Anda di halaman 1dari 577

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Puji serta syukur senantiasa kita panjatkan kehadirat Allah SWT


yang mana atas berkat rahmat dan iradat-Nya penyusun dapat
menyelesaikan buku Sosiologi Gender ini.
Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada
baginda alam yang telah membawa revolusi kehidupan
minadzulumaati ila nnuur yakni Rasulullah SAW dan sampai saat
ini tetap menjadi Uswah Al-Hasanah bagi seluruh umat manusia di
seluruh dunia. Kepada keluarganya, para sahabatnya dan seluruh
umatnya hingga akhir zaman.
Buku ini disusun dalam rangka untuk memenuhi tugas
Ujian Akhir Semester (UAS) mata kuliah Sosiologi Gender.
Layaknya fitrah seorang manusia yang tidak luput dari kesalahan,
kami sepenuhnya menyadari dalam penyusunan buku ini masih jauh
dari kesempurnaan, untuk itu dengan segala kerendahan hati kami
mengharapkan masukan yang konstruktif dalam penulisan makalah
ini. Akhirnya, kami berharap makalah ini dapat bermanfaat yang
pada khusunya bagi kami sendiri dan pada umumnya bagi
semuanya.

Bandung, 19 Desember 2015

Penyusun

i
DAFTAR ISI

1. Sopiani Nur Hak : “Kekerasan dalam Rumah Tangga” ... (1)

2. Sri Intan Rjeki : “Rancangan UU Kesetaraan Gender menurut


Perspektif Islam” ................................................................ (16)

3. Sujandi : “Gender dalam Perspektif Hukum Islam” ......... (33)

4. Sulastri : “Human Trafficking (Perdagangan Perempuan dan


Anak Sebagai Kejahatan Kemanusiaan)” .......................... (44)

5. Syintia Maharani : “Isu-Isu Gender Dalam Hukum Keluarga


Telaah atas Konsep Nafkah dan Pernikahan Dini” ........... (61)

6. Taufik Alfian M : “Analisis Gender dalam Gerakan


Transformasi Sosial Perempuan” ....................................... (77)

7. Tiara Nurjanah : “Kekerasan Dalam Rumah Tangga” ... (90)

8. Tina Lestari : “Human Trafficking” ................................. (112)

9. Tineu Istiqomah : “Islam dan Gender”............................. (127)

10. Tini Kartini : “Kemiskinan dan Pemberdayaan Ekonomi dan


Politik” ............................................................................... (140)

11. Tita Nurmalasari : “Kehidupan Peranan Wanita dalam


Lingkungan Kerabat Orangtuanya atau Suaminya dan dalam
Lingkungan Masyarakat Sekitarnya” .................................. (157)

ii
12. Trisna Nurdiaman : “Analisis Gender dalam Bingkai Pemikiran
Sosologi” ............................................................................ (173)

13. Ulfa Nurul Insan : “Peran Perempuan dan Budaya Tradisional


dalam Perspektif Bugis Makassar” .................................... (188)

14. Upi Safaatun Nurjanah : “Ham dan Perspektif Gender” . (204)

15. Valda Valdianti : “Kesehatan Reproduksi dalam Islam” (214)

16. Wahyudin : “Human Trafficking” .................................... (232)

17. Wandi Riswandi : “Kesehatan Reproduksi dalam Islam” (244)

18. Wasih Mintarsih : “Peranan Wanita dalam Kepemimpinan”


............................................................................................. (257)

19. Wildan Hamdani : “Hak Asasi dan Persfektif Gender” ... (277)

20. Winda Yuliana : “Human Trafficking” ............................ (290)

21. Yanti Suryanti : Tantangan Wanita Modern “Ketakutan


Wanita Modern akan Kemandirian” .................................. (305)

22. Yayang Wulan Nurbaeti : “Kesehatan Reproduksi Islam”


............................................................................................. (318)

23. Yesi Gusfitasari : “Diskriminasi Gender” ........................ (341)

24. Yuli Parlina : “Peranan Wanita dalam Perspektif


Gender” .............................................................................. (355)

25. Yulia Rachmi : “Human Traffickin” ................................. (369)

iii
26. Yuliani Kosasih : “Islam Dan Gender” ............................ (384)

27. Zahrotun Nafiah : “Analisis Gender dan Tafsir Agama”. (394)

28. Zein Ahmad Maliki : “Islam dan Gender” ...................... (414)

29. Zihan Zahrotul M : “Islam dan Gender” ......................... (432)

30. Irwan Suhendar : “Gender dalam Perspektif Islam” ...... (447)

31. Seni Ardina : ?????????????? (470)

32. Susanti : “kemiskinan dan pemberdayaan ekonomi dan politik”


benarkah strategi wid (women in development) atau perempuan
dalam pembangunan adalah sebuah solusi dalam mengatasi
persoalan perempuan? ....................................................... (486)

33. Weni Pitrianana : “Wanita dalam Gender” ..................... (501)

34. Wina Ria Sari : “Kekerasan Terhadap Perempuan dalam


Perspektif Gender” ............................................................. (516)

35. Yuni Kartika : “Poligami = Ketidakadilan pada Perempuan?”


............................................................................................. (530)

36. Tatang Rohmat : Permasalahan dalam Gender .............. (544)

37. Syahrul Mubarok : Human Trafficking ........................... (562)

iv
KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
OLeh : Sopiani Nur Hak_1138030198_5-F

Pengertian KDRT
KDRT adalah singkatan dari Kekerasan Dalam Rumah
Tangga.Pengertian KDRT adalah setiap perbuatan terhadap
seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya
kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis,
dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk
melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan
secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Kekerasan
terhadap perempuan telah menjadi isu global dan merupakan
pelanggaran hak asasi manusia, hal ini terdapat di dalam Pasal 1
Deklarasi Penghapusan Segala Bentuk Kekerasan Terhadap
Perempuan Perserikatan Bangsa-Bangsa, 1993yang berbunyi:
"Setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang
berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan
perempuan secara fisik, seksual, dan psikologis, termasuk ancaman
tindakan tertentu, pemaksaan, perampasan kemerdekaan secara
sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum atau dalam
kehidupan pribadi".
Sebagian besar korban KDRT adalah kaum perempuan (istri)
dan pelakunya adalah suami, walaupun ada juga korban justru
sebaliknya, atau orang-orang yang tersubordinasi di dalam rumah
tangga itu. Pelaku atau korban KDRT adalah orang yang
mempunyai hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan,
perwalian dengan suami, dan anak bahkan pembatu rumah tangga,
tinggal di rumah ini. Ironisnya kasus KDRT sering ditutup-tutupi
oleh si korban karena terpaut dengan struktur budaya, agama dan
sistem hukum yang belum dipahami. Padahal perlindungan oleh
negara dan masyarakat bertujuan untuk memberi rasa aman terhadap
korban serta menindak pelakunya.

1
Kekerasan yang kerap terjadi dalam rumah tangga selama ini
adalah dikarenakan kuatnya dorongan maskulinitas tradisional, yang
mengakibatkan kebanyakan pria terjerat dalam konstruksi sosial
masyarakat yang patriarki. Pria yang terjerat dalam konstruksi sosial
patriarki ini kerap tidak kuat menanggung rasa malu atas
kegagalannya, menanggung beban sosial yang dirasakan berat.
Dalam konstruksi masyarakat patriarki, beban sosial pria adalah
harus tampil kuat, jantan, mampu secara ekonomi dan bentuk-
bentuk maskulinitas tradisional lainnya.
Tidak heran bila kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga
(KDRT) terus saja terjadi, pelakunya kebanyakan pria, yang
dominan dalam hubungan rumah tangga. Sementara dari pihak
perempuan yang kebanyakan menjadi korban biasanya enggan
melaporkan tindakan ini atau menutup rapat kasus yang dialaminya.
Dengan demikian untuk mencegah kasus KDRT semakin
meningkat, diperlukan keseimbangan peran kedua belah pihak baik
laki-laki maupun perempuan. Jika semua ini berjalan baik maka
kekerasan dan beban konstruksi sosial bisa ditanggung bersama, dan
pada akhirnya kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga bisa
diminimalkan.
KDRT adalah kekerasan yang dilakukan oleh suami-isteri
atau kekerasan oleh orang tua terhadap anak. KDRT adalah suatu
bentuk pelanggaran hak-hak asasi manusia dan kejahatan terhadap
kemanusiaan, juga merupakan tindakan diskriminasi. Data dari hasil
Survei Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak Tahun 2006
olehBPS dan Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan,
khususnya mengenai Tindak Kekerasan terhadap Perempuan
menurut Pelaku menunjukkan bahwa: sebanyak 51,1% (pelaku:
suami); 11,7% (pelaku: orang tua/mertua, anak/cucu, dan famili);
19,6% (pelaku: tetangga); 2,5% (pelaku: atasan/majikan); 2,9
(pelaku: rekan kerja); 0,2% (pelaku: guru); dan 8,0% (pelaku:
lainnya).
Dari gambaran data tersebut sangat jelas bahwa bentu
kekerasan dalam rumahtangga sangat mendominasi, yakni, dengan

2
pelaku adalah suami (tertinggi), kemudian pelaku kekerasan adalah
orang tua/mertua, anak/cucu dan famili, dan menyusul pelaku adalah
atasan/majikan, hal ini tentu saja cukup memprihatinkan.
Pada awalnya, terutama sebelum diterbitkannya undang-
undang bahwa seseorang korban KDRT sangat kesulitan mencari
keadilan atau mendapatkan perlindungan ataskejadian yang
menimpa dirinya. Karena bukan saja pada saat itu belum ada payung
hukumnya, namun di sisi lain juga adanya pandangan masyarakat
bahwa mengungkap hal yang terjadi dalam rumah tangga adalah
suatu hal yang tabu, aib, dan sangat privat, yang tidak perlu
intervensi dari pihak luar, termasuk jika masalah rumah tangga itu
sebetulnya sudah merupakan bentuk kekerasan. Hal ini sangat
diyakini oleh sebagian besar masyarakat Indonesia, sehingga hampir
tidak pernah ada kejadian/ kasus KDRT dilaporkan kepada pihak
yang berwajib bahkan mungkin diutarakan kepada pihak kerabat
terdekat pun hampir tidak terlakukan, karena kuatnya keyakinan
sebagai suatu aib atautabu dan akhirnya KDRT menjadi hal yang
sangat tertutup atau ditutup-tutupi. Korban pun hanya diam seribu
bahasa menikmati kesedihan dan kesendiriannya dalam memendam
perasaan sakit, baik secara fisik maupun psikis atau perasaan-
perasaan lain yang padadasarnya suatu hal yang sangat tidak adil
terhadap hak-hak asasi dirinya dan sangat membutuhkan bukan saja
perlindungan sosial tetapi juga perlindungan hukum.
Dalam hal ada suatu pelaporan atau pengaduan atas KDRT,
hal ini praktis mengalami kebuntuan dalam penanganan proses
hukumnya, karena belum ada payunghukum. Sementara hukum
yang ada (KUHP) hanya mengenal istilah penganiayaan (kekerasan
fisik), sehingga seringkali mengalami kesulitan terutama untuk
pembuktian atas kekerasan non fisik, dalam hal ini kekerasan psikis
atau bentuk lain. Demikian halnya bahwa belum tersedianya
mekanisme untuk untuk penanganan korban, karena memang tidak/
belum tersedia, sehingga korban KDRT seringkali tidak
mendapatkan perlindungan yang memadai. Hal ini sungguh
merupakan bencana bagi siapa pun yang mengalami sebagai korban

3
KDRT, terlebih jika korban adalah perempuan atau anak.
Permasalahan bukan saja terletak pada langkanya aturan hukum,
namun pandangan masyarakat bahwa KDRT adalah suatu aib atau
hal yang sangat pribadi juga melingkupi cara pandang para penegak
hukum, yang perspekifnya praktis hsama yakni sangat patrarkhis.
Kepekaan terhadap permasalahan KDRT termasuk kepekaan gender
terhadapdiri korban masih belum dihayati secara proporsional.
Sehingga, harapan besar korban menjadi pupus dan harus
menanggung kekecewaan yang cukup berat manakala kasusyang
dilaporkannya tidak mendapatkan kepastian hukum dalam
prosesnya, hanya karenaaparat penegak hukum meyakini bahwa
persoalan KDRT adalah bukan permasalahan publik melainkan
sebagai permasalahan internal keluarga.

Tindak Pidana KDRT


Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan
(Komnas Perempuan) mengupayakan pemenuhan hak perempuan
dan anak korban kekerasan, dengan membuatKebijakan tentang
Layanan Terpadu bagi Perempuan dan Anak Korban
Kekerasan.Lahirnya Surat Kesepakatan Bersama antara Menteri
Negara Pemberdayaan PerempuanRI, Menteri Kesehatan RI,
Menteri Sosial RI, dan Kepala Kepolisian RI, Oktober 2002tentang
Kerjasama dalam Layanan Terpadu Perempuan dan Anak Korban
Kekerasan, yang disikapi dengan Pembentukan Pusat Penanganan
Terpadu di Rumah Sakit Kepolisian Bhayangkara di seluruh
Indonesia adalah terobosan awal kebijakan.
Berlanjut dengan disahkannya UU No. 23 Tahun 2004
tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga
(PKDRT)yang didalamnya antara lain mengatur mengenai
pencegahan, perlindungan terhadap korban, dan penindakan
terhadap pelaku KDRT, dengan tetap menjaga keutuhan demi
keharmonisan keluarga. Dua tahun kemudian diterbitkan Peraturan
Pemerintah No. 4 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan dan Kerja
sama Pemulihan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Pada

4
saat yang sama, telah lahir berbagai produk kebijakan di daerah
yang mendorong pemberian layanan bagi perempuan korban
kekerasan secara terpadu dan berkelanjutan.
KUHP tidak mengenali kekerasan berbasis gender (pasal 356
KUHP), kedudukan isteri ditempatkan sama dengan anggota
keluarga lain. padahal relasi antara pelaku yakni suami dan korban
yakni isteri adalah tidak adil karena sesualitasnya, kedudukan dan
peran dalam Rumah Tangga.
KUHP tidak mengenaL konsep perkosaan dalam perkawinan
(marital rape) Penganiayaan ringan yang mana pelakunya dihukum
bila korban tidak dapat menjalankan pekerjaannya (Pasal 351
KUHP). Definisi kerja adalah kerja formal / kantoran. Sedangkan
banyak pekerjaan perempuan terutama pekerjaan Rumah Tangga
tidak dianggap sebagai pekerjaan. KUHP tidak mengenali bentuk
kekerasan lain selain kekerasan fisik (Pasal 89 & 90 KUHP). KUHP
tidak mengenali kekerasan ekonomi psikis dalam rumah tangga dan
sebagaimana didefinisikan olah Deklarasi PBB tentang penghapusan
kekerasan terhadap Perempuan.
Pasal 356 KUHP tidak memasukkan relasi intim atau
Interpersonel lain misalnya pasangan homoseksual atau transgender
lain. Tapi hanya terbatas pada lingkup Nuclear Family. Tidak ada
batasan hukuman minimun sehingga hakim bisa saja menghukum
dengan seringan ringannya. Pasal 356 KUHP juga berorientasi
hanya pada penghukuman pada pelaku dan tidak ada mekanisme
untuk Pengembaliannya keluarga ataupun pemberian efek jera.
Tidak ada mekanisme perintah perlindungan (Protection order /
Restraining order).
Dengan adanya perintah ini, pengadilan bisa dengan segera
memerintahkan kepada pelaku untuk keluar dari rumah tersebut dan
atau menjalani terapi di pusat rehabilitasi (seperti anger
Management / Program di negara lain). Meski pasal 24 PP No.9
tahun 1975 tentang pelaksanaan UU No.1 tahun 1974 tentang
perkawinan, menyediakan mekanisme ini bersamaan dengan proses
gugatan perceraian. Proses pembuktian yang salah karena KUHP

5
mensyaratkan adanya 2 alat bukti yang merupakan gabungan dari
alat bukti berupa surat, saksi atau petunjuk (surrounding evidence).
UU Perlindungan saksi & korban belum ada, dan tidak adanya
ketentuan tentang hak korban untuk didapingi konselor atau
penasehat hukum.

Hal-hal Khusus Yang di Atur Dalam UU No.23 Tahun 2004


Azas-Azas Dalam UU No.23 Tahun 2004

Penghormatan Hak Asasi Manusia


Asas ini diharapkan dapat melindungi hak asasi manusia
terutama pada perempuan. Dengan adanya undang–undang yang
mengatur mengenai anti kekerasan dalam rumah tangga ini
diharapkan dapat melindungi kaum perempuan dari kekerasan.
Dalam hal ini tidak hanya kaum perempuan dalam konteks ibu
rumah tangga saja melainkan juga para pembantu rumah tangga
dimana mereka sering diperlakuan tidak manusiawi oleh
majikannya. Kekerasan domestik tidak hanya terjadi pada kaum
perempuan saja melainkan juga bisa terjadi pada kaum laki –laki
tetapi hal ini jarang terjadi Azas
Keadilan Dan Kesetaraan Gender
Kesetaraan gender berarti kesamaan kondisi bagi laki-laki
dan perempuan untuk memperoleh kesempatan serta hak-haknya
sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam
kegiatan politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, pendidikan dan
pertahanan dan keamanan nasional (hankamnas), serta kesamaan
dalam menikmati hasil pembangunan tersebut. Kesetaraan gender
juga meliputi penghapusan diskriminasi dan ketidak adilan
struktural, baik terhadap laki-laki maupun perempuan.
Keadilan gender adalah suatu proses dan perlakuan adil
terhadap perempuan dan laki-laki. Dengan keadilan gender berarti
tidak ada pembakuan peran, beban ganda, subordinasi, marginalisasi
dan kekerasan terhadap perempuan maupun laki-laki.

6
Terwujudnya kesetaran dan keadilan gender ditandai dengan
tidak adanya diskriminasi antara perempuan dan laki-laki, dan
dengan demikian mereka memiliki akses, kesempatan berpartisipasi,
dan kontrol atas pembangunan serta memperoleh manfaat yang
setara dan adil dari pembangunan.
Memiliki akses dan partisipasi berarti memiliki peluang atau
kesempatan untuk menggunakan sumber daya dan memiliki
wewenang untuk mengambil keputusan terhadap cara penggunaan
dan hasil sumber daya tersebut. Memiliki kontrol berarti memiliki
kewenangan penuh untuk mengambil keputusan atas penggunaan
dan hasil sumber daya. Sehingga memperoleh manfaat yang sama
dari pembangunan.
Azas Nondiskriminasi
Asas non diskriminatif, yaitu asas yang tidak membedakan
perlakuan dalam segala hal ikhwal yang berhubungan dengan Warga
Negara atas dasar suku, ras, agama, golongan, jenis kelamin dan
gender.
Azas Perlindungan Korban
Para korban kekerasan dalam rumah tangga khususnya yang
banyak terjadi pada pihak perempuan seyogyanya menjadi
tanggungjawab pemerintah bahkan menjadi tanggungjawab sosial
masyarakat. Oleh karena itu perlindungan hukum ini jelas bahwa
perlindungan para korban kekerasan rumah tangga harus ditangani,
diayomi dan dilindungi serta dicarikan jalan keluarnya agar mereka
bisa terselesaikan secara psikis mapun fisik.
Suami, isteri, dan anak
Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan
orang sebagaimana dimaksud nomor 1 karena hubungan darah,
perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap
dalam rumah tangga; dan/atau Orang yang bekerja membantu rumah
tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.
Sedangkan, bentuk KDRT yang sering terjadi di dalam
lingkup rumah tangga yaitu:

7
Kekerasan fisik
Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa
sakit, jatuh sakit, atau luka berat.Kekerasan psikis: kekerasan psikis
adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa
percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak
berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang.
Kekerasan seksual: kekerasan seksual adalah setiap
perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan
hubungan seksual dengan cara yang tidak wajar dan/atau tidak
disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk
tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.
Penelantaran rumah tangga: penelantaran rumah tangga
meliputi dua tindakan yaitu: 1) orang yang mempunyai kewajiban
hukum atau karena persetujuan atau perjanjian memberikan
kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut
dalam lingkup rumah tangga namun tidak melaksanakan kewajiban
tersebut. 2) setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan
ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja
yang layak di dalam dan di luar rumah tangga sehingga korban
berada di bawah kendali orang tersebut.

Jenis – jenis KDRT


Seperti yang diatur dalam Undang-undang No 23 Tahun
2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga
(KDRT), jenis kekerasan yang termasuk KDRT adalah:
 Kekerasan Terbuka (overt)
Yakni kekerasan fisik yang dapat dilihat, seperti perkelahian,
pukulan, tendangan, menjambak, mendorong, sampai pada
membunuh.
 Kekerasan Tertutup (covert)
Biasanya dikenal dengan kekerasan psikis atau emosional.
Kekerasan ini sifatnya tersembunyi, seperti ancaman, hinaan,

8
atau cemooh yang kemudian menyebabkan korban susah tidur,
tidak percaya diri, tidak berdaya, terteror, dan memiliki
keinginan bunuh diri.
 Kekerasan Seksual
Merupakan kekerasan yang dilakukan untuk memuaskan hasrat
seks (fisik) dan verbal (fisik). Secara fisik misalnya pelecehan
seksual (meraba, menyentuh organ seks, mencium paksa,
memaksa berhubungan seks dengan pelaku atau orang ketiga,
memaksa berhubungan intim. Sedangkan verbal seperti
membuat komentar, julukan, atau gurauan porno yang sifatnya
mengejek, juga membuat ekspresi wajah, gerakan tubuh, atau
pun perbuatan seksual lain yang sifatnya melecehkan dan atau
menghina korban.
 Kekerasan Finansial atau Definisi
Kekerasan yang dilakukan dalam bentuk eksploitasi,
memanipulasi, dan mengendalikan korban dengan tujuan
finansial. Serta memaksa korban bekerja, melarang korban
bekerja tapi menelantarkannya, atau mengambil harta pasangan
tanpa sepengetahuannya.
Bentuk dan Sanksi Tindak Pidana Dalam UU No.23 Tahun 2004
a. Kekerasan fisik
o Cedera berat
o Tidak mampu menjalankan tugas sehari-hari
o Pingsan
o Luka berat pada tubuh korban dan atau luka yang sulit
disembuhkan atau yang menimbulkan bahaya mati
o Kehilangan salah satu panca indera
o Mendapat cacat
o Menderita sakit lumpuh.
o Terganggunya daya pikir selama 4 minggu lebih
o Gugurnya atau matinya kandungan seorang perempuan
o Kematian korban
b. Kekerasan Fisik Ringan, berupa menampar, menjambak,
mendorong, dan perbuatan lainnya yang mengakibatkan:

9
o Cedera ringan
o Rasa sakit dan luka fisik yang tidak masuk dalam kategori
berat
o Melakukan repitisi kekerasan fisik ringan dapat
dimasukkan ke dalam jenis kekerasan berat

Adapun sanksi-sanksi mengenai kekarasan fisik ini di atur


dalam pasal 44 UU No.23 Tahun 2004, yaitu: “Setiap orang yang
melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling
banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengakibatkan korban mendapat jatuh sakit atau luka berat,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun
atau denda paling banyak Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah).
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp
45.000.000,00 (empat puluh lima juta rupiah).
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak
menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan
jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda
paling banyak Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah).

c. Kekerasan psikis
Kekerasan Psikis Berat, berupa tindakan pengendalian,
manipulasi, eksploitasi, kesewenangan, perendahan dan penghinaan,
dalam bentuk pelarangan, pemaksaan dan isolasi sosial; tindakan
dan atau ucapan yang merendahkan atau menghina; penguntitan;
kekerasan dan atau ancaman kekerasan fisik, seksual dan ekonomis;

10
yang masing-masingnya bisa mengakibatkan penderitaan psikis
berat berupa salah satu atau beberapa hal berikut:
o Gangguan tidur atau gangguan makan atau ketergantungan
obat atau disfungsi seksual yang salah satu atau kesemuanya
berat dan atau menahun
o Gangguan stres pasca trauma
o Gangguan fungsi tubuh berat (seperti tiba-tiba lumpuh atau
buta tanpa indikasi medis)
o Depresi berat atau destruksi diri
o Gangguan jiwa dalam bentuk hilangnya kontak dengan realitas
seperti skizofrenia dan atau bentuk psikotik lainnya
o Bunuh diri

d. Kekerasan Psikis Ringan


berupa tindakan pengendalian, manipulasi, eksploitasi,
kesewenangan, perendahan dan penghinaan, dalam bentuk
pelarangan, pemaksaan, dan isolasi sosial; tindakan dan atau ucapan
yang merendahkan atau menghina; penguntitan; ancaman kekerasan
fisik, seksual dan ekonomis; yang masing-masingnya bisa
mengakibatkan penderitaan psikis ringan, berupa salah satu atau
beberapa hal di bawah ini:
o Ketakutan dan perasaan terteror
o Rasa tidak berdaya, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya
kemampuan untuk bertindak
o Gangguan tidur atau gangguan makan atau disfungsi seksual
o Gangguan fungsi tubuh ringan (misalnya, sakit kepala, gangguan
pencernaan tanpa indikasi medis)
o Fobia atau depresi temporer

Adapun sanksi-sanksi mengenai kekarasan fsikis ini di atur


dalam pasal 45 UU No.23 Tahun 2004, yaitu:
Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan psikis
dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud pada Pasal 5

11
huruf b dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun
atau denda paling banyak Rp 9.000.000,00 (sembilan juta rupiah).
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak
menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan
jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda
paling banyak Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah).

e. Kekerasan seksual
 Kekerasan seksual berat, berupa:
 Pelecehan seksual dengan kontak fisik, seperti meraba,
menyentuh organ seksual, mencium secara paksa,
merangkul serta perbuatan lain yang menimbulkan rasa
muak/jijik, terteror, terhina dan merasa dikendalikan.
 Pemaksaan hubungan seksual tanpa persetujuan korban
atau pada saat korban tidak menghendaki.
 Pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak disukai,
merendahkan dan atau menyakitkan.
 Pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk
tujuan pelacuran dan atau tujuan tertentu.
 Terjadinya hubungan seksual dimana pelaku
memanfaatkan posisi ketergantungan korban yang
seharusnya dilindungi.
 Tindakan seksual dengan kekerasan fisik dengan atau
tanpa bantuan alat yang menimbulkan sakit, luka atau
cedera.
 Kekerasan Seksual Ringan, berupa pelecehan seksual
secara verbal seperti komentar verbal, gurauan porno,
siulan, ejekan dan julukan dan atau secara non verbal,
seperti ekspresi wajah, gerakan tubuh atau pun perbuatan
lainnya yang meminta perhatian seksual yang tidak
dikehendaki korban bersifat melecehkan dan atau menghina
korban.

12
Melakukan repitisi kekerasan seksual ringan dapat
dimasukkan ke dalam jenis kekerasan seksual berat.
Adapun sanksi-sanksi menganai kekerasan seksual di atur
dalam pasal 46 sampai dengan pasal 48 UU No.23 Tahun 2004,
yaitu: Pasal 46 “Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan
seksual sebagaimana dimaksud pada Pasal 8 huruf a dipidana
dengan pidana penjara paling lama 12 (dua betas) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta
rupiah)”.
Pasal 47 “Setiap orang yang memaksa orang yang menetap
dalam rumah tangganya melakukan hubungan seksual sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 huruf b dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 4 (empat) tahun dan pidana penjara paling lama 15
(lima belas) tahun atau denda paling sedikit Rp 12.000.000,00 (dua
betas juta rupiah) atau denda paling banyak Rp 300.000.000,00
(tiga ratus juta rupiah)”.
Pasal 48 “Dalam hat perbuatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 46 dan Pasal 47 mengakibatkan korban mendapat luka
yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, mengalami
gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurang-kurangnya selama 4
(empat) minggu terus menerus atau 1 (satu) tahun tidak berturut-
turut, gugur atau matinya janin dalam kandungan, atau
mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi, dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan pidana penjara
paling lama 20 (dua puluh) tahun atau denda paling sedikit Rp
25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan denda paling
banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)”.

CONTOH KASUS
Contoh kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga yang kami
ambil adalah Kekerasan dalam Rumah Tangga yang dialami oleh
Cici Paramida. Dimana dalam kasus KDRTnya ini, wajah Cici
Paramida babak belur akibat peristiwa penabarakan yang diduga
dilakukan suaminya, Suhaebi. Peristiwa itu sendiri berawal ketika

13
Cici yang mencurigai suaminya membawa perempuan lain mencoba
mengejar mobil suaminya hingga ke kawasan puncak, Kabupaten
Bogor. Saat kedua mobil tiba di kawasan Gang Semen, Jalan Raya
Puncak, Cisarua, mobil Cici menyalip.
Cici kemudian turun dari mobil. “Saat dia mau mendekati
mobil itu, tiba-tiba mobil digas sehingga menyerempet Cici.
Akibatnya Cici Paramida tampak terluka di bagian wajah dan lengan
seperti bekas tersenggol. Kemudian atas Kekerasan yang dilakukan
oleh Suhebi, Cici melaporkan tindakan kekerasan itu polisi.
Dari contoh kasus diatas kita dapat menarik kesimpulan
bahwa seorang suami seharusnya menjaga kepercayaan yang
diberikan oleh istrinya. Suatu hubungan akan berjalan harmonis
apabila sebuah pasangan dilandasi dengan percaya kepada
pasangannya. Namun kejadian ini tidak akan terjadi apa bila sang
istri menanyaka secara baik baik kepada suaminya. Apakah benar ia
bersama perempuan lain atau hanya sekedar rekan kerjanya.

Cara Penanggulangan Kekerasan dalam Rumah Tangga


Untuk menghindari terjadinya Kekerasan dalam Rumah
Tangga, diperlukan cara-cara penanggulangan Kekerasan dalam
Rumah Tangga, antara lain:
a. Perlunya keimanan yang kuat dan akhlaq yang baik dan
berpegang teguh pada agamanya sehingga Kekerasan dalam
rumah tangga tidak terjadi dan dapat diatasi dengan baik dan
penuh kesabaran.
b. Harus tercipta kerukunan dan kedamaian di dalam sebuah
keluarga, karena didalam agama itu mengajarkan tentang kasih
sayang terhadap ibu, bapak, saudara, dan orang lain. Sehingga
antara anggota keluarga dapat saling mengahargai setiap
pendapat yang ada.
c. Harus adanya komunikasi yang baik antara suami dan istri, agar
tercipta sebuah rumah tangga yang rukun dan harmonis. Jika di
dalam sebuah rumah tangga tidak ada keharmonisan dan

14
kerukunan diantara kedua belah pihak, itu juga bisa menjadi
pemicu timbulnya kekerasan dalam rumah tangga.
d. Butuh rasa saling percaya, pengertian, saling menghargai dan
sebagainya antar anggota keluarga. Sehingga rumah tangga
dilandasi dengan rasa saling percaya. Jika sudah ada rasa saling
percaya, maka mudah bagi kita untuk melakukan aktivitas. Jika
tidak ada rasa kepercayaan maka yang timbul adalah sifat
cemburu yang kadang berlebih dan rasa curiga yang kadang
juga berlebih-lebihan.
e. Seorang istri harus mampu mengkoordinir berapapun keuangan
yang ada dalam keluarga, sehingga seorang istri dapat
mengatasi apabila terjadi pendapatan yang minim, sehingga
kekurangan ekonomi dalam keluarga dapat diatasi dengan baik.

15
RUU (RANCANGAN UNDANG-UNDANG) KESETARAAN
GENDER MENURUT PERSPEKTIF ISLAM
Oleh : Sri Intan Rejeki_1138030199_5-F

Secara mendasar berbagai konsep dalam Rancangan Undang-


undang Kesetaraan dan Keadilan Gender (RUU KKG) bertentangan
dengan konsep-konsep dasar ajaran Islam. Kesalahan mendasar itu
berawal dari definisi “gender” itu sendiri. RUU ini mendefinisikan
gender sebagai berikut: “Gender adalah pembedaan peran dan
tanggung jawab laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil
konstruksi sosial budaya yang sifatnya tidak tetap dan dapat
dipelajari, serta dapat dipertukarkan menurut waktu, tempat, dan
budaya tertentu dari satu jeniskelamin ke jenis kelamin lainnya.”
(Pasal 1:1).
Definisi “Gender” seperti itu adalah keliru, tidak sesuai
dengan pandangan Islam. Sebab, menurut konsep Islam, tugas,
peran, dan tanggung jawab perempuan dan laki-laki baik dalam
keluarga (ruang domestik) maupun di masyarakat (ruang publik)
didasarkan pada wahyu Allah, dan tidak semuanya merupakan
produk budaya. Ada peran yang berubah, dan ada yang tidak
berubah. Yang menentukan peran bukanlah budaya, tetapi wahyu
Allah, yang telah dicontohkan pelaksanaannya oleh Nabi
Muhammad SAW. Ini karena memang Islam adalah agama wahyu,
yang ajaran-ajarannya ditentukan berdasarkan wahyu Allah, bukan
berdasarkan consensus sosial atau budaya masyarakat tertentu.
Sebagai contoh, dalam Islam, laki-laki diamanahi sebagai
pemimpin dan kepala keluarga serta berkewajiban mencari nafkah
keluarga. Ini ditentukan berdasarkan wahyu. Islam tidak melarang
perempuan bekerja, dengan syarat, mendapatkan izin dari suami.
Dalam hal ini, kedudukan laki-laki dan perempuan memang tidak
sama. Tetapi, keduanya – di mata Allah – adalah setara. Jika mereka

16
menjalankan kewajibannya dengan baik, akan mendapatkan pahala,
dan jika sebaliknya, maka akan mendapatkan dosa.
Konsep “kesetaraan” versi Islam semacam ini bertentangan
dengan rumusan “kesetaraan” versi RUU KKG: “Kesetaraan
Gender adalah kesamaan kondisi dan posisi bagi perempuan dan
laki-laki untuk mendapatkan kesempatan mengakses, berpartisipasi,
mengontrol, dan memperoleh manfaat pembangunan di semua
bidang kehidupan.” (pasal 1, ayat 2). Bahkan, RUU KKG ini juga
mendefinisikan makna “adil” dalam Keadilan Gender, sebagai:
“suatu keadaan dan perlakuan yang menggambarkan adanya
persamaan hak dan kewajiban perempuan dan laki-laki sebagai
individu, anggota keluarga, masyarakat, dan warga negara.” (pasal
1, ayat 3).
Karena target aktivis KKG adalah kesetaraan secara
kuantitatif atara laki-laki dan perempuan, terutama diruang publik,
maka pada pasal 4, perempuan Indonesia dipaksa untuk aktif di
lapangan politik dan pemerintahan, dengan mendapatkan porsi
minimal 30 persen: “…perempuan berhak memperoleh tindakan
khusus sementara paling sedikit 30% (tiga puluh perseratus) dalam
hal keterwakilan di legislatif, eksekutif, yudikatif, dan berbagai
lembaga pemerintahan non-kementerian, lembaga politik, dan
lembaga non-pemerintah, lembaga masyarakat di tingkat daerah,
nasional, regional dan internasional.” (pasal 4, ayat 2).
Itulah contoh kesalahpahaman yang luar biasa dari cara
berpikir perumus naskah RUU KKG ini. Bahwa, makna menikmati
dan berpartisipasi dalam pembangunan haruslah dilakukan oleh
perempuan dalam bentuk aktif di luar rumah. Aktivitas perempuan
sebagai istri pendamping suami dan pendidik anak-anaknya di
rumah, tidak dinilai sebagai bentuk partisipasi dalam pembangunan.
Itu juga cara berpikir kaum feminis ekstrim yang melihat posisi istri
di dalam rumah tangga sebagai posisi kaum tertindas. Tidak
berlebihan, jika Dr. Ratna Megawangi seorang pakar gizi dan
kesehatan keluarga dari IPB menelusuri, ide “gender equality”
(kesetaraan gender) yang dianut oleh banyak kaum feminis lainnya,

17
bersumber dari ideologi Marxis, yang menempatkan wanita sebagai
kelas tertindas dan laki-laki sebagai kelas penindas. Paradigma
Marxis melihat institusi keluarga sebagai “musuh” yang pertama-
tama harus dihilangkan atau diperkecil perannya apabila masyarakat
komunis ingin ditegakkan, yaitu masyarakat yang tidak ada kaya-
miskin, dan tidak ada perbedaan peran antara laki-laki dan
perempuan. Keluarga dianggap sebagai cikal-bakal segala
ketimpangan sosial yang ada, terutama berawal dari hubungan yang
timpang antara suami dan istri. Sehingga bahasa yang dipakai dalam
gerakan feminisme mainstream adalah bahasa baku yang mirip
dengan gerakan kekiri-kirian lainnya. Yaitu, bagaimana
mewujudkan kesetaraan gender melalui proses penyadaran bagi
yang tertindas, pemberdayaan kiaum tertindas, dan sebagainya.
(Ratna Megawangi, Membiarkan Berbeda? 1999:11).
Menurut Ratna, agenda feminis mainstream, semenjak awal
abad ke-20, adalah bagaimana mewujudkan kesetaraan gender
secara kuantitatif, yaitu pria dan wanita harus sama-sama (fifty-fifty)
berperan baik di luar maupun di dalam rumah. Untuk mewujudkan
kesetaraan seperti itu, para feminis sampai sekarang masih percaya
bahwa perbedaan peran berdasarkan gender adalah karena produk
budaya, bukan karena adanya perbedaan biologis, atau perbedaan
nature, atau genetis. Para feminis yakin dapat mewujudkannya
melalui perubahan budaya, legislasi, atau pun praktik-praktik
pengasuhan anak. (Ibid, hal. 9-10).
Rumusan definisi Gender, Kesetaraan dan Keadilan Gender,
serta pemaksaan peran perempuan dalam porsi tertentu di ruang
publik, dalam RUU KKG ini, sejalan dengan gagasan kaum
Marxian yang memandang keluarga dimana laki-laki sebagai
pemimpinnya sebagai bentuk penindasan terhadap kaum
perempuan. Tidak ada di benak kaum Marxis ini, bahwa ketaatan
seorang istri terhadap suami adalah suatu bentuk ibadah kepada
Allah SWT. Tidak terlintas di benak mereka, betapa bahagianya
seorang Muslimah saat mentaati suami, sebagai bentuk ketaatan
kepada Allah SWT.

18
Konsep gender yang berakar pada ”trauma sejarah”
penindasan perempuan di era Yunani kuno dan era dominasi Kristen
abad pertengahan. Konsep-konsep kehidupan di Barat cenderung
bersifat ekstrim. Dulu mereka menindas perempuan sebebas-
bebasnya, sekarang mereka membebaskan perempuan sebebas-
bebasnya. Dulu, mereka menerapkan hukuman gergaji hidup-hidup
bagi pelaku homoseksual. Kini, mereka berikan hak seluas-luasnya
bagi kaum homo dan lesbi untuk menikah dan bahkan memimpin
geraja. Lihatlah, kini konsep keluarga ala kesetaraan gender yang
memberikan kebebasan dan kesetaraan secara total antara laki-laki
dan perempuan telah berujung kepada problematika sosial yang
sangat pelik. Di Jerman, tahun 2004, sebuah survei menunjukkan,
pertumbuhan penduduknya minus 1,9. Jadi, bayi yang lahir lebih
sedikit dari pada jumlah yang mati.
Peradaban Barat juga memandang perempuan sebagai
makhluk individual. Sementara Islam meletakkan perempuan
sebagai bagian dari keluarga. Karena itulah, dalam Islam ada konsep
perwalian. Saat menikah, wali si perempuan yang menikahkan;
bukan perempuan yang menikahkan dirinya sendiri. Ini satu bentuk
pernyerahan tanggung jawab kepada suami. Di Barat, konsep
semacam ini tidak dikenal. Karena itu jangan heran, jika para pegiat
gender biasanya sangat aktif menyoal konsep perwalian ini. Sampai-
sampai ada yang menyatakan bahwa dalam pernikahan Islam, yang
menikah adalah antara laki-laki (wali) dengan laki-laki (mempelai
laki-laki).
“Diskriminasi adalah segala bentuk pembedaan, pengucilan,
atau pembatasan, dan segala bentuk kekerasan yang dibuat atas
dasar jenis kelamin tertentu, yang mempunyai pengaruh atau tujuan
untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan
manfaat atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan pokok
di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau bidang lainnya
terlepas dari status perkawinan, atas dasar persamaan antara
perempuan dan laki-laki.”(pasal 1:4).

19
Jika RUU Gender ini akan menjadi Undang-undang dan
memiliki kekuatan hukum yang tetap, maka akan menimbulkan
penindasan yang sangat kejam kepada umat Muslim – atau agama
lain – yang menjalankan konsep agamanya, yang kebetulan berbeda
dengan konsep Kesetaraan Gender. Misalnya, suatu ketika, orang
Muslim yang menerapkan hukum waris Islam; membagi harta waris
dengan pola 2:1 untuk laki-laki dan perempuan akan bisa dijatuhi
hukuman pidana karena melakukan diskriminasi gender. Jika ada
orang tua menolak mengawinkan anak perempuannya dengan
lakilaki beragama lain, bisa-bisa di orang tua akan dijatuhi hukuman
pula. Begitu pula jika kita membeda-bedakan jumlah kambing untuk
aqidah antara anak laki-laki dan perempuan.
RUU ini membuang dimensi akhirat dan dimensi ibadah
dalam interaksi antara laki-laki dan perempuan. Peradaban sekular
tidak memiliki konsep tanggung jawab akhirat. Bagi mereka segala
urusan selesai di dunia ini saja. Karena itu, dalam perspektif sekular,
”keadilan” hanya diukur dari perspektif dunia. Bagi mereka tidaklah
adil jika laki-laki boleh poligami dan wanita tidak boleh poliandri.
Bagi mereka, adalah tidak adil, jika istri keluar rumah harus seijin
suami, sedangkan suami boleh keluar rumah tanpa izin istri.
Bagi mereka (orang-orang sekuler), tidak adil jika laki-laki
dalam shalatnya harus ditempatkan di shaf depan. Dan sebagainya.
Jika seorang perempuan terkena pikiran seperti ini, maka pikiran itu
yang perlu diluruskan terlebih dulu. Biasanya ayat-ayat al-Quran
dan hadits Rasulullah saw tidak mempan bagi mereka, karena ayat-
ayat itu pun akan ditafsirkan dalam perspektif gender. Sebenarnya,
perempuan yang kena paham ini patut dikasihani, karena mereka
telah salah paham. Mereka hanya melihat aspek dunia. Hanya
melihat aspek hak, dan bukan aspek tanggung jawab dunia dan
akhirat.
Padahal, dalam perspektif Islam, justru Allah memberi
karunia yang tinggi kepada perempuan. Mereka dibebani tanggung
jawab duniawi yang lebih kecil ketimbang laki-laki. Tapi, dengan
itu, mereka sudah bisa masuk sorga, sama dengan laki-laki.

20
Perempuan tidak perlu capek-capek jadi khatib Jumat, menjadi saksi
dalam berbagai kasus, dan tidak wajib bersaing dengan laki-laki
berjejalan di kerata-kereta. Perempuan tidak diwajibkan mencari
nafkah bagi keluarga. Dan sebagainya. Sementara itu, kaum laki-
laki mendapatkan beban dan tanggung jawab yang berat. Kekuasaan
yang besar juga sebuah tanggung jawab yang besar di akhirat.
Jika dilihat dalam perspektif akhirat, maka suami yang
memiliki istri lebih dari satu tentu tanggung jawabnya lebih berat,
sebab dia harus menyiapkan laporan yang lebih banyak kepada
Allah. Adalah keliru jika orang memandang bahwa menjadi kepala
negara itu enak. Didunia saja belum tentu enak, apalagi di akhirat.
Sangat berat tanggung jawabnya. ”Dimensi akhirat” inilah yang
hilang dalam berbagai pemikiran tentang ”gender”. Termasuk dalam
RUU Gender yang sedang dibahas di DPR. Perspektif dari RUU ini
sangat sekuler. (saeculum=dunia); hanya menghitung aspek dunia
semata. Jika dimensi akhirat dihilangkan, maka konsep perempuan
dalam Islam akan tampak timpang. Sebagai contoh, para aktivis
gender sering mempersoalkan masalah ”double burden” (beban
ganda) yang dialami oleh seorang perempuan karir. Disamping
bekerja di luar rumah, dia juga masih dibebani mengurus anak dan
berbagai urusan rumah tangga. Si perempuan akan sangat tertekan
jiwanya, jika ia mengerjakan semua itu tanpa wawasan ibadah dan
balasan di akhirat. Sebaliknya, si perempuan akan merasa bahagia
saat dia menyadari bahwa tindakannya adalah satu bentuk ibadah
kepada Allah SWT.
Oleh karena itu, jika Allah tidak memberi kesempatan
kepada perempuan untuk berkiprah dalam berbagai hal, bukan
berarti Allah merendahkan martabat perempuan. Tapi, justru itulah
satu bentuk kasih sayang Allah kepada perempuan. Dengan
berorientasi pada akhirat, maka berbagai bentuk amal perbuatan
akan menjadi indah.
Tidak bisa dipungkiri, penyebaran paham ”kesetaraan
gender” saat ini telah menjadi program unggulan dalam proyek
liberalisasi Islam di Indonesia. Banyak organisasi Islam yang

21
memanfaatkan dana-dana bantuan sejumlah LSM Barat untuk
menggarap perempuan-perempuan muslimah agar memiliki paham
kesetaraan gender ini.
Perempuan muslimah kini didorong untuk berebut dengan
laki-laki di lahan publik, dalam semua bidang. Mereka diberikan
angan-angan kosong, seolaholah mereka akan bahagia jika mampu
bersaing dengan lakilaki. Kedepan, tuntutan semacam ini mungkin
akan terus bertambah, di berbagai bidang kehidupan. Sesuai dengan
tuntutan pelaksaan konsep Human Development Index (HDI),
wanita dituntut berperan aktif dalam pembangunan, dengan cara
terjun ke berbagai sector publik.
Seorang wanita yang dengan tekun dan serius menjalankan
kegiatannya sebagai Ibu Rumah Tangga, mendidik anak-anaknya
dengan baik, tidak dimasukkan ke dalam ketegori ”berpartisipasi
dalam pembagunan”. Tentu, konsep semacam ini sangatlah aneh
dalam perspektif Islam dan nilai-nilai tradisi yang juga sudah
dipengaruhi Islam.

Kesetaraan Gender: Konsep dan Dampaknya terhadap Islam


Paham ‘kebencian’
Jika ditelusuri, ide “gender equality” (kesetaraan gender)
yang dianut oleh Wadud dan kaum feminis lainnya, bersumber dari
pengalaman Barat dengan pandangan hidup sekular-liberal. Menurut
Ratna Megawangi, ide kesetaraan gender ini bersumber pada
ideologi Marxis, yang menempatkan wanita sebagai kelas tertindas
dan laki-laki sebagai kelas penindas. Paradigma Marxis melihat
institusi keluarga sebagai “musuh” yang pertamatama harus
dihilangkan atau diperkecil perannya apabila masyarakat komunis
ingin ditegakkan, yaitu masyarakat yang tidak ada kaya-miskin, dan
tidak ada perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan. Keluarga
dianggap sebagai cikal-bakal segala ketimpangan sosial yang ada,
terutama berawal dari hubungan yang timpang antara suami dan
istri. Sehingga bahasa yang dipakai dalam gerakan feminisme
mainstream adalah bahasa baku yang mirip dengan gerakan kekiri-

22
kirian lainnya. Yaitu, bagaimana mewujudkan kesetaraan gender
melalui proses penyadaran bagi yang tertindas, pemberdayaan kaum
tertindas, dan sebagainya (Ratna Megawangi,1999:11).
Semangat kebencian terhadap laki-laki juga tampak
ditanamkan, misalnya, pada buku yang diterbitkan oleh Pusat Studi
Wanita UIN Yogyakarta, berjudul: Isu-Isu Gender dalam Kurikulum
Pendidikan Dasar dan Menengah (2004). Pada sampul belakang
buku ini ditulis: “Sudah menjadi keprihatinan bersama bahwa
kedudukan kaum perempuan dalam sejarah peradaban dunia, secara
umum, dan peradaban Islam secara khusus, telah dan sedang
mengalami penindasan. Mereka tertindas oleh sebuah rezim laki-
laki: sebuah rezim yang memproduksi pandangan dan praktik
patriakhisme dunia hingga saat ini. Rezim ini masih terus bertahan
hingga kini lantaran ia seakan-akan didukung oleh ayat-ayat suci.
Sebab itu, sebuah pembacaan yang mampu mendobrak kemapanan
rezim laki-laki ini merupakan kebutuhan yang sangat mendesak saat
ini untuk dilakukan.”
Karena berangkat dari semangat kebencian dan dendam
inilah maka para pengusung dan pengasong paham kesetaraan
gender ini terkadang menjadi gelap mata dan membabi buta dalam
upaya merombak hokum-hukum Islam. Mereka memandang
hukum-hukum Islam yang membeda-bedakan antara laki-laki dan
wanita perlu ditinjau kembali, karena hal itu termasuk dalam
kategori ”bias gender” dan menindas perempuan. Seperti sedang
melampiaskan ’dendamnya’ buku Isu-Isu Gender dalam Kurikulum
Pendidikan Dasar dan Menengah terbitan PSW UIN Yogya ini pun
lalu membongkar ajaran-ajaran Islam yang sudah final dan selama
ini sudah diterima oleh kaum Muslimin sebagai satu Ijma’ dari
generasi ke generasi. Hampir tidak ada aspek hukum yang luput dari
gugatan kaum aktivis gender dari UIN Yogya. Dalam aspek ibadah
misalnya, dipersoalkan: mengapa azan harus dilakukan oleh laki-
laki; mengapa wanita tidak boleh menjadi imam shalat bagi laki-
laki; mengapa dibedakan cara mengingatkan imam yang salah bagi

23
makmum laki-laki dan makmum wanita; mengapa shaf wanita harus
di belakang; mengapa imam dan khatib shalat Jumat harus laki-laki.

Menguji Konsep Kesetaraan Gender


Pada 9 Desember 2004, situs Kementerian Negara
Pemberdayaan Perempuan (http://www.menegpp.go.id), memuat
sebuah tulisan lumayan panjang berjudul ”KESETARAAN
GENDER”. Ada banyak informasi penting tentang program yang
diberi nama ”Kesetaraan Dan Keadilan Gender” (KKG).
Disebutkan dalam tulisan tersebut:
”Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG) sudah menjadi isu
yang sangat penting dan sudah menjadi komitmen bangsa-bangsa di
dunia termasuk Indonesia sehingga seluruh negara menjadi terikat
dan harus melaksanakan komitmen tersebut. Upaya mewujudkan
Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG), di Indonesia dituangkan
dalam kebijakan nasional sebagaimana ditetapkan dalam Garis-
Garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1999, UU No. 25 th. 2000
tentang Program Pembangunan Nasional-PROPENAS 2000-2004,
dan dipertegas dalam Instruksi Presiden No. 9 tahun 2000 tentang
Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam Pembangunan nasional,
sebagai salah satu strategi untuk mewujudkan keadilan dan
kesetaraan gender. Disamping itu pengarusutamaan gender juga
merupakan salah satu dari empat key cross cutting issues dalam
Propenas. Pelaksanaan PUG diisntruksikan kepada seluruh
departemen maupun lembaga pemerintah dan non departemen di
pemerintah nasional, propinsi maupun di kabupaten/kota, untuk
melakukan penyusunan program dalam perencanaan, pelaksanaan,
pemantauan dan evaluasi dengan mempertimbangkan
permasalahan kebutuhan, aspirasi perempuan pada pembangunan
dalam kebijakan, program/proyek dan kegiatan. Disadari bahwa
keberhasilan pembangunan nasional di Indonesia baik yang
dilaksanakan oleh pemerintah, swasta maupun masyarakat sangat
tergantung dari peran serta laki-laki dan perempuan sebagai pelaku
dan pemanfaat hasil pembangunan. Pada pelaksanaannya sampai

24
saat ini peran serta kaum perempuan belum dioptimalkan. Oleh
karena itu program pemberdayaan perempuan telah menjadi
agenda bangsa dan memerlukan dukungan semua pihak.”
Membaca penjelasan itu, kita sudah disodori satu pilihan
saja: program KKG harus dilaksanakan, karena sudah menjadi
program nasional. Tidak ada pilihan lain. Perempuan wajib
diberdayakan. Menurut Sensus Penduduk tahun 2000, penduduk
wanita berjumlah 49.9% (102.847.415) dari total (206.264.595)
penduduk Indonesia. merupakan sumberdaya pembangunan yang
cukup besar. Partisipasi aktif wanita dalam setiap proses
pembangunan akan mempercepat tercapainya tujuan pembangunan.
Kurang berperannya kaum perempuan, akan memperlambat proses
pembangunan atau bahkan perempuan dapat menjadi beban
pembangunan itu sendiri.
Sampai pada titik ini, tampak seolah-olah konsep dan
program KKG tidak bermasalah dengan Islam. Bahwa, perempuan
harus pintar; perempuan harus sehat; perempuan harus diperlakukan
dengan adil. Perempuan punya hak yang sama dengan laki-laki
untuk menuntut ilmu. Tidak dapat dipungkiri, ada sebagian kalangan
masyarakat yang masih membatasi hak-hak perempuan dalam
berbagai hal yang mestinya diperbolehkan.
Kultur patriarki memang ada pada sejumlah masyarakat,
sebagaimana halnya ada kultur matriarkhi yang juga ada pada
sebagian masyarakat. Maka, secara logis, program pemberdayaan
perempuan kemudian menjadi relevan dan masuk akal, sebab
memang secara umum, kondisi perempuan masih tertinggal
dibandingkan de-ngan lakilaki dalam berbagai bidang.
Ketertinggalan perempuan dan rendahnya keterlibatan mereka da-
lam ruang public ini kemudian dijadikan sebagai sebab rendahnya
Indeks Pembangunan Manusia/Human Development Index (HDI)
suatu negara. Tahun 1995, HDI Indonesia berada pada peringkat ke-
96. Tahun 1998, peringkat itu turun menjadi 109 dari 174 negara.
Tahun 1999 naik lagi pada peringkat 102 dari 162 negara dan tahun
2002, HDI Indonesia berada di urutan 110 dari 173 negara. Lalu,

25
tahun 2003, HDI Indonesia menempati urutan ke-112 dari 175
negara. Peringkat itu masih rendah jika dibandingkan dengan
negara-negara ASEAN lainnya seperti HDI Malaysia, Thailand,
Philippina yang menempati urutan 59, 70 dan 77.
Jadi, sebatas pada konsep itu, seolah-olah tidak ada masalah
yang serius pada isu KKG. Tingkat buta huruf dikalangan
perempuan memang lebih tinggi dibandingkan kaum laki-laki.
Tetapi, menurut survei BPS, 1998, ternyata usia harapan hidup (life
expectancy rate) perempuan lebih tinggi dibandingkan laki-laki,
yaitu 69,7 tahun berbanding 65,9 tahun. Entah mengapa kemudian
dalam hal ini tidak ada program khusus keadilan gender bagi laki-
laki. Mungkin laki-laki dianggap sudah mampu memperjuangkan
dirinya sendiri. Sebenarnya, dalam penentuan HDI versi UNDP
(United Nation Development Program), ada masalah yang sangat
serius. Menurut Dr. Ratna Megawangi, ukuran keberhasilan
pembangunan nasional yang diukur oleh UNDP adalah GDI
(Gender Development Index), yaitu kesetaraan antara laki-laki dan
perempuan dalam usia harapan hidup, pendidikan, jumlah
pendapatan, serta GEM (Gender Empowerment Measure), yang
mengukur kesetaraan dalam partisipasi politik dan beberapa sector
lainnya. Misalnya, apabila laki-laki dan perempuan sama-sama
berpenghasilan dua juta rupiah setahun, menerima pendidikan sama-
sama sepuluh tahun, atau proporsi yang aktif dalam politik sama-
sama 20 persen, maka angka GDI dan GEM adalah 1, atau telah
terjadi ”perfect equality”. Konsep kesetaraan kuantitatif (50/50)
inilah yang diidealkan oleh UNDP, sehingga lembaga ini
mengharapkan seluruh negara di dunia dapat mencapai kesetaraan
yang demikian.
Inilah pemaksaan konsep kesetaraan yang dalam banyak hal
justru merugikan perempuan sendiri. Ide pembebasan wanita dari
citra sebagai ”ibu”, sudah digagas oleh John Stuart Mill, melalui
bukunya, The Subjection of Women (1869). Menurut Mill, pekerjaan
perempuan di sektor domestik (rumah tangga) merupakan pekerjaan
irasional, emosional, dan tiranis. Karena itu, Mill meminta

26
perempuan menekan dan menghilangkan segala aspek yang ada
kaitannya dengan pekerjaan domestik agar ”kebahagiaan” tertinggi
dapat dicapai.
Hal senada disampaikan oleh Sarah Grimke (1838) yang
menyatakan bahwa wanita yang menikah telah terpenjara dalam
sebuah tirani, di bawah kekuasaan seorang tiran (suami). Katanya:
”Man has exercised the most unlimited and brutal power over
women in the peculiar characterf husband – a word in most
countries synonymous with tyrant”(Ibid, hal: 119-120).
Jika dicermati, gagasan kaum feminis liberal di AS itu
kemudian semat dicoba diterapkan oleh Tim Pengarusutamaan
Gender Departemen Agama Republik Indonesia dengan
menerbitkan sebuah buku bertajuk “Pembaruan Hukum Islam:
Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam” (2004). Misalnya,
dalam perkawinan, calon suami atau istri dapat mengawinkan
dirinya sendiri (tanpa wali), asalkan calon suami atau istri itu
berumur 21 tahun, berakal sehat, dan rasyid/rasyidah. (pasal 7 ayat
2). Juga, ijab-qabul boleh dilakukan oleh istri-suami atau sebaliknya
suami-istri. (pasal 9). Masa iddah bukan hanya dimiliki oleh wanita
tetapi juga untuk laki-laki. Masa iddah bagi laki-laki adalah seratus
tiga puluh hari (pasal 88 ayat 7(a)). Dan sebagainya. Jadi, secara
konseptual dan juga faktual, ide KKG itu sendiri sudah sangat
bermasalah. Mitos kebahagiaan yang dikejar kaum pegiat KKG
tidak selalu sejalan dengan kebutuhan banyak perempuan di dunia.
Tapi, program ini dijejalkan dan dipaksakan kepada seluruh
perempuan.
Ratna Megawangi menunjukkan, bagaimana wanita-wanita
Jepang, misalnya, sangat berbahagia dengan kehidupan mereka
sebagai ”ibu rumah tangga.” Hasil survei The Economic Planning
Agency di Jepang tahun 1992 menunjukkan bahwa lebih dari 70
persen perempuan menyatakan bahwa pengasuhan anak adalah
tugas utamanya. Hasil polling kantor Perdana Menteri Jepang pada
tahun yang sama juga menunjukkan, 90 persen perempuan Jepang
menganggap pekerjaan rumah tangga seperti memasak dan mencuci

27
adalah tugas perempuan. Survei itu juga mengungkapkan, sebagian
besar perempuan Jepang menyatakan, perempuan sebaiknya tinggal
di rumah sampai anaknya masuk sekolah dasar. Dengan pendapat
seperti itu, ternyata, wanita Jepang mengaku bahagia. Hasil survei
Nihon Keizai Shimbun tahun 1993 menunjukkan, 86,2 persen
perempuan Jepang mengaku puas dengan kehidupan
perkawinannya.
Melihat kerancuan dan kejanggalan konsep dan gerakan
Kesetaraan Gender, Ratna Megawangi sampai pada kesimpulan:
”Oleh karena itu kesetaraan 50/50 yang diinginkan kaum egalitis,
adalah melibatkan perubahan struktur masyarakat, yang tentunya
menyangkut perubahan nilai, agama, dan budaya agar semuanya
menjadi seragam. Maka, ajakan UNDP (atau paling tidak para
pencetusnya yang menjadi konsultan UNDP) untuk mencapai
perfect equality 50/50 antara pria dan wanita, adalah sarat muatan
ideologis dan politis.”
Banyak kalangan pegiat KKG memang ingin membuang
jauh-jauh istilah ”pengabdian pada suami”, yang merupakan sumber
kebahagiaan pada perempuan. Menurut Ratna, konsep ini sering
tidak dimengerti oleh masyarakat Barat. Ia mencontohkan banyak
teman Jepangnya yang berbahagia dengan konsep pembagian tugas
yang jelas, bahwa suami sebagai pencari nafkah dan perempuan
sebagai ibu dan pengelola rumah tangga yang bertanggung jawab
atas wilayah keluarga dan pengasuhan anak Konsep ”kesetaraan”
sendiri sebenarnya sangat rumit dan bermasalah. Ratna Megawangi
menggambarkan kerancuan konsep dan gerakan kesetaraan gender
ini: ”Jika perhatian dan kehormatan yang diberikan kepada setiap
manusia sesuai dengan konteksnya, maka dambaan kaum egalitis,
feminis terutama agar wanita mendapatkan lot yang sama dengan
pria, dapat menjadi suatu dambaan yang mendatangkan
ketidakadilan. Seperti diuraikan sebelumnya, bahwa kaum feminis
yang didukung oleh UNDP, ingin agar jumlah wanita yang menjadi
anggota DPR harus sama dengan pria. Konsep ini akan adil bagi
wanita yang mempunyai ambisi menjadi politikus, tetapi merupakan

28
konsep yang tidak adil bagi mereka yang tidak berambisi sama
sekali. Dalam praktiknya, konsep ini dituangkan dalam kampanye
feminis untuk membebaskan perempuan dari ”penjara rumah
tangga”. Karena memang menurut mereka faktor biologis yang
mengantarkan wanita ke ”penjara rumah tangga” dapat menghalangi
para wanita untuk berkiprah setara dengan pria di sector publik. Para
feminis ingin mengubah pandangan masyarakat terhadap pekerjaan
domestik. Bahwa peran wanita sebagai ibu rumah tangga adalah
peran yang ”merampok hidup perempuan”, ”perbudakan
perempuan”, dan sebagainya.”

Kodrat atau Budaya?


Masih menurut situs Meneg PP, Gender berbeda dengan
Seks. Gender adalah ”perbedaan dan fungsi peran sosial yang
dikonstruksikan oleh masyarakat, serta tanggung jawab laki-laki dan
perempuan, sehingga gender belum tentu sama di tempat yang
berbeda, dan dapat berubah dari waktu ke waktu.” Sedangkan seks
adalah jenis kelamin yang terdiri dari perempuan dan laki-laki yang
telah ditentukan oleh Tuhan. Oleh karena itu tidak dapat ditukar atau
diubah. Ketentuan ini berlaku sejak dahulu kala, sekarang dan
berlaku selamanya.
Dalam bahasa lain, kita bisa memahami, bahwa gender
bersifat kultural, temporal, dan situasional. Sedangkan seks sifatnya
kodrati dan abadi. Jadi, kata mereka: ”Gender bukanlah kodrat
ataupun ketentuan Tuhan. Oleh karena itu gender berkaitan dengan
proses keyakinan bagaimana seharusnya laki-laki dan perempuan
berperan dan bertindak sesuai dengan tata nilai yang terstruktur,
ketentuan sosial dan budaya ditempat mereka berada. Dengan
demikian gender dapat dikatakan pembedaan peran, fungsi,
tanggung jawab antara perempuan dan laki-laki yang
dibentuk/dikonstruksi oleh sosial budaya dan dapat berubah sesuai
perkembangan zaman.”
Dengan demikian, masih menurut situs Meneg PP, perbedaan
gender dan jenis kelamin (seks) adalah: Gender dapat berubah, dapat

29
dipertukarkan, tergantung waktu, budaya setempat, dan bukan
merupakan kodrat Tuhan, melainkan buatan manusia. Sedangkan
seks tidak dapat berubah, tidak dapat dipertukarkan, berlaku
sepanjang masa, berlaku dimana saja, di belahan dunia manapun,
dan merupakan kodrat atau ciptaan Tuhan.
Seks bersifat abadi? Padahal, faktanya, mereka sendiri tidak
memberikan batasan yang jelas. Dalam konsep perkawinan,
misalnya, mereka memandang bahwa seks bisa berubah. Jenis
kelamin bisa bergantian. Karena itulah, banyak aktivis gender yang
menerima perkawinan sejenis. Aktivis KKG, Prof. Musdah Mulia,
misalnya, menyatakan: yang diharamkan adalah perilaku seksual,
bukan jenis kelamin sosialnya. Menurut dia, yang dilarang dalam
Islam adalah perilaku seksual dalam bentuk sodomi atau liwath.
Tetapi, perkawinan sesame jenis, menurutnya, dihalalkan. Dia
menyatakan, bahwa ”berpasangan itu tidak mesti dalam konteks
hetero, melainkan bisa homo, dan bisa lesbian.” Bahkan, katanya,
”Esensi ajaran agama adalah memanusiakan manusia, menghormati
manusia dan memuliakannya. Tidak peduli apa pun ras, suku, warna
kulit, jenis kelamin, status sosial dan orientasi seksualnya. Bahkan,
tidak peduli apa pun agamanya.” (Jurnal Perempuan, Maret 2008).
Jadi, kita bisa melihat, bagaimana lemahnya definisi ”seks”
dan ”gender”, sebagaimana dirumuskan para pegiat KKG tersebut.
Kita uji lagi konsep mereka yang lain. Simaklah kembali frase
berikut: ”Dengan keadilan gender berarti tidak ada pembakuan
peran, beban ganda, subordinasi, marginalisasi dan kekerasan
terhadap perempuan maupun laki-laki.”
Maka, menurut konsep KKG, ”tidak ada pembakuan peran”,
antara laki-laki dan perempuan. Menurut mereka, tidak ada peran
yang pasti, misalnya, bahwa fungsi perempuan adalah sebagai ”ibu
rumah tangga”. Bisa juga, misalnya, laki-laki sebagai ”bapak rumah
tangga”. Tidak ada pembakuan peran, bahwa lakilaki adalah sebagai
”kepala rumah tangga”. Tidak ada konsep yang pasti, bahwa
perempuan sebagai ”pengasuh anak” dan laki-laki sebagai pencari

30
nafkah. Jika lakilaki ditempatkan sebagai ”kepala rumah tangga”
maka berarti menggugurkan konsep ”kesetaraan” itu sendiri.
Jangan heran, jika pada hampir seluruh buku yang
memperjuangkan KKG, salah satu konsep yang digugat adalah
”kepemimpinan laki-laki” dalam rumah tangga. Dalam konsep
Islam, selama ini, sudah biasa dipahami, bahwa mencari nafkah
adalah kewajiban lakilaki. Sedangkan kewajiban perempuan adalah
menjadi ibu rumah tangga. Islam memandang itu sebagai hal yang
fitri, bukan soal kultur atau budaya. Konsep Islam seperti ini
kemudian terkait dengan serangkaian konsep-konsep lain, seperti
konsep tanggung jawab terhadap keluarga, konsep waris, konsep
perkawinan, konsep mahar, dan sebagainya. Ketika konsep yang
satu dibongkar, maka secara otomatis, konsep lain harus dibongkar
pula. Selama ini, Islam memandang beban mencari nafkah ada pada
laki-laki. Perempuan boleh bekerja. Perempuan tidak dilarang
bekerja, asal dengan izin suami. Jika perempuan bekerja, maka
penghasilannya mutlak menjadi milik pribadinya. Sebaliknya,
lakilaki wajib menganggung nafkah keluarganya, sehingga
penghasilannya secara otomatis bukan mutlak menjadi miliknya.
Jika konsep KKG diterapkan, maka secara otomatis, konsep
kewajiban mencari nafkah bagi lakilaki pun harus dibuang pula,
karena keduanya dianggap telah ”setara”.
Pada akhirnya, jika kita telaah, gagasan dan gerakan KKG
memang banyak mengandung persoalan serius. Tidaklah patut
konsep ini ditelan begitu saja oleh kaum Muslim. Seharusnya, kaum
Muslim bangga dengan konsepsi keluarga dan masyarakat yang
telah ditentukan oleh Islam. Nabi Muhammad saw adalah nabi untuk
seluruh manusia. Bukan hanya untuk bangsa Arab saja. Konsep-
konsep keluarga, juga hubungan laki-laki dan perempuan dalam
Islam, sudah begitu jelas dipaparkan dalam al-Quran dan Sunnah.
Kaum muslimah selama berabad-abad sudah ridha dengan perannya
sebagai muslimah. Kini, pemahaman mereka terhadap Islam, sedang
diuji dan digempur dengan kuat oleh kaum feminis yang ingin
merombak tatanan keluarga dan masyarakat Muslim.

31
Sumber Referensi

Adian Husaini, Seputar Paham Kesetaraan Gender Kerancuan


Kekeliruan dan Dampaknya. Depok: Adabi Press. 2012.

32
GENDER DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
Oleh : Sujandi_1138030200_5-F

Pandangan Gender
Wacana gender dalam hukum islam, ada tiga wujud yang
berbeda. Yaitu aliran konservatif, liberal dan sederhana. 1 Aliran
konservatif dikenal juga sebagai ;pola tradisionalis reduksioni s
yang menolak dan menafikan sama sekali kewujudan bias gender
dalam fiqih islam. Pola ini yang rata-ratanya dipegang kuat oleh
kalangan para ulama tradisional dipedesaan. Mereka menolak benar-
benar kehadiran isu gender dan feminisme. Dengan berpandangan
para kalangan ulama ini menganggap bahwa wanita hanya cukup di
ranah domestik saja, wajib menutup mata dan psntsng bagi wnaita
untuk bekerja lebih dari pada pria.
Aliran liberal rata-ratanya terdiri dari kalangan laki-laki dan
wanita yang mendapat didikan dari kalangan atau pendidikan liberal
barat, terutama setelah pasca modernis. Banyak diantara mereka
terpengaruh oleh gerakan feminis barat yang menuntut persamaan
hak antara laki-laki dan perempuan. Mereka melakukan
demaskulinisasi epistimologi ilmu agama, dan merombak sistem
patriarki-ortodoksi dalam masyarakat muslim dunia.
Sebagai contoh, pewaris laki-laki dan wanita meski dalam
jumlah yang sama bagi melambangkan kesetaraan gender. Aliran ini
dapat dilihat dalam pemikiran sahrour, arkoun dan lainya.
Ditengah-tengah pertentangan dua hal tersebut, lahirlah
gerakan sederhana atau moderat yang menerima isu-isu gender
dalam batas tertentu selagi dalam koridor islam. Mereka lebih

1
Jajat Burhanudin, Dan Oman Faturrahman, Tentang
Perempuan Islam: Wacana Dan Gerakan. Jakarta: Gramedia
Pustakan Utama, 2004.H. 187-205.

33
melihat sisi postitifnya dalam dua pandangan tersebut yaitu bagi
orang-orang yang melarang atau menolak sama sekali dan menilai
pandangan feminis-liberalis kontekstualis. Meraka yang mengambil
keputusan ini bahwa dalam islam ada hal-hal yang semestinya
fleksibel. Dengan berlandasan realita sosial yang ada dimasayarakat.
Contohnya, isu poligami. Boleh melakukan hal tersebut
asalkan dengan sayarat-syarat tertentu dalam melakukannya, tidak
sembarang ornag yang berhak malkukanya. Tentang kepemimpinan
wanita, yang banyak diuangkapkan Imam Al-Gazali Dan Yusup
Alqhordawi.
Pengertian dan Konsep Analisis Gender
Dalam islam umumnya dan dalam peradaban bangsa melayu
pada khususnya, tiada kata yang tepat untuk menunjukan istilah
gender. Skenario ini tidak bermakna, dalam tradisi masyarakat
muslim tidak sembarang persoalan gender dalam hubungan antara
laki-laki dan perempuan. Namu, ajaran dan prinsip islam dan norma
dalam tradisi masyarakat muslim menjadi hubungan timbal balik,
dalam menentukan pola hubungan diantara keduanya.
Justru isltialh gender diambil dari bahasa arab Al-Jindar Atau
Alnaw-Al-Ijtima’i dalam bahasa melayu dengan ejaana yang sama
yaitu gender. Istilah gender mula digunakan dalam bidang
psikoanalisis sebelum dikembangkan dalam wacana feminisme. 2
Gender adalah suatu istilah yang digunakan untuk
menggambarkan pembedaan antara laki-laki dan perempuan secara
sosial. Gender adalah kelompok atribut dan prilaku yang dibentuk
secara kultural yanga da pada laki-laki dan perempuana.3

2
Pada tahun 1976, istilah ini mula digunakan dalam
bengkel “Subordination of Women” di University of Sussex. Lihat
Jane L. Parpart et al., eds. Theoretical Perspectives on Gender and
Development (Ottawa, Kanada: International Development Research
Centre (IDRC), 2000), 37.
3
J.Dwi Narwoko Dan Bagong Suyanto, Sosiologi Teks
Pengantar Dan Terapan, Jakarta: Prenada Msedia Group, 2005. H.
334.

34
Gender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki
maupun perempuan yang dikontruksi secara sosial maupun kultural
oleh masyarakat.4 Misalnya, bahwa perempuan dikenal dengan
lemah lembut, cantik, emosional, atau keibuan. Sementara laki-laki
dianggap: kuat, maskulin, rasional, jantan, perkasa, tegas dll. Ciri
dan sifat itu sendiri merupakan sifat-sifat yang bisa dipertentukan.
Artinya hal tersebut bisa berubah sesuai dengan kondisi dan keadaan
si manusia itu sendiri. Terutama dalam lingkungan sosial.
Margaret mead menyatakan bahwa jenis kelmin adalah
biologis, dan prilaku gender adalah prilaku kontruksi sosial.
Sedangkan meurut oakley (1972 dalam fakih, 1977) menjelaskan
bahwa gender adalah pembagian laki-laki dan perempuan yang
dikontruksi secara sosial maupun kultural.
Gender adalah konsep hubungan sosial yang membedakan
(memilah atau memisahkan) fungsi dan peran antara laki-laki dan
perempuan. Pembedaan fungsi dan peran ini tidak ditentukan karena
keduanya terdapat perbedaan biologis atau kodrat, melainkan
dibedakan meurut kedudukan, fungsi dan peranan masing-masing
dalam berbagai bidang kehidupan dan pembangunan.
Heyzer (1981:14) meneberi definisi gender. Gender
merupakan bentuk setelah kelahiran yaitu dikembangkan dan di
internalisasi oleh orang-orang dan lingkungan mereka.5 Echos dan
shadily menyebutkan bahwa gender adalah perbedaan yng tampak
pada laki-laki dan perempuan apabila dilihat dari nilai dan tingkah
laku.6

Kriteria Asas Analisis Gender


Pengungkapan masalah kaum wanita dengan menggunakan
analisis gender sering mendapat tentangan dari dalam kalangan

4
Mansoer Fakih, Analisis Gender Dan Transformasi
Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013. H. 8.
5
J.dwi narwoko dan bagong suyanto.
6
Echos dan sadily, 1983. H. 265.

