Anda di halaman 1dari 20

PERLINDUNGAN KORBAN KEKERASAN SEKSUAL YANG

MENGALAMI VICTIM BLAMING DI MEDIA SOSIAL DITINJAU


DARI ALIRAN REALISME HUKUM.
STUDI KASUS: SKANDAL MISS UNIVERSE INDONESIA

Dosen Pembimbing:
Rabiatul Syahriah S.H.,M.Hum

Disusun oleh Kelompok 6:


1.Gabriel Defri Manik 210200657
2. Yoseva Avrioline Br Barus 210200658
3. Chandra Halim 210200659
4. Clarissa Sitanggang 210200660
5. Sonly Mutiara Sarulina.S 210200661
6. Muhammad Alfi Randall 210200662
7. Natalya Omny Letare 210200663
8. David Oktavinus A. S. 210200667
9. Tengku Nabilah Syahira 210600668
10. Josua Stevando Siahaan 210200692

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan karunia-Nya sehingga
penulisan makalah yang berjudul “MAKALAH PERLINDUNGAN KORBAN
KEKERASAN SEKSUAL YANG MENGALAMI VICTIM BLAMING DI MEDIA
SOSIAL DALAM KASUS SKANDAL MISS UNIVERSE INDONESIA DITINJAU
DARI ALIRAN REALISME HUKUM” dapat diselesaikan oleh kelompok kami
dengan tepat waktu. Adapun tujuan dari penulisan makalah ini ialah sebagai
pemenuhan tugas mata kuliah Filsafat Hukum.
Penulisan makalah ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak yang telah ikut
berperan dalam pembuatan makalah ini, terkhusus Dosen Pembimbing mata kuliah
Filsafat Hukum yaitu Ibu Rabiatul Syahriah S.H.,M.Hum serta pihak-pihak lain yang
berperan secara langsung maupun tidak langsung. Sebagai ungkapan rasa syukur,
penulis mengucapkan terima kasih.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,
penulis membutuhkan kritik dan saran yang bisa membangun agar kedepannya menjadi
lebih baik lagi. Akhir kata, kami penulis berharap semoga makalah ini dapat
dipergunakan sebaik-baiknya dan bermanfaat bagi banyak orang. Sekian terimakasih.

Medan, 30 Oktober 2023

Penulis

1
2

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................... 1
DAFTAR ISI.............................................................................................................. 2
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................... 3
1.1 Latar Belakang................................................................................................... 3
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................. 5
1.3 Tujuan Penulisan ............................................................................................... 5
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................... 5
2.1 Pengaruh perlindungan korban Victim Blaming di Media Sosial terhadap korban
kekerasan seksual. ................................................................................................... 5
2.2 Akibat Victim Blaming yang terjadi pada korban pelecehan seksual dalam
skandal Miss Universe Indonesia 2023. .................................................................. 7
2.3 Analisa Victim Blaming yang terjadi pada korban pelecehan seksual dalam
skandal Miss Universe Indonesia 2023 ditinjau dari Aliran Realisme Hukum....... 12
BAB III PENUTUP ................................................................................................... 13
3.1. Kesimpulan ....................................................................................................... 13
3.2. Saran ……………………………………………………………………….14
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 15
3

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kekerasan seksual telah lama menjadi topik pembicaraan di kalangan


masyarakat Indonesia. Pelecehan seksual merupakan salah satu bentuk dari kekerasan
seksual yang ada, Indonesia sendiri memiliki ribuan kasus pelecehan seksual yang
terjadi di setiap tahunnya. Tidak asing untuk didengar kasus pelecehan seksual ini
terjadi di berbagai kalangan terlepas dari motif dan faktor yang terkandung didalamnya.
Berdasarkan World Health (WHO) kekerasan seksual meliputi kekerasan verbal,
tindakan pemaksaan, dan ancaman yang terjadi bila korban menolak untuk menuruti
permintaan pelaku. Menurut KBBI, Pelecehan seksual merupakan pelanggaran batasan
seksual orang lain atau norma perilaku seksual. Sesuai data yang telah dihimpun oleh
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak telah tercatat
bahwasanya kasus kekerasan seksual yang dialami oleh perempuan di Indonesia januari
hingga november tahun 2023 adalah sebanyak 9.658 kasus. Melihat dari fakta yang ada,
begitu banyak korban pelecehan seksual yang dialami oleh perempuan menjadi beban
dan tugas yang berat bagi negara, dimana negara harus memberikan perhatian lebih
terhadap para korban yang mengalami pelecehan seksual. salah satunya adalah
perlindungan serta perhatian terhadap kepentingan korban kekerasan seksual baik
melalui proses peradilan maupun melalui sarana kepedulian sosial tertentu merupakan
bagian mutlak yang perlu dipertimbangkan dalam kebijakan hukum di Indonesia.1

