`
Disusun oleh :
Kelas/kelmpk : B
Blok : Medikolegal
Dosen : dr.Ahia ZakiraRosmala,S.Ked
FAKULTAS KEDOKTERAN
2022/2023
DAFTAR ISI
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat-
Nya dan dengan kemampuan yang saya miliki, penyusunan Laporan Small Group
Discussion (SGD) Lembar Belajar Mahasiswa (LBM) 4 yang berjudul “Laki-laki
Kecelakaan atau Dibunuh?” dapat diselesaikan tepat pada waktunya.
Laporan ini membahas mengenai hasil Small Group Discussion (SGD) Lembar
Belajar Mahasiswa (LBM) 4 yang berjudul “Kejahatan seksual pada anak
” meliputi seven jumps step yang dibagi menjadi dua sesi diskusi. Penyusunan
laporan ini tidak akan berjalan lancar tanpa bantuan dari berbagai pihak, maka dari
itu dalam kesempatan ini saya mengucapkan terimakasih kepada :
Penyusun
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Skenario
LBM 4
Kejahatan seksual pada anak
Seorang anak perempuan berusia 12 tahun mengeluh demam disertai nyeri
pada bagian alat vital. Pada pemeriksaan dicurigai terjadi kejahatan/ pelecehan
seksual. Ditemukan lendiur yang kental dan berbau disertai bercak warna
kemerahan pada bagian celana dalam. Ditemukan bekas gigitan (bite marak)
warna kebiruan pada paha dalam sebelah kiri. Sehari sebelumnya anak tersebut
main ke rumah kos tetangga Bersama temannya karena dipanggil oleh
seseorang yang tidak dikenali. Ada informasi tempat kos tersebut merupakan
tempat khusus laki- laki. Kemudian ibunya melaporkan kejadian tersebut
kepada polisi untuk meminta visum untuk anaknya.
Gambar
Demam terjadi karena adanya suatu zat yang dikenal dengan nama pirogen.
Pirogen adalah zat yang dapat menyebabkan demam. Pirogen terbagi dua yaitu
pirogen eksogen adalah pirogen yang berasal dari luar tubuh pasien. Contoh dari
pirogen eksogen adalah produk mikroorganisme seperti toksin atau
1
mikroorganisme seutuhnya. Salah satu pirogen eksogen klasik adalah endotoksin
lipopolisakarida yang dihasilkan oleh bakteri gram negatif. Jenis lain dari pirogen
adalah pirogen endogen yang merupakan pirogen yang berasal dari dalam tubuh
pasien.(Dinarello & Gelfand, 2007).
Bite mark merupakan teraan yang terbentuk dari pola gigi pada suatu objek.
Bite mark harus dapat memenuhi karakteristik kelas dan karakterikstik individual
sehingga dapat dipakai sebagai barang bukti di pengadilan. Karakteristik kelas
dipakai untuk menentukan tipe pelaku pengigit, apakah bersumber dari manusia,
hewan, atau bukan merupakan suatu pola gigitan. Karakteristik individual
meliputi karakteristik lengkung rahang dan gigi. Lengkung rahang dilihat dari
bentuk, ukuran, posisi gigi, serta diastema. sedangkan gigi dapat dilihat dari
fraktur, anomali gigi, karies, serta tampilan anatomis insisal gigi. Objek dapat
berupa media benda mati, makanan, serta kulit seseorang.(Vanessa, 2021)
2
Pada korban diskenario ditemukan bite mark untung mengetahui dengan
lebih dalam dilakukan anamnesis pemeriksaan fisik dan penunjang serta
pemeriksaan khusus untuk mengetahui korban pada skenario terjadi kekerasan
seksual atau pemerkosaan yakni dengan pemeriksaan Pemeriksaan Swab dan
Sampel, Pemeriksaan darah dan urin serta Pemeriksaan Kehamilan. (Samatha et
al., 2018)
a. Masalah kemiskinan
b. Masalah gangguan hubungan sosial keluarga dan komunitas 3.
