Anda di halaman 1dari 17

KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN PERSPEKTIF

GENDER
Dosen Pengampu: Dr. Kartini, M.Hi

Oleh
Kelompok 11
1. Fiskiatur Rahma Dayanti (2022020101045)
2. Fadil Wisnu Pratama (2022020101033)

PRODI HUKUM PERDATA ISLAM


FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KENDARI
TAHUN 2023
KATA PENGGANTAR

Syukur Alhamdulillah senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah

melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini guna

memenuhi tugas untuk mata kuliah Ilmu Hukum . Dengan judul “Kekerasan Terhadap Perempuan

Perspektif Gender”

Dalam penulisan makalah ini kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih

jauh dari kata sempurna dikarenakan terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang kami miliki.

Sehingga kami juga menyadari akan pentingnya sumber bacaan dan referensi internet yang telah

membantu dalam memberikan informasi yang akan menjadi bahan makalah.

Kami mengharapkan segala saran serta masukkan kritik yang membangun dari berbagai

pihak yang membaca makalah ini. Kami juga berharap semoga makalah ini dapat memberikan

manfaat bagi para pembaca.

Kendari ,18 Juni 2023

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...................................................................................................................... I


DAFTAR ISI ................................................................................................................................... II
BAB 1 ............................................................................................................................................. 1
PENDAHULUAN .......................................................................................................................... 1
A. Latar Belakang ..................................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................................................ 2
C. Tujuan .................................................................................................................................. 2
BAB II............................................................................................................................................. 3
PEMBAHASAN ............................................................................................................................. 3
A. Kekerasan berbasis gender ................................................................................................... 3
B. kekerasan di sektor publik dan kekerasan di sektor domestik ............................................. 4
BAB III ..........................................................................................................................................11
PENUTUP.................................................................................... Error! Bookmark not defined.1
A. Kesimpulan .........................................................................................................................11
B. Saran .................................................................................Error! Bookmark not defined.1
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................Error! Bookmark not defined.2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Gender berbeda dengan jenis kelamin, jenis kelamin merujuk pada perbedaan
biologis laki-laki dan perempuan yang berkaitan dengan alat dan fungsi reproduksinya,
sedangkan gender merujuk pada atribusi peran yang dikonstruksikan secara sosial dan
kultural. Budaya patriarki memunculkan adanya konsep dimana dominasi laki-laki
terhadap perempuan adalah hal yang wajar, menimbulkan narasi bahwa perempuan sebagai
makhluk sosial yang lebih lemah (inferior) dan harus mematuhi perintah laki-laki. Apabila
menolak, maka akan berakhir dengan mengalami tindak kekerasan. Hal inilah yang disebut
dengan kekerasan berbasis gender.1

Setiap warga Negara berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakukan yang
merendahkan derajat martabat manusia serta berhak mendapatkan rasa aman dan bebas
dari segala bentuk kekerasan. Sering kali perempuan dianggap sebagai yang lemah,
sehingga dalam segala hal tanpa disadari terjadinya atau munculnya tindakan kekerasan,
hal tersebut menunjukkan bahwa kekerasan yang berbasis gender masih menjadi persoalan
yang serius, sebab kekerasan berbasis gender merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia
(HAM).2

Kekerasan terhadap perempuan, menjadi kasus yang banyak di perbincangkan


dalam beberapa tahun belakangan ini. Sangat ironis, di tengah-tengah masyarakat yang
‘modern’, dengan dibangun di atas prinsip rasionalitas, demokrasi, dan humanisme yang
secara teori seharusnya mampu menekan tindak kekerasan, namun yang terjadi justru
budaya kekerasan semakin menjadi fenomena yang tidak pernah dapat teratasi. Banyak
sekali munculnya berbagai tindak kriminalitas, kerusuhan, kerusakan moral, pemerkosaan,
penganiayaan, pelecehan seksual, dan lain-lain yang keseluruhannya adalah wadah budaya
kekerasan. di Indonesia, Komnas Perempuan mencatat bahwa kekerasan terhadap
perempuan meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2004, ada 5.934 kasus kekerasan
menimpa perempuan.

kondisi kaum perempuan yang masih sangat rentan terhadap berbagai bentuk tindak
kekerasan baik di ranah publik maupun domestik menjadi tanda tanya besar mengapa hal
tersebut terjadi. Perempuan sebagai makhluk yang seharusnya disayangi dan dilindungi,

1
Jihan Risya Cahyani Prameswari , Deassy Jacomina Anthoneta Hehanussa ,
Yonna Beatrix Salamor, kekerasan berbasis gender di media sosial, jurnal pamali pattimuara megister law review,
2021. Hlm.57
2
Ibid. Hlm. 56
justru menjadi objek dari kekerasan yang dilakukan oleh para laki-laki yang berada sangat
dekat dengan mereka.3

Banyak perempuan yang semakin menyadari bahwa ketidakadilan akibat budaya


masyarakat patriarkis (mengedepankan laki-laki) harus diakhiri. 4 namun terkadang
ketidak mampuan untuk speak up, karena pandang sosial dan konsekuensi yang akan di
hadapi korban menjadi penghalang bagi mereka untuk mengungkap segala bentuk
kekerasan yang mereka alami.

