Anda di halaman 1dari 3

TUGAS 3 HUKUM ADAT (HKUM4204)

NAMA : IMAM BAYU PRASETYO

NIM : 023753223

Seorang Pemuda Kena Sanksi Adat Rp1,8 Miliar Akibat Bunuh Gadis Setempat

Jakarta: MM, 21, dikenakan sanksi adat sekitar Rp1,8 miliar akibat membunuh gadis suku Dayak.
Peristiwa itu terjadi di Kelurahan Barong Tongkok, Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur, Senin 1
Februari 2021.[Pemisah Pembungkus Teks] [Pemisah Pembungkus Teks]Lembaga Adat Besar Kabupaten
Kutai Barat menjatuhkan sanksi adat berupa denda 4.120 antang atau guci. Nilai itu setara Rp1,648
miliar, dengan rincian satu guci senilai Rp400 ribu.[Pemisah Pembungkus Teks] [Pemisah Pembungkus
Teks]Keputusan itu dibuat dalam sidang adat di Rumah adat Dayak Banuaq, Taman Budaya Sendawar,
Kamis, 4 Februari 2021. Selain itu, MM juga harus membayar prosesi adat kematian suku Dayak Benuaq,
Mapui, dan Kenyau Kwangkai.

Biaya prosesi itu senilai Rp250 juta, sehingga total sanksi adat yang harus dibayar MM Rp1,898 miliar.
[Pemisah Pembungkus Teks] [Pemisah Pembungkus Teks]"Kami memberi waktu enam bulan terhitung
sejak hari ini untuk menyelesaikannya," kata Manar Dimansyah Gamas, Kepala Lembaga Adat Besar Kutai
Barat, dikutip Selasa 9 Februari 2021.[Pemisah Pembungkus Teks] [Pemisah Pembungkus Teks]Ancaman
sanksi adat itu pun tak main-main. Jika MM tidak bisa membayar dalam kurun waktu yang telah
ditetapkan, maka akan berdampak luas. Dikhawatirkan bisa berdampak ke isu suku, ras, agama, dan
antargolongan (SARA).[Pemisah Pembungkus Teks] [Pemisah Pembungkus Teks]Apesnya, tak hanya
hukum adat yang didapatkan MM. Dia juga harus menjalani hukuman pidana dari kepolisian.[Pemisah
Pembungkus Teks] [Pemisah Pembungkus Teks]MM dijerat Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan
berencana. Subsider Pasal 338 dan Pasal 351 ayat 3 dengan ancaman hukuman mati atau seumur hidup.
[Pemisah Pembungkus Teks] [Pemisah Pembungkus Teks]Pasalnya MM dianggap melakukan
pembunuhan berencana secara sadis. Dia membunuh gadis yang diketahui berinisial MS, 20.[Pemisah
Pembungkus Teks] [Pemisah Pembungkus Teks]MM membunuh dalam kondisi korban hamil muda. MM
membunuh lantaran korban menolak berhubungan intim.[Pemisah Pembungkus Teks] [Pemisah
Pembungkus Teks]Awalnya, korban hendak meminjam uang Rp2 juta kepada pelaku pada 17 Januari
2021. Namun, MM menawarkan pinjaman Rp600 ribu pada 1 Februari 2021.[Pemisah Pembungkus
Teks] [Pemisah Pembungkus Teks]Karena terdesak, MN menerima ajakan mengambil uang di kontrakan
pelaku. Namun, korban ditipu karena uang yang dijanjikan tidak ada dan justru diajak bersetubuh.
[Pemisah Pembungkus Teks] [Pemisah Pembungkus Teks]"Ada keinginan dari pelaku untuk menyetubuhi
korban. Pada saat itu korban menolak, sehingga pelaku merasa kecewa dan sakit hati," kata Kapolres
Kutai Barat AKBP Irwan Yuli Prasetyo.[Pemisah Pembungkus Teks] [Pemisah Pembungkus Teks]"Karena
ditolak, pelaku mengambil pisau. Pelaku sudah berencana melakukan penganiayaan maupun
pembunuhan terhadap korban. Itu jadi pemicu. Pada saat pelaku mengambil pisau, pelaku melakukan
pengancaman. Di situ terjadi pergulatan," lanjut keterangan Irwan.
Sumber : https://regional.kompas.com/read/2021/02/16/05300051/pembunuh-gadis-20-tahun-di-
kutai-barat-didenda-adat-rp-18-m-diberi-waktu-6?page=all

Pertanyaan:

1. Berdasarkan kasus diatas kaitannya dengan perbuatan delik adat yang dilakukan, berikan analisis
saudara upaya adat yang dilakukan jika petugas adat tidak memiliki wewenang untuk mengadili
karena ada delik-delik tertentu yang tidak diatur oleh KUHP.
2. Bagaimana upaya yang dilakukan jika kepala adat tidak dapat menyelesaikan sengketa adat?