Penyimpangan perilaku dikarenakan masalah psikososial
c. Lemahnya kontrol sosial primer masyarakat dan hukum
d. Pengaruh nilai sosial budaya di lingkungan sosial tertentu
e. Keengganan masyarakat untuk melaporkan kasus-kasus
3
BAB II
PRMBAHASAN
2.1 Definisi kekerasan seksual dan jenis – jenis kekerasan seksual
4
d) Eksploitasi Seksual yaitu tindakan penyalahgunaan kekuasaan
yang timpang, atau penyalahgunaan kepercayaan, untuk tujuan
kepuasaan seksualitas, maupun untuk memperoleh keuntungan
dalam bentuk uang, sosial, politik, dan lainnya.
e) Perdagangan Perempuan untuk Tujuan Seksual adalah tindakan
merekrut, mengangkut, menampung, mengirim, memindahkan ,
atau menerima seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan
kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan,
penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang
atau pemberian.
f) bayaran atau manfaat terhadap korban secara langsung maupun
orang lain yang menguasainya, untuk tujuan prostitusi ataupun
eksploitasi seksual lainnya. Perdagangan perempuan dapat terjadi
di dalam negara maupun antar negara.
g) Prostitusi Paksa adalah situasi dimana perempuan mengalami tipu
daya, ancaman maupun kekerasan untuk menjadi pekerja seks.
h) Perbudakan Seksual adalah situasi dimana pelaku merasa menjadi
“pemilik” atas tubuh korban sehingga berhak untuk melakukan
apapun termasuk memperoleh kepuasan seksual melalui
pemerkosaan atau bentuk lain kekerasan seksual.
i) Pemaksaan Perkawinan, termasuk Cerai Gantung adalah jenis
kekerasan seksual karena pemaksaan hubungan seksual menjadi
bagian tidak terpisahkan dari perkawinan yang tidak diinginkan
oleh perempuan tersebut.
j) Pemaksaan kehamilan yaitu situasi ketika perempuan dipaksa,
dengan kekerasan maupun ancaman kekerasan, untuk melanjutkan
kehamilan yang tidak dia kehendaki.
k) Pemaksaan Aborsi yaitu pengguguran kandungan yang dilakukan
karena adanya tekanan, ancaman, maupun paksaan dari pihak lain.
l) Pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi yaitu pemasangan alat
kontrasepsi dan/atau pelaksanaan sterilisasi tanpa persetujuan utuh
5
dari perempuan karena ia tidak mendapat informasi yang lengkap
ataupun dianggap tidak cakap hukum untuk dapat memberikan
persetujuan.
m) Penyiksaan seksual yaitu tindakan khusus yang menyerang organ
dan seksualitas perempuan, yang dilakukan dengan sengaja ,
sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan hebat, baik
jasmani, rohani maupun seksual.
n) Penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual adalah car a
menghukum yang menyebabkan penderitaan, kesakitan, ketakutan,
atau rasa malu yang luar biasa yang tidak bisa tidak termasuk dalam
penyiksaan.
o) Praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan atau
mendiskriminasi perempuan yaitu kebiasaan masyarakat yang
bernuansa seksual dan dapat menimbulkan cedera secara fisik,
psikologis maupun seksual pada perempuan.
p) Kontrol seksual, termasuk lewat aturan diskriminatif beralasan
moralitas dan agama yaitu tindak kekerasan maupun ancaman
kekerasan secara langsung mapun tidak langsung untuk
mengancam atau memaksakan perempuan untuk menginternalisasi
simbol-simbol tertentu yang tidak disetujuinya.
1. Tanda langsung
a) Adanya robekan selaput dara
b) Luka lecet atau memar di lliang senggama
c) Ditemukan sperma
2. Tanda tidak langsung
a) Kehamilan
b) Penyakit hubungan seksual
3. Pemeriksaan Korban
6
a) Pemeriksaan Tubuh
Apabila pada persetubuhan tersebut disertai dengan ejakulasi
dan ejakulat tersebut mengandung sperma, maka adanya
sperma di dalam liang vagina merupakan tanda pasti adanya
persetubuhan. Apabila ejakulat tidak mengandung sperma,
maka pembuktian adanya persetubuhan dapat diketahui
dengan melakukan pemeriksaan terhadap ejakulat tersebut.
b) Pemeriksaan Pakaian
Dalam hal pembuktian adanya persetubuhan, pemeriksaan
dapat dilakukan pada pakaian korban untuk menentukan
adanya tanda bercak ejakulat. Dari bercak tersebut dapat
dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk memastikan bahwa
bercak yang telah ditemukan adalah air mani serta dapat
menentukan adanya sperma.
4. Pemeriksaan Pelaku
a. Pemeriksaan tubuh Untuk mengetahui apakah seorang pria
baru melakukan persetubuhan, dapat dilakukan pemeriksaan
ada tidaknya sel epitel vagina pada glans penis. Perlu juga
dilakukan pemeriksaan sekret uretra untuk menentukan adanya
penyakit kelamin.
b. Pemeriksaan pakaian Pada pemeriksaan pakaian, catat adanya
bercak semen, darah, dan sebagainya.
