OKTOBER 2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah mengenai Dinamika dan
Tantangan Demokrasi ini tepat pada waktunya. Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini
adalah untuk memenuhi tugas dosen pengampu pada matakuliah Pendidikan Kewarganegaraan.
Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang Pendidikan
Kewarganegaraan khusunya Dinamika dan Tantangan Demokrasi di Indonesia.
Kami menyadari bahwa makalah yang ditulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi kesempurnaan makalah
ini. Akhir kata kami mengucapkan sekian dan terima kasih.
Penulis
i
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ........................................................................................................................i
DAFTAR ISI ..................................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................................................1
1.1 LATAR BELAKANG ...............................................................................................................1
1.2 RUMUSAN MASALAH ..........................................................................................................1
1.3 TUJUAN PENULISAN ............................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN ...................................................................................................................2
2.1 PERKEMBANGAN DEMOKRASI DI INDONESIA ...............................................................2
2.2 PRINSIP DAN BUDAYA DEMOKRASI INDONESIA ...........................................................3
2.3 DINAMIKA PELAKSANAAN DEMOKRASI DI INDONESIA ..............................................3
2.3.1. PELAKSANAAN DEMOKRASI PADA MASA LIBERAL (1950-1959) .........................3
2.3.2. PELAKSANAAN DEMOKRASI PADA MASA DEMOKRASI TERPIMPIN (1957-1965)
...................................................................................................................................................4
2.3.3 PELAKSANAAN DEMOKRASI PADA MASA ORDE BARU (1965-1998).....................6
2.3.4 PELAKSANAAN DEMOKRASI PADA MASA REFORMASI (1998-SEKARANG) .......7
2.4 PELAKSANAAN DEMOKRASI DALAM BERBAGAI BIDANG KEHIDUPAN ...................8
2.4.1 DEMOKRASI DALAM KELUARGA ...............................................................................8
2.4.2 DEMOKRASI DALAM MASYARAKAT .........................................................................9
2.4.3 DEMOKRASI DALAM SEKOLAH ..................................................................................9
2.4.4 DEMOKRASI DALAM PEMERINTAHAN .................................................................... 10
2.5 PEMILU SEBAGAI WUJUD PELAKSANAAN DEMOKRASI............................................. 11
2.6 TANTANGAN DEMOKRASI INDONESIA .......................................................................... 14
2.7 SOLUSI MENGHADAPI TANTANGAN DEMOKRASI DI INDONESIA ............................ 16
BAB III PENUTUP ......................................................................................................................... 17
3.1 KESIMPULAN ....................................................................................................................... 17
3.2 SARAN .................................................................................................................................. 17
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................................... 18
ii
BAB I PENDAHULUAN
Demokrasi berasal dari Yunani Kuno yang dinyatakan di Athena kuno pada abad ke-5
Sebelum Masehi. Negara-Kota Athena tersebut dipercaya sebagai awalan dari suatu sistem
yang berkaitan dengan hukum demokrasi modern. Namun, maknanya dari itu berubah seiring
dengan waktu dan pengertian kini sudah berubah secara lambat sejak abad ke-18, bersamaan
dengan perkembangan komposisi demokrasi (Nihaya, 2016: 15).
1
BAB II PEMBAHASAN
Harold Crouch, seorang yang menaruh perhatian sangat besar terhadap politik
Indonesia, pernah sedikit pesimis mengenai prospek demokrasi di Indonesia. Demokrasi
merupakan topik yang semakin menarik untuk dijadikan bahan diskusi, baik oleh kalangan
akademisi maupun politisi. Khusus mengenai demokrasi di Indonesia, topik itu menjadi sangat
menarik perhatian masyarakat 16 tahun terakhir ini, sejak era reformasi di Indonesia terjadi.
Hal ini karena orang menaruh perhatian yang sangat · besar akan terjadinya masa transisi
menuju kehidupan politik yang lebih baik di Indonesia.
