Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH STUDI KASUS

VONIS HUKUMAN MATI BAGI PEMERKOSA 13 SANTRIWATI:


HUKUMAN MATI BUKAN BENTUK YANG TEPAT
DARI CRIMINAL RESPONSIBILITY

Disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Hukum Pidana

Dosen Pengampu:
Dr. Lies Sulistiani, S.H., M.Hum.
Ajie Ramdan, S.H., M.H.

Disusun oleh:
1. Rizky Aegie Maulana 110110220267
2. Blassyus Bevry Sinaga 110110220271
3. Nicholas Simanungkalit 110110220273
4. Nusaibah Fathimah Makarim 110110220277
5. Jennifer Angelique Loedijanto 110110220285

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PADJADJARAN
KABUPATEN SUMEDANG
2023
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur senantiasa kita panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa.
Atas limpahan rahmat dan karunia-Nya, makalah studi kasus yang berjudul “Vonis Hukuman
Mati bagi Pemerkosa 13 Santriwati: Hukuman Mati Bukan Bentuk yang Tepat dari Criminal
Responsibility” dapat kami selesaikan dengan baik tanpa hambatan yang berarti. Terima kasih
sebesar-besarnya kepada semua pihak yang terlibat dan memberi semangat sehingga kami
tetap termotivasi dalam menyusun makalah ini. Terima kasih pula kepada Ibu Lies Sulistiani
dan Bapak Ajie Ramdan selaku dosen-dosen pengampu mata kuliah Hukum Pidana kelas F
yang telah membimbing kami dengan sepenuh hati.
Kami sebagai penulis berharap makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
memperluas wawasan bagi pembaca tentang pertanggungjawaban hukum yang tepat bagi
para pelaku dalam isu-isu yang mungkin akan pembaca temui dalam kehidupan sehari-hari.
Meski begitu, kami sadar sepenuhnya bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, setiap kritik, saran, dan masukan dari para pembaca akan sangat berarti bagi kami
untuk bisa terus mengembangkan diri.

Jatinangor, 7 Maret 2023

Tim Penulis

3
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Identifikasi Masalah
1.3 Tujuan dan Manfaat Penulisan
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Perspektif Teoretis: Kejahatan Seksual terhadap Anak, Anak, dan Batas Usia Anak
2.2 Hukuman Mati
2.3 Kronologi Kasus Kekerasan Seksual Terhadap 13 Santriwati
BAB 3 PEMBAHASAN
3.1 Apa itu Criminal Responsibility
3.2 Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Vonis Hukum Mati pada Herry Wirawan
3.3 Keadilan bagi Korban dan Vonis untuk Herry Wirawan
3.4 Bentuk Pertanggungjawaban Yang Tepat Bagi Pelaku Kekerasan Seksual
BAB 4 PENUTUP
4.1 Kesimpulan
4.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kasus kekerasan seksual terhadap anak yang terjadi di Indonesia mengalami
peningkatan drastis dalam kurun waktu 4 tahun terakhir. Menurut data Sistem Informasi
Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) mengenai kasus kekerasan
seksual terhadap anak1, pada tahun 2019 terdapat 6.454 kasus yang tercatat. Kemudian
pada tahun 2020, naik menjadi 7.004 kasus. Angka tersebut lagi-lagi naik di tahun 2021
menjadi 8.730 kasus, lalu pada tahun 2022 mencapai 9.588 kasus.
Kekerasan seksual sendiri diidentifikasikan sebagai perilaku yang merendahkan,
menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi
seseorang, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender.2 Fakta bahwa relasi kuasa
dan gender berpengaruh besar, maka dalam hal ini anak-anak terutama anak-anak
perempuan berada di posisi yang paling rentan. Anak-anak begitu rentan menjadi
korban manipulasi hingga dipaksa untuk bungkam mengenai kekerasan seksual yang
mereka alami.
Ketika mencari kata kunci “kekerasan seksual terhadap anak”, salah satu nama
yang paling sering muncul di laman pencarian adalah Herry Wirawan. Namanya
terpampang dalam ratusan ribu judul berita sebagai seorang pemerkosa. Perbuatan nir
akal yang ia lakukan, yakni melecehkan 13 santriwati di pondok pesantren tempat ia
seharusnya mengajarkan ajaran agama Islam, diketahui publik pada pertengahan tahun
2021 lalu. Tak lama setelahnya, terkuak fakta bahwa ia melakukan perbuatan bejatnya
dalam rentang 2016-2021 dengan para korban yang rata-rata masih berusia 13-16 tahun
pada waktu itu.
Akibat dari kekerasan seksual yang dilakukan Herry, 8 korban hamil dan 9 bayi
lahir. Karena perbuatannya tersebut, Herry dijatuhi vonis pidana penjara seumur hidup
oleh Pengadilan Negeri Bandung. Vonis tersebut lebih rendah dari tuntutan jaksa
penuntut umum hingga kemudian JPU mengajukan banding dan diterima oleh
Pengadilan Tinggi Bandung dengan vonis hukuman mati. Vonis ini kemudian
membatalkan putusan hukuman seumur hidup pada peradilan tingkat pertama di
Pengadilan Negeri Bandung. Tak terima dengan putusan tersebut, Herry mengajukan

