Anda di halaman 1dari 8

NAMA : HENDRIK

KELAS : XII MIA 2

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi


Efektifitas Suatu Penerapan Hukum
Dalam realita kehidupan bermasyarakat, seringkali penerapan
hukum tidak efektif sehingga wacana ini menjadi perbincangan menarik
untuk di bahas dalam perspektif efektifitas hukum. Artinya benarkah
hukum yang tidak efektif atau pelaksana hukumkah sesungguhnya yang
berperan untuk mengefektifkan hukum itu?
Sebenarnya pada hakikatnya persoalan efektifitas hukum seperti
yang diungkapkan Dr. Syamsuddin Pasamai, SH., MH., dalam bukunya
Sosiologi dan Sosiologi Hukum, persoalan efektifitas hukum mempunyai
hubungan yang sangat erat dengan persoalan penerapan, pelaksanaan
dan penegakan hukum dalam masyarakat demi tercapainya tujuan
hukum. Artinya hukum benar-benar berlaku secara filosofis, yuridis dan
sosiologis.
Untuk menmbahas ketidakefektifan hukum, ada baiknya juga
memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi efektifitas suatu
penerapan hukum. Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapkan Ishaq,
SH., MHum., dalam bukunya Dasar-dasar Ilmu Hukum yang menyebutkan
dalam proses penegakan hukum, ada faktor-faktor yang mempengaruhi
dan mempunyai arti sehingga dampak positif dan negatifnya terletak
pada isi faktor tersebut.
Menurut Soerjono Soekanto bahwa faktor tersebut ada lima, yaitu :
1. Hukumnya sendiri.
2. Penegak hukum.
3. Sarana dan fasilitas.
4. Masyarakat.
5. Kebudayaan.

A. Faktor Hukum
Dalam praktik penyelenggaraan hukum di lapangan ada kalanya
terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, hal ini
disebabkan oleh konsepsi keadilan merupakan suatu rumusan yang
bersifat abstrak, sedangkan kepastian hukum merupakan suatu prosedur
yang telah ditentukan secara normatif.
Justru itu, suatu kebijakan atau tindakan yang tidak sepenuhnya
berdasar hukum merupakan sesuatu yang dapat dibenarkan sepanjang
kebijakan atau tindakan itu tidak bertentangan dengan hukum. Maka pada
hakikatnya penyelenggaraan hukum bukan hanya mencakup low
enforcement saja, namun juga peace maintenance, karena
penyelenggaraan hukum sesungguhnya merupakan proses penyerasian

antara nilai kaedah dan pola perilaku nyata yang bertujuan untuk
mencapai kedamaian.
Dengan demikian, tidak berarti setiap permasalahan sosial hanya
dapat diselesaikan dengan hukum yang tertulis, karena tidak mungkin ada
peraturan perundang-undangan yang dapat mengatur seluruh tingkah
laku manusia, yang isinya jelas bagi setiap warga masyarakat yang
diaturnya dan serasi antara kebutuhan untuk menerapkan peraturan
dengan fasilitas yang mendukungnya.
Pada hakikatnya, hukum itu mempunyai unsur-unsur antara lain
hukum perundang-undangan, hukum traktat, hukum yuridis, hukum adat,
dan hukum ilmuwan atau doktrin. Secara ideal unsur-unsur itu harus
harmonis, artinya tidak saling bertentangan baik secara vertikal maupun
secara horizontal antara perundang-undangan yang satu dengan yang
lainnya, bahasa yang dipergunakan harus jelas, sederhana, dan tepat
karena isinya merupakan pesan kepada warga masyarakat yang terkena
perundang-undangan itu.
Mengenai faktor hukum dalam hal ini dapat diambil contoh pada
pasal 363 KUHP yang perumusan tindak pidananya hanya mencantumkan
maksimumnya saja, yaitu 7 tahun penjara sehingga hakim untuk
menentukan berat ringannya hukuman dimana ia dapat bergerak dalam
batas-batas maksimal hukuman.
Oleh karena itu, tidak menutup kemungkinan hakim dalam
menjatuhkan pidana terhadap pelaku kejahatan itu terlalu ringan, atau
terlalu mencolok perbedaan antara tuntutan dengan pemidanaan yang
dijatuhkan. Hal ini merupakan suatu penghambat dalam penegakan
hukum tersebut.

