Anda di halaman 1dari 24

REFERAT

ILMU KESEHATAN ANAK


ASFIKSIA NEONATORUM

Pembimbing :

dr. Monique Noorvitry, Sp.A

Disusun oleh :

Habel Ryan Annerico Sianipar - 20190420277

Hafidz Ramadhan Al Hasan - 20190420278

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK


RSU HAJI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HANG TUAH


SURABAYA

2020
LEMBAR PENGESAHAN

REFERAT

ASFIKSIA NEONATORUM

Referat ini telah diperiksa dan disetujui sebagai salah satu tugas dalam
rangka menyelesaikan studi kepaniteraan Dokter Muda di Bagian Ilmu
Kesehatan Anak Rumah Sakit Umum Haji Surabaya.

Surabaya, Juli 2020

dr. Monique Noorvitry, Sp.A

I
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
atas berkat rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan referat berjudul
Asfiksia neonatorum sebagai tugas kepaniteraan klinik di bagian Ilmu
Kesehatan Anak. Tak lupa pula penulis mengucapkan terima kasih
kepada dr. Monique Noorvitry, Sp.A, selaku dokter pembimbing, yang
telah memberi arahan dan masukan kepada penulis sehingga penulis
mampu menyelesaikan referat ini. Keberhasilan dalam menyelesaikan
referat ini tentunya tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Untuk itu,
penulis menyampaikan terima kasih pada semua pihak yang telah
membantu dalam penyelesaian referat ini.

Penulis menyadari bahwa penulisan referat ini masih jauh dari


kesempurnaan yang perlu diperbaiki. Untuk itu, penulis mengharapkan
saran yang membangun sehingga dapat bermanfaat bagi siapapun yang
membacanya. Atas perhatiannya, penulis mengucapkan terimakasih.

Surabaya, 15 Juli 2020

Penulis

II
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ..............................................................................................I


KATA PENGANTAR...................................................................................................... II
DAFTAR ISI....................................................................................................................III
BAB I.................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.............................................................................................................1
1.1 Latar Belakang...................................................................................................1
BAB II................................................................................................................................3
TINJAUAN PUSTAKA....................................................................................................3
2.1 Asfiksia Neonatorum.........................................................................................3
2.1.1 Definisi...................................................................................................... 3
2.1.2 Klasifikasi..................................................................................................4
2.1.3 Etiologi..................................................................................................... 6
2.1.4 Patogenesis..............................................................................................7
2.1.5 Tanda dan gejala.....................................................................................8
2.1.6 Diagnosis.................................................................................................. 9
2.1.7 Pemeriksaan Penunjang......................................................................10
2.1.8 Diagnosis banding................................................................................ 11
2.1.9 Tatalaksana............................................................................................11
2.1.10 Komplikasi............................................................................................15
2.1.11 Edukasi.................................................................................................17
2.1.12 Preventif............................................................................................... 17
BAB III............................................................................................................................ 19
KESIMPULAN...............................................................................................................19
3.1 Kesimpulan...................................................................................................... 19
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................... 1

III
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Asfiksia pada bayi baru lahir atau asfiksia neonatorum adalah suatu
keadaaan bayi baru lahir yang gagal bernafas secara spontan dan teratur
segera setelah lahir. Asfiksia dapat mengakibatkan kematian dan
diperkirakan satu juta anak yang bertahan setelah mengalami asfiksia
saat lahir kini hidup dengan morbiditas jangka panjang seperti cerebral
palsy, retardasi mental, dan gangguan belajar. Faktor-faktor risiko
terjadinya asfiksia neonatorum adalah faktor ibu, faktor plasenta, faktor
janin, dan faktor persalinan. Asfiksia neonatorum terjadi ketika bayi tidak
cukup menerima oksigen sebelumnya, selama atau setelah kelahiran.