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas yakni:
1. Apa yang di maksud dengan kekerasan berbasis gender?
2. Apa yang dimaksud dengan kekerasan di sektor publik dan kekerasan di sektor
domestik?

C. Tujuan
Adapun tujuan yang hendak dicapai :
1. Untuk mengetahui yang dimaksud dengan kekerasan berbasis gender.
2. Untuk mengetahui yang dimaksud dengan kekerasan disektor publik dankekerasan
domestik.

3
B. Rudi Harnoko, Dibalik Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan, Jurnal Muwazah, 2010. Hlm 181
4
Umin Kango, Bentuk Kekerasan Yang Dialami Perempuan, Jurnal Legaitas,2009. Hlm. 13
BAB II
PEMBAHASAN

A. Kekerasan Berbasis Gender

Kekerasan adalah perbuatan yang berupa pemukulan, penganiayaan yang menyebabkan


matinya atau cederanya seseorang, yang bertentangan dengan undang-undang, yang memiliki
akibat-akibat kerusakan terhadap harta benda atau fisik atau mengakibatkan kematian pada
seseorang. Kekerasan juga berdampak pada jiwa seseorang, seperti kebohongan, indoktrinasi,
ancaman dan tekanan adalah kekerasan psikologis karena dimaksudkan untuk mengurangi
kemampuan mental atau otak. Menurut John Galtung, kekerasan adalah suatu kondisi
sedemikian rupa sehingga realisasi jasmani dan mental aktualnya berada di bawah realisasi
potensialnya.5

Kekerasan dapat didasarkan atas identitas sosial yang melekat pada diri seseorang. Hal ini
dikarenakan adanya perasaan unggul dibandingkan dengan korban yang dianggap lebih lemah
dan tidak berdaya. Di tengah budaya patriarki, gender menjadi identitas sosial yang membuat
seseorang mengalami kekerasan.6 Pada umumnya yang banyak menjadi korban kekerasan
adalah perempuan dan anak-anak walaupun tidak memungkiri bahwa laki-laki juga dapat
mengalami sebuah kekerasan.

Komnas Perempuan (2001) menyatakan bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah


segala tindakan kekerasan yang dilakukan terhadap perempuan yang berakibat atau
kecenderungan untuk mengakibatkan kerugian dan penderitaan fisik, seksual, maupun
psikologis terhadap perempuan, baik perempuan dewasa atau anak perempuan dan remaja.
Termasuk didalamnya ancaman, pemaksaan maupun secara sengaja meng-kungkung
kebebasan perempuan. Tindakan kekerasan fisik, seksual, dan psikologis dapat terjadi dalam
lingkungan keluarga atau masyarakat.7 Kekerasan terhadap perempuan masuk dalam kategori
kekerasan berbasis gender, sebab Kekerasan berbasis gender adalah masalah kesehatan publik
global dan pelanggaran hak asasi manusia yang merupakan fitur utama dalam krisis
kemanusiaan. Kekerasan berbasis gender adalah setiap tindakan sengaja yang merugikan
seseorang berdasarkan ketidaksetaraan kekuasaan yang dihasilkan dari peran gender. 8

5
B. Rudi Harnoko, Dibalik Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan, Jurnal Muwazah, 2010. Hlm 182-183
6
Jihan Risya Cahyani Prameswari , Deassy Jacomina Anthoneta Hehanussa ,
Yonna Beatrix Salamor, kekerasan berbasis gender di media sosial, jurnal pamali pattimuara megister law review,
2021. Hlm.57
7
B. Rudi Harnoko, Dibalik Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan, Jurnal Muwazah, 2010. Hlm. 182
8
Dr. Ani Purwanti, S.H., M.H, KEKERASAN BERBASIS GENDER, Katalog Dalam Terbitan (KDT). Hlm.26-27
Deklarasi CEDAW 1993, menegaskan bahwa: kekerasan berbasis gender merupakan
perwujudan ketimpangan historis dari pola hubungan kekuasaan antara laki-laki dan
perempuan yang mengakibatkan dominasi dan diskriminasi terhadap perempuan oleh kaum
laki-laki dan hambatan kemajuan bagi mereka. Sedangkan menurut Declaration on the
Elimination of Violence Against Women (disingkat DEVAW) menyebutkan bahwa, kekerasan
berbasis gender adalah setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang
mengakibatkan kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual dan psiologis termasuk
ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-
wenang baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi.

