DISUSUN OLEH :
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena telah melimpahkan
rahmat-Nya berupa kesempatan dan pengetahuan sehingga makalah ini bisa selesai pada
waktunya. Adapun penulisan makalah ini merupakan tugas mata kuliah Logika hokum dengan
dosen pengampu Bapak Abdul Kholiq, SH,.MH.
Kami ucapkan terimakasih yang sebanyak-banyaknya kepada setiap pihak yang telah
mendukung serta membantu kami selama proses penyelesaian makalah ini hingga rampungnya
makalah ini. Penulis juga berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi setiap
pembaca.
Tak lupa dengan seluruh kerendahan hati, kami meminta kesediaan pembaca untuk
memberikan kritik serta saran yang membangun mengenai penulisan makalah kami ini, untuk
kemudian kami akan merevisi kembali pembuatan makalah ini di waktu berikutnya.
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR……………………………………………………………i
DAFTAR ISI……………………………………………………………………..ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang…………………………………………………………….....1
B. Rumusan Masalah…………………………………………………………....2
C. Tujuan penulisan……………………………………………………………..2
D. Manfaat penulisan……………………………………………………………2
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Silogisme…………………………………………………………3
B. Struktur Silogisme……………………………………………………………4
C. Hukum Penarikan Kesimpulan…………….....................................................8
D. Silogisme Tidak Beraturan / Tidak Standar……………………...............10
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan…………………………………………………………………..12
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………13
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejak manusia dilahirkan pada dasarnya sudah sepantasnya untuk dilatih berpikir dengan
jelas , tajam dan terang rumusannya , hal itu juga supaya lebih tangkas dan kreatif . dengan
demikian kita sebagai generasi penerus bangsa perlu belajar berpikir tertip , jelas , serta tajam. Hal
yang sangat penting juga adalah belajar membuat deduksi yang berani dengan salah satu cara untuk
melahirkannya adalah silogisme. . Hal ini diperlukan karena mengajarkan kita untuk dapat melihat
konsekwensi dari sesuatu pendirian atau pernyataan yang apa bila di telaah lebih lanjut, sebenarnya
pendirian atau pernyataan itu tadi self – destructive.
Mungkin hal itu bisa terjadi karena tidak mau menghargai kebenaran dari sesuatu tradisi atau
tidak dapat menilai kegunaannya yang besar dari sesuatu yang berasal dari masa lampau, ada juga
sebagian orang yang mengatakan atau menganggap percuma mempelajari seluk beluk silogisme .
Tetapi mungkin juga anggapan itu didasarkan pada kenyataan bahwa biasanya dalam proses
penulisan atau pemikiran hanya sedikit orang saja yang dapat mengungkapkan pikirannya dalam
bentuk silogisme. Akan tetapi , proses pemikiran kita menurut kenyataanya mengikuti pola
silogisme jauh lebih sering dari pada yang kita duga. Misalnya ucapan “ Saya tidak senang kepada
pegawai itu karena ia biasa datang terlambat ke kantor “ Proses pemikiran tersebut haya bisa di uji
dan di kaji apabila kita beberkan dalam bentuk silogisme karena bentuk silogismelah setiap
langkah dari proses tersebut menjadi terbuka .
B. Rumusan Masalah
Sesuai dengan latar belakang masalah sebagai mana yang telah kami tulis diatas maka maka
perlu di susun suatu perumusan masalah , hal ini di maksudkan untuk tidak terjadinya kesalah
fahaman dan penafsiran antara penenulis dengan pembaca. Dengan demikian maka perumusan
masalah dalam makalah ini , penulis akan berpijak pada masalah yang telah di uraikan di muka.