Faktor keadaan ibu meliputi hipertensi pada kehamilan


(preeklampsia dan eklampsia) (24%), perdarahan antepartum (plasenta
previa, solusio plasenta) (28%), anemia dan Kekurangan Energi Kronis
(KEK) berkisar kurang dari 10 %, infeksi berat (11%), dan kehamilan
postdate. Faktor keadaan bayi meliputi prematuritas (15%) , BBLR (20%),
kelainan kongenital (1-3%), ketuban bercampur mekonium. Faktor
plasenta meliputi, lilitan tali pusat, tali pusat pendek, simpul tali pusat,
prolapsus tali pusat. Faktor neonatus meliputi depresi pernafasan karena
obat-obat anestesi atau analgetika yang diberikan pada ibu, dan trauma
persalinan,misalnya perdarahan intrakranial (2-7%). Faktor persalinan
meliputi partus lama atau macet (2,8-4,9%), persalinan dengan penyulit
(letak sungsang, kembar, distosia bahu, vakum ekstraksi, forsep) (3-4%),
dan Ketuban Pecah Kini (KPD) (10-12%).

Asfiksia menyebabkan kematian neonatus antara 8-35% di negara


maju, sedangkan di negara berkembang antara 31-56,5%. Insidensi
asfiksia pada menit pertama 47/1000 lahir hidup dan pada 5 menit
15,7/1000 lahir hidup untuk semua neonatus. Insidensi asfiksia

1
neonatorum di Indonesia kurang lebih 40/1000.Angka Kematian Bayi
(AKB) adalah jumlah kematian bayi ( 0-12 bulan ) per 1000 kelahiran
hidup dalam kurun waktu satu tahun. Angka Kematian Bayi (AKB) di
Provinsi Jawa Tengah tahun 2008 sebesar 9,17/1.000 kelahiran hidup,
menurun bila dibandingkan dengan tahun 2007 sebesar 10,48/1.000
kelahiran hidup. Apabila dibandingkan dengan target dalam Indikator
Indonesia Sehat tahun 2010 sebesar 40/1.000 kelahiran hidup, maka AKB
di Provinsi Jawa Tengah tahun 2008 sudah melampaui target, demikian
juga bila dibandingkan dengan cakupan yang diharapkan dalam Millenium
Development Goal’s (MDG’s) ke- 4, pada tahun 2015 yaitu 17/1.000
kelahiran hidup.

Dari uraian data diatas yang menunjukan masih banyak terjadinya


asfiksia neonatorum, penulis tertarik untuk mencoba membahas tentang
asfiksia neonatorum.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Asfiksia Neonatorum


2.1.1 Definisi
Asfiksia pada bayi baru lahir (BBL) menurut IDAI (Ikatatan Dokter
Anak Indonesia) adalah kegagalan nafas secara spontan dan teratur pada
saat lahir atau beberapa saat setelah lahir.Menurut AAP asfiksia adalah
suatu keadaan yang disebabkan oleh kurangnya O2 pada udara respirasi,
yang ditandai dengan :

1. Asidosis (pH <7,0) pada darah arteri umbilikalis.

2. Nilai APGAR setelah menit ke-5 tetep 0-3.

3. Manifestasi neurologis (kejang, hipotoni, koma atau hipoksik


iskemia ensefalopati).

4. Gangguan multiorgan sistem.

Keadaan ini disertai dengan hipoksia, hiperkapnia dan berakhir


dengan asidosis. Hipoksia yang terdapat pada penderita asfiksia
merupakan faktor terpenting yang dapat menghambat adaptasi bayi baru
lahir (BBL) terhadap kehidupan uterin.

Asfiksia berarti hipoksia yang progresif, penimbunan CO2 dan


asidosis. Bila proses ini berlangsung terlalu jauh dapat mengakibatkan
kerusakan otak atau kematian. Asfiksia juga dapat mempengaruhi fungsi
organ vital lainnya. Pada bayi yang mengalami kekurangan oksigen akan
terjadi pernapasan yang cepat dalam periode yang singkat. Apabila
asfiksia berlanjut, gerakan pernafasan akan berhenti, denyut jantung juga
mulai menurun, sedangkan tonus neuromuscular berkurang secara
berangsurangsur dan bayi memasuki periode apnea yang dikenal sebagai

3
apnea primer. Perlu diketahui bahwa kondisi pernafasan megap-megap
dan tonus otot yang turun juga dapat terjadi akibat obat-obat yang
diberikan kepada ibunya. Biasanya pemberian perangsangan dan oksigen
selama periode apnea primer dapat merangsang terjadinya pernafasan
spontan. Apabila asfiksia berlanjut, bayi akan menunjukkan pernafasan
megap-megap yang dalam, denyut jantung terus menurun, tekanan darah
bayi juga mulai menurun dan bayi akan terlihat lemas (flaccid).
Pernafasan makin lama makin lemah sampai bayi memasuki periode
apnea yang disebut apnea sekunder.