5. Pembuktian Kekerasan
Luka-luka yang sering ditemukan, yaitu di daerah mulut dan bibir,
leher, puting susu, pergelangan tangan, pangkal paha serta di sekitar
dan pada alat genital. Luka-luka akibat kekerasan seksual biasanya
berbentuk luka lecet bekas kuku, gigitan (bite marks) serta luka-luka
memar.
7
2.3 Prosedur medicolegal ( VeR verbal)
8
Beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam pemeriksaan korban
kekerasan seksual(Ratna Dewi P et al., 2017):
Anamnesis
9
c. Riwayat paritas dan/atau abortus,
d. Riwayat haid (menarche, hari pertama haid terakhir, siklus
haid),
e. Riwayat koitus (sudah pernah atau belum, riwayat koitus
sebelum dan/atau setelah kejadian kekerasan seksual, dengan
siapa, penggunaan kondom atau alat kontrasepsi lainnya),
f. Penggunaan obat-obatan (termasuk NAPZA),
g. Riwayat penyakit (sekarang dan dahulu), serta
h. Keluhan atau gejala yang dirasakan pada saat pemeriksaan
10
B. When:
a. tanggal dan jam kejadian, bandingkan dengan tanggal dan jam
melapor, dan
b. apakah tindakan tersebut baru satu kali terjadi atau sudah berulang.
C. Where:
a. tempat kejadian, dan
b. jenis tempat kejadian (untuk mencari kemungkinan trace evidence
dari tempat kejadian yang melekat pada tubuh dan/atau pakaian
korban).
D. Who:
a. apakah pelaku dikenal oleh korban atau tidak,
b. jumlah pelaku,
c. usia pelaku, dan
d. hubungan antara pelaku dengan korban.
1. Pemeriksaan fisik
a. tingkat kesadaran,
b. keadaan umum,
11
c. tanda vital,
d. penampilan (rapih atau tidak, dandan, dan lain-lain),
e. afek (keadaan emosi, apakah tampak sedih, takut, dan sebagainya),
f. pakaian (apakah ada kotoran, robekan, atau kancing yang terlepas),
g. status generalis,
h. tinggi badan dan berat badan,
i. rambut (tercabut/rontok)
j. gigi dan mulut (terutama pertumbuhan gigi molar kedua dan
ketiga),
k. kuku (apakah ada kotoran atau darah di bawahnya, apakah ada kuku
yang tercabut atau patah),
l. tanda-tanda perkembangan seksual sekunder,
m. tanda-tanda intoksikasi NAPZA, serta
n. status lokalis dari luka-luka yang terdapat pada bagian tubuh selain
daerah kemaluan.
12
Pemeriksaan fisik khusus bertujuan mencari bukti-bukti fisik yang terkait dengan
tindakan kekerasan seksual yang diakui korban dan mencakup pemeriksaan:
a. daerah pubis (kemaluan bagian luar), yaitu adanya perlukaan pada jaringan
lunak atau bercak cairan mani;
b. penyisiran rambut pubis (rambut kemaluan), yaitu apakah adanya rambut
pubis yang terlepas yang mungkin berasal dari pelaku, penggumpalan atau
perlengketan rambut pubis akibat cairan mani;
c. daerah vulva dan kulit sekitar vulva/paha bagian dalam (adanya perlukaan
pada jaringan lunak, bercak cairan mani);
d. labia mayora dan minora (bibir kemaluan besar dan kecil), apakah ada
perlukaan pada jaringan lunak atau bercak cairan mani;
e. vestibulum dan fourchette posterior (pertemuan bibir kemaluan bagian
bawah), apakah ada perlukaan
f. hymen (selaput dara), catat bentuk, diameter ostium, elastisitas atau
ketebalan, adanya perlukaan seperti robekan, memar, lecet, atau hiperemi).
Apabila ditemukan robekan hymen, catat jumlah robekan, lokasi dan arah
robekan (sesuai arah pada jarum jam, dengan korban dalam posisi litotomi),
apakah robekan mencapai dasar (insersio) atau tidak, dan adanya
perdarahan atau tanda penyembuhan pada tepi robekan;
g. vagina (liang senggama), cari perlukaan dan adanya cairan atau lendir;
h. serviks dan porsio (mulut leher rahim), cari tanda-tanda pernah melahirkan
dan adanya cairan atau lendir;
i. uterus (rahim), periksa apakah ada tanda kehamilan;
j. anus (lubang dubur) dan daerah perianal, apabila ada indikasi berdasarkan
anamnesis;
k. mulut, apabila ada indikasi berdasarkan anamnesis,
l. daerah-daerah erogen (leher, payudara, paha, dan lain-lain), untuk mencari
bercak mani atau air liur dari pelaku; serta
m. tanda-tanda kehamilan pada payudara dan perut.