2
2.2 PRINSIP DAN BUDAYA DEMOKRASI INDONESIA
a. Kebebasan
Adalah kekuasaan untk membuat pilihan terhada beragam pilihan atau melakukan
sesuatu yang bermanfaat bagi kepentingan bersama atas kehendak sendiri, tanpa tekanan dar
pihak manapun.
b. Persamaan
Setiap negara terdiri atas berbagai suku, ras, dan agama. Namun dalam negara
demokrasi perbedaan tersebut tidak perlu ditonjolkan bahkan harus ditekan agar tidak
menimbulkan konflik.
c. Solidaritas
Rasa solidaritas harus ada di dalam negara demokrasi. Karena dengan adanya sifat
solidaritas ini, walaupun ada perbedaan pandangan bahkan kepentingan tiap-tiap masyarakat
maka akan senantiasa selalu terikat karena adanya tujuan bersama.
d. Toleransi
Adalah sikap atau sifat toleran. Bersikap toleran artinya bersifat menenggang
(menghargai, memberikan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan,
kebiasaan, kelakuan, dan sebagainya) yang bertentangan atau berbeda dengan pendirian.
3
diproklamirkan sangat banyak partai yang menjadi kontestan pemilu. Sistem banyak partai ini
berakibat kabinet baru yang akan -berjalan, akan mantap bila Tahun 1950-1959 merupakan
masa memanasnya partai-partai politik pada pemerintahan Indonesia. PNI dan Masyumi
merupakan partai yang terkuat dalam DPR (Parlemen). Dalam waktu lima tahun (1950 -1955)
PNI dan Masyumi secara bergantian memegang hegemoni poltik dalam empat kabinet yang
pernah berlaku. Masing-masing partai politik selalu berusaha untuk menghalalkan segala cara
agar tujuan partainya tercapai di dalamnya terdapat koalisi (Ukasah Martadisastra, 1987:144).
Demokrasi politik dipakai alasan untuk tumbuhnya oposisi yang destruktif. Demokrasi
ekonomi tidak lagi untuk membebaskan kemiskinan, tetapi malah mengaburkan tujuan semula
dengan tumbuh suburnya persaingan bebas. Demokrasi sosial bukannya menciptakan tata
masyarakat yang bersih dari unsur-unsur feodalisme, malah semakin menutup kemungkinan
rakyat banyak untuk menikmati kemerdekaan. lnilah yang menyebabkan macetnya tugas-tugas
pemerintahan. Secara politis kondisi demikian sungguh merupakan hal yang merugikan. Salah
satu buktinya adalah ketidak mampuan dari Konstituante untuk menetapkan UUD yang baru
sebagai pengganti UUDS 1950. Yang menonjol adalah persaingan antar partai politik dari
golongannya. Sehingga kepentingan nasional yang lebih besar terabaikan. Dilihat dari
kepentingan nasional tentu hal ini tldak dapat dibiarkan sehingga Presiden Soekarno selaku
Kepala Negara pada waktu itu mengeluarkan dekrit yang menyatakan bahwa Konstituante
dibubarkan, serta kembalinya ke UUD 1945, yang kemudian menghendaki terbentuknya MPRS
dan DPRS. Dekrit ini dikeluarkan pada tanggal 5 Juli 1959.
Demokrasi terpimpin adalah sebuah sistem demokrasi dimana seluruh keputusan serta
pemikiran berpusat pada pemimpin negara. Konsep sistem Demokrasi Terpimpin pertama kali
diumumkan oleh Presiden Soekarno dalam pembukaan sidang konstituante pada tanggal 10
November 1956. Masa demokrasi terpimpin (1957-1965) dimulai dengan tumbangnya
demokrasi parlementer atau demokrasi liberal yang ditandai pengunduran Ali Sastroamidjojo
sebagai perdana mentri. Namun begitu, penegasan pemberlakuan demokrasi terpimpin dimulai
setelah dibubarkannya badan konstituante dan dikeluarkannya dekrit presiden 5 Juli 1959.