Dengan demikian asfiksia adalah keadaan dimana bayi tidak dapat


segera bernapas secara spontan dan teratur. Bayi dengan riwayat gawat
janin sebelum lahir, umumnya akan mengalami asfiksia pada saat
dilahirkan. Masalah ini erat hubungannya dengan gangguan kesehatan
ibu hamil, kelainan tali pusat, atau masalah yang mempengarui
kesejahteraan bayi selama atau sesudah persalinan.

2.1.2 Klasifikasi
Klasifikasi Asfiksia Berdasarkan APGAR Score

Tanda 0 1 2 Jumlah Nilai

Warna Kulit Biru/Pucat Tubuh Tubuh dan


Kemerahan, Ekstremitas
Ekstremitas Kemerahan
Biru

Frekuensi Tidak Ada <100x/menit >100x/menit


jantung

Refleks Tidak Ada Gerakan Menangis


Sedikit

Tonus Otot Lumpuh Ekstremitas Gerakan Aktif


Fleksi Sedikit

4
Usaha Tidak Ada Lambat, tidak Menangis
Bernafas teratur Kuat

Keterangan:

1) . Nilai 0-3 : Asfiksia berat

2). Nilai 4-6 : Asfiksia sedang

3). Nilai 7-10 : Normal 10

Dilakukan pemantauan nilai apgar pada menit ke-1 dan menit ke-5,
bila nilai apgar 5 menit masih kurang dari 7 penilaian dilanjutkan tiap 5
menit sampai skor mencapai 7. Nilai apgar berguna untuk menilai
keberhasilan resusitasi bayi baru lahir dan menentukan prognosis, bukan
untuk memulai resusitasi karena resusitasi dimulai 30 detik setelah lahir bila
bayi tidak menangis. (bukan 1 menit seperti penilaian skor apgar). Asfiksia
neonatorum di klasifikasikan :

1) . Asfiksia Ringan ( vigorus baby)

Skor APGAR 7-10, bayi dianggap sehat dan tidak memerlukan


tindakan istimewa.

2) . Asfiksia sedang ( mild moderate asphyksia)

Skor APGAR 4-6, pada pemeriksaan fisik akan terlihat frekuensi


jantung lebih dari 100/menit, tonus otot kurang baik atau baik,
sianosis, reflek iritabilitas tidak ada.

3) . Asfiksia Berat

Skor APGAR 0-3, pada pemeriksaan fisik ditemukan frekuensi


jantung kurang dari 100 x permenit, tonus otot buruk, sianosis
berat, dan kadang-kadang pucat, reflek iritabilitas tidak ada.
Pada asphyksia dengan henti jantung yaitu bunyi jantung fetus
menghilang tidak lebih dari 10 menit sebelum lahir lengkap atau

5
bunyi jantung menghilang post partum, pemeriksaan fisik sama
pada asphyksia berat.

2.1.3 Etiologi
Towel (1966) mengajukan penggolongan penyebab kegagalan
pernafasan pada bayi yang terdiri dari :

1. Faktor Ibu

Hipoksia ibu. Hal ini akan menimbulkan hipoksia janin dengan


segala akibatnya. Hipoksia ibu ini dapat terjadi karena hipoventilasi
akibat pemberian obat analgetika atau anestesia dalam. Gangguan
aliran darah uterus. Mengurangnya aliran darah pada uterus akan
menyebabkan berkurangnya pengaliran oksigen ke plasenta dan
demikian pula ke janin. Hal ini sering ditemukan pada keadaan:

(a) gangguan kontraksi uterus, misalnya hipertoni, hipertoni atau


tetani uterus akibat penyakit atau obat,

(b) hipotensi mendadak pada ibu karena perdarahan,

(c) hipertensi pada penyakit eklampsia dan lain lain.

2. Faktor plasenta

Pertukaran gas antara ibu dan janin dipengaruhi oleh luas dan
kondisi plasenta. Asfiksia janin akan terjadi bila terdapat gangguan
mendadak pada plasenta, misalnya solusio plasenta, perdarahan
plasenta dan lain-lain.