B. Faktor Penegakan Hukum


Dalam berfungsinya hukum, mentalitas atau kepribadian petugas
penegak hukum memainkan peranan penting, kalau peraturan sudah baik,
tetapi kualitas petugas kurang baik, ada masalah. Oleh karena itu, salah
satu kunci keberhasilan dalam penegakan hukum adalah mentalitas atau
kepribadian penegak hukum dengan mengutip pendapat J. E. Sahetapy
yang mengatakan :
Dalam rangka penegakan hukum dan implementasi penegakan
hukum bahwa penegakan keadilan tanpa kebenaran adalah suatu
kebijakan. Penegakan kebenaran tanpa kejujuran adalah suatu
kemunafikan. Dalam kerangka penegakan hukum oleh setiap lembaga
penegakan hukum (inklusif manusianya) keadilan dan kebenaran harus
dinyatakan, harus terasa dan terlihat, harus diaktualisasikan.

Di dalam konteks di atas yang menyangkut kepribadian dan


mentalitas penegak hukum, bahwa selama ini ada kecenderungan yang
kuat di kalangan masyarakat untuk mengartikan hukum sebagai petugas
atau penegak hukum, artinya hukum diidentikkan dengan tingkah laku
nyata petugas atau penegak hukum. Sayangnya dalam melaksanakan
wewenangnya sering timbul persoalan karena sikap atau perlakuan yang
dipandang melampaui wewenang atau perbuatan lainnya yang dianggap
melunturkan citra dan wibawa penegak hukum, hal ini disebabkan oleh
kualitas yang rendah dari aparat penegak hukum tersebut.
Hal ini dapat berakibat tidak memahami batas-batas kewenangan,
karena kurang pemahaman terhadap hukum, sehingga terjadi
penyalahgunaan wewenang dalam melakukan tugas penyidikan dan tugas
kepolisian lainnya.
Masalah peningkatan kualitas ini merupakan salah satu kendala
yang dialami diberbagai instansi, tetapi khusus bagi aparat yang
melaksanakan tugas wewenangnya menyangkut hak asasi manusia
(dalam hal ini aparat penegak hukum) seharusnya mendapat prioritas.
Walaupun disadari bahwa dalam hal peningkatan mutu berkaitan
erat dengan anggaran lainnya yang selama ini bagi Polri selalu kurang dan
sangat minim.

Ada beberapa halangan yang mungkin dijumpai pada


penerapan peranan yang seharusnya dari golongan sasaran
atau penegak hukum, Halangan-halangan tersebut, adalah:
1. Keterbatasan kemampuan untuk menempatkan diri dalam
peranan pihak lain dengan siapa dia berinteraksi.
2. Tingkat aspirasi yang relatif belum tinggi.
3. Kegairahan yang sangat terbatas untuk memikirkan masa depan,
sehingga sulit sekali untuk membuat proyeksi.
4. Belum ada kemampuan untuk menunda pemuasan suatu
kebutuhan tertentu, terutama kebutuhan material.
5. Kurangnya daya inovatif yang sebenarnya merupakan pasangan
konservatisme.
Halangan-halangan tersebut dapat diatasi dengan
membiasakan diri dengan sikap-sikap, sebagai berikut:
1. Sikap yang terbuka terhadap pengalaman maupun penemuan
baru.
2. Senantiasa siap untuk menerima perubahan setelah menilai
kekurangan yang ada pada saat itu.
3. Peka terhadap masalah-masalah yang terjadi di sekitarnya.
4. Senantiasa mempunyai informasi yang selengkap mungkin
mengenai pendiriannya.

5. Orientasi ke masa kini dan masa depan yang sebenarnya


merupakan suatu urutan.
6. Menyadari akan potensi yang ada dalam dirinya.
7. Berpegang pada suatu perencanaan dan tidak pasrah pada nasib.
8. Percaya pada kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi di
dalam meningkatkan kesejahteraan umat manusia.
9. Menyadari dan menghormati hak, kewajiban, maupun
kehormatan diri sendiri dan ihak lain.
10. Berpegang teguh pada keputusan-keputusan yang diambil atas
dasar penalaran dan perhitingan yang mantap.