4
Pengertian demokrasi terpimpin menurut Tap MPRS No. VII/MPRS/1965 adalah kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan yang berintikan
musyawarah untuk mufakat secara gotong royong diantara semua kekuatan nasional yang
progresif revolusioner dengan berporoskan nasakom dengan ciri:
1. Dominasi Presiden
2. Terbatasnya peran partai politik
3. Berkembangnya pengaruh PKI.
Bahkan pada masa ini untuk para pemain politik. Demokrasi hanyalah sebuah
kendaraan. Layaknya mobil, demokrasi merupakan sarana mereka untuk maju sebagai
pemimpin politik. Sarana untuk mengeksploitasi simpati rakyat untuk memperoleh suara
sebanyak – banyaknya. Kita hidup di negara dimana untuk menjadi politikus, bukanlah otak
dan hati yang diperlukan, namun uang dan darah. Kita hidup di negara dimana kampanye politik
bukanlah sebuah sarana debat namun sebuah konser dangdut. Kita hidup di demokrasi dimana
perwakilan kita hanya dapat meluluskan tujuh dari target lima puluh pekerjaan mereka.
Demokrasi, pada akhirnya, menjadi sebuah sarana baik yang dimanfaatkan oleh pemain politik.
Ini bukan salah mereka. Ini juga bukan salah sistem demokrasi ini. Namun, ini adalah celah
demokrasi, karena kebanyakan pemilih di Indonesia bukanlah dari kaum yang berpendidikan
tinggi. Ini adalah fakta yang kita harus akui dan ini adalah celah yang dimanfaatkan dengan
baik oleh pemain politik.
5
2.3.3 PELAKSANAAN DEMOKRASI PADA MASA ORDE BARU (1965-1998)
Periode pemerintahan ini muncul setelah gagalnya G30SPKI. Landasan formil periode
ini adalah Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, serta ketetapan MPRS. Semangat yang
mendasari lahirnya periode ini adalah ingin mengembalikan dan memurnikan pelaksanaan
pemerintahan yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 secara konsekuen dan murni.
Dari hasil pemilu 1971 sampai pemilu 1997, pucuk pemerintahan tidak pernah
mengalami pergantian, hanya pejabat setingkat menteri yang silih berganti. Pucuk kekuasaan
tidak pernah digantikan orang lain, Soeharto menjabat 32 tahun karena pada masa itu belum
dikenal adanya pembatasan kekuasaan presiden tentang periode jabatan.
Pada periode ini praktik demokrasi di Indonesia senantiasa mengacu pada nilai-nilai
Pancasila dan UndangUndang Dasar 1945. Maka dari itu demokrasi pada masa ini disebut
dengan Demokrasi Pancasila. Karena dalam demokrasi pancasila memandang kedaulatan
rakyat sebagai inti dari sistem demokrasi, karenarakyat mempunyai hak yang sama untuk
menentukan dirinya sendiri. Begitu juga dengan partisipasi politik yang sama semua rakyat.
untuk itu pemerintah patut memberikan perlindungan dan jaminan bagi warga negara dalam
menjalankan hak politik. Akan tetapi, “Demokrasi Pancasila” dalam rezim orde baru hanya
sebagai retorika dan gagasan belum sampai pada tataran praksis atau penerapan. Karena dalam
praktik kenegaraan dan pemerintahan, rezim ini sangat tidak memberikan ruang bagi kehidupan
berdemokrasi.