Adapun perumusan masalah yang di jadikan ukuran dalam makalah ini sebagai berikut,:
1. pengertian silogisme,
1
2. Bentuk – bentuk silogisme
C. Tujuan penulisan
Penulisan makalah silogisme ini betujuan agar dapat mengetahui pengertian silogisme dan bentuk
- bentuk silogisme
D. Manfaat penulisan
Dengan adanya makalah ini di harapkan menjadi masukan dan tambahan ilmu pengetahuan kepada
para pembaca khususnya pada rekan fakultas ilmu hukum universitas buana perjuangan serta pada
generasi penerus bangsa ini.
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Silogisme
Berpikir deduktif atau berpikir rasional merupakan sebagian dari berpikir ilmiah. Dalam
penalaran deduktif, menarik suatu simpulan dimulai dari pernyataan umum menuju pernyataan-
pernyataan khusus dengan menggunakan rasio (berpikir rasional).
Aristoteles dalam bukunya Analitica Priora menyebut penalaran deduktif dengan istilah
silogisme. Aristoteles membatasi silogisme sebagai argumen yang konklusinya diambil secara
pasti dari premis-premis yang menyatakan permasalahan yang berlainan.
Silogisme adalah bagian yang paling akhir dari pembahasan logika formal dan dianggap
sebagai paling penting dalam ilmu logika. Dilihat dari bentuknya silogisme adalah contoh yang
paling tegas dalam cara berpikir deduktif yakni mengambil kesimpulan khusus dari kesimpulan
umum. hanya saja dalam teori silogisme kesimpulan terdahulu hanya terdiri dari dua keputusan
saja sedang salah satu keputusannya harus universal dan dalam dua keputusan tersebut harus ada
unsur-unsur yang sama-sama dipunyai oleh kedua keputusannya.
Jadi yang dinamakan silogisme disini adalah suatu pengambilan kesimpulan dari dua macam
keputusan (yang mengandung unsur yang sama dan salah satunya harus universal) suatu keputusan
yang ketiga yang kebenarannya sama dengan dua keputusan yang mendahuluinya. Dengan kata
lain silogisme adalah merupakan pola berpikir yang di susun dari dua buah pernyataan dan sebuah
kesimpulan.
Silogisme dalam logika tradisional digunakan sebagai bentuk standar dari penalaran d
eduktif. Hanya deduksi yang dapat dikembalikan menjadi bentuk standar inilah yang dapat
dibahas dalam logika tradisional. Silogisme itu terdiri atas tiga proposisi kategorik. Dua
proposisi yang pertama berfungsi sebagai premis, sedang yang ketiga sebagai konklusi. Jumlah
termnya ada tiga, yaitu term subjek, term predikat, dan term medius. Term medius berperan
3
sebagai penghubung antara premis mayor dengan premis minor di dalam menarik konklusi,
dan term medius itu tidak boleh muncul pada konklusi. Silogisme ini dapat dipakai sebagai salah
satu cara untuk mengetahui sesuatu secara logika. Misalnya :
Untuk menegaskan pernyataan pertama (disebut premis mayor), kita hanya membut
uhkan keumuman dari pengalaman kita tentang kematian individu. Kita tidak
pernah mempunyai pengalaman seseorang yang tidak akan mati, juga kita nyatakan bahwa
semua manusia yang ada akan mati. Pernyataan kedua (disebut premis minor)
sama sekali berdasarkan atas pengalaman sensoris. Kita datang dalam hubungan dengan
Sally dan menggolongkan dia sebagai manusia. Kita tidak mempunyai
kepercayaan pada indera kita, selanjutnya, untuk mengetahui bahwa pernyataan ketiga
(disebut konklusi) harus benar. Logika mengatakan kepada kita tentang hal ini. Sepanjang
dua pernyataan pertama adalah benar, pernyataan ketiga harus benar.
Term ‘manusia’ pada premis mayor dan premis minor berperan sebagai penghubung
antara kedua premis
tersebut untuk membentuk konklusi, dan term ‘manusia’ tidak muncul dalam
konklusi. Inilah dalam silogisme dikenal dengan istilah term medius (term tengah).