Paling sedikit satu di antara lima penduduk perempuan di dunia, suatu saat dalam hidupnya,
pernah mengalami kekerasan fisik atau seksual yang dilakukan oleh laki-laki. Pada tahun 1998,
kekerasan terhadap perempuan merupakan penyebab kematian ke-10 terbanyak di dunia pada
golongan wanita usia subur.9

Menurut data yang dipaparkan Rifka Annisa terdapat faktor tunggal penyebab kekerasan
terhadap perempuan, yaitu faktor sosial budaya. Faktor sosial budaya terjadi karena masih
timpangnya relasi kuasa yang lebih disebabkan karena ketidakadilan gender antara laki-laki
dan perempuan. Ketidakadilan gender ini bisa dalam segala hal seperti peranan laki-laki lebih
dominan daripada peranan perempuan dalam pengambilan keputusan di keluarga, di dalam
kehidupan bermasyarakat maupun urusan pekerjaan. Masyarakat hingga kini masih berpegang
teguh pada budaya patriaki, dimana terjadi pelemahan terhadap derajat perempuan dan
menguatkan derajat laki-laki. Hasilnya terbentuk dalam hidup keseharian, jika laki-laki kuat,
maka perempuan adalah pihak yang lemah. Jika laki-laki harus berperan sebagai pemimpin,
maka perempuan adalah pihak yang dipimpin. Pengertian semacam ini menimbulkan tindak
kesewenangan laki-laki dan berujung upaya dominasi.10

Secara sederhana kekerasan bisa dibagi dalam dua bentuk yakni yang bentuk kekerasan
yang fisik maupun non-fisik. Kekerasan non-fisik bisa berupa aktivitas-aktivitas seperti
misalnya memaki, merayu dengan kata-kata jorok, menyiul, menatap dan melontarkan lelucon
berbau seks yang memiliki konotasi merendahkan perempuan maupun sebaliknya. Sementara
kekerasan fisik adalah semua kekerasan yang menimbulkan penderitaan fisik seperti
menampar, memukul, mengikat, membenturkan dan lainnya yang sejenis.

Bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan sebagaimana yang terdapat dalam pasal


2 UDHR, meliputi:
1. kekerasan fisik, seksual dan psikologis dalam keluarga termasuk kekerasan yang
berhubungan dengan mas kawin, pemerkosaan dalam perkawinan, pengrusakan alat
kelamin, dan ekploitasi.

9
Muhammad Rifa’at, Adiakarti Farid, Kekerasan terhadap Perempuan dalam Ketimpangan Relasi
Kuasa: Studi Kasus di Rifka Annisa Women’s Crisis Center, sawwa jurnal studi gender, 2019. Hlm. 176
10
Ibid. Hlm. 179-180
2. kekerasan fisik seksual dan psiologis yang terjadi dalam masyarakat luas, termasuk
pemerkosaan, penyalahgunaan, pelecehan dan ancaman seksual ditempat kerja dan
lembaga-lembaga pendidikan, perdagangan perempuan dan pelacuran paksa.
3. kekerasan fisik, seksual dan psikologis yang dilakukan dan/ atau dibenarkan oleh negara.11
Sedangkan jenis-jenis Kekerasan terhadap perempuan menurut Sri Nurdjunaida, dapat
terjadi dalam bentuk:
1. Tindak kekerasan fisik: yaitu tindakan yang bertujuan untuk melukai, menyiksa atau
menganiaya orang lain, dengan menggunakan anggota tubuh pelaku (tangan, kaki) atau
dengan alat-alat lain.
 Bentuk kekerasan fisik yang dialami perempuan, antara lain: tamparan, pemukulan,
penjambakan, mendorong secara kasar, penginjakan, penendangan, pencekikan,
pelemparan benda keras.
 penyiksaan menggunakan benda tajam, seperti : pisau, gunting, setrika serta
pembakaran. Tindakan tersebut mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit dan luka berat
bahkan sampai meninggat dunia.

2. Tindak kekerasan psikologis: yaitu tindakan yang bertujuan merendahkan citra seorang
perempuan, baik melalui kata-kata maupun perbuatan (ucapan menyakitkan, kata-kata
kotor, bentakan, penghinaan, ancaman) yang menekan emosi perempuan. Tindakan
tersebut mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan
untuk bertindak, rasa tidak berdaya dan/atau penderitan psikis berat pada seseorang.

