidak langsung menangis, air ketuban
jernih dengan APGAR Score 2/4/6. Berdasarkan teori masa gestasi normal berkisar 37
minggu – 41 minggu, dari status pasien masa gestasi Ny. R yaitu 35-36 minggu yang berarti
kurang dari 37 minggu, maka berdasarkan klasifikasi masa gestasi Ny. R dikategorikan
sebagai NKB (neonatus kurang bulan).
Berdasarkan teori jika APGAR antara 7 sampai 10 berarti neonatus beradaptasi
dengan baik, Nilai 4 sampai 6 menunjukkan keadaan asfiksia ringan sampai sedang,
sedangkan nilai 0 sampai 3 menunjukkan derajat asfiksia yang berat. Pada kasus ini
didapatkan pada menit ke-1 diperoleh APGAR Score adalah 2 yang menunjukkan bahwa bayi
sedang mengalami asfiksia berat. Oleh sebab itu, maka dilakukan tindakan resusitasi neonatus
yaitu memberikan kehangatan pada bayi, membuka jalan napas, memberikan rangsangan
taktil serta melakukan VTP (Ventilasi Tekanan Positif) dan kompresi dada. Pada menit ke-5
dan 10 APGAR Score pada bayi meningkat menjadi 4 dan 6, yang menunjukkan keadaan
asfiksia berat berubah menjadi asfiksia ringan-sedang setelah dilakukan tindakan resusitasi.
Setelah bayi menangis spontan saat telah dilakukan tindakan resusitasi maka
dilakukan pengukuran antropometri pada bayi Ny. R, yang diperoleh BBL : 2750 Gram, PB :
48 cm, LK : 35 cm, LD : 31. Berdasarkan teori, berat badan lahir normal, berkisar 2500-4000
gram. Setelah dilakukan pengukuran BBL dan mengetahui usia kehamilan dari Ny. R maka
dapat ditentukan pertumbuhan bayi berdasarkan BBL dan masa kehamilan dengan
menggunakan grafik Lubchenco. Berdasarkan grafik Lubchenco, bayi Ny. R berada pada
rentang Sesuai Masa Kehamilan (SMK) yaitu berat lahir berada antara P 10 dan P90 menurut
masa gestasi.
Berdasarkan kasus bayi Ny. R dapat ditegakkan diagnosis berupa Asfiksia berat dan
Neonatus Kurang Bulan (NKB) Sesuai Masa Kehamilan (SMK). Definisi dari asfiksia
neonatorum adalah kegagalan bernafas secara spontan, tidak teratur dan tidak adekuat segera
setelah lahir. Keadaan ini disertai hipoksia, hiperkapnia dan berakhir dengan asidosis. Bila
proses ini berlangsung terlalu jauh dapat mengakibatkan kerusakan otak atau kematian.
Asfiksia juga dapat mempengaruhi organ vital lainnya.
25
Asfiksia dapat terjadi selama kehamilan, pada proses persalinan, atau sesaat segera
setelah lahir. Beberapa faktor risiko yang diperkirakan meningkatkan risiko asfiksia meliputi
faktor ibu (antepartum atau intrapartum) dan faktor janin (antenatal atau pascanatal).
Berdasarkan teori masalah pada neonatus lebih sering dijumpai pada Neonatus Kurang Bulan
(NKB) dan BBLR dibandingkan dengan Neonatus Cukup Bulan (NCB) dan Bayi Berat Lahir
Normal. Dari kasus bayi Ny. R yaitu Riwayat gestasi 35 – 36 minggu merupakan faktor risiko
terjadinya asfiksia, sedangkan faktor risiko BBLR dapat disingkirkan karena BBL Ny. R
berada pada rentang normal.
Pada kasus Ny. R asfiksia berat dapat ditegakkan pada pemeriksaan fisik yaitu
ditemukan bayi tidak bernafas atau menangis, denyut jantung kurang dari 100x/menit dan
tonus otot menurun. Pada APGAR Score didapatkan pada menit pertama kehidupan adalah 2
yang menunjukkan bahwa bayi dalam keadaan asfiksia berat. Berdasarkan teori, APGAR
Score merupakan penilaian respons bayi baru lahir ketika melewati periode transisi pada
beberapa menit awal kehidupan.
Setelah kondisi asfiksia berat teratasi pasca resusitasi, maka bayi Ny. R dibawa ke
NICU (Neonatal Intensive Care Unit) untuk dilakukan observasi dan pengobatan ruangan.
Pada ruang NICU bayi Ny. R didalam inkubator, diberi terapi oksigen dengan CPAP dan
terapi cairan D10%+Ca+KCL. Indikasi dari terapi oksigen dengan CPAP (Continous Positive
Airway Pressure) adalah bertujuan memperbaiki dan meningkatkan kapasitas residu
fungsional paru, serta oksigenasi, mencegah kolaps alveolus dan atelektasis, meningkatkan
daya kembang paru, mengurangi usaha bernapas yang berlebihan, mempertahankan produksi
dan fungsi surfaktan, mempertahankan jalan napas, memberikan kesesuaian perfusi ventilasi
yang lebih baik dengan menurunkan pirau intrapulmonar dan menstimulasi pertumbuhan
paru.