1 Permendikbud Ristek No. 30 Tahun 2020 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di
Lingkungan Perguruan Tinggi
2 Ilyasa, R. M. A. “Kajian Hukum dan Viktimologi dalam Kasus Kekerasan Seksual Pada Anak di Indonesia.” Ikatan Penulis
Mahasiswa Hukum Indonesia Law Journal, Vol. 2 (4), 2022, hlm. 29.

1
kasasi. Melalui Putusan No. 5642 K/PID.SUS/2022 pada 8 Desember 2022, Mahkamah
Agung menolak kasasi Herry dan ia tetap dijatuhi hukuman mati.
Lantas apakah vonis tersebut telah tepat dan dapat memenuhi hak-hak bagi para
korban? Lalu apa bentuk pertanggungjawaban yang tepat bagi pelaku pelecehan seksual
agar bisa mengakomodasi keadilan dan hak-hak bagi korban? Melalui tulisan ini tim
penulis akan membahas mengenai teori Hukum Pidana menurut Moeljatno dengan
berfokus pada aspek Criminal Responsibility, kemudian mengaitkan teori tersebut
dengan kasus pelecehan 13 santriwati yang dilakukan oleh Herry Wirawan.

1.2 Identifikasi Masalah


Beberapa masalah yang dibahas dalam makalah ini, antara lain:
1. Apa yang menjadi pertimbangan dalam pemutusan kasus pencabulan 13
santriwati oleh Herry Wirawan?
2. Apakah para korban mendapatkan keadilan apabila Herry Wirawan dijatuhi
hukuman mati?
3. Bagaimana bentuk pertanggungjawaban yang tepat bagi pelaku kekerasan
seksual yang dapat menjamin keadilan bagi korban?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penulisan


Makalah ini ditulis dengan tujuan:
1. Mengidentifikasi dan mengetahui faktor-faktor yang dijadikan pertimbangan oleh
hakim untuk mencapai putusan kasus pencabulan yang dilakukan Herry
Wirawan.
2. Mengidentifikasi dan mengetahui apakah hukuman mati yang dijatuhkan pada
Herry Wirawan telah memberikan keadilan bagi para korban.
3. Mengidentifikasi dan mengetahui bentuk-bentuk pertanggungjawaban hukum
yang tepat bagi pelaku kekerasan seksual untuk menjamin keadilan bagi para
korban.

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perspektif Teoretis: Kejahatan Seksual terhadap Anak, Anak, dan Batas Usia
Anak
Kejahatan seksual merupakan fenomena negatif yang ironisnya tidak lagi asing di
kalangan masyarakat. Kejahatan seksual adalah segala tindakan sosial, percobaan
tindakan seksual, komentar yang tidak senonoh, perdagangan seks dengan
menggunakan paksaan atau ancaman oleh siapa saja tanpa memandang hubungan
dengan korban. Kejahatan seksual memiliki berbagai jenis, seperti pemerkosaan,
perbudakan seks, perdagangan seks, kehamilan paksa, kekerasan seksual, eksploitasi
seksual, penyalahgunaan seks, dan aborsi.3
Berdasarkan pengertian anak secara umum, anak adalah keturunan atau generasi
penerus dari suatu hasil hubungan antara seorang laki-laki dan perempuan, baik dalam
ikatan pernikahan maupun tanpa adanya pernikahan. Dalam perspektif Hukum Adat
sebagaimana dijelaskan oleh Soerojo Wignjodipoero4:

“Kecuali dilihat oleh orangtuanya sebagai penerus generasi juga, anak itu dipandang
pula sebagai wadah di mana semua harapan orang tuanya kelak dikemudian hari
wajib ditumpahkan, pula dipandang sebagai pelindung orang tuanya kelak bila orang
tua itu sudah tidak mampu lagi secara fisik untuk mencari nafkah”.

Batas Usia anak merupakan usia seseorang dapat dikategorikan berstatus sebagai
seorang anak. Terdapat beberapa aturan yang menjelaskan terkait batas usia seseorang
dapat disebut sebagai seorang anak, diantaranya:

1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), Pasal 30 ayat (1)


Menyebutkan orang yang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai
umur genap 21 (dua puluh satu) tahun dan tidak lebih dahulu kawin.
2. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Anak
menjelaskan bahwa setiap manusia yang berada di bawah 18 (delapan belas)
tahun dan belum menikah termasuk sebagai seorang anak.

3 Mahmada, Nong Andah Darol (nongandah) “Kasus kekerasan seksual di bandung yg korbannya masih anak2, merinding
bgt deh ketika mendengar kasusnya.” 1 Desember 2021, 10:29 PM, tweet.
4 Kompas, “Jejak Kasus Herry Wirawan, Pemerkosa 13 Santriwati Yang Kini Menanti Hukuman Mati”’
<https://nasional.kompas.com/read/2023/01/04/11321241/jejak-kasus-herry-wirawan-pemerkosa-13-santriwati-yang-kini-
menanti-hukuman>, [diakses pada 06/03/2023].

3
3. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2011 Tentang Sistem Peradilan Anak
Menjelaskan bahwa anak adalah seseorang yang telah berusia 12 (dua
belas) tahun dan belum berusia 18 (delapan belas) tahun.
4. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 200 Tentang Perlindungan Anak, anak adalah
seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang
masih dalam kandungan.

2.2 Hukuman Mati


Hukuman mati merupakan salah satu bentuk sanksi pidana yang dijatuhkan kepada
seseorang dalam proses peradilan di Indonesia. Hukuman mati menurut KBBI adalah
hukuman yang dijalankan dengan membunuh, menembak, atau menggantung orang
yang bersalah. Di Indonesia, hukuman mati diterapkan secara ketat, dalam artian vonis
hukuman mati tidak bisa sembarangan atau terhadap kejahatan sipil biasa, melainkan
kejahatan yang bersifat sangat serius. Melalui KUHP, diatur mengenai beberapa
kejahatan yang bisa diancam dengan hukuman mati:
1. Makar membunuh kepala negara (Pasal 104 KUHP).
2. Mengajak negara asing untuk menyerang Indonesia (Pasal 111 ayat 2 KUHP).
3. Memberikan pertolongan kepada musuh pada saat Indonesia dalam keadaan
perang (Pasal 124 ayat 3 KUHP).
4. Membunuh kepala negara sahabat (Pasal 140 ayat 4 KUHP).
5. Pembunuhan yang direncanakan lebih dahulu (Pasal 340 KUHP).
6. Pencurian dan kekerasan oleh dua orang atau lebih dan mengakibatkan
seseorang mengalami luka berat atau mati (Pasal 365 ayat 4 KUHP).
Selain melalui KUHP, hukuman mati juga bisa mengancam seseorang yang
melakukan tindak pidana narkotika (UU Nomor 35 Tahun 2009) dan juga tindak pidana
korupsi (UU Nomor 31 Tahun 1999).

2.3 Kronologi Kasus Kekerasan Seksual Terhadap 13 Santriwati


Akhir-akhir ini, masyarakat dibuat bergejolak karena sebuah kasus kekerasan seksual
mencuat. Pelakunya merupakan salah satu guru yang mengajar di pondok pesantren
khusus menghafal Al-Qur’an yang bertempat di Bandung, Jawa Barat. Herry Wirawan
telah melakukan kekerasan seksual pada santri-santrinya sejak tahun 2016, tetapi baru
mulai terungkap ke publik pada tahun 2021.