Pelaksanaan demokrasi orde baru ditandai dengan keluarnya Surat Perintah 11 Maret
1966, Orde Baru bertekad akan melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan
konsekwen. Awal Orde baru memberi harapan baru pada rakyat pembangunan disegala bidang
melalui Pelita I, II, III, IV, V dan pada masa orde baru berhasil menyelenggarakan Pemilihan
Umum tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Namun demikian perjalanan demokrasi
pada masa orde baru ini dianggap gagal sebab:
6
3. Pemilu yang jauh dari semangat demokratis
4. Pengakuan HAM yang terbatas
5. Tumbuhnya KKN yang merajalela
1. Presiden dan wakil presiden dipilih dengan masa jabatan 5 tahun dan dapat dipilih
kembali satu kali jabatan yang sama
2. DPA dihapuskan
3. Anggota MPR terdiri dari anggota DPR dan DPD dipilih melalui pemilu
7
Demokrasi Indonesia periode reformasi meletakkan fondasi yang kuat bagi pelaksanaan
demokrasi Indonesia pada masa selanjutnya. Terdapat beberapa indikator pelaksanaan
demokrasi di Indonesia, yaitu:
1. Saling percaya atau tidak saling curiga antara anggota keluarga Yang satu dengna yang lain
2. Melibatkan anggota keluarga dalam pengambilan keputusan bersama/keluarga.
8
3. Mernatuhi aturan dalam keluarga dan orang tua sebagai pimpinan dalam keluarga, akan
tetapi tetap bersikap kritis.
4. Perlakuan yang tidak diskriminatif terhadap anak, baik atas dasar jenis kelamin ataupun atas
dasar kondisi anak , misalnya cacat fisik, mereka diperlakukan secara adil .
5. Toleransi terhadap perbedaan pendapat , sejauh tidak merusak hubungan yang harmonis
dalam keluarga
6. Menghargai kebebasan masing – masing , akan tetapi tidak sampai merusak hubungan yang
harmonis maupun tujuan membangun hubungan yang harmonis maupun tujuan
membangun suatu keluarga
9
perbaikan, Penerapan budaya demokrasi dilim proses belajar mengajar di sekolah, dapat
dicontohkan sebagai berikut.
a. Guru terbuka untuk menerima kritikan, bahkan protes yang membangun dari siswa,
sehingga proses belajar melahirkan partisipasi belajar yang tinggi dari siswa.
b. Siswa mematuhi tata tertib di kelas, namun juga tetap kritis.
c. Saling menghargai perbedaan pendapat.
d. Di kelas ada kebebasan menunjukkan identitas budaya masing-masing, untuk
mengembangkan saling memahami bahwa kita hidup dalam kemajemukan
(misalnya biarkan siswa dari Suku Batak menampakkan logat bicaranya, jangan
mengejek mereka apalagi memaksa menyesuaikan dengan logat Suku Jawa, karena
sekolah di Jawa atau sebaliknya. Begitu pula dalam ekspresi identitas yang lain).
e. Tidak ada perlakuan diskriminatif di kelas karena alasan perbedaan jenis kelamin,
kaya-miskin, maupun agama.
f. Ada saling percaya/tidak saling curiga di antara guru siswa, siswa dengan siswa,
sehingga setiap terjadi perbedaan atau konflik mudah diselesaikan secara
konsensus.
1. Unjuk rasa yang dilakukan rakyat /masyarakat ditujukan kepada pemerintah. Misalnya
setiap ada keputusan pemerintah untuk menaikkan harga BBM, maka akan disambut
dengan unjuk rasa, karena kenaikan itu akan diikuti oleh kenaikan harga barang yang lain
yang berakibat semakin memberatkan beban perekonomi masyarakat
2. Masyarakat mendatangani DPR/DPRD untuk mengadukan berbagai masalah kebijakan
yang merugikan mereka, seperti masalah PHK (Pemutusan Hubungan Kerja),
penggusuran, UMR (Upah Minimum Regional) .yang dibawah standar.
3. Memberikan suara dalam pemilihan anggota BPD, kepala desa; ketua RT/RW.
4. Menyatakan pendapat untuk melakukan kontrol kepada pemerintah melalui surat
pembaca di surat kabar
10
2.5 PEMILU SEBAGAI WUJUD PELAKSANAAN DEMOKRASI
Penyelenggaraan pemilu di Indonesia sejak pemilu nasional pertama pada tahun
1955 sampai dengan pemilu 2004 telah menandai suatu tahapan penting dalam sejarah
demokratisasi di tanah air ini. Ada pasang surut pelibatan warga negara dalam
penyelenggaraan pemilu. Pemilu 1955 yang didasarkan pada, UU No.7 Tahun 1953
berjalan demokratis serta relatif aman dan damai. Salah satu kuncinya adalah diwakilinya
semua partai di dalam badan penyelenggara pemilu. Walaupun secara formal, UU No.