3. Faktor fetus

Kompresi umbilikus akan mengakibatkan terganggunya aliran


darah dalam pembuluh darah umbilikus dan menghambat pertukaran
gas antara ibu dan janin. Gangguan aliran darah ini dapat ditemukan
pada keadaan tali pusat menumbung, tali pusat melilit leher, kompresi
tali pusat antara janin dan jalan lahir dan lain-lain.

6
4. Faktor neonatus

Depresi tali pusat pernafasan bayi baru lahir dapat terjadi karena
beberapa hal, yaitu :

(a) pemakaian obat anastesi/analgetika yang berlebihan pada ibu


secara langsung dapat menimbulkan depresi pusat
pernafasan janin,

(b) trauma yang terjadi pada persalinan, misalnya perdarahan


intrakranial,

(c) kelainan kongenital pada bayi, misalnya hernia diafragmatika,


atresia/stenosis saluran pernapasan, hipoplasia paru dan lain-
lain.

2.1.4 Patogenesis
Gangguan suplai darah teroksigenasi melalui vena umbilical dapat
terjadi pada saat antepartum, intrapartum, dan pascapartum saat tali
pusat dipotong. Hal ini diikuti oleh serangkaian kejadian yang dapat
diperkirakan ketika asfiksia bertambah berat.

A. Awalnya hanya ada sedikit nafas. Sedikit nafas ini dimaksudkan untuk
mengembangkan paru, tetapi bila paru mengembang saat kepala dijalan
lahir atau bila paru tidak mengembang karena suatu hal, aktivitas
singkat ini akan diikuti oleh henti nafas komplit yang disebut apnea
primer.

B. Setelah waktu singkat-lama asfiksia tidak dikaji dalam situasi klinis


karena dilakukan tindakan resusitasi yang sesuai –usaha bernafas
otomatis dimulai. Hal ini hanya akan membantu dalam waktu singkat,
kemudian jika paru tidak mengembang, secara bertahap terjadi
penurunan kekuatan dan frekuensi pernafasan. Selanjutnya bayi akan
memasuki periode apnea terminal. Kecuali jika dilakukan resusitasi
yang tepat, pemulihan dari keadaan terminal ini tidak akan terjadi.

7
C. Frekuensi jantung menurun selama apnea primer dan akhirnya turun di
bawah 100 kali/menit. Frekuensi jantung mungkin sedikit meningkat
saat bayi bernafas terengah-engah tetapi bersama dengan menurun
dan hentinya nafas terengah-engah bayi, frekuensi jantung terus
berkurang. Keadaan asam-basa semakin memburuk, metabolisme
selular gagal, jantungpun berhenti. Keadaan ini akan terjadi dalam
waktu cukup lama.

D. Selama apnea primer, tekanan darah meningkat bersama dengan


pelepasan ketokolamin dan zat kimia stress lainnya. Walupun demikian,
tekanan darah yang terkait erat dengan frekuensi jantung, mengalami
penurunan tajam selama apnea terminal.

E. Terjadi penurunan pH yang hamper linier sejak awitan asfiksia. Apnea


primer dan apnea terminal mungkin tidak selalu dapat dibedakan. Pada
umumnya bradikardi berat dan kondisi syok memburuk apnea terminal.

2.1.5 Tanda dan gejala


a.DJJ lebih dari 100x/menit atau kurang dari 100x/menit tidak teratur.
b.Tonus otot buruk karena kekurangan oksigen pada otak, otot, dan organ
lain.
c.Depresi pernafasan karena otak kekurangan oksigen.
d.Bradikardi (penurunan frekuensi jantung) karena kekurangan oksigen
pada otot-otot jantung atau sel-sel otak.
e.Tekanan darah rendah karena kekurangan oksigen pada otot jantung,
kehilangan darah atau kekurangan aliran darah yang kembali ke
plasenta sebelum dan selama proses persalinan.
f.Takipnu (pernafasan cepat) karena kegagalan absorbsi cairan paru-paru
atau nafas tidak teratur/megap-megap.
g.Sianosis (warna kebiruan) karena kekurangan oksigen didalam darah i.
Penurunan terhadap spinkters.
h. Pucat.