4
Kronologi awalnya, saat tetangga dari korban melihat korban membeli alat tes
kehamilan di warung. Dari sanalah, korban mengakui adanya kekerasan seksual yang
dilakukan oleh guru di pesantrennya. Orang tua korban yang merasa tidak terima,
akhirnya melaporkan ke Kepolisian Daerah Jawa Barat dan Pusat Pelayanan
Pemberdayaan Perempuan dan Anak. Herry Wirawan pun ditahan pada 1 Juni 2021. Di
persidangan, Herry Wirawan mengakui perbuatannya memperkosa 13 santriwati dan
meminta maaf. Jaksa penuntut umum menuntutnya untuk dijatuhi hukuman mati dan
kebiri kimia. Namun, vonis dari Majelis Hakim PN Bandung menjatuhkan vonis
penjara seumur hidup.
Kasus ini baru mulai terungkap ke publik saat seorang aktivis Nong Andah Darol
Mahmada mengunggah suatu utas di Twitter yang mengungkap kasus kekerasan
seksual ini ke publik:

“Kasus kekerasan seksual di Bandung yang korbannya masih anak-anak,


merinding banget deh ketika mendengar kasusnya.”5

Dari unggahan yang mendapat cukup banyak perhatian publik tersebut, membuat
kasus Herry Wirawan yang sebelumnya tidak terjangkau media, seketika langsung
ramai diberitakan di mana-mana. Perilaku Herry Wirawan dianggap kejam dan
masyarakat ingin agar Herry diberi hukuman yang seberat-beratnya sebagai pelaku
kekerasan seksual.

Saat JPU mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Bandung, Herry Wirawan


akhirnya divonis dengan hukuman mati serta uang restitusi Rp300 juta. Herry Wirawan
juga sempat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Namun, permohonan itu ditolak.
Dalam putusan MA juga disebutkan bahwa Herry Wirawan akan dihukum sesuai
dengan Pasal 21 KUHAP jis Pasal 27 KUHAP jis Pasal 153 ayat ( 3) KUHAP jis ayat
(4) KUHAP jis Pasal 193 KUHAP jis Pasal 222 ayat (1) jis ayat (2) KUHAP jis Pasal
241 KUHAP jis Pasal 242 KUHAP, PP No. 27 Tahun 1983, Pasal 81 ayat (1), ayat (3)
jo Pasal 76D UU No. 17 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No. 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak jo pasal 65 ayat (1) KUHP dan ketentuan-ketentuan lain
yang bersangkutan6.

5 Ibid.
6 Atikah Rahmi, “Pemenuhan Restitusi Dan Kompensasi Sebagai Bentuk Perlindungan Bagi Korban Kejahatan Seksual
Dalam Sistem Hukum Di Indonesia”, DE LEGA LATA : Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 4 (2), Desember 2019, hlm. 151.

5
BAB 3
PEMBAHASAN

3.1 Apa itu Criminal Responsibility


Criminal responsibility atau pertanggungjawaban pidana adalah suatu mekanisme untuk
menentukan bagaimana bentuk pertanggungjawaban dari tersangka sebuah tindak
pidana atas apa yang telah dilakukannya. Bentuk dari pertanggungjawaban ini bisa
berupa pidana pokok dan pidana tambahan. Hukuman pokok, antara lain: hukuman
mati, kurungan penjara, atau denda. Sementara itu, hukuman tambahan dapat berupa
pencabutan hak-hak dan perampasan barang-barang pribadi sesuai putusan hakim.
Pidana pokok dan pidana tambahan ini sebelumnya diatur dalam Pasal 10 KUHP lama
dan kini diatur pada Pasal 64 hingga Pasal 66 UU No. 1 Tahun 2023 tentang KUHP.
Bentuk-bentuk pertanggungjawaban pidana bisa dikatakan sebagai upaya
mengembalikan hak-hak yang terlanggar serta melindungi dan merehabilitasi korban,
yang dalam kasus ini adalah korban kekerasan seksual. Sayangnya, seringkali bentuk
pertanggungjawaban pidana ini hanya berfokus untuk memberikan hukuman dan rasa
jera kepada pelakunya. Belum banyak peraturan pidana yang berfokus untuk
mengakomodir keadilan bagi korban yang telah terampas hak-hak hidupnya. Dikdik M.
Arief Mansur berpendapat bahwa terjadi pemahaman yang salah selama ini yang
menganggap bahwa hukuman yang diberikan kepada pelaku telah memberikan rasa
keadilan bagi korban7.