7/1953 sama sekali tidak menyebut secara spesifik keterlibatan warga negara dalam badan
penyelenggara dan pengawas pemilu, tetapi warga negara lewat partai politik dapat
mengimbangi pemaksaan kehendak oleh pejabat Iokal, dengan.usaha partai-partai lain yang
melaporkannya kepada instansi yang lebJh tinggt atau kepada wartawan (Sunarso, 2003:3).
Pemilu selama Rejim Soeharto, yang dikenal dengan istilah Pemerintahan Orde
Baru, jauh sekali dari sistem politik yang dianggap demokratis. Selama enam kali (1971,
1977, 1982, 1987, 1992, 1997) diselenggarakan pemilu oleh Rejim oeharto, peluang
untuk memberdayakan rakyat terbelenggu oleh perangkat perundang- undangan bidang
politik Lima paket UU bidang politik seperti : UU Pemilu, UU Partai Politik, UU tentang
Susunan dan Kedudukan DPR/DPRD dan MPR, UU tentang Referendum serta UU tentang
Keormasan, semua disusun untuk mengendalikan hak – hak politik rakyat. Secara eksplisit
Penjelasan UU No. 1 Tahun 1985 tentahg Pemilu menyebutkan bahwa, sampai dengan tiga
kali perubahan UU No. 15 Tahun 1969 "pada hakekatnya tidak mengubah dasar pikiran,
tujuan, asas, dan system pemilihan umum dalam UU tersebut, tetapi bertujuan untuk
menyempurnakannya sesuai dengan perkernbangan keadaan" (Padmosugondo, 1988:27-28).
Menurut Indria Samego, keberhasilan Pemerintah Orde Baru sebagian besar disebabkan oleh
begitu efektifnya ketentuan perundangan tersebut, sehingga baik kebebasan sipil dan politik
rakyat secara individual maupun partai politik tidak memiliki kernerdekaan untuk
mengembangkan fungsinya. Pemilu selama periode 1971 hingga 1997 telah menjadi sarana
pelanggengan kekuasaan dan legitimasi Pemerintah Orde Baru (Indria Samego: 1998:5).
11
berbagai berita unjuk rasa disuguhkan media massa. Tidak hanya di Jakarta, masyarakat
di daerah-daerah mulai menunjukkan keberaniannya terhadap praktik politik aparat negara
yang· menurut mereka diwarnai oleh fenomena kolusi, korupsi, dan nepotisme.
Pemilu 1999 yang diselenggarakan berdasarkan UU No. 3 Tahun 1999 telah menandai
babak baru perubahan dalam mesin pemilu di Indonesia yang berbeda dengan pemilu masa
Orde Baru. Pemilu 1999 telah menggeser dominasi pemerintah sebagai aparatur negara ke
dalam bentuk pemerataan partisipasi partai politik dan rakyat di dalam penyelenggaraan
pemilu. Berbeda dengan sistem pemilu selama Orde Baru, di dalam sistem pemilu 1999 partai
politik mempunyai hak terlibat secara intensif-dalam proses pemilu sejak Komisi Pemilihan
Umum (KPUJ dibentuk, sehingga dlharapkan mampu berfungsi sebagai otoritas pengatur
pemilu yang independen. Sebagai perbandingan, Lembaga Pemilihan Umum (LPU) adalah
sebuah tim yang terdiri dari para menteri, yang selalu terbentur hambatan etis saat berusaha
memperlihatkan prinsip-prinsip independensi dan keadilan. LPU tidak pernah mampu sebagai
sebuah otoritas pemilu yang independen, mengingat .anggotanya semua adalah pegawai negeri
yang selalu dibebani kewajiban untuk memenangkan Golongan Karya (Golkar).