8
2.1.6 Diagnosis
Neonatus yang mengalami asfiksia bisa didapatkan riwayat
gangguan lahir, lahir tidak bernafas dengan adekuat, Riwayat ketuban
bercampur mekoneum. Temuan klinis yang didapatkan pada neonatus
dengan asfiksia neonatorum dapat berupa lahir tidak bernadas/megap-
megap, denyut jantung <100x/menit, kulit sianosis atau pucat dan tonus
otot yang melemah. Secara klinis dapat digunakan skor APGAR pada
menit ke-1, 5 dan 10 untuk mendiagnosa dan mengklasifikasikan derajat
asfiksia secara cepat. Skor APGAR biasanya dinilai pada menit pertama
kemudian pada menit ke-5. Jika nilainya pada menit ke-5 kurang dari 7,
tambahan penilaian harus dilakukan setiap 5 menit sampai 20 menit.
Walaupun skor APGAR bukan merupakan nilai prediksi yang baik untuk
hasil, akan tetapi perubahan nilai yang terjadi pada saat resusitasi dapat
menggambarkan bagaimana bayi memberikan respon terhadap Tindakan
resusitasi.

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam mendiagnosis kejadian


asfiksia pada neonatus sebagai berikut :

1. Denyut jantung janin.


Frekeunsi denyut jantung janin normal antara 120 – 160 kali per
menit; selama his frekeunsi ini bisa turun, tetapi di luar his kembali lagi
kepada keadaan semula. Peningkatan kecepatan denyut jantung
umumnya tidak banyak artinya, akan tetapi apabila frekeunsi turun sampai
di bawah 100 per menit di luar his, dan lebih-lebih jika tidak teratur, hal itu
merupakan tanda bahaya. Di beberapa klinik elektrokardiograf janin
digunakan untuk terus-menerus mengawasi keadaan denyut jantung
dalam persalinan.

2. Mekonium di dalam air ketuban.


Mekonium pada presentasi-sunsang tidak ada artinya, akan tetapi
pada presentasi – kepala mungkin menunjukkan gangguan oksigenisasi
dan harus menimbulkan kewaspadaan. Adanya mekonium dalam air

9
ketuban pada presentasi-kepala dapat merupakan indikasi untuk
mengakhiri persalinan bila hal itu dapat dilakukan dengan mudah.

3. Pemeriksaan pH darah janin.


Dengan menggunakan amnioskop yang dimasukan lewat servik
dibuat sayatan kecil pada kulit kepala janin, dan diambil contoh darah
janin. Darah ini diperiksa pH-nya. Adanya asidosis menyebabkan
turunnya pH. Apabila pH itu turun sampai di bawah 7,2 hal itu dianggap
sebagai tanda bahaya oleh beberapa penulis.

WHO pada 2008 sudah menambahkan kriteria dalam penegakkan


diagnosis asfiksia selain berdasarkan skor APGAR dan adanya asidosis
metabolik, ditambahkan adanya gangguan fungsi organ berupa gejala
neurologis berupa Hypoxic-ischemic encephalopathy (HIE). Namun
penegakkan diagnosis HIE tidak dapat dilakukan dengan segera,
sehingga untuk diagnosis asfiksia secara cepat dapat menggunakan
kriteria adanya gangguan pada pernapasan, frekuensi jantung dan warna
kulit ditunjang dengan hasil analisa gas darah yang menunjukkan asidosis
metabolik.

Diagnosis awal sangat penting untuk dapat menyelamatkan bayi


dan dapat mengurangi angka morbiditas dan mortalitas.

2.1.7 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang pada asfiksia neonatus adalah analisis
gas darah, pada asfiksia neonatus didapatkan PaO2 < 50mmH2O,
PaCO2 >55 mmH2O dan pH <7,3.

Pada asfiksia berat perlu dilakukan pemeriksaan penunjang,


seperti:

1. CT skan kepala

2. DL, BUN/SC, analisa gas darah, elektrolit

3. Foto Thorax

10
2.1.8 Diagnosis banding
Hipoksia Pulmonal:

1. Penyakit membrane hialin.

2. Pneumonia.

3. Kelainan kongenital paru.

Ekstra Pulmonal:

1. Ensefalopati hipoksik iskemik (HIE).

2. Sepsis neonatorum.

3. Penyakit jantung bawaan.

4. Asidosis metabolic dan gangguan metabolic lainnya.

2.1.9 Tatalaksana
Bayi baru lahir dalam apnu primer dapat memulai pola pernapasan
biasa, walaupun mungkin tidak teratur dan mungkin tidak efektif, tanpa
intervensi khusus. Bayi baru lahir dalam apnu sekunder tidak akan
bernapas sendiri. Pernapasan buatan atau tindakan ventilasi dengan
tekanan positif (VTP) dan oksigen diperlukan untuk membantu bayi
memulai pernapasan pada bayi baru lahir dengan apnu sekunder.
Semakin lama kita menunda upaya pernapasan buatan, semakin lama
bayi memulai pernapasan spontan. Penundaan dalam melakukan upaya
pernapasan buatan, walaupun singkat, dapat berakibat keterlambatan
pernapasan yang spontan dan teratur. Perhatikanlah bahwa semakin
lama bayi berada dalam apnu sekunder, semakin besar kemungkinan
terjadinya kerusakan otak.

Penyebab apa pun yang merupakan latar belakang depresi ini,


segera sesudah tali pusat dijepit, bayi yang mengalami depresi dan tidak
mampu melalui pernapasan spontan yang memadai akan mengalami
hipoksia yang semakin berat dan secara progresif menjadi asfiksia.
Resusitasi yang efektif dapat merangsang pernapasan awal dan

11
mencegah asfiksia progresif. Resusitasi bertujuan memberikan ventilasi
yang adekuat, pemberian oksigen dan curah jantung yang cukup untuk
menyalurkan oksigen kepada otak, jantung dan alat – alat vital lainnya.

Antisipasi, persiapan adekuat, evaluasi akurat dan inisiasi bantuan


sangatlah penting dalam kesuksesan resusitasi neonatus. Pada setiap
kelahiran harus ada setidaknya satu orang yang bertanggung jawab pada
bayi baru lahir. Orang tersebut harus mampu untuk memulai resusitasi,
termasuk pemberian ventilasi tekanan positif dan kompresi dada. Orang
ini atau orang lain yang datang harus memiliki kemampuan melakukan
resusitasi neonatus secara komplit, termasuk melakukan intubasi
endotrakheal dan memberikan obat-obatan. Bila dengan
mempertimbangkan faktor risiko, sebelum bayi lahir diidentifikasi bahwa
akan membutuhkan resusitasi maka diperlukan tenaga terampil tambahan
dan persiapan alat resusitasi. Bayi prematur (usia gestasi < 37 minggu)
membutuhkan persiapan khusus. Bayi prematur memiliki paru imatur yang
kemungkinan lebih sulit diventilasi dan mudah mengalami kerusakan
karena ventilasi tekanan positif serta memiliki pembuluh darah imatur
dalam otak yang mudah mengalami perdarahan Selain itu, bayi prematur
memiliki volume darah sedikit yang meningkatkan risiko syok hipovolemik
dan kulit tipis serta area permukaan tubuh yang luas sehingga
mempercepat kehilangan panas dan rentan terhadap infeksi. Apabila
diperkirakan bayi akan memerlukan tindakan resusitasi, sebaiknya
sebelumnya dimintakan informed consent. Definisi informed consent
adalah persetujuan tertulis dari penderita atau orangtua/wali nya tentang
suatu tindakan medis setelah mendapatkan penjelasan dari petugas
kesehatan yang berwenang. Tindakan resusitasi dasar pada bayi dengan
depresi pernapasan adalah tindakan gawat darurat. Dalam hal gawat
darurat mungkin informed consent dapat ditunda setelah tindakan.
Setelah kondisi bayi stabil namun memerlukan perawatan lanjutan, dokter
perlu melakukan informed consent. Lebih baik lagi apabila informed
consent dimintakan sebelumnya apabila diperkirakan akan memerlukan
tindakan Oleh karena itu untuk menentukan butuh resusitasi atau tidak,

12
semua bayi perlu penilaian awal dan harus dipastikan bahwa setiap
langkah dilakukan dengan benar dan efektif sebelum ke langkah
berikutnya. Secara garis besar pelaksanaan resusitasi mengikuti
algoritma resusitasi neonatal.

13
14
Prinsip dasar tatalaksana bayi baru lahir yang mengalami asfiksia
meliputi:

1. Segera dilakukan sesudah bayi lahir.

2.Intervensi harus cepat, tepat, jangan sampai terlambat (jangan


menunggu hasil penilaian nilai APGAR 1 menit).

