Dosen Pengampu:
Dr. Lies Sulistiani, S.H., M.Hum.
Ajie Ramdan, S.H., M.H.
Disusun oleh:
1. Rizky Aegie Maulana 110110220267
2. Blassyus Bevry Sinaga 110110220271
3. Nicholas Simanungkalit 110110220273
4. Nusaibah Fathimah Makarim 110110220277
5. Jennifer Angelique Loedijanto 110110220285
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PADJADJARAN
KABUPATEN SUMEDANG
2023
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur senantiasa kita panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa.
Atas limpahan rahmat dan karunia-Nya, makalah studi kasus yang berjudul “Vonis Hukuman
Mati bagi Pemerkosa 13 Santriwati: Hukuman Mati Bukan Bentuk yang Tepat dari Criminal
Responsibility” dapat kami selesaikan dengan baik tanpa hambatan yang berarti. Terima kasih
sebesar-besarnya kepada semua pihak yang terlibat dan memberi semangat sehingga kami
tetap termotivasi dalam menyusun makalah ini. Terima kasih pula kepada Ibu Lies Sulistiani
dan Bapak Ajie Ramdan selaku dosen-dosen pengampu mata kuliah Hukum Pidana kelas F
yang telah membimbing kami dengan sepenuh hati.
Kami sebagai penulis berharap makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
memperluas wawasan bagi pembaca tentang pertanggungjawaban hukum yang tepat bagi
para pelaku dalam isu-isu yang mungkin akan pembaca temui dalam kehidupan sehari-hari.
Meski begitu, kami sadar sepenuhnya bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, setiap kritik, saran, dan masukan dari para pembaca akan sangat berarti bagi kami
untuk bisa terus mengembangkan diri.
Tim Penulis
3
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Identifikasi Masalah
1.3 Tujuan dan Manfaat Penulisan
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Perspektif Teoretis: Kejahatan Seksual terhadap Anak, Anak, dan Batas Usia Anak
2.2 Hukuman Mati
2.3 Kronologi Kasus Kekerasan Seksual Terhadap 13 Santriwati
BAB 3 PEMBAHASAN
3.1 Apa itu Criminal Responsibility
3.2 Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Vonis Hukum Mati pada Herry Wirawan
3.3 Keadilan bagi Korban dan Vonis untuk Herry Wirawan
3.4 Bentuk Pertanggungjawaban Yang Tepat Bagi Pelaku Kekerasan Seksual
BAB 4 PENUTUP
4.1 Kesimpulan
4.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB 1
PENDAHULUAN
1 Permendikbud Ristek No. 30 Tahun 2020 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di
Lingkungan Perguruan Tinggi
2 Ilyasa, R. M. A. “Kajian Hukum dan Viktimologi dalam Kasus Kekerasan Seksual Pada Anak di Indonesia.” Ikatan Penulis
Mahasiswa Hukum Indonesia Law Journal, Vol. 2 (4), 2022, hlm. 29.
1
kasasi. Melalui Putusan No. 5642 K/PID.SUS/2022 pada 8 Desember 2022, Mahkamah
Agung menolak kasasi Herry dan ia tetap dijatuhi hukuman mati.
Lantas apakah vonis tersebut telah tepat dan dapat memenuhi hak-hak bagi para
korban? Lalu apa bentuk pertanggungjawaban yang tepat bagi pelaku pelecehan seksual
agar bisa mengakomodasi keadilan dan hak-hak bagi korban? Melalui tulisan ini tim
penulis akan membahas mengenai teori Hukum Pidana menurut Moeljatno dengan
berfokus pada aspek Criminal Responsibility, kemudian mengaitkan teori tersebut
dengan kasus pelecehan 13 santriwati yang dilakukan oleh Herry Wirawan.
