Disusun oleh :
Kelompok 22 Alexei Navalny
1. Lulu Rahma Aulia 8. Iqbal Resa Artirestu
2. Siti Annisa Shaleha 9. Dimas Ihsanuddin
3. Ridla Adawiyyah A
10. Afwa Afini
4. Dyah Ayu Pitaloka
11. Larasati Dewi
5. Raihan Anwar A
12. Randi Hisyam
6. Aliya Adzanisya
Dzikroo
7. Yunus Ilyasa
13. Mutia Ade Syafitri
14. Herlan
15. Hasna Muthi
Luthfiyah
2021
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum wr. wb
Puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT. yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah berjudul “Pelecehan Seksual
di Lingkungan Kampus” tepat pada waktunya. Sholawat serta salam semoga tercurahkan
kepada Nabi Muhammad Saw yang menuntun kita sebagai umatnya pada akhir zaman ke
jalan yang penuh cahaya rahmat yakni Agama Islam.
Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini untuk memenuhi tugas LKM pada
kegiatan kaderisasi mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia Kampus Cibiru. Selain itu,
makalah ini bertujuan untuk menambah wawasan juga ilmu tentang Kekerasan pelecehan
seksual bagi para penulis dan para pembaca.
Kami mengucapkan terimakasih pada Teh Euis Nur Amanah Asdiniah. selaku
evaluator dan pembimbing dalam melaksanakan tugas ini. Kami juga berterimakasih kepada
semua pihak yang telah berbagi ilmunya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah
ini. Kami sadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Karena itu, kritik dan
saran membangun akan kami terima dengan senang hati.
Penyusun,
Kelompok 22
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................................................ i
DAFTAR ISI..............................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................................... 3
3.1 Kesimpulan................................................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................. 13
ii
BAB I
PENDAHULAN
Masalah pelecehan seksual saat ini telah menjadi pemberitaan karena sering terjadi di
kalangan remaja semakin bertambah, misalnya dengan menggoda menggunakan ungkapan-
ungkapan penuh hasrat atau mengungkapkan gurauan-gurauan bernada porno, mencolak-
colek pada tubuh korban serta terkadang ada ancaman-ancaman jika ajakan tersebut tidak
dipenuhi sehingga korban merasa malu, marah, tersinggung, atau membenci hal tersebut.
Walaupun tidak melakukan penyiksaan secara fisik namun pelaku tersebut sudah membuat
korban merasa terganggu dan tidak nyaman, rata-rata korban daripada pelecehan seksual
tersebut adalah pada kaum perempuan.
Kasus pelecehan seksual sudah seringkali diekspose oleh media massa, namun dalam
masyarakat kita masih banyak yang belum sepenuhnya menyadari bahwa mereka sebenarnya
telah menjadi korban pelecehan seksual atau menganggap masalah ini sebagai sesuatu yang
tidak serius untuk ditanggapi. Dalam banyak kasus, banyak korban yang memilih diam dan
menganggap biasa perlakuan yang diterima dari atasan ataupun rekan kerja. Maraknya
pelecehan seksual yang terus-menerus terjadi sangatlah membuat keresahan di masyarakat,
terutama bagi para orang tua yang memiliki anakanak perempuan. Namun, ada yang
mengatakan bahwa justru korbanlah yang memberikan peluang kepada para pelaku untuk
dapat melakukan pelecehan seksual tersebut. Misalnya dengan memakai pakaian ataupun
memperlihatkan perilaku-perilaku yang justru dapat memberikan ruang kepada pelaku
sehingga membuat pelaku dapat tersugesti untuk melakukan pelecehan seksual tersebut.
Pelecehan seksual ini tidak hanya memberikan dampak pada pada fisik korban namun
juga memberikan dampak secara mental atau psikis. Untuk dampak yang secara fisik
memang dalam tahap pemulihannya tidak terlalu membutuhkan waktu yang lama, namun
pada dampak mental ini membutuhkan waktu yang sangat lama untuk memulihkannya.
Bahkan ada juga yang sampai menderita masalah kejiwaan sampai pada tindakan bunuh diri,
karena tidak kuat menahan penderitaan dan rasa malu yang dideritanya. Tentunya hal ini
sangat meresahkan terutama kepada kaum perempuan yang takut jikalau akan bepergian
1
sendirian keluar rumah maupun ke tempat lainnya. Pelecehan seksual seakan menjadi momok
yang mengerikan bagi kalangan pelajar ataupun mahasiswi.