35
kaum lelaki mahupun wanita sendiri. Ini kerana mempertanyakan
status kaum wanita pada dasarnya adalah mempersoalkan sistem dan
struktur yang telah mampan, bahkan mempertanyakan posisi wanita
bererti menggoncang struktur dan status quo ketidakadilan tertua
terhadap wanita dalam masyarakat di samping menggugat
keistimewaan (privilege) yang dinikmati kaum lelaki.33 Justeru
dalam menganalisis gender, kriteria utama yang perlu diberi
perhatian adalah membezakan di antara seks dan gender.7
Sehubungan dengan itu, dalam menganalisis gender, peranan
lelaki dan wanita dianalisis sama ada ia selaras dengan keadilan
gender atau tidak. Selain membezakan di antara seks dan gender,
kriteria asas lain yang perlu diberi perhatian adalah:

1. Gender dan marginalisasi perempuan


Bentuk ketidak adilan gender merupakan proses
marginalisasi perempuan adalah suatu proses pemiskinan atas satu
ejnis kelamin tertentu dalam hal ini adalah perempuan. Ada
beberapa perbedaan jenis dan bentuk, tempat dan waktu, serta
menakisme proses marginalisasi perempuan karena perbedaan
gender. Dari aspek sumber misalnya, marginalisasi atau proses
pemiskinan perempuan dapat bersumber dari kebijakan pemerintah,
keyakinan, tafsir agama, tradisi atau kebiasaan, bahkan asusmsi ilmu
pengetahuan.

2. Gender dan subordinasi


Pandangan gender ternyata sering menimbulkan subordinasi
terhadap perempuan. Anggapan bahwa wanita itu irrasional atau
emosional sehingga perempuan tidak bisa tampil memimpin, dengan
munculnya hal tersebut menempatkan kaum perempuan tidak
memiliki posisi penting.

7
Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi
Sosial, cet. 2 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007)

36
3. Gender dan stereotipe
Stereotipe adalah pelebelan atau penandaan pada suatu
kelompok tertentu. Yang paling bahaya dari stereotipe adalah sering
menimbulkan ketidak adilan yang diberikan kepada suku bangsa
tertentu. Misalnya, yahudi dibarat, cina diasia, dan kebanyakan
sumber ketidakadilan tersebut dilatar belakangi oleh perbedaan
gender.

4. Gender dan kekerasan


Kekerasan (violance) adalah serangan atau invansi terhadap
fisik maupun integritas mental psikologis seseorang. Banyak sekali
kekerasan yang disebabkan oleh anggapan gender. Yang disebut
dengan Gender Related Violance yang pada dasarnya, kekerasan
gender disebabkan oleh ketidak setaraan kekuatan yang ada dalam
masyarakat. Ada beberapa jenis kekerasan. Diantaranya:
1. Pemerkosaan terhadap perempuan
2. Pemukulan dan serangan fisik
3. Penyiksaan yang mengarah pada organ alat kelamin
4. Kekerasan dalam bentuk pelacuran
5. Kekerasan dalam bentuk pornografi
6. Kekerasan dalam bentuk sterilisasi keluarga berencana
7. Kekeraan terselubung
8. Dan kekerasan atau pelecehan seksual

5. Gender dan beban kerja


Banyak skali anggapan bahwa kaum wanita atau perempuan
adalah manusia yang sangat rajin, rapih dan konsisten dalam
bekerja. Serta tidak cocok atau tidak relevan jika perempuan
menjadi kepala rumah tangga atau pemimpin dalam keluarga.
Konsekwensi domestik ini harus dikerjakan sendiri oleh perempuan,
banyak sekali pekerjaan rumah tangga yang perlu diselesaikan,
bahkan apabila di keluarga miskin beban ini akan sangat berat.

37
Selain harus menyelesaikan pekerjaan rumah tangga perempuanpun
harus mencari nafkah hidup, bekerja keras dan harus pandai
membagi waktu. Maka, kaum perempuan secara otomatis memikul
beban ganba.8
Moser berpendapat bahwa perempuan tidak saja berperan
ganda, akan tetapi perempuan memiliki triple role: peran reproduksi,
yaitu peran yang berhubungan dengan peran tradisional di sektor
domestik, peran produktif, yaitu peran ekonomis di sektor publik,
dan peran sosial yaitu peran komunitas sosial.

Analisis Gender Dalam Hukum Islam


Hukum Islam bersifat dinamik. Ia selaras dengan perubahan
sosial masyarakat Islam. Dalam sejarah pembinaan hukum Islam,
berlaku fase perkembangan yang bersifat turun-naik. Bermula dari
zaman Nabi SAW, para Sahabat, Imam mujtahid hinggalah ke fasa
pasca tajdid, terdapat berbagai pandangan dalam penetapan hukum
Islam. Pandangan tersebut sama ada terlalu rigid atau ketat, ada
yang agak longgar. Ia selaras dengan metodologi istinbat hukum
yang digunakan. Walau bagaimanapun, dalam menganalisis gender
dalam hukum Islam, beberapa elemen boleh diaplikasikan, di
antaranya:
a. Marginalisasi Kaum Wanita Muslim Dalam teks keagamaan
terdapat berbagai elemen ketidakadilan mengakibatkan kerugian
kepada wanita, contohnya wanita tidak boleh memegang jabatan
tertentu, tidak boleh bekerja serta perlu menetap di rumah dan
wanita mendapat warisan separuh daripada bahagian lelaki.
b. Subordinasi Kaum Wanita Muslim Tafsiran agama juga
memainkan peranan yang penting dalam membenarkan dominasi
terhadap kaum wanita. Persoalannya, mengapakah al-Quran
menempatkan kedudukan lelaki di atas wanita? Dalam
memahami ayat “ ”‫ الرجال قوامون على النساء‬hendaklah diuraikan
sebagai deskripsi keadaan struktur dan norma sosial masyarakat

8
Mansoer Fakih, of.cit. 2013. H. 8

38
pada masa itu, dan bukanlah suatu norma ajaran yang harus
dipraktikkan. 9
Selain itu, timbul isu hak kawin wanita dinombor duakan,
bahagian waris wanita lebih kecil, wanita perlu mahram ketika
bermusafir, wanita muslimah tidak boleh berkahwin dengan
lelaki bukan Islam, 10 wanita tidak boleh menjadi imam solat
lelaki, tidak boleh azan, tidak wajib solat jumaat berbanding
lelaki, wanita muda dilarang ke masjid dan wanita perlu
menutup aurat seluruh badan.
c. Stereotaip Kaum Wanita Muslim Stereotaip merupakan
pelabelan terhadap suatu kelompok tertentu yang mengakibatkan
kerugian dan menimbulkan ketidakadilan. Salah satu jenis
stereotaip itu adalah bersumberkan Kaukab Siddique, The
Struggle of Muslim Women, terj. Arif Maftuhin, pandangan
gender yang dikembangkan melalui satu keyakinan tafsiran
keagamaan. Tetapi dalam kenyataannya banyak stereotaip yang
berhubung dengan sifat semula jadi kaum wanita yang
direndahkan kerana adanya konstruksi gender masyarakat Islam
yang bersumber tafsiran keagamaan. Misalnya, pandangan
bahawa menstruasi (haid) yang merupakan kejadian semula jadi,
telah melahirkan konstruksi sosial seolah-olah ‘kotor’ sehingga
perkara buruk sering menimpa mereka. Selain itu, wanita
dianggap sebagai penggoda dan penyebab Adam diturunkan ke
bumi. Wanita juga dianggap mempunyai tahap akal yang rendah,
kurang daya ingatan dan lebih beremosi berbanding rasional.

9
Kaukab Siddique, The Struggle of Muslim Women, terj.
Arif Maftuhin, Menggugat Tuhan yang Maskulin, Jakarta:
Paramadina, 2002), 11- 13; Mansour Fakih, “Posisi Kaum
Perempuan Dalam Islam: Tinjauan Dari Analisis Gender”,
Membincang Feminisme: Diskursus Gender Perspektif Islam, ed.
ke-2 (Surabaya: Risalah Gusti, 2000), 53
10
Mun’im Sirry, ed., Fiqih Lintas Agama: Membangun
Masyarakat Inklusif-Pluralis, cet. 7 (Jakarta: Paramadina, 2005),
164.

39
d. Kekerasan terhadap Kaum Wanita Muslim Kekerasan
(violence) adalah suatu serangan atau pencerobohan terhadap
fisik mahupun mental dan psikologi seseorang. Kekerasan
terhadap sesama manusia ini berdasarkan beberapa faktor. Salah
satu dari kekerasan terhadap satu gender adalah disebabkan oleh
anggapan gender atau gender-related violence yang berasaskan
keyakinan atau tafsiran umat Islam terhadap keagamaannya.
Bentuk-bentuk kekerasan tersebut adalah seperti pemukulan
(ketika isteri nusyuz) atau penderaan yang terjadi dalam
rumahtangga (domestic violence) termasuklah penyiksaan
terhadap anak (child abuse). Selain itu termasuk juga kategori
ini, kanak-kanak perempuan dikhitan, konsep mahram
yangmembataskan pergerakan wanita, wanita perlu ber‘iddah
dan berihdad selepas ditalak, sedangkan lelaki tidak. 11
e. Beban Kerja Kaum Wanita Muslim Dalam Islam, peranan
lelaki dan wanita dalam rumah tangga adalah berbeda yang mana
lelaki berperanan sebagai ketua keluarga dan pencari nafkah
sedangkan wanita berperanan menguruskan rumahtangga.
Meskipun di dalam al-Quran tidak dijelaskan bahawa peranan
mencari nafkah lebih bernilai berbanding menguruskan
keperluan rumahtangga, namun kenyataannya terdapat
diskriminasi penghargaan dan penilaian terhadap kedua- dua
peranan tersebut.12
Dalam realitas sosial, kaum wanita perlu keluar mencari nafkah
sama ada sebagai pencari nafkah utama atau sampingan, tetapi
tanggungjawab rumah tangga tetap dibebankan padanya. Situasi
ini menimbulkan dilema dalam rumah tangga.

11
Mohd Anuar Ramli, “Bias Gender Dalam Masyarakat
Muslim: Antara Ajaran Islam Dengan Tradisi Tempatan”, Jurnal
Fiqh 7 (Jabatan Fiqh & Usul, APIUM, 2010): 49-70
12
Zaitunah Subhan, Kekerasan, 62

40
Dalam perbincangan hukum Islam yang lebih luas, terdapat
sejumlah perbedaan hukum di antara lelaki dan wanita. Bagi
sesetengah pengkaji, perbebaan ini menggambarkan ketidakadilan
gender kerana menempatkan kedudukan wanita yang tidak sejajar
dengan lelaki (bias gender). Ini kerana keseteraaan gender
ditafsirkan sebagai persamaan mutlak antara lelaki dan wanita.
Setiap yang berbeda akan dianggap sebagai ketidak adilan.
Namun begitu, tidak dapat dinafikan wujudnya amalan yang bias
gender namun dinisbahkan sebagai ajaran Islam, sedangkan ia lebih
merupakan amalan tradisi suku (tribal tradition). Contohnya
pembunuhan kerana mempertahankan maruah. Ia bukan dari ajaran
Islam, sedangkan dalam Islam nyawa manusia antara hak yang
diutamakan berbanding maruah. Amalan ini banyak diamalkan di
negara-negara Islam di Indo Pakistan dan Timur Tengah. Selaras
dengan kewujudan perbebaan-perbebaan hukum di antara lelaki dan
wanita dalam hukum Islam, lahir persoalan, adakah Islam tidak
menjamin kesetaraan gender dan melebihkan kaum lelaki daripada
wanita? Dan adakah kaum wanita benar-benar mengalami bias
gender? Ataupun ketidakadilan itu adalah hasil salah faham dalam
menilai kedudukan lelaki dan wanita dalam Islam. Dengan kata lain,
ketidakadilan tersebut bukan sebahagian ajaran keagamaan,
sebaliknya tradisi masyarakat setempat atau pun ia adalah amalan
yang menyimpang (deviant) dari syariat Islam dan budaya tempatan
yang baik.
Menjawab persoalan ini, al-Qaradawi menegaskan perbebaan
di antara lelaki dan wanita dalam sesetengah hukum tidak bermakna
jenis lelaki lebih mulia dan lebih hampir kedudukannya di sisi Allah
SWT daripada jenis wanita. Sebaliknya perbedaan ini
berkehendakkan tugas dan tanggungjawab yang sesuai dengan fitrah
setiap lelaki dan wanita.13 Sesungguhnya manusia yang paling mulia

13
Nasr Salman & Su‘ad Suthi, eds. Fatawa al-Nisa’ li
Ashab alFadilah Yusuf al-Qaradawi, wa Mahmud Shaltut, wa ‘Abd

41
di sisi Allah SWT adalah mereka yang paling bertaqwa, tidak kira
sama ada lelaki atau wanita. Namun begitu, golongan feminis
Muslim menyifatkan koleksi pandangan hukum Islam hasil ijtihad
ulama klasik sarat dengan elemen kekerasan, bias gender dan tidak
adil kepada golongan wanita.
Paradigma maskulin yang mendasari berbagai keputusan
hukum para ulama ini menjadi sebab utama terbentuknya
diskriminasi komuniti Muslim terhadap wanita. Dengan istilah lain,
koleksi fiqh tersebut digelar sebagai fiqh patriaki (fiqh alabawi),
iaitu fiqh yang didominasi oleh kepentingan lelaki dan dalam masa
yang sama ia merugikan kaum wanita. Contohnya, dalam
perbincangan kitab kuning yang disifatkan sebagai bias gender
adalah nilai wanita separuh harga lelaki dalam kesaksian dan
pewarisan, wanita sebagai objek dalam rumah tangga.
Sehubungan itu, analisis gender boleh dijadikan satu
instrumen analisis sosial yang berkesan sekiranya mengambilkira
pandangan syariat Islam serta nilai tradisi masyarakat Muslim.
Dengan itu, keseimbangan antara apa yang dicitrakan dalam syariat
Islam dengan apa yang berlaku dalam realiti sosial dapat dianalisis
dengan adil dan saksama.

al-Halim Mahmud, wa Muhammad Mutawalli Sha‘rawi wa Ahmad


Hamani (Bayrut: Mu’assasah al-Risalah), 574-577.

42
Sumber Referensi

J.Dwi Narwoko Dan Bagong Suyanto, Sosiologi Teks Pengantar


Dan Terapan, Jakarta:Prenada Msedia Group, 2005.

Jajat Burhanudin, Dan Oman Faturrahman, Tentang Perempuan


Islam: Wacana Dan Gerakan. Jakarta: Gramedia Pustakan
Utama, 2004.

Nasr Salman & Su‘ad Suthi, eds. Fatawa al-Nisa’ li Ashab


alFadilah Yusuf al- Qaradawi, wa Mahmud Shaltut, wa
‘Abd al-Halim Mahmud, wa Muhammad Mutawalli Sha‘rawi wa
Ahmad Hamani. Bayrut: Mu’assasah al-Risalah

Mansoer Fakih, Analisis Gender Dan Transformasi Sosial,


Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013.

____________ “Posisi Kaum Perempuan Dalam Islam: Tinjauan


Dari Analisis Gender”, Membincang Feminisme: Diskursus
Gender Perspektif Islam, Surabaya : Risalah Gusti, 2000.

Mohd Anuar Ramli, “Bias Gender Dalam Masyarakat Muslim:


Antara Ajaran Islam Dengan Tradisi Tempatan”, Jurnal Fiqh
7 Jabatan Fiqh & Usul, APIUM, 2010.

Mun’im Sirry, ed., Fiqih Lintas Agama: Membangun Masyarakat


Inklusif-Pluralis, cet. 7 Jakarta: Paramadina, 2005.

Suguhastuti, Gender & Inferioritas Perempuan: Praktik Kritik


Sastra Feminis, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2010.

43
“HUMAN TRAFFICKING”

PERDAGANGAN PEREMPUAN DAN ANAK SEBAGAI


KEJAHATAN KEMANUSIAAN

Oleh: Sulastri_1138030201_5-F

Masihkah ada perdagangan perempuan ?


Perdagangan manusia sesungguhnya merupakan bagian
sejarah kelam perjalanan Negara. Bangasa Indonesia yang tidak
dapat dipungkiri. Sejarahwan Anthony Reid (1992), menyebutkan
daerah Jawa sebagai pengekspor budak terbesar ke Semenanjung
Mayala dalam memenuhi kebutuhan tenaga kerja di kota-kota
perdagangan di sana. Data lain menyebutkan, pada jaman kolonial
belanda, yaitu sekitar abad ke-19, kebanyakan buruh perbudakan
kolonial Belanda didatangkan dari Jawa, termasuk daerah
perkebunan milik kolonial Belanda di Suriname dan Kaledonia
Baru. Artinya, sejak zaman feodal hingga sekarang, perdagangan
manusia selalu ada dan muncul dengan berbagai bentuk, mengikuti
situasi dan kondisi zaman, dari bentuk yang sederhana dan
kasatmata hingga bentuk yang sulit dideteksi karena melibatkan
sindikasi yang teroganisasi dengan baik dan rapi. 14
Sangat tidak mudah mengindentifikasi kegiatan peragangan
perempuan atau trafficking in women ini, Karena pelakunya
seringkali merupakan sindikat yang terorganisasi dengan rapi dan
berkedok sebagai pencari tenaga kerja legal. Umumnya, mereka
datang untuk menawarkan menjadi TKW di luar negeri (yakni
sebagai migrant worker), pekeraj industri, dan sejumlah pekerjaan
lainnya.

14
Musdah, Siti. Muslimah Perempuan Pembaru Keagaman
Reformis. (Bandung: PT Mizan Putaka, 2005), h. 190

44
Perdagangan perempuan dan anak tidak hanya marak terjadi
dalam negeri, tetapi juga meluas ke Luar Negeri. Di antara Negara
tujuan adalah Timur Tengah dan Negara-negara di Lautan Pasifik,
seperti Jepang, Korea Selatan, Hongkong, Taiwan, serta ke Negara-
negara tetangga, seperti Malaysia dan Singapura.
Persoalan trafficking ini tidak mendapat perhatian serius.
Terutama dari kalangan pemerintah, sehingga upaya untuk
menghentikan trafficking ini masih impian kosong. Padahal, dalam
Pasal 6 Konvensi Penghapusan berbagai Bentuk Diskriminasi
Terhadap Perempuan (CEDAW) disebutkan: “aparat Negara akan
mengambil semua tindakan yang tepat, termasuk perundang-
undangan, untuk menekan semua bentuk perdagangan perempuan
dan eksploitasi pekerjaan seks perempuan” 15

Pengertian Perdagangan Perempuan dan Anak


Pasal 297 KUHP menjelaskan, yang dimaksud dengan
perdagangan anak perempuan adalah melakukan perbuatan dengan
maksud menyerahkan anak perempuan untuk tujuan pelacuran.
Termasuk dalam kategori ini adalah mencari perempuan di bawah
umur untuk dikirimkan ke luar negeri menjadi pekerja seks. Dengan
ungkapan lain perdagangan perempuan adalah perbuatan seseorang
atau sekelompok orang demi mencari keuntungan sendiri dengan
cara menyerahkan, menjual, dan mengeksploitasi perempuan untuk
dijadikan pelacur, TKW, atau pekerja lainnya.
Pada tahun 1994, Sidang Umum PBB meyetujui resolusi
menetang perdagangan perempuan dan anak yang bunyinya sebagai
berikut: “pemindahan orang melewati batas nasional dan
intersaional secara gelap dan melanggar hukum, terutama dari
Negara berkembang dan Negara dalam transisi ekonomi, dengan
tujuan memaksa perempuan dan anak perempuan masuk ke dalam
situasi dan eksploitasi secara seksual dan ekonomi, serta cara-cara
tidak illegal lainnya yang berhubungan dengan perdagangan

15
Ibid., h. 191

45
perempuan, seperti pekerja paksa domestik, kawin palsu, pekerja
gelap dan adopsi palsu demi kepentingan perekrut, pedagang dan
sindikat kejahatan”.
Indikator perdagangan perempuan di Indonesia, menurut
Resolusi Sidang Umum PBB tahun 1994 dan Global Allince
Against Traffic in Women (GAATW) 1999, terlihat pada tiga aspek
sebagai berikut:
1. Maraknya perpindahan perempuan dari satu tempat ke tempat
lain, baik terjadi di dalam negeri maupun di luar negeri, yang
bukan atas keinginan atau pilihan bebas perempuan
bersangkutan, melainkan karena paksaan oleh situasi, seperti
kemiskinan dan keinginan untuk memperbaiki nasib.
2. Adanya keuntungan yang diperoleh oleh perekrut, penjual, dan
sindikat atas perpindahan tersebut.
3. Adanya berbagai bentuk penipuan, termasuk janji palsu, ikatan
utang, perbudakan, pemaksaan, tekanan, dan pemerasan untuk
mencapai keuntungan.

Mengapa Timbul Perdagangan Perempuan dan Anak


Sebagaimana yang kita ketahui bahwa Hak asasi manusia
merupakan hak yang melekat pada diri setiap manusia. Tidak ada
yang dapat mengurangi dalam keadaan apapun, termasuk hak untuk
hidup, hak untuk tidak disiksa, tidak diperbudak, tidak
diperjualbelikan dan tidak dipaksa untuk melakukan yang tidak
disukai ataupun diperlakukan dengan tidak sesuai harkat, martabat
dan kehormatan dirinya sebagai manusia seutuhnya. 16
Bermula dari perspektif hak asasi manusia bahwa hak asasi
setiap orang untuk berpindah tempat atau migrasi dari suatu daerah
ke daerah lainnya untuk mencoba pengalaman hidup yang baru atau
untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik. Umumnya mereka

16
http://bem-umk13.blogspot.co.id/2012/07/artikel-
lindungi-anak-negeri-dari-human.html

46
bermigrasi menyatakan bahwa alasan ekonomi merupakan hal
utama. Kesempatan kerja terutama bagi perempuan di negera asal
pada umunya sangat terbatas.
Kebanyakan kaum perempuan memilih meniggalkan rumah
dan keluarganya untuk bermigrasi demi alasan ekonomi. Yakni
untuk meningkatkan pendapatan keluarga, membayar uang sekolah
anaknya, membayar utang, membayar biaya perawatan orangtua
yang sakit berkepanjangan, membeli sebidang tanah untuk digarap
sebagai sumber kehidupan kelak, dan membangun rumah yang lebih
layak. Berdasarkan penelitian solidaritas perempuan menjelaskan
bahwa 57 persen buruh migran terdorong kembali ke tempat kerja
karena alasan ekonomi, dan hanya 19 persen yang menyatakan
alasan di luar alasan ekonomi.17
Selain itu dengan banyaknya peluang yang sudah lebih
mudah bagi buruh untuk bermigrasi ke Negara yang lebih maju.
Ternyata hal ini menciptakan situasi yang merugikan bagi buruh
karena majikan dari Negara maju menganggap memperoleh
keuntungan yang lebih besar dengan memperkerjakan buruh migran
dari Negara yang lebih miskin.
Ternyata dengan hal peluang mudah tersebut menarik minat
para perempuan untuk melakukan imigrasi. Sementara kebijakan
keimigranan di sebagian Negara maju semakin ketat untuk
mengawasi arus migran, dan akibatnya para buruh memilih jalur
ilegal (tanpa dokumen) dan bekerjasama dengan penyelundup untuk
migrasi kerja. Serta konsekuensinya perempuan menjadi lebih
rentan terhadap para pedagang yang menawarkan mereka dengan
informasi palsu dan kesempatan-kesempatan yang tidak jelas.
Beberapa faktor yang mendorong terjadinya Human trafficking
antara lain :

17
Musdah, Op.Cit., h. 194

47
1. Kemiskinan (krisis ekonomi)
Masalah ekonomi adalah faktor yang sangat mempengaruhi
tindak kejahatan perdagangan manusia, karena seseorang
dituntut untuk mencukupi kebutuhan hidupnya, terlebih lagi jika
orang itu tidak memiliki pekerjaan tetap. Sehingga apapun
pekerjaannya asal dapat mencukupi kebutuhan dan mendapatkan
uang banyak dengan cara sederhana.

2. Kurangnya pendidikan dan informasi


Pendidikan dan informasi menjadi hal yang penting untuk
masyarakat. Melalui pendidikan terutama pelatihan dan
informasi, masyarakat akan mudah mencari pekerjaan dan tidak
menjadi pengangguran, sehingga mereka mendapatkan
penghasilan tanpa harus berpikir untuk bertindak kejahatan
seperti perdagangan manusia.

3. Kurangnya kepedulian orang tua


Disorganisasi keluarga sering menjadi penyebab salah satu
anggota keluarga menjadi korban dari perdagangan manusia.
Misalnya anak yang kurang kasih sayang dan perhatian orang
tua, akan lari mencari perhatian di dunia luar, sehingga bisa
terjebak dalam kelompok-kelompok kejahatan yang tidak
dikehendaki.

4. Penegakan hukum yang lemah di Indonesia


Sesuai kenyataan yang ada belum ada tindak lanjutnya bagi para
tersangka perdagangan manusia. Utamanya tingkat keamanan
perbatasan yang biasa digunakan sebagai tempat transaksi
manusia. Kemudian, tidak ditindak lanjuti pula para pekerja
illegal yang memaksakan kehendak untuk bekerja di luat negeri.
Hal tersebut harus diperketat dalam segi hukum pelaksanaannya,
supaya tidak terjadi pelanggaran hukum.

48
5. Budaya
Faktor-faktor budaya yang memberikan kontribusi terhadap
terjadinya human trafficking :
a. Peran Perempuan dalam Keluarga: Meskipun norma-
norma budaya menekankan bahwa tempat perempuan adalah
di rumah sebagai istri dan ibu, perempuan seringkali menjadi
pencari nafkah tambahan/pelengkap untuk kebutuhan
keluarga. Rasa tanggung jawab dan kewajiban membuat
banyak wanita bermigrasi untuk bekerja agar dapat
membantu keluarga mereka.

b. Peran Anak dalam Keluarga: Kepatuhan terhadap orang


tua dan kewajiban untuk membantu keluarga membuat anak-
anak rentan terhadap trafficking. Buruh anak, anak
bermigrasi untuk bekerja, dan buruh anak karena jeratan
hutang dianggap sebagai strategi-strategi keuangan keluarga
yang dapat diterima untuk dapat menopang kehidupan
keuangan keluarga.

c. Perkawinan Dini: Perkawinan dini mempunyai dampak


yang serius bagi para anak perempuan termasuk bahaya
kesehatan, putus sekolah, kesempatan ekonomi yang terbatas,
gangguan perkembangan pribadi, dan seringkali, juga
perceraian dini. Anak-anak perempuan yang sudah bercerai
secara sah dianggap sebagai orang dewasa dan rentan
terhadap trafficking disebabkan oleh kerapuhan ekonomi
mereka.

d. Sejarah Pekerjaan karena Jeratan Hutang: Praktek


menyewakan tenaga anggota keluarga untuk melunasi
pinjaman merupakan strategi penopang kehidupan keluarga
yang dapat diterima oleh masyarakat.

49
6. Kurangnya Pencatatan Kelahiran
Orang tanpa pengenal yang memadai lebih mudah menjadi
mangsa trafiking karena usia dan kewarganegaraan mereka tidak
terdokumentasi. Anak-anak yang ditrafik, misalnya, lebih mudah
diwalikan ke orang dewasa manapun yang memintanya. 18

Mengapa Kasus Trafficking Meningkat?


Perdagangan perempuan sesungguhnya tidak lain adalah
bentuk migrasi yang dilakukan dengan tekanan, bukan atas kemauan
sendiri. Sebab dalam praktiknya mereka itu direkrut melalui
berbagai bentuk modus penipuan, termasuk melalui perkawinan
untuk selanjutnya dibawa ke Negara lain dengan tujuan
diperdagangkan secara paksa dan biasanya disertai ancaman
kekerasan.
Setidaknya ada dua faktor utama yang menambah suburnya
praktik perdagangan perempuan di Indonesia, yaitu kemiskinan dan
pengangguran. Kemiskinan dan pengangguran telah memaksa
banyak perempuan, termasuk yang masih anak-anak terjebak dalam
berbagai bentuk mafia perdagangan manusia.
Umumnya perdagangan perempuan ke luar negeri ini
dilakukan dengan dua pola:
1. Dilakukan dengan merekrut perempuan dari desa untuk
selanjutnya dibawa ke kota untuk bekerja dan kemudian
diperdagangkan ke luar negeri.
2. Perempuan diambil dari desa dan langsung diperdagangkan ke
luar negeri.
Terdapat sejumlah kelompok perempuan yang rentan untuk
dijadikan sasaran empuk. Diantaranya:
1. Perempuan muda dari keluarga miskin.
2. Perempuan yang orangtuanya sudah meninggal.

18
http://obormalam.blogspot.com/2014/02/perdagangan-
manusia.html

50
3. Janda atau perempuan yang dicerai.
4. Perempuan dengan pendidikan dan keterampilan terbatas.
5. Perempuan yang sedang mengalami krisis ekonomi.
6. Pekerja seks yang beranggapan bekerja di luar negeri lebih
menjanjikan pendapatan yang lebih besar dan kehidupan yang
menyenangkan.

Bentuk-bentuk kekerasan yang dialami perempuan yang


diperdagangkan adalah pemerkosaan, penyerangan, penganiayaan
seksual, penganiayaan fisik, intimidasi dan ancaman, isolasi fisik
dan sosial, dan perbudakan.
Anak-anak adalah sasaran berikutnya yang sangat empuk
bagi para pedagang manusia, karena mereka adalah kelompok yang
lebih lemah daripada orang dewasa. Disamping itu, mereka lebih
mudah dirayu dan digoda dengan iming-iming uang serta kehidupan
menyenangkan. Merek umunya lebih lugu dan polos sehingga
mereka tidak mudah curiga dan gambapang didekati. Namun
sebagaimana orang dewasa, mereka juga diperdagangkan untuk
tujuan prostitusi, kerja paksa, adopsi dan menjadi objek pornografi.
Umumnya mereka yang terjun menjadi pekerja seks adalah
karena tidak mendapatkan pilihan pekerjaan lain, dan mereka pikir
pekerjaan seks inilah satu-satunya pilihan yang tersedia dihadapan
mereka.

Modus Operandi Perdagangan Perempuan dan Anak


Ada banyak modus operandi yang digunakan dalam kasus
trafficking ini diantaranya:
1. Untuk konsumsi pedofil, adanya dukungan satu sama lain antara
penjual dan pembeli. Maraknya penjual menawarkan anak dan
remaja yang rata-rata berusia 9 hingga 15 tahun untuk
dikonsumsi kaum pedofil.
2. Perkawinan transnasional, dalam modus perkawinan beberapa
bentuk modus yaitu:

51
- Dengan di iming-iming perkawinan lalu disalurkan ke
industri seks atau prostitusi.
- Perkawinan yang dikomersialkan “istri pesanan”.
- Perkawinan kontrak

Ada beberapa bentuk trafficking manusia yang terjadi pada


perempuan dan anak-anak.
1. Kerja Paksa Seks & Eksploitasi seks, baik di luar negeri maupun
di wilayah Indonesia.
2. Pembantu Rumah Tangga (PRT), baik di luar ataupun di wilayah
Indonesia.
3. Bentuk Lain dari Kerja Migran, baik di luar ataupun di wilayah
Indonesia.
4. Penari, Penghibur & Pertukaran Budaya terutama di luar negeri.
5. Pengantin Pesanan, terutama di luar negeri.
6. Beberapa Bentuk Buruh/Pekerja Anak, terutama di Indonesia.
7. Trafficking/penjualan Bayi, baik di luar negeri ataupun di
Indonesia.

Sasaran yang rentan menjadi korban perdagangan perempuan


antara lain :
1. Anak-anak jalanan
2. Orang yang sedang mencari pekerjaan dan tidak mempunyai
pengetahuan informasi yang benar mengenai pekerjaan yang
akan dipilih.
3. Perempuan dan anak di daerah konflik dan yang menjadi
pengungsi.
4. Perempuan dan anak miskin di kota atau pedesaan.
5. Perempuan dan anak yang berada di wilayah perbatasan anatar
Negara.
6. Perempuan dan anak yang keluarganya terjerat hutang.
7. Perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga, korban
pemerkosaan

52
Beberapa Contoh Kasus dari Traffiking
1. Di Maluku Utara misalnya, anak-anak yatim yang menjadi
korban kerusuhan, dangan kedok akan disekolahkan ke pondok
pesantren, ternyata setiba di tempat tujuan justru di jual dan di
perkerjakan sebagai pembantu rumah tangga. Bagi keluarga
yang menginginkan anak-anak itu, mereka harus menebus 175
ribu dengan alasan sebagai pengganti biaya perjalanan dari Pulau
ke Ternate.19

2. Komnas Perlindungan Anak juga mensinyalir, sebagian anak-


anak pengungsi dari Atambua ternyata diperdagangkan untuk
diperkerjakan menjadi PSK (pekerja seks komersail). Sementara
itu, di Sulawesi Tengah, seorang ibu dilaporkan tega menjual
anak kandungnya yang masih berusia 7 bulan seharga 500 ribu
hanya karena alasan ekonomi dan keinginan untuk membeli tape
recorder.20

3. Di Surabaya, pertengahan bulan November 2000 juga


diberitakan kasus eksploitasi dan perdagangan seksual beberapa
remaja putri oleh pasangannya sendiri, entah karena alasan untuk
hidup ataukah karena mereka terjerat pada pengaruh narkoba
yang tidak bisa dilepaskan begitu saja. Ceritanya, entah karena
terlena oleh bujuk rayu atau karena ketergantungan dan paksaan,
beberapa anak-anak perempuan terpaksa pasrah ketika diminta
pasangannya untuk menjajakan diri. Mereka baru berontak dan
melaporkan kejadian itu kepada polisi ketika tindakan
pasangannya sudah dianggap melampaui batas.

4. Di Surabaya, misalnya Juli 2002 dilaporkan di media masa


bagaimana aparat kepolisian berhasil mengungkap praktik

19
Surabaya pos, 7 Oktober 2000
20
Jawa pos, 18 Oktober 2000

53
perdagangan anak perempuan yang dipaksa bekerja di sektor
prostitusi. Menurut pengakuan salah satu pelaku, paling tidak
sudah ada lima anak perempuan di bawah 18 tahun yang
diperdaya dan kemudian dijual ke germo di kompleks lokalisasi
di Surabaya. Harga persatu korban rata-rata 1 juta rupiah. Modus
yang dikembangkan pelaku adalah mereka mencoba mendekati
korban, mencarinya, kemudian setelah berhasil diperdaya dan
korban tertipu menyerahkan keperawanannya, baru kemudian
korban dijual ke germo yang sudah menjadi langganan mereka. 21

5. Ciawi, Setelah lebih dari sebulan tak pulanh kerumah, akhirnya


Putri Rusdianti (20) warga RT 04/06, Kampung Ranji, Desa
Telukpinang akhirnya dilaporkan pihak keluarga ke Mapolsek
Ciawi, kemarin. Ibu korban, Yanti (40) mengatakan, anaknya
meninggalkan rumah sejak Minggu (4/11). Saat itu, Putri
berpamitan bersama temannya Novia (19) untuk menghadiri
pesta ulang tahun di kawasan Tajur, Kecamatan Bogor Timur,
Kota Bogor.Namun, hingga malam hari Putri tidak pulang.“
Sejak malam itu, saya langsung mencari dan bertanya kepada
teman-temannya, tapi mereka tidak tahu,” ungkapnya.
Penasaran, Yanti kemudian mendatangi rumah Novi namun
tidak membuahkan hasil. “ Katanya, anak saya sudah pulang,”
ujarnya saat di Mapolsek Ciawi.Yanti menambahkan, anaknya
memiliki ciri tinggi sekitar 160 cm, rambut hitam lurus panjang
dan tahi lalat kecil di bagian bibir sebelah kiri. 22

Memerangi Perdagangan Perempuan dan Anak


Dalam menghadapi kasus-kasus perempuan dan anak ini
pemerintah diharapkan untuk serius memperhatikan ratifikasi dan
melaksanakan konvensi internasional tentang perdagangan manusia
dan perbudakan melalui langkah-langkah berikut:

21
Kompas, 27 Juli 2002
22
Radar Bogor, 14 Desember 2012

54
1. Memperketat peraturan perundang-undangan dengan tujuan
menyediakan perlindungan yang lebih baik bagi hak-hak
perempuan dan anak.
2. Mengambil tindakan yang tepat untuk mencari akar
permasalahan dari praktik perdagangan manusia.
3. Ditekankan juga agar pemerintah tidak memperlakukan para
perempuan yang menjadi korban perdagangan sebagai bentuk
kriminal. Sikap yang demikian dapat dianggap sebagai salah satu
bentuk kekerasan Negara dan pelanggaran HAM terhadap kaum
perempuan.

Hal yang paling penting dilakukan sebagai upaya pencegahan


praktik-praktik perdagangan perempuan dan anak adalah
meningkatkan kesadaran dan memberi informasi kepada para
perempuan tentang bahaya perdagangan manusia sebelum mereka
memutuskan untuk berimigrasi.
Informasi yang harus di sampaikan itu paling sedikit memuat
tentang dua hal penting, yaitu:
1. Informasi mengenai berbagai jalur yang tersedia untuk migrasi,
baik legal maupun ilegal. Penjelasan mengenai sejumlah
persyaratan untuk imigrasi, prosedur, dan konsekuensi dari
berbagai pilihan yang diambil. Kemungkinan untuk dideportasi
jika menggunakan migrasi tanpa dokumen dan juga
kemungkinan kesulitan untuk mendapatkan bantuan pemerintah,
dan perlindungan yang sesuai dengan undang-undang
perburuhan. Perempuan yang akan bermigrasi juga harus
menyadari bahwa peraturan dan kebijakan di Negara tujuan akan
mendiskriminasikan hak-hak mereka. Selain itu, mereka juga
harus diberi informasi tentang sejumlah bentuk perbedaan yang
akan mereka hadapi di Negara tujuan, misalnya, berupa
perbedaan bahasa, adat kebiasaan, makanan, agama dan rasisme.
2. Informasi mengenai bentuk-bentuk perilaku kekerasan dalam
perdagangan manusia. Kaum perempuan perlu mendapatkan
informasi seluas-luasnya mengenai seluk-beluk kegiatan

55
prostitusi dan bentuk-bentuk komersialisasi seks lainnya, kawin
paksa, dan buruh paksa. Perdagangan manusia melalui kedok
migrasi pada umumnya diwarnai dengan perilaku sebagai
berikut: janji-janji palsu, yakni diimingi-imingi dengan
pekerjaan yang mudah dan ringan dengan upah besar disertai
kondisi lingkungan kerja yang menyenangkan. Mereka terkena
jerat utang dengan bunga yang tinggi, pemaksaan prostitusi,
penahanan gaji, dan penyitaan dokumen perjalanan. Banyak
pekerja migran bekerja dalam kondisi seperti budak dan tidak
menerima gaji. Yang tidak kalah pentingnya juga adalah
informasi tentang penganiayaan seksual atau kekerasan domestik
yang dilakukan terhadap perempuan yang migrasi melalui
perkawinan sebagai istri pesanan.

Selain itu perlu ada upaya yang sistematik dan terintegrasi


dari semua pihak, pemerintah, masyarakat, dan LSM untuk
membuka semua selubung praktik perdagangan perempuan,
pemberantasan habis semua mafia perdagangan, dan memberikan
sanksi yang seberat-beratnya kepada semua pihak yang terlibat
dalam praktik perdagangan ini. Terkahir, tidak kurang pentingnya
agar semua pihak bersama-sama memberdayakan masayarakat
dengan melakukan kegiatan kampanye pencegahan, memberikan
informasi yang lengkap dan jelas guna membantu masyarakat,
khususnya para perempuan, sehinga mereka terhindar dari
perdagangan yang eksploitatif.

Islam Mengecam Perdagangan Perempuan dan Anak


Dalam wacana islam klasik dikenal istilah bai’bigha’
bai’bigha’ yang secara tekstual berarti jual-beli pelacur. Istilah ini
sering digunakan oleh para fuqaha untuk mengekspresikan praktik
eksploitasi pelacur atau komoditiasasi perempuan yang akhir-akhir
ini merebak menjadi isu global di tingkat dunia dengan istilah yang
lebih keren, traffickoing in women (perdagangan perempuan).

56
Sebagai sumber utama ajaran islam dan diwahyukan pada
abad ke-7 Masehi, Al-Quran ternyata sejak awal telah
membicarakan persoalan perdagangan perempuan ini dengan
penuturan yang sangat jelas terdapat dalam QS Al-Nur (24): 33.
“Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah
menjaga kesucian dirinya sehingga Allah memampukan mereka
dengan karunia-Nya. Dan budak-budak yang kalian miliki yang
menginginkan perjanjian, hendaklah kalian buat perjanjian dengan
mereka, jika kalian mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan
berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang
dikaruniakan-Nya kepada kalian. Dan janganlah kalian paksa
budak-budak perempuan kalian untuk melakukan pelacuran,
padahal mereka itu sesungguhnya menginginkan kesucian,
sementara tujuan kalian hanyalah untuk mencari keuntungan
duniawi. Dan barang siapa memaksa mereka, maka sesungguhnya
Allah Maha pengampun lagi Maha Penyayang terhadap mereka
yang dipaksa.”
Berdasarkan hadist yang diriwatkan Jabir ibn ‘Abdillah,
diperoleh informasi bahwa ayat tersebut diturunkan berkenaan
dengan perilaku seorang laki-laki bernama ‘Abdillah bin Ubay yang
memaksa kedua budak perempuannya, Masikah dan Aminah, untuk
melacur agar dia memperoleh keuntungan dari pelacuran itu.
Sebagai kecaman Allah terhadap perilaku zalim ini, lalu turunlah
ayat yang dimaksud. Ayat ini menegaskan larangan kepada siapa
pun dan dengan alasan apa pun untuk melakukan penipuan,
pemaksaan atau eksploitasi terhadap perempuan, tak terkecuali para
perempuan yang berada dalam kekuasaan mereka, yakni budak-
budak mereka.
Perlu dipahami dengan baik bahwa ketika ayat ini turun
perbudakan telah menjadi tradisi karena sudah berabad-abad
mengakar dalam berbagai masyarakat dunia, termasuk masyarakat
Arab. Cerita-cerita yang mengenaskan berkenaan dengan
perbudakaan dijumpai dalam semua bangsa, seperti: Romawi,
Yunani, Inggris, Perancis, Amerika. Ketika islam datang, agama ini

57
tidak secara serta merta mengeliminasi praktik perbudakan. Akan
tetapi, ajarannya secara bertahap mengarahkan manusia kepada
upaya penghapusan segala bentuk perbudakan.
Bagi perempuan yang dipaksa melacur itu Allah
menjanjiukan ampunan dan kebebasan dari siksa dan dosa selama
mereka tetap yakin dan beriman kepada Allah Swt. Kondisi mereka
disamakan dengan kondisi seseorang yang dipaksa mengucapkan
kata-kata yang berkonotatif kafir, sementara hatinya tetap beriman
kepada Allah Swt. (Q.S Al-Nahl: 106).
Dalam salah satu sabdanya Rasulallah memosisikan orang
yang dipaksa berbuat maksiat, termasuk mereka yang
diperdagangkan untuk tujuan pelacuran, sama dengan posisi orang
yang khilap atau terlupa. Mereka dipandang tidak berdosa atas
perilaku maksiat yang dilakukannya. (HR. Ashabb Al-Sunan).
Sebaliknya tindakan memperdagangkan perempuan patut
dianalogikan dengan tindakan perkosaan dan perampasan, dan
hukuman yang paling pantas buat mereka di dunia adalah hukuman
mati.
Pada prinsipnya Islam mengecam segala bentuk eksploitasi,
siapa pun pelakunya dan apa pun alasannya, termasuk eksploitasi
dalam bentuk perdagangan perempuan. Pelakunya diancam dengan
siksaan dan azab yang pedih. Untuk itu sudah waktunya para ulama:
laki-laki dan perempuan bersuara vocal menanggapi maraknya
kasus perdagangan perempuan dan anak di masyarakat. Sudah
mendesak menjadikan isu ini sebagai bagian dari cermaah atau
khutbah keagamaan yang disampaikan di masjid, majelis taklim, dan
pertemuan rutin keagamaan lainnya, bahkan seharusnya para ulama
sudah menfatwakan haramnya seluruh aktivitas yang mendukung
terjadinya perdagangan perempuan dan anak, seperi propaganda
para calo yang selalu mengiming-imingi perempuan dengan
perekjaan yang mudah dan menjadikan uang;pemalsuan identitas
diri KTP, paspor, dan berbagai dokumen lainnya; pelaku petugas
imirgasi yang berkhianat karena telah disogok, pelaku aparat Pemda

58
yang menerbitkan dokumen palsu demu kelancaran upaya
perdagangan tersebut dan seterusnya.

Peran Perempuan Pemuka Agama


Di Indonesia sendiri ada yang namanya Indonesian
Conference on Religion and Peace, itu adalag sebuah organisasi
sosial kemasyarakatan yang berbasis agama dan kepercayaan. Di
dalamnya terhimpun para pemuka agama dan para pakar di bidang
dari berbagai agama dan kepercayan yang hidup di Indonesia.
Dimana visinya yaitu masyarakat agama yang damai dan harmonis
serta menjunjung tinggi nilai-nilai pluralism dan penghormatan
kepada kemanusiaan. Dan salah satu misi dari organisasi ini adalah
ICRP yaitu menyodorkan solusi terhadap berbagai problem sosial
yang dihadapi bangsa Indonesia, terutama problem sosial-
keagamaan, dengan menggunakan pendekatan agama dan
mengutamakan media dialog antaragama.
ICRP mempunyai kelompok perempuan yang di dalamnya
berhimpun para perempuan pemuka agama dari berbagai agama.
Orang-orang yang di dalamnya yaitu para pemimpin dan aktivis
organisasi perempuan berbasis agama dan para intelektual yang ahli
dalam bidang agama. Mereke ini mendapat sebutan women of faith.
Dalam aktivitasnya kelompok perempuan ini secara rutin berkumpul
membahas berbagai persoalan yang dihadapi bangas Indonesia.
Kemudian merumuskan action plan sebagai solusi terbaik bagi
problem tersebut.
Peran unik women of faith dalam menghadapi kasus
perdagangan perempuan dapat diklasifikasikan ke dalam dua bentuk
peran, yakni:
1. Peran advokasi : Mengadvokasikan pemerintah agar melahirkan
kebijakan dan program yang berpihak kepada keadilan dan
membela keopentingan perempuan.
2. Peran pencerahan dan pemberdayaan
 Merekonturksi ajaran agama yang bias nilai-nilai patriarki
dan merugikan posisi perempuan;

59
 Meningkatkan kesadaran dan keterampilan perempuan agar
tidak mudah terberdaya oleh para calo dan agen pencari
tenaga kerja;
 Menghimbau kepada seluruh perusahaan penyalur tenaga
kerja dan seluruh unsur terkait agar tidak mengekspliotasi
perempuan demi mengejar keuntungan materi;
 Membangun shelter untuk penampungan dan perlindungan
serta rehabilitas korban;
 Membangun jaringan dengan berbagai kelompok yang peduli
terhadap isu ini.

Sumber Referensi

Irianto, Sulistyowati, dkk. Perdagangan Perempuan Dalam


Jaringan Pengedaran Narkotika; kata pengantar: Prof. Saparinah
Sadli-edisi I. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia . 2005.
Musdah, Siti. Muslimah Perempuan Pembaru Keagaman Reformis.
Bandung: PT Mizan Putaka. 2005.
Pusat Kajian Wanita dan Gender, Universitas Indonesia. Hak Azasi
Perempuan Instrumen Hukum untuk Mewujudkan Keadilan
Gender. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2007.
Sunarto. Televisi, Kekerasan, dan Perempuan. Jakarta: Kompas
Media Nusantara. 2009.
Editor, “Sosialisasi Bahaya Trafficking”, Jurnal Perempuan, Edisi
15 Februari 2005.
http://bem-umk13.blogspot.co.id/2012/07/artikel-lindungi-anak-
negeri-dari-human.html
http://obormalam.blogspot.com/2014/02/perdagangan-manusia.html
Jawa pos, 18 Oktober 2000
Kompas, 27 Juli 2002
Radar Bogor, 14 Desember 2012
Surabaya pos, 7 Oktober 2000

60
ISU-ISU GENDER DALAM HUKUM KELUARGA

TELAAH ATAS KONSEP NAFKAH DAN PERNIKAHAN


DINI

Oleh : Syntia Maharani_1138030205_5-F

A. Pendahuluan
Idealisme dari keberadaan mahligai pernikahan adalah
mengikat suami istri kedalam jalinan kebersamaan secara lahir batin
serbagai suka maupun duka serta cinta kasih. Salah satu ajaran
penting dalam islam adalah pernikahan (perkawinan). Begitu
pentingnya ajaran tentang pernikahan tersebut sehingga dalam Al-
quran terdapat sejumblah ayat baik secara langsung maupun tidak
langsung berbicara menganai masalah pernikahan dimaksud.
Pernikahan adalah suatu bentuk ibadah yang diskrarkan dalam
islam. Pernikahan bukan hanya sekedar legalisassi hubungan seksual
semata.
Pernikahan bukan hanya perampasan hak anak. Pernikahan
adalah perpindahan perkawinan dari seorang ayah kepada seorang
suami. Ayah menyerahkan tanggung jawab mengasihi, menafkahi,
melindungi, mendidik dan memenuhi semua hak anak
perempuannya kepada laki-laki yang ia percayai mampu memikul
tanggung jawab tersebut.
Dalam hal menafkahi keluarga, tidak memandang laki-laki
maupun perempuan, islam sesungguhnya tidak pernah menekan
pihak perempuan dalam bidang pekerjaan tertentu. Baik pekerjaan
rumah maupun luar rumah. Jika merujuk pada hadis Nabi Saw
seseungguhnya ada banyak riwayat menyebutkan tentang sahabat
perempuan yang bekerja didalam dan diluar rumah, baik untuk
kepentingan sosia, maupun untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Islam membolehkan pernikahan anak yang sudah balig atau yang

61
belum balig tapi sudah tamyiz (sudah bisa menyatakan
keinginannya).
Seorang anak yang memasuki pernikahannya sesuai dengan
syariat islam tetap terpenihi hak-haknya. Anak yang belum balig
belum dituntut tapi dipersiapkan untuk mampu melaksanakan semua
kewajibannya sebagai seorang istri. Sementara yang sudah balig
mendapatkan hak selaligus sudah harus melaksanakan
kewajibannyasebagai seorang istri.

B. Konsep Nafkah
1. Pengertian Nafkah
Istilah nafkah pada umumnya merupakan pemberian seorang
kepada orang lain sesuai dengan perintah Allah seperti terhadap
anak, istri, orang tua, kerabat dan sebagainya. Secara harfiah, nafkah
adalah pengeluaran atau sesuatu yang dikeluarkan oleh seseorang
untuk orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya. Pengeluaran
ini harus diberikan untuk keperluan-keperluan yang baik. Kewajiban
nafkah menurut al-quran dibebankan pada laki-laki (suami).”Dan
kewajiban ayah memberikan makan dan pakaian kepada para ibu
dengan cara yang ma’ruf”.
Diantara kewajiban suami terhadap istrinya adalah memberi
nafkah, baik lahir maupun batin. Dasar hukum ketetapan ini terdapat
dalam firman Allah. “Adakah kamu hadir ketika Yakub kedatangan
(tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya: “ Apa
yang kamu sembah sepeninggalku?” mereka menjawab” Kami akan
menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Islam
dan Ishaq, (yaitu) Tuhan yang Maha Esa dan kami hanya tunduk
patuh kepada-Nya”.
Kaum laki-laki itu adalah pendamping “bagi kaum
perempuan, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka
(laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka
(laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka, sebab itu
maka perempuan yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi
memelihara dari ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah Telah

62
memelihara (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu
khawatirkan nuskayuznya, maka nasehatilah mereka dan
pisahkanlahmereka ditempat tidur mereka, dan pukullah mereka,
kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-
cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha
Tinggi Maha besar.
Pilihan suami sebagai pihak yang bertanggung jawab
terhadap pemberian nafkah adalah karena islam ingin melindingi
wanita dari beban yang berlebihan. Menurut masdar, wanita dalam
hal ini istri sudah menanggung beban kodratinya sendiri, yaitu
beban reproduksi yang penuh dengan resiko fisik dan mental. Logis
jika beban nafkah tersebut diletakkan dipundak suami, karena dia
tidak menanggung beban reproduksi. Ini adalah bentuk
keseimbangan peran dan fungsi antara suami denagn istri.
Kewajiban yang melekat pada suami menjadi hak yang
dimiliki istri. Dalam hal nafkah, suami memiliki beban dan
tanggung jawab untuk mencukupi kebutuhan hidup istri dan anak-
anaknya. Bagi istri nafkah adalah hak yang mesti diterima, sehingga
dia boleh menuntut jika tidak dipenuhi. Pemenuhan kewajiban juga
berimpikasi pada ketaata. Kewajiban memberi nafkah menimbulkan
kewajiban taat bagi istri. Jika suami tidak memenuhi kewajibannaya
maka gugurlah haknya untuk memperoleh ketaatan istrinya.
Kewajiban nafkah suami pada tahap implementasi sering
menimbulkan kesalahan. Memberi nafkah mengandung arti
mencukupi kebutuhan dan itu dilakukan dengan bekerja. Sedangkan
istri sebagai pihak penerima nafkah cukup berdiam diri rimah.

2. Manajemen nafkah responsitif gender


Dalam masalah nafkah harus dihilangkan perbedaan wilayah
domestik dengan publik. Secara normative maupun historis tidak
ada dasar yang kuat adanya diferensiasi tersebut. Tidak ada
ketentuan bahwa suami harus diilayah publik dan istri diwilayah
domestik. Konsep domestik publik berasal dari kultur patrikhi akibat
pembagian kerja yang berdasarkan pada jenis kelamin.Islam

63
memandang bahwa perbedaan seks tidak mengakibatkan pembedaan
hak laki-laki dan perempuan. Keduanya memiliki hak yang sama
yang tercangkup dalam al-dharurat al-khamsah. Kelima hak dasar
itu adalah hak beragama (hifdz al-din), hak hidup (hifdz al-hafs),
hak berfikir (hifdz al ql), hak berketurunan (hiddz alnasl) dan hak
memiliki harta (hafidz al mal), sebagian ulama menambahkan hak
harga diri (hifdz al ird).
Suami maupun istri sama-sama mempunyai hak milik harta.
Artinya mereka sama-sama memiliki hak beraktifitas diwilayah
pihak. Penapsiran yang luas dari hak ini adalah suami istri
mempunyai hak untuk bekerja atau mencari penghasilan tanpa
batasan waktu dan tempat. Keduanya boleh bekerja dimana saja dan
kapan saja sesuai dengan minat dan kompetesinya. Pernyataan ini
diperkuat dengan adanya ayat yang mendorong untuk aktif bekerja
yaitu Q.S l- Nahl (16:97).
Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki
maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya
akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan
sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala
yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. Perempuan
mempunyai hak untuk bekerja sama ia membutuhkannya. Jenis
pekerjaannya tidak dibatasi, selama norma-norma agama dan susila
tetap terpelihara. Tidak terdapat ketentuan bahwa hak bekerja
tersebut harus dalam satu tempat, bak didalam rumah maupun diluar
rumah.
Secara umum dalam literatur fiqih tidak terdapat larangan
bekerja bagi perempuan selama ada jaminan keamanan dan
keselamatan. Melarang istri bekerja berarti melarang seseorang
untuk melakukan tindakan yang diperintahkan oleh agama. Ijin
suami tidak bisa diterjemahkan secara albitrer dan tanpa batasan.
Suami hanya boleh melarang istrinya bekerja (denagn tidak
memberi izin), apabila tindakan tersebut nyata-nyata membawa
kemudaratan bagi dirinya dan keluarganya berkewajiban untuk
mengingatkannaya. Dalam konteks kekinian, pengolahan nafkah

64
keluarga disamping tetap mengacu pada landasan normatif teologis
juga perlu pertimbangan realitas sosiologis. Perinsip mu’asyarah bi
al ma’ruf menjadi kunci bagi perumusan kerja sama antara suami
istri. Perwujudan kerja sama tersebut didasarkan pada perinsip
kesetaraan suami istri. Dalam konteks masyarakat sekarang ini,
pengelolaan nafkah dilakukan secara bersama atau salah satunya
bertindak sebagai pembimbing bagi yang lain.
Berkonotasi pada pembagian wilayah antara domestik
denagn publik. Suami berada diwilayah publik sedangkan istri
diwilayah domestik. Doktrin ini kemudian dicarikan dukungan
dengan dalil, baik al-Quran maupun hadis yang ditapsirkan
subyektif. Pada tahapan selanjutnya kesalahpahaman tersebut
mengkristalkan dan diapresiasikan sebagai budaya masyarakat.
Perkembangan zaman kemudian mengubah sedikit demi sedikit
kesalahpahaman diatas. Pemisahan fungsi yang ketat antara suami
istri pada masa lalu berubah menjadi pembagian yang sifatnya
longggar. Bahkan sering terjadi pertikaran pungsi, termasuk dalam
hal nafkah, dlam kasus-kasus tertentu, istri menggantikan posisi
suami sebagai pencari nafkah, seperti yang dialami kebanyakan
tenaga kerja wanita (TKW).
Kesempatan atau hak memberi nafkah berkonsekuensi logis
pada keharusan adanya peran istri diwilayah produksi. Pemahaman
masyarakat pada waktu itu mengenggap istri hanya memiliki fungsi
reproduksi, yaitu hamil. Melahirkan, menyusui dan memelihara
anak. Dengan kata lain istri hanya mengurus masalah domestik dan
tidak lazim memasuki wilayah publik. Secara antropologis
pemisahan domestik dengan publik sudah menjadi idiologi yang
berlaku, dimana perempuan mengurus rumah dan laki-laki pengurus
masyarakat. Kategiri ini menunjukan adanya hubungan hirarkis
dimana perempuan menempati subordinat dengan laki-laki.
Pemisahan yang berawal dari lingkup keluarga ini kemudian
memperluas dalam kehidupan sosial. Ideologi yang sudah melekat
dalam masyarakat mulai diubah dan direkonstruksikan oleh Nabi

65
dengan ajaran islamnya. Sedikit demi sedikit martabat dan derajat
perempuan diangkat dan didudukan pada tempat ayng semestinya.
Ajaran fundamental islam menegaskan bahwa laki-laki dan
perempuan memiliki posisis yang sama, hanya amal shaleh dan
ketakwaannya yang membedakan kualitas mereka. Denagn memberi
peran produksi dan beraktifitas diwilayah publik, perempuan
mengaktualisasikan dirinya. Dalam sejarah islam, banyak
perempuan yang aktif dibidang produksi. Kahadizah binti
Khuwailid, istri Nabi dikenal sebagai komisaris perubaha. Zaenab
binti Jahsyberprofesi sebagai penyamak kulit binatang, demikian
juaga ummu Salim binti Malhan adalah tukan rias pengantin Zaenab
istri sahabat Abdul bin Mas’ud dan Alliat Ummi Bani Ammar
dikenal sebagai wirasuastawan. Dibidang pemerintahan Al-asyifa
sebagai petugas yang menangani pasar kota madinah. Keaktifak
kaum perempuan dalam bidang produksi juga banyak direkam
dalam hadis. Bidang yang ditekuni antara alain: pedagangan,
pertanian, peternakan dan perawatan. Bahkan dalam perangpun
kaum perempuan ikut terlibat. Dengan demikian secara historis
perempuan bekerja sudah ada sejak masa awal islam sehingga hal
itu bukan menjadi persoalan.
Disamping itu terdapat sebuah hadis yang secara khusus
memberi apresiasi terhadap perempuan yang bekerja secara lengkap
hadis tersebut terdapat dalam Shahih bukhari bab wanita yang
keluar untuk memenuhi kebutuhannya dengan nomor hadis 5237.
Teks hadis tersebut berbunyi.
“Aisyah berkata pada suatu malam Saudah binti Za’mar
keluar rumah. Umar melihatnya dan berkata, yang sudah janganlah
bersembunyi dari kami. Maka dia kembali dan menghadap Nabi dan
mencceritakan masalahnya, sedang Nabi waktu itu berada
dikediamanku (Aisyah) sedang tangannya memegang tulang yang
berbalut tepung. Kemudian wahyu turun dan Nabi bersabda
“sesungguh Allah telah menginginkan kalian (kaum perempuan)
untuk bekerja guna mencukupi kebutuhan kalian”.

66
Disamping untuk memenuhi kebutuhan hidup bekerja begi
perempuan dapat dinagi sarana untuk mengeaktualisassikan disi. Hal
ini sejalan dengan kandungan surah al-anam ayat 135, yang
mendorong perempuan untuk memaksimalkan perannya dalam
kehidupan sosial. Katakanlah “hai kaumku, berbuatlah sepneuh
kemampuanmu, sesungguhnya akupun berbuat (pula). Kelak kamu
akan mengetahui, siapkah (diantara kita) yang akan memperoleh
hasil yang baik didunia ini. Sesungguhnya orang-otang yang zalim
itu tidak akan mendapatkan keberuntungan”.

C. Batasan Umur Pernikahan


1. Batasan umur nikah menurut pandangan fiqih
Dalam fikih atau hukum islam tidak ada batasan minimal
usia pernikahan. Jumhurs atau mayoritas ulama mengatakan bahwa
wali atau orang tua boleh menikahkan anak perempuannya dalam
usia berapapun. Nabi muhamad SAW dan Siti Aisyah, beberapa
riwayat menyebutkan, Aiayah dinikahkan dengan Nabi pada usia 6
tahun, dan tinggal bersama Nabi pada usia 9 tahun. Sementara
waktu itu nabi sudah berusia senja, sudh 50 tahun. Namun karena
pertimbangan nasihat, beberapa ualam melakukan praktik
pernikahan manusia dini. Makruh artinya boleh dulakukan namun
lebih baik ditinggalkan. Anak perempuan yang masih kecil belum
siap secara fisikmaupun psikologis untuk memiliki tugas sebagai
istri dan ibu rumah tangga, meskipun dia sudah aqil baligh atau
sudah memulai masa haid. Karena itu menikahkan anak perempuan
ayang masih kecil dinilain tidak maslahat bahkan bisa menimbulkan
mafsadah (kerusakan). Pertimbangan maslahat-mafsadah ini juga
diterima dalam madzhab Syafi’i. Mereka yang menikahkan anak
perempuan pada usia dini biasanya juga berpedoman pada konsep
wali mujbir, yakni ayah atau kakek yang boleh memaksa
menikahkan anaknya. Istilah wali mujbir hanya ada pada madzhab
Syafi’i (dan sebagian Hambali).

67
Pada madzhab Hanafi dan Maliki tidak diberlakukan
ketetapan ini. Pada madzhab Hanafi bahkan hak-hak perempuan
dalam pernikahan lebih ditonjolkan. Sebenarnya dalam ketetapan
mengenai wali majbir ini pun mutlaq. Dengan menjadi wali muzbir,
bapak tidak boleh serta memaksaanaknya untuk menukah dengan
seorang laki-laki. Sekali lagi, dalam mazhab Syafi’i pertimbangan
masalahat-masfsadah juga diterima. Dalam konteks indonesia, kita
punya undang-undang yang mengatur pernikahan usia nikah.
Undang-undang itu merupakan hasil ijtihad para ulama atau para
ahli fiqih setempat atau disebut sebagai ijtihad jama’i, yakni ijtihad
yang dilakukan bersama-sama oleh ulama pada suatu tempat dan
pada suatu masa.

2. Batasan umur nikah menurut negara


Dalam tingkat pelaksanaan, batas umur kawin bagi
perempuan yang sudah rendah itu masih belum tentu dipatuhi
sepenuhnya. Untuk mendorong agar orang kawin dibatas-batas umur
rendahnya, sebenarnya pasal 6 ayat (2)UU No. 1 tahun 1974 telah
melakukannya dengan memberikan ketentuan bahwa untuk
melaksanakan perkawinan bagi seorang yang belum berumur 21
tahun harus mendapat izin dari orang tua. Akan tetapi dalam
kenyataan justru seiring pihak orang tua sendiri yang cenderung
menggunakan batas umur terendah itu bahwa lebih rendah lagi. Di
Mesir, meskipun perkawinan yang dilakukan oleh orang yang belum
mencapai batas umur terendah itu sah juga, tetapi tidak boleh
didaftarkan.
Pasal 7 ayat (1) Undang-undang perkawinan No. 1 tahun
1974 menyatakan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pria
sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak perempuan sudah
mencapai umur 16 tahun. Sedangkan hukum keluarga di mesir
menjelaskan bahwa perkawinan hanya dapat diizinkan jika laki-laki
berumur 16 tahun, demikian juga dalam hukum keluarga dipakistan
ditanyakan bahwa perkawinan dapat dilakukan jika laki-laki sudah
berumur 18 tahun dan perempuan berumur 16 tahun. Batas umur

68
kawin untuk indonesia di atas, jika dibandingkan dengan batas umur
kawin baik dimesir maupun Pakistan sebenarnya sama, kecuali
untuk laki-laki relatif tinggi.
Di anak benua India, pada tahun 1929 diterbitkan suatu
undang-undang untuk mencegah perkawinan anak dibawah umur
(Child Marriage Restraint). Undang0undang ini menetapkan
larangan mengawinkan anak perempuan sebelum mencapai usia 14
tahun dan laki-laki sebelum mencapai usia 16 tahun. Undang-
undang ini juga menetapkan sanksi hukum atas pelanggaran
ketentuan-ketentuannya. Pencegahan perkawinan anak dibawah
umur yang belum mencapai usia tersebut dianak benua India
diertegas dengan memberikan khiyar fasakah setelah dewasa kepada
anak di bawah umur itu baik maupun perempuan apabila mereka
dikawinkan oleh wali mereka sebelum mencapai usia tersebut
diatas.
Tidak diragukan bahwa pemerataan pendidikan kondisi
sosioal ekonomi dan bentuk-bentuk pengerahan masyarakat
memberi andil dalam mengurangi keinginan untuk melakukan
perkawinan dibawah umur di Mesir dan Pakistan. Akan tetapi
beberapa lingkungan tertentu masih masih melakukan perkawinan
seperti itu karena pertimbangan-pertimbangan dan kepentingan-
kepentingan yang mereka asumsikan. Untuk memenuhi ketentuan-
ketentuan guana mendapatkan perlindungan hukum mereka bahwa
anak-anak tersebut telah mencapai usia yang dikehendaki oleh
hukum.
Dalam pasal lain juga disebutkan bahwa pernikahan dibawah
usia 21 tahun hanya bisa dilangsungkan dengan persyaratan
tambahan. Aturan mengenai usia nikah itu juga ditegaskan kembali
dalam PP No 9 tahun 75 ddan instruksi Presiden No 1 tahun 1991
tentang Kompilasi hukum Islam. Kebijakan Pemerintah dalam
menentukan bats minimal usia pernikahan ini tentunya melalui
proses dan berbagai pertimbangan. Hal ini dimaksudkan agar kedua
belah pihak benar-benar siap dan matang dari sisi fisik, psikis dan
mental dari sudut pandang kedokteran, pernikahan dini mempunyai

69
dampak negatif baik ibu maupun anak yang dilahirkan. Menurut
para sosiolog, ditinjau dari sisi sosial, pernikah dini dapat
mengurangi harmonisasi keluarg. Hal ini disebabkan oelh emosi
yang masih labil, gejolak darah dan cara fikir yang belum matang.
Melihat pernikahan dini dari berbagai aspeknya memang
mempunyai banyak negatif. Oleh karenanya, pemerintah hanya
mentolelir pernikahan diatas umur 19 tahun untuk pria dan 16 tahun
untuk wanita.
3. Pandangan Secara Biologis dan Psikis Tentang Masa Dewasa
a. Pandangan secarabiologis
Adapun ciri-ciri dewasa seseorang cara biologis menurut
para ulama adalah sebagai berikut: para ulama ahli fiqih sepakat
dalam menentukan taklif (dewasa dari segi fisik, yaitu seorang sudah
dikatakan mukhallaflbaligh) ketika sudah keluar mani (bagi laki-
laki), sudah haid atau hamil (bagi perempuan). Apabila tanda-tanda
itu dijumpai pada seseorang anak laki-laki maupun perempuan maka
para fuqaha sepakat menjadikan umur sebagai suatu ukuran, akan
tetapi, mereka berselisih faham mengenai batas seseorang yang telah
dianggap sudah dewasa. Akan tetapi berdasarkan ilmupengetahuan
kedewasaan seseorang tersebut akan dipengaruhi oleh keadaan
zaman dan daerah dimana ia berada, sehingga ada perbedaan cepat
lambatnya kedewasaan seseorang.

b. Pandangan secara psikologis


Menurut psikologis usia terbaik untuk menikah adalah antara
19 sampai dengan 25 tahun. Ibnu Mas’ud r.a, sahabat Nabi ini
menceritakan sebuah hadis.
Aku telah mendengan Rasul Saw bersabda “wahai para
pemuda, barang siapa diantara kalian telah mencapai ba’ah,
kawinlah. Karena sesungguhnya, pernikahan itu lebih mampu
menahan pandangan mata dan menjaga kemaluan. Dan barang
siapa belum mampu melaksanakannya, hendaklah ia berpuasa
karena sesungguhnya puasa itu akan meredakan gejolak hasrat
seksual”. (HR. Imron yang lima).

70
Ciri-ciri secara psikologis yang paling pokok adalah
mengenai pola-pola sikap, pola perasaan, pola pikir dan pola prilaku
tampak diantaranya:
a) Stabilitas mulai timbul dan meningkat, pada masa ini terjadi
banyak penyesuaian dalam aspek kehidupan.
b) Citra diri dan sikap pandangan lebih realistis, pada masa ini
mulai dapat menilai dirinya sebagaimana adanya, menghargai
miliknya, keluarganya, orang lain seperti keadaan sesungguhnya
sehingga timbul perasaan puas adan dan menjauhkannya dari
rasa kecewa.
c) Menghadapi masalahnya secara lebih matang, usaha
memecahkan masalah-masalah secara lebih matang dan realistis
merupakan produk dari kemampuan berfikir yang lebih se,purna
dan ditunjang oleh sikap pandangan yang realistis sehingga
diperoleh perasaan yang lebih tenang.
d) Perasaan menjadi lebih tenang, ketenangan perasaan dalam
menghadapi kekecewaan atau hal-hal yang mengakibatkan
kemarahan mereka, ditunjang oleh adanya kemampuan pikir dan
dapat menguasai atau mendominasi perasaan-perasaannya serta
keadaan yang realistis dalam menentukan sikap, menat dan cita-
cita.

D. Koropersi usia pernikahan


Kampanye keponakan pernikahan di usia dini yang dilakukan
oleh PKPA (Ketua Pusat Kajian dan Perlindungan Anak) melalui
berbagi media sosialosasi seiring mendapatkan pertanyaan mendasar
mengenai batasan minimal usia perkawinan. Bukan hal mudah
menjawab pertanyaan sederhana yang disampaikan masyarakat.
Meskipun undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak menyatakan secara tegas,” Anak adalah
seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk
anak yang masih dalam kandungan” (pasal 1) dan pada pasal 26 ayat
1 poin c disebutkan, keluarga dan orang tua berkewajiban untuk
mencegah terjadinya perkawinan di usia anak-anak. Secara jelas

71
undang-undang ini mengatakan, tidak seharusnya pernikahan
dilakukan terhadap mereka yang usianya masih dibawah 18 tahun.
Namun tudak semudah itu PKPA (Ketua Pusat Kajian dan
Perlindungan Anak) dapat menjawabnya, karena UU No 1 tahun
1974 tentang perkawinan memberikan batasan yang berbeda dan
konsisten terhadap batas mencapai usia perkawinan.
Ditengah kontriversi hukum di indonesia mengenai batas
minimum usia perkawinan, pernikhaan di usia dini juga terjadi
karena tradisi disuatu komunitas dan penafsiran terhadap ajaran
agama yang salah. seperti saat ini indonesia dihebohkan denagan
pemberitaan dari Semarang saat ini Indonesia dihebohkan dengan
pemberitaan dari Semarang- Jawa Tengah, seorang pengusaha
sekaligus pemilik pondok pesantren bernama Syekh puji menikahi
seorang anak yang masih berusia 12 tahun dan baru menyelesikan
sekolah dasar (SD).
Peristiwa tersebut membuat banyak oramg mengeluarkan
statement termasuk Mentri Agama, KOMNAS Perlindungan anak
dan para pemerhati masalah anak. Pertanyaan Syekh Puji
diberbagai media masa yang mengatakan bahwa pernikahannya
dengan Ulfa seorang anak perempuan 12 tahun, merupakan teladan
dari Nabi Muhamad SAW yang menikahi Aisyah pada waktu itu
berusia 9 tahun. Pandanga tersebut dibantah Ali akbar, Mag seorang
Dosen IAIN Sumatra Utara yang mengatakan bahwa Pernikahan
Nabi sqama juga Aisyah usia 9 tahun hanya Mitos. Hal yang sama
juga ditulis oleh Azhari Akmal Taringan tentang Dilema
Pelaksanaan Hukum Islam. Kultur disebagian besar masyarakat
indonesia juga masih memandang hal yang wajar jika pernikahan
dilakukan pada usia anak-anak. Setidaknya ada beberapa faktor
yang mengebabkannya berdasarkan hasil kajian dari laporan kasus-
kasus KDRT, kekerasan terhadap perempuan, kekerasan terhadap
anak, diskursus dan penelitian yang dilakukan oleh PKPA (Pusat
Kajian dan Perlindungan Anak) tahun 2008, yaitu:
1) Pandangan tentang “kedewasaan” seseorang yang dilihat dari
perspektif ekonomi. Ketika seseorang telah mampu

72
menghasilkan uang atau telah terjun kesektor pekerjaan
produktif telah dipandang dewasa dan dapat melangsungkan
perkawinan, meskipun secara usia masih anak-anak.
2) Kedewasaaan seseorang yang dilihat dari perubahn-perubahan
secara fisik, misalnya menstruasi bagi anak perempuan dan
mimpi basah bagi anak laki-laki, diikuti dengan perubahan
terhadap perubahan-perubahan reproduksi.
3) Terjadinya kehamilan diluar nika, nikah adalah solusi yang
sering diambil oleh keluarga dan masyarakat untuk menutupi aib
dan menyelamatkan status anak pasca kelahiran.
4) Korban pernikahan dini lebih banyak anak perempuan karena
kemandirian secara ekonomi status pendidikan dan kapasitas
perempuan bukan hal penting bagi keluarga. Karena perempuan
sebagai istri segala kebutuhan dan hak-hak individualnya akan
menjadi tanggung jawab suami.
5) Tidak adanya sangsi pidana terhadap pelanggaran Undang-
undang Perkawinan, menyebabkan pihak-pihak yang memaksa
pernikahan diusia dini tidak dapat ditangani secara pidana,
meskipun undang-undang Perlindungan Anak sudah
diberlakukan.