3.Pada dasarnya pada setiap bayi baru lahir kita harus melakukan
penilaian terhadap 5 hal : Apakah air ketuban tanpa mekonium ?
Apakah bayi bernafas atau menangis? Apakah tonus otot baik?
Apakah warna kulit merah muda? Apakah bayi cukup bulan ?
(lihat bagan).

Obat-obat yang sering digunakan :

1. Epinefrin 1 : 10.000, dosis : 0,1 – 0,3 mg/kgBB (setara dengan


0,01–0,03 mg/kgBB), diberikan secara intra vena atau melalui pipa
endotrakeal.

2. Volume ekspander (whole blood, larutan garam fisiologis, ringer


laktat, cairan albumin-salin 5%), dosis: 10 ml/kgBB diberikan
dalam waktu 5-10 menit dan dapat diulang bila tanda-tanda
hipovolumia menetap, diberikan secara intra vena.

3. Natrium bikarbonat: dosis 2 meq/kgBB intra vena pelanpelan,


minimal dalam waktu 2 menit (1 meq/kgBB/ menit), diberikan bila
terdapat apnea yang lama dan asidosis metabolik serta tidak
terjadi respon terhadap terapi di atas.

4. Antibiotika (diberikan pada asfiksia berat, yaitu golongan ampisilin


atau aminoglikosid).

2.1.10 Komplikasi
Asfiksia neonatorum dapat menyebabkan komplikasi pasca hipoksia,
antara lain berikut ini:

15
1) Pada keadaan hipoksia akut akan terjadi redistribusi aliran darah
sehingga organ vital seperti otak, jantung, dan kelenjar adrenal
akan mendapatkan aliran yang lebih banyak dibandingkan organ
lain. Perubahan dan redistribusi aliran terjadi karena penurunan
resistensi vascular pembuluh darah otak dan jantung serta
meningkatnya asistensi vascular di perifer.

2) Faktor lain yang dianggap turut pula mengatur redistribusi


vascular antara lain timbulnya rangsangan vasodilatasi serebral
akibat hipoksia yang disertai saraf simpatis dan adanya aktivitas
kemoreseptor yang diikuti pelepasan vasopressin.

3) Pada hipoksia yang berkelanjutan, kekurangan oksigen untuk


menghasilkan energy bagi metabolisme tubuh menyebabkan
terjadinya proses glikolisis an aerobik. Produk sampingan proses
tersebut (asam laktat dan piruverat) menimbulkan peningkatan
asam organik tubuh yang berakibat menurunnya pH darah
sehingga terjadilah asidosis metabolik. Perubahan sirkulasi dan
metabolisme ini secara bersama-sama akan menyebabkan
kerusakan sel baik sementara ataupun menetap.

Asfiksia neonatorum pada bayi baru lahir juga dapat menimbulkan


komplikasi pada berbagai organ, yaitu:

1. Otak: Perdarahan, hipoksia iskemik ensefalopati, edema serebri,


kecacatan cerebral palsy.

2. Jantung dan paru-paru: hipertensi pulmonal presisten pada


neonatus perdarahan paru, dan edema paru.

3. Gastrointestinal: enterokolitisnekrotikana.

4. Ginjal: tubular nekrosis akut.

5. Hematologi: Disseminated Intravascular Coagulation (DIC).

16
2.1.11 Edukasi
Mengedukasi kepada ibu dimana Asfiksia neonatorum adalah gagal
napas secara spontan dan teratur pada saat lahir atau beberapa saat
sesudah lahir.
Mengedukasi kepada ibu dimana penyebab asfiksia adalah
gangguan sirkulasi darah uteroplasenter sehingga oksigen ke bayi
menjadi berkurang.

2.1.12 Preventif
A. Pencegahan secara Umum
Pencegahan terhadap asfiksia neonatorum adalah dengan
menghilangkan atau meminimalkan faktor risiko penyebab asfiksia.
Derajat kesehatan wanita, khususnya ibu hamil harus baik. Komplikasi
saat kehamilan, persalinan dan melahirkan harus dihindari. Upaya
peningkatan derajat kesehatan ini tidak mungkin dilakukan dengan satu
intervensi saja karena penyebab rendahnya derajat kesehatan wanita
adalah akibat banyak faktor seperti kemiskinan, pendidikan yang rendah,
kepercayaan, adat istiadat dan lain sebagainya. Untuk itu dibutuhkan
kerjasama banyak pihak dan lintas sektoral yang saling terkait. Adanya
kebutuhan dan tantangan untuk meningkatkan kerjasama antar tenaga
obstetri di kamar bersalin. Perlu diadakan pelatihan untuk penanganan
situasi yang tak diduga dan tidak biasa yang dapat terjadi pada persalinan.
Setiap anggota tim persalinan harus dapat mengidentifikasi situasi
persalinan yang dapat menyebabkan kesalahpahaman atau
menyebabkan keterlambatan pada situasi gawat. Pada bayi dengan
prematuritas, perlu diberikan kortikosteroid untuk meningkatkan maturitas
paru janin.