Hukum Indonesia belum sepenuhnya memberikan konsekuensi hukum yang


tegas bagi pelaku dan perlindungan bagi korban, hanya sedikit kasus kekerasan seksual
yang diadukan ke pengadilan. Ini disebabkan karena korban takut untuk melapor pada
pihak berwajib karena adanya stigma buruk oleh masyarakat terhadap korban kekerasan
seksual. Media sering meliput berita mengenai sisi korban yang disalahkan terjadinya
kekerasan seksual, misalnya korban memakai baju terbuka, korban yang keluar malam,
atau korban pergi sendiri, yang akhirnya dapat memicu nafsu pelaku.2 Dalam peredaran
di Media Sosial terdapat banyak perbedaan reaksi dan tanggapan oleh pengguna

1
Paradiaz, R., & Soponyono, E. (2022). Perlindungan hukum terhadap korban pelecehan
seksual. Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia, 4(1), Hal. 61-72.
2
Ibid.
4

internet terhadap berita kekerasan seksual yang beredar, ada yang menyemangati dan
mendukung para korban namun ada pula yang mempertanyakan atau bahkan
menyalahkan para korban atas pelecehan seksual tersebut. Fenomena menyalahkan
korban inilah yang disebut dengan Victim Blaming, dimana kondisi ini yang sebenarnya
tidak boleh dilakukan terhadap korban atau penyintas pelecehan seksual. Pihak-pihak
yang yang berperan dalam Victim Blaming ini biasanya berasal dari instansi tertentu
seperti penegak hukum, tenaga medis, bahkan orang terdekat korban dan juga para
pengguna media sosial atau yang kita kenal belakangan ini dengan sebutan ‘Netizen’.
Hal yang sangat disayangkan karena banyaknya pihak yang melakukan Victim Blaming,
padahal dalam keadaan sadar yang disalahkan tersebut merupakan korban dalam kasus
yang terjadi, sehingga ketidakadilan yang diemban oleh korban seolah mendapati
sekaligus dua kejahatan yaitu kekerasan seksual yang dialami serta penyalahan korban
yang dilakukan di media sosial yang berujung tidak hanya kondisi fisik namun batin
dan mental korban pun menjadi terganggu.3

Sejumlah finalis Miss Universe Indonesia (MUID) melapor ke Polda Metro


Jaya pada Senin (7/8) atas dugaan pelecehan seksual jelang grand final MUID. Ajang
MUID telah menobatkan Fabienne Nicole Groeneveld sebagai pemenang. Bukan
disambut sukacita, kemenangan Fabienne malah 'disambut' pengunduran diri pihak-
pihak pendukung gelaran. Tak hanya itu, justru kini mencuat kasus dugaan pelecehan
seksual. Para finalis MUID disebut diminta melakukan pengecekan tubuh (body
checking) jelang grand final. Grand final MUID diselenggarakan pada 3 Agustus 2023,
sedangkan body checking dilakukan pada 1 Agustus 2023 atau dua hari jelang grand
final. Melisa Anggraini, kuasa hukum finalis MUID sekaligus korban, menyebut dalam
rundown tidak disebutkan body checking. Dari keterangan para finalis, Melisa
menemukan body checking tidak dilakukan di ruang privat atau tertutup tetapi di sebuah
ballroom dengan sekat seadanya. Jelita berkata dirinya diminta untuk fitting gaun
malam (evening gown). Namun saat masuk, tiba-tiba dirinya disuruh membuka semua
pakaian kecuali celana dalam. Saat menutup area tubuh bagian atas, dia dibentak,
dianggap tidak bangga akan tubuhnya sendiri.

3
Firmanda, H., Azlina, I. I. S., & Septipah, I. (2023). Perlindungan Korban Kekerasan Seksual
yang Mengalami Victim Blaming di Media Sosial Berdasarkan Aliran Realisme Hukum. Reformasi
Hukum, 27(1), Hal.38-49.
5

"Saya di situ merasa agak tertekan, tapi saya juga tidak bisa berbuat apa-apa karena
takut itu sebagai salah satu penilaian," ungkapnya. Dari beberapa korban yang telah
berani speak-up alias angkat suara dengan tindakan tidak senonoh yang mereka alami,
ada dugaan kuat bahwa jumlah korban jauh lebih banyak. Sementara, korban yang
berani speak up justru mendapat bully-an, terutama dari warganet. Tak jarang para
korban disalahkan karena memilih untuk tetap melanjutkan perjalanannya di Miss
Universe Indonesia, meski sudah jadi korban.

Melissa meminta publik untuk menghentikan budaya blaming victim. “Di dalam
budaya kita tuh masih dikenal takut dengan victim blaming. Seolah mereka udah tahu
Miss Universe seperti itu kenapa kalian masuk?”

“Jadi, kita harus hentikan budaya victim blaming, mempersalahkan orang-orang


yang mau speak up,” beber Melissa. Hal itu pula yang membuat para korban kekerasan
seksual takut untuk lapor ke pihak berwajib. Pasalnya, masih banyak yang menganggap
korban kekerasan seksual terjadi karena cara berpakaian. Dari kejadian ini, Melissa
berharap publik bisa berhenti menormalisasi budaya victim blaming.4

1.2 Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang dikedepankan dalam tulisan ini adalah:

1. Bagaimanakah pengaruh perlindungan korban yang mengalami Victim Blaming


di Media Sosial terhadap korban kekerasan seksual ?

2. Bagaimanakah akibat Victim Blaming yang terjadi pada korban pelecehan


seksual dalam skandal Miss Universe Indonesia 2023 ?