Jika saja semua orang terutama orang tua benar-benar


menyadari berbagai dampak negatif yang ditimbulkan akibat
pernikahan diusia dini tentu saja tidak ada orang tua yang ingin
merelakan anak-anaknya terutana anak pere,puannya akan menjadi
korban berikutnya.

E. Pendewasaan Usia Perkawinan


Pendewasaan usia perkawinan (PUP) yang diprogramkan
oleh pemerintah dan juga usaha-usaha menola pernikahan di usia
dini yang dilakukan oleh sejumblah organisassi perlindungan anak
hanya akan menjadi wacana perdebatan tak berujung. Sosusi lain
harus dilakukan oleh negara yang melindungi anak dari praktik-
praktik pernikahan usia dini adalah dengan merevisi UU No.1 tahun

73
1974. Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap perempuan
(komnas Perempuan) bersama-sama sejumblah organisasi gerakan
perempuan pernah mengajukan revisi terhadap UU Perkawinan.
Beberapa permasalahan pokok yang diusulkan untuk direvisi antara
lain:
a) Pendewasaan usia perkawinan diatas 18 tahun, dengan tidak
membedakan batas dengan usia perkawinan bagi perempuan dan
laki-laki,
b) Prinsip non disktiminasi dalam pencatatan perkawinan, di unit-
unit dibawah naungan Departemen Agama.
c) Prinsip non diskriminasi juga diterapkan terhadap hak dan
kewajiban bagi perempuan dan laki-laki.
d) Hak dan status anak yang dilahirkan diluar hubungan pernikahan
tetap memiliki hak dan status yang sama dengan anak yang
dilahirkan dalam ikatan perkawinan secara perdana, sesuai UU
No.23 tahun 2002 pasal 7 ayat (1) menyebutkan setiap anak
berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh
oleh orang tuanya sendiri.

Dukungan dan tuntutan tentang revisi undang-undang


perkawinan merupakan perwujudan dari upaya bersama untuk
menyelamatkan perwujudan dari upaya bersama untuk
menyelamatkan masa depan anak-anak indonesia, karena pada
dasarnya anak hanya titipan dan karunia Tuhan. Prinsip
mengedepankan kepentingan terbaik bagi anak dalam setiap
pengambilan kepustusan menyangkut anak merupakan kewajiban
semua pihak.

F. Kesimpulan
Nafkah pada umumnya merupakan pemberian seorang
kepada orang lain sesuai dengan perintah Allah. Kewajiban yang
melekat pada suami menjadi dimiliki istri. Dalam hal nafkah, suami
memiliki beban dan tanggung jawab untuk mencukupi kebituhan
hidup istri dan anak-anak nya. Pemilikan suami sebagai pihak yang

74
bertanggung jawab terhadap pemberian nafkah adalah karena islam
ingin melindungi perempuan dari beban yang berlebihan berkait
dengan peran produksinya. Namun peran ini bukan berarti bersifat
baku, sebab dalam konteks tertentu nafkah menjadi tanggung jawab
bersama. Dalam masalah nafkah harus dihilangkan pembedaan
wilayah domestik dengan publlik. Secara normatif maupun historis
tidak ada dasar yang kuat adanya diferensiasi tersebut.
Tidak ada ketentuan bahwa suami harus diwilayah publik dan
istri diwilayah domestik. Disamping untuk memenuhi kebituhan
hidip bekerja bagi perempuan dapat sebagai sarana untuk
mengaktualisasikan diri dan kontribusinya dalam pembangunan.
Pembangunan Keluarga Indonesia Sejahtera bisa dimulai dari
persiapan perkawinan itu sendiri. Mempersiapkan para calon
mempelai agar dewasa fisik dan rohani mengahadapi tantangan
kehidupan berumah tangga kedepan, bukanlah hal mudah. Bunga-
bunga cinta akan redup dalam hitungan bulan manakala kegetiran
hidup menerpa dan erut melilit Kebijakan pemerintah dalam
menetapkan batas minimal usia pernikahan ini tentunya melalui
peroses dan berbagai perhitungan. Hal ini dimaksudkan agar kedua
belah pihak benar-benar siap dan matang dari sisi fisik, psikis dan
mental. Perkawianan anak atau perkawianan dibawah umur sudah
banyak dilarang dinegara berkembang seperti India (yang mulai
maju). Orang dewasa yang melakukan perkawinan dengan anak
dibawah umur apapun alasannya, akan menghadapi tuntutan berat
dipengadilan.

75
Sumber Referensi

Assayis, Muhamad. 1983. Tafsir Ayat Al Ahkam Al-Quran terjemah.


Jakarta: Erlangga
Enginer, Asgar. 1996. The Rights of Women in Islam. New York: St
Martin Prees
Masudi, Masdar. 2000. Islam Dan Hak Reproduksi Perempuan.
Bandung: Mizan
Mufidah. 2010. Isu-isu Gender konteporer. Malang: UIN Maliki
Perss
Siraj, Muhamad. 1966. Hukum Keluarga di Mesir dan Pakistan.
Jakarta: Perrs
Zaini. Ahmad. 1999. Pandangan Fikih Tentang Hak dan Kewajiban
Perempuan. Bandung: Srinthil.

76
ANALISIS GENDER DALAM GERAKAN TRANSFORMASI
SOSIAL PEREMPUAN

Oleh : Taufik Alfian Maulana _1138030208_5-F

Apa Gender Itu


Untuk memahami konsep gender, harus dibedakan kata
gender dengan kata sex (jenis kelamin). Definisi jenis kelamin
merupakan pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia
yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin
tertentu. Secara permanen tidak berubah dan merupakan ketentuan
biologis atau sering dikatakan sebagai ketentuan tuhan (kodrat).
Sedangkan konsep lainnya adalah konsep gender, yaitu suatu
sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang
dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Misalnya, perempuan itu
bersifat lemah lembut, cantik, emosional, dan keibuan.. Sementara
laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan, perkasa, dsb. Ciri dari sifat
itu sendiri dapat dipertukarkan, artinya ada laki-laki yang bersifat
emosional, lemah lembut, keibuan. Sementara juga ada perempuan
yang bersifat kuat, rasional, perkasa, dsb. Perubahan tersebut bisa
terjadi kapan saja, dimana saja.
Sejarah perbedaan gender (gender different) antara laki-laki
dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang.
Perbedaan ini terjadi karena banyak hal, diantaranya dibentuk,
disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikontruksi secara sosial atau
kultural, melalui ajaran keagamaan maupun negara. melalui proses
panjang, sosialisasi gender tersebut akhirnya dianggap menjadi
ketentuan tuhan, seolah-olah bersifat biologis. dewasa ini, seiring
dianggapnya “kodrat wanita” adalah kontruksi sosial dan kultural
atau gender. Misalnya saja yang berperan untuk mendidik anak,
mengelola rumah, dsb dianggap sebagai “kodrat wanita”. Padahal
pada kenyataannya, bahwa kaum perempuan memiliki peran
genderdalam mendidik anak dan merawat dan mengelola kebersihan
dan keindahan rumah tangga adalah konstruksi kultural dalam suatu

77
masyarakat tertentu. Oleh karena itu, boleh jadi urusan mendidik
anak dan merawat kebersihan rumah bisa dilakukan oleh kaum laki-
laki.moleh karena jenis pekerjaan itubisa dipertukarkan dan tidak
bersifat universal, apa yang disebut sebagai “kodrat wanita” atau
“takdir Tuhan atas wanita” dalam kasusu mendidik anak dan engatur
kebersihan rumah, sesungguhnya adalah gender.
Jadi dapat kita simpulkan, Gender sebagaimana dituturkan
oleh Oakley (1972) dalam sex, gender and Society berarti perbedaan
yang bukan biologis dan bukan kodrat tuhan. Perbedaan biologis
yakni perbedaan jenis kelamin (sex) adalah kodrat tuhan dan oleh
karenanya secara permanent berbeda. Sedangkan gender adalah
perbedaan perilaku (behavioral differences) antara laki-kodrat atau
bukan ketentuan tuhan. Melainkan diciptakan oleh manusia (laki-
laki dan perempuan) melalui proses sosial dan kultural yang panjang
(Mansour Fakih, 1996:7).

Analisis Gender dalam Gerakan Transformasi Perempuan


GENDER sebagai alat analisis umumnya di pakai oleh aliran
ilmu sosial konflik yang justru memeusatkan perhatian pada
ketidakadilan struktural dan sistem yang diseabkan oleh gender.
Gender sebagaimana dituturkan oleh Oakley (1972) dalam sex,
Gender an society berarti perbedaan yang bukan biologis dan bukan
kodrat Tuhan. Perbedaan biologis yakni perbedaan jenis kelamin
(sex) adalah kodrat Tuhan dan oleh karenanya secara permanen
berbeda. Sedangkan gender adalah perbedaan perilaku (behavioral
differences) anatara laki-laki dan permpuan yang dikonstruksi secara
sosial, yakni perbedaan bukan kodrat atau bukan ketentuan Tuham
melainkan diciptakan oleh manusia (laki-laki dan perempuan)
melalui proses sosial dan cultural yang panjang. Caplan (1987)
dalam The Cultural Construction of Sexuality menguraikan bahwa
perbedaan perilaku antara laki-laki dan perempuan tidaklah sekedar
biologi, namun melalui proses sosial dan kultural. Oleh karena itu
gender berubah dari waktu ke waktu, dari tempat ke tempat bahkan

78
dari kelas, sedangkan jenis kelamin biologis (sex) akan tdak pernah
berubah.
Perbedaan gender (gender differences) pada proses
berikutnya melahirkan peran gender (gender role) dan dianggap
menimbulkan masalah, maka tak pernah digugat. Jadi kalau secara
biologis (kodrat) kaum perempuan dengan organ reproduksinya bisa
hamil, melahirkan dan menyusui dan kemydian mempunyai peran
gender sebagai perawat, pengasuh dan pendidik anak, sesungguhnya
tidak ada masalah dan tidak perlu digugat. Akan tetapi yang jadi
masalah dan perlu digugat oleh mereka yang menggunakan analisis
gender dan struktur “ketidakadilan” yang ditimbulkan oleh peran
gender dan perbedaan gender tersebut. Dari studi yang dilakukan
dengan menggunakan analisis gender ini ternyata banyak ditemukan
pelbagai manifestasi ketidakadilan seperti dalam uraian tersebut:
Pertama, terjadi marginalisasi (pemiskinan ekonomi)
terhadap kaum perempuan. Meskipuan tidak setiap marginalisasi
perempuan disebabkan oleh ketidakadilan gender, namun yang
dipersoalkan oleh perbedaan gender. Misalnya banyak perempuan
desa tersingkirkan dan menjadi miskin akibat progam pertanian
Revolusi Hijau yang hanya memfokuskan pada petani kaum laki-
laki. Hal ini karena asumsinya bahwa petani itu identik dengan
petani laki-laki. Atas dasar itu banyak pertanian, bersamaan dengan
tergusurnya ani-ani, kredit untuk petani yang artinya petani laki-
laki, serta pelatihan pertanian yang hanya ditunjukan kepada laki-
laki.jadi yang dipermasalahkan adalah pemiskinan petani
perempuan akibat dari bias gender. Di luar dunia pertanian, banyak
sekali pekerjaan yang dianggap sebagai pekerjaan perempuan
seperti “guru taman kanak-kanak “ atau sekertaris”, yang dibanding
lebih rendah dari pekerjaaan laki-laki dan sering kali berpengaruh
terhadap perbedaan gaji antara kedua jenis pekerjaan tersebut.
Kedua, terjadinya subordinasi pada salah satu jenis kelamin,
umumnya kepada kaum perempuan. Dalam rumah tangga,
masyarakat maupun negara, banyak kebijakan dibuat tanpa
‘menganggap penting’ kaum perempuan. Misalnya anggapan karena

79
kaum perempuan toh nantinya akan dapur, mengapa harus sekolah
tinggi-tinggi, adalah bentuk subordinasi yang dimaksudkan. Bentuk
dan mekanisme proses subordinasi tersebut adri waktu ke waktu dan
dari tempat ke tempat akan berbeda. Misalnya, karena anggapan
bahwa perempuan memeiliki pembawaan “emosional” sehingga
dianggap tidak tampil sebgai pemimpin partai atau menjadi manajer,
adalah proses subordinasi dan diskriminasi berdasarkan gender.
Selama berabad-abad dengan alasan doktrin agama kaum
perempuan tidak boleh mempin apa pun, termasuk masalah
kedunaiaan, tidak dipercaya memberi kesaksian, bahkan tidak
memperoleh warisan. Adanya penafsiran agama yang
mengakibatkan subordinasi dan marginalisasi kaum perempuan
itulah yang dipersoalkan.
Ketiga, adalah pelabelan negatif (stereotipe) terhadap jenis
kelamin tertentu, dan akibat strereotipe itu terjadi diskriminasi serta
berbagi ketidakadilan lainnya. Dalam masyarakat banyak sekali
stereotipe yang diletakan kepada kaum perempauan yang berakibat
membatasi, menyulitkan, memiskinkan dan merugikan kaum
perempuan. Karena adanya keyakinan masyarakat bahwa laki-laki
adalah pencari nafkah (bread winer) misalnya maka setiap pekerjaan
yang dilakuakan oleh perempuan dinilai hanya sebagai “tambahan”
dan oleh karenanya boleh saja dibayar lebih rendah. Itulah makanya
dalam suatu keluarga sopir (dianggap pekerjaan laki-laki) sering
dibayar lebih tinggi dibanding pembantu rumah tangga (peran
gender perempuan), meski tidak ada yang menjamin bahwa
pekerjaan sopir lebih berat dan lebih sulit di banding memasak dan
mencuci.
Keempat, keekrasan (violence) terhadap jenis kelamin
tertentu, umumnya perempuan, karena perbedaan gender. Kekerasan
ini mencakup kekerasan fisik seperti pemerkosaan dan pemukulan,
sampai bentuk kekerasan yang lebih halus seperti pelecehan (sexul
harassment) dan penciptaan ketergantungan. Banyak sekali
kekerasan terhadap perempuan yang terjadi karena adanya sterotipe
gender. Bahwa karena perbedaan gender dan sosialisasi gender yang

80
amat lama, sehingga mengakibatkan kaum perempuan secara fisik
lemah dan laki-laki umumnya lebih kuat maka hal itu tidak
menimbulkan masalah sepenjang anggapan lemahnya perempuan
tersebut mendorong laki-laki boleh dan seenaknya memukul dan
memperkosa perempuan. Banyak terjadi pemerkosaan justru bukan
karena unsur kecantikan, namun karena kekuasaan dan sterotipe
gender yang diletakan kepada kaum pereempuan.
Kelima, karena peran gender perempuan adalah mengelola
rumah tangga, maka perempuan banyak mnanggung beban kerja
domestik lebih banyak dan lebih lam (burden). Dengan kata lain
peran gender perempuan mengelola, menjaga dan memelihara
kerapaian tersebut, telah mengakibatkan tumbuhnya tradisi dan
keyakinan masyarakat bahwa mereka harus bertanggung jawab atas
terlaksananya keseluruhan peran domestik. Sossialisasi peran
tersebut menimbulkan rasa bersalah dalam diri perempuan jika tidak
menjalankan tugas-tugas domestik tersebut. Sedangkan bagi kaum
laki-laki, tidak saja merasa bukan merasa tanggung jawabnya,
bahkan dibanyak tradisi secara adat laki-laki dilarang terlibat dalam
pekerjaan domestik. Beban kerja tersebut menjadi dua kali lipat bagi
perempun yang yang juga bekerja di rumah.selain bekerja di luaruga
harus bertanggung jawab atas keseluruhan pekerjaan domestik.
Maka, hubungan anatara buruh dengan istrinya berbentuk cara
produksi yang feodalistik (feudalistic mode of production) yakni
para buruh membeli perempuan guna melayani keluarga. Namn bagi
mereka yang secara ekonomi cukup, pekerjaan domestik ini
kemudian dilimpahkan kepihak lain yakni pembantu rimah tangga.
Proses ini mengandung arti terjadi pemindahan marginalisasi,
subordinasi beeban kerja (burden) dan istri ke para pembantu rumah
tangga yang kebanyakan juga perempuan.
Semua manifestasi ketidakadilan gender tersebut saling
mempengaruhi. Manifestasi ketidakadilan itu “terisolasi” kepada
kaum laki-laki dan perempuan secara mantap, yang lambat laun
akhirmya baik laki-laki maupun perempuan menjadi terbiasa dan
akhirnya dipercaya bahwa peran gender itu itu seolah-olah

81
merupakan kodrat. Lambat laun terciptalah suatu struktur dan sistem
ketidakadilan dan gender yang ‘diterima’ dan sudah algi tidak dapat
dirasakan ad sesuatu yang salah. Persoaalan ini bercampur dengan
kepentingan kelas, itulah mengapa justru banyak kaum perempuan
kelas menengah terpelajar yang ingin mempertahanakan sistem dan
struktur tersebut.
Berdasarkan deskripsi anlisis gender di atas, banyak
pertanyaaan perlu diajukan:
Apakah gerakan feminis merupakan perjuangan emansipasi
perempuan di hadapan kaum alki-laki atau gerakan melawan sistem
dan struktur yang mengakibtkan kaum perempuan menderita?
Apakah mereka juga bettanggung jawab bahwa laki-laki
(terutama kelas proletar) juga memekul beban derita karena
dominasi, ekspolitasi serta represi dan sistem yang tidak adil?
Mungkinkah gerkan feminis menjadi bagian perjuangan
trnsformasi sistem dan struktur sosial yang tidak adail secara luas,
menju ke sistem yang tidak adil secara luas, menuju ke sistem yang
adil baik bagi perempuan maupun laki-laki? Dengan kata lain
apakah hakikat feminisme adalah gerakan transformasi sosial, dalam
arti tidak melulu sekedar memeperjuangkan soal perempuan?
Bagian ini mencoba secara singkat menjawab pertanyaan
tersebut dan meletakan dimana sebenarnya peran analisis gender
dalam gerakan feminisme. Untuk memperluas peran analisis gender,
kita perlu memahami paradigma di balik gerakan dan teori
feminisme. Upaya mencari penjelasan teoritik terhadap pertanyaan
mengapa dan bagaimana itulah yang melahirkan timbulnya pelbagai
teori feminisme yang ada. Rosemarie Tong (1989) dalam Feminis
Thought, menejlaskan tagam usaha feminis ke dalam pelabgai aliran
aliran feminisme, misalnya feminisme liberal, feminisme radikal,
feminisme Marxis dan feminisme sosialis, eco feminism dan masih
banyak lagi. Untuk memberi gambaran singkat, uraian dibawah ini
menyajikan secara sederhana masing-masing aliran feminisme
tersebut.

82
Pada umunya orang berprasangka bahwa feminisme adalah
gerakan pemberontakan terhadap kaum laki-laki, upaya melwan
pranata sosial yang ada, misalnya institusi rumah tangga,
perkawinan maupun usaha pemberontakan perempuan nntuk
mengingkari apa yang disebut sebagai kodrat. Dalam
kesalahpahaman iti maka feminisme tidak saja kurang mendapat
tempat di kalangan perempuan sendiri, bahkan secara umum ditolak
oleh masyarakat. Untuk itulah kiranya perlu dibahas secara lebih
rinci dan konseptual mengenai apa sebenarnya apa yang dimaksud
denagn gerakan feminisme sebagaiman diungkapkan oleh kaum
feminis sendiri. Persoalannya feminisme itu sendiri, seperti juga
aliran pemikiran dan gerakan lainnya, bukan merupakan suatu
pemikiran atau aliran yang tunggal, melainkan trdisi atas pelabgai
ideologi, paradigma, serta teori yang dipakai oleh mereka masing-
masing. Meski gerakan feminis datang dengan analisis dan dari
ideologi yang berbeda-beda, umumnya mereka mempunyai
kesamaan kepedulian yakni mempejuangkan nasib kaum
perempuan.
Pada umumnya mereka mengakui bahwa feminisme
merupakan gerakan yang berangkat dari asumsi dan kesadaran
bahwa kaum perempuan pada dasarnya ditindas dan diekspolitasi,
serta harus ada upaya mengahhiri penindasan dan pengekspolitasian
tersebut.
Meski terjadi perbedaan antarfeminis menengai apa,
mengapa dan bagaimana penindasan dan ekspolitasi itu terjadi
namun mereka sepaham bahwa hakikat perjuangan feminis adalah
demi kekuasaan, martabat dan kebebasan untuk mengontrol raga
dan kehidupan baik di dalam maupun di luar rumah. Persoalannya,
feminisme bukanlah suatu gerakan homogen yang bisa secara
mudah diidentifikasi ciri-cirinya.
Secara sederhana kita bisa membagi aliran feminisme
menjadi dua aliran besar dalm ilmu sosial yakni aliran status quo
atau funsionalisme dan aliran konflik (Mansour Fakih, 1996:71).

83
Konsep Dasar Gender
Gender adalah “konstruksi sosial tentang peran lelaki dan
perempuan sebagaimana dituntut oleh masyarakat dan diperankan
oleh masing-masing mereka” (Hafidz, 1995: 5). Gender berkaitan
dengan pembagian peran, kedudukan dan tugas antara laki-laki dan
perempuan yang ditetapkan oleh masyarakat berdasarkan sifat yang
dianggap pantas bagi laki-laki dan perempuan menurut norma, adat,
kepercayaan dan kebiasaan masyarakat (Buddi, dkk, 2000). Seperti
halnya kostum dan topeng di teater, gender adalah seperangkat
peran yang menyampaikan pesan kepada orang lain bahwa kita
adalah feminim atau maskulin (Mosse, 1996). Dan, ketika
konstruksi sosial itu dihayati sebagai sesuatu yang tidak boleh
diubah karena dianggap kodrati dan alamiah, menjadilah itu ideologi
gender.
Berdasakan ideologi gender yang dianut, masyarakat
kemudian menciptakan pembagian peran antara laki-laki dan
perempuan yang bersifat operasional (Ortner, dalam Saptari &
Holzner, 1995). Dalam pembagian peran gender ini, laki-laki
diposisikan pada peran produktif, publik, maskulin, dan pencari
nafkah utama; sementara perempuan diposisikan pada peran
reproduktif, domestik, feminim, dan pencari nafkah tambahan
(Fakih, 1997). Menurut Slavian (1994), penelitian-penelitian kross-
kultural mengindikasikan bahwa peran seks itu merupakan salah
satu hal yang dipelajari pertama kali oleh individu dan bahwa
seluruh kelompok masyarakat memperlakukan laki-laki dengan
cara yang berbeda dengan perempuan.
Dalam praktiknya, menurut Fakih (1996), dikotomi peran ini
kemudian ternyata memunculkan berbagai bentuk ketidakadilan
gender, seperti adanya marginalisasi, subordinasi atau anggapan
tidak penting dalam keputusan politik, pembentukan stereotipe atau
melalui pelabelan negatif, kekerasan (violence), beban kerja yang
lebih panjang dan lebih banyak (burden) dan sosialisasi ideologi
nilai peran gender.

84
Cara pikir stereotipe tentang peran gender sangat mendalam
merasuki pikiran mayoritas orang. Sebagai contoh, perempuan
dianggap lemah, tidak kompeten, tergantung, irrasional, emosional,
dan penakut, sementara laki-laki dianggap kuat, mandiri, rasional,
logis, dan berani (Suleeman, 2000) Selanjutnya ciri-ciri stereotipe
ini dijadikan dasar untuk mengalokasikan peran untuk lelaki dan
perempuan (Wardah, 1995 : 20).

1. Pengarusutamaan Gender
Pengarusutamaan gender (PUG), atau dalam istilah Inggeris:
Gender Mainstraiming, merupakan suatu strategi untuk mencapai
kesetaraan dan keadilan gender melalui kebijakan dan program yang
memperhatikan pengalaman, aspirasi, kebutuhan, dan permasalahan
perempuan dan laki-laki ke dalam perencanaan, pelaksanaan,
pemantauan, dan evaluasi dari seluruh kebijakan dan program di
berbagai bidang kehidupan dan pembangunan. Tujuan
pengarusutamaan gender adalah memastikan apakah perempuan dan
laki-laki:
 Memperoleh akses yang sama kepada sumberdaya
pembangunan,
 Berpartisipasi yang sama dalam proses pembangunan. Termasuk
proses pengambilan keputusan,
 Mempunyai kontrol yang sama atas sumberdaya pembangunan,
dan
 Memperoleh manfaat yang sama dari hasil pembangunan.

Penyelenggaan pangarusutamaan gender mencakup baik


pemenuhan kebutuhan praktis gender maupun pemenuhan
kebutuhan strategis gender. Kebutuhan praktis gender adalah
kebutuhan-kebutuhan jangka pendek dan berkaitan dengan
perbaikan kondisi perempuan dan/atau laki-laki guna menjalankan
peran-peran sosial masing-masing, seperti perbaikan taraf
kehidupan, perbaikan pelayanan kesehatan, penyediaan lapangan
kerja, penyediaan air bersih, dan pemberantasan buta aksara.

85
Kebutuhan strategis gender adalah kebutuhan perempuan dan/atau
laki-laki yang berkaitan dengan perubahan pola relasi gender dan
perbaikan posisi perempuan dan/atau laki-laki, seperti perubahan di
dalam pola pembagian peran, pembagian kerja, kekuasaan dan
kontrol terhadap sumberdaya. Pemenuhan kebutuhan strategis ini
bersifat jangka panjang, seperti perubahan hak hukum, penghapusan
kekerasan dan deskriminasi di berbagai bidang kehidupan,
persamaan upah untuk jenis pekerjaan yang sama, dan sebagainya.
Dalam buku Panduan Pelaksanaan Inpres No 9 Tahun 2000
Tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan, yang
diterbitkan oleh Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan,
dikemukakan sejumlah kondisi awal dan komponen kunci yang
diperlukan rangka menyelenggarakan pengarusutamaan gender.

2. Lingkup Kegiatan dan Alur Kerja Pengarusutamaan


Gender
Pengarusutamaan gender dilakukan dalam seluruh rangkaian
kegiatan pembangunan mulai dari perencanaan, pelaksanaan,
pemantuan, hingga evaluasi. Operasionalisasi kegiatannya
melibatkan tahapan dan alur kerja analisis gender, seperti
digambarkan pada Gambar 1.
Seperti digambarkan pada Alur Kerja Analisis Gender, dalam
perencanaan yang responsif gender, terdapat tiga tahap utama, yaitu
(1) melakukan analisis kebijakan gender, (2) memformulasi
kebijakan yang responsif gender, dan (3) menyusun rencana aksi
kebijakan/program/proyek/kegiatan yang responsif gender.
Tahap pertama dalam perencanaan, yaitu Analisis Kebijakan
Gender, perlu dilakukan karena pada umumnya kebijakan
pemerintah hingga saat ini masih netral gender (gender neutral) dan
kadang-kadang, secara tidak sengaja, mempunyai dampak kurang
menguntungkan bagi salah satu jenis kelamin. Dengan
menggunakan Data Pembuka Wawasan kita dapat melihat
bagaimana kebijakan dan program yang ada ssat ini memberikan
dampak berbeda kepada laki-laki dan perempuan. Tahap kedua,

86
Formulasi Kebijakan Gender, dilakukan untuk menyusun Sasaran
Kebijakan Kesetaraan dan Keadilan Gender yang menggiring
kepada upaya mengurangi atau menghapus kesenjangan antara laki-
laki dan perempuan. Selanjutnya, tahap ketiga, Rencana Aksi
Kebijakan Kesetaraan dan Keadilan Gender disusun sebagai suatu
rencana aksi berupa kebijakan, program, proyek, kegiatan
pembangunan yang perlu dilakukan untuk mengatasi kesenjangan
antara laki-laki dan perempuan.
Seluruh kegiatan dalam rencana aksi harus sesuai dengan
tujuan yang telah diidentifikasi dalam tahap Formulasi Kebijakan
Kesetaraan dan Keadilan Gender di atas. Rencana aksi kebijakan ini
perlu disertai dengan indikator keberhasilan untuk mengukur kinerja
pemerintah dalam mengimplemtasikan rencana aksi.
Pelaksanaan kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan
yang berperspektif gender diselenggarakan setelah tahap-tahap
perencanaan yang responsif gender seperti dikemukakan di atas
dilakukan. Dalam upaya mendukung dan mengefektifkan
pelaksanaan pengarusutamaan gender, perlu dilakukan beberapa hal,
antara lain:
 Pemampuan dan peningkatan kapabilitas pelaksana
pengarusutamaan gender
 Penyusunan perangkat pengarusutamaan gender, seperti
perangkat analisis, perangkat pelatihan, serta perangkat
pemantauan dan evaluasi.
 Pembentukan mekanisme pelaksanaan pengarusutamaan gender,
seperti forum komunikasi, kelompok kerja, stering commite
antar lembaga, dan pembentukan focal point pada masing-
masing sektor.
 Pembuatan kebijakan formal yang mampu mengembangkan
komitmen segenap jajaran pemerinah dalam upaya
pengarusutamaan gender.
 Pembentukan kelembagaan dan penguatan kapasitas
kelembagaan untuk pengarusutamaan gender
 Pengembangan mekanisme yang mendorong terlaksananya
proses konsultasi dan berjejaring.

87
Sumber Referensi
Abdullah, Irwan (1997) “Dari domestik ke publik: Jalan panjang
pencarian identitas perempuan.” Dalam Irawan Abdullah (ed.)
Sangkan paran gender. Yogyakarta: Pusat Penbelitian
Kependudukan, Universitas Gajah Mada
Beijing Declaration and Platform for Action.(1995) Fourth World
Conference on Women. Beiijing, 15 September 1995.
A/Conf.177/20 (1995) & A/Conf.177/Add.I (1975).
Fakih, Mansour (1997) Penyadaran gender: Buku panduan untuk
para pekerja. Jakarta: ILO Indonesia.
Fakih, Mansour. Analisis Gender & Transformasi Sosial.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2012.
Hafidz, Wardah (1995). Daftar istilah jender. Jakarta: Kantor
Menteri Negara Urusan Peranan Wanita.
Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan (2001). Panduan
pelaksanaan Inpres No. 9 tentang pengarusutamaan gender
dalam pembangunan. (Draft 26 April 2001). Jakarta: Kantor
Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan
Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan. (2000) Rencana
Induk Pembangunan Nasional Pemberdayaan Perempuan 2000-
2004. Jakarta: Kantor Menteri Negara Pemberdayaan
Perempuan.
Moser, C.O.N. (1989) “Gender planning in the Third World:
Meeting practical and
Mosse, J.C. (1996). “Apakah gender itu?” Dalam Mansour Fakih,
Gender dan pembangunan. Yogyakarta: Rifka Annisa. Mustari,
B., Hasyah, H., Bella, R., Pandang, A., & Tahir, N.M. (2000).
Konsep dasar jender: Materi pelatihan. Makassar: TPP2W
Sulawesi Selatan dan Biro Bina Sosial Sekretariat Daerah
Sulawesi Selatan
Rahman, A. (2000). “Analisis jender sebagai alat analisa proyek dan
hasil-hasil penelitian”. Makalah disajikan pada Advance training
on gender research and anlysis for PSW Core-group trainig..

88
Kerjasama Program Studi Kajian Wanita PPS Universitas
Indonesia dan WSP II, Jakarta: 28 Agustus – 2 September 2000.
Saptari, R. & Holzner, B. (1995) Perempuan kerja dan perubahan
sosial: Sebuah pengantar studi perempuan. Jakarta: Grafiti.
Slavian, R.E. (1994) Educational psychology: Theory and practice
(Fourth edition). Boston: Allyn and Bacon.
Suleeman, E. (2000) “Gender roles stereotypes and education”
Dalam S. van Bemmelen, A. Habsjah, & L. Setyawati
(Penyunting). (2000). Benih bertumbuh: Kumpulan karangan
untuk Pprof. Tapi Omas Ihromi. Jakarta: Kelompok Perempuan
Pejuang Perempuan Tertindas. (h. 517-535).
Woman’s Support Project II (2001). Lokakarya Analisis Gender
(Rangkuman 4 lokakarya). Laporan kegiatan oleh TPP2W
Sulawesi Selatan bekerja sama Woman’s Support Project II.

89
KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
Oleh: Tiara Nurjanah_1138030209_5-F

A. Definisi dan Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga


(KDRT)
KDRT adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama
perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau
penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan
atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk
melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan
secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.Kekerasan
dalam Rumah Tangga seperti yang tertuang dalam Undang-undang
No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah
Tangga, memiliki arti setiap perbuatan terhadap seseorang terutama
perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau
penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran
rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,
pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum
dalam lingkup rumah tangga.
Masalah kekerasan dalam rumah tangga telah mendapatkan
perlindungan hukum dalam Undang-undang Nomor 23 tahun 2004
yang antara lain menegaskan bahwa :
a) Bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan
bebes dari segala bentuk kekerasan sesuai dengan falsafah
Pancasila dan Undang-undang Republik Indonesia tahun 1945.
b) Bahwa segala bentuk kekerasan, terutama Kekerasan dalam
rumah tangga merupakan pelanggaran hak asasi manusia, dan
kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk
deskriminasi yang harus dihapus.
c) Bahwa korban kekerasan dalam rumah tangga yang kebanyakan
adalah perempuan, hal itu harus mendapatkan perlindungan dari
Negara dan/atau masyarakat agar terhindar dan terbebas dari

90
kekerasan atau ancaman kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan
yang merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan.
d) Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagai dimaksud dalam huruf
a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu dibentuk Undang-undang
tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga.

Tindak kekerasan yang dilakukan suami terhadap isteri


sebenarnya merupakan unsur yang berat dalam tindak pidana, dasar
hukumnya adalah KUHP (kitab undang-undang hukum pidana)
pasal 356 yang secara garis besar isi pasal yang berbunyi:
“Barang siapa yang melakukan penganiayaan terhadap ayah, ibu,
isteri atau anak diancam hukuman pidana”

B. Ruang Lingkup KDRT


Yang merupakan lingkup tindakan KDRT adalah perbuatan
terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya
kesengsaraan atau penderitaan secara fisik,seksual, psikologis,
dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk
melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan
secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Sebagian besar korban KDRT adalah kaum perempuan (istri)
dan pelakunya adalah suami, walaupun ada juga korban justru
sebaliknya, atau orang-orang yang tersubordinasi di dalam rumah
tangga itu. Pelaku atau korban KDRT adalah orang yang
mempunyai hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan,
perwalian dengan suami, dan anak bahkan pembatu rumah tangga
yang tinggal dalam sebuah rumah tangga.
Tidak semua tindakan KDRT dapat ditangani secara tuntas
karena korban sering menutup-nutupi dengan alasan ikatan struktur
budaya, agama, dan belum dipahaminya sistem hukum yang
berlaku. Padahal perlindungan oleh negara dan masyarakat
bertujuan untuk memberi rasa aman terhadap korban serta menindak
pelakunya.

91
C. Bentuk – Bentuk KDRT
Menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tindak
kekerasan terhadap istri dalam rumah tangga dibedakan kedalam 4
(empat) macam :
a. Kekerasan fisik
kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa
sakit, jatuh sakit atau luka berat. Prilaku kekerasan yang termasuk
dalam golongan ini antara lain adalah menampar, memukul,
meludahi, menarik rambut (menjambak), menendang, menyudut
dengan rokok, memukul/melukai dengan senjata, dan sebagainya.
Biasanya perlakuan ini akan nampak seperti bilur-bilur, muka
lebam, gigi patah atau bekas luka lainnya, Misal :
 Cedera berat
 Tidak mampu menjalankan tugas sehari-hari
 Pingsan
 Luka berat pada tubuh korban dan atau luka yang sulit
disembuhkan atau yang menimbulkan bahaya mati
 Kehilangan salah satu panca indera.
 Mendapat cacat.
 Menderita sakit lumpuh.
 Terganggunya daya pikir selama 4 minggu lebih
 Gugurnya atau matinya kandungan seorang perempuan
 Kematian korban.

1. Kekerasan Fisik Ringan, berupa menampar, menjambak,


mendorong, dan perbuatan lainnya yang mengakibatkan:
 Cedera ringan
 Rasa sakit dan luka fisik yang tidak masuk dalam kategori
berat
 Melakukan repitisi kekerasan fisik ringan dapat dimasukkan
ke dalam jenis kekerasan berat.

92
b. Kekerasan psikologis / emosional
Kekerasan psikologis atau emosional adalah perbuatan yang
mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya
kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya dan / atau
penderitaan psikis berat pada seseorang.
Perilaku kekerasan yang termasuk penganiayaan secara
emosional adalah penghinaan, komentar-komentar yang
menyakitkan atau merendahkan harga diri, mengisolir istri dari
dunia luar, mengancam atau ,menakut-nakuti sebagai sarana
memaksakan kehendak. Kekerasan Psikis Berat, berupa tindakan
pengendalian, manipulasi, eksploitasi, kesewenangan, perendahan
dan penghinaan, dalam bentuk pelarangan, pemaksaan dan isolasi
sosial; tindakan dan atau ucapan yang merendahkan atau menghina;
penguntitan; kekerasan dan atau ancaman kekerasan fisik, seksual
dan ekonomis; yang masing-masingnya bisa mengakibatkan
penderitaan psikis berat berupa salah satu atau beberapa hal berikut:
1. Gangguan tidur atau gangguan makan atau ketergantungan obat
atau disfungsi seksual yang salah satu atau kesemuanya berat
dan atau menahun.
2. Gangguan stres pasca trauma.
3. Gangguan fungsi tubuh berat (seperti tiba-tiba lumpuh atau buta
tanpa indikasi medis)
4. Depresi berat atau destruksi diri
5. Gangguan jiwa dalam bentuk hilangnya kontak dengan realitas
seperti skizofrenia dan atau bentuk psikotik lainnya
6. Bunuh diri
 Kekerasan Psikis Ringan, berupa tindakan pengendalian,
manipulasi, eksploitasi, kesewenangan, perendahan dan
penghinaan, dalam bentuk pelarangan, pemaksaan, dan isolasi
sosial; tindakan dan atau ucapan yang merendahkan atau
menghina; penguntitan; ancaman kekerasan fisik, seksual dan
ekonomis;yang masing-masingnya bisa mengakibatkan
penderitaan psikis ringan, berupa salah satu atau beberapa hal di
bawah ini:

93
1. Ketakutan dan perasaan terteror
2. Rasa tidak berdaya, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya
kemampuan untuk bertindak
3. Gangguan tidur atau gangguan makan atau disfungsi seksual
4. Gangguan fungsi tubuh ringan (misalnya, sakit kepala,
gangguan pencernaan tanpa indikasi medis)
5. Fobia atau depresi temporer

c. Kekerasan seksual
Kekerasan jenis ini meliputi pengisolasian (menjauhkan) istri
dari kebutuhan batinnya, memaksa melakukan hubungan seksual,
memaksa selera seksual sendiri, tidak memperhatikan kepuasan
pihak istri. Kekerasan seksual berat, berupa:
 Pelecehan seksual dengan kontak fisik, seperti meraba,
menyentuh organ seksual, mencium secara paksa, merangkul
serta perbuatan lain yang menimbulkan rasa muak/jijik, terteror,
terhina dan merasa dikendalikan.
 Pemaksaan hubungan seksual tanpa persetujuan korban atau
pada saat korban tidak menghendaki.
 Pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak disukai,
merendahkan dan atau menyakitkan.
 Pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan
pelacuran dan atau tujuan tertentu.
 terjadinya hubungan seksual dimana pelaku memanfaatkan
posisi ketergantungan korban yang seharusnya dilindungi.

1. Tindakan seksual dengan kekerasan fisik dengan atau tanpa


bantuan alat yang menimbulkan sakit, luka,atau cedera.

a. Kekerasan Seksual Ringan, berupa pelecehan seksual


secara verbal seperti komentar verbal, gurauan porno, siulan,
ejekan dan julukan dan atau secara non verbal, seperti
ekspresi wajah, gerakan tubuh atau pun perbuatan lainnya

94
yang meminta perhatian seksual yang tidak dikehendaki
korban bersifat melecehkan dan atau menghina korban.
b. Melakukan repitisi kekerasan seksual ringan dapat
dimasukkan ke dalam jenis kekerasan seksual berat.

d. Kekerasan ekonomi
Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup
rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya
atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan
kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang tersebut.
Contoh dari kekerasan jenis ini adalah tidak memberi nafkah istri,
bahkan menghabiskan uang istri.
Kekerasan Ekonomi Berat, yakni tindakan eksploitasi,
manipulasi dan pengendalian lewat sarana ekonomi berupa:
 Memaksa korban bekerja dengan cara eksploitatif termasuk
pelacuran.
 Melarang korban bekerja tetapi menelantarkannya.
 Mengambil tanpa sepengetahuan dan tanpa persetujuan korban,
merampas dan atau memanipulasi harta benda korban.
 Kekerasan Ekonomi Ringan, berupa melakukan upaya-upaya
sengaja yang menjadikan korban tergantung atau tidak berdaya
secara ekonomi atau tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya.

D. Siklus Umum KDRT


Siklus kekerasan umumnya bergulir sebagai berikut:
 Dimulai dengan individu tertarik dan mengembangkan hubungan
 Individu dan pasangan mulai lebih mengenal satu sama lain,
“tampil asli” dengan karakteristik dan tuntutan masing-masing,
muncul konflik dan ketegangan.
 Terjadi ledakan dalam bentuk kekerasan
 Ketegangan mereda. Korban terkejut dan memaknai apa yang
terjadi. Pelaku bersikap ”baik” dan mungkin meminta maaf.

95
 Korban merasa ”berdosa” (bila tidak memaafkan), korban
menyalahkan diri sendiri karena
 merasa atau dianggap menjadi pemicu kejadian, korban
mengembangkan harapan akan hubungan yang lebih baik.
 Periode tenang tidak dapat bertahan. Kembali muncul konflik
dan ketegangan, disusul ledakan kekerasan lagi, demikian
seterusnya
 Korban “terperangkap”, merasa bingung, takut, bersalah, tak
berdaya, berharap pelaku menepati janji untuk tidak melakukan
kekerasan lagi, dan demikian seterusnya.
 Bila tidak ada intervensi khusus (internal, eksternal) siklus
kekerasan dapat terus berputar dengan perguliran makin cepat,
dan kekerasan makin intens.
 Sangat destruktif dan berdampak merugikan secara psikologis
(dan mungkin juga fisik).

E. Karakteristik korban KDRT


Seorang perempuan yang terpelajar dan mandiri secara
ekonomi, tetap dapat menjadi pribadi
yang tidak mudah mengambil keputusan dalam menghadapi KDRT.
Hal ini dapat terjadi karena:
1. Karakteristik individu (pasif, cenderung kecil hati dan tidak
mampu mengambil keputusan).
2. Peristiwa masa lalu yang membekas dan menghalangi bersikap
asertif (trauma masa lalu yang belum terselesaikan dengan baik
dan berpengaruh terhadap cara berpikir, merasa dan bertindak
saat ini).
3. Keluarga berasal dari keluarga konvensional dan menekankan
keutuhan rumah tangga sebagai hal yang paling baik (ideologi
gender yang kaku).

96
F. Karakteristik umum pelaku
Pelaku baik sadar atau tidak memiliki peran gender yang
kaku dan seolah-olah membenarkan mereka untuk melakukan
kekerasan terhadap perempuan atau anak yang ada di
bawah lindungannya. Meski demikian, ada pula karakteristik
psikologis yang berbeda, misalnya:
 Ada yang pada dasarnya memang telah hidup dalam budaya
kekerasan, melihat kekerasan sebagai cara menyelesaikan
konflik dan mendapatkan hal yang diinginkan. Misal, orang
dengan kepribadian ”preman”.
 Ada yang mungkin tampak baik-baik saja di depan orang yang
tidak mengenal secara dekat. Ia terkesan sopan dan bersedia
bekerja sama. Akan tetapi secara khusus orang
ini berpandangan rendah tentang perempuan dan menuntut
perempuan untuk patuh, melayani, mengikuti
hal yang diinginkan. Ia tersosialisasi untuk mengembangkan
dominasi yang besar atas perempuan. Sebagai kepala keluarga,
ia juga menuntut anak untuk patuh.
 Dekat dengan ciri di atas, pelaku yang dibesarkan dalam
lingkungan disiplin bernuansa kekerasan di masa kecil akan
mengambil pola yang sama untuk keluarganya ketika dewasa.

G. Faktor – Faktor Penyebab Munculnya KDRT


Strauss A. Murray mengidentifikasi hal dominasi pria dalam
konteks struktur masyarakat dan keluarga, yang memungkinkan
terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (marital violence) sebagai
berikut:
a) Pembelaan atas kekuasaan laki-laki
Laki-laki dianggap sebagai superioritas sumber daya
dibandingkan dengan wanita, sehingga mampu mengatur dan
mengendalikan wanita.
b) Diskriminasi dan pembatasan dibidang ekonomi
Diskriminasi dan pembatasan kesempatan bagi wanita untuk
bekerja mengakibatkan wanita (istri) ketergantungan terhadap

97
suami, dan ketika suami kehilangan pekerjaan maka istri
mengalami tindakan kekerasan
c) Beban pengasuhan anak
Istri yang tidak bekerja, menjadikannya menanggung beban
sebagai pengasuh anak. Ketika terjadi hal yang tidak diharapkan
terhadap anak, maka suami akan menyalah-kan istri sehingga
tejadi kekerasan dalam rumah tangga.
d) Wanita sebagai anak-anak
Konsep wanita sebagai hak milik bagi laki-laki menurut hukum,
mengakibatkan kele-luasaan laki-laki untuk mengatur dan
mengendalikan segala hak dan kewajiban wanita. Laki-laki
merasa punya hak untuk melakukan kekerasan sebagai seorang
bapak melakukan kekerasan terhadap anaknya agar menjadi
tertib.
e) Orientasi peradilan pidana pada laki-laki
Posisi wanita sebagai istri di dalam rumah tangga yang
mengalami kekerasan oleh suaminya, diterima sebagai
pelanggaran hukum, sehingga penyelesaian kasusnya sering
ditunda atau ditutup. Alasan yang lazim dikemukakan oleh
penegak hukum yaitu adanya legitimasi hukum bagi suami
melakukan kekerasan sepanjang bertindak dalam konteks
harmoni keluarga.

Adapula Faktor – Faktor Lain yang menjadi penyebab


KDRT, Yaitu :
 laki-laki dan perempuan tidak dalam posisi yang setara
 Masyarakat menganggap laki-laki dengan menanamkan
anggapan bahwa laki-laki harus kuat, berani serta tanpa ampun
 KDRT dianggap bukan sebagai permasalahan sosial, tetapi
persoalan pribadi terhadap relasi suami istri
 Pemahaman keliru terhadap ajaran agama, sehingga timbul
anggapan bahwa laki-laki boleh menguasai perempuan

98
H. Penyebab Terjadinya Kekerasan dalam Rumah Tangga
Perspektif Sosiologi Hukum
Kekerasan telah terjadi sepanjang sejarah kemanusiaan yang
menampilkan kekerasan, baik yang bersifat individual mau pun
kolektif. Kenyataan historis ini menunjukkan bahwa kekerasan
merupakan ungkapan dari suatu ’potensi’ yang tersimpan pada
setiap manusia, yaitu potensi dengan ’tendensi’ untuk menjelma
sebagai tingkah laku yang agresif. [11]
Dalam kaitan ini Erich Fromm mengemukakan bahwa dalam
diri manusia terdapat dua jenis agresi yang berbeda, yakni (1) agresi
defensif yang dimaksudkan untuk mempertahankan hidup, bersifat
adaptif biologis dan hanya muncul jika memang ada ancaman; dan
(2) agresi jahat, kekerasan dan kedestruktifan, merupakan ciri khas
spisies manusia. Agresi ini tidak terprogram secara filogenetik dan
tidak adaptif secara biologis. Ia tidak mempunyai tujuan dan muncul
karena dorongan nafsu semata. Karena itu dalam kondisi tertentu
manusia lebih kejam dari binatang.Manusia merupakan satu-satunya
primata yang tega menyiksa sesamanya tanpa alasan yang jelas, baik
alasan biologis maupun ekonomis.
Dengan demikian kekerasan merupakan suatu tingkah laku
agresif yang dilakukan seseorang terhadap orang lain secara sengaja
untuk menyebabkan korban mengalami penderitaan lahir atau batin.
Perlu dikemukakan bahwa potensi kekerasan merupakan
daya yang tersimpan secara latent, sedangkan tendensi kekerasan
adalah aktualisasinya yang terwujud dalam tingkah laku tertentu.
Pada umumnya tindakan agresif dapat digambarkan sebagai
pelampiasan dorongan naluri untuk berhasil menyakiti atau
mencederai pihak lain yang dijadikan sasarannya. Keberhasilan dari
tindakan itu dengan sendirinya berakibat meredanya daya dorongan
itu. Dari sini muncul satu teori kekerasan, yaitu teori agresif-
frustrasi ( frustration-aggression theory ) yang menerangkan
”adanya pertautan langsung antara derajat frustrasi tertentu yang
dialami seseorang dengan timbulnya kecenderungan bertingkahlaku
agresif.”

99
Jadi, dalam konteks ini pemaknaan agresivitas yang dibatasi
dengan ketentuan adanya intent to harm or hurt others, belum
sepenuhnya dapat mencakup berbagai perwujudan tingkah laku
agresif. Dengan demikian, tindakan kekerasan itu cenderung
menjadi pilihan pelakunya untuk menyelesaikan suatu problema
yang dihadapinya. Dalam hal ini cukup banyak hasil studi yang
menunjukkan betapa terpaan yang sering diperoleh melalui adegan
kekerasan sangat berpengaruh bagi seseorang untuk juga
menjadikan tindakan kekerasan sebagai alternatif dalam
penyelesaian problema yang dihadapinya. Tingginya frekuensi
adegan tindakan kekerasan yang menimpa seseorang akan
menimbulkan desensitisasi pada dirinya, berupa kehilangan
perasaan tega menyaksikan dan bahkan melakukan tindakan
kekerasan kepada orang lain.
Dari fenomena itu muncul teori kekerasan yang dikenal
dengan ”teori pembelajaran sosial ( social learning theory ).”
Menurut teori ini, tindakan kekerasan pada umumnya adalah ”hasil
proses pembelajaran dari interaksi individu dengan lingkungannya
(dalam hal ini lingkungan sosialnya, termasuk lingkungan
keluarga).”Dalam realitasnya keluarga merupakan lingkungan
pergaulan anak yang pertama dan utama. Begitu pula dalam
lingkungan sekolah.
Lingkungan keluarga juga memberikan pengalaman tentang
kekerasan kepada anak. Dalam kaitan ini K. Durkin mengatakan
bahwa “salah satu tempat terpenting dimana seorang belajar tentang
agresi adalah dalam keluarga, terutama dalam cara membesarkan
anak, dengan tingkah laku agresif pada anak-anak.”
Anak yang terbiasa menyaksikkan kekerasan dalam
keluarganya, dikemudian hari akan memandang kekerasan bukan
saja sebagai alternatif untuk menyelesaikan problemanya, melainkan
juga beranggapan bahwa perilaku kekerasan itu bersifat normatif
yang layak untuk dilakukan. Ini berarti, bahwa kekerasan yang
terjadi dalam lingkungan keluarga ( domestic violonce ) akan
melahirkan kekerasan baru.

100
Relasi antara anggota keluarga memang tidak selamanya
diwarnai dengan kekerasan sejak awal. Bahkan kebanyakan
hubungan keluarga yang berakhir dengan kekerasan dalam rumah
tangga, diawali dengan relasi yang harmonis. Namun dalam
perjalanan kehidupan muncul ketidaksesuain dan konflik antar
anggota keluarga. Dalam suasana seperti ini jika tidak dapat
terselesaikan secara alami, akan memberi peluang penggunaan
kekerasan sebagai solusi.
Pengalaman kekerasan juga dapat diperoleh melalui
pergaulan dengan teman-teman sebaya. Jika dalam lingkungan ini
anak menyaksikkan bahwa tindakan kekerasan juga bisa menjadi
alternatif untuk menyelesaikan persoalan, maka anak mendapat
pembelajaran sosial yang dipandang efektif untuk diaplikasikan jika
dibutuhkan. Hal yang sama bisa diperoleh melalui adegan-adegan
kekerasan secara visualisasi, khususnya media massa elektronik
yang dikenal dengan TV-violence. Melalui tingginya frekuensi
tontonan adegan kekerasan akan melahirkan apa yang disebut
”kultur kekerasan” (the cult of violence). Hal ini menimbulkan
penggunaan tindak kekerasan sebagai solusi dalam berbagai aspek
kehidupan manusia. Bukan saja terhadap pihak lain tetapi juga
terhadap diri sendiri, misalnya karena merasa frustrasi dalam
menyelesaikan masalahnya, yang bersangkutan melakukan bunuh
diri yang dianggap sebagai solusi. Apalagi kebanyakan tayangan
sinetron bertema kekerasan dalam rumah tangga, ceritanya berakhir
tanpa pemberian hukuman kepada pelakunya.
Kekerasan juga bisa terjadi karena mendapat legitimasi
secara ideologi. Kekerasan apa pun yang terjadi dalam masyarakat,
sesungguhnya berangkat dari suatu ideologi tertentu yang
mengesahkan penindasan di satu pihak- baik individual mau pun
kolektif- terhadap pihak lain yang disebabkan oleh anggapan
ketidaksetaraan kekuatan yang ada dalam masyarakat. Hal ini
selaras dengan ”teori relasi kekuasaan” yang dikemukakan oleh
Michel Foucault, bahwa kekuasaan sama dengan serba banyak relasi
kekuasaan yang bekerja di salah satu ruang atau waktu. Kekuasaan

101
itu sendiri menindas, menyebabkan kekuasaan itu memproduksi
kebenaran. Karena ”kebenaran berada di dalam relasi-relasi sirkular
dengan sistem kekuasaan yang memproduksi kebenaran dan
menjaga kebenaran itu.” Karena itu ”kebenaran tidak ada dengan
sendirinya. Karena tidak berada di luar kekuasaan, ia berada di
dalam kekuasaan.” Dengan demikian, ”kebenaran adalah
kekuasaan.”
Berdasarkan ”teori relasi kekuasaan” tersebut, orang
cenderung kepada kekerasan karena merasa memiliki kekuasaan
terhadap pihak lain, sekaligus korbannya. Dalam konteks inilah
seorang penguasa merasa mempunyai kewenangan untuk melakukan
”kekerasan” kepada rakyatnya. Karena sang penguasa menganggap
kekuasaan yang dimilikinya sebagai legitimasi terhadap semua
tindakannya. Tindakan apa pun yang dilakukan atas nama
kekuasaan adalah sah. Sehingga melakukan kekerasan pun dianggap
sah pula
Orangtua merasa memiliki kekuasaan terhadap anak-anaknya
sehingga merasa berhak melakukan kekerasan kepada mereka.
Seorang suami merasa mempunyai kekuasaan terhadap isterinya
sehingga menganggap kekerasan kepada isteri adalah bagian dari
kekuasaan yang dimilikinya.Dengan demikian kekerasan terjadi
dalam lingkungan tertentu dimana hanya kekerasan yang menjadi
satu-satunya cara untuk mengekspresikan eksistensi kemanusiaan.
Kekerasan hanyalah manifestasi eksternal dan yang terakhir setelah
upaya panjang dan berliku dilewati.
Selaras dengan uraian di atas dalam teori sosiologi
dikemukakan bahwa kekerasan atau kejahatan disebabkan oleh
kondisi-kondisi dan proses-proses sosial yang sama yang
menghasilkan perilaku-perilaku sosial lainnya. Dalam hal ini faktor
penyebab terjadinya kekerasan melalui beberapa bentuk proses,
seperti imitasi, pelaksanaan peran sosial, asosiasi diferensial,
kompensasi, identifikasi, konsep diri pribadi dan kekecewaan yang
agresif. Dengan kata lain, bahwa seseorang berperilaku jahat dengan
cara yang sama dengan perilaku yang tidak jahat. Artinya, perilaku

102
kekerasan dipelajari dalam interaksi dengan orang-orang lain dan
orang tersebut mendapatkan perilaku kekerasan sebagai hasil
interaksi yang dilakukannya dengan orang-orang yang berperilaku
cenderung melawan norma-norma hukum.
Terjadinya kekerasan bisa jadi disebabkan oleh gangguan
psikologis yang berasal dari keluarga lantaran orangtua tidak
mampu berfungsi sebagai pendidik yang baik atau tidak
berfungsinya keluarga sebagai lembaga psiko-sosial. Orang tua tidak
dapat mengintegrasikan anaknya dalam keutuhan keluarga. Hal ini
terjadi, karena dalam diri manusia terdapat dorongan-dorongan yang
menuntut memperoleh pemuasan dan dorongan-dorongan itu akan
tampak jika bertemu dengan stimulus yang cocok, dan selanjutnya
dorongan-dorongan itu bersama dengan tabiat nafs lainnya
menentukan bagaimana merespon stimulus tersebut. Dalam keadaan
motif mendorong pada tingkah laku negatif, ia berpotensi untuk
mempengaruhi seseorang, hingga berwujud pada tingkah laku yang
tidak terkendali. Ini berarti, kekerasan bukan saja terjadi di area
publik namun telah merambat ke area domestik (rumah tangga).

I. Cara Penanggulangan Kekerasan dalam Rumah Tangga


Untuk menghindari terjadinya Kekerasan dalam Rumah
Tangga, diperlukan cara-cara penanggulangan Kekerasan dalam
Rumah Tangga, antara lain:
 Perlunya keimanan yang kuat dan akhlaq yang baik dan
berpegang teguh pada agamanya sehingga Kekerasan dalam
rumah tangga tidak terjadi dan dapat diatasi dengan baik dan
penuh kesabaran.
 Harus tercipta kerukunan dan kedamaian di dalam sebuah
keluarga, karena didalam agama itu mengajarkan tentang kasih
sayang terhadap ibu, bapak, saudara, dan orang lain. Sehingga
antara anggota keluarga dapat saling mengahargai setiap
pendapat yang ada.
 Harus adanya komunikasi yang baik antara suami dan istri, agar
tercipta sebuah rumah tangga yang rukun dan harmonis. Jika di

103
dalam sebuah rumah tangga tidak ada keharmonisan dan
kerukunan diantara kedua belah pihak, itu juga bisa menjadi
pemicu timbulnya kekerasan dalam rumah tangga.
 Butuh rasa saling percaya, pengertian, saling menghargai dan
sebagainya antar anggota keluarga. Sehingga rumah tangga
dilandasi dengan rasa saling percaya. Jika sudah ada rasa saling
percaya, maka mudah bagi kita untuk melakukan aktivitas. Jika
tidak ada rasa kepercayaan maka yang timbul adalah sifat
cemburu yang kadang berlebih dan rasa curiga yang kadang juga
berlebih-lebihan.
 Seorang istri harus mampu mengkoordinir berapapun keuangan
yang ada dalam keluarga, sehingga seorang istri dapat mengatasi
apabila terjadi pendapatan yang minim, sehingga kekurangan
ekonomi dalam keluarga dapat diatasi dengan baik.

J. Penegakan Hukum Terhadap Pelaku Kekerasan dalam


Rumah Tangga dalam Perspektif Hukum Islam
Selama ini ada ulama, di antaranya Nawawi Banten dalam
kitabnya ‘Uqud al-Lujain, yang berpendapat bahwa kewajiban
utama isteri adalah melayani kebutuhan biologis suami. Menolak
tuntutan seksual suami merupakan dosa besar bagi seorang isteri.
Menurutnya pula, bahwa suami dibolehkan “memukul” isterinya
yang dianggap nusyuz, seperti menolak untuk berhias, menolak
ajakan tidur, keluar rumah tanpa izin, memukul anaknya yang masih
kecil yang sedang menangis, mencaci maki orang lain,
mengucapkan kata-kata yang tidak pantas, seperti ‘bodoh’ walaupun
suami mencaci lebih dulu, menampakkan wajah kepada lelaki yang
bukan mahramnya, memberikan sesuatu dari harta suaminya di luar
adat kebiasaan, menolak menjalin hubungan kekeluargaan dengan
saudara suaminya. Pandangan ini sebenarnya mengacu kepada
tekstual kalimat wadribuhunna dalam QS. al-Nisa (4): 34 yang
memberi kesan suami diberi wewenang memukul isteri yang
nusyuz.

104
Padahal “memukul” yang dimaksudkan ayat di atas bukanlah
memberikan kekuasaan kepada suami memukul isteri tanpa batas,
melainkan pukulan sebagai sarana edukatif. Untuk itu ada beberapa
ketentuan yang harus diperhatikan oleh suami, di antaranya:
1. Dilarang memukul dengan menggunakan alat, seperti tongkat dan
sejenisnya;
2. Dilarang memukul pada bagian wajah;
3. Dilarang memukul hanya pada satu bagian tertentu, dan
4. Dilarang memukul yang dapat menimbulkan cedera, apalagi
hingga cacat.

Ketentuan di atas menunjukkan bahwa pukulan secara fisik


yang terpaksa dilakukan suami, tidak boleh menjurus sebagai
penganiayaan. Suami juga dilarang memukul isteri pada tiga
kondisi, yaitu:
a. Memukul isteri tanpa melalui tahapan nasehat dan pisah tempat
tidur dengan isteri.
b. Memukul yang menyakitkan, karena pukulan yang dikehendaki
ayat di atas adalah pukulan mendidik, bukan pukulan keras yang
dapat meninggalkan bekas, apalagi sampai mematahkan tulang.
Tetapi pukulan yang tidak meninggalkan bekas menurut
ungkapan Nabi saw.
c. Memukul yang bersifat dendam dan ingin menang sendiri.
Seperti diisyaratkan dalam makna potongan ayat “kemudian jika
mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan
untuk menyusahkannya,” yang berarti janganlah kamu
menggunakan pukulan dan pisah ranjang sebagai cara untuk
menyusahkan dan menyakiti isteri. Begitu pula ungkapan makna
ayat “sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar
mengisyaratkan, bahwa suami yang bersikap zalim akan
mendapat ancaman dari Allah dan suami jangan mencari jalan
untuk menyusahkan isterinya.

105
Tentang makna pukulan yang tidak meninggalkan bekas ini
Aţa pernah menanyakannya kepada Ibnu Abbas, yang kemudian
dijawab Ibn Abbas: “dengan siwak dan sejenisnya.” Namun realitas
yang terjadi, suami memukul isterinya secara sewenang-wenang,
dan menjurus kepada kekerasan fisik. Indikasinya, isteri mengalami
kekerasan fisik dalam berbagai bentuk:
1. Kekerasan fisik berat, berupa penganiayaan berat seperti
menendang; memukul, menyundut; melakukan percobaan
pembunuhan atau pembunuhan dan semua perbuatan lain yang
dapat mengakibatkan: (a) cedera berat, (b) tidak mampu
menjalankan tugas sehari-hari, (c) pingsan, (d) luka berat pada
tubuh korban dan atau luka yang sulit disembuhkan atau yang
menimbulkan bahaya mati, (e) kehilangan salah satu panca
indera, (f) mendapat cacat., (g) menderita sakit lumpuh, (h)
terganggunya daya pikir selama 4 minggu lebih, (i) gugurnya
atau matinya kandungan seorang perempuan, (j) kematian
korban.
2. Kekerasan fisik ringan, berupa menampar, menjambak,
mendorong, dan perbuatan lainnya yang mengakibatkan: (a)
cedera ringan, (b) rasa sakit dan luka fisik yang tidak masuk
dalam kategori berat.

Dengan demikian tindakan kekerasan fisik yang dilakukan


suami yang menyebabkan isteri luka-luka bahkan cidera dan cacat
apalagi meninggal dunia tidak dibenarkan oleh hukum Islam.
Bahkan Nabi saw mengecam suami yang memukul isterinya melalui
sabdanya:
“Dari Abdullah bin Zam’ah, bahwa Rasulullah saw berkhutbah lalu
beliau menyebut perempuan dengan berwasiat tentang mereka
kemudian bersabda: ”Sampai kapankah seseorang diantaramu
mencambuk isterinya seperti mencambuk budak wanita? Dan
mungkin saja ia menggaulinya di akhir (malam) harinya.”
Dalam konteks ini pula sebagai manusia biasa, isteri-isteri
Nabi saw juga pernah berbuat salah dan menyakiti hati Nabi saw,

106
seperti saat mereka menuntut tambahan nafkah kepada Nabi saw.
Namun ternyata Nabi saw tidak menanggapinya dengan kekerasan.
Bahkan Nabi saw dalam kehidupannya tidak pernah memukul dan
melakukan tindak kekerasan kepada para isterinya. Ini berarti,
bahwa hukum Islam anti kekerasan dalam rumah tangga, baik
kekerasan fisik, psikis, seksual maupun ekonomi.
Selaras dengan uraian di atas, jika isteri korban kekerasan
fisik yang mengakibatkan korban cedera, cacat atau meninggal
dunia, maka pelaku dapat dikenakan jarimah diyat, jika isteri cedera
atau luka dan jarimah qisas jika isteri meninggal dunia. Hukum
Islam juga tidak mentolerir kekerasan seksual. Karena Nabi saw
tidak membenarkan suami melakukan hubungan biologis dengan
istrinya tanpa foreplay, sesuai isyarat hadis:
‘Dari Abu Hurairah r.a (bahwa) Nabi saw bersabda: Janganlah
salah seorang di antaramu menggauli istrinya seperti seekor
binatang. Hendaklah terlebih dahulu ia memberikan rangsangan
dengan ciuman dan rayuan.’ (HR. Ahmad).
Ini berarti berarti hukum Islam menolak kekerasan seksual
dalam rumah tangga yang dilakukan suami, misalnya menyetubuhi
istri di saat tertidur, dipaksa saat haid, nifas. Apalagi tindakan suami
yang menjual isteri kepada orang lain atau memaksa isteri menjadi
pelacur untuk tujuan komersial, seperti kasus Yudhi yang divonis
satu tahun penjara karena menjual isterinya, Rini Sundari dengan
tarif minimal Rp. 300.000 sekali pakai. Hasil “penjualan” itu
digunakan Yudhi untuk berfoya-foya.
Sikap suami yang memaksa isteri melacurkan diri untuk
tujuan komersil pada hakekatnya telah menjurus kepada pemaksaan
untuk berzina sekaligus perbudakan. Padahal kedua-duanya sangat
dilarang dalam Islam. Memperbudak seseorang – termasuk isteri –
sama artinya telah mematikan jiwanya. Walau pun ia masih
bernyawa dan beraktivitas namun pada hakekatnya ia telah mati,
karena kebebasaannya telah hilang. Sehingga kifarat dalam berbagai
pelanggaran adalah pembebasan budak. Karena itu dalam kasus

107
pemaksaan suami terhadap untuk melacurkan diri untuk tujuan
komersial bia dikategorikan sebagai penjualan perempuan.
Dalam konteks ini menurut pendapat mazhab Zahiri, kasus
pemerkosaan bisa diklasifikasikan pada konsep hirabah karena
pemerkosaan merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan bisa
dikategorikan sebagai upaya membumihanguskan eksistensi
khalifah fi al-ard . Tegasnya menurut mereka, bahwa ”setiap orang
yang menyerang, merampok, merusak kehormatan orang lewat dan
mengancam akan melukai, membunuh, melecehkan adalah muharib.
Hal ini sejalan dengan pendapat sebagian ahli fiqh mazhab
Syafi’i dan mazhab Maliki. Mereka berpendapat, bahwa pelecehan
(kekerasan) seksual secara terang-terangan adalah hirābah. Dengan
demikian dalam pandangan mazhab Zahriah, Syafi’i dan Maliki,
bahwa tindak kekerasan seksual merupakan kejahatan terhadap
kemanusiaan sehingga diidentikkan dengan hirābah dan pelakunya
harus dihukum berat.
Bertolak dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa hadis
yang memuat informasi adanya kutukan kepada isteri yang menolak
ajakan suami melakukan hubungan seksual bukanlah untuk
melegitimasi kekerasan seksual dalam rumah tangga. Sebaliknya
Islam sangat melarang suami melakukan kekerasan seksual kepada
isterinya. Salah satu bentuk kekerasan seksual tersebut, adalah
suami memaksa isteri yang sedang hadis melayani hasrat biologis
suami, atau melakukan hubungan biologis yang disertai ancaman
fisik kepada isteri. Bahkan salah satu bentuk akhlak seorang suami
adalah mampu berlapang dada dan menggauli isterinya tanpa
kekerasan. Apalagi hubungan seksual merupakan jalinan dua hati
dan raga yang kenikmatannya bukan saja monopoli suami tetapi
juga milik isteri. Bahkan Nabi saw melarang suami melakukan
hubungan biologisnya dengan isterinya tanpa ”pemanasan” terlebih
dahulu.
Dalam kaitan ini Yūsuf Qardawî mengatakan bahwa laknat
yang disebutkan dalam hadis itu terjadi jika isteri tidak sedang uzur
seperti sakit atau karena ada halangan syar’i (haid, nifas), dan

108
sebagainya. Walau pun demikian tidak tertutup kemungkinan
keengganan isteri lantaran sifat egois semata, atau kesalahan
persepsi terhadap hubungan seksual.
Munculnya keengganan isteri memenuhi hasrat seksual
suami bisa jadi didorong oleh anggapannya, bahwa hubungan
seksual hanyalah pelayanan terhadap suami. Sehingga perasaan itu
menghalanginya menikmati seks. Persepsi itu berkaitan pula dengan
anggapannya, bahwa pernikahan bukanlah hasil cinta dan hubungan
perasaan, sehingga mengalami firigiditas. Frigiditas (kekakuan
dalam hubungan seksual) yang dialami isteri seringkali disebabkan
oleh egoisme suami dalam memuaskan kebutuhan seksualnya.
Jadi, yang dimaksud hadis, adalah penolakan isteri
memenuhi hasrat biologis suaminya dengan tujuan untuk menyakiti
hati suaminya, bukan karena alasan kesehatan, seperti sakit keras,
sangat kelelahan atau alasan syar’i seperti haid, atau nifas. Karena
itu menurut hukum Islam, paksaan suami kepada isterinya untuk
melakukan hubungan biologis belum masuk dalam wilayah marital
rape atau kekerasan seksual dalam rumah tangga.
Hukum Islam juga anti kekerasan ekonomi (penelantaran
rumah tangga). Karena suami berkewajiban memberi nafkah,
pakaian dan tempat tinggal kepada isteri dan anak-anaknya secara
layak (ma’ruf ). Suami juga wajib memberi mahar kepada isterinya,
dan jika ditangguhkan penyerahannya akan menjadi hutang suami
yang harus dilunasi, seperti hutang-hutang yang lain. Perampasan
hak mahar isteri tergolong dosa besar. Sehingga ada ungkapan orang
bijak bahwa ”Allah mengampuni semua dosa pada hari kiamat
kecuali mahar wanita (isteri), orang yang merampas upah
pekerjanya, dan yang menjual orang merdeka (untuk dijadikan
budak).”
Adanya ancaman hukum terhadap suami yang mengabaikan
hak isteri- berupa mahar menunjukkan bahwa adanya perhatian
serius hukum Islam terhadap penanggulangan kekerasan ekonomi
dalam rumah tangga. Karena mahar merupakan menjadi hak milik
isteri, sehingga jika suami enggan memberikan kepada isterinya atau

109
setelah diserahkan, suami merampasnya kembali, maka berarti
suami telah melakukan suatu kekerasan ekonomi terhadap isteri.
Walaupun pasal 9 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004
tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga secara
eksplisit tidak memasukkan perampasan mahar dalam kategori
penelantaran rumah tangga (kekerasan ekonomi), namun secara
implisit menunjukkan bahwa perampasan mahar yang menjadi hak
isteri dapat diklasifikasikan dalam substansi pasal 9 ayat (1) UU
Penghapusan KDRT, yang menegaskan bahwa:
Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup
rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya
atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan
kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut.
Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa Islam memberikan
perlindungan kepada perempuan (isteri) dari kekerasan ekonomi
yang dilakukan laki-laki (suami) dengan cara melarang suami
mengambil kembali mahar yang telah diberikan kepadanya tanpa
kerelaan isteri.
Mengingat betapa pentingnya hak nafkah bagi isteri dan anak
itu, isteri dibolehkan mengambil sendiri tanpa sepengetahuan
suaminya, seperti yang pernah dilakukan oleh Hindun binti Utbah,
isteri Abu Sufyan, lantaran Abu Sufyan kikir sehingga dilaporkan
kepada Rasulullah saw. Ini menunjukkan, bahwa keengganan suami
memberikan nafkah secara layak (kekerasan ekonomi) kepada isteri
dapat dilaporkan kepada penguasa, sebab dalam kasus ini posisi
Nabi saw bukan sekedar sebagai pemimpin agama, namun lebih
sebagai pemimpin masyarakat Madinah saat itu. Persetujuan Nabi
saw atas tindakan Hindun binti Utbah itu disebabkan Hindun hanya
mengambil sesuatu yang menjadi haknya.