Term medius di samping sebagai penghubung kedua premis, dalam silogisme juga memiliki
peran yang sangat vital, yaitu sebagai ‘key reason’ dari konklusi yang ditarik. Term subjek pada
konklusi diambil dari premis minor dan term predikatnya diambil dari premis mayor. Hal inilah
yang merupakan inti dari silogisme.
B. Struktur Silogisme
Sebuah silogisme terdiri dari atas tiga proposisi yaitu dua proposisi yang disajikan dan
sebuah proposisi yang ditariknya. Proposisi yang disajikan dinamai premis mayor dan premis
minor, sedangkan kesimpulannya dinamai konklusi. Setiap proposisi terdiri dari atas dua term.oleh
4
karena itu, silogisme harus mempunyai enam term. Sebenarnya, silogisme hanya memiliki tiga
term, karena untuk masing-masing dinyatakan dua kali.
P konklusi disebut term mayor, sedangkan S-nya disebut term minor, dan term yang sama-
sama terdapat pada kedua proposisi disebut term penengah. Term penengah ini merupakan faktor
penting dalam silogisme, karen penyebab kedua premis dapat saling berhubungan sehingga
menghasilkan konklusi. Dengan perkataan lain, term penengah menetapkan hubungan term mayor
dengan term minor.
Ciri-ciri silogisme yang membedakannya dari jenis penarikan konklusi lainnya adalah:
1. Konklusi dalam silogisme ditarik dari dua premis yang serentak disediakan, bukan dari
salah satu premisnya saja. Konklusinya tidaklah merupakan penjumlahan premis-premis itu,
tetapi merupakan sesuatu yang dapat diperoleh bila kedua premis itu diletakkan serentak.
Ciri-ciri ini membedakan silogisme dari bentuk-
bentuk penarikan konklusi langsung dan bentuk-bentuk penarikan konklusi tak langsung
lainnya.
2. Konklusi dari suatu silogisme tidak dapat mempunyai sifat yang lebih umum daripada
premis-premisnya.
Silogisme adalah suatu jenis penarikan konklusi secara deduktif dan penarikan konklu
si secara deduktif konklusinya tidak ada yang lebih umum dari premis-premis yang
disediakan itu.
3. Konklusinya benar, bila dilengkapi dengan premis-premis yang benar.
Suatu hal yang penting, pada silogisme dan pada bentuk-
bentuk inferensi deduktif yang lain, persoalan kebenaran dan ketidak benaran pada premis-
premis tak pernah timbul, karena premis-
5
premis selalu diambil yang benar; akibatnya konklusi sudah diperlengkapi dengan hal-
hal yang Dengan kata lain, silogisme tinggal hanya mempersoalkan
kebenaran formal (kebenaran bentuk) dan tidak lagi mempersoalkan kebenaran material
(kebenaran isinya).
Premis yang di dalamnya terdapat term mayor dinamai premis mayor, dan premis ya
ng di dalamnya terdapat term minor dinamai premis minor. Dalam bentuk silogisme logika
yang sesungguhnya, premis mayor diberikan mula-mula dan sudah itu diikuti oleh premis
minor. Perlu diingat bahwa dalam silogisme lambang M dipakai untuk menunjukkan term
penengah, S menunjukkan term minor dan P untuk term mayor.
Silogisme dibedakan menurut bentuknya, berdasarkan pada kedudukan term tengah (M) di
dalam proposisi. Terdapat empat bentuk silogisme, yaitu: Bentuk I, Bentuk II, Bentuk III, dan
Bentuk IV.