B. Pencegahan saat persalinan


Pengawasan bayi yang seksama sewaktu memimpin partus adalah
penting, juga kerja sama yang baik dengan Bagian Ilmu Kesehatan Anak.

17
Yang harus diperhatikan:
a. Bila ibu anemis, perbaiki keadaan ini dan bila ada perdarahan
berikan oksigen dan darah segar.
b. Jangan berikan obat bius pada waktu yang tidak tepat, dan
jangan menunggu lama pada kala II

18
BAB III

KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan

Asfiksia pada bayi baru lahir (BBL) adalah kegagalan nafas secara
spontan dan teratur pada saat lahir atau beberapa saat setelah lahir.Keadaan
ini disertai dengan hipoksia, hiperkapnia dan berakhir dengan asidosis.Asfiksia
neonatorum di klasifikasikan menggunakan APGAR SCORE. Faktor-faktor
risiko terjadinya asfiksia neonatorum adalah faktor ibu, faktor plasenta, faktor
janin, dan faktor persalinan. Dimana ditandai dengan adanya DJJ<100x/menit,
takipnea, Tonus otot buruk, Depresi pernafasan, Sianosis, dan Pucat.
Sedangkan dalam pemeriksaan analisis gas darah, pada asfiksia neonatus
didapatkan PaO2 < 50mmH2O, PaCO2 >55 mmH2O dan pH <7,3. Terapi
utama dalam kasus ini adalah melakukan resusitasi. Resusitasi bertujuan
memberikan ventilasi yang adekuat, pemberian oksigen dan curah jantung
yang cukup untuk menyalurkan oksigen kepada otak, jantung dan alat – alat
vital lainnya. Asfiksia neonatorum pada bayi baru lahir dapat menimbulkan
komplikasi jika tidak segera tertangani, seperti hipoksia iskemik ensefalopati,
edema serebri, hipertensi pulmonal presisten pada neonatus dan komplikasi
pada organ yang lainnya.

19
DAFTAR PUSTAKA

Fida & Maya.(2012). Pengantar Ilmu Kesehatan Anak.Jogjakarta

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia


Tahun 2012. Jakarta: Kemenkes RI. 2013.

Lee, et. al. 2008. “Risk Factors for Neonatal Mortality Due to the birth
Asphyxia in Southern Nepal : A Prospective, Community-Based
Cohort Study”. Journal Pediatrics Vol. 121 No. 5 May 1, 2008.
Amerika:American academic of pediatric

Library Cataloguingin-Publication Data. 2012

Prambudi, R. 2013. Penyakit pada Neonatus. Dalam; Neonatologi Praktis.


Anugrah Utama Raharja. Cetakan Pertama. Bandar Lampung, hal.
57 - 62

Prambudi, R. 2013. Prosedur Tindakan Neonatusi. Dalam; Neonatologi


Praktis. Anugrah Utama Raharja. Cetakan Pertama. Bandar
Lampung, hal. 115 – 31

Saifuddin, AB. 2009. Masalah yang Berhubungan dengan Lamanya


Kehamilan. Dalam; Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan
Maternal dan Neonatal. Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo.
Cetakan Kelima. Jakarta, hal. 300 – 09.

Saifuddin, AB. 2009. Masalah Bayi Baru Lahir. Dalam; Buku Acuan
Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Bina
Pustaka Sarwono Prawiroharjo. Cetakan Kelima. Jakarta, hal. 347 –
54

Towel. 1966. Asfiksia Neonatorum. Dalam; Buku Kuliah Ilmu Kesehatan


Anak. Jilid 3. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Cetakan Keempat, Jakarta, hal. 1073.

World Health Organization. World Health Statistics 2012. France: WHO


Library Cataloguingin-Publication Data. 2012

Anda mungkin juga menyukai