3. Tindak kekerasan seksual: yaitu kekerasan yang bernuansa seksual, termasuk berbagai
perilaku yang tak diinginkan dan mempunyai makna seksual yang disebut pelecehan
seksual, maupun berbagai bentuk pemaksaan hubungan seksual yang disebut sebagai
perkosaan. Tindakan kekerasan ini bisa diklasifikasikan dalam bentuk kekerasan fisik
maupun psikologis. Tindak kekerasan seksual meliputi:
 Pemaksaan hubungan seksual (perkosaan) yang dilakukan terhadap orang yang
menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut.
 Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang anggota dalam lingkup rumah
tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial atau tujuan tertentu
 Pelecehan seksual adalah segala macam bentuk perilaku yang berkonotasi seksual
yang dilakukan secara sepihak dan tidak diinginkan oleh orang yang menjadi sasaran.
Pelecehan seksual bisa terjadi dimana saja dan kapan saja, seperti di tempat kerja,
dikampus/ sekolah, di pesta, tempat rapat, dan tempat urnum lainnya. Pelaku
pelecehan seksual bisa teman, pacar, atasan di tempat kerja;

11
B. Rudi Harnoko, Dibalik Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan, Jurnal Muwazah, 2010. Hlm. 183
4. Tindak kekerasan ekonomi: yaitu dalam bentuk penelantaran ekonomi dimana tidak diberi
nafkah secara rutin atau dalam jumlah yang cukup, membatasi atau metarang untuk bekerja
yang layak di dalam atau di luar rumah, sehingga korban di bawah kendali orang tersebut.12

5. Kemudian tambahan, tindak kekerasan karena pemahaman agama yang sempit : yaitu
selalunya bahwasanya istri harus mutlak patuh terhadap suami, suami sudah seperti Tuhan

yang setiap perkataannya tidak dapat dibantah. Jika istri berbeda pendapat dalam satu hal
yang berlanjut dengan cekcok dan kekerasan. Suami merasa benar dengan menggunakan
dalil agama yang menyebutkan istri harus patuh sebagai makmum dan suami sebagai imam
serta menggunakan dalil agama yang memperbolehkan memukul istri. Padahal dalam Q.S.
An-Nisa ayat 34 :
Artinya: Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah
melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena
mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita
yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada,
oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan
nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan
pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari
jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.

Dalam ayat ini disebutkan bahwa perempuan dapat dipukul jika melakukan nusyuz
yaitu meninggalkan kewajiban taat istri terhadap suami, nusyuz dari pihak istri seperti
berpergian tanpa seizin suami. Tetapi terlebih dahulu harus diberi nasihat, jika bila nasihat
tidak bermanfaat barulah dipisahkan dari tempat tidur mereka, bila tidak bermanfaat juga
barulah dibolehkan memukul dengan pukulan yang tidak meninggalkan bekas. Dan apabila
seorang istri mentaati suaminya, maka suami tidak boleh mencari-cari jalan untuk
menyusahkannya, apalagi memukul. Kurangnya pemahaman agama juga dapat
mengakibatkan terjadinya kekerasan, atau orang yang tidak memahami suatu konteks
agama dengan benar sehingga agama seolah dijadikan pembenaran untuk melakukan
kekerasan.13

12
B. Rudi Harnoko, Dibalik Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan, Jurnal Muwazah, 2010. Hlm. 184
13
Muhammad Rifa’at, Adiakarti Farid, Kekerasan terhadap Perempuan dalam Ketimpangan Relasi
Kuasa: Studi Kasus di Rifka Annisa Women’s Crisis Center, sawwa jurnal studi gender, 2019. Hlm.184 & 186
B. Kekerasan Di Sektor Publik Dan Kekerasan Domestik.
Kebijakan yang berkenaan dengan perempuan cenderung mengarah pada pemberdayaan
perempuan sebagai ibu dan istri saja. Akhirnya, posisi perempuan semakin terpinggirkan,
terutama dalam hak-hak sosial, ekonomi dan politik; mereka selalu menjadi orang nomor dua
setelah laki-laki, baik dalam sektor privat (keluarga) maupun publik (masyarakat).14
Ruang lingkup kekerasan terhadap perempuan atau kekerasan berbasis gender dapat
dikategorikan dalam ranah domestik maupun publik. Kekerasan di ranah publik ( publik
violence), yaitu kekerasan yang dialami perempuan di luar rumah atau di masyarakat pada
umumnya. Sedangkan kekerasan dalam ranah domestik ( domestik Violence) yaitu kekerasan
yang terjadi dalam lingkup rumah tangga.15
1. Kekerasan di sektor publik
Sektor publik lebih identik dengan karakter maskulin yang tegas, berani, cekatan
dan cepat dalam mengambil keputusan, sehingga dikatakan bahwa sektor publik
merupakan domain laki-laki. Kekuasaan publik identik dengan persaingan dan konflik
dalam penyelesaian masalah, sedangkan karakteristik unggul dari feminitas berupa
kesabaran, kejujuran dan kesetiaan dianggap tidak perlu dan tidak memiliki karakteristik
unggul.16
Kekerasan di ranah publik (publik violence), yaitu kekerasan yang dialami
perempuan di luar rumah atau di masyarakat pada umumnya. Kekerasan di ruang publik
lebih terbuka dan cepat terekspos kepermukaan. Pada jenis kekerasan ini para pelaku dan
korban tidak memiliki hubungan pertalian darah atau tali kekerabaan. Bentuk-bentuk
kekerasan yang dialami korban di ruang publik terbagi atas dua, yakni kekerasan seksual
berupa diraba bagian tubuh dipaksa memegang bagian tubuh pelaku, dipertontonkan
foto/benda porno dan diperkosa. Bentuk kekerasan non-seksual adalah diremehkan,
dicemooh, disindir, difitnah/ dicemarkan nama baik diperdagangkan untuk pekerjaan seks,
dipaksa menyerahkan barang, ditodong, dirampok, dan dijambret.17
Menurut CATAHU Komnas Perempuan Tahun 2023, kasus kekerasan terhadap
perempuan di ruang publik tahun 2022 mencapai 2.978 kasus.18 Berikut
beberapakasusnya meliputi :
a. Kekerasan di ranah siber
Kekerasan dalam publik juga dapat terjadi di media sosial. Peluang pelaku bertindak
dengan modus operandi dan karakteristik tindakan yang beragam. Jenis-jenis
Kekerasan Berbasis Gender yang terjadi di media social beragam yang dapat
dikelompokan sebagai berikut:

14
B. Rudi Harnoko, Dibalik Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan, Jurnal Muwazah, 2010. Hlm. 182
15
Ibid. Hlm. 183
16
Leny Nofianti, PEREMPUAN DI SEKTOR PUBLIK, jurnal marwah, 2016. Hlm. 51
17
Umin Kango, Bentuk Kekerasan Yang Dialami Perempuan, Jurnal Legaitas,2009. Hlm.18
18
Rusti Dian, Kekerasan Terhadap Perempuan di Ruang Publik dan Cara Mengatasinya dengan Teknik 5D, Narasi
Daily. 27 Maret 2023. https://narasi.tv/read/narasi-daily/kekerasan-terhadap-perempuan-di-ruang-publik-dan-cara-
mengatasinya-dengan-teknik-5d
1) Pelecehan online (Cyber Harassment)
2) Pendekatan untuk memperdaya (Cyber Grooming
3) Peretasan (Hacking)
4) Pelanggaran Privasi (Infringement of Privacy)
5) Ancaman distribusi foto/video pribadi (malicious distribution)
6) Revenge Porn
7) Impersonasi
8) Pencemaran nama baik
9) Rekruitmen online (online recruitment)

b. Kekerasan di wilayah tempat tinggal


kekerasan terhadap perempuan di ranah publik paling banyak terjadi di wilayah
tempat tinggal, yaitu sebanyak 66 kasus. Komnas Perempuan juga menyebutkan
pelaku kekerasan tertinggi dilakukan oleh teman dan tetangga di mana kasus
kekerasan seksual mendominasi.19 Orang terdekat yang ada di lingkungan rumah
terkadang malah menjadi tempat yang lebih berbahaya dari sarang buaya, sebab
terkadang orang-orang yang ada dilingkungan kita malah memiliki maksud jahat,
contonya pada kasus seorang kakek di Kecamatan Bener, Purworejo yang ditangkap
petugas Reskrim Polres Purworejo katena telah memperkosa tetangganya yang
mengalami keterbelakangan mental,

c. Kekerasan di tempat kerja,


Menurut sebuah studi yang dilakukan pada tahun 2016 oleh Equal Employment
Opportunity Commission (EEOC) di Amerika Serikat, sekitar 75% orang yang
mengalami pelecehan di tempat kerja tidak melaporkan kejadian kepada manajer,
supervisor, atau perwakilan serikat pekerja. Salah satu alasan utama adalah karena
merasa takut akan keamanan kerja serta takut kehilangan sumber pendapatan mereka.
Selain itu ada beberapa faktor lain, seperti:
 Faktor relasi kuasa, di mana salah satu pihak memiliki kekuatan, posisi atau
jabatan yang lebih tinggi atau dominan dibandingkan korban. Misalnya, antara
bos dengan karyawan.
 Kebijakan perlindungan pekerja masih tidak jelas. Absennya perlindungan
terhadap korban dapat menyebabkan korban merasa takut untuk melapor
karena khawatir pelaku akan balas dendam dan melakukan kekerasan yang
lebih parah.
 Mekanisme penanganan kasus kekerasan seksual yang tidak tersedia.
Misalnya, perusahaan belum memiliki Standard Operating Procedure (SOP)
mengenai kekerasan seksual, sehingga tidak ada jalur pelaporan atau sanksi
yang jelas.