110
Sumber Referensi

Hamzah , Abu. Stop ! KDRT. pustaka imam syafi’i.


Hadiati, Moerti, Soeroso. KDRT dalam pandangan islam. UU No.23
tahun 2004 tentang KDRT
http://islampos.com/kekeasaran-dalam-rumah-tangga
Hadist shahih bukhari muslim : hadist tentang kdrt

111
HUMAN TRAFFICKING
Oleh : Tina Lestari_1138030210_5-F

Pengertian Human Trafficking


Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) mendefinisikan trafficking
sebagai : Perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan, atau
penerimaan seseorang, dengan ancaman, atau penggunaan
kekerasan, atau bentuk-bentuk pemaksaan lain, penculikan,
penipuan, kecurangan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi
rentan, atau memberi atau menerima bayaran atau manfaat untuk
memperoleh ijin dari orang yang mempunyai wewenang atas orang
lain, untuk tujuan eksploitasi. (Protokol PBB tahun 2000 untuk
Mencegah, Menanggulangi dan Menghukum Trafficking terhadap
Manusia, khususnya perempuan dan anak-anak; Suplemen Konvensi
PBB mengenai Kejahatan Lintas Batas Negara).
Dari definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa istilah
trafficking merupakan:
a. Pengertian trafficking dapat mencakup kegiatan pengiriman
tenaga kerja, yaitu kegiatan memindahkan atau mengeluarkan
seseorang dari lingkungan tempat tinggalnya/keluarganya.
Tetapi pengiriman tenaga kerja yang dimaksud tidak harus atau
tidak selalu berarti pengiriman ke luar negeri.
b. Meskipun trafficking dilakukan atas izin tenaga kerja yang
bersangkutan, izin tersebut sama sekali tidak menjadi relevan
(tidak dapat digunakan sebagai alasan untuk membenarkan
trafficking tersebut) apabila terjadi penyalahgunaan atau korban
berada dalam posisi tidak berdaya. Misalnya karena terjerat
hutang, terdesak oleh kebutuhan ekonomi, dibuat percaya bahwa
dirinya tidak mempunyai pilihan pekerjaan lain, ditipu, atau
diperdaya.
c. Tujuan trafficking adalah eksploitasi, terutama tenaga kerja
(dengan menguras habis tenaga yang dipekerjakan) dan
eksploitasi seksual (dengan memanfaatkan kemudaan,

112
kemolekan tubuh, serta daya tarik seks yang dimiliki tenaga
kerja yang yang bersangkutan dalam transaksi seks).
Sedangkan Global Alliance Against Traffic in Woman
(GAATW) mendefinisikan perdagangan(trafficking): Semua usaha
atau tindakan yang berkaitan dengan perekrutan, pembelian,
penjualan, transfer, pengiriman, atau penerimaan seseorang dengan
menggunakan penipuan atau tekanan, termasuk pengunaan ancaman
kekerasan atau penyalahgunaan kekuasaan atau lilitan hutang
dengan tujuan untuk menempatkan atau menahan orang tersebut,
baik dibayar atau tidak, untuk kerja yang tidak diinginkan (domestik
seksual atau reproduktif) dalam kerja paksa atau dalam kondisi
perbudakan, dalam suatu lingkungan lain dari tempat dimana orang
itu tinggal pada waktu penipuan, tekanan atau lilitan hutang pertama
kali.
Dari definisi ini, dapat disimpulkan bahwa istilah
perdagangan (trafficking) mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
1. Rekrutmen dan transportasi manusia
2. Diperuntukkan bekerja atau jasa/melayani
3. Untuk kepentingan pihak yang memperdagangkan

Faktor Penyebab Human Trafficking


Tidak ada satu pun yang merupakan sebab khusus terjadinya
trafficking manusia di Indonesia. Trafficking disebabkan oleh
keseluruhan hal yang terdiri dari bermacam-macam kondisi serta
persoalan yang berbeda-beda. Termasuk ke dalamnya adalah:
1. Kemiskinan
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) adanya
kecenderungan jumlah penduduk miskin terus meningkat dari 11,3%
pada tahun 1996 menjadi 23,4% pada tahun 1999, walaupun
berangsur-angsur telah turun kembali menjadi 17,6% pada tahun
2002, kemiskinan telah mendorong anak-anak untuk tidak
bersekolah sehingga kesempatan untuk mendapatkan keterampilan
kejuruan serta kesempatan kerja menyusut. Seks komersial
kemudian menjadi sumber nafkah yang mudah untuk mengatasi

113
masalah pembiayaan hidup. Kemiskinan pula yang mendorong
kepergian ibu sebagai tenaga kerja wanita yang dapat menyebabkan
anak terlantar tanpa perlindungan sehingga beresiko menjadi korban
perdagangan manusia.
a. Keinginan cepat kaya
Keinginan untuk hidup lebih layak, tetapi dengan
kemampuan yang minim dan kurang mengetahui informasi pasar
kerja, menyebabkan mereka terjebak dalam lilitan hutang para
penyalur tenaga kerja dan mendorong mereka masuk dalam dunia
prostitusi.
b. Pengaruh sosial budaya
Disini misalnya, budaya pernikahan di usia muda yang
sangat rentan terhadap perceraian, yang mendorong anak memasuki
eksploitasi seksual komersial. Berdasarkan UU Perkawinan
No.1/1974, perempuan Indonesia diizinkan untuk menikah pada usia
16 tahun atau lebih muda jika mendapat izin dari pengadilan.
Meskipun begitu, dewasa ini pernikahan dini masih berlanjut
dengan persentase 46,5% perempuan menikah sebelum mencapai
usia 18 tahun dan 21,5% sebelum mencapai usia 16 tahun. Tradisi
budaya pernikahan dini menciptakan masalah sosio-ekonomi untuk
pihak lelaki maupun perempuan dalam perkawinan tersebut. Tetapi
implikasinya terutama terlihat jelas bagi gadis/perempuan. Masalah-
masalah yang mungkin muncul bagi perempuan dan gadis yang
melakukan pernikahan dini antara lain: Dampak buruk pada
kesehatan (kehamilan prematur, penyebaran HIV/AIDS),
pendidikan terhenti, kesempatan ekonomi terbatas, perkembangan
pribadi terhambat dan tingkat perceraian yang tinggi.
Masing-masing isu diatas adalah masalah sosial yang
berkenaan dengan kesejahteraan anak perempuan khususnya penting
dalam hal kerentanan terhadap perdagangan. Hal ini dikarenakan:
1. Perkembangan pribadi yang terhambat, membuat banyak gadis
tidak mempunyai bekal keterampilan kerja yang cukup
berkembang, sehingga mereka akan kesulitan untuk berunding

114
mengenai kodisi dan kontrak kerja, atau untuk mencari bantuan
jika mengalami kekerasan dan eksploitasi.
2. Keterbatasan pendidikan, mereka sering rentan terhadap
pekerjaan yang eksploitatif dan perdagangan karena mereka
umumnya tidak terlalu paham hak-haknya.
3. Peluang ekonomi yang terbatas, mengingat terbatasnya pilihan
ekonomi dan kekuatan tawar-menawar mereka, perempuan muda
rentan terhadap pekerjaan yang eksploitatif dan perdagangan.

c. Kurangnya pencatatan kelahiran


Anak dan orang dewasa yang tidak terdaftar serta tidak
memiliki akta kelahiran amat rentan terhadap eksploitasi. Orang
yang tidak dapat memperlihatkan akta kelahirannya sering kali
kehilangan perlindungan yang diberi hukum karena dimata negara
secara teknis mereka tidak ada. Rendahnya registrasi kelahiran,
khususnya di kalangan masyarakat desa, memfasilitasi perdagangan
manusia. Agen dan pelaku perdagangan memanfaatkan ketiadaan
akta kelahiran asli untuk memalsukan umur perempuan muda agar
mereka dapat bekerja di luar negeri. Contoh, seperti yang
dikemukakan dalam bagian Kalimantan Barat dari laporan ini
(bagian VF), agen yang sah maupun gelap memakai kantor imigrasi
di Entikong, Kalimantan Barat, untuk memproses paspor palsu bagi
gadis-gadis di bawah umur.

d. Korupsi dan lemahnya penegakan hukum


Korupsi di Indonesia telah menjadi suatu yang lazim dalam
kehidupan sehari-hari, karena baik kalangan atas maupun bawah
telah melakukan praktik korupsi ini. Karena itulah, korupsi
memainkan peran integral dalam memfasilitasi perdagangan
perempuan dan anak di Indonesia, disamping dalam menghalangi
penyelidikan dan penuntutan kasus perdagangan. Mulai dari biaya
illegal dan pemalsuan dokumen. Dampak korupsi ini terhadap buruh
migran perempuan dan anak harus dipelajari dari umur mereka yang
masih muda dan lugu, yang tidak tahu bagaimana cara menjaga diri

115
di kota-kota besar karena mereka tidak terbiasa dan sering malu
untuk mencari bantuan. Tidak peduli berapa usia dan selugu apa pun
mereka, mereka yang berimigrasi dengan dokumen palsu takut
status illegal mereka akan membuat mereka jatuh ke dalam kesulitan
lebih jauh dengan pihak berwenang atau dapat dideportasi. Pelaku
perdagangan memanfaatkan ketakutan ini, untuk terus
mengeksploitasi para perempuan dan proyek. Masalah lain yaitu
lemahnya hukum di Indonesia.
Untuk penyelidikan dan penuntutan kasus-kasus
perdagangan, sistem hukum Indonesia sampai sekarang masih
lemah, lamban dan mahal. Sangat sedikit transparansi, sehingga
hanya sedikit korban yang mempercayakan kepentingan mereka
kepada sistem tersebut. Perilaku kriminal memiliki sumber daya dan
koneksi untuk memanfaatkan sistem tersebut. Akibatnya, banyak
korban perdagangan yang tidak mau menyelesaikan masalah melalui
proses hukum. Hal ini mengakibatkan praktik pedagangan /
trafficking semakin meningkat dan masih berlangsung.

e. Media massa
Media massa masih belum memberikan perhatian yang
penuh terhadap berita dan informasi yang lengkap tentang
trafficking dan belum memberikan kontribusi yang optimal dalam
upaya pencegahan maupun penghapusannya. Bahkan tidak sedikit
justru memberitakan yang kurang mendidik dan bersifat pornografis
yang mendorong menguatnya kegiatan trafficking dan kejahatan
susila lainnya.
f. Pendidikan minim dan tingkat buta huruf
Survei sosial-ekonomi nasional tahun 2000 melaporkan
bahwa 34% penduduk Indonesia berumur 10 tahun ke atas
belum/tidak tamat SD/tidak pernah bersekolah, 34,2% tamat SD dan
hanya 155 yang tamat SMP. Menurut laporan BPS pada tahun 2000
terdapat 14% anak usia 7-12 dan 24% anak usia 13-15 tahun tidak
melanjutkan ke SLTP karena alasan pembiayaan. Orang dengan
pendidikan yang terbatas atau buta aksara kemungkinan besar akan

116
menderita keterbatasan ekonomi. Dan mereka juga tidak akan
mempunyai pengetahuan kepercayaan diri untuk mengajukan
pertanyaan tentang ketentuan-ketentuan dalam kontrak dan kondisi
kerja mereka. Selain itu, mereka akan sulit mencari pertolongan
ketika mereka kesulitan saat berimigrasi atau mencari pekerjaan.
Mereka akan kesulitan bagaimana mengakses sumber daya yang
tersedia, tidak dapat membaca atau mengerti brosur iklan layanan
masyarakat lain mengenai rumah singgah atau nomor telepon yang
bisa dihubungi untuk mendapatkan bantuan. Seorang yang rendah
melek huruf sering kali secara lisan dijanjikan akan mendapat jenis
pekerjaan atau jumlah gaji tertentu oleh seorang agen, namun
kontrak yang mereka tanda tangani (yang mungkin tidak dapat
mereka baca) mencantumkan ketentuan kerja serta kompensasi yang
jauh berbeda, mengarah ke eksploitasi.

Bentuk-Bentuk Trafficking
Ada beberapa bentuk trafficking manusia yang terjadi pada
perempuan dan anak-anak.
1. Kerja Paksa Seks & Eksploitasi seks, baik di luar negeri maupun
di wilayah Indonesia
2. Pembantu Rumah Tangga (PRT), baik di luar ataupun di wilayah
Indonesia
3. Bentuk Lain dari Kerja Migran, baik di luar ataupun di wilayah
Indonesia
4. Penari, Penghibur & Pertukaran Budaya terutama di luar negeri
5. Pengantin Pesanan, terutama di luar negeri
6. Beberapa Bentuk Buruh/Pekerja Anak, terutama di Indonesia
7. Trafficking/penjualan Bayi, baik di luar negeri ataupun di
Indonesia

Sasaran yang rentan menjadi korban perdagangan perempuan


antara lain :
1. Anak-anak jalanan

117
2. Orang yang sedang mencari pekerjaan dan tidak mempunyai
pengetahuan informasi yang benar mengenai pekerjaan yang
akan dipilih
3. Perempuan dan anak di daerah konflik dan yang menjadi
pengungsi
4. Perempuan dan anak miskin di kota atau pedesaan
5. Perempuan dan anak yang berada di wilayah perbatasan anatar
Negara
6. Perempuan dan anak yang keluarganya terjerat hutang
7. Perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga, korban
pemerkosaan

D. Undang-Undang tentang Trafficking


Berikut ini beberapa peraturan perundang-undangan :
1. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Pasal 285, 287-
298; Pasal 506
2. UU RI No. 7 tahun 1984 (ratifikasi konvensi Penghapusan
Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan/CEDAW;
pasal 2,6,9,11,12,14,15,16)
3. UU RI No. 20 tahun 1999 (ratifikasi konvensi ILO No. 138
tentang Usia Minimum yang Diperbolehkan Bekerja)
4. UU RI No. 1/2000 (ratifikasi konvensi ILO No. 182 tentang
Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak)
5. UU RI no. 29/1999 (ratifikasi konvensi untuk Mengeliminasi
Diskriminasi Rasial)
6. Keppres No 36/1990 ( ratifikasi konvensi Hak Anak)

Pencegahan dan Penanggulangan Human Trafficking


Perdagangan orang, khususnya perempuan sebagai suatu
bentuk tindak kejahatan yang kompleks, tentunya memerlukan
upaya penanganan yang komprehensif dan terpadu. Tidak hanya
dibutuhkan pengetahuan dan keahlian profesional, namun juga
pengumpulan dan pertukaran informasi, kerjasama yang memadai
baik sesama aparat penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan,

118
hakim maupun dengan pihak-pihak lain yang terkait yaitu lembaga
pemerintah (kementerian terkait) dan lembaga non pemerintah
(LSM) baik lokal maupun internasional. Semua pihak bisa saling
bertukar informasi dan keahlian profesi sesuai dengan kewenangan
masing-masing dan kode etik instansi. Tidak hanya perihal
pencegahan, namun juga penanganan kasus dan perlindungan
korban semakin memberikan pembenaran bagi upaya pencegahan
dan penanggulangan perdagangan perempuan secara terpadu. Hal ini
bertujuan untuk memastikan agar korban mendapatkan hak atas
perlindungan dalam hukum.
Dalam konteks penyidikan dan penuntutan, aparat penegak
hukum dapat memaksimalkan jaringan kerjasama dengan sesama
aparat penegak hukum lainnya di dalam suatu wilayah negara, untuk
bertukar informasi dan melakukan investigasi bersama. Kerjasama
dengan aparat penegak hukum di negara tujuan bisa dilakukan
melalui pertukaran informasi, atau bahkan melalui mutual legal
assistance, bagi pencegahan dan penanggulangan perdagangan
perempuan lintas negara.
Upaya Masyarakat dalam pencegahan trafficking yakni
dengan meminta dukungan ILO, dan Yayasan Kesejahteraan Anak
Indonesia (YKAI) yang melakukan Program Prevention of Child
Trafficking for Labor and Sexual Exploitation. Tujuan dari program
ini adalah :
1. Memperbaiki kualitas pendidikan dari tingkat Sekolah Dasar
sampai Sekolah Menegah Atas untuk Fmemperluas angka
partisipasi anak laki-laki dan anak perempuan,
2. Mendukung keberlanjutan pendidikan dasar untuk anak
perempuan setelah lulus sekolah dasar,
3. Menyediakan pelatihan keterampilan dasar untuk memfasilitasi
kenaikan penghasilan,
4. Menyediakan pelatihan kewirausahaan dan akses ke kredit
keuangan untuk memfasilitasi usaha sendiri,
5. Merubah sikap dan pola pikir keluarga dan masyarakat terhadap
trafficking anak.

119
F. Hambatan Pemberantasan Trafficking
Upaya penanggulangan perdagangan manusia khususnya
perdagangan perempuan dan anak mengalami berbagai hambatan.
Dari berbagai upaya yang telah dilakukan SP selama ini, terdapat 3
(tiga) hal yang merupakan hambatan kunci dalam melakukan upaya
tersebut, yaitu antara lain:
1. Budaya masyarakat (culture)
Anggapan bahwa jangan terlibat dengan masalah orang lain
terutama yang berhubungan dengan polisi karena akan
merugikan diri sendiri, anggapan tidak usah melaporkan
masalah yang dialami, dan lain sebagainya. Stereotipe yang
ada di masyarkat tersebut masih mempengaruhi cara berpikir
masyarakat dalam melihat persoalan kekerasan perempuan
khususnya kekerasan yang dialami korban perdagangan
perempuan dan anak.
2. Kebijakan pemerintah khususnya peraturan perundang-
undangan (legal substance)
Belum adanya regulasi yang khusus (UU anti trafficking)
mengenai perdagangan perempuan dan anak selain dari
Keppres No. 88 Tahun 2002 mengenai RAN penghapusan
perdagangan perempuan dan anak. Ditambah lagi dengan
masih kurangnya pemahaman tentang perdagangan itu sendiri
dan kurangnya sosialisasi RAN anti trafficking tersebut.
3. Aparat penegak hukum (legal structure)
Keterbatasan peraturan yang ada (KUHP) dalam menindak
pelaku perdagangan perempuan dan anak berdampak pada
penegakan hukum bagi korban. Penyelesaian beberapa kasus
mengalami kesulitan karena seluruh proses perdagangan dari
perekrutan hingga korban bekerja dilihat sebagai proses
kriminalisasi biasa.

Masalah Trafiking di Indonesia


Statistik untuk trafiking yang konkrit dan dapat diandalkan di
Indonesia masih sangat sulit untuk didapatkan, karena ke-ilegalan-

120
nya dan,karena itu, sifatnya tersembunyi. Meskipun demikian,
informasi berikut ini dapat memberikan gambaran cakupan dari
masalah ini:
Buruh Migran: Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi
memperkirakan bahwa pada tahun 2002 terdapat sekitar 500.000
warga negara Indonesia yang bermigrasi keluar negeri untuk bekerja
melalui jalur resmi. Berbagai LSM di Indonesia (termasuk juga
KOPBUMI) memperkirakan bahwa sekitar 1,4 sampai 2,1 juta
buruh migran perempuan Indonesia saat ini sedang bekerja diluar
negeri. Organisasi-organisasi ini juga menyertakan jumlah buruh
migran yang tidak terdokumentasi yang melewati jalur-jalur ilegal
kedalam perkiraan mereka.
PRT: Sebuah laporan dari konferensi ILO-IPEC 2001
memperkirakan bahwa ada sekitar 1,4 juta PRT di Indonesia, dan 23
persennya adalah anak-anak.
Pekerja Seks Komersial: Sebuah laporan Organisasi
Perburuhan Dunia (ILO) tahun 1998 memperkirakan bahwa ada
sekitar 130.000 – 240.000 pekerja seks di Indonesia dan sampai 30
persennya adalah anak-anak di bawah 18 tahun. Meskipun tidak
semua pekerja-pekerja tersebut pernah ditrafik, tetapi itu adalah
bidang-bidang dimana trafiking dikenal sebagai fenomena yang
tersebar luas dengan kemungkinan jumlah korban yang sangat besar.

Meskipun KUHP (Pasal 297) telah mengancam hukuman


enam tahun penjara bagi siapapun yang memperdagangkan
perempuan dan anak di bawah umur, ini dianggap tidak efektif
untuk menjerat pelaku perdagangan orang atau yang lebih populer
dengan istilah trafficking terorganisir. Dengan demikian, urgensi
dilahirkannya UU khusus terkait dengan ini sebagai akibat dari
meluasnya jaringan kejahatan yang terorganisir (dan tidak
terorganisir), baik yang bersifat antar-negara, maupun dalam negeri,
sehingga menjadi ancaman terhadap masyarakat, bangsa dan negara,
serta penghormatan terhadap hak azasi manusia.

121
Oleh karenanya, pemerintah berkeinginan untuk mencegah dan
menanggulangi tindak pidana trafficking yang didasarkan pada
komitmen nasional dan internasional untuk melakukan upaya
pencegahan sejak dini, penindakan terhadap pelaku, perlindungan
korban, dan peningkatan kerja sama. Selain itu, peraturan
perundang-undangan terkait dengan trafficking belum memberikan
landasan hukum yang menyeluruh dan terpadu bagi upaya
pemberantasan tindak pidana trafficking. Setelah melalui proses
panjang, UU No, 21/2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang (PTPPO) akhirnya disahkan baru-baru ini.

Berdasarkan UU ini, maka definisi perdagangan orang


adalah:
“ tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman,
pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman
kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan,
pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi
rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat,
sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang
kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam
negara maupun antar-agama, untuk tujuan eksploitasi atau
mengakibatkan orang tereksploitasi.”

Jika merujuk pada definisi di atas, maka tidak ada


pembatasan bahwa perdagangan orang hanya terkait dengan jenis
kelamin atau usia tertentu. Trafficking bukanlah fenomena baru di
Indonesia, dan meskipun kriminalisasi perdagangan orang ini dapat
terkait dengan siapa saja, orang memang seringkali
mengidentikkannya dengan perdagangan perempuan dan anak.
Ini cukup beralasan karena pada banyak kasus, korban
perdagangan perempuan dan anak yang lebih menonjol ke
permukaan. Unicef (1998), misalnya, melaporkan bahwa jumlah
anak yang dilacurkan diperkirakan berkisar antara 40.000 dan
70.000 yang tersebar di 75.106 tempat di seluruh Indonesia.

122
Ini menunjukkan lebih rentannya perempuan dan anak untuk
diperdagangkan yang akhir-akhir ini semakin sering kita baca (di
koran, majalah, dll) dan dengarkan (dari orang ke orang, radio dll),
ataupun melihatnya di televisi di mana penculikan yang diiringi
dengan trafficking menjadi sesuatu yang menakutkan bagi siapa saja
yang mendengarkan, melihat apalagi mengalaminya.
Komnas Perempuan melaporkan bahwa tujuan perdagangan
Perempuan tersebut antara lain dijadikan :
a. Pekerja domestik : perempuan diiming-imingi janji selanjutnya
dipekerjakan sebagai pembantu adalah fenomena yang
berlangsung sejak lama. Penelitian di Jakarta menunjukkan
bahwa korban adalah anak-anak atau orang dewasa, meski
terdapat pula korban laki-laki namun sebagaian besar korbannya
adalah perempuan.
b. Pengemis : di Jakarta, Batam, Ujung Pandang dan banyak kota
besar lainnya, dapat diamati bahwa terdapat sejumlah anak yang
dibawa oleh orang dewasa untuk mengemis di lampu merah atau
tempat umum lainnya. Jumlah pasti tidak diketahui tapi
diperkirakan ribuan anak telah dijadikan pengemis.
c. Pengedar narkoba : satu jenis eksploitasi yang sangat
mengerikan adalah pemanfaatan anak dan wanita untuk
mengedarkan narkoba. Fakta yang ditemukan di Bali
menunjukkan bahwa korban yang dijerat dalam perdagangan dan
penyelundupan tipe ini dapat berusia sangat tinggi mulai dai usia
1 tahun sampai 18 tahun.
d. Pekerja seks : pekerja seks di Indonesia, menurut penelitian
30%nya berusia kurang dari 8 tahun.
e. Konsumsi pedofil : ekspolitasi anak perempuan oleh para pedofil
di sebagian besar media merupakan korban dari orang-orang
terdekat seperti: tetangga, guru, atau pihak-pihak lain. Akan
tetapi perdagangan anak perempuan sebagai konsumsi pedofil
melibatkan jaringan tersendiri, yang seringkali melibatkan
orangorang asing dan jaringan internasional.

123
f. Istri kontrakan dalam perkawinan transnasional : satu fenomena
yang mulai terungkap adalah bentuk perkawinan antar bangsa
yang menjadi bisnis yang sangat menguntungkan bagi pihak-
pihak yang terlibat di dalamnya.

Sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, sejak terlahir kita


sudah memiliki hak-hak asasi sesuai dengan harkat dan
martabatnya. Di Indonesia sendiri, hak asasi kita sebagai manusia
juga telah dilindungi berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Dengan
kata lain, sebagai manusia kita berhak dan wajib untuk mendapatkan
perlakuan dan memiliki derajat yang sama dengan yang lain.
Hak asasi manusia merupakan hak yang melekat pada diri
setiap manusia. Tidak ada yang dapat mengurangi dalam keadaan
apapu, termasuk hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, tidak
diperbudak, tidak diperjualbelikan dan tidak dipaksa untuk
melakukan yang tidak disukai ataupun diperlakukan dengan tidak
sesuai harkat, martabat dan kehormatan dirinya sebagai manusia
seutuhnya.
Pada saat ini, kasus Traffiking di Indonesia sangat
memperihatinkan. Banyaknya anak bangsa sebagai penerus bangsa
menjadi korban kejahatan ini. Padahal anak adalah amanah dan
karunia dari Tuhan Yang Maha Esa untuk kita jaga dan lindungi.
Selain itu, anak-anak merupakan generasi penerus bangsa yang
berperan penting dalam eksistensi bangsa dan negara di masa
sekarang dan yang akan datang. Untuk mewujudkannya perlunya
seorang anak untuk mendapatkan kesempatan yang seluas-luasnya
untuk tumbuh dan berkembang secara optimal baik fisik, mental
maupun sosial, dan berakhlak mulia, sehingga perlu dilakukan
upaya perlindungan untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan
memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya
perlakuan tanpa diskriminasi.
Salah satu faktor yang mendorong terjadinya trafiking adalah
faktor kemiskinan yang cenderung dimanfaatkan oleh pihak-pihak
tertentu untuk kepentingan bisnis, di mana korban diperjualbelikan

124
bagaikan barang. Lebih memperhatikan kembali adalah adanya
peran orang tua dibalik kejahatan trafficking tersebut. Mereka
dengan rela menjual anak-anaknya dengan alasan ingin merubah
nasib. Selain itu juga adanya sindikat orang-orang yang menculik
anak-anak di bawah umur untuk kemudian dijual ke luar negeri.
Berdasarkan data International Organization for Migration
(IOM), pada April 2007, jumlah korbantrafficking dari Indonesia
paling banyak berasal Kalimantan Barat, Jawa Barat, Jawa Timur,
Sumatera Utara dan Nusa Tenggara Barat. Dan Indonesia
merupakan salah satu sumber untuk kejahatan trafficking
internasional.
Perdagangan anak sendiri sebenarnya telah meluas dalam
bentuk jaringan kejahatan yangterorganisasi dan tidak terorganisasi,
baik bersifat antarnegara maupun dalam negeri, sehingga menjadi
ancaman terhadap masyarakat, bangsa, dan negara, serta terhadap
norma-norma kehidupanyang dilandasi penghormatan terhadap hak
asasi manusia.
Akan tetapi hal ini tidaklah lantas mengurangi
kejahatan trafficking ini. tiap tahunnya kasus traffickingdi daerah
seperti disebutkan di atas semakin meningkat. Kendati demikian,
pada prakteknya belum banyak pihak yang berinisiatif untuk
mengatasi masalah ini, padahal masyarakat sebenarnya sudah sadar
betul dan mengetahui tentang adanya “ bisnis “ perdagangan orang
yang terorganisir. Padahal dari data di atas, memerlukan penanganan
dan perhatian yang serius khususnya bagi negara. Bagaimana pun
kejahatan traffickingini merusak citra suatu bangsa.
Oleh sebab itu, perlunya kerjasama dari pemerintah pusat
dengan daerah dan masyarakat setempat yang mengetahui adanya
praktek trafficking ini untuk segera memberitahukan kepada aparat
penegak hukum setempat. Selain itu, perlunya upaya dari
pemerintah untuk memberdayakan masyarakatnya khususnya di
daerah-daerah yang rawan dengan praktek trafficking ini dengan
memberikan pendidikan yang maksimal kepada anak-anak agar
tidak tertipu dengan embel-embel nasib yang lebih baik.

125
Sumber Referensi

Editor, “Sosialisasi Bahaya Trafficking”, Jurnal Perempuan, Edisi


15 Februari 2005
Handhyono, Suparti. Human Trafficking dan Kaitannya dengan
Tindak Pidana KDART, Makalah dalam Seminar di Kota Batu-
Malang, tanggal 30 November 2006.
Hartiningih, Maria. Feminisme Migrasi dalam Migrasi
Internasional,
http://www.kompas.com./kolomctil.asp.098!?. (diakses tanggal 20
November 2010)
Jannah, Fathul et.al., Kekerasan terhadap Istri. Yogyakarta:
LKIS,2003.
Komnas Perempuan, Peta Kekerasan Pengalaman Perempuan
Indonesia, Jakarta, Ameepro,2002
NN, Aliansi Global Menentang Perdagangan Perempuan: Standar
HAM untuk Perlakuan terhadap Orang yang Diperdagangkan,
1999
NN, Mematahkan Persepsi Anak Perempuan sebagai Asset Bakti vs.
Eksploitasi:http://www.kompas.com./kolomctil.asp.098!?. (dia
kses tanggal 20 November 2010)
Yentriyani, Andi. Politik Perdagangan Perempuan. Yogyakarta:
Galang Press, 2004.

126
ISLAM DAN GENDER
Oleh : Tineu Istiqomah_1138030211_5-F

Apakah Islam Itu?


Islam (Arab: al-islām, ‫ اإلسالم‬artinya: "berserah diri kepada
Tuhan") adalah agama yang mengimani satu Tuhan, yaitu Allah.
Dengan lebih dari satu seperempat miliar orang pengikut di seluruh
dunia, menjadikan Islam sebagai agama terbesar kedua di dunia
setelah agama Kristen. Namun di Indonesia Islam adalah agama
Mayoritas yang dipeluk oleh masyarakatnya.
Islam memiliki arti "penyerahan", atau penyerahan diri
sepenuhnya kepada Tuhan (Arab: ‫هللا‬, Allāh). Pengikut ajaran Islam
dikenal dengan sebutan Muslim yang berarti "seorang yang tunduk
kepada Tuhan", atau lebih lengkapnya adalah Muslimin bagi laki-
laki dan Muslimat bagi perempuan. Islam mengajarkan bahwa Allah
menurunkan firman-Nya kepada manusia melalui para nabi dan
rasul utusan-Nya, dan meyakini dengan sungguh-sungguh bahwa
Muhammad adalah nabi dan rasul terakhir yang diutus ke dunia oleh
Allah.
Islam berasal dari kata Arab "aslama-yuslimu-islaman" yang
secara kebahasaan berarti "menyelamatkan", misal teks "assalamu
alaikum" yang berarti "semoga keselamatan menyertai kalian
semuanya". Islam atau Islaman adalah masdar (kata benda) sebagai
bahasa penunjuk dari fi'il (kata kerja), yaitu "aslama" bermakna
telah selamat (kala lampau) dan "yuslimu" bermakna
"menyelamatkan".
Kepercayaan dasar Islam dapat ditemukan pada dua kalimah
shahādatāin ("dua kalimat persaksian"), yaitu "asyhadu an-laa ilaaha
illallaah, wa asyhadu anna muhammadan rasuulullaah" - yang
berarti "Saya bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan saya
bersaksi bahwa Muhammad saw adalah utusan Allah". Esensinya
adalah prinsip keesaan Tuhan dan pengakuan terhadap kenabian

127
Muhammad. Adapun bila seseorang meyakini dan kemudian
mengucapkan dua kalimat persaksian ini, ia dapat dianggap telah
menjadi seorang muslim dalam status sebagai mualaf (orang yang
baru masuk Islam dari kepercayaan lamanya).
Umat Islam juga meyakini al-Qur'an yang disampaikan oleh
Allah kepada Muhammad. melalui perantara Malaikat Jibril adalah
sempurna dan tidak ada keraguan di dalamnya (Al-Baqarah 2:2). Di
dalam al-Qur'an Allah juga telah berjanji akan menjaga keotentikan
al-Qur'an hingga akhir zaman.
Umat Islam meyakini bahwa agama yang dianut oleh seluruh
nabi dan rasul utusan Allah sejak masa Adam adalah satu agama
yang sama dengan (tauhid|satu Tuhan yang sama), dengan demikian
tentu saja Ibrahim juga menganut ketauhidan secara hanif (murni)
yang menjadikannya seorang muslim. Pandangan ini meletakkan
Islam bersama agama Yahudi dan Kristen dalam rumpun agama
yang mempercayai Nabi Ibrahim as. Di dalam al-Qur'an, penganut
Yahudi dan Kristen sering direferensikan sebagai Ahli Kitab atau
orang-orang yang diberi kitab.
Islam memberikan banyak amalan keagamaan. Para penganut
umumnya digalakkan untuk memegang Lima Rukun Islam, yaitu
lima pilar yang menyatukan Muslim sebagai sebuah komunitas.
Tambahan dari Lima Rukun, hukum Islam (syariah) telah
membangun tradisi perintah yang telah menyentuh pada hampir
semua aspek kehidupan dan kemasyarakatan. Tradisi ini meliputi
segalanya dari hal praktikal seperti kehalalan, perbankan, jihad dan
zakat.

Apakah Gender Itu?


Allah menciptakan bentuk fisik dan tabiat wanita berbeda
dengan pria. Kaum pria di berikan kelebihan oleh Allah subhanahu
wata’ala baik fisik maupun mental atas kaum wanita sehingga
pantas kaum pria sebagai pemimpin atas kaum wanita. Allah
subhanahu wata’ala berfirman (artinya):

128
“Kaum lelaki itu adalah sebagai pemimpin
(pelindung) bagi kaum wanita.” (An Nisa’: 35)

Sehingga secara asal nafkah bagi keluarga itu tanggug jawab


kaum lelaki. Asy syaikh Ibnu Baaz berkata: “Islam menetapkan
masing-masing dari suami istri memiliki kewajiban yang khusus
agar keduanya menjalankan perannya, hingga sempurnalah
bangunan masyarakat di dalam dan di luar rumah. Suami
berkewajiban mencari nafkah dan penghasilan sedangkan istri
berkewajiban mendidik anak-anaknya, memberikan kasih sayang,
menyusui dan mengasuh mereka serta tugas-tugas lain yang sesuai
baginya, mengajar anak-anak perempuan, mengurusi sekolah
mereka, dan mengobati mereka serta pekerjaan lain yang khusus
bagi kaum wanita. Bila wanita sampai meninggalkan kewajiban
dalam rumahnya berarti ia menyia-nyiakan rumah berikut
penghuninya. Hal tersebut berdampak terpecahnya keluarga baik
hakiki maupun maknawi.
Saat kita terlahir ke dunia ini, hingga menjelang usia tua, kita
mempelajari dan mempraktikkan cara-cara khusus yang telah
ditentukan oleh masyarakat bagi kita untuk menjadi laki-laki dan
perempuan. Gender adalah seperangkat peran yang seperti halnya
kostum dan topeng di teater menyampaikan kepada orang lain
bahwa kita adalah feminine atau maskulin. Perangkat perilaku
khusus ini yang mencakup penampilan, pakaian, sikap, kepribadian,
bekerja di dalam dan di luar rumah tangga, seksualitas, tanggung
jawab keluarga dan sebagainya secara bersama-sama memoles peran
gender kita23.
Berbagai macam penjelasan mengenai definisi dari Gender.
Kata Gender dalam bahasa Indonesia dipinjam dari bahasa Inggris,
yang dalam kamus diartikan sebagai jenis kelamin atau sex. Ada
ketidak jelasan, kesalah pahaman tentang apa yang dimaksud

23
Julia Cleves Mosse, Gender & Pembangunan,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 3

129
dengan konsep gender dan kaitannya dengan usaha emansipasi
kaum perempuan. Dengan kata lain timbulnya ketidak jelasan itu
disebabkan oleh kurangnya penjelasan tentang kaitan antara konsep
gender dengan masalah ketidakadilan lainnya.
Untuk memahami konsep gender, harus dibedakan kata
gender dengan kata sex (jenis kelamin). Definisi jenis kelamin
merupakan pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia
yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin
tertentu. Secara permanen tidak berubah dan merupakan ketentuan
biologis atau sering dikatakan sebagai ketentuan tuhan (kodrat). 24
Sedangkan konsep lainnya adalah konsep gender, yaitu suatu
sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang
dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Misalnya, perempuan itu
bersifat lemah lembut, cantik, emosional, keibuan, dsb. Sementara
laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan, perkasa, dsb. Ciri dari sifat
itu sendiri dapat dipertukarkan, artinya ada laki-laki yang bersifat
emosional, lemah lembut, keibuan. Sementara juga ada perempuan
yang bersifat kuat, rasional, perkasa, dsb. Perubahan tersebut bisa
terjadi kapan saja, dimana saja.
Jadi dapat kita simpulkan, Gender berarti perbedaan yang
bukan biologis dan bukan kodrat tuhan. Perbedaan biologis yakni
perbedaan jenis kelamin (sex) adalah kodrat tuhan dan oleh
karenanya secara permanent berbeda. Sedangkan gender adalah
perbedaan perilaku (behavioral differences) antara laki-kodrat atau
bukan ketentuan tuhan. Melainkan diciptakan oleh manusia (laki-
laki dan perempuan) melalui proses sosial dan kultural yang
panjang.
Kesetaraan gender berarti kesamaan kondisi bagi laki-laki
dan perempuan untuk memperoleh kesempatan serta hak-haknya
sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam
kegiatan politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, pendidikan, dan

24
Dr. Mansour Fakih, Analisis Gender & Transformasi
Sosial, Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 1996, hal: 7

130
pertahanan dan keamanan nasional (hankamnas), serta kesamaan
dalam menikmati hasil pembangunan tersebut. Kesetaraan gender
juga meliputi penghapusan diskriminasi dan ketidak adilan
struktural, baik terhadap laki-laki maupun perempuan.
Keadilan gender adalah suatu proses dan perlakuan adil
terhadap perempuan dan laki-laki. Dengan keadilan gender berarti
tidak ada pembakuan peran, beban ganda, subordinasi, marginalisasi
dan kekerasan terhadap perempuan maupun laki-laki.
Terwujudnya kesetaran dan keadilan gender ditandai dengan
tidak adanya diskriminasi antara perempuan dan laki-laki, dan
dengan demikian mereka memiliki akses, kesempatan berpartisipasi,
dan kontrol atas pembangunan serta memperoleh manfaat yang
setara dan adil dari pembangunan. Memiliki akses dan partisipasi
berarti memiliki peluang atau kesempatan untuk menggunakan
sumber daya dan memiliki wewenang untuk mengambil keputusan
terhadap cara penggunaan dan hasil sumber daya tersebut. Memiliki
kontrol berarti memiliki kewenangan penuh untuk mengambil
keputusan atas penggunaan dan hasil sumber daya. Sehingga
memperoleh manfaat yang sama dari pembangunan.
Selanjutnya Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG) sudah
menjadi isu yang sangat penting dan sudah menjadi komitmen
bangsa-bangsa di dunia termasuk Indonesia sehingga seluruh negara
menjadi terikat dan harus melaksanakan komitmen tersebut. Upaya
mewujudkan Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG), di Indonesia
dituangkan dalam kebijakan nasional sebagaimana ditetapkan dalam
Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1999, UU No. 25 th.
2000 tentang Program Pembangunan Nasional-PROPENAS 2000-
2004, dan dipertegas dalam Instruksi Presiden No. 9 tahun 2000
tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam Pembangunan
nasional, sebagai salah satu strategi untuk mewujudkan keadilan dan
kesetaraan gender.
Disamping itu pengarusutamaan gender juga merupakan
salah satu dari empat key cross cutting issues dalam Propenas.
Pelaksanaan PUG diisntruksikan kepada seluruh departemen

131
maupun lembaga pemerintah dan non departemen di pemerintah
nasional, propinsi maupun di kabupaten/kota, untuk melakukan
penyusunan program dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan,
dan evaluasi dengan mempertimbangkan permasalahan kebutuhan,
aspirasi perempuan pada pembangunan dalam kebijakan,
program/proyek dan kegiatan Disadari bahwa keberhasilan
pembangunan nasional di Indonesia baik yang dilaksanakan oleh
pemerintah, swasta maupun masyarakat sangat tergantung dari peran
serta laki-laki dan perempuan sebagai pelaku dan pemanfaat hasil
pembangunan. Pada pelaksanaannya sampai saat ini peran serta
kaum perempuan belum dioptimalkan. Oleh karena itu
programpemberdayaan perempuan telah menjadi agenda bangsa dan
memerlukan dukungan semua pihak.
Faktor penyebab kesenjangan gender yaitu Tata nilai sosial
budaya masyarakat, umumnya lebih mengutamakan laki-laki
daripada perempuan (ideology patriarki); Peraturan perundang-
undangan masih berpihak pada salah satu jenis kelamin dengan kata
lain belum mencerminkan kesetaraan gender; penafsiran ajaran
agama yang kurang komprehensif atau cenderung tekstual kurang
kontekstual, cenderung dipahami parsial kurang holistik;
kemampuan, kemauan dan kesiapan perempuan sendiri untuk
merubah keadaan secara konsisten dan konsekwen; rendahnya
pemahaman para pengambil keputusan di eksekutif, yudikatif,
legislatif terhadap arti, tujuan, dan arah pembangunan yang
responsif gender.
Dalam pandangan hukum Islam, segala sesuatu diciptakan
Allah dengan kodrat. Demikian halnya manusia, antara laki-laki dan
perempuan sebagai individu dan jenis kelamin memiliki kodratnya
masing-masing. Al-Qur'an mengakui adanya perbedaan anatomi
antara laki-laki dan perempuan. Al-Qur'an juga mengakui bahwa
anggota masing-masing gender berfungsi dengan cara merefleksikan
perbedaan yang telah dirumuskan dengan baik serta dipertahankan
oleh budaya, baik dari kalangan kaum laki-laki maupun perempuan
sendiri.

132
Kodrat perempuan sering dijadikan alasan untuk mereduksi
berbagai peran perempuan di dalam keluarga maupun masyarakat,
kaum laki-laki sering dianggap lebih dominan dalam memainkan
berbagai peran, sementara perempuan memperoleh peran yang
terbatas di sektor domestik. Kebudayaan yang berkembang dalam
masyarakat pun memandang bahwa perempuan sebagai makhluk
yang lemah, emosional, halus dan pemalu sementara laki-laki
makhluk yang kuat, rasional, kasar serta pemberani. Anehnya
perbedaan-perbedaan ini kemudian diyakini sebagai kodrat, sudah
tetap yang merupakan pemberian Tuhan. Barang siapa berusaha
merubahnya dianggap menyalahi kodrat bahkan menentang
ketetapan Tuhan.
Peran dan status perempuan dalam perspektif Islam selalu
dikaitkan dengan keberadaan laki-laki. Perempuan digambarkan
sebagai makhluk yang keberadaannya sangat bergantung kepada
laki-laki. Sebagai seorang anak, ia berada di bawah lindungan
perwalian ayah dan saudara laki-laki, sebagai istri bergantung
kepada suami. Islam menetapkan perempuan sebagai penenang
suami, sebagai ibu yang mengasuh dan mendidik anak dan menjaga
harta benda serta membina etika keluarga di dalam pemerintahan
terkecil.

Perspektif Gender dalam Islam


Ketika isu gender di angkat, yang timbul dalam benak kita
adalah diskriminasi terhadap wanita dan penghilangan hak-hak
terhadap mereka. Gender yang telah diperjuangkan oleh beberapa
kalangan, baik dari kalangan akademisi atau dari kalangan yang
menanggap bahwa Islam adalah agama yang memicu kehadiran isu
gender tersebut di dunia ini. Tentunya para orientalis yang berbasis
misionarisme ini ingin mendiskreditkan umat Islam dengan
mengangkat isu ini dalam berbagai tulisan dan buku atau artikel-
artikel yang menyudutkan dan memberikan opini secara sepihak
tentang islam dan gender.

133
Islam tidak membedakan antara hak dan kewajiban yang ada
pada anatomi manusia, hak dan kewajiban itu selalu sama di mata
Islam bagi kedua anatomi yang berbeda tersebut. Islam
mengedepankan konsep keadilan bagi siapun dan untuk siapapun
tanpa melihat jenis kelamin mereka. Islam adalah agama yang telah
membebaskan belenggu tirani perbudakan, persamaan hak dan tidak
pernah mengedapankan dan menonjolkan salah satu komunitas
anatomi saja. Islam hadir sebagai agama yang menyebarkan kasih
sayang bagi siapa saja.
Rasulullah telah memberikan nasehat kepada para muslim
agar mengormati dan menghargai perempuan seperti sabdanya :
“Sebaik-baik kamu adalah yang terbaik terhadap keluarganya, dan
aku adalah orang terbaik di antara kamu terhadap keluargaku. Orang
yang memuliakan kaum wanita adalah orang yang mulia, dan orang
yang menghina kaum wanita adalah orang yang tak tahu budi”. (
HR. Abu Asakir ).
Al-Qur'an tidak mengajarkan diskriminasi antara lelaki dan
perempuan sebagai manusia. Di hadapan Tuhan, lelaki dan
perempuan mempunyai derajat yang sama, namun masalahnya
terletak pada implementasi atau operasionalisasi ajaran tersebut.
Kemunculan agama pada dasarnya merupakan jeda yang secara
periodik berusaha mencairkan kekentalan budaya patriarkhi. Oleh
sebab itu, kemunculan setiap agama selalu mendapatkan perlawanan
dari mereka yang diuntungkan oleh budaya patriarkhi. Sikap
perlawanan tersebut mengalami pasang surut dalam perkembangan
sejarah manusia.
Semua dimungkinkan terjadi karena pasca kerasulan
Muhammad, umat sendiri tidak diwarisi aturan secara terperinci
(tafshily) dalam memahami Al-Qur'an. Di satu sisi Al-Qur'an
mengakui fungsi laki-laki dan perempuan, baik sebagai individu
maupun sebagai anggota masyarakat. Namun tidak ada aturan rinci
yang mengikat mengenai bagaimana keduanya berfungsi secara
kultural. Berbeda pada masa kenabian superioritas dapat diredam.
Keberadaan nabi secara fisik sangat berperan untuk menjaga

134
progresivitas wahyu dalam proses emansipasi kemanusiaan.
Persoalannya, problematika umat semakin kompleks dan tidak
terbatas seiring perkembangan zaman, sementara Al-Qur'an sendiri
terdapat aturan-aturan yang masih bersifat umum dan global
(mujmal) adanya.
Pada dasarnya gerakan gender merupakan upaya mencari
keadilan, ingin menempatkan perempuan pada posisi yang
proporsional, sama, dan setara dengan laki-laki sehingga tidak ada
perbedaan-perbedaan yang bersifat diskriminatif[7]. Namun
demikian, kehadiran konsep gender yang diusung aktifis feminisme
dan pihak-pihak yang peduli dengan isu kesetaraan, dipandang
sebagai sebuah gagasan yang dapat merusak tatanan sosial yang
sudah mapan.
Para pakar di Indonesia tidak mau ketinggalan mengambil
bagian dalam pemikiran tersebut, yaitu sekitar akhir tahun 1980-an,
masalah gender mulai marak diperbincangkan 25. Tentunya
perbincangan tersebut tidak dapat dilepaskan dengan kepribadian
bangsa Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam.
Mereka menempatkan agama sebagai sesuatu yang sangat penting.
Sehingga pemikiran gender pun dapat disoroti dan dianalisis dengan
menggunakan kacamata Islam.
Sebagai seorang muslim, alangkah baiknya apabila kita
mengetahui terlebih dahulu bagaimana pandangan islam mengenai
gender. Al-Quran sebaga rujukan prinsip masyarakat islam, pada
dasarnya mengakui bahwa kedudukan laki-laki dan perempuan
adalah sama. Keduanya diciptaan dari satu nafs (living entity),
dimana yang satu tidak memiliki keunggulan terhadap yang lain
bahkan Al-quran tidak menjelaskan secara tegas bahwa Hawa
diciptakan dari tulang rusuk Nabi Adam sehingga kedudukan dan
statusnya lebih rendah. Atas dasar itu, prinsip Al-quran terhadap
kaum laki-laki dan perempuan adalah sama, dimana hak istri diakui

25
Badriyah Fayumi, Jender dalam Perspektif Islam,
(Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2002), hal. 1

135
sedrajat dengan hak suami. Dengan kata lain laki-laki memiliki hak
dan kewajiban terhadap perempuan dan sebaliknya perempuan juga
memiliki hak dan kewajiban terhadap laki-laki, apalagi jika
dikaitkan dengan konteks masyarakat pra islam yang
ditranspormasikannya.
Ketimpangan sosial-budaya antara laki-laki dan perempuan
masih sering dipertahankan dengan dalil-dalil agama. Bahasa
agama-agama, terutama agama-agama anak cucu Nabi Ibrahim
(Abrahamic Religions), secara tekstual memang banyak memihak
kepada laki-laki. Tuhan digambarkan sebagai sosok laki-laki,
sebagaimana terlihat pada kata ganti Tuhan dengan menggunakan
kata ganti laki-laki ‫هو‬. Bahkan beberapa agama tertentu
mengidialisir sosok laki-laki sebagai setengah Tuhan dan
perempuan sebagai setengah iblis. Bahasa-bahasa agama seringkali
dilibatkan untuk melestarikan kondisi di mana kaum perempuan
tidak menganggap dirinya sejajar dengan laki-laki26.
Dalam Al-Qur'an, perempuan ditempatkan paling tidak
dalam tiga posisi, yaitu: Perempuan sebagai pendamping laki-laki,
karena mereka adalah manusia yang satu. Firman Allah swt

"Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia


menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya
kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berpikir." (Ar-Ruum: 21).

Perhatian Nabi Muhammad saw terhadap perempuan pada


gilirannya membuat kaum perempuan bebas mengekspresikan apa
yang ada dalam pikirannya. Pada masa Nabi saw telah muncul

26
Nasaruddin Umar, “Memahami Bahasa Agama tentang
Perempuan” dalam Mimbar Agama & Budaya, Vol. XVIII, No. 2,
2001, hal. 111

136
semacam komunitas yang menyuarakan aspirasi perempuan dengan
juru bicara Asma’ bin Yazid. Dengan demikian menjadi jelas bahwa
Islam menempatkan perempuan dalam posisi yang terhormat, tidak
dipinggirkan dan didiskriminasikan27.
Ulama kontemporer ternama Yusuf Al-Qordhawi memiliki
pandangan dan pendapat yang berbeda terhadap kepemimpinan
wanita dalam berpolitik. Beliau menjelaskankan bahwa penafsiran
terhadap surat an-nisa ayat 34 bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi
wanita dalam lingkup keluarga atau rumah tangga. Jika ditinjau
tafsir surat An-Nisa ayat 34 bahwa laki-laki adalah pemimpin
wanita, bertindak sebagai orang dewasa terhadapnya, yang
menguasainya, dan pendidiknya tatkala dia melakukan
penyimpangan. “Karena Allah telah mengunggulkan sebagian
mereka atas sebagian yang lain. Yakni, karena kaum laki-laki itu
lebih unggul dan lebih baik daripada wanita. Oleh karena itu
kenabian hanya diberikan kepada kaum laki-laki.
Laki-laki menjadi pemimpin wanita yang dimaksud ayat ini
adalah kepemimpinan dirumah tangga, karena laki-laki telah
menginfakkan hartanya, berupa mahar, belanja dan tugas yang
dibebankan Allah kepadanya untuk mengurus mereka. Tafsir ibnu
katsir ini menjelaskan bahwa wanita tidak dilarang dalam
kepemimpinan politik, yang dilarang adalah kepemimpinan wanita
dalam puncak tertinggi atau top leader tunggal yang mengambil
keputusan tanpa bermusyawarah, dan juga wanita dilarang menjadi
hakim. Hal inilah yang mendasari Qardhawi memperbolehkan
wanita berpolitik28.
Qordhawi juga menambahkan bahwa wanita boleh berpolitik
dikarenakan pria dan wanita dalam hal mu’amalah memiliki

27
Opcit hal. 5.
28
Leila Ahmed, Wanita & Gender Dalam Islam, (Jakarta:
PT. Lentera Basritama, 2000), h. 87

137
kedudukan yang sama hal ini dikarenakan keduanya sebagai
manusia mukallaf yang diberi tanggung jawab penuh untuk
beribadah, menegakkan agama, menjalankan kewajiban, dan
melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Pria dan wanita memiliki hak
yang sama untuk memilih dan dipilih, sehingga tidak ada dalil yang
kuat atas larangan wanita untuk berpolitik. Namun yang menjadi
larangan bagi wanita adalah menjadi imam atau khilafah (pemimpin
negara).
Quraish Shihab juga menambahkan bahwa dalam Al-Qur’an
banyak menceritakan persamaan kedudukan wanita dan pria, yang
membedakannya adalah ketaqwaanya kepada Allah. Tidak ada yang
membedakan berdasarkan jenis kelamin, ras, warna kulit dan suku.
Kedudukan wanita dan pria adalah sama dan diminta untuk saling
bekerjasama untuk mengisi kekurangan satu dengan yang lainnya,
sebagai mana di jelaskan dalam surat At-Taubah ayat 71 yang
berbunyi:
”Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan,
sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi
sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan)
yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan
shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan
Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah;
Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”

Islam sebenarnya tidak menempatkan wanita berada didapur


terus menerus, namun jika ini dilakukan maka ini adalah sesuatu
yang baik, hal ini di nyatakan oleh imam Al-Ghazali bahwa pada
dasarnya istri tidak berkewajiban melayani suami dalam hal
memasak, mengurus rumah, menyapu, menjahid, dan sebagainya.
Akan tetapi jika itu dilakukan oleh istri maka itu merupakan hal
yang baik. Sebenarnya suamilah yang berkewajiban untuk
memberinya/menyiapkan pakaian yang telah dijahid dengan
sempurna, makanan yang telah dimasak secara sempurna. Artinya
kedudukan wanita dan pria adalah saling mengisi satu dengan yang

138
lain, tidak ada yang superior. Hanya saja laki-laki bertanggung
jawab untuk mendidik istri menjadi lebih baik di hadapan Allah
SWT.

Sumber Referensi

Ahmed, Leila. Wanita & Gender Dalam Islam, Jakarta: PT. Lentera
Basritama, 2000.
Fakih, Mansour. Analisis Gender dan Transformasi Sosial,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.
Fayumi, Badriyah. Jender dalam Perspektif Islam, Jakarta: UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2002.
Majelis Ulama Indonesia, Tuntunan Islam tentang Kemitrasejajaran
Pria dan Wanita, Jakarta: MUI, 1999.
Mosse. C. Julia. Gender & Pembangunan, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1996.
Umar, Nasaruddin. Memahami Bahasa Agama tentang Perempuan
dalam Mimbar Agama & Budaya, Vol. XVIII, No. 2, 2001.

139
KEMISKINAN DAN PEMBERDAYAAN EKONOMI DAN
POLITIK
( Peran Perempuan Dalam Politik )

OLeh : Tini Kartini_1138030212_5-F

Kemiskinan
Adalah keadaan dimana terjadi kekurangan hal-hal yang
biasa untuk dipunyai seperti makanan, pakaian, tempat berlindung
dan air minum, hal ini berhubungan dengan kualitas hidup.
Kemiskinan kadang juga berarti tidak adanya kases terhadap
pendidikan dan pekerjaab yang mampu mengatasi masalah
kemiskinan dan mendapatkan kehormatan yang layak sebagai warga
negara. Kemiskinan merupakan maslah global sebagian orang
memahami istilah ini secara subyektif dan komfaratif, sementara
yang lainnya melihatnyadari segi moral dan evaluatif, dan yang
lainnya lagi memahaminya dari sudut ilmiah yang telah mapan.
Pemberdayaan adalah suatu isu yang muncul dalam
pendekatan pembangunan ketika masyarakat marginal memerlukan
bantuan proses penguatan ekonomi dan sosial dalam konteks
kesejahteraan hidup masyarakat. Istilah pemberdayaan saat ini telah
demikian populer sebagai suatu pendekatan yang dilakukan
pemerintah maupun LSM. Di Indonesia istilah pemberdayaan atau
empowerment pada mulanya digunakan LSM untuk melakukan
memperkuat masyarakat baik secara sosial, ekonomi dan politik
agar dapat merubah dan memperbaiki posisi mereka ketika
berhadapan dengan kelompok yang kuat secara sosial. Inti dari
pemberdayaan adalah bagaimana masyarakat marginal tertentu
mempunyai posisi tawar sehingga menjadi pelaku proses
pembangunan yang partisipatif dan aktif bukan hanya sebagai objek
pembangunan.
Dalam isu pemberdayaan ini tidak terlepas juga konteks
pemberdayaan perempuan yang menjadi isu tersendiri dalam kajian

140
perempuan dan pembangunan. Program pemberdayaan perempuan
di Indonesia pada hakekatnya telah dimulai sejak tahun 1978. Dalam
perkembangannya upaya dalam kerangka pemberdayaan perempuan
ini secara kasat mata telah menghasilkan suatu proses peningkatan
dalam berbagai hal. Seperti peningkatan dalam kondisi, derajat, dan
kualitas hidup kaum perempuan di berbagai sektor strategis seperti
bidang pendidikan, ketenaga kerjaan, ekonomi, kesehatan dan
keikutsertaan ber-KB. Peningkatan dalam proses pemberdayaan
tidak serta merta merubah dalam pola relasi gender antara laki-laki
dan perempuan. Apalagi kalau kita berbicara bahwa pemberdayaan
perempuan terutama pemberdayaan ekonomi yang diasumsikan
menaikkan posisi tawar dengan relasi sosial dengan laki-laki. Dalam
Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1999, menjelaskan
bahwa upaya meningkatan derajat hidup perempuan masih
merupakan salah satu bidang prioritas strategis pembangunan
nasional. Upaya ini ditetapkan dalam visi program pembangunan
pemberdayaan perempuan, yaitu terwujudnya keadilan dan
kesetaraan gender dalam kehidupan berkeluarga,berbangsa dan
bernegara.
Pemberdayaan adalah sebuah konsep yang lahir sebagai
bagian dari perkembangan alam pikiran masyarakat kebudayaan
Barat, utamanya Eropa. Memahami konsep empowerment secara
tepat harus memahami latar belakang kontekstual yang
melahirkannya. Konsep empowerment mulai nampak sekitar
dekade 70-an dan terus berkembang hingga 1990-an. Konsep
pemberdayaan dapat dipandang sebagai bagian atau sejiwa sedarah
dengan aliran yang muncul pada paruh abad ke-20 yang lebih
dikenal sebagai aliran postmodernisme. Aliran ini menitikberatkan
pada sikap dan pendapat yang berorientasi pada jargon antisistem,
antistruktur, dan antideterminisme yang diaplikasikan pada dunia
kekuasaan. Pemahaman konsep pemberdayaan oleh masing-masing
individu secara selektif dan kritis dirasa penting, karena konsep ini
mempunyai akar historis dari perkembangan alam pikiran
masyarakat dan kebudayaan barat.

141
Robinson (1994) menjelaskan bahwa pemberdayaan adalah
suatu proses pribadi dan sosial suatu pembebasan kemampuan
pribadi, kompetensi, kreatifitas dan kebebasan bertindak. Ife (1995)
mengemukakan bahwa pemberdayaan mengacu pada kata
“empowerment,” yang berarti memberi daya, memberi ”power”
(kuasa), kekuatan, kepada pihak yang kurang berdaya. Segala
potensi yang dimiliki oleh pihak yang kurang berdaya itu
ditumbuhkan, diaktifkan, dikembangkan sehingga mereka memiliki
kekuatan untuk membangun dirinya. Pemberdayaan masyarakat
dalam pengembangan masyarakat menekankan kemandirian
masyarakat itu sebagai suatu sistem yang mampu mengorganisir
dirinya. Pemberdayaan merupakan sistem yang berinteraksi dengan
lingkungan sosial dan fisik. Dengan demikian pemberdayaan bukan
merupakan upaya pemaksaan kehendak, proses yang dipaksakan,
kegiatan untuk kepentingan pemrakarsa dari luar, keterlibatan
dalam kegiatan tertentu saja, dan makna-makna lain yang tidak
sesuai dengan pendelegasian kekuasaan atau kekuatan sesuai potensi
yang dimiliki masyarakat.
Pemberdayaan perempuan adalah usaha pengalokasian
kembali kekuasaan melalui pengubahan struktur sosial. Posisi
perempuan akan membaik hanya ketika perempuan dapat mandiri
dan mampu menguasai atas keputusan-keputusan yang berkaitan
dengan kehidupannya.
Terdapat dua ciri dari pemberdayaan perempuan. Pertama,
sebagai refleksi kepentingan emansipatoris yang mendorong
masyarakat berpartisipasi secara kolektif dalam
pembangunan. Kedua, sebagai proses pelibatan diri individu atau
masyarakat dalam proses pencerahan, penyadaran dan
pengorganisasian kolektif sehingga mereka dapat berpartisi. Adapun
pemberdayaan terhadap perempuan adalah salah satu cara strategis
untuk meningkatkan potensi perempuan dan meningkatkan peran
perempuan baik di domain publik maupun domestik. Perempuan
mempunyai hak dan kewajibannya untuk ikut serta atau
berpartisipasi aktif, hanya saja selama ini terjadi kesenjangan antara

142
kaum laki-laki dan perempuan yang diakibatkan oleh produk-produk
kebijakan yang bias gender. Sehingga dibutuhkanlah perjuangan
keras dan keseluruhan dari segenap perempuan dalam segala lini.
Terlebih dalam persoalan politik karena sangat berpengaruh
terhadap produk kebijakan.
Keberhasilan program pemerintah dan pembangunan yang
dicita-citakan tergantung pada partisipasi seluruh masyarakat,
sehingga semakin tinggi partisipasi masyarakat, maka akan semakin
tinggi pencapaian tujuan yang ingin dicapai. Karena itu dalam
program pemerintah sebagai bagian dari pembangunan sangat
dipengaruhi oleh unsur-unsur masyarakat, yang pada hakikatnya
bahwa pembangunan dilaksanakan dan ditunjuk dari masyarakat,
oleh masyarakat dan untuk masyarakat. Dengan demikian, bahwa
setiap masyarakat sebagai subjek pembangunan tidak lepas dari
peran wanita yang terlibat di dalamnya, sehingga partisipasi
perempuan patut diperhitungkan.
Perempuan Indonesia memiliki peranan, dalam pembangunan
bidang politik, baik terlibat dalam kepartaian, legislatif maupun
dalam pemerintahan. Partisipasi dalam bidang politik ini tidak
semata-mata hanya sebagai pelengkap saja melainkan harus
berperan aktif di dalam pengambilan keputusan politik yang
menyangkut kepentingan kesinambungan negara dan bangsa.
Dengan demikian jelas bahwa kedudukan perempuan di
dalam politik tidak dapat di kesampingkan karena memiliki
kemampuan dan kecerdasan yang sama dengan laki-laki. Walaupun
demikian hak-hak politik yang dimiliki perempuan tidaklah sesuai
dengan yang diinginkan. Kenyataan ini yang tidak dapat di pungkiri
bahwa peran perempuan dalam pembangunan harus mendapat porsi
yang seimbang dengan kaum laki-laki, sebagaimana dikemukakan
oleh Yusuf (dalam Tan, 1991: 35).
Perempuan adalah makhluk Tuhan seperti juga laki-laki.
Sebagai hamba Tuhan ia juga memiliki tanggung jawab
kemanusiaan, memakmurkan bumi dan menyejahterakan manusia.
Perempuan untuk tugas-tugas itu dibedakan dari laki-laki, Tuhan

143
memberikan kepada kaum laki-laki dan perempuan potensi-potensi
dan “al-ahliyyah” atau kemampuan-kemampuan untuk bertindak
secara otonomi yang diperlukan bagi tanggung jawab menunaikan
acara tersebut.
Berbicara tentang perempuan dan politik, merupakan
bahasan yang menarik. Sebab, peran politik perempuan dari
perspektif kalangan feminisme radikal adalah dimana terjadinya
transformasi total (kalau perlu, dengan sedikit pemaksaan) peran
perempuan di ranah domestik ke ranah publik. Atau dalam bahasa
populernya, kesetaraan gender. Keterlibatan wanita di kancah politik
bukan hal yang baru. Dalam sejarah perjuangan kaum wanita,
partisipasi wanita dalam pembangunan, telah banyak kemajuan
dicapai terutama di bidang pendidikan, ekonomi, lembaga
kenegaraan, dan pemerintahan.

1. Pengertian Politik
Definisi ilmu politik dapat di telusuri dari konsep politik
yang pernah dan sedang berkembang saat ini. setidaknya ada lima
konsep politik yang cenderung terus berkembang, yakni negara,
kekuasaan, keputusan atau kebijakan, pengalokasian sumber-sumber
(distribusi), dan konflik.
Kata politik dalam konotasinya yang biasa yaitu, yang
berhubungan dengan negara. Kata “negara” diambil untuk
mengartikan kategori khusus dari kelompok-kelompok manusia atau
masyarakat. Praktisnya ada dua arti: negara bangsa (nation-state),
menunjukan masyarakat nasional, yaitu, komunitas yang muncul
pada akhir zaman tengah dan kini menjadi paling kuat terorganisir
dan paling utuh berintegrasi. Negara pemerintah (government-state)
menunjukan penguasa dan pemimpin dari masyarakat nasional ini
(Duverger, 2010: 17).
Politik berasa dari bahasa Yunani polis yang artinya negara-
kota. Pada masa Yunani dalam negara kota setiap orang berinteraksi
satu sama lain guna mencapai kesejahteraan hidupnya. Manakala
manusia mencoba untuk menentukan posisinya dalam masyarakat,

144
berusaha meraih kesejateraan pribadi melalui sumber daya yang ada,
atau berupaya mempengaruhi orang lain agar menerima
pandangannya, mereka sibuk dengan suatu kegiatan yang kita sebut
sebagai politik (dalam Mufti, 2013: 16).
Dari kelima konsep ini, lahir definisi atau pengertian tentang
politik yang beragam. Politik misalnya didefinisikan sebagai:
1. Segala kehidupan atau kekuatan bernegara atau kegiatan yang
berhubungan dengan negara;
2. Segala kekuatan dalam mempertahankan dan/atau merebut
kekuasaan;
3. Kegiatan yang berkaitan dengan perumusan dan atau
melaksanakan keputusan politik atau kebijakan publik
4. Kegiatan yang berkaitan dengan pengalokasian dan penerimaan
sumber-sumber;
5. Segala kekuatan berbentuk perselisihan politik atau konflik
politik.

Politik diartikan antara lain sebagai urusan dan tindakan atau


kebijakan mengenai pemerintah negara atau negara lain. Politik juga
berarti kebijaksanaan dan cara bertindak dalam menghadapi dan
menangani satu masalah, baik yang berkaitan dengan masyarakat
maupun selainnya (Shihab, 2005: 377). Dalam segi Ideologi dan
Hak Asasi Manusia, perempuan mempunyai kedudukan yang sama
dengan laki-laki. Perempuan dan laki-laki mempunyai hak,
kedudukan dan kesempatan yang sama untuk memperoleh
kesehatan, pendidikan, pekerjaan, hak untuk hidup, hak
kemerdekaan pikiran, hak untuk tidak disiksa, hak untuk diakui
sebagai pribadi dihadapan hukum, hak untuk berserikat,
berorganisasi, berpolitik, dan berbagai hak universal yang dilindungi
oleh hukum. Singkat kata semua hak yang dimiliki laki-laki tak
ubahnya duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi. Perempuan
dan laki-laki mempunyai kedudukan yang sama, yang dijamin dan
dilindungi oleh negara.

145
Indonesia sebagai negara merdeka dan berdaulat secara tegas
memberikan pengakuan yang sama bagi setiap warganya, baik itu
perempuan maupun laki-laki sama haknya dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara tanpa kecuali. Hak-hak politik perempuan
ditetapkan melaui instrumen hukum maupun meratifikasi berbagai
konvensi yang menjamin hak-hak tersebut.
Undang-undang RI Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak
Hsasi Manusia pasal 46 menyebutkan sistem pemilihan umum,
kepartaian, pemilihan anggota badan legislatif dan sistem
pengangkatan di bidang eksekutif dan yudikatif harus menjadi
keterwakilan perempuan sesuai dengan prasyarat yang ditentukan
(Moore, 1988: 95).
Jika menilik perjalanan sejarah dan dikaitkan dengan peran
serta aktivitas seorang tokoh kenamaan asal Jepara R.A Kartini yang
telah mengawali bahwa persamaan gender dan peran perempuan
yang sudah semestinya disertakan dengan posisi kaum laki-laki
dalam berbagai ruang lingkup serta dimensi kehidupan, baik dalam
hal memperoleh pendidikan, beraktivitas dalam lingkungan sosial-
masyarakat, sosial, budaya bahkan dalam ranah politik.
Dengan adanya gerakan reformasi serta tuntutan rakyat akan
segera diadakannya berbagai perubahan dalam tatanan sistem politik
dan pemerintahan di Indonesia, sampai pada diselenggarakannya
otonomi daerah pada awa Januari 2001 yang berbarengan dengan
dirumuskan dan ditetapkan UU No 22 Tahun 1999 Tentang
Pemerintahan Daerah, setidaknya dapat diambil suatu pelajaran
yang sangat berharga terutama dalam hal partisipasi publik di dalam
pemerintahan. Hingga sampai pada revisinya UU No 22 Tahun 1999
menjadu UU No 32 Tahun 2004, sehingga keberadaan masayarakat
dalam berpartisipasi dalam dunia pemerintahan semakin terbuka.
Begitu pula dengan kondisi kaum perempuan yang semula pada
level kondisi terbawah sedikit-demi sedikit sudah terangkat ke
permukaan, sehingga sampai pada obsesi meraih kekuasaan, baik
dalam posisi sebagai eksekutif maupun legislatif.

146
Kekuasaan merupakan alat yang dapat digunakan untuk
mempengaruhi pemikiran maupun tingkah laku seseorang, dengan
cara menggunakan hak dan kewenangan yang dimiliki oleh
pemegang kekuasaan. Pada prinsipnya, kekuasaan merujuk pada
potensi, dedikasi tinggi, serta profesionalisme baik dalam hal
teoritis, praktis dan manajemen. Sedangkan wewenang merujuk
pada hak. Dengan demikian, jika pengaruh kaum perempuan dalam
pengendalian situasi sosial dalam hal kekuasaan, termasuk di
dalamnya pengambilan kebijakan yang berpihak pada gen yang
sama yakni kaum perempuan, semua ini sngat ditentukan oleh
seberapa besar dan kuat keterlibatan mereka pada posisi-posisi
strategis untuk merumuskan serta mengesahkan kebijakan tersebut.
Singkatnya seberapa potensi yang dimiliki oleh perempuan untuk
mempengaruhi orang lain bahkan gen yang nantinya disesuaikan
dengan posisi sistem maupun siklus keberadaannya dalam sutau
sistem sosial, politik, agama, serta budaya, dan semuanya itu
tergantung pada seberapa besar kekuasaan yang dimilikinya untuk
meyakinkan bahkan memaksa pihak lain melakukan sesuatu yang
sesuai dengan kehendahnya.

Keterwakilan Politik Perempuan


Perjuangan menggolkan keterwakilan perempuan bukan
semata-mata memperjuangkan kuantitas saja, yang paling penting
dari itu adalah kualitas perempuan. Bagaimana perempuan dapat
memiliki kepekaan dan komitmen untuk mewujudkan kesetaraan ,
keadilan dan pemberdayaan perempuan.
Ada beberapa alasan pentingnya keterwakilan perempuan
dalam lembaga politik dan dalam pengambilan keputusan publik,
yaitu:
1) Keterwakilan perempuan minimal 30% akan membuat
perempuan lebih berdaya untuk terlibat dalam berbagai
permasalah yang tidak mendapat perhatian selama ini di
Indonesia. Misalnya angka kematian ibu yang tinggi, kekerasan

147
dalam rumah tanggal, pelecehan seksual dan pemerkosaan, dan
sebagainya.
2) Keterwakilan perempuan 30% akan membuat lebih berdaya
untuk memperjuangkan peningkatan kesejahteraan perempuan
Indonesia yang masih rendah.
3) Keterwakilan perempuan minimal 30% akan membuat
perempuan lebih berdaya untuk terlibat dalam pembuatan budget
perspektif gender. Penggunaan analisis berperspektif gender
akan meningkatkan efektivitas kebijakan sehingga penggunaan
uang publik juga akan memperhatikan perspektif gender
tersebut.