3.2 Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Vonis Hukum Mati pada Herry
Wirawan
Herry Wirawan didakwa dengan Pasal 81 ayat (1), (3), dan (5) juncto Pasal 76D UU
No. 17 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak juncto Pasal 65 Ayat (1) KUHP.
Pada Pasal 76D UU No. 17 Tahun 2016 berbunyi, “Setiap Orang dilarang
melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan memaksa Anak melakukan
persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.” Pasal inilah yang kemudian menjadi
salah satu dasar yang digunakan hakim dalam memvonis Herry Wirawan. Selain itu,
ada hal-hal pemberat yang membuat hakim Pengadilan Tinggi Bandung menjatuhi

7 Pengadilan Tinggi Bandung, “Hakim PT Bandung Menjatuhkan Vonis Mati Pada Herry Wirawan”, 2022, <https://pt-
bandung.go.id/hakim-pt-bandung-menjatuhkan-vonis-mati-pada-herry-wirawan.html>, [diakses pada 06/03/2023].

6
Herry Wirawan hukuman mati, yang semula dijatuhi hukuman seumur hidup oleh
Pengadilan Negeri Bandung. Hal-hal pemberat tersebut adalah:
1. Akibat perbuatan Terdakwa menimbulkan anak-anak dari para anak korban, di
mana sejak lahir kurang mendapat perhatian dan kasih sayang dari orang
tuanya, sebagaimana seharusnya anak-anak yang lahir pada umumnya, dan
pada akhirnya perawatan anak-anak tersebut akan melibatkan banyak pihak;
2. Akibat perbuatan Terdakwa menimbulkan trauma dan penderitaan pula
terhadap korban dan orang tua korban;
3. Akibat perbuatan Terdakwa yang dilakukan di berbagai tempat dianggap
menggunakan simbol agama di antaranya di Pondok Pesantren yang Terdakwa
pimpin, dapat mencemarkan lembaga pondok pesantren, merusak citra agama
Islam karena menggunakan simbol-simbol agama Islam dan dapat
menyebabkan kekhawatiran orang tua untuk mengirim anaknya belajar di
Pondok Pesantren8.
Hal-hal yang memberatkan tersebut kemudian menjadi dasar bagi hakim
Pengadilan Tinggi Bandung dalam menerima banding dari Jaksa Penuntut Umum dan
kemudian menjatuhi Herry Wirawan hukuman mati. Selain itu, aset-aset berupa tanah,
bangunan dan kekayaan lainnya milik Herry Wirawan ikut dirampas dan disita yang
kemudian akan dilelang serta diwajibkan baginya membayar restitusi sebesar
Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) kepada para korban.

3.3 Keadilan bagi Korban dan Vonis untuk Herry Wirawan


Yang harus diperhatikan, apakah dengan hukuman yang didapat Herry Wirawan dapat
mengakomodasi keadilan bagi para korban? Menurut kami, hukuman yang dijatuhkan
pada Herry Wirawan belum bisa mengakomodasi keadilan bagi para korban. Hal ini
karena hukuman mati bukan merupakan penyelesaian ideal dalam kasus kekerasan
seksual. Dengan menjatuhi hukuman mati kepada Herry Wirawan, negara seakan hanya
berfokus kepada pemberian hukuman agar menimbulkan efek jera dan ketakutan pada
Herry Wirawan maupun para calon pelaku kekerasan seksual. Dalam penyelesaian
kekerasan seksual, seharusnya pemulihan dan rehabilitasi korban diprioritaskan.
Walaupun dibebani restitusi sebesar Rp300 juta serta dilakukan penyitaan dan
perampasan aset yang kemudian akan dilelang untuk ganti rugi kepada korban, kami
rasa ganti rugi yang diterima para korban tersebut tidak cukup untuk membiayai