Kesulitan utama yang umumnya dihadapi oleh dokter pemeriksa adalah
pemeriksaan selaput dara. Bentuk dan karakteristik selaput dara sangat
13
bervariasi (Gambar 2). Pada jenis-jenis selaput dara tertentu, adanya
lipatan-lipatan dapat menyerupai robekan. Karena itu, pemeriksaan selaput
dara dilakukan dengan traksi lateral dari labia minora secara perlahan, yang
diikuti dengan penelusuran tepi selaput dara dengan lidi kapas yang kecil
untuk membedakan lipatan dengan robekan. Pada penelusuran tersebut,
umunya lipatan akan menghilang, sedangkan robekan tetap tampak dengan
tepi yang tajam
14
Saat melakukan pemeriksaan fisik, dokumentasi yang baik sangat
penting.Selain melakukan pencatatan dalam rekam medis, perlu dilakukan
pemotretan bukti-bukti fisik yang ditemukan. Foto-foto dapat membantu
dokter membuat visum et repertum. Dengan pemotretan, korban juga tidak
perlu diperiksa terlalu lama karena foto-foto tersebut dapat membantu
dokter mendeskripsi temuan secara detil setelah pemeriksaan selesai.
Menentukan ada tidaknya persetubuhan:
• Tanda langsung
- Adanya robekan selaput dara
- Luka lecet atau memar di lliang senggama - Ditemukan
sperma
• Tanda tidak langsung
- Kehamilan
- Penyakit hubungan seksual
15
Pemeriksaan Korban
a. Pemeriksaan Tubuh
Pemeriksaan dilakukan pada selaput dara, apakah ada ruptur atau
tidak. Bila ada, tentukan ruptur baru atau lama dan catat lokasi ruptur
tersebut, teliti apakah sampai ke insertio atau tidak. Tentukan besar
orifisium, sebesar ujung jari kelingking, jari telunjuk, atau dua jari. Sebagai
gantinya dapat juga ditentukan ukuran lingkaran orifisium, dengan cara
ujung kelingking atau telunjuk dimasukkan dengan hati-hati ke dalam
orifisium sampai terasa tepi selaput dara menjepit ujung jari, beri tanda pada
sarung tangan dan lingkaran pada titik itu diukur. Ukuran pada seorang
perawan kira-kira 2,5 cm. Lingkaran yang memungkinkan persetubuhan
dapat terjadi menurut Voight adalah minimal 9 cm. Harus diingat bahwa
tidak terdapatnya robekan pada selaput dara, tidak dapat dipastikan bahwa
pada wanita tidak terjadi penetrasi; sebaliknya adanya robekan pada selaput
dara hanya merupakan pertanda adanya suatu benda (penis atau benda lain
yang masuk ke dalam vagina
Apabila pada persetubuhan tersebut disertai dengan ejakulasi dan
ejakulat tersebut mengandung sperma, maka adanya sperma di dalam liang
vagina merupakan tanda pasti adanya persetubuhan. Apabila ejakulat tidak
mengandung sperma, maka pembuktian adanya persetubuhan dapat
diketahui dengan melakukan pemeriksaan terhadap ejakulat tersebut.
Komponen yang terdapat di dalam ejakulat dan dapat diperiksa adalah:
enzim asam fosfatase, kolin dan spermin. Baik enzim asam fosfatase, kolin
maapun spermin bila dibandingkan dengan sperma nilai pembuktiannya
lebih rendah oleh karena ketiga komponen tersebut tidak spesifik.
Walaupun demikian enzim fosfatase masih dapat diandalkan, karena kadar
asam fosfatase yang terdapat dalam vagina (berasal dari wanita itu sendiri),
kadarnya jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan asam fosfatase yang
berasal dari kelenjar fosfat.