Term tengah (M) berkedudukan sebagai subyek di dalam premis mayor, dan berkedudukan sebagai
predikat dalam premis minor. Maka bentuknya adalah :
M – P dengan model
S – M
S – P
JIKA :
Misal
6
Silogisme (S-P) : Kantor pajak adalah pelayan publik
Term tengah (M) berkedudukan sebagai predikat, baik di dalam premis mayor maupun di dalam
premis minor. Maka bentuknya adalah :
P – M dengan model
S – M
S – P
Misal
Term tengah (M) berkedudukan sebagai subyek, baik di dalam premis mayor maupun di dalam
premis minor. Maka bentuknya adalah :
M – S dengan model
M – P
S – P
Misal
7
Term tengah (M) berkedudukan sebagai predikat di dalam premis mayor, dan berkedudukan
sebagai subyek dalam premis minor. Maka bentuknya adalah :
S – M dengan model
M – P
S – P
Misal
Premis Minor (M-P) : orang yang tidak beretika adalah pelaku kejahatan publik
Terdapat 8 kaidah atau hukum yang berlaku dalam penyusunan silogisme kategoris. Masing-
masing 4 menyangkut term, dan 4 menyangkut proposisi. Kaidah-kaidah tersebut adalah sebagai
berikut:
1. Menyangkut term-term.
2. Silogisme tidak boleh mengandung lebih atau kurang dari tiga term. Kurang dari tiga term
berarti tidak ada silogisme. Lebih dari tiga term berarti tidak adanya perbandingan. Kalaupun
ada tiga term, ketiga term itu haruslah digunakan dalam arti yang sama tepatnya. Kalau tidak,
hal itu sama saja dengan menggunakan lebih dari tiga term. Misalnya:
3. Term-antara (M) tidak boleh masuk (terdapat dalam) kesimpulan. Hal ini sebenarnya sudah
jelas dari bagan silogisme. Selain itu, masih dapat dijelaskan bagini: term-antara (M)
8
dimaksudkan untuk mengadakan perbandingan dengan term-term. Perbandingan itu terjadi
dalam premis-premis. Karena itu, term-antara (M) hanya berguna dalam premis-premis saja.
4. Term subyek dan predikat dalam kesimpulan tidak boleh lebih luas daripada dalam premis-
premis. Artinya, term subyek dan predikat dalam kesimpulan tidak boleh universal, kalau
dalam premis-premis particular. Ada bahaya ‘latius hos’. Istilah ini sebenarnya merupakan
singkatan dari hukum silogisme yang berbunyi: ‘Latius hos quam praemiisae conclusion non
vult’. Isi ungkapan yang panjang ini sama saja dengan ‘generalisasi’. Baik ‘Latius hos’
maupun ‘generalisasi’ menyatakan ketidakberesan atau kesalahan penyimpulan, yakni
menarik kesimpulan yang terlalu luas. Menarik kesimpulan yang universal pada hal yang
benar hanyalah kesimpulan dalam bentuk keputusan yang particular saja. Misalnya:
5. Term-antara (M) harus sekurang-kurangnya satu kali universal. Jika term-antara particular
baik dalam premis major maupun minor, mungkin sekali term-antara itu menunjukkan
bagian-bagian yang berlainan dari seluruh luasnya. Kalau begitu term-antara tidak lagi
berfungsi sebagai term-antara dan tidak lagi menghubungkan (memisahkan) subyek dan
predikat. Misalnya:
Jika kedua premis (yakni major dan minor) afirmatif atau positif, maka kesimpulannya
harus afirmatif dan positif pula.
9
Kedua premis tidak boleh negatif, sebab term-antara (M) tidak lagi berfungsi sebagai
penghubung atau pemisah subyek dan predikat. Dalam silogisme sekurang-kurangnya satu,
yakni subyek atau predikat, harus dipersamakan dengan term-antara (M). Misalnya:
7. Kedua premis tidak boleh partikular. Sekurang-kurangnya satu premis harus universal.
Misalnya:
8. Kesimpulan harus sesuai dengan premis yang paling lemah. Keputusan particular adalah
keputusan yang ‘lemah’ dibandingkan dengan keputusan yang universal. Keputusan negatif
adalah keputusan yang ‘lemah’ dibandingkan dengan keputusan afirmatif atau positif. Oleh
karena itu:
1. Jika satu premis partikular, kesimpulan juga partikular;
2. Jika salah satu premis negatif, kesimpulan juga harus negatif;
3. Jika salah satu premis negatif dan partikular, kesimpulan juga harus negatif dan
partikular. Kalau tidak, ada bahaya ‘latius hos’ lagi. Misalnya:
Ada silogisme yang tidak mengikuti hukum-hukum silogisme tersebut. Silogisme demikian
disebut silogisme tidak beraturan atau silogisme tidak standar, yaitu sebagai berikut:
10
1. Entimema
Entimema adalah suatu bentuk silogisme yang hanya menyebutkan premis atau kesimpulan saja
atau keduanya, tetapi ada satu premis yang tidak dinyatakan. Contoh: PKI adalah berhaluan
komunis, maka PKI tidak boleh berkembang di negara Pancasila. Contoh tersebut yang tidak
disebutkan adalah pada premis “Komunis tidak boleh berkembang di negara Pancasila”
2. Epikheirema
Epikheirema adalah suatu bentuk silogisme yang salah satu atau kedua premisnya disertai dengan
alasan. Premis yang disertai dengan alasan itu sebenarnya merupakan kesimpulan dari silogisme
itu sendiri. Contoh: Semua pemimpin partai terlarang bersifat pasif, karena mereka dilarang
melakukan kegiatan politik. Hasan adalah pemimpin partai terlarang. Jadi Hasan adalah bersikap
pasif.
3. Sorites
Sorites adalah suatu bentuk silogisme yang premisnya saling berkaitan lebih dari dua proposisi,
sehingga kesimpulannya berbentuk hubungan antara salah satu term proposisi pertama dengan
salah satu term proposisi terakhir yang keduanya bukan term pembanding. Contoh: Manusia itu
berakal budi. Berakal budi itu berbudaya. Berbudaya itu perlu makan. Makan memerlukan barang.
Jadi manusia memerlukan barang.
4. Polisilogisme
Polisilogisme adalah suatu bentuk penyimpulan berupa perkaitan silogisme, sehingga kesimpulan
silogisme sebelumnya selalu menjadi premis pada silogisme berikutnya. Contoh: Jika Farhan
adalah seorang raja, dan raja adalah manusia, maka Farhan adalah manusia, dan manusia adalah
berakal budi, maka Farhan adalah berakal budi, dan berakal budi adalah memerlukan makan, maka
Farhan memerlukan makan.
11
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Silogisme adalah suatu cara untuk melahirkan deduksi. Silogisme mengajarkan pada kita
merumuskan, menggolong – golongkan pikiran sehingga kita dapat melihat hubungannya dengan
mudah, Dengan demikian kita belajar berfikir tertib, jelas, tajam. Ini diperlukan karena
mengajarkan kita untuk dapat melihat akibat dari suatu pendirian atau penyataan yang telah kita
lontarkan. Banyak orang merumuskan pendirian atau membuat pernyataan yang apabila ditelaah
lebih lanjut, sebenarnya pendirian atau pernyataannya tadi kurang tepat atau kurang benar.
Mungkin saja hal itu karena tidak mau menghargai kebenaran dari suatu tradisi atau tidak
dapat menilai kegunaan yang besar dari sesuatu yang berasal dari masa lampau. Akan tetapi kita
generasi penerus, proses pemikiran kita menurut kenyataannya mengikuti pola silogisme jauh
lebih sering dari pada yang kita duga dan dari proses tersebut pemikiran kita lebih terbuka tertib
dan jelas.
12
Daftar Pustaka
Kattsof, Louis A. 2004. Pengantar Filsafat (alih bahasa: Soejono Soemargono). Yogyakarta:
Tiara Wacana.
Rahman Abdul Haji A. 2005. Wacana Falsafah ilmu: analisis konsep-konsep asas dan falsafah
Negara. Kuala Lumpur: Utusan Publication
Surajiyo. 2007. Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia. Jakarta : Bumi Aksara.
13