C. Faktor Sarana atau Fasilitas Pendukung


Faktor sarana atau fasilitas pendukung mencakup perangkat lunak
dan perangkat keras, salah satu contoh perangkat lunak adalah
pendidikan. Pendidikan yang diterima oleh Polisi dewasa ini cenderung
pada hal-hal yang praktis konvensional, sehingga dalam banyak hal polisi
mengalami hambatan di dalam tujuannya, diantaranya adalah
pengetahuan tentang kejahatan computer, dalam tindak pidana khusus
yang selama ini masih diberikan wewenang kepada jaksa, hal tersebut
karena secara teknis yuridis polisi dianggap belum mampu dan belum
siap. Walaupun disadari pula bahwa tugas yang harus diemban oleh polisi
begitu luas dan banyak.
Masalah perangkat keras dalam hal ini adalah sarana fisik yang
berfungsi sebagai faktor pendukung. Sebab apabila sarana fisik seperti
kertas tidak ada dan karbon kurang cukup dan mesin tik yang kurang
baik, bagaimana petugas dapat membuat berita acara mengenai suatu
kejahatan. Menurut Soerjono Soekanto dan Mustafa Abdullah pernah
mengemukakan bahwa bagaimana polisi dapat bekerja dengan baik,
apabila tidak dilengkapi dengan kendaraan dan alat-alat komunikasi yang
proporsional?
Oleh karena itu, sarana atau fasilitas mempunyai peran yang sangat
penting dalam penegakan hukum. Tanpa adanya sarana atau fasilitas
tersebut, tidak akan mungkin penegak hukum menyerasikan peranan
yang seharusnya dengan peranan yang aktual. Khususnya untuk sarana
atau fasilitas tesebut, sebaiknya dianut jalan pikiran, sebagai berikut
(Purbacaraka & Soerjono Soekanto, 1983):
1.
2.
3.
4.
5.

Yang
Yang
Yang
Yang
Yang

tidak ada-diadakan yang baru.


rusak atau salah-diperbaiki atau dibetulkan.
kurang-ditambah.
macet-dilancarkan.
mundur atau merosot-dimajukan atau ditingkatkan.

D. Faktor Masyarakat

Penegak hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk


mencapai kedamaian di dalam masyarakat. Setiap warga masyarakat atau
kelompok sedikit banyaknya mempunyai kesadaran hukum, persoalan
yang timbul adalah taraf kepatuhan hukum, yaitu kepatuhan hukum yang
tinggi, sedang, atau kurang. Adanya derajat kepatuhan hukum
masyarakat terhadap hukum, merupakan salah satu indikator
berfungsinya hukum yang bersangkutan. Salah satu akibatnya adalah,
bahwa baik-buruknya hukum senantiasa dikaitkan dengan pola
perilaku penegak hukum tersebut.
Sikap masyarakat yang kurang menyadari tugas polisi, tidak
mendukung, dan malahan kebanyakan bersikap apatis serta menganggap
tugas penegakan hukum semata-mata urusan polisi, serta keengganan
terlibat sebagai saksi dan sebagainya. Hal ini menjadi salah satu faktor
penghambat dalam penegakan hukum.

E. Faktor Kebudayaan
Dalam kebudayaan sehari-hari, orang begitu sering membicarakan
soal kebudayaan. Kebudayaan menurut Soerjono Soekanto, mempunyai
fungsi yang sangat besar bagi manusia dan masyarakat, yaitu mengatur
agar manusia dapat mengerti bagaimana seharusnya bertindak, berbuat,
dan menentukan sikapnya kalau mereka berhubungan dengan orang lain.
Dengan demikian, kebudayaan adalah suatu garis pokok tentang
perikelakuan yang menetapkan peraturan mengenai apa yang harus
dilakukan, dan apa yang dilarang.
Kebudayaan(system) hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai
yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai yang merupakan konsepsi
abstrak mengenai apa yang dianggap baik (sehingga dianuti) dan apa
yang dianggap buruk (sehingga dihindari). Pasangan nilai yang berperan
dalam hukum, adalah sebagai berikut ( Purbacaraka & Soerjono
soekantu):
1. Nilai ketertiban dan nilai ketentraman.
2. Nilai jasmani/kebendaan dan nilai rohani/keakhlakan.
3. Nilai kelanggengan/konservatisme dan nilai kebaruan/inovatisme.
Di Indonesia masih berlaku hukum adat, hukum adat adalah
merupakan hukum kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat.
Kelima faktor di atas saling berkaitan dengan eratnya, karena
menjadi hal pokok dalam penegakan hukum, serta sebagai tolok ukur dari
efektifitas penegakan hukum. Dari lima faktor penegakan hukum tersebut
faktor penegakan hukumnya sendiri merupakan titik sentralnya. Hal ini
disebabkan oleh baik undang-undangnya disusun oleh penegak hukum,
penerapannya pun dilaksanakan oleh penegak hukum dan penegakan
hukumnya sendiri juga merupakan panutan oleh masyarakat luas.
Kelima faktor yang dikemukakan Soerjono Soekanto tersebut,
tidaklah disebutkan faktor mana yang sangat dominan berpengaruh atau