Dengan demikian apabila pada kejahatan seksual yang disertai
dengan persetubuhan itu tidak sampai berakhir dengan ejakulasi, dengan
16
sendirinya pembuktian adanya persetubuhan secara kedokteran forensik
tidak mungkin dapat dilakukan secara pasti. Sebagai konsekuensinya,
dokter tidak dapat secara pasti pula menentukan bahwa pada seorang wanita
tidak terjadi persetubuhan; maksimal dokter harus mengatakan bahwa pada
diri wanita yang diperiksanya itu tidak ditemukan tanda-tanda
persetubuhan, yang mencakup dua kemungkinan: pertama, memang tidak
ada persetubuhan dan yang kedua persetubuhan ada tapi tanda-tandanya
tidak dapat ditemukan.
Apabila persetubuhan telah dapat dibuktikan secara pasti maka
perkiraan saat terjadinya persetubuhan harus ditentukan; hal ini menyangkut
masalah alibi yang sangat penting di dalam proses penyidikan. Dalam waktu
4-5 jam postkoital sperma di dalam liang vagina masih dapat bergerak;
sperma masih dapat ditemukan namun tidak bergerak sampai sekitar 24-36
jam postkoital, dan masih dapat ditemukan sampai 7-8 hari bila wanita yang
menjadi korban meninggal. Perkiraan saat terjadinya persetubuhan juga
dapat ditentukan dari proses penyembuhan selaput dara yang robek. Pada
umumnya penyembuhan tersebut dicapai dalam waktu 7-10 hari postkoital.
b. Pemeriksaan Pakaian
Dalam hal pembuktian adanya persetubuhan, pemeriksaan dapat
dilakukan pada pakaian korban untuk menentukan adanya bercak ejakulat.
Dari bercak tersebut dapat dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk
memastikan bahwa bercak yang telah ditemukan adalah air mani serta dapat
menentukan adanya sperma.
c. Pemeriksaan Pelaku
• Pemeriksaan tubuh Untuk mengetahui apakah seorang pria baru
melakukan persetubuhan, dapat dilakukan pemeriksaan ada
tidaknya sel epitel vagina pada glans penis. Perlu juga dilakukan
pemeriksaan sekret uretra untuk menentukan adanya penyakit
kelamin.
• Pemeriksaan pakaian Pada pemeriksaan pakaian, catat adanya
bercak semen, darah, dan sebagainya. Bercak semen tidak
17
mempunyai arti dalam pembuktian sehingga tidak perlu ditentukan.
Darah mempunyai nilai karena kemungkinan berasal dari darah
deflorasi. Di sini penentuan golongan darah penting untuk
dilakukan. Trace evidence pada pakaian yang dipakai ketika terjadi
persetubuhan harus diperiksa. Bila fasilitas untuk pemeriksaan tidak
ada, kirim ke laboratorium forensik di kepolisian atau bagian Ilmu
Kedokteran Forensik, dibungkus, segel, serta dibuat berita acara
pembungkusan dan penyegelan.
2. Pemeriksaan penunjang
18
• Reaksi Berberio
Prinsip reaksi ini adalah menentukan adanya spermin dalam
semen. Spermin yang terkandung pada cairan mani akan beraksi
dengan larutan asam pikrat jenuh membentuk kristal spermin
pikrat.Bercak diekstraksi dengan sedikit aquades. Ekstrak
diletakkan pada kaca objek, biarkan mengering, tutup dengan kaca
penutup.Reagen diteteskan dengan pipet di bawah kaca penutup.
Interpretasi : hasil positif memperlihatkan adanya kristal spermin
pikrat yang kekuning-kuningan atau coklat berbentuk jarum
dengan ujung tumpul.
• Reaksi Florence
Dasar reaksi adalah untuk menemukan adanya kholin. Bila
terdapat bercak mani, tampak kristal kholin-peryodida berwarna
coklat, berbentuk jarum dengan ujung terbelah.
b.Pemeriksaan Spermatozoa
19
Dengan pewarnaan (pulasan Malachite green 1 %)
Interpretasi : pada pengamatan di bawah mikroskop akan terlihat
gambaran sperma dengan kepala sperma tampak berwarna ungu
menyala dan lehernya merah muda, sedangkan ekornya berwarna
hijau.
• Pewarnaan Baecchi
Prinsip kerja nya yaitu asam fukhsin dan metilen biru
merupakan zat warna dasar dengan kromogen bermuatan positif.
Asam nukleat pada kepala spermatozoa dan komponen sel tertentu
pada ekor membawa muatan negatif, maka akan berikatan secara
20
kuat dengan kromogen kationik tadi. Sehingga terjadi pewarnaan
pada kepala spermatozoa. Interpretasi : Kepala spermatozoa
berwarna merah, ekor merah muda, menempel pada serabut
benang.