3. Bagaimanakah analisa Victim Blaming yang terjadi pada korban pelecehan


seksual dalam skandal Miss Universe Indonesia 2023 ditinjau dari Aliran
Realisme Hukum?

1.3 Tujuan Penulisan

4
Kasus Pelecehan Miss Universe Indonesia, Korban Di-bully, Pengacara: Stop Budaya Victim
Blaming - Tribunternate.com (tribunnews.com)
6

Peran realisme hukum dalam mengatasi perilaku victim blaming yang dilakukan
masyarakat media sosial adalah untuk dapat mengontrol kepribadian manusia dalam
memandang sesuatu berdasarkan gerakan sosial untuk tidak menyalahkan korban atas
kejahatan yang terjadi terhadap dirinya karena kekuatan sosial akan menghasilkan
hukum yang adil, apalagi diketahui gerakan para pengguna media sosial sangat
berpengaruh karena arusnya yang menyebar dengan cepat, sehingga dengan begitu
hukumpun harus dapat mengikuti perkembangan masyarakat dan mengatasi
problematika yang terjadi didalam kehidupan masyarakat
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pengaruh perlindungan korban Victim Blaming di Media Sosial terhadap


korban kekerasan seksual.

Dalam kasus kekerasan seksual, terdapat parameter yang menentukan apakah


seorang perempuan pantas untuk dituduh. Salah satunya adalah perempuan juga
menjalin hubungan romantis berdasarkan persetujuan bersama. Kenyataannya, korban
tidak seharusnya mengalami “hukuman” melalui sanksi sosial atau tindak pidana. Hal
ini karena korban mengalami ketakutan untuk kedua kalinya melalui reaksi orang lain
terhadap kejadian yang dialaminya sendiri. Fenomena menyalahkan korban termasuk
dalam viktimisasi sekunder dan reviktimisasi. Istilah ini dapat diartikan sebagai upaya
untuk menyalahkan trauma, keterasingan, dan penderitaan yang dirasakan korban
karena perlakuan yang diterimanya tidak sesuai harapan. Korban biasanya disalahkan
kembali dan biasanya terlibat dengan otoritas hukum atau pemerintah. Dalam konsep
victim blaming dalam kasus kekerasan seksual berbasis gender disalahkan sebagai
korban kekerasan seksual melalui ancaman verbal berupa kata-kata dan teks dalam
pemberitaan media atau dari mulut ke mulut di kalangan masyarakat. Dan kerap
digambarkan tidak hanya sebagai korban , namun juga sebagai pelaku kekerasan
seksual yang menimpa mereka. Maka dari itu sangat diperlukan adanya perlindungan
terhadap korban yang mengalami victim blaming. Adanya pengesahan regulasi
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU
TPKS) membawa perspektif baru dalam penegakan hukum kasus kekerasan seksual.
UU TPKS ini diharapkan dapat mewujudkan sistem perlindungan bagi korban dan juga
mengatur hak bagi korban kekerasan seksual dalam dimensi pemulihan korban.
Misalnya saja hak korban kekerasan seksual yang di atur pada pasal 66 ayat (1). Korban
di jamin haknya sejak terjadinya peristiwa kekerasan seksual meliputi penanganan,
perlindungan dan pemulihan. Adapun pada ayat (2) mengatur secara spesifik bagi
korban disabilitias mendapatkan hak aksesbilitas dan akomodasi agar dapat memenuhi
haknya.5 Sementara itu, hak korban atas pemulihan meliputi rehabilitasi medis, mental

5
Rully Novian, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban: Tindak Pidana Kekerasan Seksual,
https://ssk.lpsk.go.id/tindak-pidana-kekerasan-seksual-apa-saja-hak-korban, Diakses pada 23 November
2023.

5
6

dan sosial, pemberdayaan sosial, restitusi dan/atau kompensasi, serta reintegrasi sosial.
Korban juga berhak atas pemulihan sebelum, selama, dan setelah proses peradilan
seperti pendampingan hukum, penguatan psikologis, dan sebagainya. Hal ini secara
lengkap diatur di dalam Pasal 68, Pasal 69, dan Pasal 70 UU TPKS.

Berikut merupakan pengaruh perlindungan korban yang mengalami victim blaming di


Media Sosial Terhadap Korban Kekerasan Seksual:6

1. Sikap Masyarakat Terhadap Korban Kekerasan Seksual

Victim blaming merupakan miskomunikasi masyarakat tentang bagaimana


pelaku dan korban berfungsi. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa
menyalahkan korban adalah ideologi yang mendukung rasisme dan
ketidakadilan sosial terhadap korban pelecehan dengan menganggap mereka
bersalah. Masyarakat cenderung menyalahkan korban pelecehan seksual karena
kurangnya pengetahuan tentang perilaku serta kekerasan seksual. Ini mengacu
pada prinsip-prinsip hidupnya, tindakannya, dan keadaan pikirannya. Ketika
kekerasan seksual terjadi pada masyarakat, menyalahkan korban dengan sering
akan mendorong orang lain untuk menyalahkan korban. Dalam model lain,
wanita yang mengenakan pakaian terbuka dan seksi dianggap sebagai
"mengundang" pelecehan seksual. Akibatnya, sulit untuk mendapatkan
dukungan pihak ketiga sepenuhnya. Karena itu, melukai diri sendiri lebih
mudah.