2
BAB II
PEMBAHASAN
Menurut Winarsunu (2008), pelecehan seksual adalah segala macam bentuk perilaku
yang berkonotasi seksual yang dilakukan secara sepihak dan tidak dikehendaki oleh
korbannya. Bentuknya dapat berupa ucapan, tulisan, simbol, isyarat dan tindakan yang
berkonotasi seksual. Aktifitas yang berkonotasi seksual bisa dianggap pelecehan seksual jika
mengandung unsur-unsur sebagai berikut, yaitu adanya pemaksaan kehendak secara sepihak
oleh pelaku, kejadian ditentukan oleh motivasi pelaku,kejadian tidak diinginkan korban dan
mengakibatkan penderitaan pada korban. Menurut Collier (1998), pengertian pelecehan
seksual disini merupakan segala bentuk perilaku bersifat seksual yang tidak diinginkan oleh
yang mendapat perlakuan tersebut, dan pelecehan seksual yang dapat terjadi atau dialami
oleh semua perempuan. Sedangkan menurut Rubenstein (dalam Collier, 1998) pelecehan
seksual sebagai sifat perilaku seksual yang tidak diinginkan atau tindakan yang didasarkan
pada seks yang menyinggung penerima. Pelecehan seksual adalah perilaku atau perhatian
yang bersifat seksual yang tidak diinginkan atau tidak dikehendaki dan berakibat
mengganggu diri penerima pelecehan. Pelecehan seksual mencakup, tetapi tidak terbatas
pada bayaran seksual bila ia menghendaki sesuatu, pemaksaan melakukan kegiatan seksual,
pernyataan merendahkan tentang orientasi seksual atau seksualitas, permintaan melakukan
tindakan seksual yang disukai pelaku, ucapan atau perilaku yang berkonotasi seksual, semua
dapat digolongkan menjadi pelecehan seksual.
3
Pelecehan seksual adalah perilaku atau perhatian yang bersifat seksual yang tidak
diinginkan dan tidak dikehendaki dan berakibat mengganggu diri penerima pelecehan.
Pelecehan seksual mencakup, tetapi tidak terbatas pada: bayaran seksual bila menghendaki
sesuatu, pemaksaan melakukan kegiatan seksual, pernyataan merendahkan tentang orientasi
seksual atau seksualitas, permintaan melakukan tindakan seksual yang disukai pelaku,
ucapan atau perilaku yang berkonotasi seksual; semua dapat digolongkan sebagai pelecehan
seksual. Tindakan ini dapat disampaikan secara langsung maupun implicit. Pengaruhnya
selain pada korban yang justru dianggap menimbulkan masalah dan bukannya pelaku.
Umumnya, para korban akan tutup mulut yang terkadang hingga waktu yan g sangat lama
karena alasan-alasan tersebut, dan adanya ketakutan ia akan kian menjadi sasaran pelecehan.
Mereka tidak membicarakannya dengan teman ataupun keluarga. Proses penyembuhan akan
kian sulit ketika ada penyangkalan dari institusi, ketidak-percayaan, atau mempersalahkan
korban. Dipandang dari aspek situasional, pelecehan seksual dapat dilakukan dimana saja
dan dengan kondisi tertentu. Perempuan korban pelecehan seksual dapat berasal dari setiap
ras, umur, karakteristik, status perkawinan, kelas sosial, pendidikan, pekerjaan, tempat kerja,
dan pendapatan (Hadjifotiou, 1983; Higgins dan Hawkins, 1986).
Meskipun Foucoult melihat bahwa relasi kuasa tidak selalu negatif, tetapi dalam
konteks hubungan relasi kekerasan seksual hal ini tidak dapat dijadikan kacamata dalam
menganalisis kasus kekerasan. Kekuasaan dapat menjadikan seseorang merasa berhak untuk
melakukan hegemoni kepada orang lain yang secara modal lebih rendah dan tidak berdaya
untuk mendapatkan manfaat darinya. Tindakan yang didasarkan pada pemikiran seperti ini
memungkinkan seseorang untuk melakukan kekerasan terhadap orang lain.
Padahal dalam pandangan Foucoult bahwa tindakan merupakan hasil dari karsa seseorang
yang terimplementasikan dari pengetahuan atas kebenaran yang dipercayainya. Hal ini
berseberangan dengan kepercayaan umum bahwa posisi dosen memiliki pengetahuan yang
tinggi dan sikapnya merupakan percontohan dari orang terpelajar dan mampu menunjukkan
kebenaran.