2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Perspektif Teoretis: Kejahatan Seksual terhadap Anak, Anak, dan Batas Usia
Anak
Kejahatan seksual merupakan fenomena negatif yang ironisnya tidak lagi asing di
kalangan masyarakat. Kejahatan seksual adalah segala tindakan sosial, percobaan
tindakan seksual, komentar yang tidak senonoh, perdagangan seks dengan
menggunakan paksaan atau ancaman oleh siapa saja tanpa memandang hubungan
dengan korban. Kejahatan seksual memiliki berbagai jenis, seperti pemerkosaan,
perbudakan seks, perdagangan seks, kehamilan paksa, kekerasan seksual, eksploitasi
seksual, penyalahgunaan seks, dan aborsi.3
Berdasarkan pengertian anak secara umum, anak adalah keturunan atau generasi
penerus dari suatu hasil hubungan antara seorang laki-laki dan perempuan, baik dalam
ikatan pernikahan maupun tanpa adanya pernikahan. Dalam perspektif Hukum Adat
sebagaimana dijelaskan oleh Soerojo Wignjodipoero4:
“Kecuali dilihat oleh orangtuanya sebagai penerus generasi juga, anak itu dipandang
pula sebagai wadah di mana semua harapan orang tuanya kelak dikemudian hari
wajib ditumpahkan, pula dipandang sebagai pelindung orang tuanya kelak bila orang
tua itu sudah tidak mampu lagi secara fisik untuk mencari nafkah”.
Batas Usia anak merupakan usia seseorang dapat dikategorikan berstatus sebagai
seorang anak. Terdapat beberapa aturan yang menjelaskan terkait batas usia seseorang
dapat disebut sebagai seorang anak, diantaranya:
3 Mahmada, Nong Andah Darol (nongandah) “Kasus kekerasan seksual di bandung yg korbannya masih anak2, merinding
bgt deh ketika mendengar kasusnya.” 1 Desember 2021, 10:29 PM, tweet.
4 Kompas, “Jejak Kasus Herry Wirawan, Pemerkosa 13 Santriwati Yang Kini Menanti Hukuman Mati”’
<https://nasional.kompas.com/read/2023/01/04/11321241/jejak-kasus-herry-wirawan-pemerkosa-13-santriwati-yang-kini-
menanti-hukuman>, [diakses pada 06/03/2023].
3
3. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2011 Tentang Sistem Peradilan Anak
Menjelaskan bahwa anak adalah seseorang yang telah berusia 12 (dua
belas) tahun dan belum berusia 18 (delapan belas) tahun.
4. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 200 Tentang Perlindungan Anak, anak adalah
seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang
masih dalam kandungan.
4
Kronologi awalnya, saat tetangga dari korban melihat korban membeli alat tes
kehamilan di warung. Dari sanalah, korban mengakui adanya kekerasan seksual yang
dilakukan oleh guru di pesantrennya. Orang tua korban yang merasa tidak terima,
akhirnya melaporkan ke Kepolisian Daerah Jawa Barat dan Pusat Pelayanan
Pemberdayaan Perempuan dan Anak. Herry Wirawan pun ditahan pada 1 Juni 2021. Di
persidangan, Herry Wirawan mengakui perbuatannya memperkosa 13 santriwati dan
meminta maaf. Jaksa penuntut umum menuntutnya untuk dijatuhi hukuman mati dan
kebiri kimia. Namun, vonis dari Majelis Hakim PN Bandung menjatuhkan vonis
penjara seumur hidup.
Kasus ini baru mulai terungkap ke publik saat seorang aktivis Nong Andah Darol
Mahmada mengunggah suatu utas di Twitter yang mengungkap kasus kekerasan
seksual ini ke publik:
Dari unggahan yang mendapat cukup banyak perhatian publik tersebut, membuat
kasus Herry Wirawan yang sebelumnya tidak terjangkau media, seketika langsung
ramai diberitakan di mana-mana. Perilaku Herry Wirawan dianggap kejam dan
masyarakat ingin agar Herry diberi hukuman yang seberat-beratnya sebagai pelaku
kekerasan seksual.
5 Ibid.
6 Atikah Rahmi, “Pemenuhan Restitusi Dan Kompensasi Sebagai Bentuk Perlindungan Bagi Korban Kejahatan Seksual
Dalam Sistem Hukum Di Indonesia”, DE LEGA LATA : Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 4 (2), Desember 2019, hlm. 151.
5
BAB 3
PEMBAHASAN
3.2 Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Vonis Hukum Mati pada Herry
Wirawan
Herry Wirawan didakwa dengan Pasal 81 ayat (1), (3), dan (5) juncto Pasal 76D UU
No. 17 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak juncto Pasal 65 Ayat (1) KUHP.