• Dasar berat badan, tinggi badan, bentuk tubuh, gigi, ciri-ciri kelamin
sekunder
• Pemeriksaan sinar X : standar waktu penyatuan tulang
21
Penentuan Sudah atau Belum Waktunya Dikawin (Ratna Dewi P et al.,
2017)
22
2.5 Tindak pidana pelaku
23
o. kejahatan berbuat cabul dengan anaknya, anak dibawah
pengawasannya dan lain-lain yang belum dewaasa (Pasal 294);
p. kejahatan pemudahan berbuat cabul bagi anaknya, anak tirinya dan
lain-lain yang belum dewasa (pasal 295);
q. kejahatan pemudahan berbuat cabul sebagai mata pencaharian atau
kebiasaan (pasal 296);
r. kejahatan memperdagangkan wanita dan anak laki-laki yang
belum dewasa (Pasal 297);
s. kejahatan mengobati wanita dengan menimbulkan harapan bahwa
hamilnya dapat digugurkan (Pasal 299).
Saat perlakuan salah pada anak terjadi, lantaran perbuatan itu, pelaku tidak
sadar bahkan mungkin tidak tahu bahwa tindakannya itu akan diancam dengan
pidana senjata atau denda yang tidak sedikit, bahkan jika pelaku ialah orang
tuanya sendiri maka hukuman akan ditambah sepertiganya yakni pada pasal 80
Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak, sebagai berikut (Ratna Dewi P et al., 2017):
24
2. Dalam hal anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) luka berat, maka pelaku
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling
banyak Rp. 100.000.000.00.
3. Dalam hal anak yang dimaksud ayat 2 mati, maka pelaku dipidana penjara
paling lama 10 tahun dan/atau denda paling banyak RP. 200.000.000.004.
Pidana dapat ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), ayat (2)yat (3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut orang
tuanya).
Bentuk Kekerasan pada Anak Terdapat lima bentuk kekerasan pada anak
yaitu(Ratna Dewi P et al., 2017):
25
masyarakat, atau merupakan segala tingkah laku seksual yang dilakukan antara
anak dan orang dewasa. Contoh, pelacuran anak-anak, intercourse, pornografi,
eksibionisme, oral sex, dan lain-lain. (Ratna Dewi P et al., 2017)
26
2.6 KIE pada korban dan keluarga
27
Menjelaskan kepada keluarga korban bahwa ada tiga tahap dalam proses
pemulihan trauma kepada korban kekerasan seksual, diantaranya :
Lima tahapan kesedihan yang umum digunakan sebagai teori pemulihan diri
dan pada korban tidak selalu melewati setiap tahapan adalah sebagai berikut
(Rahayu, 2021):
28
melakukan tawar menawar dengan harapan bahwa trauma ini bisa hilang
dengan sendirinya
d. Depression (Depresi) Pada tahapan ini, suatu periode depresi atau perubahan
mood terus menerus. Kornan saat fase ini menjadi pendiam, menolak orang lain,
dan banyak merenung. Usaha-usaha untuk memeperbaiki dirinya bisa membuta
korban masuk kedalam kondisi depresi.
29
BAB III
KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan
30
DAFTAR PUSTAKA
Intan, A., Setyono, N., Zachra Wadjo, H., & Salamor, Y. B. (2021). Perlindungan
Hukum Terhadap Anak Dari Eksploitasi Seksual. Jurnal Ilmu Hukum, 1(1),
12–16.
Ratna Dewi P, I, M. G., Falamy, R., & Ramkita, N. (2017). Pemeriksaan Fisik
Dan Aspek Medikolegal Kekerasan Seksual Pada Anak Dan Remaja. In
Journal of Chemical Information and Modeling (Vol. 53, Issue 9).
Samatha, S. A., Dhanardhono, T., Kirana, S., Bhima, L., & Medis, A. (2018).
Aspek medis pada kasus kejahatan seksual. 7(2), 1012–1029.
Vanessa. (2021). Kegagalan Analisis Bite mark dalam Identifikasi Forensik. 3(2),
21–23.
Dinarello, C.A., and Gelfand, J.A., 2007. Fever and Hyperthermia. In: Kasper,
D.L., et. al., ed. Harrison's Principles of Internal Medicine. 16th ed. Singapore:
The McGraw-Hill Company, 104-108.
Sherwood L.2010. Human Physiology From Cells to System. 7th ed. United
States of America: Boorks/cole.
31