Pada pemilu 2004 yang dilaksanakan pada 5 April 2004, telah diselenggarakan untuk
memilih anggota DPR, DPD (Dewan Perwakilan Daerah), DPRD Provinsi, dan DPRD
Kabupaten/Kota (Pasal 3). Partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemilu 2004
diberikan peluang amat besar. Hal ini ditandai dengan semakin terbukanya masyarakat untuk
menjadi penyelenggara pemilu di dalam KPU, KPU Privinsi, dan KPU Kabupaten/Kota (Pasal
18). Jika dicermati dari pemilu 1955 hingga pemilu 1999, dan pemilu 2004 yang
diselenggarakan 5 April 2004, tampak ada pergeseran pembangunan politik dan proses
pelembagaan politik. Pada pemilu 1955 partai poli tik bersama-sama pemerintah menjadi badan
penyelengara pemilu. Partai politik cukup kuat melakukan kontrol atas penyelenggaraan
pemilu. Pada pemilu sepanjang era Orde Baru, keterlibatann masyarakat maupun partai politik
dalam, penyelenggaraan pemilu sangat terbatas, bahkan hampir sarna sekali tidak ada ruang
untuk mengawasi jalannya pemilu. Pemilu menjadi alat legitimasi kekuasaan, melalui Golkar.
Barulah pada pemilu 1999, keterlibatann masyarakat melalui partai politik dan organisasi
pemantauan dan pengawas independen pemilu diberikan porsi yang cukup besar dalam aturan
main pemilu tersebut. Meskipun ada di lapangan, ketika memantau kecurangan perhitungan
Suara dan pelanggaran lainnya, Pemilu 1999 dianggap Iebih baik daripada pemilu selama era
Orde Baru.
12
Penyelenggaraan pemilu 2004 menjadi tantangan tersendiri bagi masyarakat, karena
baik penyelenggara maupun pengawas pemilu berasal dari masyarakat bukan dari partai politik
maupun bukan dari birokrasi pemerintah). Penyelenggaraaa pemilu yang baik adalah proses
dimana semua asas dalam kebijakan pemilu ditegakkan yakni Jurdil dan Luber.
a. Adil, bila dalam penyelenggaraan pemilu, setiap pemilih dan peserta pemllu mendapat
perlakuan yang sama, serta bebas dari kecurangan pihak manapun.
b. Langsung, bila rakyat sebagai pemilih mempunyai hak untuk memberikan suaranya
secara langsung sesuai dengan kehendak hati nuraninya, tan pa perantara.
c. Umum, bila semua warga negara yang memenuhi persyaratan sesuai dengan undang-
undang ini berhak mengikuti pemilu. Pemilihan yang bersifat umum mengandung makna
menjamin kesempatan yang berlaku menyeluruh bagi semua warga negara, tanpa
diskriminasi berdasarkan suku, agama, golongan, jenis kelamin, kedaerahan, pekerjaan,
.dan status sosial.
d. Rahasia, bila di dalam memberikan suara, pemilih dijamin bahwa pilihannya tidak akan
diketahui oleh pihak mana pun dan dengan jalan apa pun. Pemilih memberikan suaranya
pada surat suara dengan tidak dapat diketahui oleh orang lain, kepada siapapun suaranya
diberikan.
e. Bebas, bila setiap warga negara yang berhak memilih bebas menentukan pilihannya tanpa
tekanan dan paksaan dari siapapun. Di dalam melaksanakan haknya, setiap warga negara
dijamin keamanannya, sehingga dapat memilih sesuai dengan kehendak hati nurani dan
kepentingannya. .