2. Peran Media Online Terhadap Maraknya Victim Blaming

Teknologi modern dapat dengan mudah menyebarkan masalah. Banyak kasus


pelecehan seksual dan kekerasan yang disebarkan oleh media, yang
menghasilkan tanggapan negatif dari masyarakat umum. Ini karena budaya
masih ada di media Indonesia. Media sering menyorot atau menilai korban
pelecehan seksual. tidak hanya masalah yang diberitakan di dunia nyata, tetapi

6
Hengki Firmanda, Ira Sinta Azlina, Indah Septipah, “Perlindungan Korban Kekerasan Seksual
yang Mengalami Victim Blaming di Media Sosial Berdasarkan Aliran Realisme Hukum”, Vol.27 No.1
Januari-April 2023, JRH, 2023, Hal. 34
7

juga masalah yang diungkapkan di media sosial yang menggiring khayalan untuk
menyalahkan korban Hal ini membuat teknologi komunikasi dan informasi
rentan terhadap praktik "menyelamatkan korban".Semua pihak seharusnya
berkomitmen untuk mengatasi masalah kekerasan seksual yang semakin
meningkat. Media massa adalah salah satu pihak yang sangat penting. Realitas
disampaikan oleh media cetak, elektronik, dan online. Di media sosial, orang
dapat menyalahkan korban. Orang-orang yang praktis menilai orang lain dan
menulis status, postingan, atau postingan yang menyindir korban. Tidak jarang,
media lebih dulu menilai klien daripada korban pelecehan seksual, kekerasan
terhadap anak, wanita rawan ekonomi, dan masalah sosial lainnya. Oleh karena
itu, tanggung jawab pendamping sosial adalah memastikan bahwa pembalasan
terhadap korban tidak meluas.

2.2. Akibat Victim Blaming yang terjadi pada korban pelecehan seksual dalam
skandal Miss Universe Indonesia 2023.
Dikatakan bahwa perempuan sebagai korban juga memicu lahirnya kejahatan
yang diakibatkan oleh perilaku korban itu sendiri, yang disebut dengan provokatif
victim (munculnya tindak pidana akibat provokasi korban).
Hal ini ditunjukkan dari hasil survei Straus dalam Munir, perempuan
memposisikan diri sebagai masokis yaitu menawarkan dirinya kepada korban
kekerasan, memiliki sindrom harga diri rendah dan ketidakberdayaan, sehingga mudah
atau cenderung untuk menjadi korban, lagi dan lagi.7
Berdasarkan teori hubungan fungsi pidana dikatakan bahwa kejahatan terjadi
karena adanya sikap provokatif dari pihak korban sehingga memicu terjadinya
kejahatan, pada akhirnya korban juga harus bertanggung jawab atas kejahatan yang
menimpa dirinya.
Namun, penulis berpendapat bahwa hubungan fungsi pidana tidak tepat
dikaitkan dengan kasus kekerasan terhadap perempuan, karena sama saja dengan
menyalahkan korban, membuat banyak korban enggan melaporkan kasus distribusi
kejahatan yang menimpa mereka.

7
A. Munir and W. Junaini, “Studi Terhadap Seorang Perempuan Sebagai Korban Revenge
Porn di Pekanbaru”, Sisi Lain Realita, 2020, hal. 30.
8

Terjadinya victim blaming terhadap korban pelecehan seksual Miss Universe


Indonesia tentu memiliki akibat, berikut merupakan akibat yang dialami oleh korban
tersebutl:8
1. Malu dan merasa menjadi aib, Banyak alasan yang diungkapkan oleh
informan bahwa korban merasa malu serta merasa aib setelah
mendapatkan victim blaming, korban direndahkan dan disalahkan atas
perkara pelecehan yang dialaminya sehingga mereka menjadi
memandang dirinya sendiri buruk.
2. Menahan sendiri penderitaan yang dialaminya, Korban mengalami
beberapa tekanan, baik itu dari masyarakat, keluarga, dan penegak
hukum serta institusi terkait membuat korban menahan sakit yang tidak
dapat dijelaskan namun hanya dapat dirasakan melalui batin korban.
Dengan begitu, korban menahan sendiri penderitaan yang dialaminya
yang nantinya akan berdampak sangat besar bagi kehidupan korban,
karena seolah korban tidak mendapat tempat perlindungan yang tepat
untuk mengatasi masalah yang dirasakan merendahkan dirinya sendiri.
3. Trauma masa depan, Korban mengalami pematian karakter dan menjadi
bahan pembicaraan, dan tertekan luar. Kejahatan ini berakibat merusak
mental korban atas tindakan pelecehan seksual kemudian harus
dihadapkan dengan tindakan victim blaming sebagai orang yang
disudutkan sehingga tidak hanya mengalami kejahatan pelecehan tetapi
korban juga mendapatkan tekanan dari masyarakat khususnya netizen
sebagai masyarakat dunia maya, akhirnya korban mendapatkan keadaan
stress berat bagi kehidupan masa depan. Selain itu korban pemerkosaan
yang menerima victim blaming menjadi mudah insecure dan curigaan
dengan orang Jika ingin bercerita kemudian korban merasa takut
menggunakan baju terbuka sedikit atau ngepas sebab kerap kali
disalahkan karena pakaian yang dikenakan.
4. Depresi, sebuah kondisi mental yang lemah, penuh dengan amarah dan
rasa takut, serta tidak dapat berpikir jernih. Pada kenyataannya tidak
semua korban pelecehan seksual berani melaporkan apa yang