Di Indonesia, di lingkungan pemerintah maupun swasta,


perempuan yang telah berhasil menduduki jabatan tinggi masih
sedikit dibandingkan dengan kaum laki-lakinya. Meskipun kita
mempunyai menteri wanita, duta besar wanita, jenderal wanita,
bahkan Presiden tetapi sebagian besar dari perempuan lebih banyak
yang buta huruf, lebih banyak yang menjadi buruh dan pembantu
rumah tangga. Kesempatan yang diberikan di bidang pendidikan dan
peluang untuk menduduki jabatan eksekutif pada umumnya baru
dinikmati oleh segelintir perempuan saja.
Kondisi masyarakat pada saat ini mulai berubah. konsep-
konsep mengenai citra, peran dan status perempuan sudah agak
bergeser. Banyak isteri yang bekerja mencari nafkah di luar rumah.
Penghasilan isteri juga berfungsi menambah penghasilan. Isteri yang
bekerja mencari nafkah di luar rumah biasanya harus mendapat
persetujuan terlebih dulu dari suami.
Namun hingga saat ini meskipun isteri bekerja dan
berpenghasilan, sang suami tetap tidak ingin bila posisi dan
penghasilan yang diperoleh isteri melebihi sang suami. Penghasilan
suami tetap merupakan penghasilan pokok bagi keluarga.
Di samping isteri bekerja mencari nafkah di luar rumah
tanggung jawab urusan rumah tangga tetap ada di pihak isteri
sehingga dapat dibayangkan beratnya beban yang ditanggung oleh

148
seorang isteri bila ia bekerja di luar rumah (beban ganda).
Konsekuensinya, banyak perempuan yang harus bekerja keras dan
lama untuk menjaga kebersihan dan kerapihan rumah tangga, mulai
dari membersihkan dan mengepel lantai, memasak, mencuci,
mencari air untuk mandi hingga memelihara anak. Di kalangan
keluarga miskin beban yang sangat berat ini harus ditanggung oleh
perempuan sedniri. Terlebih-lebih jika perempuan tersebut harus
bekerja, maka ia akan memikil beban kerja ganda (Fakih, 1996: 21).
Di bidang pendidikan tampak bahwa konsep gender juga
dominan. Sejak masa kanak-kanak ada orang tua yang
memberlakukan pendidikan yang berbeda berdasarkan konsep
gender tersebut. Sebagai contoh kepada anak perempuan diberi
permainan boneka, sedang anak laki-laki memperoleh mobil-
mobilan dan senjata sebagai permainannya. Bila pada zaman Kartini
berlaku perbedaan pendidikan bagi anak perempuan dan laki-laki,
tampaknya saat ini juga masih demikian. Sebagai contoh masyarakat
kita masih menganggap bahwa anak perempuan lebih sesuai
memilih Jurusan Bahasa, pendidikan rumah tangga. Sebaliknya anak
laki-laki lebih sesuai untuk Jurusan Teknik. Perempuan dianggap
lemah di bidang matematika, sebaliknya laki-laki dianggap lemah di
bidang bahasa. Pada keluarga yang kondisi ekonominya terbatas
banyak dijumpai pendidikan lebih diutamakan bagi anak laki-laki
meskipun anak perempuannya jauh lebih pandai, keadaan ini
menyebabkan lebih sedikitnya jumlah perempuan yang
berpendidikan (Muhammad, 2000: 6).
Di Indonesia, ketimpangan gender terlihat dari segala aspek
antara lain dalam lingkungan keluarga, kependudukan, pendidikan,
ekonomi, pekerjaan, dan dalam pemerintahan. Perbedaan peran
antara laki-laki dan perempuan yang tidak seimbang ini juga sangat
dipengaruhi oleh budaya dan kultural masyarakat Indonesia yang
terdiri dari banyak etnis dan suku. Setiap masyarakat suku di
Indonesia mempunyai ciri khas tersendiri dalam memaknai peran
gender di Indonesia. Di Indonesia, isu kesetaraan gender akhir-akhir

149
ini menjadi isu yang tidak ada habisnya dan masih terus
diperjuangkan baik di tingkat eksekutif maupun legislatif.
Permasalahan tentang kesetaraan gender ini mencakup
substantif pemahaman tentang kebijakan perspektif gender itu
sendiri. Peningkatan kesadaran dan pemahaman itu, harus dibarengi
dengan adanya keterwakilan perempuan-perempuan dalam lembaga-
lembaga negara, terutama lembaga pembuat kebijakan. Mengingat
perempuan masih saja mengalami ketimpangan di bidang
pendidikan, sosial, politik, dan ekonomi hanya karena
perkembangan pengetahuan masyarakat Indonesia tentang gender
itu sendiri masih sangat lambat. Meskipun perempuan ditempatkan
pada peran domestik di lingkungan keluarga, namun posisi
perempuan Indonesia di lingkungan keluarga selalu dinomor-
duakan. Karena berperan sebagai pencari nafkah, posisi kepala
rumah tangga pada umumnya akan diserahkan kepada laki-
laki/suami, kecuali jika perempuan tersebut adalah seorang janda
atau tidak ada laki-laki dalam suatu keluarga.
Oleh karena itu, pengembangan pendidikan politik
perempuan, perlu ditingkatkan baik dari segi organisasional maupun
pemantapan pilar-pilar demokrasi melalui lembaga legislatif,
eksekutif maupun yudikatif yang aspiratif dan pro terhadap
kepentingan perempuan. Kondisi semacam ini perlu mendapat
perhatian khusus, untuk itulah salah satu hal yang perlu ditangani
adalah masalah pendidikan politik bagi kaum perempuan, sehingga
dengan tumbuh berkembangnya kesadaran politik dikalangan
perempuan, mereka diharapkan mampu memanfaatkan kesempatan
dan peluang yang ada sesuai potensi yang dimiliki dan sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam UU no.10 tahun 2008 tentang pemilu legislatif dan
UU no.2 tahun 2008 tentang partai politik ( parpol ) bahwasanya
kuota keterlibatan perempuan dalam dunia politik adalah sebesar 30
%, terutama untuk duduk di parlemen. Bahkan dalam pasal 8 butir
di UU no.10 tahun 2008, disebutkan adanya pernyataan sekurang-
kurangnya 30% keterwakilan perempuan pada kepengurusan parpol

150
tingkat pusat sebagai salah satu persyaratan parpol untuk dapat
menjadi peserta pemilu, dan pasal 53 UU menyatakan bahwa daftar
bakal calon peserta pemilu juga harus memuat sedikitnya 30%
keterwakilan perempuan. Dalam hal kuota tersebut, sebagian
perempuan memang merasa bahwa mereka juga sudah di beri
kesempatan untuk berpolitik, tapi sebagian perempuan pada
umumnya selalu bertanya- tanya, mengapa harus ada persentase
yang dijadikan eksistensi perempuan?, yang berarti ini termasuk
ketimpangan dan juga ketidakadilan perempuan dalam porsi dipilih
dan memilih. Hak mereka didiskriminasi, seperti di bedakan dan
pasti ujung-ujungnya subordinasi yang terjadi, yaitu sebuah posisi
atau peran yang merendahkan nilai peran yang lain yang
menomorduakan perempuan untuk turut andil dalam politik.
Perempuan umumnya hanya dianggap sebagai pelengkap, sehingga
kehadirannya sama sekali tidak di perhitungkan.
Dalam menyikapi problematika ini, muncul pengembangan
pemikiran bahwasanya partisipasi perempuan yang hanya 30 persen
saja tidak pernah terpenuhi, Hal ini dikarenakan kurangnya
keterlibatan perempuan yang di sebabkan beberapa faktor, yaitu tata
nilai sosial dan budaya yang bias gender dengan dominasi maskulin
dalam kehidupan masyarakat, peraturan dan sistem hukum yang
banyak bias gender dengan mengutamakan laki-laki dibanding
perempuan, adanya kebijakan dan program pembangunan yang
cenderung mengutamakan partisipasi laki-laki dari pada perempuan,
serta akses-akses yang tidak ada sisi regulasinya dalam
implementasinya sehingga hal inilah yang selalu menjadi suatu
permasalahan. Namun jikalau kita melihat lebih mendalam dari sisi
bias gender tersebut, nampaknya peran wanita memang
dimarginalkan posisinya serta dibatasi ruang geraknya.

Studi kasus Sri Mulyani atas Perannya dalam Politik dan


Pemerintahan
Sri Mulyani Indrawati adalah sosok yang belakangan ini
ramai menjadi perbincangan publik, semenjak dia mengajukan

151
pengunduran diri sebagai Menteri Keuangan RI, dan disetujui oleh
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 5 Mei 2010 silam. Pro
dan kontra muncul sebagai respon terhadap pengunduran diri wanita
yang juga pernah menjabat sebagai Menteri Negara Perencanaan
Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas (Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional.
Sri Mulyani mundur karena ia lebih mengikuti hati
nuraninya. Ia tak mau diombang-ambingkan oleh kepentingan
politik segelintir orang, apalagi jika itu bertentangan dengan etika
yang diyakininya. Dalam pertarungan kepentingan politik, dan ia
memilih untuk mundur dari jabatan yang sangat prestisius di
pemerintahan. Lagipula, ia tetap mengaku menang. Bukan karena ia
telah menjabat sebagai Managing Director World Bank pada 1 Juni
2010, tapi karena ia tetap berhasil memegang prinsip-prinsip dan
etika yang diyakininya. Ia menang karena tidak bisa didikte oleh
siapapun, termasuk orang yang menginginkannya. Selama saya
tidak mengkhianati kebenaran, selama saya tidak mengingkari
nurani saya, dan selama saya masih bisa menjaga martabat dan
harga diri saya, maka di situ saya menang, ia menegaskan ketika
mengakhiri kuliah umumnya di Hotel Ritz Carlton, Jakarta, 18 Mei
2010.
Tentu saja, sosok Sri Mulyani seperti yang sekarang ini, tak
lepas dari pengaruh lingkungan keluarga, bagaimana pasangan Prof.
Satmoko (alm.) dan Prof. Dr. Retno Sriningsih Satmoko (alm.)
membentuk karakter Sri Mulyani dan saudara-saudaranya. Awal
tahun 2009, Sri Mulyan yang saat itu selain menjabat sebagai
Menteri Keuangan juga merangkap menjadi Pelaksana Harian
Menteri Koordinator Perekonomian RI, ia bercerita tentang
bagaimana orangtuanya itu mendidik dirinya dan saudara-
saudaranya. Ayah-ibunya tersebut adalah guru besar Universitas
Negeri Semarang (dulu IKIP Semarang). Ada pepatah yang
mengatakan “buah jatuh tak jauh dari pohonnya” menggambarkan
sebagian perjalanan hidup keluarga itu. Sri Mulyani dan saudara-
saudaranya juga tumbuh menjadi orang-orang yang berprestasi dan

152
berpendidikan tinggi. Hebatnya, di bangku sekolah dan kuliah,
prestasi mereka selalu menonjol, sehingga biaya sekolah gratis dan
mendapat beasiswa kuliah di dalam dan luar negeri.
Dari segi nilai-nilai hidup yang diajarkan, sebagaimana orang
Jawa pada umumnya, ayah Sri Mulyani memberi petuah kepada
anak-anaknya agar menjadi manusia yang tinggi tepo sliro-nya
(peka atau memahami lingkungan sekitar) dan hidup sederhana.
“Kami memang dibiasakan hidup dengan apa yang kami miliki,
tidak berangan-angan yang macam-macam, jujur, tidak mengambil
milik orang lain, dan tidak materialistis”, ujar kelahiran Tanjung
Karang, 26 Agustus 1962, yang mengaku dulu tidur bersama empat
saudaranya dalam satu kamar itu. Orang tua adalah figur terbaik
bagi anak-anak. Sri Mulyani dan saudara-saudaranya meneladani
sikap ayah-ibu mereka. Karakteristik ayahnya yang patut dicontoh
adalah penggembira, suka musik, sangat bijaksana, ekspresif, jujur,
memiliki insting tinggi untuk melayani orang (karena beliau pernah
menjadi dekan), serta memiliki jiwa kepemimpinan yang sangat
tinggi. Sementara sang ibu adalah sosok yang serius, kutu buku,
pekerja keras, dan tidak suka pada hal-hal yang berlebihan. Ibunda
Sri Mulyani menempuh kuliah S-2 dan S-3 di IKIP Jakarta, dan
gelar doktor diraihnya di usia 45 tahun. Ia bangga dengan ibunya
yang menjadi ibu rumah tangga dengan 10 anak, tapi juga sukses di
pendidikan dan karier. Bahkan, memberi contoh anak dengan
meraih gelar profesor.
Saat ini, nama Sri Mulyani digadang- gadang sebagai bakal
calon Presiden RI dalam pemilu 2014 mendatang. Ia adalah salah
satu sosok wanita yang berani menantang dunia walaupun ia adalah
orang Indonesia. Ia lebih memilih diasingkan, daripada hidup
dibawah kemunafikan. Sebagai seorang ekonom, birokrat bahkan
politisi, nama Sri Mulyani sebagai aktivis wanita yang patut
dicontoh, memberikan gambaran bahwasanya wanita dapat berlaku
lebih baik daripada laki- laki.

153
Analisa Terhadap Peran Perempuan dalam Politik dan
Pemerintahan
Melihat pembahasan diatas, Sri Mulyani adalah contoh nyata
bahwa seorang perempuan memiliki eksistensi yang tidak kalah dari
seorang laki- laki. Secara fisik, memang perempuan memiliki
keterbatasan. Ia tidak memiliki tenaga yang besar layaknya laki-
laki, namun secara ide dan gagasan, perempuan tak dapat
dikesampingkan peran dan fungsinya.
Keterlibatan perempuan dalam politik dan pemerintahan
merupakan suatu anugerah bagi keberlanjutan suatu negara. Ibarat
negara sebuah rumah tangga, maka perempuanlah yang memiliki
peran untuk mengurus rumah serta mengatur hajat hidup seluruh
penghuni rumah tersebut. Maka, dapat dipastikan bahwasanya
perempuan memiliki andil yang luar biasa dalam mengatur
kehidupan berbangsa dan bernegara. Walaupun demikian, bagi
negeri yang bernama Indonesia, peran perempuan masih
dimarginalkan dan dikebiri eksistensinya. Hal ini terlihat dari total
partisipasi perempuan dalam parlemen yang dibatasi hanya sebesar
30% semata. Tentunya, menjadi sebuah tragedi bagi negeri yang
menjunjung genderisasi, namun masih memiliki pandangan yang
tak rasional bagi peran perempuan.
Hingga saat ini, peran perempuan dan representasi politiknya
di parlemen serta pada pemerintahan, baik secara global maupun
nasional masih sangat rendah dan memprihatinkan. Rendahnya
partisipasi perempuan tersebut bisa jadi disebabkan oleh berbagai
faktor, yakni tidak ada pendidikan politik dan pendidikan pemilih
khususnya di negara-negara berkembang dan terbelakang, tidak
adanya pelatihan dan penguatan keterampilan politik perempuan
untuk memperkuat keterampilan politiknya, kurang adanya
kesadaran perempuan untuk aktif dan terlibat di dalam kegiatan-
kegiatan politik terutama untuk berpartisipasi dalam institusi politik
formal seperti lembaga legislatif dan partai politik, serta masih
adanya sistem perundang-undangan politik yang membatasi

154
aksesibilitas dan partisipasi perempuan dalam pemilu, perlemen dan
dalam pemerintahan.
Alasan- alasan inilah yang menjadi suatu pembeda antara
kaum laki- laki dan kaum perempuan. Bahkan, dalam pembagian
hak waris, kebebasan bergaul dan semacamnya yang diatur oleh
agama, perempuan dibedakan jatah dan bagiannya. Namun, hal ini
bukanlah suatu kerugian bagi seorang perempuan, melainkan sebuah
pernyataan tertulis bahwasanya perempuan adalah makhluk yang
sejatinya harus dijaga harkat dan martabatnya serta diposisikan
dalam konteks yang lebih kompleks dan utama, dibandingkan
dengan urusan laki- laki yang sejatinya mampu untuk menjaga
dirinya sendiri. Dalam tataran pemerintahan, Arivia (2006:4) dalam
Nurhaeni (2009:53) menyatakan: “Sepanjang dibelahan dunia
patriarki seperti Indonesia, representasi isu- isu perempuan di segala
bidang (politik, ekonomi, budaya, agama dan sebagainya) telah
ditolak di dalam wacana publik”. Oleh karena itu diperlukan suatu
terobosan baru dalam mengaktualisasikan peran perempuan dalam
wacana publik atau dalam kehidupan bermasyarakat. Bahkan,
terkadang perempuan menjadi “korban” dalam suatu dinamika
politik dan pemerintahan. Bukan menjadi sebuah rahasia
bahwasanya pengunduran diri Sri Mulyani sebagai seorang menteri
jikalau tidak menjadi korban politik segelintir elit. Hapsari
Dwiningtyas menyatakan: “Pembahasan mengenai permasalahan
perempuan lebih sering menampilkan perempuan sebagai korban
yang tidak berdaya. Perempuan sebagai makhluk yang tidak bisa
berbuat banyak untuk melindungi dirinya sehingga perlu dibantu”.
Itulah mengapa, terkadang dalam sistem pemerintahan dan politik
Indonesia, jarang sekali yang menampilkan arahan kebijakan
pemberdayaan perempuan sebagai mana yang diharuskan dalam
peraturan perundang- undangan yang menetapkan perlunya
meningkatkan kedudukan dan peranan perempuan serta
meningkatkan kualitas peranan mereka dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara.

155
Oleh karena itu, peranan perempuan merupakan merupakan
jawaban dalam menjawab pertanyaan yang berkaitan dengan
kesejahteraan rakyat. Dominasi gender adalah sebuah keharusan
yang ditinjau secara ide dan gagasan dalam pembangunan bangsa.
Sri Mulyani berhasil menjawab pertanyaan itu dengan mengabdikan
dirinya untuk negerinya. Namun, ia harus keluar dari negerinya
manakala hukum telah berubah oleh kekuasaan politik yang
mendominasi segala aspek.

Sumber Referensi

Duverger, Maurice. 2010. Sosiologi Politik,Jakarta: Rajawali Pers.


Fakih, Mansour. 1996. Analisis Gender dan Transformasi Sosial,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hapsari Dwiningtyas Sulistyani. 2011. “Korban dan Kuasa” di
dalam Kajian Kekerasan Perempuan. FORUM Edisi Juli 2011:
Fisip Undip
KA Ralahalu. 2010. Penguatan Peran Perempuan dalam Politik dan
Masyarakat. Kompas, Edisi 21 Februari 2010.”
Moore, Henrietta L. 1988. Feminism and Antropology, Combridge:
Polity Press
Mufti, Muslim. 2013. Buku Daras: Pengangtar Ilmu Politik,
Lembaga Penelitian UIN SGD Bandung.
Rihandoyo. 2011. Sistem Akuntabilitas di dalam Pembangunan
Berbasis Gender. FORUM Edisi 1 Februari 2011 : Fisip Undip.
Shihab, M Quraisy. 2005. Perempuan, Jakarta: Lentera Hati.
Tan, Mell G (ed). 1991. Perempuan Indonesia Pemimpin Masa
Depan, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

156
KEHIDUPAN PERANAN WANITA DALAM LINGKUNGAN
KERABAT ORANGTUANYA ATAU SUAMINYA DAN
DALAM LINGKUNGAN MASYARAKAT SEKITARNYA
Oleh : Tita Nurmalasari_1138030213_5-F

A. Kaum Wanita Dalam Sistem Marga


Orang batak terdahulu pernah mengenal organisasi
kekerabatan yang ditentukan oleh garis ibu. Pendapat demikian itu
telah dikemukakan oleh wilken dan berulangkali juga diutarakan
oleh penulisnya. Anehnya bahwa sifat masyarakat batak yang
digambarkan kepada kita seolah-olah sangat menitikberatkan
pengaruh laki-laki, padaa hemat penulis bertentangan dengan
kenyataan seperti halnya juga teori tentang orang batak yang dahulu
kala berdasarkan struktur matrilineal. Mereka yang menggaris
bawahi teori terakhir ini, rupanya menganggap kedudukan wanita
batak telah sangat mundr demi keuntungan perkembangan kaum
laki-laki. Bukanlah dalam pikiran mereka wanita itu menjadi “factor
yang menguasai segala-galanya”, sedangkan sekarag ia dinamakan
“yang dibeli”, yang karenaperkawinannya beralih ke marga
suaminya. Ia dikatakan tidak memiliki suatu hukum apapun dengan
maranya, ia tidak mewarisi ayahnya, tetapi menurut lukisan yang
diberikan, di dalam marga suaminya agaknya ia juga lebih dianggap
sebagai milik daripada sebagai sesame anggota keluarga. Bukanlah
pula dikatakan, bahwa sesudah suaminya meninggal, apalagi kalau
belum ada anak atau nak-anak masih kecil, maka ia diserahkan
kepada salah seorang saudara laki-laki suaminya sebai bagian dar
harta peninggalan.
Dalam putusan rapat batang taro pada tanggal 6 oktober 1898
seorang wanita batak diukum untuk membayar hutang, ketika
sebagai pelaksanaan putusan, rumah yang di diaminya disita, anak-
anak perempuannya juga, berhubung ayah tidak hadir, yang
menentang penyitaan itu. Pengadilan memutuskan supaya penyitaan
itu ditiadakan, atas dasar bahwa wanita, menurut adat batak dahulu

157
kawin jujuran , jadi dengan demikian, sebagai milik suaminya ia
tidak dapat mempunyai milik sendiri29. Pada bangsa barat,
perkawinan itu menimbulkan hubungan kekerabatan atau kerabat
semenda antara seorang laki-laki atau wanita tertentu dengan
keluarga laki-laki atau wanita yang dinikahinya itu30, sedangkan
orang batak memberikan arti yang jauh lebih luas pada
partondongan (kekeluargaan karena perkawinan). Dengan suatu
perkawinan terciptalah hubungan antara marga-marga, dan
perempuanlah yang menciptakan parondongan itu melalui
perkawinannya, yang menjalin ikatan yang begitu akrab antara
kedua marga itu, seperti yang sukar dapat dibayangkan di dunia
barat.
Wanita itu merupakan mata rantai antara dua marga yang
mempunyai hubungan kekerabatan karena perkawinan, dan jadi
sama sekali bukan suatu “barang belian”. Hubungan perkawinan
yang menarik ini yang bukan menghubungkan kelompok-kelompok,
terungkap dalam panun batak sebgai berikut:
Sada umoktok hite, luhut marhitehonsa,
Sada do martondong, luhut marondonghonsa,
Artinya: seorang membuat jembatan dan semuanya berjalan
melaluinya
Seseorang menjalin hubungan kekerabatan karena perkawinan, dan
semuanya ikut pula menjadi keluarga karena perkawinan iu; dan
Tondong ni dongan, tondong ni saluhutna

Keluarga karena perkawina dari salah seorang anggota


keluarga menjadi keluarga karena perkawinan dari semua anggota
keluarga31. Demikianlah apabila marga kita lihat dalam hubungan
yang lebih luas, maka barulah mungkin untuk menilai kembalihal-

29
Het recht in ned. Indie, jilid 72, hlm. 26. Putusan di barus pada tanggal
10 april 1890
30
Fischer, H. Th. De aanverwantschap bij eenige volken van de ned. Ind
Archipel. Mensch en maatschappij, hlm. 287.
3131
Bandingkan vergouwen. Eschtsleven, hlm. 58

158
hal yang dianggap merupakan peninggalan (survival) oleh mereka
yang bertitik tolak dari perkembangan susunan kekerabatan
matrelinear menjadi susunan kekerabatan yang patrelineal. Dengan
demikian maka apa yang bagi mereka merupakan fosil dan suatu
petunjuk dari susunan kekerabatan garis ibu dalam kebudayaan yang
sekarang berdasarkan garis bapa itu, akan diartikan menurut
fungsinyadi dalam susunan keerabatan yang patrilineal dan juga
sejarah terjadinya akan difahami lebih baik.
Kekerabatan pada masyarakat Batak memiliki dua jenis,
yaitu kekerabatan yang berdasarkan pada garis keturunan atau
geneologis dan berdasarkan pada sosiologis. Semua suku bangsa
Batak memiliki marga, inilah yang disebut dengan kekerabatan
berdasarkan geneologis. Sementara kekerabatan berdasarkan
sosiologis terbentuk melalui perkawinan. Sistem kekerabatan
muncul di tengah-tengah masyarakat karena menyankut hukum
antar satu sama lain dalam pergaulan hidup. Dalam tradisi Batak,
yang menjadi kesatuan Adat adalah ikatan sedarah yang disebut
dengan marga. Suku bangsa Batak terbagi ke dalam enam kategori
atau puak, yaitu Batak Toba, Batak Karo, Batak Pakpak, Batak
Simalungun, Batak Angkola, dan Batak Mandailing. Masing-masing
puak memiliki ciri khas nama marganya. Marga ini berfungsi
sebagai tanda adanya tali persaudaraan di antara mereka. Satu puak
bisa memiliki banyak marga.
Pada suku batak Karo terdapat 5 marga, yaitu marga Karo-
karo, Ginting, Sembiring, Tarigan, dan Parangin-angin. Dari lima
marga tersebut terdapat submarga lagi. Total submarganya ada 84.
Adapun Batak Toba, dikatakan sebagai marga ialah marga-marga
pada suku bangsa Batak yang berkampung halaman (marbona
pasogit) di daerah Toba. Salah satu cotoh marga pada suku bangsa
Batak Toba yaitu Simangunsong, Marpaung, Napitupulu, dan
Pardede. Pada suku Batak Pakpak, mereka diikat oleh struktur sosial
yang dalam istilah setempat dinamakan sulang silima yang terdiri
dari lima unsur, yaitu Sinina tertua (Perisang-isang, keturunan atau
generasi tertua), Sinina penengah (Pertulan tengah, keturunan atau

159
generasi yang di tengah), Sinina terbungsu (perekur-ekur, keturunan
terbungsu), Berru yakni kerabat penerima gadis, dan Puang yakni
kerabat pemberi gadis. Kelima unsur ini sangat berperan dalam
proses pengambilan keputusan dalam berbagai aspek kehidupan
terutama dalam sistem kekerabatan, upacara adat maupun dalam
konteks komunitas lebbuh atau kuta. Artinya ke lima unsur ini harus
terlibat agar keputusan yang diambil menjadi sah secara adat. Lalu
pada Batak Simalungun terdapat empat marga asli suku Simalungun
yang populer dengan akronim SISADAPUR, yaitu Sinaga, Saragih,
Damanik, dan Purba. Keempat marga ini merupakan hasil
dari Harungguan Bolon (permusyawaratan besar) antara empat raja
besar dari masing-masing raja tersebut, untuk tidak saling
menyerang dan tidak saling bermusuhan. Sementara pada Batak
Mandailing hanya dikenal beberapa marga saja, antara lain Lubis,
Nasution, Harahap, Pulungan, Batubara, Parinduri, Lintang,
Hasibuan, Rambe, Dalimunthe, Rangkuti, Tanjung, Mardia, Daulay,
Matondang, dan Hutasuhut.
Kelompok kekerabatan Batak diambil dari garis keturunan
laki-laki atau patrilineal. Seorang Batak merasa hidupnya lengkap
jika ia telah memiliki anak laki-laki yang meneruskan marganya.
Menurut buku "Leluhur Marga Marga Batak", jumlah seluruh Marga
Batak sebanyak 416, termasuk marga suku Nias. Untuk menentukan
seorang bangsa Batak berasal garis keturunan mana, mereka
menggunakan Torombo. Dengan tarombo seorang Batak
mengetahui posisinya dalam sebuah marga. Orang Batak meyakini,
bahwa kekerabatan menggunakan Torombo ini dapat diketahui asal-
usulnya yang berujung pada Si Raja Batak. Bagi Batak Toba, Si
Raja Batak adalah anak perempuan dari keturunan Debata Muljadi
Nabolon, Tuhan pencipta bumi dan isinya. Tuhan ini memerintah
ibu Si Raja Batak untuk menciptakan bumi, dan ibunya tinggal di
daerah bernama Siandjurmulamula. Daerah tersebut menjadi tempat
tinggal Si Raja Batak dan keturunannya. Daerah ini adalah tanah
Batak, dimana tempat seluruh orang Batak berasal.

160
Perkawinan
Bagi bangasa Batak, khusunya Batak Toba, sesama satu
marga dilarang saling mengawini. Jika melanggar ketetapan ini,
maka si pelanggar akan mendapatkan sanksi adat. Hal ini ditujukan
untuk menghormati marga seseorang. Juga supaya keturunan marga
tersebut dapat berkembang. Ini menunjukan bahwa mereka sangat
menjunjung tinggi nilai-nilai adat dan marga memiliki kedudukan
yang tinggi. Bagi bangsa Batak, perkawinan mengandung nilai
sakral. Oleh karenya kesakralan tersebut harus disertai dengan
sebuah adat perkawinan. Dikatakan sakral karena bermakna
pengorbanan bagi pihak pengantin perempuan. Ia “berkorban”
memberikan satu nyawa manusia yang hidup yaitu anak perempuan
kepada orang lain pihak paranak, pihak penganten pria. Pihak pria
juga harus menghargainya dengan mengorbankan atau
mempersembahkan satu nyawa juga berupa penyembelihan seekor
sapi atau kerbau. Hewan tersebut akan menjadi santapan atau
makanan adat dalam ulaon unjuk (adat perkawinan Batak). Terdapat
beberapa rangkaian upacara adat perkawinan bangsa Batak.
Rangkaian pertama sebagai pembuka adalah Mangariksa
dan Pabangkit Hata. Mangariksa adalah kunjungan dari pihak
mempelai laki-laki kepada pihak wanita, lalu dilanjutkan dengan
proses Pabangkit Hata atau lamara. Rangkaian kedua adalah
Marhori-Hori Dinding, yaitu membicarakan lebih lanjut mengenai
rencana perkawinan serta pestanya. Ketiga adalah Patua Hata, yakni
para orang tua memberikan petuah atau nasihat sebagai bekal
kepada kedua mempelainya nanti. Proses ini merupakan proses yang
amat serius.
Keempat adalah rangkaian yang dinamakan Marhata
Sinamot, yakni pihak pria mendatangi pihak wanita untuk
membicarakan uang jujur atau dalam bahasa Batak adalah tuhor.
Selanjutnya adalah Pudun Sauta atau makan bersama kedua belah
pihak. Makanan yang dibawa berasal dari pihak pria. Lalu
dilanjutkan dengan rangkaian keenam yakni Martumpol,
yaitu penandatanganan surat perstejuan kedua belah pihak.

161
Kemudian rangkaian ketujuah adalah Martonggo Raja, yaitu
seremoni atau pernikahan yang akan digelar. Prosesi ini
memberitahukan kepada masyarakat mengenai pernikahan yang
akan digelar. Rangkaian kedelapan adalah Manjalo Pasu-pasu
Parbagosan, yaitu pemberkatan kedua pengantin yang dilakukan
oleh pihak gereja bila agama mereka adalah Kristen Protestan.
Prosesi ini merupakan hal yang terpenting dan tak boleh dilewatkan
karena orang Batak adalah penganut Kristen yang taat. Rangkaian
terakhir adalah Pesta Unjuk. Prosesi ini merupakan rangkaian
terakhir dari keseluruhan rangkaian pernikahan. Semua keluarga
berpesata dan membagikan jambar atau daging kepada pihak
keluarga. Rangkaian tersebut memang nampak ribet, rumit dan
merepotkan. Tetapi itu merupakan suatu kebudayaan yang dimiliki
salah satu suku bangsa Indonesia.

Pembagian Harta Warisan


Dalam pembagian warisan, yang mendapatkan warisan
adalah anak laki-laki karena Batak berdasarkan kekerabatan
patrilineal. Sedangkan anak perempuan mendapatkan bagian dari
orang tua suaminya, atau dengan kata lain pihak perempuan
mendapatkan warisan dengan cara hibah. Pembagian harta warisan
untuk anak laki-laki juga tidak sembarangan karena pembagian
warisan tersebut ada kekhususan yaitu anak laki-laki yang paling
kecil atau dalam bahasa batak nya disebut Siapudan. Dan dia
mendapatkan warisan yang khusus. Jika tidak memiliki anak laki-
laki, maka hartanya jatuh ke tangan saudara ayahnya. Sementara
anak perempuannya tidak mendapatkan apapun dari harta orang tua.
Alasannya karena saudara ayah yang memperoleh warisan tersebut,
harus menafkahi segala kebutuhan anak perempuan dari si pewaris
sampai mereka berkeluarga. Melihat sistem pembagian hara warisan
pada adat Batak, masih terkesan Kuno.
Peraturan adat istiadatnya lebih terkesan ketat dan tegas. Hal
itu ditunjukkan dalam pewarisan anak perempuan tidak
mendapatkan apapun. Adapaun pada Batak yang memiliki

162
kepercaan Parmalim, pembagian harta warisan tertuju pada pihak
perempuan. Ini terjadi karena berkaitan dengan sistem kekerabatan
keluarga juga berdasarkan ikatan emosional kekeluargaan. Bukan
berdasarkan perhitungan matematis dan proporsional. Biasanya
dikarenakan orang tua bersifat adil kepada anak-anak mereka dalam
pembagian harta warisan.

B. Kedudukan wanita di rumahnya sendiri dan sebagai


pasumadan
Sebelum membicarakan perempuan sebagai mama’
sebaiknya digambarkan dahulu dengan singkat kedudukannya di
dalam keluarga minagkabau. Perempuan dinamakan semarak
kerabatnya (sumara kampueng) atau hiasan nagari (pamenan
nagari), demikian juga persemaian desa yang berpagar (pasamayan
nagari nan bapaga). Dengan paga itu imaksudkan rumah adat yang
tidak boleh ditinggalkan oleh perempuan; setelah kawin pun ia tidak
dapat terus-menerus mengikutu suaminya32.
Perempuan itu adalah satu dengan rumah dan tanah keluarga,
yang juga dinamakan harto padusi (harta perempuan). Maka hak
pakai atas tanah-tanah itu dipegang oleh kaum perempuan yang
mempunyai anak33. Mereka yang belum bersuami dan kehilangan
ibu, lazimnya ikut saudara perempuan yang sudah kawin untuk
nafkahnya. Perbaikan-perbaikan yang diadakan laki-laki pada
bagian pusako yang boleh dipakai istrinya, begitu pula rumah yang
dibangunnya untuk dia, seluruhnya menjadi kepunyaan dari istri dan
keluarga istrinya yang berhak atas pusako itu34. Di dalam rape
kaum, pendapat perempuan besar artinya dan harta pusako tidak
dapat digadaikan tanpa bantuan pihak perempuan. Bahwa harta
pusako itu kepunyaan perempuan, dan perempuan minagkabau juga
dapat memperoleh harta pribadi usahanya sendiri (harto pancarian)

32
Adatrechtbundel XX, hlm. 173.
33
Willinck, hal 4012, 599; Kremer, hlm 708; Adatrechtbundel VI, hlm 191
34
Van Hasselt dalam pandecten VIII, tempat 2624.

163
sudah diketahui. Wanita minangkabau rajin sifatnya, ia tidak hanya
dapat menyelesaikan segala macam pekerjaan perempuan dibidang
pertanian (menebar benih, menyiang, memotong panen dan
menebah padi), tetapi ia pandai pula mencari nafkah yang lumayan
banyaknya dengan berdagang dan betenun, dan bila ia dari golongan
yang idak berkecukupan dengan melimbang emas pada musim
paceklik. Ia dapat juga berindak sendiri dalam perkara pengadilan,
untuk mebela kepentingannya35.
Kalau peremuan dinamakan amban parue kunci tagueh pada
peti simpanan pusako kunci kukuh36. Khususnya wanita yang tertua
di dalam rumah keluarga yang terua pula, yaiu yang menyimpan
harta pusakokaum dan mengeluarkannya pada hari-hari perayaan,
dia dinamakan “amban purue” (peti simpanan pusako)37. Yang juga
layak mendapat perhatian kita ialah keterangan willinck, bahwa
“diatas mamak di dalam lingkungan keluarga minangkabau,
sebenarnya masih ada dalam lingkungan keluarga minangkabau,
sebenarnya masih ada ibunda suku bersama, jika ia masih hidup.
Bagaimanapun juga, jika harus dieluarkan suara di dalam urusan-
urusan kekeluargaan, maka ibunda suku itu tetap merupakan
kekuasaan tertinggi di dalam sebuah parui dalam jurai”38.
Kekuasaan wanita juga terasa dalam pelaksanaan kekuasaan
pada pelantikan penghulu, tidak hanya kaum wanita menduduki
tempat kehormatan, dan panghulu yang baru itu minta izin kepada
ibunya sebelum memakai deta, tetapi wanita sendiri dapat juga
bertindak sebagai panghulu. Jadi kesimpulannya bahwa si
perempuanlah di dalam rumahnya sendiri yang memegang
kekuasaan yang sebenarnya, sedang di rumah suaminya ia
dihormati. Disana ia menjadi pasumadan dan, kalau diadakan
peralatan, ia duduk bersama para pasumadan lainnya di panggung
kehormatan. Pasumadan itu jua diberikan berbagai tugas ang

35
Adatrechtbundel VI, hlm. 261
36
Willinck, hlm. 392, 403 dan 601
37
Kreemer, hlm 391/2
38
Guyt, hlm. 66.

164
terhormat, bila ada upacara. Bila ada perkawinan, maka di bawah
pimpinan salah seorang perempuan tua, mereka ikut dengan kaum
laki-laki, untuk menjemput mempelai laki-laki dari rumahnya untuk
upacara perkawinan itu. Pada upacara duduk bersanding kedua
mempelai, salah seorang pasumadan menaburi mempelai laki-laki
dengan beras kuning.

C. Minangkabau, Beberapa Cukilan Dari Kehidupan


Masyarakat

Perkawinan
Seperti telah dikatakan sebelumnya orang minangkabau
dalam mengambil keputusan-keputusan selalu sedikit banyak
tergantung pada hasil masyarakat keluarga, pada “kata mufakat”,
seperti kata orang minagkabau. Juga dalam memilih jodohnya, ia
tidak dapat menuntut keinginan hatinya, tetapi ia harus tunduk pada
kemauan keluarganya. Hal ini terutama berlaku untuk bujang.
Perkawinan itu biasanya didahului dengan pertunangan, yang
dilangsungkan dengan perukaran “tando” (tanda hadiah tunangan)
antara kedua belah pihak.
Perkawinan lazimnya dilangsungkan di rumah mempelai
wanita, hanya dalam hal-hal yang jarang sekali di depan kadli (kadi)
rumah kadli tersebut. mengenai perkawinan di minangkabau, ada
satu kejadian istimewa yang hendak di tuliskan. Yaitu mengenai
perkawinan kota gedang, tempat asal kebanyakan kaum intelektual
minangkabau, sebuah kota kecil, yang terletak disekitar bukit tinggi.
Menurut adat, gadis-gadis kota gedang dilarang kawin dengan laki-
laki yang bukan orang gedang, sedangkan yang laki-laki bebas
menuruti keinginan hatinya dan dapat mengambil istrinya dari mana
saja. Maka dengan demikian terjadilah kelebihan gadis, yang
nasibnya atau kawin dengan laki-laki yang sudah beristri atau tetap
tidak kawin sama sekali.
Gadis-gadis kota gedang sekarang bebas dalam memilih
suaminya, asal saja itu beragama islam. Bagi banyakorang masih

165
menjadi teka-teki, bagaimana adat yang masih mengekang di kota
gedang, yang penduduknya dari kedua jenis kelamin jauh lebih
tinggi pendidikan dan peradabannya daripada daerah sekelilingnya,
masih begitu lama dapat diperthankan.

Kedudukan kaum wanita


Karena sistem matriakhat, maka kaum wanita di dalam
masyarakat minagkabau menduduki tempat yang khas. Seperti pada
bangsa-bangsa timur lainnya, kedudukan mereka masih senantiasa
lebih rendah daripada kaum lelaki. Meskipun anak-anak termasuk
keluarga si ibu, namun kaum lelaki iu merupakan unsure yang
menonjol kedepan, yang dapat memperlakukan wanita sesuka
hatinya. Tetapi mengenai hara pusaka, harta keluarga si wanitalah
yang menentukan. Dialah yang menjaganya dan dia harus menjaga
jangan sampai harta pusaka itu tanpa diketahuinya diasingkan.
Sebagai istri, tidak banyak kuasanya. Kita sudah melihat bahwa satu
goresan pena saja sudah cukup untuk “menurunkan dia dari
tahtanya”. Di dalam kehidupan perkawinan dialah yangmelayani.
Tetapi dalam satu hal wanita minangkabau berkuasa, yaitu
mengenai perkawinan anggota-anggota keluarganya yang laki-laki
terutama dari anaknya dan saudaranya yang laki-laki. Dialah yang
menilai calon istri mereka, keputusannya diperhitungkan, meskipun
kadang-kadang sama sekali berlainan dengan cita-cita calon
mempelai lelaki.

D. Kaum wanita di minahasa


Pada umumnya dalam kebanyakan bangsa, dahulu maupun
sekarang wanita itu menduduki tempat kedua dalam masyarakat,
demikian pula keadaannya di minahasa. Wanita minahasa adalah
wanita-wanita erasa. Cinta kasihnya kepada anak-anak ternyata
besar dan mendalam, dan kalau seorang ditinggal mati anaknya,
sering si ibu itu selama beberapa waktu kehilangan akal. Pada
umumnya wanita minahasa lebih setia dalam hidup perkawinannya
daripada suaminya. Sebaliknya sekalipun ia seorang penurut, ia juga

166
dapat memaksakan kehendaknya, dan dalam hal ini kemauannya
tidak dapat dipatahkan. Disamping ia bersifat gembira dan lincah, ia
juga sangat rajin dan ringan tangan, pekerjaan-pekerjaan di rumah,
halaman, kebun atau lading, sebagian besar dilakukan olehnya.
Hanya pekerjaan-pekerjaan berat yang tidak layak dilakukan oleh
wanita, menjadi tugas kaum pria, seperti membuka hutan,
mendirikan rumah, berburu dan mencari ikan.
Dalam hal keagamaan, wanita minahasa pada jaman animism
tidaklah rendah martabatnya. Di daerah utara martabat keimanan
boleh di duduki oleh kaum pria, tetapi di daerah selatan umumnya
wanitalah yang memangku jabatan imam itu. Menurut legenda, ibu
semua orang minahasa, limimuut, di daerah ini untuk pertama kali
menjumpai imam wanita, dan salah seorang dari anak-anak
perempuannya menjadi imam wanita di alam dewa. Dalam hal
memenuhi kewajiban-kewajiban keagamaan, wanita yang menganut
agama asli masih lebih tekun lagi daripada pria, umumnya atas
keinginan wanitalah pesta-pesta korban diselenggarakan. Lagipula
rsa keagamaan kaum wanita lebih takwa juga pada ibadat kepada
nenek moyang.

E. Nasib kaum wanita di bali

Lamaran perkawinan
Menurut undang-undang bali kuno perkawinan adalah sah,
bila dilangsungkan dengan persetujuan orangtua kedua belah pihak.
Sejak dari dulu kala cara melangsungkan perkawinan adalah
sebagai berikut; ayah si pemuda, atau, kalau ayah tidak ada, ibunya,
datang mengunjungi orang tua gadis pilihan itu untuk mepadik, yaitu
meminta persetujuan mereka untuk perkawinan itu. Kalau
permintaan ini tidak langsung ditolak oleh orangtua tersebut, maka
diusahakanlah memperoleh persesuaian tentang persyaratan-
persyaratan yang akan menentukan kepuusan terakhir. Kalau
pemberitaan tentang hal itu dipercayai, maka rupa-rupanya dahulu

167
orang enggan menyerahkan anak gadisnya kepada kekasihnya
dengan tertentu.
Rupanya yang ketika itu merupakan pengecualian, sekarang
ini malahan hampir menjadi kebiasaan yang umum, tentang hal
initidak terdapat suatu ketentuan apa pun dalam undang-undang,
maka sudah dengan sendirinya harga penyerahan ini sama sekali
tergantung daripada persetujuan kedua belah pihak. Rupanya sering
juga terjadi bahwa seorang pemuda yang sudah berbulan-bulan,
malahan bertahun-tahun mengabdi bagi calon istrinya itu akhirnya
terpaksa melihat si gadis kawin dengan orang lain. Terserah pada
orangtua si gadis, apakah dalam hal ini mereka bersedia mengganti
kerugian kepada sang kekasih yang tertipu itu, tetapi pada umumnya
sang pemuda itu kembali dengan hampa ke tempat asalnya, untuk
menyembunyikan malu dan amarahnya di sana.
Tidaklah pada tempatnya di sini untuk menyelidiki akibat-
akibat yang menyedihkan dari kebiasaan buruk di sakhkan adat ini
terhadap orang banyak. Tanpa mempersoalkan lagi bahwa kesulitan
dilanggar akibat kebiasaan ini, tak dapat tidak para orang tua yang
mempunyai anak-anak gadis yang sudah dewasa selalu diliputi rasa
cemas, kalau-kalau pada suatu saat seseorang, yang tidak tahu malu
memasuki pekarangannya unuk merenggut anak gadisnya dari
sisinya., sedangkan masa depannya mungkin sudah direncanakan
oleh mereka. Lebih besar agi kecemasan yang meliputi gadis-gadis
remaja itu sendiri terutama yang cantik-cantik, yang tidak dapat
bergerak setapakpun tanpa membayangkan dalam pikirannya kalau-
kalau barangkali tindak-tanduknya diamati secara diam-diam, dan
orang ini atau orang itu hanya menunggu-nunggu ketika yang baik
untuk memilikinya dengan kekerasan.

Pemberkatan perkawinan
Terlebih dahulu haruslah dikemukakan bahwa pemberkatan
perkawinan ini biasanya hanyalah dilakukan, jika pasangan
pengantin itu dipertemukan dengan cara mempadik. Memang
hagama tidak melarang pemberkatan oleh pendeta bagi merangkat

168
dan melagandandang, akan tetapi biasanya mereka yang bersalah itu
secara sukarela menarik diri dari upacara tersebut. dalam banyak hal
hanya orang bali yang dapat memahami orang bali.
Kalau hari upacara sudah dekat, menurut petunjuk pedanda
dari wariganya (penanggalan orang bali), maka keluarga kedua
belah pihak dibantu oleh orang-orang sekampung, menyediakan
segala sesuatu yang diperlukan untuk perkawinan itu. Siang malam
sibuk menganyam bakul dan keranjang, membuat bangku-bangku
beristirahat dan meja-meja (plangkan), memasang tenda-tenda dan
sebagainya. Sesudah itu kebun-kebun dan ladang-ladang dikenakan
pungutan untuk member sumbangan sekadarnya untuk pesa itu.
Yang terakhir sekali disediakan adalah makanan, dan hal ini pasti
setiap orang bali kecuali menghabiskan makanan itu merupakan
puncak dari setiap karya (pekerjaan, pesta, upacara dan sebagainya).
Selagi mengadakan persiapan ini akhirnya tibalah hari yang
sudah lama ditunggu-tunggu itu, pagi-pagi pergilah pengantin laki-
laki berjalan kai atau naik kuda, dan sudah barang tentu dengan
pakaian yang paling bagus dan diiringi oleh kawan-kawan dan
handai tolannya, ke rumah pengantin wanita. Sesampainya di situ, di
depannya sambil memperdengarkan bunyi gamelan diletakan tempat
sirih oleh keluarga pengantin perempuan sebagai sambutan selamat
datang, setelah tempat sirih itu dikelilingkan, maka dari rumah
meden (kamar tidur, empat suci di setiap pekarangan rumah bali)
dikeluarkanlah si adis remaja, tersipu-sipu dan dengan mata
menatap kebawah, dan dia bersama pengiringnya menunju ketempat
upacara pemberkatan.

Permaduan
Dari tempat-tempat lain, pembaca kiranya sudah mengetahui,
bahwa di pulau bali pun poligami adalah lazim, penghalang besar
bagi suatu perkawinan yang bahagia. Bahwa kebiasaan buruk
initidak berdasarkan agama, tetapi semata-mata berdasarkan adat.
Akan tetapi tidak demikian halnya, malah sebaliknya kitab-kitab
suci menganggapnya seperti hal biasa saja, dan kalaupun di sana sini

169
masih terdapat ketentuan-ketentuan engenai hal tersebut, maka
ketentuan itu hanyalah mengatur hak-hak istimewa dari kasta yang
satu atas yang lainnya. Seorang pria boleh mempunyai sebanyak
yang diinginkannya dan dapat dibelanjanya. Hanya setiap orang
dilarang keras untuk memilih istrinya dari kasta yang lebih tinggi
dari kastanya sendiri.
Setiap pelanggaran larangan ini haruslah di hukum dengan
hukuman mati. Dahulu kala, dan sekarang pun sekali-sekali
beberapa daerah pulau bali, pasangan yang bersalah itu di masukan
hidup-hidup krdalam karung dalam keadaan demikian dibuang ke
laut, akan tetapi karena pengaruh pemerintah sejak itu hukuman itu
dirubah menjadi pembuangan seumur hidup. Karena itu kaum
brahmana dapat mengadakan pilihannya dari antara empat kasta
yang ada, sedangkan kaum sudra hanyalah boleh bercampur
dengansesama kaum sudra. Dengan demikian maka kaum wanita
dari kasta yang disebut terakhir ini diserahkan untuk selama-
lamanya kepada belas kasihan daripada apa yang disebut “pria” di
pulau ini.

Kehidupan berkeluarga
Sudah kita lihat, bahwa undang-undang tidak memberinya
pula hak untuk itu, dan dalam selain dari itu, kaum wanita sudah
terlalu lama menjadi korban sehingga tidak lagi mangharapkan yang
bukan-bukan dalam hal itu, ia sudah puas dan harus merasa puas
dengan bagian yang diberi oleh suaminyadari hati dan hartanya.
Sebagai imbalan untuk hal itu diminta unuk mengorbankan segala
yang dimilikinya untuk suaminya yang sah dan terutama sekali
untuk menghindarkan dari aib tidak meninggalkan keturunan.
Kalau si istri melahirkan dua atau lebih penerus kelanjutan
suku, gadis-gadis tidak masuk hitungan, maka ia mempunyai
harapan untuk naik bebrapa tingkat dalam kasih saying tuanya.
Kalau sebaliknya ia mandul atau hanya melahirkan gadis-gadis saja,
maka ia biasanya akan kehilangan pula sesuatu yang sedikit itu,
yang dahulu dapat diperhitungkannya, dan ia untuk sekarang dan

170
untuk selama-lamanya dapat menyebut dirinya wanita yang paling
malang. Di mata orang bali tak ada yang lebih tercela daripada
seorang wanita yang telah bersuami yang tidak aau hanya
mempunyai seorang anak saja. Untuk selebihnya si istri, seperti
yang sduah dikatakan adalah pelayan, budak suaminya. Dimana
sajapu kiata berhubungan orang bumiputra, baik kita berjumpa
dengan mereka di tempat-tempat lain, dimana saja menyolot mata,
bahwa kaum wanitalah yang melakukan pekerjaan yang terbanyak,
dan terberat.
Akan tetapi nasib kaum wanita yang tinggal dirumahpun jauh
daripada menimbulkan iri hati. Apakah mereka itu kaya atau miskin,
dari keturunan bangsawan atau rendahan, mereka tidak pernah
mempunyai waktu senggan. Semua urusan diserahkan si suami
kepadanya yang lebih suka melihat si istri menjadi kurus merana
karena tekanan pekerjaan-pekerjaan, daripada memperkenankan
dirinya menggaji seorang pembantu rumah tangga. Menanak nas,
menenun kain, mengumpulkan hasil sawah ladang untuk dijual ke
pecan, karena setiap orang bali adalah pedagang, member makan
kepada anjing, babi dan ayam, segalanya itu menanti untuk
dikerjakan si istri. Hanya saja, kaum pria belum lagi berbuat begitu
jauh sampai mereka melepaskan pula dirinya daripada pekerjaan di
ladang. Walaupun mereka menyerahkan pemotongan padi kepada
kaum wanita, pekerjaan manebur benih dan membajak masih
dilakukannya sendiri.
Tentu tidak perlu dikatakan lagi, bahwa mengasuh anak-anak
pun tugas istri. Dia sajalah yang mengurus pakaian dan makanan
anak-anaknya, sampai mereka mencapai umur mana mereka dapat
membangun rumah sendiri. Ternyata bahwa kasih sayang anak-anak
pada orangtua tidaklah merupakan kajian utama: kaum remaja bali
terutama anak laki-lakinya, sudah pada usia yang sangat muda
menjauhkan diri dari ayahnya untuk berbuat sekehendak hatinya
saja terhadap ibunya, yang mengakibatkan, bahwa tugas mendidik
anak-anak bagaimanapun juga sederhananya, berlipat ganda
beratnya bagi si istri.

171
Kedudukan kaum wanita sebagai janda
Haruslah diketahui bahwa di pulau ini terdapat sebuah
undang-undang yang menentukan bahwa semua janda (balu), yang
termasuk dalam salah satu dari tiga kasta terendah, dengan semua
kepunyaannya merupakan milik sah dari raja. Undang-undang ini
diperlukan dengan keras terhadap janda-janda baik yang baru saja
kawin (balu manis), maupun yang mandul dalam perkawinannya
(balu bunter), ataupun yang mempunyai seorang atau lebih anak
perempuan (balu mekabun) kalau janda-janda tersebut tidak dapat
menunjukan adanya anak laki-laki sebagai keturunan suaminya yang
telah meninggal (balu mekarang).maka dari itu, baru saja suatu
tempat seorang bapak, kepala keluarga meninggal atau kaki tangan
raja yang sebelumnya sudah lebih dahulu diberitahukan oleh kepala
desa tentang keadaan keluarga itu segera muncul di rumah tampat
yang meninggal itu untuk menguasai semua harta benda tuan rumah
yang sudah meninggal itu dan di membawa janda beserta anak-anak
gadisnya kalau ada ke puri. Sekali mereka berada did lam sana
mereka harus menganggap raja sebagai suami sekaligus ayahnya,
dan tanpa se ijin si raja mereka tidak pernah diperbolehkan
meninggalkan istana. Untunglah bagi mereka bahwa pembentuk
undang-undang menyadari bahwa perlu diusahakan sesuatu untuk
agak membatasi terjadinya penyalah gunaan dalam hal ini.

Sumber Referensi

Peranan Dan Kedudukan Wanita Indonesia (Maria Ulfah Subadio-


T.O. Ihromi)

172
ANALISIS GENDER DALAM BINGKAI PEMIKIRAN
SOSIOLOGI

Oleh : Trisna Nurdiaman_1138030215_5-F

Secara sederhana gender dapat diartikan sebagai sifat-sifat


yang melekat pada diri laki-laki dan perempuan yang dikonstruk
secara sosial oleh masyarakat. Mansour Fakih dalam bukunya
Analisis Gender dan Transformasi Sosial mendefinisikan gender
suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang
dikonstruksi secara sosial maupun kultural.39 Berdasarkan
pengertian terserbut maka dapat kita pahami bahwa sebenarnya
gender merupakan hasil dari proses konstruksi nilai-nilai kultural
yang dilekatkan pada tiap-tiap jenis kelamin dalam suatu
masyarakat.
Menurut J. Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto 40 gender
merupakan kelompok atribut dan perilaku yang dibentuk secara
kultural yang ada pada laki-laki dan perempuan. Lebih lanjut lagi,
gender adalah konsep hubungan sosial yang membedakan (memilah
atau memisahkan) fungsi dan peran antara laki-laki dan perempuan
yang dibedakan secara sosial menurut kedudukan, fungsi dan
peranan masing-masing dalalm berbagai kehidupan dan
pembangunan.
Menurut Heyzer,41 gender merupakan bentukan setelah
kelahiran yang dikembangkan dan diinternalisasi oleh orang-orang
dilingkungan mereka. gender pada dasarya merupakan hasil
pemikiran atau rekayasa manusia yang dibentuk oleh masyarakat.
Oleh karena itu gender bersifat dinamis (terus mengalami
perubahan) dan berbeda dari satu masyarakat dengan masyarakat

39
Mansour Fakih, Analisis Gendere dan Transfomasi Sosial, (Jakarta:
Pustaka Pelajar, 2013), h. 8
40
J. Dwi Narwoko & Bagong Suyanto, Sosiologi : Teks Pengantar dan
Terapan, (Jakarta: Kencana, 2011) h. 334
41
Ibid., h. 335

173
yang lainnya. Relativitas gender ini disebabkan karena adanya
perbedaan adat istiadat, budaya, agama, serta sistem nilai bangsa,
masyarakat dan suku bangsa tertentu. Gender merupakan produk
sejarah dan interaksi warga dengan komunitasnya.
Misalnya dalam kebanyakan masyarakat biasanya laki-laki
dikenal sebagai seseorang yang kuat, rasional, jantan, perkasa dan
keras. Sementara perempuan biasanya dikenal sebagai seseorang
yang lemah lembut, cantik, emosional dan keibuan. Sifat-sifat
tersebut sebenarnya merupakan hasil dari proses konstruksi citra
ideal dalam masyarakat. Ketika seorang bayi laki-laki lahir, maka
biasanya orang tuanya akan mengenalkan dan mengajarkan
bagaimana cara berprilaku dan bersikap sebagai seorang laki-laki. Si
anak laki-laki tersebut akan dikenalkan pada hal-hal apa saja yang
pantas untuknya dan tidak pantas untuknya. Misalnya, mainan yang
harus dimainkan oleh anak laki-laki adalah mainan yang
melambangkan maskulinitas seperti mobil-mobilan. Warna yang
harus disukai harus seorang anak laki-laki adalah warna yang gelap
seperti biru, merah atau hitam. Begitu pula sebaliknya, ketika
seorang anak perempuan lahir orang tuanya akan mengajarkan
bagaimana caranya bersikap dan berprilaku sebagaimana
kebanyakan perempuan berprilaku dalam masyarakat tersebut. Ia
harus bersikap lemah lembut, penyayang dan anggun. Mainan yang
harus dimainkan adalah boneka, warna yang harus disukai adalah
warna-warna cerah seperti pink, kuning dan lain-lain. Proses
pembentukan karakter inilah yang nantinya akan menjadi identitas
diri dari individu yang bersangkutan.
Gender tercipta sebagai hasil dari proses konstruksi citra
ideal masyarakat pada masing-masing jenis kelamin. Misalnya
dalam masyarakat patriarki, citra ideal seorang laki-laki adalah
sebagai seoranga yang maskulin, berperan sebagai kepala rumah
tangga serta bertanggung jawab atas pemenuhan kebutuhan
ekonomis rumah tangga. Sementara citra ideal perempuan adalah
sebagai seorang ibu rumah tangga yang bersifat lemah lembut dan
bertanggung jawab atas segala pekerjaan di wilayah domestik.

174
Pengkonstruksian citra ideal ini pada tahap selanjutnya akan
berpengaruh pada sikap dan pola tingkah laku individu yang
bersangkutan.
Pada dasarnya tingkah laku individu merupakan hasil dari
proses pendefinisian lingkungan sekitarnya. Individu menafsirkan
atau menginterpretasikan lingkungan dan kemudian mengambil
tindakan yang dianggapnya lebih tepat dalam menanggapi situasi
tersebut. Cara seseorang dalam mendefinisikan dan merespon segala
sesuatu sebenarnya dipengaruhi dan dibentuk oleh lingkungan itu
sendiri. Individu pada dasarnya tidak pernah lepas dari
pengalamannya di masa lampau. Ia mempelajari bagaimana cara
mendefinisikan situasi yang dihadapinya dan cara apa yang paling
tepat untuk merespon situasi tersebut. Dalam sosiologi, proses
belajar nilai-nilai dan norma-norma ini disebut dengan sosialisasi.
Terdapat tiga mekanisme umum yang terjadi dalam proses
belajar atau bersosialisasi seorang individu dalam masyarakat, yaitu:
asosiasi, reiforcement dan imitasi.42 Asosiasi adalah mekanisme
belajar dengan mengidentikan satu hal dengan hal yang lainnya.
Misalnya perempuan selalu identik dengan sifatnya yang lemah
lembut, sehingga wajar jika ia menangis saat ditimpa suatu masalah.
Sementara laki-laki diidentikan dengan sifatnya yang keras dan
kuat, oleh karena itu jika laki-laki menangis maka itu bukanlah
suatu hal yang wajar.
Dalam mekanisme belajar reinforcement, orang belajar
menampilkan perilaku tertentu karena perilaku itu disertai dengan
sesuatu yang menyenangkan dan dapat memuaskan kebutuhan (atau
mereka belajar menghindari perilaku yang disertai akibat-akibat
yang tidak menyenangkan).43 Misalnya seorang laki-laki berusaha
memperlihatkan perilaku maskulin, karena dengan begitu ia akan
diterima secara sosial oleh lingkungannya dan dapat menarik
perhatian dari lawan jenis kelaminnya.

42
David O. Sears dkk., Psikologi Sosial, Terjemahan Michael Adryanto &
Savitri Soekrisno, (Jakarta: Erlangga, 2013), h.13
43
Ibid.,

175
Sementara itu, dalam mekanisme belajar imitasi, orang
mempelajari sikap dan perilaku sosial dengan meniru sikap dan
perilaku yang menjadi model. Misalnya anak laki-laki cenderung
akan meniru sikap dan perilaku ayahnya. Sementara anak
perempuan cenderung akan meniru sikap dan perilaku ibunya. Dari
ketiga mekanisme belajar tersebut, mekanisme inilah yang paling
dominan dalam masyarakat.

1. Analisis Gender dalam Teori Konstruksi Sosial – Peter L.


Berger
Analisis gender dalam perspektif sosiologi tidak akan
lengkap jika tidak dianalisis dengan kerangka teori konstruksi sosial
dari Peter L. Berger. Menurut Berger, realitas terbentuk secara sosial
melalui proses dialektis dari objektivasi, internalisasi dan
eksternalisasi yang berlangsung secara terus menerus.44 Objektivasi
adalah momen dalam proses dialektis dari pembentukan realitas
yang membatasi realitas sosial objektif. Kemudian internalisasi
adalah momen dalam proses dialektis dimana dari pembentukan
realitas dimana sosialisasi terjadi. Sementara itu eksternalisasi
adalah ‘momen’ dalam proses dialektis dimana individu secara
kolektif dan perlahan lahan mengubah pola-pola dunia sosial
objektif. Eksternalisasi merupakan sebuah proses dimana manusia
yang belum di sosialisir sepenuhnya bersama-sama membentuk
realitas baru.
Menurutnya masyarakat merupakan produk dari manusia
yang tidak hanya dibentuk oleh masyarakatnya saja melainkan juga
oleh situasi dinamis yang terus berubah. Manusia mempunyai
kebebasan dalam membentuk dunia sosial, tetapi hanya dalam batas-
batas tertentu saja. Menurutnya, struktur sosial merupakan hasil dari
proses eksternalisasi dari tindakan-tindakan manusia yang kemudian
terpola dan melembaga. Menurut Soerjono Soekanto, suatu norma

44
Lihat : Margaret M. Poloma, Sosiologi Kontemporer, Tim Penerjemah
Yasogama, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), h. 300 - 308

176
tertentu dikatakan telah melembaga (institusionalized) apabila
norma tgersebut diketahui, dipahami atau dimengerti, ditaati dan
dihargai oleh masyarakatnya.45 Realitas sosial objektif ini kemudian
diinternalisir oleh anak-anak melaui proses sosialisasi dan di saat
dewasa pun mereka menginternalisir situasi-situasi baru yang
mereka temui dalam dunia sosialnya.46
Begitupun juga dengan konstruksi sosial gender dalam
masyarakat, pada hakikatnya merupakan hasil dari cara manusia
menanggapi realitas objektif yang kemudian dianggap mapan dan
melembaga menjadi suatu institusi sosial. Institusi sosial ini
mengatur bagaimana laki-laki dan perempuan berinteraksi dan
berperan dalam masyarakat atau bisa juga disebut dengan sistem
kekeluargaan. Sistem kekeluargaan dalam masyarakat ini terbagi
kedalam dua bentuk, yaitu patriraki dan matriarki. Institusi sosial ini
terpelihara dan terus bertahan dalam masyarakat melalui proses
sosialisasi dan internalisasi antar generasi. Namun meskipun begitu,
konstruk gender dalam masyarakat mungkin akan berubah dan
mengalami pergeseran. Sebagaimana teori konstruksi Berger, hal
tersebut terjadi karena setiap individu pada dasarnya tidak
sepenuhnya menginternalisir nilai-nilai dan norma sosial yang
diwariskan keluraganya, melainkan ia juga menginternalisir situasi-
situasi baru yang dihadapinya. Masuknya pengaruh dari pemahaman
feminisme mungkin akan merubah pola konstruk sosial gender
dalam masyarakat. Pada tahap eksternalisasi, individu-individu yang
bersangkutan akan membentuk realitas baru yang mungkin
dianggapnya lebih sesuai dan relevan dengan zamannya.

2. Analisis Gender dalam Teori Struktural Fungsional – Robert


K. Merton
Konstruk gender sebagai institusi siosial masyarakat yang
berkebudayaan termanifestasi dalam sistem sistem kekeluargaan.

45
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Rajawali Pers,
2012), h. 177
46
Ibid.,

177
Institusi sosial adalah himpunan norma-norma segala tingkatan yang
berkisar pada suatu kebutuhan pokok di dalam kehidupan
masyarakat.47 Institusi sosial ini berfungsi untuk mengatur pola
hubungan interaksi anatara laki-laki dan perempuan. Sebenarnya
perbedaan gender tidak menjadi masalah selama tidak memunculkan
ketidakadilan gender (gender innequalities). Namun sebagaimana
institusi sosial yang lainya, selain institusi ini mempunyai fungsi-
fungsi positif bagi masyarakat, institusi ini juga menyumbangkan
fungsi-fungsi negatif bagi masyarakat.
Menurut Robert Merton, suatu pranata atau institusi tertentu
dapat fungsional bagi suatu unit sosial tertentu dan disfungsional
bagi unit sosial yang lain.48 Menurutnya, semua aspek masyarakat
yang sudah baku tidak hanya memiliki fungsi positif saja, melainkan
juga memiliki fungsi negatif. Sebagaimana struktur atau institusi
dapat menyumbangkan pemeliharaan bagian-bagian lain dari sistem
sosial, struktur atau institusi pun dapat menimbulkan akibat negatif
terhadap sistem sosial.49 Begitupun dengan gender, institusi tersebut
disatu sisi dapat fungsional bagi suatu unit sosial tertentu dan disisi
yang lain disfungsional bagi unit sosial yang lain. Disfungsional dari
institusi sosial yang satu ini adalah berbentuk ketidakadilan gender.
Berbagai bentuk disfungsi atau ketidakadilan gender ini meliputi:
marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi, subordinasi atau
anggapa tidak penting dalam keputusan politik, pembentukan
steretipe atau pelabelan negatif, kekerasan (violence), beban kerja
lebih panjang dan lebih banyak (burden), serta sosialisasi ideologi
nilai peran gender.50

47
Ibid., h. 172
48
George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda,
Terjemahan Alimandan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), h. 22
49
George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Sosiologi Ilmu Pengetahuan
Berparadigma Ganda, (Jakarta : Rajawali Pers, 2014), hlm. 140
50
Fakih, Op.Cit., h. 12 - 13

178
a) Marginalisasi
Secara umum, marginalisasi adalah usaha untuk
membatasi kelompok tertentu.51 Dalam gender, marginalisasi
adalah pembatasan peran sosial jenis kelamin tertentu dalam
masyarakat. Pembatasan peran ini merugikan salah satu pihak,
karena ruang geraknya dalam masyarakat dibatasi. Kebanyakan,
proses marginalisasi ini terjadi pada perempuan dimana ruang
geraknya dalam dunia sosial dibatasi oleh nilai-nilai dan norma
yang ada. Proses marginalisasi bersumber dari kebijakan
pemerintah, keyakinan, tafsiran agama, keyakinan tradisi dan
kebiasaan atau bahkan asumsi ilmu pengetahuan.
Misalnya dalam masyarakat yang budaya patriarkinya
masih kental, perempuan diharuskan menjadi seorang ibu rumah
tangga yang berkewajiban untuk mengurusi pekerjaan diwilayah
domestik saja. Perempuan dilarang bekerja di ranah publik.
Perempuan bahkan tidak boleh keluar rumah, apalagi tanpa izin
dari suaminya. Ruang gerak perempuan sangat dibatasi di
wilayah domestik saja yang umum dianggap kurang produktif
karena tidak menghasilkan ‘uang’. Sementara karena laki-laki
bekerja di wilayah publik yang notabene dianggap produktif
karena menghasilkan uang, maka pada saat membeli tanah,
mobil dan lain-lain sebagainya biasanya atas nama laki-laki.
Sehingga ketika perceraian terjadi, maka laki-laki akan memiliki
harta kepemilikan yang lebih banyak dari pada perempuan.
Padahal, seorang suami bisa bekerja diwilayah publik karena ada
perepmuan yang bekerja di wilayah domestik. Oleh karena itu,
pembagian kerja yang kaku antara laki-laki dan perempuan pada
wilayah domestik dan publik sejatinya merupakan proses
marginalisasi terhadap perempuan.
Contoh kebijakan marginalisasi dalam gender adalah
‘revolusi hijau’ yang dilakukan pada masa orde baru. Pada
dasarnya revolusi hijau secara ekonomis telah menyingkirkan

51
Lihat : Kamus Besar Bahasa Indonesia

179
kaum perempuan dari pekerjaannya dan kehilangan pekerjaan
sehingga secara tidak langsung terjadi proses pemiskinan secara
ekonomi terhadap perempuan.

b) Subordinasi
Subordinasi merupakan anggapan tidak penting bagi
salah satu kelompok untuk ikut andil dalam keputusan politik.
Subordinasi terhadap perempuan ditimpulkan oleh pandangan
gender yang diasosiasikan pada perempuan. Misalnya
perempuan itu dianggap irrasional atau emosional, sehingga ia
dianggap tidak layak untuk menjadi seorang pemimpin.
Subordinasi yang diakibatkan oleh pandangan gender
terjadi dalam bentuk yang berbeda-beda dari tempat ke tempat
dan dari waktu ke waktu. Di jawa, dulu ada anggapan bahwa
perempuan tidaklah perlu sekolah tinggi-tonggi, toh akhirnya
akan ke dapur juga.52 Kemudian, hal pendidikan juga, anak laki-
laki akan lebih diutamakan dari pada anak perempuan, karena
anak laki-laki kelak harus mencari nafkah, sementara perempuan
tidak. Praktik-praktik gender tersebut akan mengakibatkan
subordinasi bagi perempuan.

c) Stereotip
Stereotip adalah pelabelan atau penandaan terhadap suatu
kelompok tertentu.53 Stereotip dalam gender tentu saja sangat
merugikan bagi salah satu jenis kelamin yang pada umumnya
adalah jenis kelamin perempuan. Stereotip berawal dari asumsi
gender yang lekatkan pada satu jenis kelamin. Misalnya
perempuan bersolek untuk memancing perhatian laki-laki, maka
jika terjadi kasus kekerasan atau pelecehan seksual selalu
dikaitkan dengan stereotip tersebut. Ketika terjadi pemerkosaan,
si perempuan pun yang berstatus ‘korban’ tetap akan disalahkan

52
Fakih, Op.Cit., h. 15 - 16
53
Loc.Cit.,

180
oleh masyarakat karena telah berdandan hingga mengundang
gairah laki-laki.
Masyarakat juga mempunyai anggapan bahwa tugas
utama kaum perempuan adalah untuk melayani suami. Stereotip
ini mengakibatkan kaum perempuan selalu dinomorduakan
dalam masyarakat. Oleh karena itu, jelas sekali bahwa steretip
gender merupakan salah satu bentuk disfungsi struktur
kelembagaan masyarakat (social institution).

d) Kekerasan (gender related violence)


Kekerasan (violence) adalah serangan atau invasi
(assault) terhadap fisik maupun integritas mental psikologis
seseorang. Kekerasan yang diakibatkan oleh adanya bias gender
terjadi karena adanya ketidaksetaraan kekuatan salah satu jenis
kelamin dalam masyarakat. Kekerasan gender dapat
dikategorikan kedalam beberapa bentuk, yaitu:
 Pemerkosaan terhdapa perempuan, termasuk pemerkosaan
dalam perkawinan.
 Tindakan pemukulan dan serangan fisik yang terjadi dalam
rumah tangga (domestic violence).
 Penyiksaan yang mengarah pada organ alat kelamin (genital
mutilation), misalnya seperti penyunatan terhadap anak
perempuan.
 Kekerasan dalam bentuk pelacuran (prostitution) yang terjadi
karena adanya dorongan ekonomi.
 Kekerasan dalam bentuk pornografi, yang merupakan bentuk
kekerasan non-fisik dimana tubuh perempuan dieksploitasi.
 Kekerasan dalam bentuk pemaksaan sterilisasi dalam
Keluarga Berencana yang cenderung lebih diarahkan pada
perempuan saja.
 Kekerasan terselibung (molestation), yakni memegang atau
menyentuh baian tertentu dari tubuh perempuan dengan

181
berbagai cara dan kesempatan tanpa kerelaan si pemilik
tubuh.
 Sexual and emotional harassment, berupa tindakan yang
tidak menyenangkan bagi perempuan, seperti menyampaikan
lelucon jorok pada seseorang dengan cara yang dirasakan
sangat ofensif, mengintrogasi kehidupan seksual, dan lain-
lain sebagainya.

e) Beban Kerja
Dalam masyarakat pada umumnya, banyak kaum
perempuan yang harus bekerja keras dan lama untuk menjaga
kebersihan dan kerapian rumah tangganya, seperti
membersihkan rumah, memasak, mencuci piring, mencuci
pakaian dan lain-lain sebagainya. Hal tersebut terjadi karena
adanya anggpan bahwa perempuan memiliki sifat memelihara
dan rajin, serta tidak cocok untuk menjadi kepala rumah tangga.
Di kalangan keluarga yang miskin, perempuan harus
menanggung beban ganda dalam pekerjaannya. Selain ia harus
bekerja di wilayah domestik, ia juga terpaksa harus bekerja
diwilayah publik untuk menutupi kekurangan ekonomi dalam
rangka memenuhi kebutuhan rumahtangga. Akibatnya
perempuan bekerja lebih berat dan lebih lama dari pada laki-laki
(suaminya).
Bias gender ini sering kali diperparah oleh adanya
pandangan yang menganggap rendah pekerjaan yang dilakukan
perempuan di wilayah dometik. Hal tersebut disebabkan
pekerjaan di wilayah domestik dinilai tidak produktif karena
tidak menghasilkan uang atau barang lainnya yang bisa
dikonsumsi seperti padi. Sehingga pekerjaan tersebut dianggap
sepele dan tidak begitu susah untuk dikerjakan.
Pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan dalam
masyarakat bisa juga disebut sebagai peran gender. Peran gender
perempuan dalam masyarakat patriarkis pada umumnya adalah
mengelola rumah tangga dimana perempuan harus menanggung

182
beban kerja domestik lebih banyak dan lebih lama (burden).
Peran gender perempuan yang telah mengakar dalam masyarakat
mengakibatkan tumbuhnya tradisi dan keyakinan bahwa mereka
harus bertanggung jawab atas terlaksananya keseluruhan peran
domestik. Sosialisasi peran tersebut menimbulkan rasa bersalah
dalam diri perempuan jika tidak menjalankan tugas-tugas
domestik tersebut. Sedangkan bagi kaum laki-laki, tidak saja
merasa bukan merasa tanggung jawabnya, bahkan dibanyak
tradisi secara adat laki-laki dilarang terlibat dalam pekerjaan
domestik. Beban kerja tersebut menjadi dua kali lipat bagi
perempun yang yang juga bekerja di rumah.selain bekerja di
luaruga harus bertanggung jawab atas keseluruhan pekerjaan
domestik.
Dalam keluarga kelas menengah ke atas (kalangan
mampu), pekerjaan diwilayah domestik ini dilimpahkan kepada
pihak lain, yaitu pembantu atau asisten rumah tangga.
Pelimpahan pekerjaan ini semata-mata pada dasarnya merupakan
pemindahan marginalisasi, subordinasi, beban kerja (burden)
dari si istri ke pada pembantu rumah tangga yang kebanyakan
juga perempuan.
Semua manifestasi ketidakadilan gender tersebut saling
mempengaruhi. Manifestasi ketidakadilan itu “terisolasi” kepada
kaum laki-laki dan perempuan secara mantap, yang lambat laun
akhirmya baik laki-laki maupun perempuan menjadi terbiasa dan
akhirnya dipercaya bahwa peran gender itu itu seolah-olah
merupakan kodrat. Lambat laun terciptalah suatu struktur dan
sistem ketidakadilan dan gender yang ‘diterima’ dan sudah algi
tidak dapat dirasakan ad sesuatu yang salah. Persoaalan ini
bercampur dengan kepentingan kelas, itulah mengapa justru
banyak kaum perempuan kelas menengah terpelajar yang ingin
mempertahanakan sistem dan struktur tersebut.