Pengalaman pemilu setelah reformasi (1999 dan 2004) yang dikenal sebagai pemilu
paling demokratis, dalam kenyataannya tidak memberikan jaminan bagi proses perbaikan
keadaan. Proses pemilu yang luber, tidak dengan sendirinya menghasilkan badan-badan
pemerintahan yang baik, yang memiliki kepedulian mendalam dengan persoalan rakyat, bisa
menemukan jalan keluar dan mampu merumuskan jalan keluar tersebut dalam kebijakan-
kebijakan yang berpihak pada rakyat. Maraknya masalah KKN, termasuk politik uang dalam
pengisian jabatan publik, masalah-masalah dalam penyelesaian krisis ekonorni, dan lain-lain,
telah memberikan gambaran yang sangat jelas bahwa tata baru yang dibentuk melalui pemilu
13
1999 dan 2004, dalam kenyataan tidak bisa mengatasi krisis yang ada, dan malah sebaliknya
ikut memberikan sumbangan buruk pada kondisi yang ada.
Pemilu 1999 dan 2004 berkualitas dari sisi penyelenggaraan, namun belum
mencerminkan kualitas yang lebih menyeluruh dan mendalam. Yang harus dilakukan oleh
elemen gerakan pembaruan tidak sekedar memastikan proses pemilu berjalan dengan jujur dan
adil, melainkan harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut.
a. Memastikan bahwa yang bertarung memperebutkan kursi parlemen dan kursi presiden,
adalah mereka yang memiliki komitmen dengan pembaruan (reformasi).
b. Memastikan bahwa mereka yang sudah duduk di parlemen dan kursi presiden, benar-
benar bekerja untuk kepentingan rakyat, dan bukan sebaliknya.
Pemilu adalah cara untuk menyelesaikan perbedaan dan membangun komitmen masa
depan secara demokratis. Kesadaran ini penting agar rakyat sejak awal mengerti bahwa pemilu,
bukan sejenis arisan, kumpul- kumpul tanpa konflik, tetapi sebuah arena yang keras, penuh
konflik, namun tertata dan tunduk pada aturan main. Dengan kesadaran ini, maka rakyat akan
dengan jelas mengetahui, apa implikasi dari dukungan yang diberikan pada peserta pemilu.
Tak pernah terbayang oleh kita ketika terjadi aksi bom bunuh diri di legian Bali.
Apalagi aksi ini diatas namakan jihad, dan menjadikan agama sebagai landasan kebenarannya.
Sasaran dari terorisme ini adalah orang asing yang memiliki kepentingan di Indonesia. Mereka
bahkan menyebut diri mereka sebagai kaum sebagai mujahidin (dalam bahasa indonesianya
"Pejuang - 6 pejuang Allah). Setelah itu, kita kembali dikejutkan dengan pengeboman yang
terjadi JW Marriot dan Rits calton. Lagi-lagi adalah milik asing yang diserang oleh aliran garis
keras ini. Kebanyakan negara-negara barat dan amerika temasuk Indonesia, mengganggap
bahwa para teroris adalah orang yang terpinggirkan secara ekonomi. Namun lebih dari itu,
mereka sebenarnya, bukan karena miskin, tetapi karena merasa geram dengan "penindasan"
yang dilakukan negara maju terhadap negara berkembang. Yang lebih mengkawatirkan lagi
berkembangnya kelompok-kelompok yang mengklaim demokrasi sebagai kemenangan kaum
mayoritas. Karena demokrasi adalah mengutamakan aspirasi masyarakat banyak Maka dari itu
menurut pandangan mereka, umat Islam adalah yang terbanyak, maka dari itu harus diterapkan
14
syariat Islam dan mengubah negara Indonesia menjadi negara islam. Inilah tantangan terberat
demokrasi Indonesia kedepannya.