Pada Pasal 76D UU No. 17 Tahun 2016 berbunyi, “Setiap Orang dilarang
melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan memaksa Anak melakukan
persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.” Pasal inilah yang kemudian menjadi
salah satu dasar yang digunakan hakim dalam memvonis Herry Wirawan. Selain itu,
ada hal-hal pemberat yang membuat hakim Pengadilan Tinggi Bandung menjatuhi
7 Pengadilan Tinggi Bandung, “Hakim PT Bandung Menjatuhkan Vonis Mati Pada Herry Wirawan”, 2022, <https://pt-
bandung.go.id/hakim-pt-bandung-menjatuhkan-vonis-mati-pada-herry-wirawan.html>, [diakses pada 06/03/2023].
6
Herry Wirawan hukuman mati, yang semula dijatuhi hukuman seumur hidup oleh
Pengadilan Negeri Bandung. Hal-hal pemberat tersebut adalah:
1. Akibat perbuatan Terdakwa menimbulkan anak-anak dari para anak korban, di
mana sejak lahir kurang mendapat perhatian dan kasih sayang dari orang
tuanya, sebagaimana seharusnya anak-anak yang lahir pada umumnya, dan
pada akhirnya perawatan anak-anak tersebut akan melibatkan banyak pihak;
2. Akibat perbuatan Terdakwa menimbulkan trauma dan penderitaan pula
terhadap korban dan orang tua korban;
3. Akibat perbuatan Terdakwa yang dilakukan di berbagai tempat dianggap
menggunakan simbol agama di antaranya di Pondok Pesantren yang Terdakwa
pimpin, dapat mencemarkan lembaga pondok pesantren, merusak citra agama
Islam karena menggunakan simbol-simbol agama Islam dan dapat
menyebabkan kekhawatiran orang tua untuk mengirim anaknya belajar di
Pondok Pesantren8.
Hal-hal yang memberatkan tersebut kemudian menjadi dasar bagi hakim
Pengadilan Tinggi Bandung dalam menerima banding dari Jaksa Penuntut Umum dan
kemudian menjatuhi Herry Wirawan hukuman mati. Selain itu, aset-aset berupa tanah,
bangunan dan kekayaan lainnya milik Herry Wirawan ikut dirampas dan disita yang
kemudian akan dilelang serta diwajibkan baginya membayar restitusi sebesar
Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) kepada para korban.
7
rehabilitasi korban. Rehabilitasi yang dimaksud di sini ialah mulai dari tahapan
konseling, terapi, biaya kebutuhan hidup hingga biaya pendidikan nantinya. Tentunya
hal ini akan berdampak pada pertumbuhan anak-anak dari korban dan tentu saja para
korban yang notabene merupakan anak-anak di bawah umur.
Hukuman mati bukan bentuk pertanggungjawaban yang tepat bagi pelaku
kekerasan seksual. Dikhawatirkan hukuman ini diberikan hanya karena dorongan dari
khalayak umum yang geram terhadap aksi kekerasan seksual tanpa memperhatikan dan
mempertimbangkan proses rehabilitasi dalam upaya pemulihan para korban. Dalam
upaya pemenuhan hak-hak para korban harus juga diperhatikan dasar-dasar
perlindungan korban, diantara dasar-dasar tersebut ada teori ganti kerugian yaitu
sebagai wujud tanggung jawab karena kesalahan pelaku, maka dibebani kewajiban
memberikan ganti rugi kepada korban atau ahli warisnya9. Dengan tersangka yang
dihukum mati, maka kewajiban tersangka gugur untuk mengganti rugi kepada para
korbannya. Hal ini selaras dengan apa yang ada pada Pasal 67 KUHP, yang melarang
hukuman lain kepada terdakwa yang telah dijatuhi hukuman seumur hidup ataupun
hukuman mati. Ditambah lagi dengan biaya restitusi yang sedikit, pemulihan dan
rehabilitasi korban akan kurang maksimal. Sehingga dalam konteks ini kita seharusnya
lebih berfokus kepada bagaimana cara pemenuhan restitusi dari pelaku kepada para
korban agar hak-hak korban dapat terpenuhi.