183
3. Analisis Gender dalam Teori Dramaturgi – Erving Goffman
Erving Goffman melihat realitas sosial dalam masyarakat
sebagai sebuah panggung sandiwara yang terdiri dari aktor-aktor
yang memainkan peranannya masing dan melakukan pengaturan
kesan (impression management) dalam pertunjukan-nya (show)
tersebut. Selama kegiatan rutin, seseorang akan mengetengahkan
sosok dirinya yang ideal (sebagaimana yang dituntut oleh status
sosialnya). Seorang pelaku cenderung menyembunyikan atau
mengenyampingkan kegiatan, fakta-fakta dan motif-motif yang
tidak sesuai dengan citra dirinya dan produk-produknya yang
ideal.54 Dalam penampilannya, aktor dituntut untuk mengidealisir
citra dirinya dengan menampilkan perilaku-perilaku yang sesuai
dengan citra idealnya saja. Seorang aktor harus memainkan dengan
baik peranannya di panggung realitas sesuai dengan status sosial
yang dimiliknya. Semakin baik pengaturan kesan dalam
penampilannya, maka semakin baik pula respon positif dari
audience.
Goffman meyatakan bahwa tugas utama aktor selama
pertunjukan berlangsung ialah mengendalikan kesan yang disajikan
selama pertunjukan.55 Teori dramaturginya ini memperlalukan “self”
sebagai produk yang ditentukan oleh situasi sosial. Seorang aktor
harus memainkan peranannya sesuai dengan naskah yang terdapat
dalam institusi sosial. Aktor cendereung menampilkan citra ideal
demi memperoleh penerimaan secara sosial. Ketika ia tidak
memainkan peranannya dengan baik maka ia akan dikeluarkan dari
panggung sosial (dikucilkan oleh masyarakat) atau tidak sepenuhnya
mendapatkan penerimaan sosial dalam masyarakat (kurang disukai
oleh orang banyak).
Sebagai social animal manusia mempunyai naluri untuk
hidup berkawan (gregariousness). Dalam rangka upayanya untuk
menjalin hubungan sosial dengan individu yang lainnya, maka ia

54
Poloma, Op.Cit., h. 233
55
Ibid., 236

184
harus melakukan pengaturan kesan dengan sebaik mungkin dalam
menyajikan pertunjukannya di panggung realitas. Dalam melakukan
impression management ini, terdapat dua hal yang harus
diperhatikan, yaitu appearence (penampilan) dan manner (sikap).
Penampilan merupakan stimuli yang memberikan stimuli yang
memberitahun status sosial para si pelaku. Sementara itu manner
merupakan stimuli yang berfungsi mengingatkan kita akan peranan
interaksi (interaction role) yang diharapkan si pelaku harus
dimanikan pada situasi mendatang. 56
Status sebagai laki-laki dan perempuan pada dasarnya bukan
hanya menujukan identitas secara biologis, tetapi juga secara
sosiologis. Perbedaan status ini membendakan peranan yang harus
dimainkan aktor di panggung realitas. Dalam pertunjukannya
tersebut, laki-laki dan perempuan melakukan pengaturan kesan yang
berbeda sesuai dengan citra idealnya masing-masing. Citra ideal
seorang laki-laki adalah maskulin, sementara citra ideal seorang
perempuan adalam feminin. Laki-laki dituntuntut untuk menunjukan
penampilan (appearence) dan sikap (manner) yang mengarah pada
sifat maskulinitas. Sementara perempuan dituntuk untuk
menunjukan penampilan dan sikap yang mengarah pada sifat
feminin.
Ketika seorang laki-laki salah memainkan peranannya
dengan menunjukan penampilan dan sikap yang feminin, maka ia
akan mendapatkan pengucilan oleh masyarakat. Begitu pula
sebaliknya, perempuan pun jika memankan peranan yang salah
maka ia juga akan dikucilkan oleh masyarakat. Contohnya adalah
banci dan perempuan tomboy, mereka dikucilkan atau kurang
diterima secara sosial oleh masyarakat pada umumnya karena
mereka dinilai telah menyalahi kodratnya sebagai laki-laki atau
perempuan. Bagi masyarakat pada umumnya, jenis kelamin laki-laki
dan perempuan selain harus dibedakan secara biologis, harus juga
dibedakan secara sosiologis. Oleh karena itu, sejatinya realitas sosial

56
Ibid., h. 233

185
dalam masyarakat ini sejatinya panggung drama yang dimanikan
oleh laki-laki dan perempuan.

4. Analisis Gender dalam Teori Pertukaran - Richard Emerson\


Dalam teori pertukaran sosial (social exchannge) dikatakan
bahwa setiap hubungan sosial pada dasarnya terdiri dari jalinan
pertukaran kepentingan (exchange of interest) antar aktor. Jika
pertukaran tersebut dapat memberikan keuntungan bagi kedua belah
pihak, maka hubungan sosial antar aktor yang terlibat akan tetap
kuat. Tetapi apabila terdapat salah satu pihak yang merasa dirugikan
dalam jalinan pertukaran tersebut maka hubungan antar aktornya
cenderung tidak kuat.
Emerson memusatkan teori pertukarannya pada konsep
kekuasaan dan ketergantungan. Menurutnya, kekuasaan adalah
tingkat biaya potensial yang menyebabkan seorang aktor dapat
memaksa aktor lain. Sementara itu ketergantungan adalah tingkat
biaya potensial yang diterima aktor dalamsuatu relasi.
Ketergantungan suatu aktor terhadap aktor lain merupakan faktor
struktural yang menetukan interaksi mereka dan kekuasaan mereka
satu sama lain. Semakin besar ketergantungan seseorang terhadap
orang lain, maka semakin besar pula kekuasaan orang lain terhadap
dirinya. Jadi kekuasaan seseorang atas orang lain dalam pertukaran
adalah kebalikan dari fungsi ketergantungan-nya terhadap orang
lain.
Contohnya, hubungan suami-istri dalam sebuah keluarga
pada dasarnya merupakan sebuah jalin pertukaran kepentingan
antara suami dengan istri. Dalam hubungan tersebut, masing-masing
aktor (suami dan istri) mengendalikan sumberdaya yang dapat
menarik perhatian pihak lain. Sumberdaya adalah segala sesuatu
yang dapat dijadikan sebagai alat pemuas kebutuhan atau keinginan
aktor. Suami memiliki sumberdaya yang dibutuhkan oleh si istri dan
begitu pula sebaliknya, si istri pun memiliki sumberdaya yang
dibutuhkan oleh suaminya. Ketika jalinan pertukaran tersebut dapat
menguntungkan kedua belah pihak baik istri maupun suami, maka

186
hubungan tersebut akan tetap langgeng. Tetapi apabila ada salah
satu pihak dirugikan, maka hubungan tersebut akan menjadi rapuh
dan kemungkinan perceraian akan terjadi.
Selain itu, tingkat ketergantungan istri terhadap suaminya
akan menentukan tingkat kekuasaan suami terhadap istrinya.
Artinya, semakin besar ketergantungan seorang istri terhadap
suaminya, maka semakin besar pula kekuasaan suami terhadap
istrinya. Ketergantungan merupakan salah satu faktor yang dapat
digunakan untuk mempengaruhi dan mengontrol aktor lain agar
sesuai dengan keinginannya. Suami dikatakan dapat menjadi kepala
keluarganya karena telah memberikan nafkah kepad istrinya. Dalam
dunia patriarki, secara ekonomi kebanyakan perempuan di
masyarakat yang menganut sistem tersebut sangat bergantung pada
suaminya. Oleh karena itulah, dalam budaya patriarki laki-laki lebih
berkuasa dari pada perempuan.

Sumber Referensi

Brooks, Ann. (2009). Postfeminisme & Cultural Studies,


Terjemahan S. Kunto Adiwibowo. Bandung: Jalasutra.
Mansour Fakih, (2013), Analisis Gendere dan Transfomasi Sosial,
Jakarta: Pustaka Pelajar.
Narwoko, J. Dwi & Bagong Suyanto. (2011), Sosiologi : Teks
Pengantar dan Terapan. Jakarta: Kencana
Poloma, Margaret M. (2013), Sosiologi Kontemporer, Tim
Penerjemah Yasogama, Jakarta: Rajawali Pers.
Ritzer, George dan Douglas J. Goodman, (2014), Sosiologi Ilmu
Pengetahuan Berparadigma Ganda, Jakarta : Rajawali Pers.
Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. (2014), Sosiologi Ilmu
Pengetahuan Berparadigma Ganda, Jakarta : Rajawali Pers.
Sears, David O. dkk. (2013), Psikologi Sosial, Terjemahan Michael
Adryanto & Savitri Soekrisno, Jakarta: Erlangga.
Soekanto, Soerjono. (2012), Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta:
Rajawali Pers.

187
PERAN PEREMPUAN DAN BUDAYA TRADISIONAL
DALAM PERSPEKTIF BUGIS MAKASSAR
Oleh: Ulfa Nurul Insan_1138030216_5-F

Bugis adalah suku yang tergolong ke dalam suku-suku


Melayu Deutero. Masuk ke Nusantara setelah gelombang migrasi
pertama dari daratan Asia tepatnya Yunan. Orang Bugis zaman dulu
menganggap nenek moyang mereka adalah pribumi yang telah
didatangi titisan langsung dari “dunia atas” yang “turun”
(manurung) atau dari “dunia bawah” yang “naik” (tompo) untuk
membawa norma dan aturan sosial ke bumi (Pelras, The Bugis,
2006). Umumnya orang-orang Bugis sangat meyakini akan hal to
manurung, tidak terjadi banyak perbedaan pendapat tentang sejarah
ini. Sehingga setiap orang yang merupakan etnis Bugis, tentu
mengetahui asal-usul keberadaan komunitasnya. Kata "Bugis"
berasal dari kata To Ugi, yang berarti orang Bugis. Penamaan "ugi"
merujuk pada raja pertama kerajaan Cina yang terdapat di
Pammana, Kabupaten Wajo saat ini, yaitu La Sattumpugi. Ketika
rakyat La Sattumpugi menamakan dirinya, maka mereka merujuk
pada raja mereka. Mereka menjuluki dirinya sebagai To Ugi atau
orang-orang atau pengikut dari La Sattumpugi. La Sattumpugi
adalah ayah dari We Cudai dan bersaudara dengan Batara Lattu,
ayah dari Sawerigading. Sawerigading sendiri adalah suami dari We
Cudai dan melahirkan beberapa anak termasuk La Galigo yang
membuat karya sastra terbesar di dunia dengan jumlah kurang lebih
9000 halaman folio. Sawerigading Opunna Ware (Yang dipertuan di
Ware) adalah kisah yang tertuang dalam karya sastra I La Galigo
dalam tradisi masyarakat Bugis. Kisah Sawerigading juga dikenal
dalam tradisi masyarakat Luwuk, Kaili, Gorontalo dan beberapa
tradisi lain di Sulawesi seperti Buton.
Dalam perkembangannya, komunitas ini berkembang dan
membentuk beberapa kerajaan. Masyarakat ini kemudian
mengembangkan kebudayaan, bahasa, aksara, dan pemerintahan

188
mereka sendiri. Beberapa kerajaan Bugis klasik antara lain Luwu,
Bone, Wajo, Soppeng, Suppa, Sawito, Sidenreng, dan rappang.
Meski tersebar dan membentuk suku Bugis, tapi proses pernikahan
menyebabkan adanya pertalian Darah dengan Makassar dan
Mandar. Saat ini orang Bugis tersebar dalam beberapa Kebupaten
yaitu Luwu, Bone, Soppeng, sidrap, Pinrang, Barru.
Daerah peralihan antara Bugis dengan Makassar adalah
Bulukumba, Sinjai, Maros, Pangkajene Kepulauan. Daerah
peralihan Bugis dengan Mandar adalah Kabupaten Polmas dan
Pinrang. Kerajaan Luwu adalah kerajaan yang dianggap tertua
bersama kerajaan Cina (yang kelak menjadi Pammana), Mario
(kelak menjadi bagian Soppeng) dan Siang (daerah di Pangkajene
Kepulauan).
Dalam masyarakat bugis Makassar, perempuan di sebut
makkunrai (bugis) atau baine (Makassar). Yang mengandung makna
tersendiri, yakni
1. Makkunrai
Makkunrai adalah penyebutan orang Bugis terhadap Gender
perempuan. Penyebutan “Makkunrai”berasal dari kata”Unre”,
yakni sejenis busana rok bawahan yang jika ditambah awalan
“ma” dan akhiran “i” sebagai kata kerja, berarti pemakai Rok.
Maka bahasa bugis mencitrakan gender tersebut dari sejenis
busana yang lazim dipakainya.
2. Baine’
Orang Makassar lebih membahasakannya dengan lebih “agung”
lagi, yakni : Baine yang mendekati kata bine (benih atau cikal
bakal), sehingga dapat dimaknai sebagai “asal atau permulaan”.

Namun bagaimanapun perbedaan harfiah dan makna


terhadap perempuan bagi kedua suku bangsa terbesar di Sulawesi
ini, tetap saja menempatkan perempuan sebagai puncak martabat
kemanusiaannya. Bukan sekedar symbol, melainkan merupakan
esensi luhur yang menandai derajat dan martabat dalam suatu
rumpun keluarga. Sebagai contoh : suatu keluarga dapat dinilai

189
tingkat strata sosialnya ketika anak gadisnya dilamar dengan jumlah
mahar (mas kawin) tertentu.
Kedudukan perempuan dalam masyarakat bugis Makassar
sangat dipengaruhi oleh hukum adat yang tak tertulis namun di
ajarkan secara turun temurun. Perempuan secara umum di
kualifikasikan sebagai anak, istri, ibu, dan anggota masayarakat.
Begitu juga dalam konteks masyarakat bugis Makassar, yaitu:
a. Perempuan sebagai anak, istri, ibu, dan anggota masyarakat.
Dalam tradisi Bugis, peran perempuan tidak hanya
dijadikan simbol kejelitaan atau pengasuh rumah tangga bagi
suami dan anak-anaknya. Namun jauh sejak masa epos La
Galigo mula dikisahkan, Perempuan Bugis sudah ikut
mendominasi pranata sosial-budaya dan politik di kerajaan-
kerajaan Bugis.
Nenek moyang Bugis yang disebut Tomanurung
dikisahkan tidak hanya seorang lelaki bernama Batara Guru, tapi
juga disandingkan dengan personifikasi perempuan jelita
bernama We Nyilik Timo, permaisurinya. We Nyilik Timo juga
dipercaya sangat berperan melahirkan gagasan-gagasan besar
tentang pondasi bangunan kebudayaan Bugis awal.
Dalam buku History Of Java (1817) Thomas Stanford
Raffles mencatat kesan kagum akan peran perempuan Bugis
dalam masyarakatnya “The women are held in more esteem than
could be expected from the state of civilization in general, and
undergo none of those severe hardships, privations or labours
that restrict fecundity in other parts of the world” (Perempuan
Bugis Makassar menempati posisi yang lebih terhormat daripada
yang disangkakan, mereka tidak mengalami tindakan kekerasan,
pelanggaran privacy atau dipekerjakan paksa, sehingga
membatasi aktifitas/kesuburan mereka, dibanding yang dialami
kaumnya di belahan dunia lain).
Status sosial perempuan Bugis tampaknya cukup
tinggi.Hal itu dapat kita lihat baik dalam realitas sosial maupun
dalam naskah kuno. Secara sosial kita bisa menyebut sosok

190
Colliq Pujié, seorang perempuan Bugis yang hidup pada abad
ke-19 yang berprofesi sebagai penulis, sastrawan dan juga
negarawan. Dalam naskah kuno perempuan Bugis disebut berani
(materru') dan bijaksana (malampé' nawa nawa).
Walau begitu, tugas utama dari seorang perempuan Bugis
adalah menjadi seorang ibu yang salehah, baik dan tulus
(mancaji Indo ana tettong ridécéngngé, tudang ripacingngé),
menjadi penuntun suami yang jujur, hemat dan bijaksana
sekaligus mitra pendukung dan penopang dalam mengatasi
segala kesulitan maupun perjuangan dalam mengatasi segala hal
(Mancaji pattaro tettong rïlempu'é punnai cirinna enrengngé
lampu 'Nawa-Nawa mméwai sibaliperri' waroanéna Sappa
'laleng atuong), menjadi kebanggaan ayahnya, saudaranya dan
suaminya untuk menjaga kehormatan hidupnya (mancaji
'siatutuiang siri na enrengngé banapatinna ritomatoanna,
risiléssureng macoana letih' ga riworoanéna).
Posisi, gelar, dan profesi seorang Ibu sangat dijunjung
tinggi dalam tradisi dan budaya Bugis-Makassar. Oleh karena itu
seorang ibu harus kemudian menjaga kesucian, kesalehan dan
kecerdasannya. Seorang ibu harus selalu meng-update
pengetahuannya. Seorang ibu sangat penting untuk membaca
dari waktu ke waktu membantu meningkatkan kesadaran dan
visi.
Ibu adalah jendela pertama bagi seorang bayi dan menjadi
pengontrol bagi suaminya. Ketika bayi lahir, Ibu memainkan
peranan penting dalam memperkenalkan bayi kepada dunia.
Masa depan anak sangat tergantung pada ibu. Sikap, pandangan
dan seluruhnya semua diperoleh sang bayi dari seorang ibu.
Seorang ibu yang sempurna akan lebih baik dari seribu guru.
Di sisi suami, seorang perempuan adalah manajer
(Pattaro). Semua hal yang datang dan masuk ke sebuah rumah
harus sepengetahuan dan seizin istri. Dalam rumah tangga ia
adalah "ratu", menggantikan posisi suami jika sedang tak ada di
rumah untuk menjaga diri dan harta benda. Oleh karena itu

191
perempuan Bugis harus juga pandai berhemat, cermat dan
mengetahui kebutuhan dan kepentingan rumah tangga. Oleh
karena itu perempuan bugis-makassar ketika memutuskan untuk
menikah maka seluruh pilihan hidupnya harus dicurahkan
sepenuhnya kepada rumah tangga. Setelah itu kemudian baru
bisa memilih ruang publik sebagai aktivitas berikutnya,
manakala urusan rumah tangganya telah selesai dengan
sempurna.

2. Peran budaya (culturel)


Budaya Bugis-Makassar tidak membatasi perempuan
untuk berekspresi menjadi pemimpin. Satu di antara perempuan
Bugis yang terkenal memperjuangkan kemerdekaan pada masa
pemerintahan Belanda adalah Opu Daeng Siradju. Opu Daeng
Siradju memperoleh gelar sebagai macan betina dari Timur,
terbukti dengan beberapa kali beliau keluar-masuk penjara tetapi
dalam dirinya tak sedikit pun rasa gentar terlebih lagi mundur
sebelum Indonesia meraih kemerdekaan. Sehingga, dalam ruang-
ruang kultural perempuan dan laki-laki Bugis-Makassar terpatri
konsep kesejajaran peran dan fungsi. Artinya, walaupun
memiliki hak dan kewajiban yang sama, namun tetap terdapat
batasan kerja individual yang terbentuk secara fitrawi.
Peran perempuan hebat lainya dapat kita temukan di desa
Bontoloe Kab. Gowa perempuan ini di percaya lebih mampu di
bandikan sosok seorang laki-laki dalam hal ritual, di Bontoloe,
adaq baine selalu menikah dengan pemangku jabatan
tradisional, kecuali karaeng. Adaq baine dari penguasa desa
adalah perempuan yang bertanggung jawab terhadap
kalompoang dan yang bertugas menyenggarakan ritual yang
berkaitan dengan pusaka keramat tersebut, Perempuan dewasa
ini bertanggung jawab terhadap pusaka keramat di Bontoloe
telah mengembang tugas tersebut sekitar 30 tahun sementara
selama periode yang sama karaeng telah di pengang oloh empat
orang. Perempuan yang memelihara kalompoang, yang tidak

192
dapat di ganti selama dia masih hidup, menepati jabatan adaq
yang tertinggi di desa.Dia di anggap sebagai perwakilan adaq
yang paling tinggi, termasuk dalm kepempinan politik dan
spiritual, sementara karaeng tidak lebih dari pelaksanaan
kekuasaan politik di bawah legitimasi pusaka keramat. Sinong,
perempuan tua yang bertugas menjaga kalompoang Bontoloe,
adalah orang yang pada saat yang sama di pandang memiliki
pengetahuan yang paling mendalam tentang adaq serta
kepercayaan tradisional.
Pada umumnya kaum perempuan merupakan “pemeran
utama” dalam praktek kepercayaan tradisional sehari-hari.
Mereka dianggap ahli dalam bidang itu dan hal itu semakin
diperkuat oleh kenyataan bahwa di beberapa desa, kaum
perempuan berperang pula sebagai dukun (sanro). Selama
pelaksanaan ritual, kaum perempuan mempersiapkan dan
mengatur berbagai jenis persembahan dan memastikan agar
seluruh rangkaian upacara dilaksanakan sesuai dengan tata cara
yang telah ditentukan dalam kepercayaan dan adaq. Selain itu
perempuan juga bertanggung jawab terhadap semua unsur
“keduniawian” suatu ritual, seperti memasak dan menyajikan
hidangan kepada para peserta dari desa tersebut yang nenghadiri
upacara, maupun peserta yang datang dari tempat lain. Dalam
istilah modern, kita dapat katakan bahwa manajemen
kepercayaan tradisional lebih banyak di serahkan kepada kaum
perempuan, sedang kaum pria lebih mendominasi pelaksanaan
ritualnya, termasuk membakar kemenyan, membacakan mantra
(baca-baca), menyucikan sesuatu dengan air atau minyak. Hal itu
khususnya terjadi dalam ritual menyangkut hubungan simbolis
antara kepercayaan dengan struktur politik komunitas tersebut.
Sebaliknya perempuan melaksanakan sebagian besar ritual atau
tahapan-tahapan ritual dalam ruang lingkup pribadi atau
keluarga, misalnya ritus-ritus daur hidup.

193
3. Perempuan sebagai Perantara Penyampaian Tinjaq
Meski agaknya baru muncul relatif lebih belakangan dan
masih jarang di temukan, tinjaq kategori ini yang di buat karna
ingin memperoleh harta kekayaan atau kemakmuran yang juga
berhubungan dengan ‘pola pertukaran’ antara manusia dengan
roh ‘penghuni’ pusaka keramat. Munculnya tinjaq seperti itu di
sebabkan oleh semakin bertambahnya pola hidup materialistis
yang bahkan telah menyusup hingga ke pelosok pedalaman.
Jika dulu perekonomian masyarakat sepenuhnya
berlandaskan sistem pertukaran produk makanan serta barang
lainnya, dan kesejangan standar kehidupan relatif kecil, maka
meningkatnya jumlah saudagar, guru, dan pegawai lainnya yang
kondisi keuangannya lebih baik dibanding para petani, sehingga
terjadi perubahan fundamental dalam hal sikap mereka terhadap
uang dan kekayaan dan material lainnya. Akibatnya janji
memberi persembahahan roh penghuni kalompoang bila
seseorang dibantu untuk memperbanyak harta kekeyaannya
adalah sesuatu yang dianggap biasa. Selanjutnya, pendidikan
medern adalah faktor lain yang juga membawa perubahan
terhadap isi suatu tinjaq.
Hukum adat adalah suatu aturan atau norma yang ada di
dalam masyarakat yang tidak tertulis namun disepakati secara
bersama-sama untuk kemashalatan bersama tanpa memandang
kalangan apapun dalam penerapannya dan diturunkan secara
turun temurun dalam suatu lingkungan masyarakat tertentu
sebagai pendukung kebudayaan tersebut. Adapun hukum adat
disebut pegadereng, yang terdiri atas:
a. Ade’ yaitu unsur dari pangadereng yang lebih dikenal dengan
kata norma atau adat. Ade’ ini secara khusus terdiri beberapa
bagian yaitu : Ade’ yaitu unsur dari pangadereng yang lebih
dikenal dengan kata norma atau adat. Ade’ ini secara khusus
terdiri beberapa bagian yaitu :
Ade’ akkalibinengen, yaitu adat atau norma mengenai hal
ihwal perkawinan serta hubungan kekerabatan dan berwujud

194
sebagi kaidah kaidah perkawinan, kaidah-kaidah keturunan,
aturan-aturan mengenai hak dan kewajiban warga rumah
tangga, etika dalam berumah tangga dan sopan santun
pergaulan antar kaum kerabat Ade’ tanaatu norma-norma
mengenai hal ihwal bernegara dan memerintah negara dan
berwujud sebagai wujud hukum negara, hukum antar negara,
serta etika dan pembinaan insan politik. Untuk pengawasan
dan pembinaan ade dalam masyarakat bugis biasanya
dilakasanakan oleh beberapa pejabat adat seperti pakka
tenniade’, puang ade’, pampawa ade’, dan parewa ade’.

b. Bicara adalah unsur bagian dari pangadereng yang mengenai


aktivitiet dan konsep konsep yang tersangkut paut dengan
peradilan, maka kurang lebih sama dengan hukum acara,
mementukan prosedurnya, serta hak-hak dan kewajiban
seorang yang sedang mengajukan kasusnya di muka
pengadilan atau yang mengajukan penggugatan.

c. Rapang bererti contoh, perumpamaan, kias atau analogi.


Sebagai unsur bagian dari pangadereng, rapang menjaga
kepastiaan dan kontiniutet dari suatu kpeutusan hukum tak
tertulis dalm masa yang lampau sampai sekarang dengan
membuat analogi antara kasus dari masa yang lampau itu
dengan kasus yang sedang digarap. Rapang juga berwujud
sebagai perumpamaan-perumpamaan yang mengajukan
kelakuan ideal dan etika dalam lapangan hidup yang tertentu
seperti lapangan kehidupan kekerabatan, lapangan kehidupan
berpolitikdan memerintah negara dsb.Selain dari itu rapang
juga berwujud sebagai pandangan-pandangan keramat untuk
mencegah tindakan-tindakan yang bersifat ganguanterhadap
hak milik serta ancaman terhadap keamanan seorang warga
masyarakat.

195
d. Wari’ adalah unsur bagian dari pangadereng yang
melakukan klasifikasi dari segala benda, peristiwadan
aktivitietnya dalam kehidupan masyarakat menurut kategori-
kategorinya. Misalnya untuk memelihara tata susunan dan
tata penempatan hal hal dan benda-benda dalam kehidupan
masyarakat untuk memelihara jalur dan garis keturunan yang
mewujudkan pelapisan sosial; untuk memelihara hubungan
kekerabatan antara raja suatu negara dengan raja-raja dari
negara-negara lain, sehingga dapat ditentukan mana yang tua
dan mana yang muda dalm tata upacara kebesaran.

e. Sara’ adalah unsur bagian dari pangadereng yang


mengandung pranata-pranata dan hukum islam dan yang
melengkapkan ke empat unsurnya menjadi lima. Sistem religi
masyarakat Sulawesi Selatan sebelum masuknya ajaran
islam seperti yang tampak dalm sure’ lagaligo, sebenarnya
telah mengandung sutu kepercayaan terhadap dewa yang
tunggal yang disebut dengan beberapa nama seperti patoto-e
(maha menentukan nasib), dewata sewwae (dewa yang
tunggal), turie’ a’rana(kehendak yang tertinggi). Sisa
kepercayaan seperti ini masih tampak jelas misalnya
beberapa kepercayaan tradisional yang masi bertahan sampai
sekarang misalnya pada orang tolotang, di kabupaten
sidenreng rappang dan pada orang ammatoa di kajang daerah
bulukumba.

Peran gender melahirkan relasi gender sedangkan relasi


gender melahirkan perangender. Analisis relasi gender inilah yang
akan memberikan gambaran bagaimana masyarakat dan budaya
Makassar mendefisinikan hak dan tanggung jawab kepada
perempuan dan laki-laki, serta bagaiman mendefinisikan identitas
sosial perempuan dan laki-laki berdasarkan peran gender
diklasifikasikan menjadi dua bagian besar, yaitu peran kordati
(peran reproduktif) yang bersifat permanen diantara perempuan dan

196
laki-laki sehingga tidak dapat dipertukarkan, sedangkan peran
budaya merupakan peran domestik, peran produktif, dan peran
sosial merupakan peran berdasarkan hasil kontruksi budaya, oleh
karena dapat dipertukarkan (bertukar peran antara perempuan dan
laki-laki) dan berubah dari waktu ke waktu.

a. Peran kodrati (nature): peran reproduktif


Berdasarkan hasil analisis keseluruhan teks folklor,
diperbolehkan sejumlah representasi identitas gender
berdasarkan peran perempuan dan laki-laki. Peran kodrati atau
peran reproduktif yang diperoleh berdasarkan data folklor
mempunyai porsi sangat kecil. dalam peran kodrati atau peran
reproduktif seperti anreiwa-riwa anqlolo (menimang-nimang
bayi) tokoh perempuan ini merupakan sebagai perempuan yang
sudah sepantasnya menimbang bayi layaknya seorang ibu dan
istri.
b. Peran budaya (culturel)
Peran budaya meliputu peran domestik, peran produktif, dan
peran sosial. Seoerti peran St. Nuharirah sebelum menikah
hanyalah berbatasa beraktivitas di lingkungan domestik yaitu
mengurus rumah tangga seperti menyapu dan membersihkan
rumah karena hidupnya sebatang kara.

Aktivitas St. Nurharari saat bersuamikan Nahkoda Hasan,


peranya hanyalah peran domestik yaitu sebagai ijstri atau ibu rumah
tangga. Dia menjalangkan peran sebagai istri di wilayah domestik
yang hanya mengurus rumah tangga dan keperluan suaminya
sewaktu berada di rumah, serta keperluan yang akan dibawa pergi
berlayar.
Tokoh perempuan kedua dalam peran budaya ini adalah
permaisuri raja, akan tetapi ceritanya tidak jauh dari tokoh
perempuan yang pertama, dimana dalam tokoh yang kedua ini
bercerita tentang peranan seoarang istri yang tidak lain permaisuryi
raja, layaknya seorang raja yang memiliki seorang permaisuri, raja

197
meminta pendapat pemisuri untuk memberikan hadia kepada puang
pakako yang tidak lain suami dari St. Nurharari karena jasanya yang
telah memberi raja hasil kerajinaan tanggan yang sangat bagus.
Pilihan pemaisuri untuk memberukan sepetak sawah dikabulkan
oleh raja dan menjadi keputusan raja pada saat itu.
Gambaran ini mengandung bahwa peran seorang istri di
lingkungan istana sangat diperhatikan dan dihargai karena untuk
mengambil keputusan, raja membutuhkan pendapat dan
dukunganseorang istri. Pendapat istrinyalah yang menjadi
kepetusanya pada saat itu, meskipun pada awalnya pemaisuri ragu-
ragu mengeluarkan pendapat akan tetapi raja mengatakan saya butuh
pendapatmu makanya saya bertanya. Kondisi ini tampanyaknya
memposisika ncitra perempuan di lingkungan kerajaan atau istana.
Budaya Bugis-Makassar tidak membatasi perempuan untuk
berekspresi menjadi pemimpin. Satu di antara perempuan Bugis
yang terkenal memperjuangkan kemerdekaan pada masa
pemerintahan Belanda adalah Opu Daeng Siradju. Opu Daeng
Siradju memperoleh gelar sebagai macan betina dari Timur, terbukti
dengan beberapa kali beliau keluar-masuk penjara tetapi dalam
dirinya tak sedikit pun rasa gentar terlebih lagi mundur sebelum
Indonesia meraih kemerdekaan. Sehingga, dalam ruang-ruang
kultural perempuan dan laki-laki Bugis-Makassar terpatri konsep
kesejajaran peran dan fungsi. Artinya, walaupun memiliki hak dan
kewajiban yang sama, namun tetap terdapat batasan kerja individual
yang terbentuk secara fitrawi.
Peran perempuan hebat lainya dapat kita temukan di desa
Bontoloe Kab. Gowa perempuan ini di percaya lebih mampu di
bandikan sosok seorang laki-laki dalam hal ritual, di Bontoloe, adaq
baineselalu menikah dengan pemangku jabatan tradisional, kecuali
karaeng. Adaq baine dari penguasa desa adalah perempuan yang
bertanggung jawab terhadap kalompoang dan yang bertugas
menyenggarakan ritual yang berkaitan dengan pusaka keramat
tersebut, Perempuan dewasa ini bertanggung jawab terhadap pusaka
keramat di Bontoloe telah mengembang tugas tersebut sekitar 30

198
tahun sementara selama periode yang sama karaeng telah di
pengang oloh empat orang. Perempuan yang memelihara
kalompoang, yang tidak dapat di ganti selama dia masih hidup,
menepati jabatan adaq yang tertinggi di desa. Dia di anggap sebagai
perwakilan adaq yang paling tinggi, termasuk dalm kepempinan
politik dan spiritual, sementara karaengtidak lebih dari pelaksanaan
kekuasaan politik di bawah legitimasi pusaka keramat. Sinong,
perempuan tua yang bertugas menjaga kalompoang Bontoloe,
adalah orang yang pada saat yang sama di pandang memiliki
pengetahuan yang paling mendalam tentang adaq serta kepercayaan
tradisional.
Dengan terciptanya peralatan untuk hidup yang berbeda itu,
maka secara perlahan tapi pasti, tatanan kehidupan perorangan,
dilanjutkan berkelompok, kemudian membentuk sebuah masyarakat,
akan penataannya bertumpu pada sifat-sifat peralatan untuk hidup
tersebut. Peralatan hidup ini dapat pula disebut sebagai hasil
manusia dalam mencipta. Dengan bahasa umum, hasil ciptaan yang
berupa peralatan fisik disebut teknologi dan proses penciptaannya
dikatakan ilmu pengetahuan dibidang teknik.
Sejak dahulu, suku Bugis di Sulawesi Selatan terkenal
sebagai pelaut yang ulung. Mereka sangat piawai dalam mengarungi
lautan dan samudera luas hingga ke berbagai kawasan di Nusantara
dengan menggunakan perahu Pinisi.
1. Perahu Pinisi
Perahu Pinisi termasuk alat transportasi laut tradisional
masyarakat Bugis yang sudah terkenal sejak berabad-abad yang
lalu. Menurut cerita di dalam naskah Lontarak I Babad La
Lagaligo, Perahu Pinisi sudah ada sekitar abad ke-14 M.
Menurut naskah tersebut, Perahu Pinisi pertama kali dibuat oleh
Sawerigading, Putra Mahkota Kerajaan Luwu. Bahan untuk
membuat perahu tersebut diambil dari pohon welengreng (pohon
dewata) yang terkenal sangat kokoh dan tidak mudah rapuh.
Namun, sebelum pohon itu ditebang, terlebih dahulu
dilaksanakan upacara khusus agar penunggunya bersedia pindah

199
ke pohon lainnya. Sawerigading membuat perahu tersebut untuk
berlayar menuju negeri Tiongkok hendak meminang Putri
Tiongkok yang bernama We Cudai.

2. Sepeda Dan Bendi.


Sepeda ataupun Dokar, koleksi Perangkat pertanian Tadisional
ini adalah bukti sejarah peradaban bahwa sejak jaman dahulu
bangsa indonesia khususnya masyarakat Sulawesi Selatan telah
dikenali sebagai masyarakat yang bercocok tanam. Mereka
menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian terutama
tanaman padi sebagai bahan makanan pokok.

3. Koleksi peralatan menempa besi dan hasilnya


Jika anda ingin mengenali lebih jauh tentang sisi lain dari
kehidupan masa lampau masyarakat Sulawesi Selatan, maka
anda dapat mengkajinya melalui koleksi trdisional menempa
besi, Hasil tempaan berupa berbagai jenis senjata tajam, baik
untuk penggunan sehari – hari maupun untuk perlengkapan
upacara adat.

4. Koleksi Peralatan Tenun Tradisional


Dari koleksi Peralatan Tenun Tradisional ini, dapat diketahui
bahwa budaya menenun di Sulawesi Selatan diperkirakan
berawal dari jaman prasejarah, yakni ditemukan berbagai jenis
benda peninggalan kebudayaan dibeberapa daerah seperti leang
– leang kabupaten maros yang diperkirakan sebagai pendukung
pembuat pakaian dari kulit kayu dan serat – serat tumbuhan-
tumbuhan. Ketika pengetahuan manusia pada zaman itu mulai
Berkembang mereka menemukan cara yang lebih baik yakni alat
pemintal tenun dangan bahan baku benang kapas. Dari sinilah
mulai tercipta berbagai jenis corak kain saung dan pakaian
tradisional.

200
5. Rumah adat
Rumah bugis memiliki keunikan tersendiri, dibandingkan
dengan rumah panggung dari suku yang lain ( Sumatera dan
Kalimantan ). Bentuknya biasanya memanjang ke belakang,
dengan tanbahan disamping bangunan utama dan bagian depan,
orang bugis menyebutnya lego – lego.

Wilayah Suku Bugis terletak di dataran rendah dan pesisir


pulau Sulawesi bagian selatan. Di dataran ini, mempunyai tanah
yang cukup subur, sehingga banyak masyarakat Bugis yang hidup
sebagai petani. Selain sebagai petani, Suku Bugis juga di kenal
sebagai masyarakat nelayan dan pedagang. Meskipun mereka
mempunyai tanah yang subur dan cocok untuk bercocok tanam,
namun sebagian besar masyarakat mereka adalah pelaut. Mereka
mencari kehidupan dan mempertahankan hidup dari laut. Tidak
sedikit masyarakat Bugis yang merantau sampai ke seluruh negeri
dengan menggunakan Perahu Pinisi-nya. Bahkan, kepiawaian suku
Bugis dalam mengarungi samudra cukup dikenal luas hingga luar
negeri, di antara wilayah perantauan mereka, seperti Malaysia,
Filipina, Brunei, Thailand, Australia, Madagaskar dan Afrika
Selatan. Suku Bugis memang terkenal sebagai suku yang hidup
merantau. Beberapa dari mereka, lebih suka berkeliaran untuk
berdagang dan mencoba melangsungkan hidup di tanah orang lain.
Hal ini juga disebabkan oleh faktor sejarah orang Bugis itu sendiri
di masa lalu.
Suku Bugis merupakan suku yang menganut sistem patron
klien atau sistem kelompok kesetiakawanan antara pemimpin dan
pengikutnya yang bersifat menyeluruh. Salah satu sistem hierarki
yang sangat kaku dan rumit. Namun, mereka mempunyai mobilitas
yang sangat tinggi, buktinya dimana kita berada tak sulit berjumpa
dengan manusia Bugis. Mereka terkenal berkarakter keras dan
sangat menjunjung tinggi kehormatan, pekerja keras demi
kehormatan nama keluarga.

201
Sedangkan untuk kekerabatan keluarga mereka menganut
system cognatic atau bilateral, seseorang ditelusuri melalui garis
keturunan ayah dan juga ibu. Panggilan yang biasa untuk kerabat
mereka adalah kaka’(saudara yang lebih tua) dan Anri’(saudara
yang lebih muda). Amure’(paman) dan Inure’(bibi). Masih banyak
lagi sebutan dalam system kekerabatan mereka yang lainnya.
Perkawinan (Siala’) berarti saling mengambil antara satu
dengan yang lain. Di suku Bugis, perkawinan biasanya berlangsung
antarkeluarga dekat atau antarkelompok petronasi yang sama,
dimaksudkan untuk pemahaman yang lebih mudah antar keluarga.
Dalam La Galigo diceritakan perkawinan dengan sepupu satu kali
(istilah Jawa: misanan) dianggap terlalu panas (Siala Marola) hanya
terjadi di keluarga bangsawan, supaya Darah Putih mereka tetap
terpelihara.Yang terpenting bagi mereka adalah kesesuaian derajat
antara pihak laki-laki dan perempuan. Dalam proses perkawinan,
pihak laki-laki harus memberikan mas kawin kepada perempuan
(sama halnya adat Jawa kebanyakan) yang terdiri dari dua bagian,
yaitu Sompa (biasanya dalam nominal uang) dan Dui’ Menre’
(mahar permintaan dari pihak perempuan).
Sistem organisasi sosial yang terdapat di suku Bugis cukup
menarik untuk diketahui. Yaitu, kedudukan kaum perempuan yang
tidak selalu di bawah kekuasaan kaum laki-laki, bahkan di
organisasi sosial yang berbadan hukum sekalipun. Karena Suku
Bugis adalah salah satu suku di Nusantara yang menjunjung tinggi
hak-hak Perempuan. Sejak zaman dahulu, perempuan di suku Bugis
sudah banyak yang berkecimpung di bidang politik setempat.
Jadi, banyak perempuan Bugis yang berani tampil di muka
umum, mereka aktif dalam semua bidang kehidupan, menjadi
pendamping pria dalam diskusi urusan publik, tak jarang pula
mereka menduduki tahta tertinggi di kerajaan. Misalnya Raja
Lipukasi pada tahun 1814 dipimpin oleh seorang perempuan.
Sampai perang kemerdekaan pun, perempuan tetap berperan aktif
dalam medan laga.

202
Etnik Bugis mempunyai bahasa tersendiri dikenali sebagai
Bahasa Bugis (Juga dikenali sebagai Ugi). Konsonan di dalam Ugi
pula di kenali sebagai Lontara yang berdasarkan tulisan Brahmi.
Orang Bugis mengucapkan bahasa Ugi dan telah memiliki
kesusasteraan tertulis sejak berabad-abad lamanya dalam bentuk
lontar. Huruf yang dipakai adalah aksara lontara, sebuah sistem
huruf yang berasal dari Sanskerta.
Seperti halnya dengan wujud-wujud kebudayaan lainnya.
Penciptaan tulisan pun diciptakan karena adanya kebutuhan manusia
untuk mengabdikan hasil-hasil pemikiran mereka.
Lontara Bugis-Makassar merupakan sebuah huruf yang
sakral bagi masyarakat bugis klasik. Itu dikarenakan epos la galigo
di tulis menggunakan huruf lontara. Huruf lontara tidak hanya
digunakan oleh masyarakat bugis tetapi huruf lontara juga
digunakan oleh masyarakat makassar dan masyarakat luwu. Kala
para penyair-penyair bugis menuangkan fikiran dan hatinya di atas
daun lontara dan dihiasi dengan huruf-huruf yang begitu cantik
sehingga tersusun kata yang apik diatas daun lontara dan karya-
karya itu bernama I La Galigo.
Begitu pula yang terjadi pada kebudayaan di Indonesia. Ada
beberapa suku bangsa yang memiliki huruf antara lain. Budaya
Jawa, Budaya Sunda, Budaya Bali, Budaya Batak, Budaya Rejang,
Budaya Melayu, Budaya Bugis Dan Budaya Makassar.

203
HAM DAN PERSPEKTIF GENDER

Oleh : Upi Safaatun Nurjanah_1138030217_5-F

Hak Asasi Manusia (HAM) dan Gender merupakan isu yang


perlu diberbincangkan ,Signifikansi HAM terlihat takala
warganegara berhadapan dengan pemerintah, kelompok sosial
dominan, dan aneka gejala konflik seperti perang. HAM, khususnya
isu HAM dalam politik, merupakan bahasan guna memperkuat
posisi perorangan atau kelompok saat menghadapi agresi dari pihak
lain.
Gender merupakan isu politik lain yang kerap
diperbincangkan. Dalam masalah politik, gender mencoba
menganalisis mengapa mayoritas pimpinan dan pengambil
keputusan politik terdiri atas laki-laki. Ini cukup ironis mengingat
perempuan memiliki jumlah yang banyak atau setara. Persoalannya,
keterwakilan politik mereka, yang jelas punya karakter pandangan
politik sendiri, sangat lemah.
Kedua isu ini, HAM dan Gender mungkin tampak bias.
Bukankah isu gender termasuk ke dalam isu HAM pula ?
Jawabannya memang ya. Namun, kajian mengenai gender akan
lebih dirinci sebab ia memiliki akar dalam struktur sosial yang
berlangsung cukup lama. Pembagian peran publik untuk laki-laki
dan privat untuk perempuan, telah menggejala dan menjadi
mainstream di aneka belahan dunia.

Permasalahan
Hingga saat ini, belum ditemukan rumusan pasti mengenai
apa sebenarnya yang menjadi inti dari persoalan perempuan.
Memang begitu kompleks permasalahan yang dihadapi kaum
perempuan. Semua itu sudah menjadi realitas yang tak terbantahkan.
Kemiskinan, kekerasan, dan ketidakadilan/diskriminasi sering di
sebut sebut sebagai persoalan krusial yang dialami kaum perempuan

204
dari masa ke masa yang berkesinambungan dengan hak asasi
manusia.
Dalam masalah ini kita akan mencoba menyelami konsep
hak asasi manusia ( HAM ) dalam Gender Menurut Persfektif
islam.

Definisi HAM
HAM adalah kemerdekaan, kebebasan, dan perlindungan
paling mendasar bagi setiap manusia, bersifat lintas pemerintahan
dan agama, tidak berbeda baik saat perang maupun damai, serta
bersifat tetap. Saat ini, kajian HAM meliputi :
1. Hidup, kebebasan, dan keamanan
2. Kemerdekaan beragama, berpikir, berpolitik, melakukan gerakan,
berserikat, berpendapat, dan berorganisasi;
3. Menempuh jalur hukum, pendidikan, pekerjaan, kesehatan,
memiliki sesuatu, berkebudayaan;
4. Berumah-tangga dan berkeluarga;
5. Bebas dari diskriminasi, penghukuman yang tidak adil, tirani, dan
penindasan.

Manusia, pada hakikatnya, secara kodrati dinugerahi hak-


hak dasar yang sama oleh Tuhan Yang Maha Esa. Hak-hak dasar
ini disebut Hak Asasi Manusia (HAM). Hak asasi manusia adalah
sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa, yang melekat pada diri
manusia, bersifat kodrati, universal dan abadi, berkaitan dengan
harkat dan martabat manusia. Pada gilirannya, hak-hak dasar yang
dibawa manusia sejak lahir sebagai anugerah Tuhan Yang Maha
Esa, di mana hak-hak asasi ini menjadi dasar daripada hak-hak dan
kewajiban-kewajiban yang lain.
Umumnya, kita, masyarakat Indonesia yang mayoritas
beragama Islam (sebagai akibat dari pola pendidikan ala Barat yang
dikembangkan semenjak jaman penjajahan Belanda dan diteruskan
di era republik pasca proklamasi kemerdekaan hingga kini mengenal
konsepsi HAM yang berasal dari Barat. Kita mengenal konsepsi

205
HAM itu bermula dari sebuah naskah Magna Charta, tahun 1215, di
Inggris, dan yang kini berlaku secara universal mengacu pada
Deklarasi Universal HAM (DUHAM), yang diproklamasikan PBB,
10 Desember 1948. Padahal, kalau kita mau bicara jujur serta
mengaca pada sejarah, sesungguhnya semenjak Nabi Muhammad
S.A.W. memperoleh kenabiannya (abad ke-7 Masehi, atau sekira
lima ratus tahun/lima abad sebelum Magna Charta lahir), sudah
dikenalkan HAM serta dilaksanakan dan ditegakkannya HAM
dalam Islam. Atas dasar ini, tidaklah berlebihan kiranya bila
sesungguhnya konsepsi HAM dalam Islam telah lebih dahulu lahir
ketimbang konsepsi HAM versi Barat. Bahkan secara formulatif,
konsepsi HAM dalam Islam relatif lebih lengkap daripada konsepsi
HAM universal.
Untuk memverifikasi benar-tidaknya bahwa konsepsi HAM
dalam Islam telah lahir lebih dulu ketimbang konsepsi HAM versi
Barat atau universal, maka perlu ditelusuri tentang sejarah HAM
universal dan sejarah HAM dalam Islam. Selain itu, perlu pula
ditelaah mengenai konsepsi HAM universal dibandingkan dengan
konsepsi HAM dalam Islam. Dari sini, diharapkan akan terkuak
kebenaran “historis” tentang sejarah HAM dan konsepsi HAM
secara universal serta sejarah HAM dan konsepsi HAM dalam
Islam.

Sejarah Hak Asasi Manusia dalam Islam


Apabila kita berbicara tentang sejarah HAM, maka hal ini
senantiasa mengenai konsepsi HAM menurut versi orang-orang
Eropa/Barat, sebagaimana telah di bahas di muka. Padahal kalau
kita mau bicara jujur, sesungguhnya agama Islam telah
mendominasi benua Asia, Afrika, dan sebagian Eropa selama
beratus-ratus tahun lamanya dan telah menjadi faktor penting bagi
kebangkitan bangsa-bangsa Eropa (Luhulima, 1999). Tetapi fakta
historis seperti ini jadinya diabaikan mereka, sesudah orang-orang
Islam ditaklukkan dalam perang Salib terakhir (abad 14-15) di
Eropa, hingga pasca perang dunia kedua (1945). Menurut Ismail

206
Muhammad Djamil (1950), fakta telah membuktikan, bahwa risalah
Islam (sejak permulaannya kota suci Mekah sudah memasukkan
hak-hak asasi manusia dalam ajaran-ajaran dasarnya bersamaan
dengan penekanan masalah kewajiban manusia terhadap
sesamanya. Oleh karenanya, kita dapat menemukan di berbagai
surat dalam Kitab Suci Al Qur`an yang diturunkan pada awal-awal
periode Mekah, yang berbicata tentang pengutukan terhadap
berbagai bentuk pelanggaran hak-hak asasi manusia yang berlaku
pada masa itu. Al Qur`an tidak hanya mengutuk berbagai
pelanggaran hak-hak asasi manusia yang terjadi pada masa itu,
tetapi juga memberikan motivasi secara positif kepada manusia
untuk menghargai hak-hak tersebut. Hal ini sebagaimana
difirmankan Allah S.W.T :
“Dan apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup
ditanya, karena dosa apakah dia dibunuh” (Q.S. At-Takwir : 8-9)
“Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah
orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan
memberi makan orang miskin” (Q.S. Al-Ma`un : 1-3)
“Dan tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar
itu? (Yaitu) melepaskan budak dari perbudakan” (Q.S. Al-Balad :
12-13)
Nabi Muhammad S.A.W. yang kehidupannya merupakan
praktik nyata dari kandungan Al-Qur`an, sejak awal kenabiannya
telah memberikan perhatian yang sangat besar terhadap hak-hak
asasi manusia ini. Setelah beliau hijrah ke kota Madinah dan
mendirikan secara penuh suatu negara Islam sesuai dengan petunjuk
Illahi, maka beliau segera menerapkan program jangka panjang
untuk menghapus segala bentuk tekanan yang ada terhadap hak-hak
asasi manusia.
Nabi Muhammad S.A.W. telah mengadakan berbagai
tindakan sebagaimana telah ditetapkan dalam Al Qur`an yang
menghendaki terwujudnya pelaksanaan hak-hak asasi mansia. Selain
itu, beliau telah memproklamasikan kesucian hak-hak asasi manusia
ini untuk segala zaman ketika berkhutbah di depan kaum muslim

207
pada waktu haji wada` (perpisahan), yakni sebagaimana
diriwayatkan dalam H.R. Muslim (“Kitab al-Hajj”), sebagai berikut
: “Jiwamu, harta bendamu, dan kehormatanmu adalah sesuci hari
ini. Bertakwalah kepada Alloh dalam hal istri-istrimu dan perlakuan
yang baik kepada mereka, karena mereka adalah pasangan-
pasanganmu dan penolong-penolongmu yang setia. Tak ada seorang
pun yang lebih tinggi derajatnya kecuali berdasarkan atas ketakwaan
dan kesalehannya. Semua manusia adalah anak keturunan Adam,
dan Adam itu diciptakan dari tanah liat. Keunggulan itu tidak berarti
orang Arab berada di atas orang nonArab dan begitu juga bukan
nonArab di atas orang Arab. Keunggulan juga tidak dipunyai oleh
orang kulit putih lebih dari orang kulit hitam dan begitu juga bukan
orang kulit hitam di atas orang kulit putih. Keunggulan ini
berdasarkan atas ketakwaannya”.
Kedudukan penting HAM sesudah wafatnya Rosulullah
S.A.W. dan diteruskan oleh Khulafa ar-Rosyidin, serta sistem
kekuasaan Islam berganti dengan monarki. Di sini HAM dalam
Islam tetap mendapatkan perhatian luar biasa masyarakat Islam.
HAM dalam Islam bukanlah sifat perlindungan individu terhadap
kekuasaan negara yang terbatas, namun merupakan tujuan dari
negara itu sendiri untuk menjaga hak-hak asasi manusia terutama
bagi mereka yang terampas hak-haknya. Jadi, setiap prinsip dasar
pemerintahan Islam pada hakikatnya adalah berlakunya suatu
praktik usaha perlindungan dari terjadinya pelanggaran HAM. Kini
Islam telah memberikan sinar harapan bagi umat manusia yang
menderita dengan cara memberikan, melaksanakan, dan menjamin
respek terhadap hak-hak asasi manusia itu.
Selanjutnya, untuk menandai permulaan abad ke-15 Era
Islam, bulan September 1981, di Paris (Perancis), telah
diproklamasikan Deklarasi HAM Islam Sedunia. Deklarasi ini
berdasarkan Kitab Suci Al-Qur`an dan As-Sunnah serta telah
dicanangkan oleh para sarjana muslim, ahli hukum, dan para
perwakilan pergerakan Islam di seluruh dunia.

208
Deklarasi HAM Islam Sedunia itu terdiri dari Pembukaan
dan 22 macam hak-hak asasi manusia yang harus ditegakkan, yakni
mencakup :
1. Hak Hidup
2. Hak Kemerdekaan
3. Hak Persamaan dan Larangan terhadap Adanya Diskriminasi
yang Tidak Terizinkan
4. Hak Mendapat Keadilan
5. Hak Mendapatkan Proses Hukum yang Adil
6. Hak Mendapatkan Perlindungan dari Penyalahgunaan Kekuasaan
7. Hak Mendapatkan Perlindungan dari Penyiksaan
8. Hak Mendapatkan Perlindungan atau Kehormatan dan Nama Baik
9. Hak Memperoleh Suaka (Asylum)
10. Hak-hak Minoritas
11. Hak dan Kewajiban untuk Berpartisipasi dalam Pelaksanaan dan
Manajemen Urusan-urusan Publik
12. Hak Kebebasan Percaya, Berpikir, dan Berbicara
13. Hak Kebebasan Beragama
14. Hak Berserikat Bebas
15. Hak Ekonomi dan Hak Berkembang Darinya
16. Hak Mendapatkan Perlindungan atas Harta Benda
17. Hak Status dan Martabat Pekerja dan Buruh
18. Hak Membentuk Sebuah Keluarga dan Masalah-masalahnya
19. Hak-hak Wanita yang Sudah Menikah.
20. Hak Mendapatkan Pendidikan
21. Hak Menikmati Keleluasaan Pribadi (Privacy)
22. Hak Mendapatkan Kebebasan Berpindah dan Bertempat Tinggal

Konsepsi Hak Asasi Manusia dalam Islam


Menurut Syekh Syaukat Hussain (1996), hak asasi manusia
(HAM) yang dijamin oleh agama Islam dapat diklasifikasikan ke
dalam dua kategori, yaitu : 1. HAM dasar yang telah diletakkan oleh
Islam bagi seseorang sebagai manusia; dan 2. HAM yang
dianugerahkan oleh Islam bagi kelompok rakyat yang berbeda

209
dalam situasi tertentu, status, posisi dan lain-lainnya yang mereka
miliki. Hak-hak asasi manusia khusus bagi nonmuslim, kaum
wanita, buruh/pekerja, anak-anak, dan lainnya merupakan beberapa
contoh dari kategori hak asasi manusia-hak asasi manusia ini.
Hak-hak dasar yang terdapat dalam HAM menurut Islam
ialah : (1) Hak Hidup; (2) Hak-hak Milik; (3) Hak Perlindungan
Kehormatan; (4) Hak Keamanan dan Kesucian Kehidupan Pribadi;
(5) Hak Keamanan Kemerdekaan Pribadi; (6) Hak Perlindungan dari
Hukuman Penjara yang Sewenang-wenang; (7) Hak untuk
Memprotes Kelaliman (Tirani); (8) Hak Kebebasan Ekspresi; (9)
Hak Kebebasan Hati Nurani dan Keyakinan; (10) Hak Kebebasan
Berserikat; (11) Hak Kebebasan Berpindah; (12) Hak Persamaan
Hak dalam Hukum; (13) Hak Mendapatkan Keadilan; (14) Hak
Mendapatkan Kebutuhan Dasar Hidup Manusia; dan (15) Hak
Mendapatkan Pendidikan.

HAM dalam Gender


Gender adalah konstruksi sosial yang menjelaskan tentang
peran manusia berdasarkan jenis kelamin. Sebab itu, masalah gender
lahir dan dipertahankan oleh masyarakat. Masyarakat umumnya
didominasi oleh peran laki-laki (patriarki). Laki-laki memiliki peran
publik (bekerja, berorganisasi, berpolitik), sementara perempuan
memiliki peran privat (mengurus anak, mencuci, melahirkan,
memasak). Ini merupakan konstruksi gender yang mainstream.
Pada perkembangannya, kaum perempuan merupakan jumlah
yang cukup banyak di masyarakat. Mereka memiliki potensi publik
(berorganisasi, berpolitik, dan bekerja) yang ternyata setara dengan
laki-laki.
Namun, potensi tersebut terhambat untuk muncul akibat
pembatasan oleh budaya gender yang patriarkis. Sebab itu, muncul
gerakan emansipasi wanita (kini dikenal dengan feminis) yang
berupaya mensetarakan peran laki-laki dan perempuan, baik di
sektor publik maupun privat.

210
Gerakan feminis terbagi ke dalam 2 gelombang. Gelombang
pertama berlangsung
• Harus kerja lebih keras ketimbang laki-laki untuk
mempertahankan hidup
• Punya kendali yang terbatas seputar penghasilan dan asset
• Punya kesempatan yang lebih kecil untuk membangun dirinya
• Menjadi korban kekerasan dan intimidasi
• Punya posisi sosial yang subordinat
• Kurang terwakili dalam kebijakan dan pembuatan keputusan
• Ketidaksetaraan gender mencerminkan hilangnya potensi
manusia, baik untuk laki-laki maupun perempuan

Awal dekade 1900-an, berfokus pada persamaan hak sipil


dan politik. Gelombang kedua era 1960-an, berfokus pada peran
yang lebih besar dalam hak-hak seksual dan keluarga.

Gender Equality
Sebagian besar, gerakan emansipasi perempuan bertujuan
membangun Gender Equality (kesetaraan gender). Gender Equality
ini penting oleh sebab adanya kondisi-kondisi kaum wanita sebagai
berikut :
Melalui sebuah survey bertajuk Gender Gap yang dilakukan
tahun 2007 , dapat dilihat kondisi ketidaksetaraan gender dalam 4
bidang : Kesempatan dan Partisipasi Ekonomi, Menikmati
Pendidikan, Pemberdayaan Politik, serta Kesehatan dan Pertahanan
Hidup.
Negara-negara di kawasan Timur Tengah dan Afrika rata-
rata memiliki tingkat Kesempatan dan Partisipasi Ekonomi
perempuan yang rendah. Ini juga terjadi di ketiga bidang lainnya
(Menikmati Pendidikan, Pemberdayaan Politik, serta Kesehatan dan
Pertahanan Hidup).
Indonesia, dalam hal Kesempatan dan Partisipasi Ekonomi
perempuan, menempati rangkin ke 82, Menikmati Pendidikan

211
rangking ke-93, Kesehatan dan Ketahanan Hidup rangking ke-81,
serta Pemberdayaan Politik rangkin ke-70.

Gerakan Feminis
Gerakan feminis dapat dibagi ke dalam 5 kelompok, yaitu :
Feminis Liberal, Feminis Sosialis, Feminis Marxis, Feminis
Radikal, dan Feminis Islam. Feminis Liberal adalah gerakan feminis
yang muncul dalam gerakan pro hak suara dan sosial pada masa
gelombang gerakan perempuan .
Isu-isu yang diangkat adalah persamaan hak waris, ekonomi,
hak politik, serta hak-hak yang selama itu cuma dinikmati oleh
kaum laki-laki. Tokoh-tokohnya semisal Elizabeth Cady Stanton.
Feminis Marxis muncul seiring dengan gerakan pro ajaran
Marx itu sendiri. Isu yang diangkat adalah, ketidaksetaraan gender
muncul akibat adanya struktur kelas di dalam masyarakat kapitalis.
Para kapitalis ini (pemodal) adalah laki-laki yang melakukan
penindasan struktural kepada buruh perempuan. Isu yang diangkat
adalah pembubaran sistem kapitalisme, peran perempuan di bidang
ekonomi, dan pengambilan keputusan di tingkat negara yang pro
kepada pekerja perempuan. Tokohnya semisal Emma Goldman dan
Gloria Steinem.
Feminis Sosialis lebih menekankan aspek kebudayaan,
sebagai penyebab munculnya ketidaksetaraan gender. Budaya
masyarakat mainstream adalah patriarki. Patriarki adalah budaya
yang menekankan peran besar laki-laki untuk memimpin dan
mengambil keputusan di aneka bidang. Kemudian terjadi pembagian
peran : Perempuan peran privat, laki-laki peran publik.
Sasaran para feminis sosialis adalah membongkar budaya
patriarki sehingga terbuka peluang akan definisi baru peran
berdasarkan gender yang mengakomodasi perempuan. Tokohnya
semisal Simone de Beauvoir dari Perancis.
Feminis Radikal lebih menekankan pada aspek
personal/pribadi. Masalah ketidaksetaraan gender adalah masalah

212
hubungan laki-laki dan perempuan. Laki-laki secara fisik adalah
kaum yang selalu hendak mendominasi perempuan.
Banyak Feminis Radikal yang berkesimpulan untuk
mengakhiri hubunan dengan laki-laki, termasuk pernikahan. Ini
mempopulerkan lesbianisme, sebagai upaya pertahanan diri status
perempuan agar tidak lagi didominasi laki-laki. Gloria Steinem
adalah satu di antara tokohnya.
Feminis Islam lebih menekankan pada pengaruh tafsir agama
yang didominasi ulama laki-laki. Hasilnya, banyak produk
interpretasi hukum Islam yang lebih membela laki-laki ketimbang
perempuan.
Feminis Islam berusaha menggali sumber-sumber klasik
ajaran Islam yang tidak terungkap dan lebih mengakomodasi peran
perempuan. Tokohnya antara lain Fatima Mernissi, Nawal El-
Sadawi, ataupun Irshad Manji.

Sumber Referensi

Helen Derbyshire, Gender Manual: A Practical Guide for


Development Policy Makers and Practitioners, (United
Kingdom: Department for International Department, 2002) p. 6.
K. Lee and Brenda Wilmoth Lerner, ed., Human and Civil Rights :
Essential Primary Sources, (Detroit: Thomson and Gale, 2007)
p.3.
Margaret Walters, Feminism: A Very Short Introduction, (New
York: Oxford University Press, 2005
UUD 1945 amandemen terakhir (amandemen 4)
Ricardo Haussman, et.al,, The Global Gender Gap : Report 2007,
(Geneva : World Economic Forum, 2007).*
http://www.un.org/events/humanrights/udhr60/index.shtml

213
REPRODUKSI KESEHATAN ISLAM
Oleh : Valda Valdiyanti N_ 1138030218_5-F

Pengertian Kesehatan Reproduksi


Secara sederhana reproduksi berasal dari kata re yang artinya
kembali dan produksi yang artinya membuat atau menghasilkan.
Jadi, reproduksi mempunyai arti suatu proses kehidupan manusia
dalam menghasilkan keturunan demi kelestarian hidup.
Kesehatan reproduksi (kespro) adalah keadaan sejahtera
fisik, mental dan sosial yang utuh dalam segala hal yang berkaitan
dengan fungsi, peran dan sistem reproduksi.
Berdasarkan dari kedua pengertian di atas, dapat disimpulkan
bahwa kesehatan reproduksi remaja adalah keadaan sejahtera fisik,
mental dan sosial yang utuh dalam segala hal yang berkaitan dengan
fungsi, peran, dan sistem reproduksi yang dimiliki oleh remaja.
Menurut BKKBN, (2001), defenisi kesehatan reproduksi
adalah kesehatan secara fisik, mental, dan kesejahteraan sosial
secara utuh pada semua hal yang berhubungan dengan sistem dan
fungsi serta proses reproduksi dan bukan hanya kondisi yang bebas
dari penyakit dan kecacatan.
Menurut ICPD (1994) kesehatan reproduksi adalah sebagai
hasil akhir keadaan sehat sejahtera secara fisik, mental, dan sosial
dan tidak hanya bebas dari penyakit atau kecacatan dalam segala hal
yang terkait dengan sistem, fungsi serta proses reproduksi.
Menurut Drs. Syaifuddin kesehatan reproduksi adalah suatu
keadaan kesehatan dimana suatu kegiatan organ kelamin laki-laki
dan perempuan yang khususnya testis menghasilkan spermatozoid
dan ovarium menghasilkan sel kelamin perempuan.
Menurut Depkes RI, 2000 kesehatan reproduksi adalah suatu
keadaan sehat secara menyeluruh mencakup fisik, mental dan
kehidupan sosial yang berkaitan dengan alat, fungsi serta proses
reproduksi yang pemikiran kesehatan reproduksi bukannya kondisi
yang bebas dari penyakit melainkan bagaimana seseorang dapat

214
memiliki kehidupan seksual yang aman dan memuaskan sebelum
dan sesudah menikah.
Dengan demikian kesehatan reproduksi bukan hanya kondisi
bebas dari penyakit,melainkan bagaimana seseorang dapat memiliki
kehidupan seksual yang aman dan memuaskan sebelum menikah
dan sesudah menikah.

Ruang Lingkup Kesehatan Reproduksi


Secara garis besar, ruang lingkup kesehatan reproduksi
(BKKBN, 2001: 6) meliputi:
a. Kesehatan ibu dan bayi baru lahir.
b. Kesehatan reproduksi remaja.
c. Pencegahan dan penanggulangan pada penyimpangan seksual
dan napza yang dapat berakibat pada HIV/AIDS.
d. Kesehatan reproduksi pada usia lanjut.

Salah satu ruang lingkup kesehatan reproduksi dalam siklus


kehidupan adalah kesehatan reproduksi remaja. Tujuan dari program
kesehatan reproduksi remaja adalah untuk membantu remaja agar
memahami kesehatan reproduksi, sehingga remaja memiliki sikap
dan perilaku sehat serta bertanggung jawab kaitannya dengan
masalah kehidupan reproduksi (Widyastuti dkk, 2009:5)

Kesehatan Reproduksi Remaja


Remaja merupakan awal dewasa atau sudah sampai usia
untuk menikah (KBBI, 2005: 944). Remaja adalah individu baik
perempuan maupun laki – laki yang berada pada usia antara anak –
anak dan dewasa. Batasan usia dalam hal ini adalah usia 10 – 19
tahun menurut klasifikasi World Health Organization (WHO),
sementara itu menurut United Nations (UN) menyebutnya sebagai
anak muda (youth) untuk usia 15 – 24 tahun (BKKBN, 2003: 19).
Pada masa remaja akan terjadi perubahan – perubahan yang
meliputi perubahan fisik, perubahan emosional yang tercermin
dalam sikap dan tingkah laku. Perkembangan kepribadian pada

215
masa ini dipengaruhi tidak 46 saja oleh orangtua dan lingkungan
keluarga, tetapi juga lingkungan sekolah, ataupun teman – teman
pergaulan di luar sekolah (Jusuf, 2006: 1).
Definisi seks bebas menurut Kartono (2009: 231) adalah
hubungan seksual yang dilakukan diluar sistem regulasi seks yang
ada dalam masyarakat, yaitu dilakukan diluar ikatan pernikahan,
baik suka sama suka atau dalam dunia prostitusi. Sementara itu
menurut Hawari (1998: 91) seks bebas merupakan kebebasan
bergaul, dimana hubungan seks tanpa didahului pernikahan.
Menurut WHO seks bebas yang dimaksud adalah bukan
hanya koitus saja tetapi juga termasuk berciuman, berpelukan serta
berduaan di tempat sepi dengan lawan jenis diluar hubungan
pernikahan, karena perilaku tersebut dapat mengarahkan pelakunya
kepada hubungan seksual.
Dapat disimpulkan bahwa laki – laki dan perempuan yang
melakukan kissing, necking, petting dan intercourse atau yang lebih
dikenal dengan berciuman, berpelukan, saling meraba bagian tubuh
lawan jenis dan berhubungan seksual diluar pernikahan adalah
pelaku seks bebas.

Faktor – Faktor Penyebab Seks Bebas


Menurut ketua Perhimpunan Keluarga Berencana Indonesia
(PKBI) menyatakan bahwa pada tahun 2011 15% remaja Indonesia
yang berusia 10 – 24 tahun telah melakukan hubungan sexual diluar
nikah.
Sementara itu United Nation Population Fund (UNPF) dan
Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN)
mensinyalir jumlah kasus aborsi di Indonesia mencapai 2,3 juta
pertahunnya, dengan 20% diantaranya dilakukan oleh para remaja
(Jusuf, 2006: 14). Menurut (Surbakti, 2009: 133) ada beberapa
faktor penyebab perilaku seks bebas pada remaja adalah sebagai
berikut:
a. Pengaruh negatif media massa.
b. Lemahnya keimanan.

216
c. Tidak adanya pendidikan seks yang benar, tepat dan dilandasi
nilai – nilai agama.
d. Lemahnya pengawasan orang tua.
e. Salah dalam memilih teman.

Pandangan Islam tentang Seks Bebas


Dalam masyarakat masa kini interaksi antara laki – laki dan
wanita yang bukan muhrim sulit dihindari. Kedua jenis kelamin
dalam penampilan dan tingkah lakunya dapat merangsang nafsu
seksual. Hal ini dapat menggiring kepada perilaku seks bebas.
Dalam penerapan konsep Islam, tentang menutup aurat,
larangan berdua – duan antara pria dan wanita selain muhrim,
menggunakan parfum yang menyengat, percampuran dalam
pemandian umum merupakan beberapa hal yang harus
dilaksanakan dalam sistem pendidikan Islam sebagai langkah
preventif dalam menghindari seks bebas. Hal ini mengacu
pada firman Allah surat Al – Isra’: 32. Artinya:
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu
adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk”
(Depag, 1971: 258).
Zina adalah hubungan seksual antara pria dengan wanita yang
tidak terikat oleh perkawinan yang sah yang dilakukan secara
sengaja (Abdul Aziz Dahlan, 1996: 2026). Tetapi segala perbuatan
yang mendekati zina merupakan hal mutlak yang harus dipahami
umat Islam
agar tidak terperangkap dalam pemahaman yang salah
mengenai seksualitas manusia yang menyimpang dari ajaran Islam.
Dengan ungkapan janganlah berbuat zina, yang berarti pelarangan
zina bukan sekedar koitus yang tidak sah tetapi segala hal yang
mendekatinya juga
dilarang. Hal ini dipertegas pada surat al – Ahzab: 59.
Artinya:
“Hai Nabi, Katakanlah kepada isteri – isterimu, anak – anak
perempuanmu dan isteri – isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka

217
mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". yang demikian itu
supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak
di ganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.” (Depag, 1971: 285).
Dari beberapa ayat diatas mengindikasikan bahwa perlunya
langkah preventif untuk menghindari seks bebas. Hal ini sejalan
dengan kaidah fiqih, “kemadlaratan itu harus dihindarkan sedapat
mungkin.” Yang dimaksud dari kaidah ini adalah kewajiban
menghindarkan terjadinya suatu kemadlaratan, atau dengan kata
lain, kewajiban melakukan usaha – usaha preventif agar jangan
terjadi suatu kemadlaratan dengan segala daya upaya yang mungkin
dapat diusahakan (Mu’in dkk, 1986: 200). Dalam hal ini segala hal
yang mendekati seks bebas harus dihindari.
Secara garis besar dapat dikelompokkan empat golongan
faktor yang dapat berdampak buruk bagi kesehatan repoduksi yaitu:
1. Faktor sosial – ekonomi dan demografi (terutama kemiskinan,
tingkat pendidikan yang rendah, dan ketidaktahuan tentang
perkembangan seksual dan proses reproduksi, serta lokasi tempat
tinggal yang terpencil).
2. Faktor budaya dan lingkungan (misalnya, praktek tradisional
yang berdampak buruk pada kesehatan reproduksi, kepercayaan
banyak anak banyak rejeki, informasi tentang fungsi reproduksi
yang membingungkan anak dan remaja karena saling
berlawanan satu dengan yang lain, dsb).
3. Faktor psikologis (dampak pada keretakan orang tua pada
remaja, depresi karena ketidakseimbangan hormonal, rasa tidak
berharga wanita pada pria yang membeli kebebasannya secara
materi, dsb).
4. Faktor biologis (cacat sejak lahir, cacat pada saluran reproduksi
pasca penyakit menular seksual, dsb).