2. Kepicikan kedaerahan
Setelah reformasi bertangsung otonami daerah menjadi salah satu program yang
gencar dikampanyekan pemerintah. Tuntutan pemerintah daerahpun berdatangan Dan karena
asas demokrasi, maka pemerintah daerah yang diberikan berwenang mengatur daerahnya
sendiri, sesual dengan undang-undang nomor 22 tahun 1999 dan undang-undang nomor 32
tahun 2004. Ancaman kepicikan daerah yang saya maksud dalam hal ini bkan aksi separatisme,
meskipun itu sangat mungkin. Namun yang dimaksud dalam hal ini adalah: Pertama, isu putra-
putn daerah dalam pelaksanaan pemerintahan. Sehingga peluang bagi warga pendatang sangat
sempit dalam penyelenggaraan pemerintahan. Kedua, keegoisan daerah. Keegoisan yang
dimaksud adalah berkaitan dengan sumber daya alam. Daerah yang merasa penyumbang
terbesar bagi keuangan negara akan mengklaim bahwa daerah tersebut yang membiayai daerah
lain Hal ini akan menimbukan kecemburuan sosial diantara daerah-daerah. Ketiga, peraturan
daerah yang diskriminatir, seperti adanya peraturan daerah yang menerapkan syariat istam
(seperti di Aceh) dan perda injil di Wamena. Ini sebagal pertanda awal hilangnya demokrasi di
Indonesia. Dengan adanya perda yang seperti ini akan memarjinalkan kaum 7 minoritas,
sehingga demokrasi tidak dirasakan oleh mereka yang minoritas, karena dengan terpaksa harus
menuruti peraturan daerah yang bertaku dimana mereka berada.
3. Ketidakadilan
15
suku, agama dan lainnya. Yang terakhir, keadilan dalam bidang hukum. Hal ini berkaitan
dengan kesetaraan dalam bidang hukum. Kita lihat selama ini begitu banyaknya fenamena yang
mencederai hukum kita.
Dalam praktek demokrasi selama ini, meskipun masih relatif relatif, temyata
menimbulkan minimnya kapercayaan kapercayaan, apda institusi. Seperti independensi pers,
penegak hukum, politik partai, lembaga perwakilan, bahkan pemimpin.
5. Globalisasi.
Pemerintahan dalam negri tidak mungkin lepas dari pengaruh global. Dengan kebebasan
mengakses media, mudah mengetahui permasalahan yang dialami negara lain. Dan masalah
yang dialami oleh negara lain turut mempengaruhi politik dalam negeri.
1. Negara harus mengakomodasi aspirasi atau suara rakyat (khususnya kaum minoritas)
karena dalam sistem demokrasi rakyat memegang kekuasaan penuh atas pemerintahan yang
dijamin secara konstitusional,
2. Pemimpin harus dilakukan melalui pemilihan umum yang melibatkan penuh asprirasi
rakyat, atau kata kuncinya adalah legitimasi. Legitimasi merupakan salah satu tolok ukur
apakah prinsip demokrasi dijalankan dengan sebaik-baiknya atau tidak karena legitimasi
merupakan representasi dari suara rakyat yang seharusnya dijadikan referensi utama oleh
negara dalam menentukan pemimpin
3. Musyawarah untuk mencapai mufakat yang merupakan prinsip utama demokrasi juga harus
dilakukan secara bertanggung-jawab karena dengan cara inilah rakyat dapat menentukan
harapan bersama dengan tetap menjaga harmoni dan stabilitas sosial-politik.
4. Literasi masyarakat tentang prinsip dan hakikat demokrasi juga harus disuarakan. Media
massa dan negara melalui sektor pendidikan harus memberikan pendidikan politik dan
demokrasi yang baik supaya kebebasan berpendapat dapat diutarakan dengan kritis, santun,
dan bertanggungjawab.
5. Penerapan demokrasi dijalankan harus bermuara pada kemanusiaan karena secara filosofis
prinsip demokrasi adalah merangkul dan mengakomodasi suara rakyat baik mayoritas
maupun minoritas demi terciptanya suatu masyarakat yang adil, makmur, dan beradab.
16
BAB III PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
3.2 SARAN
17
DAFTAR PUSTAKA
Adlina, A. (2020). Upaya Meningkatkan Hasil Belajar PPKn Materi Sistem dan Dinamika
Demokrasi Pancasila Melalui Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Talking
Stick. Jurnal Kinerja Kependidikan (JKK), 2(1), 208-227.
Harefa, D., & Fatolosa Hulu, M. M. (2020). Demokrasi Pancasila di era kemajemukan. PM
Publisher.
18