Foucoult menggambarkan relasi kuasa ini dalam istilah Disciplinary Power yang
dapat dilihat dari fenomena sekolah atau kampus yang mendisiplinkan internalisasi
penundukan murid atau mahasiswa menjadi suatu hal yang dianggap normal (Kamahi, 2017).
5
Bahkan sikap dari ketertundukan ini sebagai norma yang tidak boleh dilanggar dan jika
dilanggar maka menimbulkan adanya sanksi yang diterima. Norma ini menjadi bagian
struktur yang baku bahwa penghormatan pada dosen atau orang yang lebih tua menjadi
normal dan umum dilakukan. Tindakan ini bukan hanya sebagai cara untuk bentuk
pendisiplinan sikap dan perilaku bagi mahasiswa, tetapi di lain sisi hal ini bisa menjadi
pelanggengan status quo dan penyalahgunaan kekuasaan dalam menundukkan orang lain.
Pertama, tipe “pemain-kekuasaan” atau “quid pro quo”. Tipe ini menunjukkan gejala
awal pelecehan seksual yang ditandai oleh perilaku sesesorang yang memiliki posisi atau
otoritas lebih dengan tawaran benefit yang bisa mereka berikan kepada calon korban dengan
melakukannya di luar area kampus (tempat-tempat yang memungkinkan perilaku pelecehan
seksual tidak mendapat gangguan dari yang lain), misalnya tawaran mendapat nilai bagus,
rekomendasi atau kemudahan akademik, jaminan memperoleh atau mempertahankan
pekerjaan, proyek, promosi jabatan, order, dan kesempatankesempatan lain.
Kedua, tipe dengan “peran sebagai figur ibu, ayah, orang tua atau kakak”. Gejala
pelecehan seksual yang akan dilakukan menunjukkan perilaku yang mencoba untuk
membuat hubungan dengan calon korban seperti orang tua atau mentor di luar area kampus
atau saat kampus sepi dari banyaknya aktifitas orang-orang. Gejala pelaku dalam intensi
seksualnya biasa sering ditutupi dengan pretensi yang berkaitan dengan atensi akademik,
6
profesional, atau personal. Ini merupakan cara yang sering terjadi di dunia kampus,
pelecehan bahkan sampai pada kekerasan seksual yang dilakukan oleh dosen kepada
mahasiswa bimbingannya.
Ketiga, tipe “anggota kelompok” (group). Ini semacam motif pelecehan bahkan
menjurus kepada kekerasan seksual dengan gejala adanya perilaku inisiasi untuk dianggap
sebagai anggota dari suatu anggota baru kelompok tertentu. Misalnya, pelecehan yang
dilakukan angota-angota senior pada seseorang (calon korban) dalam momentum kegiatan
masa penerimaan anggota organisasi kampus (intra maupun ekstra) dengan dalih tradisi atau
syarat diterimanya sebagai anggota.
Keempat, tipe “pelecehan di tempat tertutup”. Gejala pelecehan ini dilakukan oleh
pelaku secara tersembunyi di tempat-tempat sepi dan umum atau sudah direncanakan tanpa
terlihat oleh siapapun atau tidak ada saksi. Gejala awal tipe pelecehan ini, pelaku berubah
dirinya menjadi “groper”, yakni suka memegang-megang anggota tubuh korban seolah
dilakukan tanpa sengaja. Peluang tindakan aksi seperti ini biasanya dapat terjadi pada proses
bimbingan akademik dan bimbingan penyelesai studi (skripsi). Bahkan bukan hanya berubah
menjadi “groper” tetapi juga menjadi sangat “oportunis”. Artinya pelaku selalu mencari
kesempatan adanya kemungkinan untuk melakukan pelecehan, misalnya dengan
mendaratkan tangannya di bagianbagian tubuh tertentu korban di saat lengah.
Kelima, tipe “confidante”. Gejala awal pelecehan atau kekerasan seksual dengan
mengiring calon korban dengan selalu mengarang cerita problematika keluarga pelaku untuk
menimbulkan simpati dan rasa percaya dari korban. Sebagai contoh, pelaku menceritakan
permasalahannya bahkan paling ekstrem menceritakan juga maslah seksual dengan pasangan
resminya dengan tujuan calo korban terbawa perasaan. Setelah itu pelaku membujuk calon
korban untuk diajak pada situasi di mana calon korban dipaksa untuk menjadi pelipur lara
atas penderitaan yang diceritakannya.