26
BAB V
KESIMPULAN

Asfiksia neonatorum adalah kegagalan bernafas secara spontan, tidak teratur dan tidak
adekuat segera setelah lahir. Keadaan ini disertai hipoksia, hiperkapnia dan berakhir dengan
asidosis. Bila proses ini berlangsung terlalu jauh dapat mengakibatkan kerusakan otak atau
kematian. Asfiksia juga dapat mempengaruhi organ vital lainnya. Asfiksia lebih sering
dijumpai pada Neonatus Kurang Bulan (NKB) dan BBLR.
Klasifikasi asfiksia neonatorum dibagi berdasarkan tingkat keparahan asfiksia yang
dinilai berdasarkan APGAR Score. Neonatus yang beradaptasi dengan baik mempunyai
APGAR Score antara 7 sampai 10. Nilai 4 sampai 6 menunjukkan keadaan asfiksia ringan
sampai sedang, sedangkan nilai 0 sampai 3 menunjukkan derajat asfiksia yang berat.
Tatalaksana asfiksia dilakukan dengan mengikuti alur resusitasi neonatus.
Komplikasi pada asfiksia dapat menyebabkan gangguan sistemik ke berbagai organ
tubuh. 62% gangguan terjadi pada sistem saraf pusat, 16% kelainan sistemik tanpa gangguan
neurologik dan sekitar 20% kasus tidak memperlihatkan kelainan. Prognosis asfiksia
tergantung pada komplikasi yang terjadi, usia kehamilan, tingkat keparahan ensefalopati
hipoksik iskemik, APGAR Score yang rendah pada menit ke-20, tidak terdapat respirasi
spontan setelah usia 20 menit, dan menetapnya tanda – tanda kelainan neurologis pada usia 2
minggu dapat menyebabkn kematian atau defisit kognitif dan motorik yang berat.

27
BAB VI
DAFTAR PUSTAKA

1. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Nasional Pelayanan


Kedokteran Tata Laksana Asfiksia. 2019.
2. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Asfiksia Neonatorum Dalam Standar Pelayanan Medis
Kesehatan Anak. Jakarta. Badan Penerbit IDAI; 2004.
3. Latief, A et al. Pemeriksaan Klinis Pada Bayi dan Anak. Jakarta: CV Sagung Seto;
2014.
4. Aslam MH, Saleem S, Shahid, N. Risk Factors of Birth Asphyxia. In: StatPearls
[Internet]. 2014. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4300075/
5. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Resusitasi Neonatus. Jakarta. Badan Penerbit IDAI:
2014.
6. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Buku Ajar Neonatologi. Jakarta. Badan Penerbit IDAI:
2008.
7. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Konsensus Asuhan Nutrisi pada Bayi Prematur.
Jakarta. Badan Penerbit IDAI: 2016.

28
BAB VII
LAMPIRAN

Gambar 3. Persiapan Resusitasi Gambar 4. Proses Resusitasi


(VTP+Kompresi dada)

Gambar 5. Bayi menangis/bernafas

29

Anda mungkin juga menyukai