8 Atikah Rahmi, Op.Cit. (Note 8), hlm. 150.

7
rehabilitasi korban. Rehabilitasi yang dimaksud di sini ialah mulai dari tahapan
konseling, terapi, biaya kebutuhan hidup hingga biaya pendidikan nantinya. Tentunya
hal ini akan berdampak pada pertumbuhan anak-anak dari korban dan tentu saja para
korban yang notabene merupakan anak-anak di bawah umur.
Hukuman mati bukan bentuk pertanggungjawaban yang tepat bagi pelaku
kekerasan seksual. Dikhawatirkan hukuman ini diberikan hanya karena dorongan dari
khalayak umum yang geram terhadap aksi kekerasan seksual tanpa memperhatikan dan
mempertimbangkan proses rehabilitasi dalam upaya pemulihan para korban. Dalam
upaya pemenuhan hak-hak para korban harus juga diperhatikan dasar-dasar
perlindungan korban, diantara dasar-dasar tersebut ada teori ganti kerugian yaitu
sebagai wujud tanggung jawab karena kesalahan pelaku, maka dibebani kewajiban
memberikan ganti rugi kepada korban atau ahli warisnya9. Dengan tersangka yang
dihukum mati, maka kewajiban tersangka gugur untuk mengganti rugi kepada para
korbannya. Hal ini selaras dengan apa yang ada pada Pasal 67 KUHP, yang melarang
hukuman lain kepada terdakwa yang telah dijatuhi hukuman seumur hidup ataupun
hukuman mati. Ditambah lagi dengan biaya restitusi yang sedikit, pemulihan dan
rehabilitasi korban akan kurang maksimal. Sehingga dalam konteks ini kita seharusnya
lebih berfokus kepada bagaimana cara pemenuhan restitusi dari pelaku kepada para
korban agar hak-hak korban dapat terpenuhi.

3.4 Bentuk Pertanggungjawaban Yang Tepat Bagi Pelaku Kekerasan Seksual


Hukuman bagi pelaku kekerasan seksual harus memberikan efek jera, agar tidak
meningkatkan kasus-kasus kekerasan seksual di masa yang akan datang. Maka dari itu,
hukuman yang diberikan harus menjadi bentuk dari pertanggungjawaban pelaku bagi
para korban. Bagi kami, hukuman yang tepat untuk kasus Herry Wirawan adalah
hukuman kebiri, karena selain akan mengurangi tingkat kasus kekerasan seksual, juga
akan mengurangi gairah seksual pelaku. Dengan membiarkan pelaku tetap hidup ia
dapat bertanggung jawab atas perbuatannya, serta membiayai penyembuhan trauma dan
kebutuhan pendidikan korban. Maka dari itu, selain adanya restitusi, korban juga
seharusnya bisa mendapatkan biaya untuk kehidupannya.

9 Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak 2020, 2021, dan 2022, KemenPPPA, diakses pada tanggal 5
Maret 2023

8
BAB 4
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Kasus Herry Wirawan merupakan salah satu contoh kasus kekerasan seksual yang
menjadi perhatian publik. Kejahatan seksual yang dilakukan Herry Wirawan adalah
percobaan tindakan seksual yang berunsur pada paksaan. Korban dari kekerasan seksual
ini adalah santrinya yang berusia dari 13-16 tahun dan di mata hukum masih termasuk
kategori anak-anak. Pada kasus Herry Wirawan, ia dijatuhi hukuman mati yang artinya
hukuman yang dilakukan dengan membunuh, menembak, atau menggantung orang
yang dipersalahkan. Akan tetapi, dengan adanya hukuman mati itu tidak menunjukkan
adanya criminal responsibility sebagaimana yang seharusnya ada saat menetapkan suatu
keputusan di ranah pidana. Hukuman mati dalam kasus ini bukan bentuk
pertanggungjawaban yang tepat bagi pelaku kekerasan seksual. Dikhawatirkan kalau
hukuman ini diberikan karena adanya dorongan dari masyarakat yang geram terhadap
aksi kekerasan seksual. Hukuman yang lebih pantas diterima bagi pelaku kekerasan
seksual adalah hukuman kebiri sesuai yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Selain itu, perlu adanya pembiayaan bagi
kehidupan para korban diluar biaya restitusi.