19
Dwi Hadya Jayani, Kekerasan terhadap Perempuan di Ranah Publik Berdasarkan CATAHU Komnas Perempuan
2019, Databooks, 2019, https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/09/25/di-mana-kekerasan-terhadap-
perempuan-kerap-terjadi
 Budaya yang kerap menyalahkan korban, seperti: “Kamu sih ke kantor pakai
baju seperti itu!”20

d. Kekerasan dii tempat umum


Kekerasan ini banyak terjadi di tempat terbuka seperti mall, di kereta, di angkutan
umum, di gang atau jalanan. Sangat banyak motifnya contohnya saja sepeti di kereta
yang penumpangnya sering berhimpitan, dan menjadi kesempatan para pelaku
kekerasan melakukan aksinya seperti melecehkan dengan memegang bagian sensitif
wanita tanpa diketahui korban karena begitu padatnya penduduk. Atau yang marak
saat ini adalah tindakan pemerkosaan di taksi online.

e. Kekerasan di lingkungan pendidikan


Kekerasan di lingkungan pendidikan berrarti kekerasan yang terjadi di sekolah/
kampus yang merupakan tindak kekerasan yang melibatkan murid/mahasiswa,
guru/dosen, dan staf sekolah/kampus yang dapat mengganggu proses pengajaran dan
pembelajaran dan merusak iklim pendidikan. Pelaku dan korban kekerasan dapat
berasal dari kalangan murid/mahasiswa ataupun guru/dosen dan staf sekolah/kampus
lainnya.21 Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi, mengatakan pada
periode tahun 2015-2021 ada 67 kasus kekerasan terhadap perempuan di lingkungan
pendidikan. Kekerasan yang terjadi di lingkungan pendidikan yakni kekerasan seksual
87,91 persen, psikis dan diskriminasi 8,8 persen. Lalu, kekerasan fisik 1,1 persen. 22
Bentuk-bentuk kekerasan di lingkungan pendidikan sepeti pembullyan karena kondisi
ekonomi korban atau fisik korban yang lemah, pelecehan seksual oleh guru atau dosen
dengan imingan nilai tinggi atau diluluskan dengan muda, senioritas yang tak
terkontrol dan lainya.

f. Perdagangan orang (human trafficking)


Perdagangan orang (human trafficking) merupakan modus kejahatan perbudakan
modern dalam bentuk transaksi jual beli terhadap orang yang dalam perkembangannya
terus menerus berkembang secara nasional maupun internasional yang pada umumnya
dilakukan secara tertutup dan bergerak diluar hukum.23 beberapa faktor penyebab
tindakan perdagangan manusia, adalah faktor ekonomi dan rendahnya pendidikan,
faktor pengangguran. Salah satu contoh perdagangan manusia adalah wanita-wanita

20
Anonymous, Kekerasan juga dapat terjadi di lingkungan kerja, cari layannan, 22/02/2023,
https://carilayanan.com/kekerasan-di-tempat-kerja/
21
https://p2k.stekom.ac.id/ensiklopedia/Kekerasan_di_sekolah
22
Anugrah Andriansyah, Komnas Perempuan: Kasus Kekerasan Seksual di Lingkungan Pendidikan, Paling Tinggi di
Universitas, 12/04/2022, https://www.voaindonesia.com/a/komnas-perempuan-kasus-kekerasan-seksual-di-
lingkungan-pendidikan-paling-tinggi-di-universitas/6525659.html
23
Admin Web, Workshop Pedoman Penanganan Korban Perdagangan Orang (Human Trafficking) Dalam Perspektif
Hak Asasi Orang (HAM),2013, https://jatim.kemenkumham.go.id/pusat-informasi/artikel/2918-workshop-
pedoman-penanganan-korban-perdagangan-orang-human-trafficking-dalam-perspektif-hak-asasi-orang-
ham#:~:text=Perdagangan%20orang%20(human%20trafficking)%20merupakan,tertutup%20dan%20bergerak%20di
luar%20hukum.
yang di tipu dengan di ajak merantau ke luar kota dengan iming-iming gaji tinggi
namun ternyata di jual untuk menjadi pekerja seks.

g. Kekerasan terhadap buruh migran.


Pekerja Migran (Migran Wokers) yakni orang yang bermigrasi dari wilayah
kelahirannya ke tempat lain dan kemudian bekerja di tempat yang baru tersebut dalam
jangka waktu yang relatif lama serta menetap. Pekerja migran ada dua tipe yaitu: (a).
Pekerja migran internal (dalam negri), ini sering diidentik dengan orang desa yang
bekerja di kota. (b). Pekerja migran internasional, yaitu mereka yang meninggalkan
tanah airnya untuk mengisi pekerjan di negara lain. Sesampai di negara tujuan,
perempuan buruh migran seringkali dihadapkan pada kondisi pekerjaan yang tidak
seperti yang dijanjikan, misalnya dengan jam kerja yang relatif lama, tidak ada hari
libur, dilarang beribadah, gaji tidak dibayar atau jika dibayar dengan selalu tidak
memadai (kurang), penelantaran dan pemulangan paksa, penipuan oleh agen untuk
perpanjangn visa kerja, penganiayaan fisik maupun psikoligis, seperti memakan
makanan basi atau makanan hewan, dipukul hingga luka berat, disiram dengan air
panas, dipotong dan digerat-gerat jarinya, distrika tubuhnya, dicucuk telinganya rotan,
serta serangan seksual seperti pelecehan, perkosaan dan dipaksa kerja untuk prostitusi.