mutlaklah semua faktor tersebut harus mendukung untuk membentuk


efektifitas hukum. Namun sistematika dari kelima faktor ini jika bisa
optimal, setidaknya hukum dinilai dapat efektif.
Sistematika tersebut artinya untuk membangun efektifitas hukum
harus diawali untuk mempertanyakan bagaimana hukumnya, kemudian
disusul bagaimana penegak hukumnya, lalu bagaimana sarana dan
fasilitas yang menunjang, kemudian bagaimana masyarakat merespon
serta kebudayaan yang terbangun.
Dari apa yang dikemukakan Soerjono Soekanto, tentu bukan hanya
kelima faktor tersebut, tetapi banyak faktor-faktor lainnya yang ikut
mempengaruhi efektifnya suatu hukum diterapkan. Salah satu inisialnya
adalah faktor keadaan atau kondisi yang melingkupi penerapan suatu
hukum.
Hukum disini bisa saja menjadi tidak menentu dan menjadi wilayah
abu-abu tidak jelas dan samar-samar bahkan kerapkali dipermainkan
untuk kepentingan tertentu sehingga tidaklah heran bila orang yang tidak
bersalah sama sekali bisa di hukum dan orang yang bersalah menjadi
bebas.

Contoh Kasus :
KPK Telusuri Keterlibatan Hakim dalam
Kasus Suap Perkara Saipul Jamil

KOMPAS.com / KRISTIANTO PURNOMOPetugas menunjukkan barang bukti uang saat jumpa pers terkait operasi
tangkap tangan (OTT) di Gedung KPK, Jakarta (16/6/2016). Dalam OTT tersebut KPK mengamankan barang
bukti uang sebesar Rp 250 juta serta menetapkan empat orang tersangka yaitu pengacara Saipul Jamil,
Berthanatalia Ruruk Kariman dan Kasman Sangaji, panitera pengganti Pengadilan Negeri Jakarta Utara Rohadi,
dan kakak Saipul Jamil, Samsul Hidayatullah yang tertangkap suap terkait pengurangan vonis perbuatan asusila
terhadap anak.

JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih


mendalami perkara suap yang melibatkan panitera Pengadilan Negeri
Jakarta Utara.
Salah satunya, KPK menelusuri dugaan keterlibatan hakim yang
menyidangkan perkara pencabulan dengan terdakwa Saipul Jamil.
"Apakah ada negosiasi jaksa atau hakim, ini masih dalam pengembangan.
Prediksi penyidik akan mengarah apakah suap tersebut berhenti pada
panitera, atau masih ada yang ke atas," ujar Wakil Ketua KPK Basaria
Pandjaitan di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (16/6/2016).
Menurut Basaria, hingga saat ini belum ada bukti-bukti yang menunjukkan
adanya keterlibatan hakim.
Pengembangan kasus tersebut akan dilakukan bersamaan dengan
pemeriksaan saksi-saksi dan tersangka.
Mengenai dugaan keterlibatan hakim, Ketua KPK Agus
Rahardjomengatakan, komunikasi yang dilakukan para tersangka saat
mempersiapkan suap sangat minim.
Hal tersebut yang menyebabkan penyidik sedikit kesulitan mengungkap
keterlibatan pihak lain.
KPK menetapkan empat orang sebagai tersangka dalam kasus suap
panitera di Pengadilan Negeri Jakarta Utara.
Salah satu tersangka adalah panitera PN Jakarta Utara, Rohadi, yang
diduga sebagai penerima suap.
Menurut KPK, Saipul Jamil bertindak selaku penyedia dana. Suap tersebut
diberikan agar hakim memberikan vonis ringan bagi Saipul Jamil
Saipul menginginkan agar hakim memberikan vonis yang lebih kecil dari
tuntutan jaksa selama 7 tahun penjara dan denda Rp100 juta.
Hasilnya, Saipul divonis 3 tahun penjara oleh Majelis Hakim di PN Jakarta
Utara.

Keempat orang yang telah dijadikan tersangka tersebut, yakni dua orang
pengacara Saipul Jamil, Berta Natalia dan Kasman Sangaji. Kemudian,
panitera PN Jakut Rohadi, dan kakak Saipul Jamil, Samsul Hidayatullah

Anda mungkin juga menyukai