4.2 Saran
Melalui paparan yang sudah disampaikan, tim penulis menyarankan:
1. Institusi penegak hukum dapat meninjau kembali vonis mati yang dijatuhkan
kepada para pelaku kekerasan seksual, dengan menitikberatkan
pertanggungjawaban pada dan keadilan bagi korban.
2. Lembaga kehakiman dan kejaksaan dapat berhenti melakukan upaya politik
populis dengan menunjukkan seolah-olah ingin mengakomodasi sentimen publik.
Berfokus untuk menjadi lembaga yang adil dan bersih akan jauh lebih baik.
3. Solidaritas masyarakat untuk mengawal perkembangan kasus kekerasan seksual
harus terus dipertahankan. Namun, perlu diperhatikan bahwa agenda ini
sebaiknya tidak ditunggangi kepentingan yang tidak memihak korban, seperti
keinginan untuk melihat seseorang dijatuhi hukuman mati tanpa menimbang
aspek criminal responsibility.

9
DAFTAR PUSTAKA

Atikah Rahmi, “Pemenuhan Restitusi Dan Kompensasi Sebagai Bentuk Perlindungan Bagi
Korban Kejahatan Seksual Dalam Sistem Hukum Di Indonesia”, DE LEGA LATA :
Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 4 (2), Desember 2019.

Grace Yurico Bawole, “Analisis Hukum Terhadap Bentuk Pertanggungjawaban Pidana


Berdasarkan Konsep Strict Liability Dan Vicarious Liability”, Lex Et Societatis, Vol. 6
(8), Oktober 2018.

ICJR, “Hukuman Mati dalam Kekerasan Seksual Bukan Solusi Bagi Korban”, April 2022,
<https://icjr.or.id/hukuman-mati-dalam-kekerasan-seksual-bukan-solusi-bagi-korban/>,
[diakses 06/03/2023].

IJRS, “Faktor-faktor penentu hukuman mati di Indonesia : Sebuah Indikator”,


Desember 2022,<https://ijrs.or.id/faktor-faktor-penentu-hukuman-mati-di-indonesia-
sebuah-indikator/>, [diakses 06/03/2023].

Ilyasa, R. M. A. “Kajian Hukum dan Viktimologi dalam Kasus Kekerasan Seksual Pada
Anak di Indonesia”, Ikatan Penulis Mahasiswa Hukum Indonesia Law Journal, Vol. 2
(4), 2022.

Kompas, “Jejak Kasus Herry Wirawan, Pemerkosa 13 Santriwati Yang Kini Menanti
HukumanMati”,<https://nasional.kompas.com/read/2023/01/04/11321241/jejak-kasus-
herry-wirawan-pemerkosa-13-santriwati-yang-kini-menanti-hukuman>, [diakses pada
06/03/2023].

KontraS, “Hukuman Mati Tidak Memenuhi Keadilan Korban Kejahatan Seksual”, Januari
2023,<https://kontras.org/2023/01/05/hukuman-mati-tidak-memenuhi-keadilan-korban-
kejahatan-seksual/#:~:text=Jika%20ditelisik%20lebih%20dalam%2C%20kasus,dalam
%20penyelesaian%20kasus%20kekerasan%20seksual>, [diakses 06/03/2023].

Pengadilan Tinggi Bandung, “Hakim PT Bandung Menjatuhkan Vonis Mati Pada Herry
Wirawan”,2022,<https://pt-bandung.go.id/hakim-pt-bandung-menjatuhkan-vonis-mati-
pada-herry-wirawan.html>, [diakses pada 06/03/2023].

Tempo, “Inilah Kriteria Kejahatan Dengan Ancaman Hukuman Mati”, 2023,


<https://nasional.tempo.co/read/1682343/inilah-kriteria-kejahatan-dengan-ancaman-
hukuman-mati>, [diakses 06/03/2023].

Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 Tentang Menyatakan Berlakunya Undang-Undang


Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana Untuk Seluruh Wilayah Republik
Indonesia Dan Mengubah Kitab Undang-Undang Hukum.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang.

Anda mungkin juga menyukai