2. Kekerasan di sektor domestik


Kekeraan dalam rumah tangga (domestic violence) adalah bentuk penganiayaan
(abouse) oleh suami terhadap istri atau sebaliknya secara fisik (patah tulang, memar, kulit
tersayat) maupun emosional atau psikologi (rasa cemas, depresi dan perasaan rendah diri).
Kekerasan dalam keluarga juga tejadi dalam bentuk kekerasan seksual dan perkosaan
terhadap anak perempuan atau istri atau eksploitas. 24 Kekerasan domestik biasanya berupa
bentuk kekerasan dalam rumah tangga.
Kekerasan dalam rumah tangga atau sering disebut kekerasan domestic biasa
dilakukan oleh suami kepada istri, istri kepada suami, orang tua terhadap anak. Namun
banyak kasus yang paling sering melakukannya adalah kekerasan yang dilakukan oleh
suami terhadap istrinya.
Terjadinya kekerasan dalam rumah tangga bermula dari adanya bentuk relasi
kekuasaan yang timpang antara laki-laki (suami) dengan perempuan (istri). Kondisi ini
tidak jarang mengakibatkan tindakan kekerasan oleh suami terhadap istrinya justru
dilakukan sebagai bagian dari penggunaan otoritas yang dimilikinya sebagai kepala
keluarga.
Bentuk kekerasan dalam rumah tangga bisa bermacam-macam namun secara
umum antara lain adalah kekerasan fisik, kekerasan yang menyebabkan cedera luka, atau
cacat pada tubuh seseorang serta menyebabkan kematian. Kekerasan psikologi, yakni

24
Umin Kango, Bentuk Kekerasan Yang Dialami Perempuan, Jurnal Legaitas,2009. Hlm. 14
segala perbuatan dan ucapan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri
dan kemampuan untuk bertindak, serta rasa tidak percaya pada jiwa seseorang.
Kekerasan domestic tedapat pula berupa kekerasan seksual, yakni perbuatan yang
menyangkut pelecehan seksual tanpa persetujuan korban atau korban tidak
menghendakinya. Kekerasan seksual dalam perkawinan, di Negara-negara Barat dikenal
dengan istilah mrital rape (perkosaan dalam perkawinan). 25
Menurut Elli Hasbianto, kekerasan dalam rumah tangga adalah suatu bentuk
penganiayaan ( abuse) baik secara fisik dan psikologis yang merupakan suatu cara
pengontrolan terhadap pasangan dalam kehidupan rumah tangga. Difinisi ini diperluas
dalam UU No. 23 tahun 2004 tentang KDRT Pasal 1 ayat 1, yang berbunyi: “ KDRT adalah
setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya
kesengsaraan atau penderitaan fisik, seksual, psikologis dan/atau penelantaran,
perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga”
Sedangkan ruang lingkup tindak Kekerasan Dalam Rumah Tangga menurut pasal
2 (1) UU NO. 23 tahunn 2004 tentang KDRT, meliputi : suami, istri, anak dan ; orang-
orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan suami, istri dan anak karena hubungan
darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan dan perwalian yang menetap dalam rumah
tangga dan /atau; orang yang bekerja membantu rumah tangga serta menetap dalam rumah
tangga tersebut.
Sedangkan berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Triana Sofiani (Jurnal
Penelitian vol. 5 No. 2, November 2008, hlm 251-272) dikemukakan bahwa, akar masalah
terjadinya kekerasan terhadap perempuan pada KDRT antara lain:
1. Pemahaman tafsir teks-teks agama yang rata-rata masih bias laki-laki;
2. Budaya patriakhal. Yaitu menempatkan laki-laki pada kedudukan yang lebih tinggi dari
perempuan dan mengakui superioritas laki-laki di atas perempuan. Sebagai kepala
keluarga, laki-laki mempunyai otoritas yang besar dalam pengambilan keputusan
dalam keluarga (domestik) serta berperan dalam kehidupan sosial ( publik). Sehingga
dibenarkan apabila laki-laki ( suami) mengontrol perempuan (istri), dengan alasan
mendidik atau alasan lain yang bersifat apologik bahkan melakukan tindakan represif
seperti pemukulan.
3. Mitos KDRT. Mitos ini diyakini sebagai sebuah kebenaran. Misalnya: KDRT jarang
dan tidak mungkin terjadi, rumah tangga adalah urusan pribadi, sehingga yang ada
didalamnya bukan urusan orang lain dan, tindakkan kekerasan adalah bukti cinta dan
kasih sayang,
4. KDRT terjadi sebagai tindakan yang paling efektif dan ampuh untuk mengakhiri
konflik antar pasangan. Atau secara psikologis, sebagai bentuk komunikasi dengan cara
pemberian sugesti untuk melemahkan mental pasangan;
5. Role model. Sifat meniru dari anak laki-laki yang tumbuh dalam lingkungan keluarga
yang bapaknya suka memukul/kasar kepada ibunya, cenderung meniru pola tersebut