Keenam, tipe “pelecehan situasional”. Gejala awal diperlihatkan oleh pelaku dengan
memanfaatkan situasi korban yang sedang ditimpa musibah atau kemalangan. Pelaku
mempossikan seolah-olah sebagai dewa penolong atas musibah yang dialamai calon korban
dan kemudian pelaku memanfaatkan ketidakberdayaan korban. Misalnya, korban yang
sedang sakit, korban yang mengalami cacat fisik, korban yang sedang dilanda stress studi
atau menghadapi kesulitan kehidupan, bahkan korban karena ditinggal mati keluarganya, dan
lainnya. Tipe pelecehan atau kekerasan seksual seperti ini, pelakunya bisa menjadi tindakan
7
“pest’, memaksakan kehendak dengan tidak mau menerima jawaban “tidak”. Pemaksaan
kehendak ini dilakukan karena pelaku sangat menginginkan untuk melakukan perbuatan
yang ingin di lakukan, tidak peduli dengan perasaan korban.
Ketujuh, tipe “the great gallant”. Gejala awal pelaku sebelum melakukan pelecehan
seksual selalu mengumbar komentar-komentar “pujian” yang berlebihan tidak pada
tempatnya sehingga menimbulkan rasa malu pada calon korban. Biasanya dilakukan oleh
seorang “intellectual seducer”, di mana sebelumnya pelaku mempergunakan kelebihan
pengetahuan dan kemampuan untuk mencari tahu tentang kebiasaan atau pengalaman calon
korban. Bahkan bisa juga dibuat dulu pengkondisian suasana lingkungan yang mendukung
pelecehan seksual itu (seualized environment). Pengkondisian lingkungan yang mengandung
obsenitas, gurauan-gurauan berbau seks, grafiti yang eksplisit menampilkan hal-hal seksual,
menunjukkan dengan sengaja pornografi di internet seolah-olah baru melihatnya, poster-
poster dan obyek yang merendahkan secara seksual, dan sebaginya. Pelaku sebagai orang
yang memiliki kelebihan intelektual menciptakan pengkondisian ini untuk menguatkan
stimulus kepada calon korban agar tanpa sadar ikut terangsang. Tindakan pengkondisian ini
untuk memudahkan niat pelaku menekan calon korban dalam melakukan pelecehan seksual.
Hal inipun didukung juga oleh pengetahuan pelaku terhadap kelemahan-kelemahan korban
dari hasil penelusuran kebiasaaan atau pengalaman calon korban.
1. Relasi kuasa
pelecehan seksual terjadi ketika pelaku mempunyai kekuasaan yang lebih daripada korban.
kekuasaan dapat berupa posisi pekerjaan yang lebih tinggi kekuasaan ekonomi , "kekuasaan"
jenis kelamin yang satu terhadap jenis kelamin yang lain , jumlah personel yang lebih banyak
dan sebagainya tentang pelecehan seksual ini sangat luas meliputi mata main , siulan nakal ,
komentar yang bersifat seksual, dan lainnya
2. Psikologi
bisa juga terjadi karena perkembangan psikologi seksualitas dan emosionalitas yang
mempengaruhi tingkah lakunya seperti perkembangan yang dialami oleh remaja akan
menimbulkan permasalahan bagi remaja sendiri dan orang-orang yang berada di dekatnya
sekelilingnya Salah satu masalah yang dihadapi remaja dan menjadi masalah bagi
lingkungannya adalah aktivitas seksual yang akhir-akhir ini berdampak menjurus pada hal-
8
hal negatif dikatakan negatif karena para remaja bersikap dan bertingkah laku yang
menyimpang Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya berbagai macam perilaku seksual
disalurkan dengan sesama jenis kelamin dengan anak yang belum cukup umur dan
sebagainya
3. pengaruh lingkungan
Pengaruh lingkungan yang tidak , baik baca-bacaan yang berbau porno , gambargambar
porno, film dan VCD porno yang banyak beredar di masyarakat dari adanya buku bacaan
gambar film dan video porno tersebut dapat menimbulkan rangsangan dan berpengaruh bagi
yang membaca dan melihatnya akibatnya banyak terjadi penyimpangan seksual
Dampak pelecehan seksual yang korban terima tentu saja terdapat 2 dampak yang diakibatkan
dari keerasan seksual itu sendiri. Dimana anak akan mendapatkan dampak pelecehan seksual
secara fisik maupun psikis.