Pada wanita dikenal adanya menstruasi, yaitu merupakan


peristiwa luruhnya lapisan dindingdalam rahim (endometrium),
lapisan ini terbentuk untuk persiapan jika sel telur berhasil dibuahi

218
oleh sel sperma, dan jika sel telur tidak dibuahi maka jaringan ini
akan meluruh. Pertama terjadi saat usia antara 9 – 15 tahun.

Penyakit Organ Reproduksi


Sistem reproduksi pada manusia dapat mengalami gangguan.
Gangguan itu bisa disebabkan oleh penyakit atau kelainan.
Gangguan pada sistem reproduksi manusia dapat menyerang baik
pria maupun wanita. Namun ada beberapa penyakit yang hanya
menyerang pria atau wanita. Berikut adalah penyakit pada sistem
reproduksi manusia.
a. Penyakit organ reproduksi:
1. Kanker Vagina
Penyakit ini menyerang wanita. Kanker vagina sampai saat
ini tidak diketahui penyebabnya dan kemungkinan
disebabkan oleh virus yang menyebabkan iritasi. Upaya
pengobatannya dapat dilakukan dengan kemoterapi dan
bedah laser.

2. Gangguan Menstruasi
Penyakit ini menyerang wanita. Gangguan atau penyakit ini
bisa berupa amenore primer dan juga amenore sekunder.
Amenore primer merupakan gejala dimana menstruasi tidak
terjadi hingga usia 17 tahun dan unsur seksual sekunder juga
tidak berkembang. Sementara itu, amenore sekunder adalah
tidak proses menstruasi selama 3 hingga 6 bulan pada wanita
yang telah mengalami siklus menstruasi sebelumnya.

3. Kanker Serviks
Penyakit ini menyerang wanita. Kanker serviks adalah
kanker yang terjadi pada serviks (leher rahim) yang hampir
semuanya disebabkan oleh virus HPV (Human papilloma
virus). Gejala awal berupa pendarahan pada vagina yang baru
muncul saat memasuki stadium lebih jauh. Kanker serviks
tidak menular. Penanganannya adalah dengan pengangkatan

219
uterus, oviduk, ovarium, sepertiga bagian atas vagina, dan
kelenjar limfa panggul.

4. AIDS
Penyakit ini menyerang baik pria maupun wanita. AIDS atau
Acquired Immuno Deficiency Syndrome adalah penyakit yang
merusak sistem imun pada manusia dengan menyerang sel
darah putih. Sampai sekarang penyakit ini belum bisa
disembuhkan bahkan vaksinnya belum ditemukan sehingga
sangat berbahaya dan mematikan. AIDS disebabkan oleh
virus HIV (Human Immunodeficiency Virus).Virus ini
menular lewat darah dan cairan kelamin baik melalui jarum
suntik, ASI, maupun melalui hubungan seksual.

5. Sifilis
Penyakit ini menyerang pria. Sifilis adalah penyakit kelamin
yang disebabkan oleh bakteri Treponemapallidium yang
ditandai dengan berbagai gejala yaitu:
 Luka pada alat kelamin, rektum, lidah, dan bibir.
 Pembengkakan getah bening pada bagian paha.
 Bercak – bercak di seluruh tubuh.
 Tulang dan sendi terasa nyeri ruam pada tubuh terutama
pada bagian tangan dan telapak kaki.
Gejala ini bisa hilang walaupun bakteri masih terdapat di
dalam tubuh. Bakteri ini dapat menyerang otak hingga
mengalami kebutaan dan gila. Penyakit ini dapat menular ke
orang lain. Pengobatan dapat dilakukan dengan antibiotik
yang diberikan segera.

6. Herpes Genetalis
Herpes adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus
herpes yang ditandai dengan rasa gatal dan sakit di sekitar
alat kelamin.

220
7. Kanker Ovarium
Kanker ovarium adalah kanker yang menyerang ovarium
pada alat kelamin wanita. Gejala penyakit ini tidak jelas
namun biasanya ditandai oleh rasa pegal pada panggul,
perubahan fungsi saluran pencernaan, atau mengalami
pendarahan abnormal pada vagina. Kanker ovarium dapat
ditangani dengan kemoterapi dan pembedahan.

8. Endometriosis
Endometriosis adalah penyakit dimana jaringan endometrium
wanita berada di luar wilayah rahim yaitu ovarium, oviduk,
ataupun di jalur luar rahim wanita. Gejalanya adalah nyeri
pada bagian perut, pinggang sakit, dan rasa tidak nyaman
berlebihan saat menstruasi.

9. Kanker Rahim
Kanker rahim (uterus) adalah kanker yang sering terjadi di
endometrium. Endometrium adalah tempat dimana janin
tumbuh. Penyakit ini menyerang wanita yang berusia
diantara 60 sampai 70 tahun.

10. Keputihan
Ada 2 macam keputihan, yaitu yang normal dan yang tidak
normal. Keputihan normal bilalendir berwarna bening, tidak
berbau, dan tidak gatal. Bila salah satu saja dari ketiga syarat
tersebut tidak terpenuhi berarti keputihan tersebut dikatakan
tidak normal.

11. Infeksi Vagina


Infeksi ini menyerang wanita usia produktif terutama yang
telah menikah. Penyebabnya adalah hubungan kelamin.
Penyakit ini ditandai dengan keputihan dan timbul gatal-
gatal.

221
12. Penyempitan Saluran Telur/Oviduk
Kelainan ini merupakan faktor bawaan atau karena infeksi.
Saluran telur yang sempit akan menyulitkan sperma untuk
mencapai bagian dalam oviduk. Akibatnya adalah terjadi
kesulitan dalam proses pembuahan.

13. Fibroadenoma
Fibroadenoma adalah tumor jinak yang ditandai dengan
adanya benjolan kenyal pada payudara. Penyakit ini dapat
diobati dengan operasi.

14. Kanker Prostat


Kanker prostat adalah kanker yang berkembang di bagian
kelenjar prostat pada pria. Sel kanker prostat dapat menyebar
ke bagian tubuh lainnya terutama pada tulang dan lymph
node. Ciri-ciri kanker prostat adalah kesulitan buang air
kecil, rasa sakit di bagian prostat, impotensi, dan lainnya.

15. Pseudohermaphrodite
Kelainan ini sangat langka. Pseudohermaphrodite adalah
kelainan dimana bentuk alat kelamin seperti laki-laki dan
perempuan namun tidak sempurna. Kelaminnya memiliki
penis yang sangat kecil namun tidak memiliki testis. Bahkan
pada beberapa bayi ditemukan jaringan testis dan ovarium.
Penyakit ini adalah bawaan sejak lahir.

16. Ejakulasi Dini


Ejakulasi dini adalah gangguan dimana pria tidak dapat
mengendalikan proses ejakulasi.

17. Impotensi
Impotensi adalah gangguan pada laki-laki yang membuat
penis tidak dapat melakukan ereksi. Impotensi disebabkan

222
oleh faktor hormonal, faktor psikologis, atau emosional
seseorang.

18. Mikropenis
Mikropenis adalah kelainan pada laki-laki dimana penis
berukuran di bawah rata-rata.
b. Konsekuensi hubungan di luar nikah adalah:
1. Perasaan bersalah.
2. Punya perasaan cemas.
3. Terinfeksi penyakit menular seksual.
4. Tidak siap untuk berumah tangga.
5. Tanggung jawab besar untuk berkeluarga.
6. Terburu-buru.
7. Kehamilan yang tidak diinginkan.
 Fisik : Pendarahan, kehamilan bermasalah, dll.
 Psikologis : Tidak percaya diri, malu, stres, dll.
 Sosial : D.O, dikucilkan masyarakat, dll.
8. Aborsi. Dampak aborsi:
 Pendarahan.
 Infeksi.
 Kemandulan.
 Keguguran pada kehamilan berikutnya.
 Kematian

Hak – Hak Reproduksi


Hak – hak reproduksi sebenarnya mempunyai landasan
adanya pengakuan terhadap hak asasi setiap pasangan dan individu
untuk secara bebas dan bertanggung jawab menetapkan jumlah,
jarak dan waktu kelahiran anaknya, hak untuk memperoleh
informasi tentang kesehatan reproduksi, hak untuk mencapai tingkat
kesehatan reproduksi dan seksual, hak untuk mengambil keputusan
tentang reproduksinya yang bebas dari pembedaan, pemaksaan dan
kekerasan. Hak – hak reproduksi memberikan informasi yang benar

223
seputar kesehatan organ Reproduksi manusia. Ada dua belas hal
yang terkait dengan hak reproduksi dan seksual, yaitu:
1. Hak untuk hidup.
2. Hak atas kemerdekaan dan keamanan.
3. Hak atas kesetaraan dan bebas dari segala bentuk diskriminasi.
4. Hak atas kerahasiaan pribadi.
5. Hak atas kebebasan berpikir.
6. Hak mendapatkan informasi dan pendidikan.
7. Hak untuk menikah atau tidak menikah serta membentuk dan
merencanakan keluarga.
8. Hak untuk memutuskan mempunyai anak atau tidak dan kapan
mempunyai anak.
9. Hak atas pelayanan dan perlindungan kesehatan.
10. Hak mendapatkan manfaat dari kemajuan ilmu pengetahuan.
11. Hak atas kebebasan berkumpul dan berpartisipasi dalam politik.
12. Hak untuk bebas dari penganiayaan dan perlakuan buruk.

Dari dua belas informasi hak reproduksi dan seksual diatas


perlu adanya perhatian bahwa setiap individu harus mampu
mengenal dan memahami informasi yang benar mengenai kesehatan
reproduksi dan seksual, hal ini banyak pula menyangkut seputar cara
merawat organ reproduksi:
a. Mengganti celana dalam minimal dua kali sehari.
b. Membersihkan setelah buang air (kencing) dengan menggunakan
air bersih.
c. Anjuran untuk merapikan rambut kemaluan.
d. Menjaga pola hidup sehat dengan olah raga, makan makanan
yang sehat, hindari perilaku merokok dan sebagainya.
e. Menjaga perilaku seksual yang sehat.

Reproduksi Menurut Ajaran Islam


Islam sebagai pandangan hidup tentu saja memiliki kaitan
dengan kesehatan reproduksi mengingat Islam berfungsi sebagai
pengatur kehidupan manusia dalam rangka mencapai keadaan sesuai

224
dengan definisi kesehatan reproduksi itu sendiri. Islam mengatur
kesehatan reproduksi manusia ditujukan untuk memuliakan dan
menjunjung tinggi derajat manusia. Dan Islam sejak belasan abad
yang lalu, jauh sebelum kemajuan ilmu kesehatan dan kedokteran
mengaturnya sesuai dengan Quran, hadits, dan ijma para ulama,
yang mencakup seksualitas, kehamilan, menyusui, kontrasepsi dan
KB, dan aborsi, serta hal lain yang tidak dapat dijelaskan satu-satu
persatu. Dan sebagai umat muslim kita wajib mengikuti aturan-
aturan yang telah ditetapkan Islam dalam rangka mencapai
kesejahteraan sebagai umat manusia.
Maka dari menurut M. Asrorudin (2009), reproduksi menurut
ajaran islam terbagi atas 6 bagian, antara lain:
1. Islam dan seksualitas
Seksualitas dalam Islam dapat menjadi hal yang terpuji
sekaligus tercela. Seksualitas menjadi hal yang terpuji jika
dilakukan dalam lingkup hubungan yang sesuai syariat, yaitu
hubungan pasangan laki-laki dan perempuan bukan antara
pasangan sejenis (homoseksual) atau dengan binatang (zoofilia)
yang telah menikah secara sah. Sebaliknya seksualitas dalam
Islam dapat menjadi hal yang tercela jika hubungan dilakukan di
luar pernikahan, antara pasangan sejenis, atau dengan binatang.
Ayat Quran yang paling terkenal untuk menjelaskan
hubungan laki-laki dan perempuan yang sesuai syariat adalah
dalam surat Ar Ruum: 21 yang menyatakan tujuan pernikahan
yaitu dijadikannya rasa cinta dan kasih sayang. Seorang ahli
tafsir dalam kitab tafsir Al Futuhatul Ilahiyah menyatakan
bahwa cinta berarti hubungan seksual, dan kasih sayang berarti
hasil hubungan seksual yaitu seorang anak. Hal ini berarti Islam
sangat mengatur hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam
hal seksualitas adalah untuk kebaikan bersama secara fisik dan
mental serta menghasilkan keturunan sebagai penerus diinul
Islam, bukan hanya untuk kepuasan secara biologis saja.
Islam melarang hubungan seksual melalui dubur & mulut
(anal & oral sex), homoseksualitas, sodomi, lesbianisme, dan

225
perilaku seksual lain yang tidak wajar. Kekhawatiran Islam
tentang hal ini sangat beralasan mengingat saat ini perilaku di
atas banyak ditemukan di masyarakat di seluruh dunia yang
berakibat pada timbulnya penyakit-penyakit menular seksual dan
desakralisasi hubungan pernikahan dimana hanya mementingkan
syahwat semata.
Dalam Islam hubungan seksual pranikah dan
perselingkuhan dilarang dan dapat dihukum sesuai syariat.
Bahkan negara kita juga telah memasukkan perihal ini dalam
KUHP. Supaya umat manusia tidak terjebak pada perilaku
tercela maka Islam mengaturnya dalam Quran surat Al Israa: 32
yaitu tentang larangan mendekati zina. Bukan hanya melakukan,
mendekatinya saja dilarang dalam Islam seperti hubungan laki-
laki dan perempuan bukan muhrim yang terlampau bebas.

2. Islam dan kehamilian


Dr Maurice Bucaille, ilmuwan Perancis dalam bukunya
yang fenomenal La Bible Le Coran Et La Science (Bibel, Quran,
dan Sains Modern) menyatakan bahwa sebelum ilmu kedokteran
modern berkembang, para ilmuwan memiliki konsep yang salah
tentang penciptaan manusia padahal Quran telah menyatakannya
dengan sangat jelas sejak 14 abad yang lalu. Dalam surat Al
Mukminun: 14 dan Al Hajj: 5, Quran telah menjelaskan tahap
demi tahap perkembangan penciptaan manusia.
Semuanya diterangkan secara sederhana dan mudah
dipahami oleh semua orang serta sangat sesuai dengan hal-hal
yang ditemukan oleh sains di kemudian hari. Mari kita lihat
kandungan surat Quran di bawah ini yang begitu menakjubkan:
“Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu
segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan
segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang
belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami
jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Sucilah
Allah, Pencipta Yang Paling Baik”(QS. Al Mu’minun: 14)

226
3. Islam dan menyusui
Penelitian ilmiah modern baru dapat menyatakan
kelebihan dan manfaat air susu ibu (ASI) di penghujung abad ke-
20. Namun, kajian tentang ASI telah termaktub di dalam Quran
beribu tahun yang lalu sejak diturunkannya pedoman hidup
manusia itu. ASI sebagai makanan terbaik bagi bayi itu telah
menjadi rekomendasi WHO untuk diberikan secara eksklusif
selama 4-6 bulan dan dilanjutkan bersama makanan lain hingga
berusia 2 tahun. Hal ini sesuai dengan surat Al Baqarah: 233,
yang secara ilmiah berkaitan erat dengan pembentukan sistem
kekebalan tubuh bayi dalam tahun-tahun pertama kehidupannya.
ASI tidak hanya penting bagi bayi saja tetapi penting pula
bagi ibunya. Hubungan batin antara ibu dan bayinya menjadi
lebih terasa karena dekatnya hubungan mereka melalui proses
penyusuan. Secara klinis telah pula diteliti bahwa penyusuan
dapat mengurangi risiko kanker payudara. Selain itu proses
penyusuan berguna pula sebagai kontrasepsi alamiah.

4. Islam dan kontrasepsi


Hingga saat ini kontrasepsi sebagai sarana pengaturan
jarak kehamilan masih menjadi perdebatan di kalangan ulama
dan ilmuwan Islam. Ada kalangan yang menentang karena
mereka beranggapan kontrasepsi atau keluarga berencana
merupakan produk Yahudi dan kaum kafir untuk melemahkan
kaum muslimin karena mereka takut kalau-kalau pertumbuhan
umat Islam akan mengancam tujuan, dominasi/pengaruh dan
kepentingan mereka. Kalangan yang menentang juga
beranggapan bahwa KB bertentangan dengan anjuran Islam
untuk memperbanyak keturunan. Ada pula kalangan yang
membolehkan atau membolehkan dengan syarat.

227
5. Islam dan aborsi
Permasalahan aborsi atau secara medis berarti
penghentian kehamilan di bawah usia kehamilan 20 minggu
masih menjadi perdebatan di kalangan muslim. Kalangan yang
sepenuhnya menentang mendasarkan pendapatnya pada Quran
Surat Ath-Thalaq: 3, yaitu, ‘Dan memberinya rezki dari arah
yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang
bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan
(keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang
(dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan
ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu’
Sementara itu kalangan muslim lainnya membolehkan
aborsi hanya untuk alasan berat seperti mengancam nyawa ibu
atau kemungkinan janin lahir cacat. Saat ini berkembang
perdebatan di Indonesia tentang akan dikeluarkannya Undang-
Undang (UU) yang cenderung untuk melegalkan bahkan
meliberalkan aborsi, dengan alasan saat ini banyak masyarakat
yang terlibat praktik aborsi yang tidak aman sehingga
menimbulkan angka kematian ibu dan bayi tertinggi di antara
negara-negara ASEAN. Tentu saja pembuatan produk legislatif
ini harus disikapi dengan bijaksana dengan melibatkan berbagai
unsur dalam masyarakat termasuk kalangan ulama dan
agamawan dalam proses pembuatannya.

6. Islam dan pendidikan seks


Islam juga sama sekali tidak lupa untuk mengajarkan kita
tentang pendidikan seks berupa penjelasan tentang alat-alat
reproduksi, kehamilan, menstrusi (haid), hubungan seksual yang
aman dan syar’i, dengan bahasa yang sederhana dan
dalam batas tata susila yang diperlukan, bukan mengandung
unsur pornografi.
Kemampuan bereproduksi adalah karunia Allah swt.
kepada manusia agar dapat meneruskan fungsi kekhalifahannya
di muka bumi. Sebab itu, Kespro perlu dijaga dan diperhatikan

228
agar sistem reproduksi yang telah dilimpahkan tidak mengalami
kerusakan. Berikut Islam mengajarkan cara menjaganya.
Pertama, menjaga kebersihan. Di berbagai tempat, umat
Islam seringkali mengutip hadis An nazhaafatu minal iimaan
(kebersihan itu sebagian dari iman). Ajaran bersuci (thaharah)
dalam Islam ini adalah indikasi perintah menjaga kebersihan
termasuk alat reproduksi. Apakah media bersuci kita sekarang
memang sepenuhnya telah aman dari kuman dan bibit penyakit?
Kedua, larangan ber-khalwat bagi laki-laki dan
perempuan berdua di tempat sepi tanpa ada mahram. Hadis Nabi
saw.: “Janganlah sekali-kali seorang lelaki berdua-duaan dengan
seorang perempuan di tempat yang sepi kecuali ada mahram
baginya”. (HR. Bukhari)
Larangan tersebut adalah tindakan preventif (pencegahan)
agar terhindar dari perzinahan atau kerentanan atas tindakan
kekerasan seksual lainnya. Misalnya, pelecehan seksual atau
kekerasan dalam masa pacaran (dating rape).
Ketiga, menikah. Apabila seorang perempuan dan lelaki
sudah siap fisik dan mental untuk menikah, maka keduanya
dianjurkan untuk menikah. Selain anjuran menikah pada QS. Ar
Ruum ayat 21, ada pula hadis Nabi saw. yang menyitir
pentingnya pernikahan. Sabda Nabi saw.: “Hai kaum muda, jika
di antara kamu sudah ada kesiapan untuk kawin, maka
kawinlah, karena kawin itu akan dapat menundukkan
pandangan matamu dan lebih dapat menjaga alat reproduksimu
(agar sehat)”. (HR. Bukhari – Muslim).
Keempat, menyusui. Allah swt. pernah berfirman, “Para
ibu hendaklah menyusukan anaknya selama dua tahun penuh,
yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan....”.
Sungguhpun dalam Islam menyusui adalah hak ibu, tapi hal ini
sangat dianjurkan karena dengan menyusui mengurangi risiko
penyakit kanker payudara dan dapat menjarangkan kelahiran
yang berdekatan jaraknya.

229
Kelima, melakukan hubungan seksual dengan persetujuan
pasangan (suami atau isteri). Perlu disadari, hubungan seksual dalam
pernikahan harus menjadi kerelaan suami dan isteri. Jangan sampai
ada pihak yang merasa dipaksa melakukannya, sehingga terjadi
‘perkosaan’ dalam hubungan perkawinan (marital rape) dengan
alasan apapun. Sebab Islam telah mengajarkan berlaku santun
kepada pasangan (mu’asyarah bil ma’ruf).
Keenam, larangan berganti-ganti pasangan. Berganti-ganti
pasangan, adalah satu perilaku yang sangat rentan menularkan
Penyakit Menular Seksual (PMS). Larangan perilaku berganti
pasangan ini disebutkan dalam firman Allah, “dan janganlah kamu
mendekati zina karena ia adalah perbuatan yang keji dan seburuk-
buruknya jalan”.
Sering gonta-ganti pasangan baik dengan cara ‘jajan,
perselingkuhan, kawin-cerai, maupun poligami, dapat berdampak
pada terjadinya penyakit menular seksual baik kepada laki-laki
maupun perempuan. Sementara perempuan sendiri lebih berisiko
tertular karena bentuk alat reproduksinya bersifat lebih terbuka
sehingga rentan tertular penyakit PMS, termasuk oleh suaminya
sendiri. Sayangnya masih banyak perempuan yang tertular PMS tapi
tidak mengetahui hal itu.
Ketujuh, menggunakan alat kontrasepsi (KB). Dengan
menggunakan alat kontrasepsi ini perempuan bisa mengatur
kehamilannya. Sebab jarak kehamilan yang terlalu dekat akan
berdampak negatif terhadap kesehatan alat reproduksinya. Meski
Alquran tidak menjelaskan secara langsung mengenai hal ini, tapi
Islam membolehkan KB apabila penggunaannya membawa
maslahah bagi akseptor KB (suami-istri). Dalam hal ini perlu
diingat, tidak semua alat kontrasepsi cocok bagi tubuh akseptor.
Sebab itu, akseptor, terutama perempuan berhak mendapat informasi
yang benar terhadap layanan KB ini.

230
Sumber Referensi

Asih, Widyowati. 2009. Islam dan Kesehatan Reproduksi.


www.fahmina.or.id/penerbitan/warkah-al-basyar/534-islam-dan-
kesehatan-reproduksi-.html.
Asrorudin. 2009. Islam dan Kesehatan Reproduksi.
www.asroruddin.multiply.com/journal/item/33/Islam_dan_Kese
hatan_Reproduksi.html
Mansour Fakih. Dr, Analisis Gender, Cetakan Kelima Belas,
November 2013, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Muchtar, Yati. 2001. Gerakan Perempuan Indonesia Dan Politik
Gender Orde Baru. Jurnal Perempuan Untuk Pencerahan Dan
Kesetaraan, No. 14.
Muryanta, Drs. Andang. Makalah Kesehatan Reproduksi dan
Seksual, 2, 4, 6
Soewondo, Nani. 1984. Kedudukan Wanita Indonesia Dalam
Hukum Dan Masyarakat. Ghalia: Indonesia, Jakarta.
Widipratama, Restu. Makalah Kesehatan Reproduksi Remaja, 3

231
HUMAN TRAFFICKING

Oleh : Wahyudin

A. Pengertian human trafficking


Trafficking adalah salah satu bentuk kekerasan yang
dilakukan terhadap anak, yang menyangkut kekerasan
fisik,mental dan atau seksual. Trafficking merupakan perekrutan,
pengangkutan, pemindahan, penampungan atau penerimaan
seseorang dengan ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk-
bentuk paksaaan lainnya, penculikan, pemalsuan, penipuan,
penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, ataupun memberi atau
menerima bayaran atau manfaat, untuk tujuan eksploitasi seksual,
perbudakan atau praktik-praktik lain, pengambilan organ tubuh.
Menurut Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) mendefinisikan
trafficking sebagai:Perekrutan, pengiriman, pemindahan,
penampungan, atau penerimaan seseorang, dengan ancaman, atau
penggunaan kekerasan, atau bentuk-bentuk pemaksaan lain,
penculikan, penipuan, kecurangan, penyalahgunaan kekuasaan atau
posisi rentan, atau memberi atau menerima bayaran atau manfaat
untuk memperoleh ijin dari orang yang mempunyai wewenang atas
orang lain, untuk tujuan eksploitasi. (Protokol PBB tahun 2000
untuk Mencegah, Menanggulangi dan Menghukum Trafficking
terhadap Manusia, khususnya perempuan dan anak-anak; Suplemen
Konvensi PBB mengenai Kejahatan Lintas Batas Negara).
Sedangkan Global Alliance Against Traffic in Woman
(GAATW) mendefinisikan perdagangan (trafficking): Semua usaha
atau tindakan yang berkaitan dengan perekrutan, pembelian,
penjualan, transfer, pengiriman, atau penerimaan seseorang dengan
menggunakan penipuan atau tekanan, termasuk pengunaan ancaman
kekerasan atau penyalahgunaan kekuasaan atau lilitan hutang
dengan tujuan untuk menempatkan atau menahan orang tersebut,
baik dibayar atau tidak, untuk kerja yang tidak diinginkan (domestik
seksual atau reproduktif) dalam kerja paksa atau dalam kondisi

232
perbudakan, dalam suatu lingkungan lain dari tempat dimana orang
itu tinggal pada waktu penipuan, tekanan atau lilitan hutang pertama
kali.
Dari definisi diatas maka dapat di simpulkan bahwa human
trafficking merupakan sebuah usaha atau tindakan yang sifatnya
memaksa serta dilakuka dengan kekerasan fisik mental dan seksual.
Serta mengandung unsur-unsur diantaranya Rekrutmen dan
transportasi manusia, Diperuntukkan bekerja atau jasa/melayan dan
Untuk kepentingan pihak yang memperdagangkan.

B. Bentuk-bentuk trafficking dan saasaran human trafficking


Ada beberapa bentuk trafficking manusia yang terjadi pada
perempuan dan anak-anak.
1. Kerja Paksa Seks & Eksploitasi seks, baik di luar negeri maupun
di wilayah Indonesia
2. Pembantu Rumah Tangga (PRT), baik di luar ataupun di
wilayah Indonesia
3. Bentuk Lain dari Kerja Migran, baik di luar ataupun di wilayah
Indonesia
4. Penari, Penghibur & Pertukaran Budaya terutama di luar negeri
5. Pengantin Pesanan, terutama di luar negeri
6. Beberapa Bentuk Buruh/Pekerja Anak, terutama di Indonesia
7. Trafficking/penjualan Bayi, baik di luar negeri ataupun di
Indonesia

Adapun yang menjadi sasaran dari adanya trafficking ini


adalah:
1. Anak-anak jalanan
2. Orang yang sedang mencari pekerjaan dan tidak mempunyai
pengetahuan informasi yang benar mengenai pekerjaan yang
akan dipilih
3. Perempuan dan anak di daerah konflik dan yang menjadi
pengungsi
4. Perempuan dan anak miskin di kota atau pedesaan

233
5. Perempuan dan anak yang berada di wilayah perbatasan anatar
Negara
6. Perempuan dan anak yang keluarganya terjerat hutang
7. Perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga, korban
pemerkosaan

C. Faktor-faktor Pendorong Trafficking


Faktor utama maraknya trafficking terhadap perempuan dan
anak perempuan adalah kemiskinan. Saat ini 37 juta
penduduk indonesia hidup di bawah garis kemiskinan. Sejumlah
83% keluarga perkotaan dan 99% keluarga pedesaan
membelanjakan kurang dari Rp 5.000 /hari. Factor lain adalah :
a. Pendidikan , 15% wanita dewasa buta huruf dan separuh dari
anak remaja tidak masuk sekolah memberikan peluang untuk
menjadi korban trafficking. Kekerasan terhadap perempuan dan
anak tidak banyak diketahui hubungan antara kekerasan dalam
rumah tanggga dan kekerasan seksual.
b. Kondisi sosial budaya keluarga dan masyarakat Indonesia
sebagian besar yang patriarkhis. Eksploitasi seksual anak
merupakan hal yang sulit apabila sudah terperangkap akan sulit
untuk keluar. Menjerumuskan anak pada eksloitasi seksual
hanya membutuhkan waktu singkat dan relatif murah
tetapimemulihkan mereka dari situasi tersebutmembutuhkan
waktu yang lama dan biaya yang besar, terlebih lagi mereka
yang mengalami trauma. Anak-anak yang telah memperoleh
stigma buruk, sulit diterima masyarakat. (Jurnal Perempuan 29,
2002:24)
c. Perubahan globalisasi dunia, Indonesia tidak luput dari pengaruh
keterbukaan dan kemajuan diberbagi aspek teknologi,
politik, ekonomi, dan sebagainya. Dan kemajuan tersebut
membawa perubahan pula dari segi-segi kehidupan sosial dan
budaya dipacu oleh berbagai kemudahan informasi. Berkaitan
dengan perkembangan tersebut Indonesia menjadi sasaran
perdangangan seks terhadap perempuan dan anak perempuan.

234
Hal ini disebabkan tingkat kesadaran masyarakat masih rendah
sehingga peraturan dan hokum lebih lemah untuk menghapuskan
eksploitasi seks terhadap perempuan dan anak perempuan.
d. Kurangnya pencatatan kelahiran Anak dan orang dewasa yang
tidak terdaftar serta tidak memiliki akta kelahiran amat rentan
terhadap eksploitasi. Orang yang tidak dapat memperlihatkan
akta kelahirannya sering kali kehilangan perlindungan yang
diberi hukum karena dimata negara secara teknis mereka tidak
ada. Rendahnya registrasi kelahiran, khususnya di kalangan
masyarakat desa, memfasilitasi perdagangan manusia. Agen dan
pelaku perdagangan memanfaatkan ketiadaan akta kelahiran asli
untuk memalsukan umur perempuan muda agar mereka dapat
bekerja di luar negeri. Contoh, seperti yang dikemukakan dalam
bagian Kalimantan Barat dari laporan ini (bagian VF), agen yang
sah maupun gelap memakai kantor imigrasi di Entikong,
Kalimantan Barat, untuk memproses paspor palsu bagi gadis-
gadis di bawah umur.
e. Media massa masih belum memberikan perhatian yang penuh
terhadap berita dan informasi yang lengkap tentang trafficking
dan belum memberikan kontribusi yang optimal dalam upaya
pencegahan maupun penghapusannya. Bahkan tidak sedikit
justru memberitakan yang kurang mendidik dan bersifat
pornografis yang mendorong menguatnya kegiatan trafficking
dan kejahatan susila lainnya.
f. Perempuan tidak dihargai, dianggap barang.
g. Anak dianggap sebagai budak.
h. Perilaku konsumtif dan modis.
i. Keluarga yang tidak harmonis.
j. Pernikahan dan perceraia usia dini.
k. Masyarakat yang tidak peduli dan kurangnya informasi tentang
perdagangan orang.
l. Norma-norma sosial yang merugikan seperti lamaran pertama
harus diterima.
m. Mental aparat yang mendiamkan.

235
n. Masyarakat yang asertif (menerima sebagai hal yang wajar)

Hasil Analisis :
D. Contoh kasus :
Siti dari Jawa Timur berangkat menjadi TKW melalui
sponsor Pak Dedi. Pak Dedi sering bertandang ke rumah dan
mendorong Siti untuk mau menjadi TKW. Siti memilih Pak Dedi,
sebab menurutnya dapat memberangkatkan lebih cepat
dibandingkan melalui Dinas Tenaga Kerja. Saat pemberangkatan ke
Jakarta, semua dokumen pribadi (KTP) dan uang Siti dipegang Pak
Dedi dengan alasan agar aman. Sesampai di Jakarta, ternyata Siti
tidak dapat menghubungi dan dihubungi keluarganya. Siti akhirnya
berangkat dengan menyepakati gaji sebesar Rp. 5 juta/bulan, dengan
tidak digaji selama 6 bulan pertama sebagai ganti biaya di
penampungan. Tetapi pada kenyataannya dia tidak digaji selama 9
bulan (lebih panjang 3 bulan dari kesepakatan) .
Dari contoh di atas, maka kisah Siti tersebut sudah dapat
disebut tindak pidana perdagangan orang (PTPPO) dengan melihat:
1. Proses: Terjadi perekrutan, pemindahan, penampungan. 2. Cara:
Terjadi bujuk rayu untuk menjadi TKW yang berangkat secara
ilegal; ada penipuan - sebab informasi yang diberikan oleh sponsor
tidak benar; ada penjeratan hutang dengan istilah ganti biaya
penampungan; ada penipuan sebab gaji tidak sesuai perjanjian. 3.
Tujuan: Ada eksploitasi mengingat jam kerja lebih dari 8 jam
sehari, tidak digaji selama 3 bulan dan juga terjadi penggajian yang
tidak adil.
Pertayaannya sekarang adalah : Bagaimana ketentuan
pidananya? Pelaku perdagangan orang akan dijerat dengan
menggunakan Undang-undang PTPPO yang menyebutkan ketentuan
pidana secara terperinci sesuai dengan bentuk kejahatan dan peran
yang diambil oleh pelaku. Dalam Undang-undang PTPPO, secara
garis besar bentuk pidana yang ditetapkan bagi pelaku adalah
sebagai berikut: • Bagi orang yang terbukti melakukan tindak pidana
perdagangan orang diancam diancam hukuman paling singkat 3

236
(tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun, ditambah denda
paling sedikit Rp. 120 juta, dan paling banyak Rp. 600 juta. • Jika
korbannya meninggal, maka ancamannya menjadi lebih berat.
Pidana penjara minimal 5 (lima) tahun dan paling lama seumur
hidup, ditambah dengan pidana denda paling sedikit Rp. 200 juta,
dan paling banyak Rp. 5 milyar.
Semua jenis pelaku tindak pidana perdagangan orang dapa
dikenakan hukuman seperti yang disebutkan di atas. Pelaku bisa
menjalankannya secara langsung atau tidak langsung. Karena itu
perdagangan orang bisa saja dilakukan oleh: • Orang yang
menjalankan dan membantu proses perekrutan, penampungan,
pemindahan, pengiriman, dan pengangkutan terhadap korban.
(rekruter, tekong, sponsor, calo, makelar, kafi l, dan sebagainya). •
Orang yang melakukan dan membantu penyekapan, penipuan,
penculikan, penjeratan hutang, ancaman dan penggunaan kekerasan
terhadap korban (agen tenaga kerja, germo, mafi oso, mami, bos
besar, PT, dan sebagainya). Orang yang melakukan eksploitasi
terhadap korban (majikan, germo, mucikari, mami, bos jermal, tuan,
pemangsa anak, dan sebagainya). Orang atau kelompok (petugas,
pejabat, biro jasa) yang terlibat dalam pembuatan dokumen palsu
(pemalsuan nama, pemalsuan umur, alamat, status perkawinan)
termasuk yang memberikan keterangan palsu (saksi palsu) untuk
pembuatan dokumen tersebut. Orang yang menghalangi proses
pengusutan tindak pidana perdagangan orang, termasuk yang
menyembunyikan atau membantu pelaku menghindari tuntutan
hukum.

BAGAIMANA CARA KERJANYA?


Mereka yang melakukan praktek perdagangan orang
seringkali menyamarkan kejahatannya dengan berbagai tipu
muslihat: Memberikan hutang dengan syarat-syarat tertentu yang
memaksa orang tersebut/keluarganya untuk terus menerus bekerja
sebagai pelunasan hutang. Menjanjikan pengiriman Tenaga Kerja ke
kota, ke luar kota atau ke luar negeri. Menjadi PRT, menculik dan

237
mengaku sebagai ibunya. Menggunakan kedok atau penyalahgunaan
kesempatan dalam kegiatan resemi seperti: Duta seni/budaya/kontes
kecantikan Mencarikan pekerjaan yang menarik dengan gaji
menggiurkan,Pendidikan/pemagangakerja.Pertukaran
pelajar/pemuda. Dan Perjalanan “religius”.

Kasus Eksploitasi Seksual


Pasca bencana di suatu daerah, banyak datang orang luar
memberikan bantuan. Namun ada suatu kelompok pemuda yang
datang ke satu wilayah dengan modus berjualan dari rumah ke
rumah. Kemudian mereka melakukan pendekatan dengan salah satu
perempuan muda. Mereka kemudian berpacaran. Si Pemuda
tersebut menunjukkan perilaku yang baik. Namun, akhirnya mereka
kawin lari karena pihak keluarga wanita tidak menyetujui hubungan
tersebut. Akhirnya pemuda tersebut membawa pasangannya ke
provinsi lain. Sesampainya di sana ternyata perempuan tersebut
dijadikan pelacur, padahal saat itu dia sedangang hamil tua.
Akhirnya dia mencoba melarikan diri dan bertemu dengan LBH.
Dia disembunyikan karena suaminya terus mencari dengan maksud
anak yang lahir nantinya akan dijual ke Negeri Jiran dan ibunya
akan dijadikan pelacur. Proses pemulangan begitu sulit, oleh
karenanya dia diminta menunggu sampai melahirkan baru kemudian
dikembalikan ke daerahnya. Diduga, suaminya adalah anggota suatu
jaringan perdagangan orang.
Mengatasi perdagangan orang memang membutuhkan
perhatian dan dukungan dari semua lapisan masyarakat, misalnya
melalui: • Keluarga (penguatan fungsi keluarga, sehingga terbentuk
keluarga harmonis), Masyarakat agar lebih kritis dan waspada
terhadap bujuk rayu yang menawarkan pekerjaan bagus, mudah dan
dengan gaji besar, Tekad aparat dan masyarakat untuk tidak
memalsukan identitas/keterangan pribadi (misalnya memalsukan
usia untuk menikah, bekerja atau alasan-alasan apapun).
Memastikan mengenai benar-benar tersedianya pekerjaan di daerah,
dalam negeri maupun di luar negeri yang ditawarkan. • Kesadaran

238
untuk tidak menelan mentah- mentah informasi yang diterima
(termasuk dari perangkat desa, orang yang mengaku- aku tokoh
masyarakat/agama). Segera melaporkan kepada pihak yang berwajib
jika mengetahui adanya indikasi perdagangan orang. • Pemberian
sangsi terhadap aparat yang mendiamkan/membantu pihak-pihak
yang memalsukan dokumen akan terkena sangsi sangat berat. •
Penegakan hukum. • Pencerahan oleh tokoh masyarakat dan tokoh
agama akan dampak negatif dari norma-norma sosial yang berlaku
di daerah setempat.

APA PERAN MASYARAKAT DAN PEMERINTAH?


Masyarakat berperan serta membantu upaya pencegahan dan
penanganan korban perdagangan orang. Masyarakat memberikan
informasi dan/atau melaporkan adanya tindak pidana perdagangan
orang kepada penegak hukum atau pihak yang berwajib, lembaga
layanan lain seperti Telpon Sahabat Anak (TESA) 129. Selain itu,
masyarakat juga bisa ikut serta membantu menyelamatkan korban
dengan merujuk korban ke pusat-pusat layanan seperti Pusat
Pelayanan Terpadu (PPT). Kalau ada korban kita harus bagaimana?
Kita harus segera melaporkan kasus tersebut ke instansi yang terkait
di wilayah tersebut agar korban dapat segera dibantu. Jangan
menunda-nunda laporan apabila mlihat adanya korban. Mungkin
nasib dan nyawa korban akan sangat tergantung kepada uluran
tangan anda yang mengetahui kejadian tersebut. Semakin cepat
penanganan, pada umumnya akan semakin baik bagi penyelamatan
korban.

Masyarakat
1. Mengadopsi anak merupakan kegiatan paling efektif untuk
meminimalisir tindak perdagangan anak-anak tentunya dengan
sistem yang ketat adanya survey kehidupan terlebih duhulu bagi
yang akan mengadopsi kemudian termasuk layak atau tidakah
sebagai orang yang mengadopsi sehingga nanti anak tersebut

239
yang akan diadopsi benar-benar mendapatkan kehidupan yang
layak.
2. Orang tua selaku masyarakat disini pun bertanggung jawab harus
memberikan kehidupan yang layak, pendidikan yang optimal,
kasih sayang dan perhatian penuh terhadap anak-anaknya.
Memberikan pelajaran agama sedini mungkin kepada anaknya
sehingga apa yang ia lakukan dapat diseleksi oleh dirinya apakah
baik atau tidak.
3. Banyak masyarakat yang peduli terhadap masalah trafficking
dan melakukan beberapa gerakan peringatan “stop human
trafficking” diberbagai daerah.

Pemerintah
1. Gencar dilakukan adalah melakukan kerjasama lintas sektor
dengan LSM-LSM yang peduli terhadap masalah tersebut.
2. Disahkannya secara legal Undang-Undang nomor 23 tahun 2002
tentang Perlindungan Anak yang di dalamnya mengatur dengan
jelas tentang hak anak untuk dilindungi dari segala bentuk
eksploitasi dan perdagangan, serta sanksi pidana bagi
pelanggaran terhadap hak tersebut.
3. Adanya Kementrian Negara Pemberdayaan Perempuan sebagai
focal point-nya.
4. Konvensi Hak Anak (CRC) yang telah diratifikasi oleh
Indonesia, terdapat sedikitnya 4 instrumen internasional lain
yang mengatur tentang trafficking atau perdagangan anak (dan
perempuan), dan 4 instrumen nasional yaitu UU Kesejahteraan
Anak, UU Hak Asasi Manusia, UU Perlindungan Anak, dan UU
Hukum Pidana.
5. Organisasi dunia ILO ini berdasarkan pada satu asumsi bahwa
perdagangan perempuan adalah salah satu bentuk pelanggaran
hak asasi manusia, dimana perempuan atau anak perempuan
dipaksa untuk bekerja dalam kegiatan seks yang melanggar
harkat dan martabatnya sebagai manusia, melanggar moral dan
kultur umat manusia (Pasal 29 konvensi ILO).

240
E. Solusi Masalah Perdagangan Manusia di Indonesia
Ada beberapa solusi yang dapat dilakukan agar kasus
perdagangan manusia dapat berkurang. Solusi pertama adalah
meningkatkan kesadaran masyarakat melalui penyuluhan pemuka
agama dan pemerintah. Apabila kesadaran masyarakat akan bahaya
dari perdagangan manusia sudah muncul, maka diharapkan tingkat
perdagangan manusia akan sdikit berkurang.
Solusi kedua adalah memperluas tenaga kerja, fokus pada
program Usaha Kecil Menengah (UKM), serta pemberdayaan
perempuan. Apabila lapangan kerja di Indonesia sudah cukup
memenuhi kebutuhan masyarakat, maka keinginan untuk bermigrasi
dan bekerja di luar negeri akan berkurang dan resiko perdagangan
manusia pun akan semakin berkurang juga.
Solusi selanjutnya adalah meningkatkan pengawasan di
setiap perbatas NKRI serta meningkatkan kinerja para aparat
penegak hukum. Kejahatan seperti perdagangan manusia dapat saja
terjadi. Kemungkinan untuk terjadi akan semakin besar apabila tidak
ada pengawasan yang ketat oleh aparat yang terkait. Apabila
pengawasan sudah ketat dan hukum sudah ditegakkan, maka kasus
perdagangan manusia dapat berkurang.
Solusi lainnya adalah memberikan pengetahuan dan
penyuluhan seefektif mungkin kepada masyarakat. Untuk dapat
mencegah masalah ini, perlu diadakan penyuluhan dan sosialisasi
masalah yang rutin mengenai perdagangan manusia kepada
masyarakat. Dengan sosialisasi secara terus-menerus, masyarakat
akan mengetahui bahaya masalah ini dan bagaimana solusinya.
Pendidikan tentu saja tidak hanya diberikan kepada masyarakat
golongan menengah ke atas. Justru pendidikan tersebut harus
diberikan kepada kaum kelas bawah, karena mereka rentan sekali
menjadi korban praktik perdagangan manusia. perdagangan manusia
seringkali terjadi pada masyarakat dengan taraf pendidikan yang
cukup rendah. Pendidikan harus diberikan dengan bahasa yang
mudah dimengerti oleh semua lapisan masyarakat.

241
Setelah masyarakat mengetahui masalah ini, saatnya mereka
memberitahu keepada orang lain yang belum tahu. Apabila
informasi seperti ini tidak disebarluaskan, maka rantai masalah ini
tidak akan pernah terputus. Sudah menjadi kewajiban masyarakan
untuk menyampaikan apa yang terjadi pada orang lain, terlebih lagi
orang-orang yang dianggap berpotensi mengalami tindakan
perdagangan manusia. Sebab, orang yang tidak mengetahui adanya
permasalahan ini tidak akan menyadari bahwa hal ini mungkin telah
terjadi pada orang lain di sekitar mereka.
Solusi terakhir adalah berperan aktif untuk mencegah.
Setelah mengetahui dan berusahaa berbagi dengan masyarakat yang
lain, kita juga dapat berperan aktif untuk menanggulangi
permasalahan ini. Berperan aktif dapat dilakukan dengan cara
melaporkan kasus perdagangan manusia yang diketahui kepada
pihak yang berwajib. Masyarakat juga bisa mengarahkan
keluarganya untuk lebih berhati-hati terhadap orang lain, baik yang
tidak dikenal maupun yang sudah dikenal. Mungkin hal yang
dilakukan hanyalah sesuatu yang kecil dan sederhana, namun
apabila semua orang bergerak untuk turut melakukannya, bukan
tidak mungkin masalah ini akan teratasi.
Upaya Pemerintah Dalam Upaya Pencegahan dan Mengatasi
Human Trafficking:
1. Berpedoman pada UU No. 21 Tahun 2007 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO).
2. Memperluas sosialisasi UU No. 21 Tahun 2007 tentang PTPPO.
3. Perlindungan anak (UU No. 23 Tahun 2003).
4. Pembentukkan Pusat Pelayanan Terpadu (PP No. 9 Tahun 2008
tentang tata cara dan mekanisme pelayanan terpadu bagi saksi
atau korban TPPO).
5. Pemerintah telah menyusun Rencana Aksi Nasional
Penghapusan Perdagangan Anak (Kepres No. 88/2002).
6. Pembentukkan Gugus Tugas PTPPO terdiri dari berbagai elemen
pemerintah dan masyarakat (PERPRES No. 69 Tahun 2008
tentang Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan TPPO ).

242
7. Penyusunan draft Perda Trafficking.

Upaya yang dilakukan kedepan untuk pencegahan Human


Trafficking
1. Penyadaran masyarakat untuk mencegah trafficking melalui
sosialisasi kepada berbagai kalangan (Camat, Kepala
Desa/Lurah,Guru, Anak Sekolah).
2. Memperluas peluang kerja melalui pelatihan keterampilan
kewirausahaan, pemberdayaan ekonomi dan lain-lain.
3. Peningkatan partisipasi pendidikan anak-anak baik formal
maupun informal.
4. Kerjasama lintas kabupaten/provinsi dalam rangka pencegahan
dan penanganan trafficking.

Kewajiban masyarakat dalam mencegah human


trafficking yaitu wajib berperan serta membantu upaya pencegahan
dan penanganan korban tindak pidana perdagangan orang dengan
memberikan informasi/laporan adanya tindak pidana perdagangan
orang kepada pihak berwajib. Dan dalam melakukan hal tersebut
masyarakat berhak memperoleh perlindungan hukum.

Sumber Referensi

Halfiah. Fikri. (2009). Perdagangan Manusia. [Online].


Editor, “Sosialisasi Bahaya Trafficking”, Jurnal Perempuan, Edisi
15 Februari 2005
Komnas Perempuan, Peta Kekerasan Pengalaman Perempuan
Indonesia, Jakarta, Ameepro,2002.
Handhyono, Suparti. Human Trafficking dan Kaitannya dengan
Tindak Pidana KDART,
NN, Aliansi Global Menentang Perdagangan Perempuan: Standar
HAM untuk Perlakuan terhadap Orang yang Diperdagangkan,
1999
Buku Pegangan Pemberantasan Perdagangan Orang Kementerian
Negara Pemberdayaan Perempuan 2008

243
KESEHATAN REPRODUKSI DALAM ISLAM
Oleh : Wandi Riswandi_1138030221_5-F

Sehat merupakan salah satu karunia Allah yang menurut


Nabi saw. sering terlupakan. Kita baru merasa betapa mahalnya
nikmat sehat ketika sedang sakit. Salah satu nikmat sehat yang harus
dijaga ini adalah kesehatan reproduksi.
Sehat yang sering dimaknai sebagai tiadanya penyakit pada
tubuh, sesungguhnya tidak hanya berhubungan dengan faktor fisik
semata, namun juga terkait dengan aspek mental, sosial, dan hal lain
yang dapat mengganggu kesehatan. Sebab itu Kesehatan Reproduksi
(Kespro) adalah keadaan fisik, mental dan sosial yang sehat, bersih
dan terhindar dari hal-hal yang mengganggu sistem reproduksinya.
Bagi perempuan, Kespro ini sangat berkaitan dengan berfungsinya
alat-alat reproduksinya pada masa pra-produksi (remaja), ketika
produksi (hamil dan menyusui), dan pasca reproduksi (menopouse).
Alquran menyatakan, tolok ukur kesalehan itu termasuk
menjaga kehormatan (menjaga alat-alat reproduksi). Hal ini sama-
sama ditekankan kepada lelaki maupun perempuan. Firman Allah
swt:
“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-
laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang
tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-
laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang
khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan
perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang
memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak
menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka
ampunan dan pahala yang besar“. (QS. Al-Ahzab:35)
Kemampuan bereproduksi adalah karunia Allah swt. kepada
manusia agar dapat meneruskan fungsi kekhalifahannya di muka

244
bumi. Sebab itu, Kespro perlu dijaga dan diperhatikan agar sistem
reproduksi yang telah dilimpahkan tidak mengalami kerusakan.
Maka dari itu, Islam dalam upaya menjaga dan menjamin
kesehatan alat reprodusi menetapkan sejumlah hal wajib
diperhatkan. Hal-hal tersebut, antara lain:
a. Islam senantiasa mewajibkan menjaga kebersihan (secara Fisik)
Dalam sebuah hadist disebutkan:
“Kesucian adalah setengah dari iman” (HR. Muslim)

b. Islam menganjurkan untuk menjaga kebersihan hati dengan


Menikah. Apabila seorang pria dan wanita sudah mencapai usia
kedewasaannya (baligh), maka keduanya sangat dianjurkan
untuk mempercepat proses pernikahannya. Karena hal ini adalah
salah satu bentuk perlindungan agar reproduksi menjadi sehat
dan bertanggung jawab. Rasulullah bersabda:
“Wahai sekalian pemuda, barangsiapa di antara kalian yang
sudah mampu untuk menikah, maka segeralah menikah, karena
nikah akan lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga
kehormatan (kemaluan).” (Muttafaqun `Alaihi)

c. Larangan untuk mendekati perbuatan zina. Allah swt berfirman:


“Dan janganlah kalian mendekati zina, Sesungguhnya zina itu
adalah perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.” (QS.
Al-Israa‟: 32)

d. Larangan menyetubuhi istri di dubur. Allah `Azza wa Jalla


berfirman,
“Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok
tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu
bagaimana saja kamu kehendaki” (QS. Al Baqarah: 223).
Yang namanya ladang (tempat bercocok tanam) pada wanita
adalah di kemaluannya yaitu tempat mani bersemai untuk
mendapatkan keturunan. Ini adalah dalil bolehnya menyetubuhi

245
istri di kemaluannya, terserah dari arah depan, belakang atau istri
dibalikkan”. (Lihat: Syarh Muslim: 10/6)
Secara umum dapat kita simpulkan bahwa ancaman yang datang
dari dua hadits di atas menunjukkan bahwa perbuatan tersebut
termasuk dosa besar karena disertai laknat (jauh dari rahmat
Allah) dan dihukumi sebagai suatu perbuatan kekufu.

e. Larangan untuk berhubungan seksual ketika istri sedang haid.


Allah swt berfirman terkait dengan hal ini :
“Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: “Haid itu
adalah kotoran”. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan
diri dari wanita diwaktu haid; dan janganlah kamu mendekati
mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka
campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah
kepadamu..” (QS. Al-Baqarah: 222). Jadi hukumnya haram.

f. Anjuran untuk Menyusukan bayi.


Allah swt berfirman,
“Para ibu hendaklah menyusukan anaknya selama dua tahun
penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan….”
(QS. Al-Baqarah: 233).

g. Anjuran bagi para wanita untuk mengatur jarak kelahiran.


Yang pada dasarnya, semuanya ini telah diisyaratkan dengan
begitu halus dalam firmanNya,
“Para ibu hendaklah menyusukan anaknya selama dua tahun
penuh yaitu yang bagi ingin menyempurnakan penyusuan” (QS.
Al-Baqoroh : 233).
“Mengandungnya sampai menyapihnya selama tiga puluh bulan”
(QS. Al-Ahqaf : 15)

246
h. Melakukan hubungan seksual harus dengan persetujuan
pasangan (suami atau isteri).
Perlu disadari, hubungan seksual dalam pernikahan harus
menjadi kerelaan suami dan isteri. Jangan sampai ada pihak yang
merasa dipaksa melakukannya, sehingga terjadi ‘perkosaan’
dalam hubungan perkawinan (marital rape) dengan alasan
apapun. Sebab Islam telah mengajarkan berlaku santun kepada
pasangan (mu’asyarah bil ma’ruf).

i. Larangan berganti-ganti pasangan.


Larangan perilaku berganti pasangan ini disebutkan dalam
firman Allah, “dan janganlah kamu mendekati zina karena ia
adalah perbuatan yang keji dan seburuk-buruknya jalan”.

j. Larangan menggunakan alat kontrasepsi (KB)


Dengan menggunakan alat kontrasepsi ini perempuan bisa
mengatur kehamilannya. Sebab jarak kehamilan yang terlalu
dekat akan berdampak negatif terhadap kesehatan alat
reproduksinya. Meski Alquran tidak menjelaskan secara
langsung mengenai hal ini, tapi Islam membolehkan KB apabila
penggunaannya membawa maslahah bagi akseptor KB (suami-
istri). Dalam hal ini perlu diingat, tidak semua alat kontrasepsi
cocok bagi tubuh akseptor. Sebab itu, akseptor, terutama
perempuan berhak mendapat informasi yang benar terhadap
layanan KB ini. Sudah saatnya bagi kita mulai peduli pada
kesehatan tubuh dan alat reproduksi sendiri. Tentunya, dengan
tidak malu berkonsultasi atau memeriksakan kesehatan diri, akan
membuat kesehatan itu dapat selalu terjaga. Selanjutnya adalah
kewajiban semua pihak untuk memberikan perhatian serius
terhadap persoalan kesehatan reproduksi ini.

Dalam ilmu kedokteran, reproduksi bermakna menghasilkan


keturunan. Sedangkan kesehatan reproduksi (kespro) didefinisikan
sebagai keadaan sejahtera fisik, mental, sosial dalam segala hal yang

247
berkaitan dengan kesehatan reproduksi. Kesehatan reproduksi juga
berkaitan dengan kemampuan untuk memiliki kehidupan seksual
yang memuaskan dan aman, serta kemampuan untuk memiliki
keturunan dan bebas menentukan waktu memiliki keturunan dan
jumlah keturunan. Sebagian orang memandang bahwa kesehatan
reproduksi hanya terkait pada organ reproduksi laki-laki dan
perempuan, padahal hal itu tidak sepenuhnya benar karena cakupan
kesehatan reproduksi sangat luas.
Kespro memiliki tiga komponen yaitu kemampuan untuk
prokreasi, mengatur tingkat kesuburan, dan menikmati kehidupan
seksual; dampak kehamilan yang baik melalui angka harapan hidup
danpertumbuhan bayi dan balita yang meningkat; serta proses
reproduksi yang aman. Adapun cakupan kesehatan reproduksi
meliputi alat reproduksi, kehamilan dan persalinan, kespro remaja,
pencegahan kanker leher rahim, metode kontrasepsi dan KB,
kesehatan seksual dan gender, perilaku seksual yang sehat dan yang
berisiko, pemeriksaan payudara dan panggul, impotensi, HIV/AIDS,
infertilitas, kesehatan reproduksi laki-laki, perempuan usia lanjut,
kesehatan reproduksi pengungsi, infeksi saluran reproduksi, safe
motherhood, kesehatan ibu dan anak, aborsi, serta infeksi menular
seksual.

Kesehatan Reproduksi dalam Islam


Kesehatan reproduksi didefinisikan sebagai keadaan fisik,
mental, sosial yang utuh dan aman dalam segala hal yang berkaitan
dengan sistim, fungsi-fungsi dan proses reproduksi. Pengertian
kesehatan reproduksi yang demikian luas, akan membawa berbagai
persoalan yang luas pula. Ia antara lain menyangkut kesehatan alat-
alat reproduksi perempuan pra produksi (masa remaja), ketika
produksi (masa hamil dan menyusui) dan pasca produksi (masa
menopouse). Persoalan-persoalan lain yang acap tertinggal dalam
kajian atasnya adalah tentang kehidupan seksual perempuan secara
memuaskan dan aman, tidak dipaksa, hak-haknya untuk mengatur
kelahiran, menentukan jumlah anak, hak-haknya untuk mendapatkan

248
perlakuan yang baik dari semua pihak baik dalam sektor domestik
maupun publik, hak untuk mendapatkan informasi dan pelayanan
kesehatan yang benar dan lain-lain.
Kesehatan reproduksi menurut WHO adalah suatu keadaan
fisik, mental dan sosial yang utuh, bukan hanya bebas dari penyakit
atau kecacatan dalam segala aspek yang berhubungan dengan sistem
reproduksi, fungsi serta prosesnya. Senada dengan dengan itu
kesehatan reproduksi menurut hasil ICPD 1994 di Kairo adalah
keadaan sempurna fisik, mental dan kesejahteraan sosial dan tidak
semata-mata ketiadaan penyakit atau kelemahan, dalam segala hal
yang berkaitan dengan sistem reproduksi dan fungsi serta proses.
Islam sebagai pandangan hidup tentu saja memiliki kaitan
dengan kesehatan reproduksi mengingat Islam berfungsi sebagai
pengatur kehidupan manusia dalam rangka mencapai keadaan sesuai
dengan definisi kesehatan reproduksi itu sendiri. Islam mengatur
kesehatan reproduksi manusia ditujukan untuk memuliakan dan
menjunjung tinggi derajat manusia. Dan Islam sejak belasan abad
yang lalu—jauh sebelum kemajuan ilmu kesehatan dan
kedokteran—mengaturnya sesuai dengan Quran, hadits, dan ijma
para ulama, yang mencakup seksualitas, kehamilan, menyusui,
kontrasepsi dan KB, dan aborsi, serta hal lain yang tidak dapat
dijelaskan satu-satu persatu. Dan sebagai umat muslim kita wajib
mengikuti aturan-aturan yang telah ditetapkan Islam dalam rangka
mencapai kesejahteraan sebagai umat manusia.

Perempuan sebagai pengemban utama tugas kemanusiaan


reproduksi
Meskipun proses reproduksi umat manusia tidak bisa
terlaksana tanpa keterlibatan suami isteri secara bersama, tetapi
isterilah yang yang memikul fungsi utama, karena kenyataannya
sebagian besar organ-organ reproduksi berada pada kaum hawa ini.
Al-Quran menggambarkan bagaimana beratnya tugas kemanusiaan
ini dalam QS al-Ahqâf, 46: 14, sebagai berikut :

249
“Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik
kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan
susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula).
Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan…”
Dalam ayat lain bahkan tugas ini merupakan tugas berat di
atas berat :
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik)
kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya
dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya
dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang
ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.” (QS Luqmân, 31:
14)
Karena tugas yang sangat amat berat itulah Rasulullah s.a.w.
pada banyak sabdanya mengangkat derajat ibu (isteri). Kalau
kemudian kenyataannya posisi ibu (isteri) menjadi terpuruk di
hadapan suami, itu bukan kesalahan ajaran, melainkan kesalahan
memahami ajaran dan yang merasa paling punya otoritas terhadap
ajaran. Akhirnya, demi kemaslahatan umat manusia perempuan
sebagai pengemban utama tugas reproduksi harus mendapatkan
jaminan keselamatan dan kesehatan, jaminan kesejahtraan, dan
jaminan ikut mengambil bagian dalam menentukan proses-proses
reproduksi.
Kespro memiliki tiga komponen yaitu kemampuan untuk
prokreasi, mengatur tingkat kesuburan, dan menikmati kehidupan
seksual; dampak kehamilan yang baik melalui angka harapan hidup
danpertumbuhan bayi dan balita yang meningkat; serta proses
reproduksi yang aman. Adapun cakupan kesehatan reproduksi
meliputi alat reproduksi, kehamilan dan persalinan, kespro remaja,
pencegahan kanker leher rahim, metode kontrasepsi dan KB,
kesehatan seksual dan gender, perilaku seksual yang sehat dan yang
berisiko, pemeriksaan payudara dan panggul, impotensi, HIV/AIDS,
infertilitas, kesehatan reproduksi laki-laki, perempuan usia lanjut,
kesehatan reproduksi pengungsi, infeksi saluran reproduksi, safe

250
motherhood, kesehatan ibu dan anak, aborsi, serta infeksi menular
seksual.

Jaminan Keselamatan dan Kesehatan


Memang benar bahwa proses reproduksi yang paling utama
adalah mengandung, melahirkan, dan menyusui, sebagaimana
tercantum dalam kedua ayat di atas, namun bila dicermati,
sesungguhnya, proses reproduksi bagi perempuan yang perlu
mendapatkan jaminan keselamatan dan kesehatan adalah mulai dari
menstruasi, memilih dan menentukan pasangan, hubungan seks,
mengandung, melahirkan, nifas, menyusui, dan merawat anak.
Jaminan ini sebenarnya telah diberikan oleh fiqih Islam, Ketika
perempuan sedang menstruasi dan nifas, misalnya, mereka diberi
cuti reproduksi –meminjam istilah Masdar-, seperti cuti shalat, cuti
puasa, dan lain-lain demi menjaga kondisi kesehatan mereka, baik
fisik maupun mental. Di samping itu mereka juga dilarang
melakukan hubungan seks. Kalau larangan ini dilanggar, suami
diharuskan membayar denda (fidyah).
Memilih dan menentukan pasangan juga memiliki implikasi
terhadap jaminan keselamatan dan kesehatan reproduksi, baik
kesehatan fisik maupun kesehatan mental. Paling tidak persoalan ini
bisa dilihat dari dua sisi, yaitu siapa pasangan yang akan menjadi
pendampingnya dan menentukan usia berapa ia akan menikah.
Kedua-duanya bisa berpengaruh pada kesehatan baik fisik maupun
mental. Hal ini harus mendapat perhatian serius dari para orang tua
agar tidak semena-mena menggunakan hak preogratifnya sebagai
wali mujbir. Walaupun dalam perspektif fiqih tentang wali mujbir,
bahkan penggunaan wali dalam nikah sendiri, masih diperselisihkan.
Di dunia muslim organ-organ reproduksi dan seksualitas
perempuan diperbincangkan secara ambigu. Ia bisa dibicarakan
dengan penuh apresiasi tetapi dalam waktu yang sama juga sangat
tertutup dan sering terlarang. Perempuan dipuja sekaligus
direndahkan. Ia dianggap sebagai tubuh yang indah bagai bunga
ketika ia mekar, tetapi dicampakkan begitu saja begitu ia telah jadi

251
layu dan tak lagi mewangi. Tubuh perempuan identik dengan daya
pesona dan kesenangan seksual. Tetapi dalam waktu yang sama ia
dieksploitasi demi hasrat diri dan keuntungan materi. Perempuan
dipuji sebagai “tiang negara” dan ketika ia ibu, ia dipandang dengan
penuh kekaguman: “surga di telapak kaki ibu”. Tetapi pada saat
yang lain, ia menjadi makhluk Tuhan kelas dua. Ketika di meja
makan, ibu setia menunggu bapak dan anak lelaki sampai mereka
kenyang. Ketika ia seorang isteri, dia harus tunduk sepenuhnya
kepada lelaki, suaminya. Ia tak boleh cemberut di depan matanya. Ia
juga tak boleh menolak manakala suami bergairah terhadap
tubuhnya, kapan saja, di mana saja dan dengan cara apa saja.
Penolakan dipandang sebagai “pemberontakan” (Nusyuz). Ia juga
tak berhak menentukan jumlah anak yang akan dilahirkannya dan
tak boleh mengontrol organ-organ reproduksinya sendiri.
Di ruang social, perempuan terlarang tampil sendirian. Ia
harus selalu dikontrol dan dibatasi. Ekspresi dan aktualisasi diri
perempuan atas keinginan-keinginannya dan usahanya untuk
memperoleh hak-hak seksualitasnya terlalu sering dianggap
bertentangan dengan kepentingan-kepentingan laki-laki dan
melawan hak-hak laki-laki atas mereka. Alasan utama dan paling
sering diungkap adalah demi melindungi mereka. Perempuan
dipandang sebagai makhluk Tuhan yang lemah secara fisik, lebih
rendah secara intelektual dan menggoda secara seksual. Dalam
perspektif ini, perempuan dianggap cenderung melakukan
pelanggaran terhadap aturan social maupun agama. Norma social
telah hafal bunyi sebuah hadits Sahih: “Aku tidak meninggalkan,
sesudah aku tiada, sebuah “fitnah” yang membahayakan laki-laki,
kecuali perempuan”. Dari sini kemudian pandangan mainstream
mengatakan: “perempuan adalah sumber fitnah, sebuah kata yang
dimaknai sebagai kekacauan, petaka social.
Situasi perempuan seperti di atas sesungguhnya telah
menimbulkan kondisi eksistensi perempuan yang serius.
Berdasarkan hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia
(SDKI) 2012, angka kematian ibu mencapai 359 per 100 ribu

252
kelahiran hidup. Hasil-hasil penelitian para ahli kependudukan
menyatakan bahwa komplikasi kehamilan dan persalinan benar-
benar merupakan pembunuh utama dari kaum wanita usia subur.
Data-data menunjukkan bahwa 20 – 45 % dari semua kematian
kaum wanita dalam kelompok usia subur (15-49 tahun) di
kebanyakan negara berkembang disebabkan oleh penyakit yang ada
kaitannya dengan kehamilan.
Aborsi tidak aman meningkat. Dr Budi Santoso dari Divisi
Fertilitas Endrokinologi Reproduksi Obstetri dan Ginekolog
Fakultas Kediokteran Unair-RSUD Dr Soetomo mengatakan: “Di
Indonesia ada 1,5 juta ibu yang menjalani aborsi yang tidak aman,”.
ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS) semakin bertaambah dan
meluas. Kanker rahim dan payudara masih banyak, relasi seksual
tidak sehat semakin menggejala. Lebih jauh dari itu adalah tingginya
angka kekerasan terhadap perempuan. CATAHU 2013 mencatat
279.760 kasus kekerasan terhadap perempuan. Dari jumlah ini,
263.285 atau 94% kasus diperoleh dari pengadilan agama (PA) dan
16.403 atau 6% kasus diperoleh dari 195 lembaga mitra pengada
layanan dari 31 provinsi. Pada umumnya kekerasan tersebut terjadi
dalam rumah tangga yang meliputi kekerasan fisik, psikis, seksual
dan ekonomi. Sementara itu berbagai daerah di Indonesia telah
menerbitkan Kebijakan Diskriminatif. Hasil Pemantauan Komnas
Perempuan tahun 2009 menemukan 154 Kebijakan Diskriminatif,
dan kini 2014 ada 365. 279 menyasar kepada perempuan. Beberapa
di antaranya adalah 90 tentang busana, 24 pekerja seks dan
pornografi, 30 pemisahan ruang public dan 35 tentang aturan jam
malam.
Dalam ilmu kedokteran, reproduksi bermakna menghasilkan
keturunan. Sedangkan kesehatan reproduksi (kespro) didefinisikan
sebagai keadaan sejahtera fisik, mental, sosial dalam segala hal yang
berkaitan dengan kesehatan reproduksi. Kesehatan reproduksi juga
berkaitan dengan kemampuan untuk memiliki kehidupan seksual
yang memuaskan dan aman, serta kemampuan untuk memiliki
keturunan dan bebas menentukan waktu memiliki keturunan dan

253
jumlah keturunan. Sebagian orang memandang bahwa kesehatan
reproduksi hanya terkait pada organ reproduksi laki-laki dan
perempuan, padahal hal itu tidak sepenuhnya benar karena cakupan
kesehatan reproduksi sangat luas.
Kespro memiliki tiga komponen yaitu kemampuan untuk
prokreasi, mengatur tingkat kesuburan, dan menikmati kehidupan
seksual; dampak kehamilan yang baik melalui angka harapan hidup
danpertumbuhan bayi dan balita yang meningkat; serta proses
reproduksi yang aman. Adapun cakupan kesehatan reproduksi
meliputi alat reproduksi, kehamilan dan persalinan, kespro remaja,
pencegahan kanker leher rahim, metode kontrasepsi dan KB,
kesehatan seksual dan gender, perilaku seksual yang sehat dan yang
berisiko, pemeriksaan payudara dan panggul, impotensi, HIV/AIDS,
infertilitas, kesehatan reproduksi laki-laki, perempuan usia lanjut,
kesehatan reproduksi pengungsi, infeksi saluran reproduksi, safe
motherhood, kesehatan ibu dan anak, aborsi, serta infeksi menular
seksual.

Sikap Islam
Islam normatif mengapresiasi seksualitas sebagai fitrah
manusia baik laki-laki maupun perempuan yang harus dikelola
dengan sebaik-baiknya dan dengan cara yang sehat. Dalam bahasa
agama seks adalah anugerah Tuhan. Hasrat seks harus dipenuhi
sepanjang manusia membutuhkannya. Pengekangan atasnya bisa
menimbulkan krisis psikologi dan social. Islam tidak menganjurkan
celibat dan asketisme. Islam mengabsahkan hubungan seks hanya
melalui proses ritual perkawinan. Islam dengan begitu tidak
membenarkan promiskuitas (seks bebas), karena cara ini dipandang
tidak bertanggungjawab. Tentang ini, bukan hanya Islam, melainkan
juga agama-agama dan tradisi-tradisi masyarakat berketuhanan.
Satu ayat al-Qur’an yang sering dikemukakan untuk
menjawab bagaimana Islam memberikan apresiasinya terhadap
seksualitas adalah: “Dan di antara bukti-bukti keMaha Besaran
Tuhan adalah bahwa Dia menciptakan untuk kamu dari entitasmu

254
sendiri pasangan, agar kamu menjadi tenteram dan Dia menjadikan
di antara kamu (relasi yang) saling mencinta dan merahmati
(mengasihi). Hal itu (seharusnya) menjadi renungan bagi orang-
orang yang berpikir” (Q.S. al-Rum [30]:21). Ada sejumlah tujuan
yang hendak dicapai dari pernikahan ini. Pertama sebagai cara
manusia menyalurkan hasrat libidonya untuk memperoleh
kenikmatan/kepuasan seksual. Inilah yang sering disebut “rekreasi”.
Kedua merupakan ikhtiar manusia untuk melestarikan kehidupan
manusia di bumi. Pernikahan dalam arti ini mengandung fungsi
“prokreasi” sekaligus reproduksi. Ketiga, menjadi wahana manusia
menemukan tempat ketenangan dan keindahannya. Melalui
perkawinan, kegelisaan dan kesusahan hati manusia mendapatkan
salurannya. Untuk pencapaian tujuan tersebut disyaratkan melalui
pola relasi kesalingan (al-tabadul). Ini disebutkan secara jelas dalam
ayat.
Islam selanjutnya menyatakan bahwa laki-laki dan
perempuan dalam relasi seksual mempunyai hak yang sama. Al-
Qur’an menyatakan: “Hunna Liasun Lakum wa Antum Libasun
lakum” atau mereka (isteri) adalah pakaian bagimu dan kamu
(suami) pakaian bagi mereka (Isteri)” (Q.S. al Baqarah [2]:187).
Ibnu Jarir al Thabari, guru besar para ahli tafsir, mengemukakan
sejumlah tafsir atas ayat ini. Pertama bahwa ia metafora untuk arti
penyatuan dua tubuh secara interaktif (indhimam jasad kulli wahid
minhuma li shahibih). Kedua, mengutip ahli tafsir lain: Mujahid dan
Qatadah, bahwa ia berarti masing-masing pasangan saling memberi
ketenangan bagi yang lainnya (Hunna sakanun lakum wa Antum
sakanun lahunna). Dalam pernikahan yang halal hubungan seks
dapat dilakukan dengan cara yang bebas. Al-Qur’an menyatakan:
“Nisaukum hartsun lakum fa’tu hartsakum anna syi’tum” (isterimu
adalah bagaikan tempat persemaian bagimu, maka olahlah
persemaian itu dengan cara apapun dan bagaimanapun yang kamu
kehendaki) (Q.S. al Baqarah [2]:223). Berdasarkan penjelasan dari
hadits Nabi, para ahli tafsir sepakat bahwa intercourse suami isteri
dapat dilakukan secara bebas, kecuali anal seks (sodomi).

255
Akhirnya kita semua harus memahami bahwa Islam
mengatur seksualitas untuk mencegah umat manusia melakukan
perilaku seksual yang serampangan, yang dapat mengancam
kemanusiaan.