Jawab:

1. Pada masa awal diberlakukannya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Landraad atau
yang sekarang disebut Pengadilan Negeri diberi kewenangan untuk mengadili semua delik-delik
yang ada di dalam KUHP tersebut. Kewenangan untuk mengadili tersebut juga meliputi dan
berlaku bagi delik-delik adat yang memang diatur dalam KUHP. Namun sebaliknya, terhadap
delik-delik adat yang tidak diatur dalam KUHP, Pengadilan Negeri tidak memiliki wewenang
untuk mengadilinya serta juga tidak memiliki wewenang memerintahkan untuk dilakukan upaya
adat, kecuali sebagai syarat istimewa pada hukuman bersyarat. Situasi itu meninggalkan sebuah
pertanyaan mengenai siapakah yang berwenang mengadili pelanggaran delik adat yang tidak
ditemukan pengaturannya dalam KUHP? Untuk memecahkan problem tersebut, maka dengan
bersandar pada Pasal 3a Rechterlijke Organisatie yang memberi dasar bagi hukum adat dalam
memberi wewenang kepada Hakim Desa untuk memeriksa segala perkara, maka pada saat itu
Hakim Desa menjalankan peran mengadili delik-delik adat yang tidak diatur dalam KUHP.

Hakim Desa itu sendiri adalah suatu lembaga desa yang kehadirannya dalam masyarakat hukum
adat merupakan alat pelengkap kekuasaan Desa, selama Desa itu sanggup mempertahankan
wajah aslinya dan keistimewaannya sebagai kesatuan politik ekonomi yang dapat berdiri sendiri.
Namun pada perkembangannya, dengan ditetapkannya Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun
1951 yang menetapkan penghapusan secara berangsur-angsur institusi peradilan adat dan
peradilan swapraja untuk kemudian digantikan dengan peradilan negara, maka hakim-hakim
desa secara berangsur-angsur pula beralih untuk menjalankan peran yang berbeda, yaitu
menjadi hakim-hakim perdamaian desa yang menjalankan fungsi arbitrase di luar pengadilan
bagi perselisihan dan sengketa adat. Sebuah peran yang masih berlaku hingga saat ini di banyak
tempat di Indonesia.

Selanjutnya, ditetapkannya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang tentang Ketentuan-


ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, menjadi jalan keluar bagi situasi dimana terjadi
pelanggaran delik adat, sementara petugas adat tidak memiliki wewenang untuk mengadili pada
satu sisi, dan delik-delik tersebut juga tidak diatur oleh KUHP pada sisi yang lain. Pasal 2 ayat (1)
UU Nomor 14 Tahun 1970 tersebut menetapkan bahwa hakim Pengadilan Negeri dapat
menyelesaikan setiap perkara.

UU Nomor 14 Tahun 1970 tersebut kemudian diganti oleh UU nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman. Pada Pasal 25 ayat 1 UU Nomor 4 Tahun 2004 tersebut, kewenangan
hakim pengadilan negeri untuk mengadili setiap perkara, termasuk perkara-perkara pelanggaran
delik adat, semakin diperkuat dengan ketentuan yang memberi peluang bagi hakim untuk
menjadikan sumber hukum tak tertulis sebagai dasar dalam memutuskan perkara. Ketentuan ini
haruslah dilihat sebagai keleluasaan bagi Pengadilan untuk dapat mengadili semua perkara
termasuk pelanggaran delik adat yang tidak diatur oleh KUHP secara adil dengan bersandarkan
pada kebijakan dan hukum adat. Secara lengkap Pasal 25 ayat (1) UU Nomor 4 Tahun 2004
adalah sebagai berikut: “Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar
putusan tersebut, memuat pula pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang
bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili”.

Ketentuan Pasal 25 ayat (1) tersebut, bahkan diperkuat oleh ketentuan Pasal 28 ayat (1) yang
menyatakan bahwa “Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan
rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”.

Jadi, berdasar pemaparan diatas, secara singkat dapat disimpulkan bahwa pada situasi dimana
terjadi pelanggaran delik adat, dan petugas adat tidak memiliki wewenang untuk mengadili pada
satu sisi, serta sementara delik-delik tersebut juga tidak diatur oleh KUHP pada sisi yang lain,
maka upaya adat yang bisa ditempuh adalah dengan membawa kasus pelanggaran delik adat
tersebut kepada hakim Pengadilan Negeri yang telah diberi kewenangan oleh peraturan
perundang-undangan untuk, bukan hanya mengadilinya namun juga menggunakan hukum adat
dalam memutuskan perkara semacam itu.

2. Jika kepala adat tidak dapat menyelesaikan sengketa adat, maka upaya yang bisa dilakukan
adalah dengan membawa sengketa tersebut ke Pengadilan Negeri yang memang berdasar UU
nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman), memiliki
wewenang untuk memutuskan semua perkara. Bukan hanya itu, Pasal 25 ayat (1) UU Kekuasaan
Kehakiman bahkan juga memberi keleluasaan bagi Hakim Pengadilan Negeri untuk
menggunakan hukum adat sebagai sumber hukum bagi putusannya.

Daftar Pustaka

Marhaeni Ria Siombo dan JM. Henny Wiludjeng. 2021. Hukum Adat. Banten: Penerbit Universitas
Terbuka

Anda mungkin juga menyukai