9 Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak 2020, 2021, dan 2022, KemenPPPA, diakses pada tanggal 5
Maret 2023
8
BAB 4
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Kasus Herry Wirawan merupakan salah satu contoh kasus kekerasan seksual yang
menjadi perhatian publik. Kejahatan seksual yang dilakukan Herry Wirawan adalah
percobaan tindakan seksual yang berunsur pada paksaan. Korban dari kekerasan seksual
ini adalah santrinya yang berusia dari 13-16 tahun dan di mata hukum masih termasuk
kategori anak-anak. Pada kasus Herry Wirawan, ia dijatuhi hukuman mati yang artinya
hukuman yang dilakukan dengan membunuh, menembak, atau menggantung orang
yang dipersalahkan. Akan tetapi, dengan adanya hukuman mati itu tidak menunjukkan
adanya criminal responsibility sebagaimana yang seharusnya ada saat menetapkan suatu
keputusan di ranah pidana. Hukuman mati dalam kasus ini bukan bentuk
pertanggungjawaban yang tepat bagi pelaku kekerasan seksual. Dikhawatirkan kalau
hukuman ini diberikan karena adanya dorongan dari masyarakat yang geram terhadap
aksi kekerasan seksual. Hukuman yang lebih pantas diterima bagi pelaku kekerasan
seksual adalah hukuman kebiri sesuai yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Selain itu, perlu adanya pembiayaan bagi
kehidupan para korban diluar biaya restitusi.
4.2 Saran
Melalui paparan yang sudah disampaikan, tim penulis menyarankan:
1. Institusi penegak hukum dapat meninjau kembali vonis mati yang dijatuhkan
kepada para pelaku kekerasan seksual, dengan menitikberatkan
pertanggungjawaban pada dan keadilan bagi korban.
2. Lembaga kehakiman dan kejaksaan dapat berhenti melakukan upaya politik
populis dengan menunjukkan seolah-olah ingin mengakomodasi sentimen publik.
Berfokus untuk menjadi lembaga yang adil dan bersih akan jauh lebih baik.
3. Solidaritas masyarakat untuk mengawal perkembangan kasus kekerasan seksual
harus terus dipertahankan. Namun, perlu diperhatikan bahwa agenda ini
sebaiknya tidak ditunggangi kepentingan yang tidak memihak korban, seperti
keinginan untuk melihat seseorang dijatuhi hukuman mati tanpa menimbang
aspek criminal responsibility.
9
DAFTAR PUSTAKA
Atikah Rahmi, “Pemenuhan Restitusi Dan Kompensasi Sebagai Bentuk Perlindungan Bagi
Korban Kejahatan Seksual Dalam Sistem Hukum Di Indonesia”, DE LEGA LATA :
Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 4 (2), Desember 2019.
ICJR, “Hukuman Mati dalam Kekerasan Seksual Bukan Solusi Bagi Korban”, April 2022,
<https://icjr.or.id/hukuman-mati-dalam-kekerasan-seksual-bukan-solusi-bagi-korban/>,
[diakses 06/03/2023].
Ilyasa, R. M. A. “Kajian Hukum dan Viktimologi dalam Kasus Kekerasan Seksual Pada
Anak di Indonesia”, Ikatan Penulis Mahasiswa Hukum Indonesia Law Journal, Vol. 2
(4), 2022.
Kompas, “Jejak Kasus Herry Wirawan, Pemerkosa 13 Santriwati Yang Kini Menanti
HukumanMati”,<https://nasional.kompas.com/read/2023/01/04/11321241/jejak-kasus-
herry-wirawan-pemerkosa-13-santriwati-yang-kini-menanti-hukuman>, [diakses pada
06/03/2023].
KontraS, “Hukuman Mati Tidak Memenuhi Keadilan Korban Kejahatan Seksual”, Januari
2023,<https://kontras.org/2023/01/05/hukuman-mati-tidak-memenuhi-keadilan-korban-
kejahatan-seksual/#:~:text=Jika%20ditelisik%20lebih%20dalam%2C%20kasus,dalam
%20penyelesaian%20kasus%20kekerasan%20seksual>, [diakses 06/03/2023].
Pengadilan Tinggi Bandung, “Hakim PT Bandung Menjatuhkan Vonis Mati Pada Herry
Wirawan”,2022,<https://pt-bandung.go.id/hakim-pt-bandung-menjatuhkan-vonis-mati-
pada-herry-wirawan.html>, [diakses pada 06/03/2023].