8
N.K. Endah Triwijati, “Pelecehan Seksual:Tinjauan Psikologis”, Jurnal Fakultas Psikologi
Universitas Surabaya, 2007, hal. 306.
9

dialaminya, sehingga korban yang memilih untuk membisu akan rentan


untuk mengalami depresi, karena merasa tertekan akan beratnya
masalah yang dipikulnya. Wolhuter menyatakan bahwa penderitaan
psikologis yang paling banyak dialami wanita korban kekerasan ialah
PTSD atau gangguan stres pascatrauma dan depresi berat.9 PTSD ialah
kondisi yang terjadi sehabis pengalaman luar biasa yang mencekam,
mengerikan, serta mengancam nyawa, mirip bencana alam, kecelakaan
serius, pelecehan seksual, atau perang. Stefanus Perangin-angin beropini
bahwa gejala dari depresi seperti merasa tidak berharga, tidak berdaya,
dihantui dengan rasa bersalah, serta putus harapan juga dapat mencegah
seorang wanita meninggalkan pelaku.10
5. Perlindungan korban Menurut Satijipto Raharjo, proteksi hukum
menjamin perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) yang dirugikan oleh
orang lain serta proteksi ini diberikan pada rakyat supaya dapat
menikmati seluruh hak yang diberikan oleh hukum, HAM bersifat
universal, tak pernah mati, tidak bisa dikurangi, dibatasi, apalagi dicabut
atau dihilangkan oleh siapapun termasuk negara. Proteksi hukum
terhadap korban diatur pada Deklarasi PBB yang menjelaskan bahwa
merekomendasikan paling tidak 4 (empat) hal wajib diperhatikan
sebagai berikut:11
a. Akses terhadap keadilan serta perlakuan yang adil (access to justice and
fair treatment);
b. Pembayaran ganti kerugian (restitusi) oleh pelaku tindak pidana kepada
korban, keluarganya atau orang lain yang nyawanya dirumuskan dalam
bentuk hukuman pidana dalam undang-undang yang berlaku ;
c. Bila terpidana tak mampu, Negara wajib membayar ganti rugi kepada
korban, keluarganya atau tanggungan korban;
d. Bantuan material, medis, psikologis serta sosial kepada korban, baik
melalui negara, relawan maupun rakyat (donasi).

9
L. Wolhuter, N. Olley, and D. Denham, Victimology: Victimisation and Victim’s Rights, New
York: Routledge Cavendish, 2009, hal. 65.
10
S. Perangin-Angin, S. Wijono, and A. I. R. Hunga, Pola Pengalaman Depresi Perempuan
yang Mengalami Kekerasan dalam Berpacaran: Kajian Perspektif Cognitive Behavioural, Buletin
Psikologi, 2019, hal. 54.
11
M. Muladi, “Prinsip-prinsip Dasar Hukum Pidana Lingkungan dalam Kaitannya dengan
Undang-Undang No. 23 Tahun 1997,” Jurnal Hukum Pidana Dan Kriminologi, 1998, hal 31.
10

Upaya melindungi kepentingan sama halnya melindungi manusia dan


membangun manusia seutuhnya dan berbudi luhur.12 Perlindungan dari Undang-
Undang nomor 31 Tahun 2014 tentang perlindungan Saksi serta Korban artinya segala
upaya yang ditujukan untuk mewujudkan hak dan memberikan bantuan untuk
menyampaikan rasa safety pada korban yang wajib dilaksanakan oleh lembaga
perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) atau Badan Saksi dan Korban. forum
perlindungan Korban (LPSK) atau forum lain sesuai dengan ketentuan undang-undang
ini.
Sebagai korban yang mengalami penderitaan serta kerugian akibat perbuatan
pencipta, maka korban kehilangan telah haknya. Di antara hak tersebut artinya Pasal 5
Undang-Undang nomor 31 Tahun 2014 tentang perlindungan Saksi dan Korban. Hak-
hak tersebut, yaitu:13
a. Memperoleh perlindungan keamanan diri, keluarga dan harta benda,
serta bebas dari ancaman yang berkaitan menggunakan kesaksian yang
akan, sedang atau sudah diberikan;
b. Berpartisipasi pada proses pemilihan dan penetapan bentuk
perlindungan serta dukungan keamanan;
c. Menyampaikan berita tanpa tekanan;
d. Dapatkan penerjemah;
e. Bebas pertanyaan jebakan;
f. Dapatkan info perkembangan berkas;
g. Mendapatkan info tentang putusan pengadilan;
h. Mendapatkan informasi tentang pembebasan terpidana;
i. Merahasiakan identitas;
j. Dapat mempunyai identitas baru;
k. Memperoleh tempat tinggal ad interim;
l. Menerima tempat tinggal baru;
m. Mendapatkan penggantian biaya transportasi Bila diperlukan;
n. Mendapatkan nasihat hukum;