9
e) Korban akan selalu merasa diawasi padahal sebenarnya tidak
f) Korban bisa saja menjadi lebih tertutup dan tidak ceria lagi bahkan sampai merasa
bahwa dia sendiri.
Dampak terbesar dari pelecehan seksual itu sendiri adalah trauma. Seseorang bisa
meninggalkan hobi dan kebiasaan sehari-harinya yang bisa membuat dia bahagia hanya
karena merasa tidak aman dengan traumanya.
Upaya langkah preventik yaitu bertujuan teruntuk khususnya mahasiswa agar mereka
dapat melakukan pencegahan pelecehan seksual secara mandiri yang artinnya bisa menjaga
diri secara mandiri. Dalam upaya preventif ini adalah agar terciptanya suasana kampus yang
kondusif dalam menjaga terjadinnya pelecehan seksual yang berada di lingkungan kampus.
Dalam rangka mengkondisikan masyarakay yang berada di kampus untuk menjauhi dari
model-model yang mengarahkan pada terjadinnya pelecehan seksual.
Pencegahan pelecehan seksual di kampus yaitu dengan menggunakan cara upaya pencegahan
yaitu harus bersifat komperhensif, komperhensif adalah strategis dalam pendekatan yang di
lakukan dengan cara saling melengkapi dan memperkuat Antara satu sama lain yang ada di
kampus. Kedua yaitu infrastruktur yang kuat, yang artinnya yaitu membutuhkan sistem
organisasi, struktur , atau kelembagaan yang legal serta efektif dalam suatu pengembangan
strategis pencegahan pelecehan seksual yang di perguruan tinggi.
11
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kekerasan dalam jenis dan bentuk apapun, tidak dapat ditoleransi dengan alasan apapun.
Bagi subyek penelitian diharapkan untuk berhati-hati dalam memilih teman dalam pergaulan,
jangan cepat percaya dan terlena oleh bujuk rayu serta iming-iming yang dijanjikan oleh
orang lain baik yang sudah dikenal maupun belum. Hal terbaik yang mungkin bisa dilakukan
adalah dengan memberikan pemahaman kepada diri sendiri tentang bagian tubuh mana dan
hal-hal yang tidak boleh dilakukan oleh orang lain terhadap bagian tubuhnya. Penenaman
agama serta pemahaman ajaran agama yang mendalam juga bisa menjadi benteng untuk
menghindari tindakan serta pergaulan bebas. Apabila memang sudah melakukan antisipasi
namun masih mengalami kekerasan, lawanlah dengan kemampuan yang dimiliki.
Hal ini akan membuat beban psikologis menjadi sedikit ringan dan mengurangi adanya
penyesalan serta menumbuhkan rasa percaya diri apabia dibandingkan tanpa perlawanan.
Perhatian orang tua serta dukungan terhadap anak juga merupakan faktor terpenting dalam
proses meminimalisir terhadap kejadian-kejadian traumatis yang menimpa anak. Penelitian
ini menununjukkan bahwa dukungan sosial mampu meringankan beban berat yeng diterima
oleh anak ketika menghadapi situasi-situasi sulit, oleh sebab itu hendaknya orang tua tidak
serta merta menyalahkan anak akibat dari tekanan-tekanan yang melanda. Bagi peneliti yang
akan mendatang diharapkan dapat memperluas jangkauan sudut pandang penelitian, baik dari
segi etnografi maupun biopsikososiospiritual.
12
DAFTAR PUSTAKA
Dewi, I. (2019). Catcalling : Candaan, Pujian atau Pelecehan Seksual. Jurnal Hukum
Kenotariatan. Vol.4 No. 2.
Effendi. (2021). Upaya Preventif Kekerasan Seksual di Kampus. Pusat Perpustakaan UIN
Sunan Gunung Djati Bandung, Bandung.
Sari, R., Nulhaqim, S. A., & Irfan, M. (2015). Pelecehan Seksual Terhadap Anak. Prosiding
Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, 2(1).
Ginting, M. N. K., & Psi, S. (2019). PELECEHAN SEKSUAL PADA ANAK: DITINJAU
DARI SEGI DAMPAK DAN PECEGAHANNYA. JURNAL PIONIR, 5(3).
Effendi, D. (2021). Upaya Preventif Kekerasan Seksual di kampus. Pusat Perpustakaan UIN.
13