25
Umin Kango, Bentuk Kekerasan Yang Dialami Perempuan, Jurnal Legaitas,2009. Hlm
kepada pasangannya. Atau kebiasaan-kebiasaan yang dipelajari dan diperoleh anak
melalui orang tua akan membentuk perilaku anak setelah dewasa. Misalnya, anak yang
dibesarkan dalam keluarga yang orang tuanya agresif dan otoriter secara konsisten akan
lebih agresif dibanding dengan anak –anak yang dibesarkan dalam keluarga non-agresif
6. Idiologi harmoni. Idiologi ini menekankan konsep keluarga harmonis adalah dambaan
setiap orang, oleh karena itu istri yang baik adalah yang nurut pada suami, menerima,
sabar dan bisa menutupi keburukan suaminya walau si suami berprilaku kasar.
Sehingga konflik dalam rumah tangga diyakini hanya bersifat sementara, hal yang
biasa dan kalau terjadi konflik antara suami istri pasti akan kembali harmonis lagi. 26

26
B. Rudi Harnoko, Dibalik Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan, Jurnal Muwazah, 2010. Hlm. 182
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Kekerasan adalah perbuatan yang berupa pemukulan, penganiayaan yang


menyebabkan matinya atau cederanya seseorang, yang bertentangan dengan undang-
undang, yang memiliki akibat-akibat kerusakan terhadap harta benda atau fisik atau
mengakibatkan kematian pada seseorang. Kekerasan juga berdampak pada jiwa seseorang,
seperti kebohongan, indoktrinasi, ancaman dan tekanan adalah kekerasan psikologis
karena dimaksudkan untuk mengurangi kemampuan mental atau otak. Declaration on the
Elimination of Violence Against Women (disingkat DEVAW) menyebutkan bahwa,
kekerasan berbasis gender adalah setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin
yang mengakibatkan kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual dan psiologis
termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara
sewenang-wenang baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi.
Ruang lingkup kekerasan terhadap perempuan atau kekerasan berbasis gender
dapat dikategorikan dalam ranah domestik maupun publik. Kekerasan di ranah publik (
publik violence), yaitu kekerasan yang dialami perempuan di luar rumah atau di
masyarakat pada umumnya. Sedangkan kekerasan dalam ranah domestik ( domestik
Violence) yaitu kekerasan yang terjadi dalam lingkup rumah tangga.
B. Saran
Begitu banyak kekerasan yang terjadi di lingkungan kittta baik dalam rumah maupun di luar
rumah, dan siapa saaja dapat mengalaminya. Oleh karena sebagai sesama manusia jika melihat
tindak kekerasan seharusnya kita melaporkanya, dan jika mengalaminya berusahalah untuk
speak up. Sebab jika pelaku kekerasan tidak mendapat hukum yang setimpal maka sama saja
kita telah melawan sebuah keadilan bagi setiap manusia.
DAFTAR PUASTAKA

Eva Risan,”Kekerasan Berbasis Gender “, dalam Makalah Seminar UNDIP, 2007.

Gadis Arvia, “ Kekerasan Terhadap Perempuan” dalam Jurnal Perempuan, Jakarta: 2009.

Iwan Hermawan, “Kedudukan dan Nilai Perempuan”, Makalah Seminar, Bandung, 2002.

Marsana Windu, “Kekuasaan dan Kekerasan Menurut Jhon Galtung, dalam Noeke SriWardana

Persepsi

Masyarakat BengkuluTentang Kejahatan”, Tesis, UNDIP, Semarang, 1995.

Mansour Fakih, Kekerasan Dalam Perspektif Pesantren, Jakarta: Grasindo, 2000.

Negara dan Kekerasan Terhadap Perempuan, Yayasan Jurnal Perempuan dan The Asia Foundation,

Jakarta, 2000.

Triana Sofiani, “Agama dan Kekerasan Berbasis Gender”, dalam Jurnal Penelitian vol. 5 No. 2,

November 2008

Anda mungkin juga menyukai