12
M. S. A. Wibowo, “Pelaksanaan Proses Peradilan Dan Pemenuhan Hak Dalam
Perlindungan Hukum Bagi Anak (Menurut UU No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak),” Jurnal Reformasi Hukum, 2020, hal. 22.
13
A. S. Amelia, “Penyalahan Korban (Victim Blaming) Dalam Kamus Pelecehan Seksual Pada
Perempuan Menurut Perspektif Viktimologi,” Universitas Pasundan Bandung, 2022, hal. 43.
11

o. Mendapatkan bantuan biaya hidup ad interim sampai dengan


berakhirnya masa perlindungan; dan /atau
p. Menerima bantuan
Landasan perlindungan korban kejahatan bisa dipandang dari teori-teori
berikut:14
a. Teori utilitas yang menitikberatkan pada manfaat terbesar untuk jumlah
yang lebih besar. Konsep perlindungan korban diterapkan selama
memperlihatkan lebih banyak keuntungan daripada konsep yang tidak
diterapkan.
b. Teori tanggung jawab yang mengemukakan bahwa pada hakekatnya
setiap orang wajib bertanggung jawab atas perbuatan hukum yang
dilakukannya, termasuk perbuatan pidana yang menyebabkan
penderitaan bagi korban.
c. Teori ganti rugi yaitu sebagai bentuk pertanggungjawaban atas
kesalahan pencipta, beban kewajiban mengganti kerugian korban atau
ahli warisnya.
Kedudukan korban pada kitab undang-undang hukum pidana nampaknya belum
optimal dibandingkan dengan kedudukan pelaku. Hal ini dapat dijelaskan dalam
penjelasan menjadi berikut:15
a. Kitab undang-undang hukum pidana belum sempurna dalam mengatur
permasalahan terkait perlindungan hukum terhadap korban, seperti,
hakim dalam memutuskan suatu perkara tidak menimbangkan dampak
dari korban atau pemulihan terhadap korban, karena hakim cenderung
untuk memutuskan sesuai apa yang sudah diatur didalam Undang-
Undang. Peraturan Di Indonesia terkait perlindungan korban juga tidak
mengatur bagaimana nantinya melindungi korban yang terkena
penyalahan dari masyarakat atas dirinya.
b. Kitab undang-undang hukum pidana menganut peredaran neoklasik
yang membuat pengecualian kepada pelaku dengan hal-hal tertentu yang
berkaitan dengan lingkungan,mental dan fisik pelaku, dengan begitu

14
D. M., A. Mansur, and E. Gultom, Cyber Law: Aspek Hukum Teknologi Informasi, Bandung:
Refika Aditama, 2005, hal. 67.
15
A. Angkasa, Kedudukan Korban pada Sistem Peradilan Pidana, Semarang: Universitas
Diponegoro, 2004, hal 105.
12

dapat disimpulkan aturan yang ada hanya memberatkan tentang


pengecualian korban dalam hal tertentu, tidak kepada korban.
Contohnya pelaku yang mengalami cacat, di bawah umur dan
sebagainya diringankan hukuman oleh hukum. Sedangkan korban tidak
mendapatkan aturan yang khusus padahal korban yang sangat memiliki
dampak besar dalam peristiwa tersebut.
Dalam hal peran dan masyarakat, setidaknya ada 2 (dua) hal krusial, yaitu peran
dan masyarakat pada pencegahan serta penanganan korban dan hak masyarakat atas
perlindungan hukum.16 Berdasarkan pendapat Van Dijk, perlindungan korban dalam
kerangka peradilan pidana tidak hanya ditujukan untuk memberikan ganti rugi, namun
juga mencakup bagaimana penegakan hukum menyikapinya untuk tetap menghormati
hak asasi korban.17
Demikian juga pada masalah pelecehan seksual, pembelaan terhadap hak
korban terhadap pelaku kejahatan pelecehan seksual wajib dihormati.

2.3. Analisa Victim Blaming yang terjadi pada korban pelecehan seksual dalam
skandal Miss Universe Indonesia 2023 ditinjau dari Aliran Realisme Hukum.

Skandal Miss Universe Indonesia 2023 membawa dampak besar terhadap


masyarakat, khususnya dalam konteks pelecehan seksual yang dialami oleh beberapa
peserta. Dalam memahami dinamika peristiwa ini, analisis victim blaming dari
perspektif aliran realisme hukum dapat memberikan wawasan yang mendalam. Aliran
realisme hukum menekankan pentingnya melihat hukum sebagai produk dari kekuatan
sosial, bukan sekadar aturan yang obyektif. Dalam konteks pelecehan seksual, aliran
ini menyoroti bagaimana norma sosial dan struktur kekuasaan dapat mempengaruhi
persepsi terhadap korban. Korban pelecehan seksual seringkali mengalami victim
blaming, di mana mereka dianggap bertanggung jawab atas kejadian tersebut. Hal
serupa diungkapkan oleh informan korban pelecehan seksual bahwasanya korban
pelecehan seksual mendapatkan victim blaming kerap kali disalahkan oleh orang-orang
di sekitarnya dan digunakan pelaku yang tidak bertanggung jawab sehingga korban

16
A. I. Ayu, “Perlindungan Hukum Terhadap Perdagangan Anak Dengan Modus Pernikahan
Dalam Perspektif Viktimologis”, Jurnal Litigasi, 2018, hal.113.
17
M. I. S, Perlindungan Korban: Suatu Perspektif Viktimologi dan Kriminologi. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2014.
13

pelecehan tidak bisa melakukan pembenaran atas keadilan korban dipersalahkan


melalui kata-kata dimana korban dalam satu waktu digambarkan sebagai korban
18
sekaligus pemicu terjadinya pelecehan seksual yang menimpanya. Dalam skandal
Miss Universe Indonesia 2023, elemen-elemen victim blaming muncul melalui narasi
yang dibentuk oleh masyarakat, media, dan bahkan lembaga hukum. Aliran realisme
hukum menunjukkan bahwa norma sosial memainkan peran krusial dalam membentuk
pemahaman masyarakat terhadap kasus pelecehan seksual. Norma-norma gender dan
stereotip seksual sering kali memengaruhi cara pandang terhadap korban, mengarah
pada penyalahgunaan hukum. Aliran realisme hukum menunjukkan bahwa penegakan
hukum tidak selalu netral. Faktor-faktor seperti kepentingan politik, ekonomi, dan
sosial dapat memengaruhi bagaimana kasus pelecehan seksual ditangani, mungkin
menciptakan ketidaksetaraan dalam perlakuan terhadap korban dan pelaku. Mengingat
analisis realisme hukum, penting untuk menyadari implikasi sosial dari victim blaming.
Perubahan dalam norma sosial dan peningkatan kesadaran masyarakat diperlukan untuk
memutus lingkaran victim blaming dan meningkatkan perlindungan terhadap korban.
Dengan melihat skandal Miss Universe Indonesia 2023 dari perspektif aliran realisme
hukum, kita dapat memahami bahwa victim blaming bukan hanya fenomena individual
tetapi juga terkait erat dengan struktur sosial dan kekuasaan. Untuk mencapai
perubahan yang berarti, diperlukan upaya bersama dalam mengubah norma sosial,
mengkritisi media yang mendiskreditkan korban, dan memastikan keadilan dalam
penegakan hukum.

18
Shopiani, B. S., Wilodati, W., & Supriadi, U. (2021). Fenonema Victim Blaming pada
Mahasiswa terhadap Korban Pelecehan Seksual. Sosietas, 11(1), 940-955. Hlm. 17
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan

1. Korban yang telah mengalami kekerasan seksual sangat tidak pantas


mendapatkan victim blaming di media sosial dengan menggunakan kalimat-
kalimat negatif. Oleh karena itu, korban kekerasan seksual yang mengalami
victim blaming di media sosial harus mendapatkan perlindungan dan pastinya
bentuk perlindungan ini memiliki pengaruh, antara lain :
1.) masyarakat selalu cenderung berpikir menyalahkan korban
bahwasannya korban pelecehan seksual tidak tahu bagaimana etika
berpakaian seperti mengenakan pakaian terbuka dan seksi sehingga hal
tersebut dianggap wajar terjadi.
2.) masyarakat menilai dan menyalahkan korban pelecehan seksual dengan
menulis status, postingan, atau postingan yang menyindir korban tanpa
mencari tahu fakta yang sebenarnya terjadi.

2. Terjadinya victim blaming terhadap korban pelecehan seksual Miss Universe


Indonesia tentu memiliki akibat, yakni :
1.) Malu dan merasa menjadi aib karena korban merasa direndahkan dan
disalahkan atas perkara pelecehan yang dialaminya sehingga mereka
menjadi memandang dirinya sendiri buruk.
2.) Korban merasa tertekan karena menahan sendiri penderitaan yang
dialaminya sehingga berdampak kehidupan korban, karena seolah
korban tidak mendapat tempat perlindungan yang tepat untuk mengatasi
masalah yang dirasakan merendahkan dirinya sendiri.
3.) Korban mengalami pembunuhan karakter karena menjadi bahan
pembicaraan melalui kalimat-kalimat yang merusak mental korban
(victim blaming).
4.) Korban mengalami depresi yaitu sebuah kondisi mental yang lemah,
penuh dengan amarah dan rasa takut, serta tidak dapat berpikir jernih
karena merasa tertekan akan beratnya masalah yang dipikulnya.

13
14

5.) Dirugikannya hak asasi manusia yang bersifat universal, tak pernah
mati, tidak bisa dikurangi, dibatasi, apalagi dicabut atau dihilangkan
oleh siapapun termasuk negara.

3. Aliran realisme hukum menekankan pentingnya melihat hukum sebagai produk


dari kekuatan sosial, bukan sekadar aturan yang obyektif. Dalam konteks
pelecehan seksual, aliran ini menyoroti bagaimana norma sosial dan struktur
kekuasaan dapat mempengaruhi persepsi terhadap korban. Korban pelecehan
seksual seringkali mengalami victim blaming, di mana mereka dianggap
bertanggung jawab atas kejadian tersebut. Hal serupa diungkapkan oleh
informan korban pelecehan seksual bahwasanya korban pelecehan seksual
mendapatkan victim blaming kerap kali disalahkan oleh orang-orang di
sekitarnya dan digunakan pelaku yang tidak bertanggung jawab sehingga
korban pelecehan tidak bisa melakukan pembenaran atas keadilan korban
dipersalahkan melalui kata-kata dimana korban dalam satu waktu digambarkan
sebagai korban sekaligus pemicu terjadinya pelecehan seksual yang
menimpanya. 19 Dalam skandal Miss Universe Indonesia 2023, elemen-elemen
victim blaming muncul melalui narasi yang dibentuk oleh masyarakat, media,
dan bahkan lembaga hukum. Aliran realisme hukum menunjukkan bahwa
norma sosial memainkan peran krusial dalam membentuk pemahaman
masyarakat terhadap kasus pelecehan seksual.

3.2. Saran

Peran realisme hukum dalam mengatasi perilaku victim blaming yang


dilakukan masyarakat media sosial adalah untuk dapat mengontrol kepribadian
manusia dalam memandang sesuatu berdasarkan gerakan sosial untuk tidak
menyalahkan korban atas kejahatan yang terjadi terhadap dirinya karena kekuatan
sosial akan menghasilkan hukum yang adil, apalagi diketahui gerakan para
pengguna media sosial sangat berpengaruh karena arusnya yang menyebar
dengan cepat, sehingga dengan begitu hukumpun harus dapat mengikuti
perkembangan masyarakat dan mengatasi problematik yang terjadi didalam
kehidupan masyarakat

19
Shopiani, B. S., Wilodati, W., & Supriadi, U. (2021). Fenonema Victim Blaming pada
Mahasiswa terhadap Korban Pelecehan Seksual. Sosietas, 11(1), 940-955. Hlm. 17
15

DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Angkasa. A., 2004, “Kedudukan Korban pada Sistem Peradilan Pidana”, Semarang:
Universitas Diponegoro.

Assshidiqie. J., 2008, “Menuju Negara Hukum yang Demokratis”, Jakarta: Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi.

Mansur. D. M. A, Gultom. E, 2005, “Cyber Law: Aspek Hukum Teknologi Informasi”,


Bandung: Refika Aditama.

Rahardjo. S, 2000, “Ilmu Hukum”, Bandung: Citra Aditya Bakti.

Wolhuter. L, Olley. N, and Denham. D, 2009, “Victimology: Victimisation and Victim’s


Rights”, New York: Routledge Cavendish.

JURNAL
Ayu. A. I., 2018, “Perlindungan Hukum Terhadap Perdagangan Anak Dengan Modus
Pernikahan Dalam Perspektif Viktimologis”, Jurnal Litigasi, vol. 19, no. 1.

Endah Triwijati. N.K., 2007, “Pelecehan Seksual:Tinjauan Psikologis”, Jurnal


Fakultas Psikologi Universitas Surabaya, no. 2.

Munir. A., and Junaini. W., 2020, “Studi Terhadap Seorang Perempuan Sebagai
Korban Revenge Porn di Pekanbaru”, Sisi Lain Realita, vol. 5, no. 1.

Muladi. M., 1998, “Prinsip-prinsip Dasar Hukum Pidana Lingkungan dalam


Kaitannya dengan UndangUndang No. 23 Tahun 1997”, Jurnal Hukum Pidana
Dan Kriminologi, vol. 1, no. 1.

Paradiaz. R., & Soponyono, E., 2022, “Perlindungan hukum terhadap korban
pelecehan seksual”, Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia, vol. 4, no. 1.

Perangin-Angin. S, Wijono. S., and Hunga. A. I. R., 2019, “Pola Pengalaman Depresi
Perempuan yang Mengalami Kekerasan dalam Berpacaran: Kajian Perspektif
Cognitive Behavioural”, Buletin Psikologi, vol. 27, no. 1.

S. M. I., 2014, Perlindungan Korban: Suatu Perspektif Viktimologi dan Kriminologi,


Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Shopiani. B. S., Wilodati. W., & Supriadi. U., 2021, Fenonema Victim Blaming pada
Mahasiswa terhadap Korban Pelecehan Seksual, Sosietas, vol. 11, no. 1.
16

Wibowo. M. S. A., 2020, “Pelaksanaan Proses Peradilan Dan Pemenuhan Hak Dalam
Perlindungan Hukum Bagi Anak (Menurut UU No. 11 Tahun 2012 Tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak)”, Jurnal Reformasi Hukum, vol. 24, no. 1.

SKRIPSI
Amelia. A. S., 2022, “Penyalahan Korban (Victim Blaming) Dalam Kamus Pelecehan
Seksual Pada Perempuan Menurut Perspektif Viktimologi,” Universitas
Pasundan Bandung.

UNDANG-UNDANG
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014.

INTERNET
Kasus Pelecehan Miss Universe Indonesia, Korban Di-bully, Pengacara: Stop Budaya
Victim Blaming - Tribunternate.com (tribunnews.com)

Anda mungkin juga menyukai