Sumber Referensi

Ibnu Jarir al Thabari, Jami’ al Bayan ‘an Ta’wil Ayi al Qur’an, III,
Laela Ahmed, Wanita dan Gender dalam Islam.
Syeikh Nawawi, Syarh Uqud al Lujain, Attamimi, Cirebon, tt. H
http://elkafi.net/artikel-141-kesehatan-reproduksi-dalam-perspektif-
fiqih-.html
http://kesehatandanislam.blogspot.co.id/2011/10/islam-dan-
kesehatan-reproduksi.html?m=1
http://www.mysearch.com/web?mgct=ds&o=APN11808&tpr=10&q
=kesehatan+reproduksi+islam&page=2
http://www.rahima.or.id/index.php?option=com_content&view=arti
cle&id=414:islam-dan-kesehatan-reproduksi--al-arham-edisi-10-
b&catid=19:al-arham&Itemid=328

256
PERANAN WANITA DALAM KEPEMIMPINAN
Oleh : Wasih Mintarsih_1138030222_5-F

A. Peranan Wanita
Kemajuan jaman telah banyak mengubah pandangan tentang
wanita, mulai dari pandangan yang menyebutkan bahwa wanita
berhak mengurus rumah dan selalu berada di rumah, sedangkan laki-
laki adalah mahluk yang harus berada di luar rumah, kemudian
dengan adanya perkembangan jaman dan emansipasi menyebabkan
wanita hak yang sama dengan laki-laki.Perjuangan untuk
memperoleh hak yang sama secara tegas dimulai dari RA. Kartini,
walaupun banyak wanita-wanita lain di Indonesia memiliki
perjuangan yang sama, tetapi perjuangannya merupakan cita-cita
agar wanita memiliki pemikiran dan tindakan yang modern. Dengan
demikian, adanya persamaan hak di berbagai bidang kehidupan
telah menggeser pandangan terdahulu, sebagaimana dikemukakan
Nilakusuma (1960 : 151-152) sebagai berikut, Wanita dan laki-laki
mempunyai tempatnya masing-masing di dalam kehidupan
kemasyarakatan. Dan kedua jenis manusia tersebutdapat menempati
tempatnya masing-masing tanpa menjadi kurang haksama, karena
fikiran, kecerdasan, menentukan nilai yang sama antara laki-laki dan
wanita.Memang banyak pekerjaan yang dikerjakan oleh laki-laki
dan wanita dengan tidak meninggalkan sifat-sifat asli wanita. Malah
menjadi kepala jawatan atau presidenpun tidak akan meninggalkan
sifat-sifat kewanitaan tadi, karena jabatan-jabatan ini, kecerdasan
dan fikiranlah yang memegang peranan banyak.Tuntutan persamaan
hak wanita tentunya didasarkan pada beberapa anggapan bahwa
antara wanita dan laki-laki tidak banyak terdapat perbedaan,
sebagaimana dikemukakan Presiden Pertama Indonesia, Sukarno
(1963 : 30) bahwa:... ini tidak menjadi bukti bawa dus kwaliteit otak
perempuan itu kurang dari kwaliteit otak kaum laki-laki,atau
ketajaman otak perempuan kalah dengan ketajaman otak laki-laki.

257
Kwaliteitnya sama, ketajamannya sama hanya kesempatan-
bekerjanya yang tidak sama, kesempatan berkembangnya yang tidak
sama. Maka oleh karena itu, justru dengan alasan kurang dikasihnya
kesempatan oleh masyarakat sekarang pada kaum perempuan, maka
kita wajib berikhtiar membongkar ke-tidak-adilan masyarakat
terhadap kepada kaum perempuan itu !Jelas sekali pendapat di atas
bahwa kaum wanita memiliki kedudukan yang sama dalam berusaha
dan bekerja, hanya saja budaya masyarakat yang menganggap
wanita harus berada di rumah mengurus rumah tangga. Tetapi
dengan adanya kemajuan jaman maka wanita dan laki-laki dapat
bekerja sama dalam berbagai bidang. Dengan kata lain, bahwa
wanita perlu mendapat kesempatan untuk menunjukkan
kemampuannya dalam mengisi pembangunan sesuai dengan yang
dicita-citakan bersama. Seperti halnya yang dikemukakan oleh
Suryohadiprojo (1987 : 237) yaitu,Kemampuan wanita memang
makin kelihatan dalam berbagai macam pekerjaan dan profesi.
Hampir tidak ada lagi pekerjaan yang tak dapat dikerjakan oleh
wanita seperti dikerjakan oleh pria. Dan kualitas pekerjaannya tidak
lebih rendah dari pria, kecuali kalau pekerjaan itu menuntut tenaga
fisik yang besar, seperti pekerjaan buruh pelabuhan. Sebaliknya ada
pekerjaan yang lebih tepat dilakukan oleh wanita karena lebih
menuntut sifat-sifat kewanitaannya.Kemajuan dan karier yang
dicapai seorang wanita tidak dapat begitu saja diberikan atas dasar
belas kasihan, melainkan melalui perjuangan tanpa adanya
perbedaan atau diskriminasi gender, seperti yang dikemukakan oleh
Hall (dalam Tan, 1991 : 105) sebagai berikut,... kaum perempuan
sendiri harus bekerja keras, dengan bekerjasama, untuk menjamin
agar suara mereka didengar dan prespektif mereka dibeberkan di
meja tempat pengambilan keputusan. Perempuan harus
mempersiapkan diri untuk menghadapi tantangan baru, termasuk
tugas mengambil keputusan di tangan sendiri. Hal ini khususnya
berlaku di bidang ilmu pengetahuan, perekayasaan, matematika, dan
teknologi, jika ingin anak perempuan kami tidak dibiarkan
ketinggalan kereta.3Kesejajaran wanita dengan laki-laki sebagai

258
suatu usaha yang tidak sia-sia apabila wanita itu sendiri berusaha
sesuai dengan kemampuannya, sehingga dengan kemampuan yang
sama maka akan sanggup bersaing di kehidupan ini dengan kaum
laki-laki sesuai dengan sifat kewanitaannya. Persamaan hak yang
dimiliki oleh kaum wanita Indonesia termasuk kepemimpinan dan
partisipasipasi dalam bidang politik. Walaupun wanita memiliki hak
yang sama dengan laki-laki bukan berarti yang bersangkutan harus
meninggalkan tugas-tugas kewanitaannya sebagai seorang ibu.

1. Peran Ganda Wanita


Wanita dalam kehidupannya mempunyai beban tugas yang
lebih berat dibandingkan dengan laki-laki. Peran ganda dari seorang
wanita masa kini, selain memiliki tanggung jawab di dalam rumah
sebagai ibu juga di luar rumah sebagai wanita karier. Peran wanita
ini secara sederhana menurut Suwondo (1981 : 266) dikemukakan,
a. Sebagai warga negara dalam hubungannya dengan hak-hak
dalam bidang sipil dan politik, termasuk perlakuan terhadap
wanita dalam partisipasi tenaga kerja; yang dapat disebut fungsi
ekstern;
b. Sebagai ibu dalam keluarga dan istri dalam hubungan rumah
tangga; yang dapat disebut fungsi intern.

Fungsi ekstern dan fungsi intern tersebut merupakan dasar


peran yang dimiliki wanita terutama mereka yang memiliki karier,
sehingga wanita harus benar-benar dapat mengatur perannya agar
kedua peran tersebut tidak ada yang terabaikan. Jika tidak, maka
kehidupan akan menjadi tidak seimbang, sehingga tidak jarang di
antara mereka memilih salah satu peran, akibatnya terdapat salah
satu peran yang dikorbankan. Apabila terus memilih karier tidak
jarang di antara mereka yang menyebabkan keretakan bahkan
perceraian rumah tangga, atauwanita itu sendiri memilih kariernya
dengan mengabaikan perkawinan, sehingga yang bersangkutan tetap
hidup tanpa didampingi suami atau tetap lajang. Sedangkan bagi
wanita yang bersuami yang memilih peran kedua, berarti yang

259
bersangkutan mengorbankan kariernya atau keluar dari pekerjaan
dengan menjadi ibu rumah tangga yang tinggal diam di rumah,
sehingga hal ini patut disayangkan karena potensi yang terdapat
dalam diri wanita bersangkutan menjadi terbenam, bahkan terkubur
selamanya. Dengan demikian, wanita yang hanya memilih salah satu
peran saja sekarang ini dianggap kurang baik dalam membina
kehidupan, karena itu wanita yang unggul dan tangguh ia dapat
berjuang menghadapi berbagai tantangan apabila memilih peran
ganda 4 seperti di atas, tetapi jangan lupa harus terdapat saling
pengertian dan saling mengisi kehidupan rumah tangganya.Tradisi
yang berlaku di Indonesia sampai sekarang ini, bukan merupakan
kewajiban bagi wanita yang bersuami bekerja secara formal, tetapi
keadaan ini tergantung pada kemampuan ekonomi dan ijin yang
diberikan suaminya. Atas dasar hal tersebut, maka dilihat dari
hubungan suami –istri atau hubungan wanita dengan keluarga, dapat
menimbulkan masalah apabila wanita bekerja. Berikut ini, beberapa
pandangan yang menyebabkan wanita tidak bekerja atau tidak
melaksanakan fungsi ekstern, kalaupun terpaksa karena ada alasan
tertentu sebagaimana Tilaar (dalam Tan, 1991 : 86-87) sebagai
berikut,
1) perempuan belum/tidak menikah/cerai, dan pada dasarnya tidak
ingin bekerja, tapi tidak mempunyai daya guna membiayai
kebutuhan hidup sehari-hari.
2) Perempuan belum/tidak menikah/cerai, senang bekerja, memiliki
cukup dana untuk membiayai kebutuhan hidupnya sehari-hari,
tetapi keluarganya tidak setuju/keberatan bila ia bekerja
3) Perempuan belum/tidak menikah/cerai, ingin bekerja tetapi tidak
mempunyai bekal ilmu dan dana guna membiayai kebutuhan
hidupnya sehari-hari.
4) Perempuan menikah, dan suami berpendapat bahwa pencari
nafkah di antara mereka berdua cukup dibatasi pada suami dan
pendapatan suami melebihi kebutuhan hidup papan sandang dan
rekreasi berdua.

260
5) Perempuan menikah, dan suami berpendapat bahwa pencari
nafkah di antara mereka cukup dibatasi pada suami, meskipun
pendapatan suami tidak mencukupi kebutuhan hidup papan
sandang pangan mereka berdua.
6) Perempuan menikah, yang bekerja dengan persetujuan suami
namun kemudian mempunyai anak. Perempuan ingin tetap terus
bekerja, meskipun pendapatan suami cukup untuk membiayai
kebutuhan bersama istri dan anak.
7) Perempuan menikah, yang bekerja dengan persetujuan suami
namun kemudian mempunyai anak. Perempuan pada dasarnya
tidak mutlak ingin terus bekerja, namun pendapatan suami tidak
cukup untuk membiayai kebutuhan hidup bersama istri dan
anak. Nampaknya pada penjelasan di atas merupakan gambaran
dari keadaan wanita Indonesia sekarang ini antara keinginan
bekerja, dilarang untuk bekerja, dan tidak ingin bekerja dengan
alasan tertentu.
Sedangkan bagi kaum wanita yang benar-benar ingin bekerja,
terdapat alasan tertentu seperti dikemukakan Tilaar (dalam Tan,
1991 : 86) yaitu,
a. Karena faktor ekonomi
b. Karena orangtua telah memberikan kesempatan bagi si
perempuan untuk menuntut ilmu, sehingga ia memiliki suatu
keahlian yang memungkinkan bagi yang bersangkutan untuk
mencari nafkah sendiri;
c. Karena memang secara sadar ingin meniti karier.Alasan untuk
bekerja tersebut tidak selamanya berjalan sesuai dengan yang
dikehendaki wanita, karena dapat saja adanya alasan tertentu
menyebabkan wanita tidak bekerja.

Di samping wanita bekerja baik di sektor formal maupun


informal sebagai fungsi ekstern, juga seorang wanita tidak dapat
begitu saja melepaskan diri dari tanggung jawabnya sebagai ibu
yang menjadi fungsi intern. Lebih jauh lagi wanita yang memiliki

261
fungsi ekstern harus berperan dalam pembangunan dan pembinaan
bangsa (dalam Suwondo, 1981: 267) sebagai berikut,
1) Pembangunan yang menyeluruh mensyaratkan ikut sertanya pria
maupun wanita secara maksimal di segala bidang. Oleh karena
itu, wanita mempunyai hak, kewajiban dan kesempatan yang
sama dengan pria untuk ikut serta sepenuhnya dalam segala
kegiatan pembangunan.
2) Peranan wanita dalam pembangunan tidak mengurangi
peranannya dalam pembinaan keluarga sejahtera umumnya dan
pembinaan generasi muda khususnya, dalam rangka pembinaan
manusia Indonesia seutuhnya.
3) Untuk lebih memberikan peranan dantanggung jawab kepada
kaum wanita dalam pembangunan, maka pengetahuan dan
keterampilan wanita perlu ditingkatkan di berbagai bidang yang
sesuai dengan kebutuhannya.

Peranan tersebut merupakan konsep yang harus dijalankan


oleh wanita Indonesia sebagai fungsi eksternnya. Selajutnya
Suwondo (1981 : 267) mengemukakan kembali tugas-tugas wanita
dalam keluarga dan masyarakat sebagai fungsi intern dan ekstern,
sebagai berikut,
a. Sebagai istri, supaya dapat mendampingi suami sebagai kekasih
dan sahabat untuk bersama-sama membina keluarga yang
bahagia, Sebagai ibu pendidik dan pembina generasi muda,
suopaya anak-anak dibekali kekuatan rohani maupun jasmani
dalam menghadapi segala tantangan zaman, dan menjadi
manusia yang berguna bagi nusa dan bangsa
b. Sebagai ibu pengatur rumah tangga, supaya rumah tangga
merupakan tempat yang aman dan teratur bagi seluruh anggota
keluarga

4) Sebagai tenaga kerja dan dalam profesi, bekerja di pemerintahan,


perusahaan swasta, dunia politik, berwiraswasta dan sebagainya
untuk menambah penghasilan keluarga

262
5) Sebagai anggota organisasi masyarakat, terutama organisasi
wanita, badan-badan sosial dan sebagainya, untuk
menyumbangkan tenaganya kepada masyarakat.

Tugas wanita seperti di atas merupakan peran ganda wanita


di luar dan di dalam rumah yang sekaligus sebagai wanita yang
diharapkan dalam pembangunan ini. Sehingga antara tugas rumah
tangga dan tugas karier di dalam pekerjaannya akan menimbulkan
resiko yang besar dalam hidupnya, sebagaimana dikemukakan
Maria Ulfah Subadio (dalam Notopuro, 1984: 54) sebagai berikut,
 ada wanita yang punya bakat dan cita-cita luhur, sehingga ia
memberikan seluruh pengabdiannya ia memilih untuk tidak
berumah tangga (tepat single)
 ada wanita yang susah merasa bahagia dengan memberikan
pengabdiannya kepada keluarga, jadi 100% menjadi ibu rumah
tangga
 ada wanita yang cakap dan mungkin karena ambisinya
(eerzucht), rela memberikan prioritas kepada pekerjaannya di
atas keluarganya. Ini dapat menimbulkan konsekuensi
perceraian.
 Ada wanita memilih jalan tengah karena ia bekerja, maka
menerima peran rangkapnya dengan coba mengadakan
kombinasi yang sebaik-baiknya. Wanita ini harus mengerti apa
yang menghambat suksesnya dalam pekerjaan, akan tetapi ia rela
karena kesadarannya bahwa baginya keluarga adalah penting
juga. Dengan demikian, bahwa jalan terbaik adalah membagi
tugas sebagaiibu rumah tangga dan sebagai wanita yang bekerja.
Karena itu tugas wanita yang utama dari banyaknya tugas-tugas
lain adalah membina keluarga bahagia sejahtera.Tugas pokok
wanita sebagai ibu, sebagai pemelihara rumah tangga, pengatur,
berusaha sengan sepenuh hati agar keluarga sendiri sebagai
masyarakat akan berdiri dengan tegak, megah, aman, tenteram
dan sejahtera, hidup berdampingan dengan dan di dalam
masyarakat. Sebagai ibu, seorang wanita dapat menciptakan

263
persahabatan, kekeluargaan dengan keluarga-keluarga lainnya
dalam lingkungan di manapun ia berada, secara damai dan
harmonis.Tugas terhadap keluarganya sendiri menjadikan
sebagai keluarga yang rukun dan terhormat. Wanita
bersangkutan berusaha, bekerja, dan memberikan segala sesuatu
sebagai miliknya demi keutuhan keluarga, dengan sepenuh
hatinya secara ikhlas menjaga kehormatan keluarga bersama-
sama dengan suami dan anak-anaknya. Sebagai pendamping
suami, bagi seorang wanita berkeyakinan bahwa keluarga akan
berdiri kuat dan berwibawa apabila antara wanita sebagai ibu
dan suami sebagai bapak dalam rumah tangga berada dalam
keadaan yang seimbang, selaras, dan serasi dengan landasan
pengertian, kesadaram, dan pengorbanan. Ibu di dalam rumah
tangga memegang peranan yang penting dan menonjol, terutama
dalam membimbing dan mendidik anak-anaknya. Begitupula
dalam urusan ketatalaksanaan rumah tangga.

2. Kepemimpinan Wanita
Wanita sebagai seorang pemimpin formal pada mulanya
banyak yang meragukan mengingat penampilan wanita yangberbeda
dengan laki-laki, tetapi keraguan ini dapat diatasi dengan
keterampilan dan prestasi yang dicapai. Di dalam kepemimpinan
baik dilakukan oleh wanita maupun laki-laki memiliki tujuan yang
sama hanya saja yang berbeda dilihat dari segi fisik semata-mata,
sebagaimana dikemukakan Kimbal Young (dalam Kartono, 1983 :
40) bahwa,Kepemimpinan adalah bentuk dominasi yang didasari
atas kemampuan pribadi yang sanggup mendorong atau mengajak
orang lain untuk berbuat sesuatu; berdasarkan akseptasi/penerimaan
oleh kelompoknya, dan memiliki keahliankhusus yang tepat bagi
situasi khusus.Pemimpin yang memiliki kemampuan khusus dan
diakui oleh kelompoknya termasukke dalam pemimpin informal,
karena kepemimpinan tersebut lebih menekankan pada kekhususan
tertentu terutama tempat dan individunya, sehingga seorang

264
pemimpin terjadi atas dasar kemampuan atau keahlian tertentu,
bukannya atas dasar kemampuan memimpin, misalnya kelompok
wanita yang terampil dalam bidang pembuatan batik, sehingga yang
paling ahli akan menjadi pemimpinnya, begitu pula kelompok
wanita yang bekerja sebagai pembuat kain tenun, maka yang paling
terampil akan diangkat sebagai pemimpin, dan seterusnya.Pemimpin
yang berada pada organisasi formal akan memiliki kekuasaan
manajemen yangdidasarkan pada prinsip-prinsip manajemen pula,
sehingga kekuasaan yang dimilikinya bersifat institusional dan tidak
dihubungkan dengan sifat-sifat pribadi, misalnya, seorang
wanitayang menjadi kepala sekolah, kemudian bawahannya baik
guru-guru atau staf tata usaha tunduk kepadanya bukan pada pribadi
melainkan pada kepemimpinannya karena ia sebagai pemimpin
formal. Penting sekali untuk dikaji bahwa kepemimpinan seorang
muncul dan dapat mensejajarkan dirinya dengan laki-laki apabila
yang bersangkutan memiliki n ‘Achkebutuhan untuk mencapai
prestasi, sebagaimana dikemukakan oleh M Clelland (dalam
Weiner,tanpa tahun : 2) yaitu, virus mental yakni suatu cara berfikir
tertentu yang kurang lebih sangat jarang dijumpai tetapi apabila
pada diri seseorang, cenderung untuk menyebabkan orang itu
bertingkahlaku sangat giat. Virus mental ini diberi nama n
Ach(singkatan dari need for achiement), kebutuhan untuk meraih
hasil atau prestasi). Sebab, ia ditemukan pada suatu macam
pikiranyang berhubungan dengan “melakukan sesuatu dengan baik
”ataupun “melakukan sesuatu dengan lebih baik” daripada yang
pernah dibuat sebelumnya, lebih efisien dan lebih cepat, kurang
mempergunakan tenaga, dengan hasil yang lebih baik, dan
sebagainya.
Dengan demikian, bahwa seorang pemimpin dapat
meningkatkan hasil yang lebih baik dari sebelumnya dan memiliki
prestasi kerja yang lebih baik pula, sehingga seorang pemimpin
wanita akan diakui kepemimpinannya oleh bawahan maupun orang
lain karena kemampuan memimpin yang baik apalagi berhasil
mencapai tujuan institusi yang dipimpinnya. Wanita yang menjadi

265
seorang pemimpin formal termasuk seorang wanita karier yang
akan banyak menghadapi berbagai masalah, terutama berhubungan
dengan posisi yang bersangkutan antara karier dan rumah tangga,
seperti yang dikemukakan oleh Noerhadi (dalam Tan,1991 : 67)
yaitu,Bila semua wanita menjadi ibu rumah tangga, keberanian
untuk berkarier tentu harus ditopang oleh kemampuan yang
memadai, tetapi berkarier memerlukan pula tekad dan konsentrasi
yang tadinya tidak dituntut pada wanita, jadi tidak dengan
sendirinya menjadi modalnya. Pengembangan ambisi, keyakinan
memimpin, upaya dan keberhasilan ambisi dilaksanakan dalam
iklim kehidupan dengan suatu etika atau moralitas tertentu yang
sebenarnya tidak dimiliki wanita. Kemampuan, ambisi, dan
keberhasilan yang dicapai dengan tidak mengabaikan kedudukannya
sebagai ibu rumah tangga, juga dapat bekerjasama dengan kaum
laki-laki. Kepemimpinan seorang wanita dilihat dari bentuk
kedewasaannya dalam mengatasiberbagai masalah yang dihadapi,
terutama sesuai dengan bidang yang dipimpinnya tanpa
meninggalkan sifat kewanitaannya. Karena itu, kepemimpinan
wanita perlu didefinisikan kembali, seperti dikemukakan Noerhadi
(dalam Tan, 1991 : 11) yaitu,... ini berartibahwa konsep
kepemimpinan yang lebih memperoleh corak pengertian pria harus
siap mengalami redefinisi sedemikian rupa sehingga kepemimpinan
menurutt perspektif wanita dimungkinkan. Masyarakat kita yang
memberi tempat tinggi pada citra keibuan akan menopang pemimpin
sebagai ibu dan sudah menjurus ke arah itu. kepemimpinan berarti
kompetisi dan hierarki, berkaitan dengan masalah kekuasaan dan
tanggung jawab. Dari segi wanita, pengertian ini perlu mendapat
redefinisi, seperti halnya kekuasaan juga memperoleh redefinisi
menurut konteks budaya yang kita hadapi.Akhirnya kepemimpinan
dapat didefinisikan sebagai bentuk kedewasaan. Sedangkan
kedewasaan adalah kemampuan mengolah dilema penghayatan serta
manifestasinya: integritas dan keterlibatan. Ciri khas kepribadian
pemimpin terlettak pada kedewasaan yang merupakan bentuk
kepribadian yang pada wanita berkembang pula maskulinitas, pada

266
pria aspek feminitas, dalam arti bahwa kepemimpinan sekaligus
menggabungkan kedewasaan Maskulin maupun feminim dalam satu
pribadi tegas dan peka, perkasa dan lembut, tegar tetapi penuh
empati. Kepemimpinan berarti pengembangan sifat androgy, baik
pada pria maupun pada wanita sehingga bagi wanita tidak
melalaikan aspek maskulin pada perkembangan dirinya. Wanita
yang mampu dan bertindak sebagai pemimpin, memiliki sifat ganda
baik sebagai wanita yang feminim maupun memiliki kekuatan
berupa, tegas, tegar, dan keperkasaan dalam arti mampu mengambil
keputusan yang tepat seperti halnya dilakukan laki-laki. Hal ini,
merupakan sifat yang diperlukan seorang pemimpin, tanpa hal yang
itu akan sulit dilaksanakan, mengingat banyak pendapat bahwa
wanita adalah mahluk yang lemah, tetapi sebenarnya tidaklah
demikian. Wanita sebagai pemimpin tidak jarang menghadapi
banyak hambatan yang berasal dari sikap budaya masyarakat yang
keberatan, mengingat bahwa laki-laki berfungsi sebagai pelindung
dan kepala keluarga. Begitu pula hambatan fisik wanita yang
dianggap tidak mampu melaksanakan tugas-tugas berat. Untuk lebih
jelasnya Ibrahim (dalam Tan, 1991:16) menguraikan beberapa
hambatan yang muncul dari kepemimpinan wanita, sebagai
berikut,Pertama, hambatan fisik. Perempuan, katanya, dibenani
tugas “kontrak” untuk mengandung, melahirkan, dan menyusui.
Keharusan ini mengurangi keleluasaan mereka untuk aktif terus
menerus dalam berbagai bidang kehidupan. Bayangkan jika
perempuan harus melahirkan sampai lebih selusin anak. Pastilahusia
produktifnya habis dipakai untuk tugas-tugas reproduktif yang mulia
itu.Kedua, hambatan teologis.Untuk waktu yang lama, perempuan
dipandang sebagai mahluk yang dicipta untuk lelaki. Termasuk
mendampingi mereka, menghiburnya, dan mengurus keperluannya.
Perempuan, menurut cerita teologis seperti ini, diciptakan dari rusuk
lelaki. Cerita ini telah jauh merasuk dalam benak banyak orang, dan
secara psikologis menjadi salah satu faktor penghambat perempuan
untuk mengambil peran yang berarti.Ketiga, hambatan sosial
budaya. Terutama dalam bentuk stereotipikal.

267
Pandangan ini melihat perempuan sebagai mahluk yang
pasif, lemah, perasa, tergantung, dan menerima keadaan.
Sebaliknya, lelaki dinilai sebagai mahluk yang aktif, kuat, cerdas,
mandiri, dan sebagainya. Pandangan ini menempatkan lelaki secara
sosio-kultural lebih tinggi “derajatnya” dibanding
perempuan.Keempat, hambatan sikap pandang. Hambatan ini antara
lain bisa dimunculkan oleh pandangan dikotomistis antara tugas
perempuan dan lelaki. Perempuan dinilai sebagai mahluk rumah,
sedangkan lelaki dilihat sebagai mahluk luar rumah. Pandangan
dikotomistis seperti ini boleh jadi telahmembuat perempuan merasa
risi keluar rumah, dan visi bahwa tugas-tugas kerumahtanggaan
tidak layak digeluti lelaki.Kelima, hambatan historis. Kurangnya
nama perempuan dalam sejarah di masa lalu bisa dipakai
membenarkan ketidakmampuan perempuan untuk berkiprah seperti
halnya lelaki. Lima hambatan tersebut menyebabkan potensi
kepemimpinan wanita menjadi tidak mendapat tempat yang layak di
dalam kehidupan, tetapi dengan adanya arus informasi dan
komunikasi yang masuk dan diterima oleh kaum wanita
menyebabkan kesempatan untuk mengembangkan diri dan
kepemimpinannya menjadi terbuka lebar. Bagi wanita yang
memiliki pendidikan cukup sesuai dengan Undang-Undang Wajib
Belajar telah memberi kesempatan kepada wanita untuk berkarier
sesuai dengan kemampuannya apalagi dengan kuatnya arus
informasi yang diterima di rumah melalui televisi, radio, surat kabar
ataupun majalah, telah membuka cakrawala wanita untuk berusaha
seluas-luasnya. Apabila wanita sebagai ibu rumah tangga hanya
bertugas sebagai mahluk yang harus melahirkan terus menerus tentu
saja kesempatan untuk mengembangkan diri hampir tersita untuk
mengandung, melahirkan dan mengurus anak, tetapi dengan adanya
alat kontrasepsi menyebabkan kelahiran yang banyak dapat diatasi
bahkan dijarangkan, sehingga kesempatan untuk mendidik anak dan
mengembangkan dirinya menjadi lebih terbuka.
Untuk dapat menjadi seorang pemimpin bagi wanita, tidaklah
mudah terutama sekali adalah kemampuan yang ada dalam dirinya

268
yang ditunjang oleh latar belakang pendidikan yang sesuai dengan
bidang yang akan dipegangnya, sehingga untuk menjadi seorang
pemimpin yang berhasil terdapat beberapa nilai dasar
kepemimpinan, menurut Tilaar (dalam Tan, 1991 : 71-72) sebagai
berikut :
a) Intelegensi yang relatif lebih tinggi daripada yang dipimpin
b) Berfikir positifkedewasaan sosial dan cakupan jangkauan yang
luas
c) Menjadi panutan yang baik
d) Menjadi pendengar yang baik
e) Keterbukaan dalam berkomunikasi
f) Tidak mudah menyerah

Nilai dasar kepemimpinan tersebut merupakan arah yang


harus dijalankan seorang pemimpin dalam menjalankan organisasi
yang dipimpinnya sesuai dengan tujuan yang harus dicapai. Apabila
seorang pemimpin telah menjalankan nilai dasar kepemimpinan,
maka antara pemimpin wanita dan laki-laki tidak ada bedanya,
sehingga proses organisasi atau institusi yang dipimpinnya akan
berjalan sesuai tujuan dengan meminimalkan resiko yang mungkin
muncul. Karena itu, kepemimpinan wanita dimanapun juga perlu
diberi kesempatan yang sama seperti yang dikemukakan Yusuf
(dalam Tan, 1991 : 38) yaitu,
a) Kepemimpinan perempuan dalam era pembanunan sekarang dan
masa yang akan datang mempunyai potensi dan peran yang besar
dalam pembangunan politik, ekonomi, sosial-budaya, dan agama
bangsa
b) Kepemimpinan perempuan dapat berkembang jika pendidikan
perempuan dapat ditingkatkan sama dengan laki-laki.
c) Kepemimpinan perempuan harus dinyatakan perlu dan penting
untuk dikembangkan disegala bidang dan bagi semua tingkat.
d) Pemimpin laki-laki perlu diyakinkan pentingnya kepemimpinan
perempuan, dan diyakinkan bahwa kepemimpinan perempuan
tidak akan menyaingi potensi kepemimpinan laki-laki. Namun

269
justru akan melengkapi dan memperkaya kepemimpinan laki-
laki. Untuk itu kepemimpinan laki-laki perlu memberikan
kesempatan yang sebanyak-banyaknya kepada pemimpin
perempua.
e) Pemerintah bersama-sama dengan organisasi-organisasi
perempuan perlu menyusun “masterplan”, tentang bagaimana
meningkatkan kepemimpinan perempuan di segala bidang
kehidupan bagsa dan negara.

Dengan demikian, bahwa kepemimpinan wanita berfungsi


sebagai mitra dari kepemimpinan laki-laki, dan wanita memiliki
porsi yang jelas keikutsertaannya dalam pembangunan bangsa dan
negara. Lambat laun kedudukan dan kepemimpinan wanita secara
nyata akan sama dengan kaum laki-laki, sehingga tidak ada lagi
pemisahan gender dalam berusaha dan mengabdikandiri untuk
pembangunan yang sesuai dengan cita-cita nasional.

3. Partisipasi Politik Wanita


Keberhasilan program pemerintah dan pembangunan yang
dicita-citakan tergantung pada partisipasi seluruh masyarakat,
sehingga semakin tinggi partisipasi masyarakat, maka akan semakin
berhasil pencapaian tujuan pembangunan yang ingin dicapai. Karena
itu, dalam program pemerintah sebagai bagian dari pembangunan
sangat dipengaruhi oleh unsur-unsur masyarakat, yang pada
hakekatnya bahwa pembangunan dilaksanakan dan ditujukan dari
masyarakat, oleh masyarakat, dan untuk masyarakat.
Dengan demikian, bahwa setiap masyarakat sebagai subyek
pembangunan tidak lepas dari peranan wanita yang terlibat di
dalamnya, sehingga partisipasi wanita perlu untuk diperhitungkan
jika tidakingin disebut bahwa wanita Indonesia ketinggalan
dibandingkan dengan wanita di negara-negara lain.Wanita Indonesia
memiliki peranan dalam pembangunan di bidang politik, baik
terlibat dalam kepartaian, legislatif, maupun dalam pemerintahan.
Partisipasi dalam bidang politik ini tidaklah semata-mata hanya

270
sekedar pelengkap saja melainkan harus berperan aktif di dalam
pengambilan keputusan politik yang menyangkut kepentingan
kesinambungan negara dan bangsa Hak suara wanita memiliki
kesejajaran dengan laki-laki dalam hal mengambil dan menentukan
keputusan, begitupula apabila wanita terlibat dalam pemilihan
umum untuk memilih salah satu partai politik yang menjadi
pilihannya,apalagi ia duduk sebagai pengurus dari salah satu partai,
seperti dikemukakan Nilakusuma (1960:180) yaitu,Kita harus insyaf
dan mengerti akan keharusan adanya partai-partai di suatu negara,
dan sumbangan-sumbangan apa yang diberikan partai untuk
pembangunan neegara dan bangsa. Di samping ini, kita
harusmengerti pula. Bahwa partai-partai itu adalah kumpulan dari
orang-orang yang mempunyai ideologi sama, agar di dalam
meneruskan suara merupakan kesatuan yang baik.
Dengan mempunyai kesadaran ini, wanitapun dapat
berdiri sendiri dengan kecerdasannya, memilih partai yang
sesuai dengan cita-citanya. Sungguh mengecewakan, jika partai-
partai itu menjadi sasaran pencari untuk untuk sendiri, dan
wanita dijadikan alatnya karena tidak cukup kesadaran di dalam
partai.Jika wanita duduk didalam partai, bukanlah semata-mata
untuk diberi tugas guna menyediakan jamuan pada rapat-rapat
partainya atau ketika partai kedatangan tamu agung, tetapi juga
memberikan suaranya bersama dengan anggota laki-laki Dengan
demikian, jelaslah bahwa kedudukan wanita di dalam politik
tidak dapat dikesampingkan, karena memiliki kemampuan dan
kecerdasan yang sama denganmlaki-laki. Walaupun demikian,
bahwa hak-hak politik yang dimiliki wanita pada kenyataannya
tidaklah sesuai yang diinginkan,sebagaimana Suwondo
(1981:141) mengemukakan,

1) Kenyataan bahwa jumlah wanita yang duduk dalam badanbadan


legislatif belum memadai, disebabkan oleh sistem pencalonan
melalui daftarcalon, di mana wanita dicantumkan di bagian
bawah dari daftar.

271
2) Kenyataan yang menunjukkan bahwa jabatan/kdudukan
penentuan kebijaksanaan (policy making) belum banyak diisi
oleh kaum wanita. Maka dalam rencana Kegiatan Nasional
Wanita Indonesia antara lain disarankan mengenai bidang ini :

a. Menggiatkan pendidikan di kalangan wanita tentang


pengetahuan kewarganegaraan dan perundang-undangan
b. Meningkatkan partisipasi wanita dibidang pembuatan
perundang-undangan yang perlu segera dikeluarkan
mengenai : catatan sipil, adop, sihukum waris atas dasar
persamaan hak antara pria dan wanita, hukum acara untuk
pengadilan agama; pemberantasan pelacuran; pengadilan
anak dan kesejahteraan anak
c. Mengusahakan perbaikan dalam bidang pencalonan anggota-
anggota wanita dalam badan eksekutif, legislatif, dan
yudikatif
d. Mengadakan kegiatan pengawasan terhadap pelaksanaan
undang-undang, terutama yang menyangkut kedudukan dan
kesempatan bagi wanita
e. Mengenai peranan wanita dalam kerjasama international :
 dalam pelaksanaan kerjasama international, regional, dan
sub regional hendaknya wanita diikutsertakan dalam
penentuan kebijaksanaan (policy making).
 Pemerintah menjamin bahwa wanita terwakili secara
seimbang di antara utusan-utusan inti ke semua badan
international, koperensi, termasuk yang menangani
masalah
 masalah politik, hukum, pembangunan ekonomi dan
sosial, perencanaan, administrasi dan keuangan, ilmu dan
teknologi, lingkungan dan kependudukan.
 Dalam kerjasama di lingkungan ASEAN, hendaknya
segera disertakan pembentukan Permanent Committee on
Women dalam struktur ASEAN.

272
Partisipasi wanita dalam bidang politik, walaupun masih
kurang, nampaknya wanita telah berusaha ke arah yang lebih baik
dengan mengeluarkan peraturan yang mewajibkan setiap partai
peserta pemilu yang dimulai dari tahun2004 untuk memasukkan
anggota legislatif yang terpilihsebanyak 30%, begitupula di badan
legislatif seperti halnya DPR/DPRD Tk.I dan Tk. II anggotanya
minimal30 % harus wanita. Keadaan ini merupakan hal yang
menggembirakan walaupun tidak sebagian atau 50 % wanita, tetapi
ke arah proporsi yang seimbang telah dan akan dilaksanakan, yang
berarti mengalami perbaikan dari sebelumnya.Kenyataan yang tidak
dapat dipungkiri bahwa peranan wanita dalam pembangunan
nampaknya harus mendapat porsi yang seimbang dengan kaum laki-
laki, sebagaimana dikemukakan oleh Yusuf (dalam Tan, 1991 : 35)
sebagai berikut, Di bidang kehidupan politik, baik dari segi
eksekutif, legislatif maupun yudikatifnya, kepemimpinan
perempuan telah mulai diperhitungkan walaupun belum seimbang
dengan proporsinya dalam masyarakat. Jumlah menteri dalam
kabinet terbatas, itupun hanya kepentingan tertentu saja yang
mestinya ditambah. Sekertaris jendral, direktur jendral dapat
dihitung dengan jari. Apakah jabatan yang penuh tanggung jawab
tersebut harus dipegang oleh pemimpin laki-laki ? pemimpin
perempuan dengan kualitas yang sama nampaknya belum mungkin
dipercayai memegang jabatan tersebut. Pemimpin perempuan dalam
bidang pertahanan dan keamanan ? Nampaknya partisipasi wanita
dalam bidang politik ini perlu dikaji kembali mengingat jumlahnya
tidak sebanding dengan jumlah wanita yang seharusnya berperan.
Karena itu, perlu dikaji kembali bentuk partisipasi yang nyata dalam
kehidupan politik bagi kaum wanita. Partisipasi politik bagi kaum
wanita perlu mendapatkan penjelasan, sehingga pengertian
partisipasi menjadi jelas, sehingga Budiardjo (1981:3) memberikan
penjelasannya yaitu,Di negara-negara demokratis pemikiran yang
mendasari konsep partisipasi politik ialah bahwa kedaulatan ada di
tangan rakyat, yang melaksanakannya melalui kegiatan bersama
untuk menetapkan tujuan-tujuan serta masa depan masyarakat itu

273
dan untuk menentukan orang-orang yang akan memegangtampuk
pimpinan untuk masa berikutnya. Jadi partisipasi politik merupakan
suatu pengejawantahan dari penyelenggaraan kekuasaan politik
yang absah oleh rakyat.
Partisipasi politik seperti di atas tentu saja akan berarti apabil
wanita turut terlibat di dalamnya. Di dalam negara yang sedang
belajar menuju demokratis yang sesungguhnya seperti Indonesia,
adanya partisipasi wanita yang lebih besar maka dianggap menjadi
lebih baik. Tingginya tingkat partisipasi wanita dapat ditunjukkan
dalam mengikuti dan memahami masalah politik dan
keterlibatannya dalam kegiatan-kegiatan politik tersebut. Sebaliknya
apabila tingkat partisipasi politik bagi wanita itu rendah maka
dianggap kurang baik, dicirikan dengan banyak kaum wanita yang
tidak menaruh perhatian pada masalah politik atau kenegaraan.
Akibatnya dikhawatirkan apabila terjadi kurangnya pendapat
mengenai kebutuhan politik wanita yang dikemukakan, maka kepala
negara menjadi kurang tanggap terhadap kebutuhan dan aspirasi
kaum wanita dan menjadi terabaikan, sehingga cenderung akan
melayani kepentingan beberapa kelompok saja.
Dengan demikian, bahwa partisipasi politik yang dapat
dilakukan oleh wanita dapat melalui beberapa jalur, yang meliputi :
a) Bagi ibu rumah tangga yang tidak bekerja secara formal dapat
berperan aktif di lingkungannya sendiri melalui berbagai
kegiatan yang mendukung program pemerintah, seperti PKK,
Posyandu, KB, dan lain-lain kegiatan yang menggerakan ibu-ibu
ke arah kepentingan bersama. Begitu pula turut memberi
penjelasan akan pentingnya menjadi pemilih dalam pemilu yang
berlangsung lima tahun sekali guna melangsungkan kegiatan
demokrasi dan kenegaraan
b) Wanita yang menginginkan karier di bidang politik dapat
menjadi anggota salah satu partai politik yang sesuai dengan
ideologinya, terutama dalam memperjuangkan kaum wanita, dan
yang bersangkutan dapat mencalonkan diri sebagaianggota

274
legislatif untuk dipilih oleh masyarakat pada saat
dilaksanakannya pemilu.
c) Wanita yang memilih karier di eksekutif atau pemerintahan
dapat menjalankan fungsi sesuai dengankemampuan, latar
belakang pendidikan dan beban tugas yang diberikan kepadanya
dengan penuh rasa tanggung jawab, apalagi yang bersangkutan
dituntutuntuk memiliki keterampilan dan kemampuan
memimpin, sehingga tidak tergantung pada laki-laki. Kegiatan di
pemerintahan ini diharapkan menjadi seorang pengambilan
keputusan, seeprti menjadi lurah/kepala desa, camat, kepala
daerah, atau menjadi kepala bidang/bagian bahkan kepala
instansi di tempat kerjanya.
d) Wanita yang bekerja di bidang yudikatif atau berhubungan
dengan hukum sebagai pengacara, jaksa, hakim, atau sebagai
polisi penyidik perkara, dapat bekerja dengan jujur dan adil demi
tegaknya hukum itu sendiri, tanpa membedakan latar belakang
agama, suku, budaya, daerah, pendidikan, golongan, dan lain-
lain.

Dengan demikian, bahwa partisipasi yang dilakukan wanita


tidak saja sebagai partisipasi pasif, juga sebaiknya partisipasi aktif
sebagai penentu kebijakan di tempat yang bersangkutan berusaha,
agar benar-benar wanita keberadaannya dapat diperhitungkan.

275
Sumber Referensi

Noerhadi, Toeti Heraty. 1991. Wanita dan Kepemimpinan


Perempuan Indonesia Pemimpin Masa Depan. Jakarta : Pustaka
Sinar Harapan.
Soekarnoputri, Rachmawati. 1991. Peranan Wanita dalam
Kehidupan Politi Indonesia. Perempuan Indonesia Pemimpin
Masa Depan, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.
Sukarno. 1963. Sarinah : Kewajiban wanita dalam perdjoangan
Republik Indonesia. Jakarta : PT. Gramedia.
Mufidah. Isu-isu Gender Kontempor. Malang: Maliki Press. 2010
Suwondo, Nani. 1981. Kedudukan Wanita Indonesia dalam Hukum
dan Masyarakat. Jakarta : Ghalia Indonesia. Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan
Ulfah Subadio Maria. Peranan dan Kedudukan Wanita Indonesia.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 1994.

276
HAK ASASI DAN PERSFEKTIF GENDER
Oleh : Wildan Hamdani_1138030223_5-F

A. Pengertian dan Hakikat HAM


Secara etimologis, Hak Asasi Manusia terbentuk dari 3
kata, hak, asai, dan manusia. Hak Asasi Manusia (HAM) dalam
bahasa Indonesia diartikan sebagai hak-hak mendasar pada diri
manusia.
Hak Asasi Manusia adalah hak dasar yang dimiliki manusia
sejak manusia itu dilahirkan. Hak asasi dapat dirumuskan sebagai
hak yang melekat dengan kodrat kita sebagai manusia yang bila
tidak ada hak tersebut maka mustahil kita dapat hidup sebagai
manusia.
John Lock menyatakan bahwa Hak Asasi Manusia adalah
hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan yang maha pencipta
sebagai sesuatu yang bersifat kodrati. Karena sifatnya yang
demikian, maka tidak ada kekuasaan apapun di dunia ini yang dapat
mencabut Hak Asasi Manusia. Ia adalah hak dasar dari setiap
manusia yang dibawa sejak lahir sebagai anugerah Tuhan yang
maha esa bukan pemberian manusia ataupun lembaga kekuasaan.
Setiap orang berhak untuk mempertahankan hak asasinya masing-
masing agar tidak diganggu oleh orang lain.

B. Sejarah dan Bentuk-bentuk HAM


Kalangan ahli HAM menyatakan bahwa konsep ini bermula
dan berkembang di Eropa baru kemudian merambah ke Negara-
negara lain. Untuk melacak embrio dan sejarah perkembangan
konsep HAM, perlu dijelaskan sejarah Hak Asasi Manusia.
Meskipun HAM baru dideklarasikan pada tahun 1948, namun
embrionya sudah ada mulai sejak zaman sebelum masehi. Filosof
Yunani, seperti Socrates (470-399 SM) dan Plato (428-348 SM)
meletakkan dasar bagi perlindugan dan jaminan diakuinya Hak

277
Asasi Manusia. Konsepsinya menganjurkan masyarakat untuk
melakukan social control kepada penguasa yang zalim dan tidak
mengakui nilai-nilai keadilan dan kebenaran. Aristoteles (348-322
SM) mengajarkan pemerintah harus mendasarkan kekuasaannya
pada kemauan dan kehendak warga negaranya. Dokumen-dokumen
tersebut adalah sebagai berikut:

Magna Charta
Pada awal abad ke-XII, Raja Richard yang dikenal adil dan
bijaksana diganti oleh Raja John Lackland yang bertindak
sewenang-wenang terhadap rakyat dan para bangsawan. Tindakan
Raja John yang sewenang-wenang tersebut mengakibatkan
ketidakpuasan para bangsawan yang akhirnya berhasil mengajak
Raja John untuk membuat suatu perjanjian yang disebut Magna
Charta atau Piagam Agung. Piagam ini dicetuskan pada 15 Juni
1215 yang prinsip dasarnya adalah memuat pembatasan kekuasaan
Raja dan Hak Asasi Manusia lebih penting daripada kedaulatan Raja
yang sewenang-wenang tersebut mengakibatkan ketidakpuasan para
bangsawan yang akhirnya berhasil mengajak Raja John untuk
membuat suatu perjanjian yang disebut Magna Charta atau Piagam
Agung. Piagam ini dicetuskan pada 15 Juni 1215 yang prinsip
dasarnya adalah memuat pembatasan kekuasaan Raja dan Hak Asasi
Manusia lebih penting daripada kedaulatan Raja.
Setelah perang dunia kedua, mulai tahun 1946, disusunlah
rancangan piagam hak-hak asasi manusia oleh organisasi kerja sama
untuk social ekonomi Perserikatan Bangsa-Bangsa yang terdiri dari
18 anggota. PBB membentuk komisi Hak Asasi Manusia
(Commission of Human Rights). Sidangnya dimulai pada bulan
januari 1947 di bawah pimpinan Ny. Eleanor Rossevelt. Baru dua
tahun kemudian, tanggal 10 Desember 1948 Sidang Umum PBB
yang diselenggarakan di Istana Chaillot, Paris menerima baik hasil
kerja panitia tersebut. Karya itu berupa Universal Declaration of
Human Rights atau Pernyataan Sedunia tentang Hak-Hak Asasi
Manusia, yang terdiri dari 30 pasal. Dari 58 negara yang terwakil

278
dalam siding umum tersebut, 48 negara menyatakan persetujuannya,
8 negara abstain, dan dua Negara lainnya absen. Oleh karena itu,
setiap tanggal 10 Desember diperingati sebagai hari Hak Asasi
Manusia.
Adapun pembagian bidang, jenis dan macam Hak Asasi
Manusia yaitu diantaranya:
 Hak asasi pribadi (Personal Rights)
 Hak asasi politik (Political Rights)
 Hak asasi ekonomi (Property Rights)
 Hak asasi peradilan (Procedural Rights)
 Hak asasi social budaya (Social Culture Rights)

C. Nilai-nilai HAM
Nilai-nilai HAM berlaku di semua tempat. Dengan demikian
pemahaman dan pengakuan terhadap nilai- nilai HAM berlaku sama
dan universal bagi semua
bangsa dan Negara. Dalam kaitannya dengan hal ini, ada dua
pandangan dalam melihat relativisme nilai-nilai HAM yaitu strong
relativist dan weak relativist. Strong relativist beranggapan bahwa
nilai-nilai HAM dan nilai-nilai lainnya secara prinsip ditentukan
oleh budaya dan lingkungan tertentu, sedangkan universalitas nilai
HAM hanya menjadi pengontrol dari nilai-nilai Hak Asasi Manusia
yang didasari oleh budaya local atau lingkungan yang spesifik.
Berdasarkan pandangan ini diakuinya adanya nilai-nilai HAM yang
bersifat particular dan universal. Sementara Weak relativist memberi
penekanan bahwa nilai-nilai HAM bersifat universal dan sulit
dimodifikasi berdasarkan pertimbangan budaya tertentu. Jadi, hanya
mengakui nilai-nilai Hak Asasi Manusia universal.

D. HAM dalam Tinjauan Islam


Islam adalah agama yang sempurna, karena di dalam
ajarannya sudah tercakup semua tuntunan ideal bagi kehidupan
manusia di dunia agar selamat dan bahagia menuju kehidupan

279
akhirat yang kekal dan abadi. Meskipun istilah HAM belum dikenal
ketika Islam turun pada masyarakat Arab pada abad ke-7 Masehi,
namun prinsip-prinsip penghormatan dan penghargaan pada
manusia dan kemanusiaan sudah diajarkan Islam secara tegas.
Manusia adalah makhluk yang bermartabat dan harus
dihormati tanpa membedakan ras, suku bangsa, agama, warna kulit,
bahasa, jenis kelamin, jenis gender, dan ikatan primordial lainnya.
Salah satu bentuk penghormatan kepada manusia adalah menjaga
kelangsungan hidupnya, nyawanya tidak boleh dihilangkan (Q.S
An-Naml [27]: 33; al-Maidah [5]: 32), juga fisik dan psikisnya tidak
boleh disakiti untuk alasan apapun (Q.S al-Maidah [5]: 45). Semua
manusia harus mendapatkan perlindungan dari perlakuan
diskriminasi, eksploitasi, dan kekerasan tanpa pembedaan.

E. HAM dalam Perundang-undangan


Indonesia adalah bagian dari masyarakat internasional, dan
sebelum declaration of human right ada, Indonesia telah dengan
tegas menyatakan komitmennya terhadap perlindungan dan
pemajuan HAM sebagaimana dinyatakan dalam mukaddimah UUD
1945 yang berbunyi: “ Sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak
segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia
harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan
perikeadilan”. Baru setelah 54 tahun merdeka, Indonesia memiliki
Undang-Undang tentang HAM, yaitu Undang-Undang No. 39
Tahun 1999 yang terdiri dari 11 bab dan 106 pasal.

F. Pelanggaran dan Pengadilan HAM


Pelanggaran HAM dikelompokkan menjadi dua, yaitu
pelanggaran berat dan pelanggaran ringan. Ada pandangan bahwa
apa yang dianggap sebagai pelanggaran HAM yang berat adalah
sesuatu yang langsung mengancam kehidupan atau integritas fisik
seseorang. Ada kualifikasi yang menyatakan suatu pelanggaran
HAM masuk kategori berat atau bukan, didasarkan juga pada sifat
kejahatan, yaitu sistematis dan meluas. Sistemastis dikonstruksikan

280
sebagai suatu kebijakan atau rangkaian tindakan yang telah
direncanakan. Sementara itu, meluas menunjuk pada akibat tindakan
yang menimbulkan banyak korban dan kerusakan yang parah secara
luas. saat Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 mulai berlaku,
dibentuklah Pengadilan HAM di beberapa daerah yang daerah
hukumnya berada pada Pengadilan Negeri.

GENDER
A. Konsep Gender
Istilah gender pertama kali diperkenalkan oleh Robert Stoller
(1968) untuk memisahkan pencirian manusia secara sosial budaya
dan fisik biologis. Namun, selain R. Stoller, pada tahun 1972 Ann
Oakley mengutarakan pendapatnya dalam sebuah buku yang
mengatakan gender berarti perbedaan yang bukan biologis dan
bukan kodrat Tuhan. Perbedaan biologis yakni perbedaan jenis
kelamin (sex) adalah kodrat Tuhan dan oleh karenanya secara
permanen berbeda. Sedangkan gender adalah perbedaan perilaku
(behavioral differences) antara laki-laki dan perempuan yang
konstruksi secara sosial, yakni perbedaan yang bukan kodrat dan
bukan ketentuan Tuhan melainkan diciptakan oleh manusia (laki-
laki dan perempuan) melalui proses sosial dan kultural yang
panjang.
Untuk memahami konsep gender harus dibedakan kata
gender dengan kata seks (jenis kelamin). Pengertian jenis kelamin
merupakan pensifatan atau pembagi-an dua jenis kelamin manusia
yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin
tertentu. Misalnya, bahwa manusia jenis laki-laki adalah manusia
yang memiliki atau bersifat seperti daftar berikut ini: laki-laki
adalah manusia yang memiliki penis, memiliki jakala (kala menjing)
dan memproduksi sperma. Sedang-kan perempuan memiliki alat
reproduksi seperti rahim dan saluran untuk melahir-kan,
memroduksi telur, memiliki vagina, dan mempunyai alat menyusui.
Alat-alat tersebut secara biologis melekat pada manusia jenis
perempuan dan laki-laki selamanya. Artinya secara biologis alat-alat

281
tersebut tidak bisa dipertukarkan antara alat biologis yang melekat
pada manusia laki-laki dan perempuan. Secara permanen tidak
berubah dan merupakan ketentuan biologis atau spring dikatakan
sebagai ketentuan Tuhan atau kodrat
Sedangkan konsep lainnya adalah konsep gender, yakni suatu
sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang
dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Misalnya, bahwa
perempuan itu dikenal lemah lembut, cantik, emosional, atau
keibuan. Sementara laki-laki dianggap: kuat, rasional, jantan,
perkasa. Ciri dari sifat itu sendiri merupakan sifat-sifat yang dapat
dipertukarkan. Artinya ada laki-laki yang emosional, lemah lembut,
keibuan, sementara ada juga perempuan yang kuat, rasionai,
perkasa. Perubahan ciri dari sifat-sifat itu dapat terjadi dari waktu ke
waktu dan dari tempat ke tempat yang lain. Misalnya saja zaman
dahulu di suatu suku tertentu perempuan lebih kuat dari laki-laki,
tetapi pada zaman yang lain dan di tempat yang berbeda laki-laki
yang lebih kuat. Juga, perubahan bisa terjadi dari kelas ke kelas
masyarakat yang berbeda. Di suku tertentu, perempuan kelas bawah
di pedesaan lebih kuat dibandingkan kaum laki-laki. Semua hal yang
dapat dipertukarkan antara sifat perempuan dan laki-laki, yang bisa
berubah dari waktu ke waktu serta berbeda dari tempat ke tempat
lainnya, maupun berbeda dari suatu kelas ke kelas yang lain, itulah
yang dikenal dengan konsep gender.
Sejarah perbedaan gender (gender differences) antara
manusia jenis laki-iaki dan perempuan terjadi melalui proses yang
sangat panjang. Oleh karena itu terbentuknya perbedaan-perbedaan
gender dikarenakan oleh banyak hal, di antaranya dibentuk,
disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruksi secara sosial atau
kultural, meialui ajaran keagamaan maupun negara. Melalui proses
panjang, sosialisasi gender tersebut akhirnya dianggap menjadi
ketentuan Tuhan seolah-olah bersifat biologis yang tidak bisa diubah
lagi, sehingga perbedaan-perbedaan gender dianggap dan dipahami
sebagai kodrat laki-laki dan kodrat perempuan.

282
Sebaliknya, melalui dialektika, konstruksi sosial gender yang
tersosialisasi-kan secara evolusional dan perlahan-lahan
mempengaruhi biologis masing-masing jenis kelamin. Misalnya,
karena konstruksi sosial gender, kaum laki-laki harus bersifat kuat
dan agresif maka kaum laki-laki kemudian terlatih dan tersosialisasi
serta termotivasi untukmenjadi atau menuju ke sifat gender yang
ditentukan oleh suatu masyarakat, yakni secara fisik lebih kuat dan
lebih besar. Sebaliknya, karena kaum perempuan harus lemah
lembut, maka sejak bayi proses sosialisasi tersebut tidak saja
berpengaruh kepada perkembangan emosi dan visi serta idologi
kaum perempuan, tetapi juga mempengaruhi perkembangan fisik
dan biologis selanjut-nya. Karena proses sosiaiisasi dan rekonstruksi
berlangsung secara mapan dan lama, akhirnya menjadi sulit
dibedakan apakah sifat-sjfat gender itu, seperti kaum perempuan
lemah lembut dan kaum laki-laki kuat perkasa, dikonstruksi atau
dibentuk oleh masyarakat atau kodrat biologis yang ditetapkan oleh
Tuhan. Namun, dengan menggunakan pedoman bahwa setiap sifat
biasanya melekat pada jenis kelamin tertentu dan sepanjang sifat-
sifat tersebut bisa dipertukarkan, maka sifat tersebut adalah hasil
konstruksi masyarakat, dan sama sekali bukanlah kodrat.
Dalam menjernihkan perbedaan antara seks dan gender ini,
yang menjadi masalah adalah, terjadi kerancuan dan pemutarbalikan
makna tentang apa yang disebut seks dan gender. Dewasa ini terjadi
peneguhan pemahaman yang tidak pada tempatnya di masyarakat, di
mana apa yang sesungguhnya gender, karena pada dasarnya
konstruksi sosial justru dianggap sebagai kodrat yang berarti
ketentuan biologis atau ketentuan Tuhan. Justru sebagian besar yang
dewasa ini sering dianggap atau dinamakan sebagai "kodrat wanita"
adalah konstruksi sosial dan kultural atau gender. Misalnya saja
sering diungkapkan bahwa mendidik anak, mengelola dan merawat
kebersihan dan keindahan rumah tangga atau urusan domestik sering
dianggap sebagai "kodrat wanita". Padahal kenyataannya, bahwa
kaum perempuan memiliki peran gender dalam mendidik anak,
merawat dan mengelola kebersihan dan keindahan rumah tangga

283
adalah. konstruksi kultural dalam suatu masyarakat tertentu. Oleh
karena itu, boleh jadi urusan mendidik anak dan merawat kebersihan
rumah tangga bisa dilakukan bleh kaum Iaki-laki. O!eh karena jenis
pekerjaan itu bisa dipertukarkan dan tidak bersifat universal, apa
yang sering disebut sebagai "kodrat wanita" atau "takdir Tuhan atas
wanita" dalam kasus mendidik anak dan mengatur kebersihan rumah
tangga, sesungguhnya, adalah gender.
Jika kita melihat tentang perbedaan gender yang terjadi saat
ini maka akan muncul beberapa masalah yang diakibatkan oleh
gender dan lebih mengarah bagi para kaum hawa. Masalah-masalah
yang muncul akibat gender bagi para kaum wanita antara lain
adalah:
a. Marginalisasi
Marginalisasi adalah suatu proses yang mengakibatkan
kemiskinan. Hal ini dapat terjadi karena berbagai faktor
diantaranya adalah bencana alam, konflik bersenjata
penggusuran atau proses eksploitasi. Dan dalam masalah ini
pengaruh terhadap kaum perempuan didominasi karena faktor
gender.

b. Subordinasi
Subordinasi timbul sebagai akibat dari pandangan gender
terhadap kaum perempuan. Saat ini masyarakat selalu
menempatkan perempuan pada posisi yang lebih rendah daripada
laki-laki, akibatnya akses dan partisipasi perempuan dalam
berbagai bidang pembangunan terbatas.

c. Stereotipe
Suatu pelabelan/ penandaan negatif terhadap kaum perempuan
oleh masyarakat yang selalu membuat pihak perempaun selalu
dirugikan. Dampak dari stereotipe itu sendiri diantaranya adalah
menyulitkan, membatasi, memiskinkan dan juga merugikan para
kaum perempuan.

284
d. Violence ( Kekerasn)
Violence adalah invasi atau serangan terhadap fisik maupun
integritas mental psikologis seseorang. Violence terhadap
perempuan kerap terjadi karena stereotipe gender. Pada dasarnya
hal ini dapat terjadi karena ketidaksetaraan kekuatan dalam
masyarakat.
e. Beban ganda
Beban ganda adalah suatu pembagian tugas dan tanggung jawab
yang selalu memberatkan salah satu pihak saja.

B. Isu Gender Dalam Islam


Didalam agama Islam sendiri juga terjadi beberapa masalah
mengenai gender itu sendiri. Ketimpangan sosial-budaya antara laki-
laki dan perempuan masih sering dipertahankan dengan dalili-dalil
agama. Dalil-dalil agama sering kali dijadikan sebagai dalih untuk
menolak kesetaraan gender, pembagian kerja berdasarkan jenis
kelamin (publik-domestik).
Berikut ini dipaparkan beberapa prinsip kesetaraan gender
dalam Islam yang seharusnya dilihat:
1. Laki-Laki dan Perempuan Sama-Sama Hamba Allah
Dalam kapasitasnya sebagai hamba Allah, laki-laki dan
perempuan akan mendapatkan penghargaan dari Tuhan sesuai kadar
pengabdiannya, sebagaimana dinyatakan surat An-Nahl/16:97, sbb:
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki
maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya
akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan
sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan
pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”.

2. Laki-Laki Dan Perempuan Sebagai Khalifah di Muka Bumi


Maksud dan tujuan penciptaan manusia di muka bumi di
samping untuk menjadi hamba yang tunduk dan patuh serta
mengabdi kepada Allah, juga untuk menjadi khalifah di bumi,
sebagaimana dinyatakan dalam surat al-An’am/6:165, sbb:

285
“Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di
bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang
lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang
diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat
siksaan-Nya, dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang”.

3. Laki-Laki Dan Perempuan Menerima Perjanjian Allah


Laki-laki dan perempuan sama-sama mengemban amanah
dan menerima perjanjian dari Tuhan. Sebelum anak manusia keluar
dari rahim ibunya, terlebih dahulu harus menerima perjanjian dari
Allah dan berikrar akan keberadaan-Nya sebagaimana dinyatakan
dalam surat Al-A’raf/7:172, sbb:
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan
anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian
terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini
Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami
menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari
kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam)
adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)".

4. Laki-Laki Dan Perempuan Sama-Sama Berpotensi Meraih


Prestasi
Peluang meraih prestasi maksimum dimiliki setiap laki-laki
maupun perempuan tanpa ada pembedaan. Islam menawarkan
konsep kesetaraan gender yang ideal dengan memberi ketegasan
bahwa prestasi individual, baik dalam bidang spiritual maupun karir
profesional tidak harus dimonopoli salah satu jenis kelamin,
sebagaimana dinyatakan dalam surat Ali-Imran/3:195, sbb:
“Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya
(dengan berfirman), "Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal
orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau
perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian
yang lain”.

286
C. Pendidikan Berkeadilan Gender
Ada beberapa fungsi dan tujuan mempelajari gender.
Diantaranya adalah berfungsi untuk menurunkan atau
mentransformasikan budaya dari satu generasi ke generasi
berikutnya. Yang kedua juga dapat berfungsi untuk mengubah
perilaku ke arah yang lebih baik. Dan yang selanjutnya dengan
mempelajari gender seharusnya kita dapat berfikir bahwa
sebernarnya antara orang-orang yang maskulin dan yang feminim
itu memiliki potensi SDM yang sama.
Jadi, dari sini dapat disimpulkan bahwa dengan mempelajari
gender maka kita akan menjadi lebih mengerti secara detail tentang
keadilan gender dan bagaimana batas-batasan memebedakan
seorang laki-laki dan perempuan dalam hak asasi manusia.

D. Isu Gender dalam HAM


Hingga saat ini banyak masyarakat yang menggap Islam
adalah agama yang selalu meletakkan perempuan dibawah laki-laki.
Padahal jika melihat islam secara historis dan juga melihat asbabul
nuzul dari ayat-ayat Al-Quran, maka kita akan paham ayat-ayat Al-
Quran diturunkan selalu dengan sebuah alasan sehingga tidak ada
pihak yang saling menyalahkan suatu pemikiran tertentu.
Salah satu contohnya mengenai Hak Waris. Dalam Al-Quran
dalam surat An-Nisa’ ayat 11 tertulis “Allah mensyariatkan
kepadamu tentang (pembagian harta warisan) bagi anak-anakmu.
Yaitu bagian seorang anak laki-laki adalah dua dan bagian
perempuan satu”. Jika kita melihat disaat peradaban Islam muncul,
anak perempuan adalah suatu hal yang tak pernah mereka inginkan.
Bahkan mengubur hidup-hidup bayi perembuan adalah hal yang
wajar. Jadi memberi seorang anak perempuan adalah dianggap
sebagai suatu hal yang sangat adil saat itu.
Walaupun sebenarnya surat An-Nisa’ 11 adalah sebuah
ukuran batas maksimal dan minimal sebuah pembagian waris itu
sendiri. Karena apa? Sebenarnya tentang pemberian waris sendiri

287
sudah dijelaskan dalam surat An-Nisa’ ayat 7 “Bagi anak laki-laki
ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya,
dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta
peninggalan ibu-bapa dan kerabat, baik sedikit maupun banyak
menurut bagian yang telah ditetapkan”. Dari sini sudah dapat
terlihat bahwa dalam Al-Quran udah dijelaskan bahwa kedudukan
laki-laki dan perempuan sama, hanya para masyarakat banyak yang
salah menafsirkan ayat-ayat Al-Quran tersebut.

E. HAM dalam Gender


Gender adalah konstruksi sosial yang menjelaskan tentang
peran manusia berdasarkan jenis kelamin. Sebab itu, masalah gender
lahir dan dipertahankan oleh masyarakat. Masyarakat umumnya
didominasi oleh peran laki-laki (patriarki). Laki-laki memiliki peran
publik (bekerja, berorganisasi, berpolitik), sementara perempuan
memiliki peran privat (mengurus anak, mencuci, melahirkan,
memasak). Ini merupakan konstruksi gender yang mainstream.
Pada perkembangannya, kaum perempuan merupakan jumlah
yang cukup banyak di masyarakat. Mereka memiliki potensi publik
(berorganisasi, berpolitik, dan bekerja) yang ternyata setara dengan
laki-laki. Namun, potensi tersebut terhambat untuk muncul akibat
pembatasan oleh budaya gender yang patriarkis.
Sebab itu, muncul gerakan emansipasi wanita (kini dikenal
dengan feminis) yang berupaya mensetarakan peran laki-laki dan
perempuan, baik di sektor publik maupun privat.
Gerakan feminis terbagi ke dalam 2 gelombang. Gelombang
pertama berlangsung awal dekade 1900-an, berfokus pada
persamaan hak sipil dan politik. Gelombang kedua era 1960-an,
berfokus pada peran yang lebih besar dalam hak-hak seksual dan
keluarga.

Gender Equality
Sebagian besar, gerakan emansipasi perempuan bertujuan
membangun Gender Equality (kesetaraan gender). Gender Equality

288
ini penting oleh sebab adanya kondisi-kondisi kaum wanita sebagai
berikut :
 Harus kerja lebih keras ketimbang laki-laki untuk
mempertahankan hidup
 Punya kendali yang terbatas seputar penghasilan dan asset
 Punya kesempatan yang lebih kecil untuk membangun dirinya
 Menjadi korban kekerasan dan intimidasi
 Punya posisi sosial yang subordinat
 Kurang terwakili dalam kebijakan dan pembuatan keputusan
 Ketidaksetaraan gender mencerminkan hilangnya potensi
manusia, baik untuk laki-laki maupun perempuan.

Sumber Referensi

Hanum, Farida. 2007. Sosiologi Gender (Diktat Mata Kuliah).


Yogyakarta: UNY.
Mufidah, 2010, Isu-isu Gender Kontenporer dalam Hukum
Keluarga. Malang: UIN-Maliki Press
Nugroho,Riant."Gender dan Strategi Pengarus-utamaanya di
Indonesia". 2008.Pustaka Pelajar:Yogyakarta
Nugroho, Riant, 2011, Gender dan Strategi Pengarus-utamaanya di
Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

289
HUMAN TRAFFICKING

Oleh : Winda Yuliana_1138030224_5-F

Pengertian Human Trafficking


Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) mendefinisikan trafficking
sebagai:
Perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan, atau
penerimaan seseorang, dengan ancaman, atau penggunaan
kekerasan, atau bentuk-bentuk pemaksaan lain, penculikan,
penipuan, kecurangan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi
rentan, atau memberi atau menerima bayaran atau manfaat untuk
memperoleh ijin dari orang yang mempunyai wewenang atas orang
lain, untuk tujuan eksploitasi. (Protokol PBB tahun 2000 untuk
Mencegah, Menanggulangi dan Menghukum Trafficking terhadap
Manusia, khususnya perempuan dan anak-anak; Suplemen Konvensi
PBB mengenai Kejahatan Lintas Batas Negara).
Dari definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa istilah
trafficking merupakan:
a. Pengertian trafficking dapat mencakup kegiatan pengiriman
tenaga kerja, yaitu kegiatan memindahkan atau mengeluarkan
seseorang dari lingkungan tempat tinggalnya/keluarganya.
Tetapi pengiriman tenaga kerja yang dimaksud tidak harus atau
tidak selalu berarti pengiriman ke luar negeri.
b. Meskipun trafficking dilakukan atas izin tenaga kerja yang
bersangkutan, izin tersebut sama sekali tidak menjadi relevan
(tidak dapat digunakan sebagai alasan untuk membenarkan
trafficking tersebut) apabila terjadi penyalahgunaan atau korban
berada dalam posisi tidak berdaya. Misalnya karena terjerat
hutang, terdesak oleh kebutuhan ekonomi, dibuat percaya bahwa
dirinya tidak mempunyai pilihan pekerjaan lain, ditipu, atau
diperdaya.

290
c. Tujuan trafficking adalah eksploitasi, terutama tenaga kerja
(dengan menguras habis tenaga yang dipekerjakan) dan
eksploitasi seksual (dengan memanfaatkan kemudaan,
kemolekan tubuh, serta daya tarik seks yang dimiliki tenaga
kerja yang yang bersangkutan dalam transaksi seks).

Sedangkan Global Alliance Against Traffic in Woman


(GAATW) mendefinisikan perdagangan(trafficking):
Semua usaha atau tindakan yang berkaitan dengan
perekrutan, pembelian, penjualan, transfer, pengiriman, atau
penerimaan seseorang dengan menggunakan penipuan atau tekanan,
termasuk pengunaan ancaman kekerasan atau penyalahgunaan
kekuasaan atau lilitan hutang dengan tujuan untuk menempatkan
atau menahan orang tersebut, baik dibayar atau tidak, untuk kerja
yang tidak diinginkan (domestik seksual atau reproduktif) dalam
kerja paksa atau dalam kondisi perbudakan, dalam suatu lingkungan
lain dari tempat dimana orang itu tinggal pada waktu penipuan,
tekanan atau lilitan hutang pertama kali.
Dari definisi ini, dapat disimpulkan bahwa istilah
perdagangan (trafficking) mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
a. Rekrutmen dan transportasi manusia
b. Diperuntukkan bekerja atau jasa/melayani
c. Untuk kepentingan pihak yang memperdagangkan

Trafficking adalah salah satu bentuk kekerasan yang


dilakukan terhadap anak, yang menyangkut kekerasan fisik,mental
dan atau seksual. Trafficking merupakan perekrutan, pengangkutan,
pemindahan, penampungan atau penerimaan seseorang dengan
ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk paksaaan
lainnya, penculikan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan
kekuasaan atau posisi rentan, ataupun memberi atau menerima
bayaran atau manfaat, untuk tujuan eksploitasi seksual, perbudakan
atau praktik-praktik lain, pengambilan organ tubuh. Berdasarkan hal
ini, dapat diketahui bahwa proses trafficking adalah perekrutan,

291
pengangkutan, pemindahan, penampungan (penyekapan),
penerimaan. Trafficking dilakukan dengan cara: ancaman,
kekerasan, paksaan, penculikan, penipuan, penyalahgunaan
wewenang. Tujuan dilakukan trafficking adalah untuk: transplantasi
organ tubuh, penyalahgunaan obat, perdagangan anak lintas batas,
pornografi, seksual komersil, perbudakan/penghambaan dan lain-
lain. Secara umum, faktor-faktor yang mendorong terjadinya
trafficking anak adalah kemiskinan, terbatasnya kesempatan kerja,
konflik sosial, lemahnya penegakan hukum, rendahnya pendidikan
dan kesehatan, kekerasan dalam rumah tangga, desakan ekonomi.
Perdagangan orang merupakan kejahatan yang keji terhadap
Hak Asasi Manusia (HAM), yang mengabaikan hak seseorang untuk
hidup bebas, tidak disiksa, kebebasan pribadi, pikiran dan hati
nurani, beragama, hak untuk tidak diperbudak, dan lainnya. Anak
dan perempuan adalah yang paling banyak menjadi korban
perdagangan orang (trafficking in persons), menempatkan mereka
pada posisi yang sangat berisiko khususnya yang berkaitan dengan
kesehatannya baik fisik maupun mental spritual, dan sangat rentan
terhadap tindak kekerasan, kehamilan yang tak dikehendaki, dan
infeksi penyakit seksual termasuk HIV/AIDS. Kondisi anak dan
perempuan yang seperti itu akan mengancam kualitas ibu bangsa
dan generasi penerus bangsa Indonesia.

Faktor Penyebab Human Trafficking


Tidak ada satu pun yang merupakan sebab khusus terjadinya
trafficking manusia di Indonesia. Trafficking disebabkan oleh
keseluruhan hal yang terdiri dari bermacam-macam kondisi serta
persoalan yang berbeda-beda. Termasuk ke dalamnya adalah:
1. Kemiskinan
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) adanya
kecenderungan jumlah penduduk miskin terus meningkat dari
11,3% pada tahun 1996 menjadi 23,4% pada tahun 1999,
walaupun berangsur-angsur telah turun kembali menjadi 17,6%
pada tahun 2002, kemiskinan telah mendorong anak-anak untuk

292
tidak bersekolah sehingga kesempatan untuk mendapatkan
keterampilan kejuruan serta kesempatan kerja menyusut. Seks
komersial kemudian menjadi sumber nafkah yang mudah untuk
mengatasi masalah pembiayaan hidup. Kemiskinan pula yang
mendorong kepergian ibu sebagai tenaga kerja wanita yang
dapat menyebabkan anak terlantar tanpa perlindungan sehingga
beresiko menjadi korban perdagangan manusia.

2. Keinginan cepat kaya


Keinginan untuk hidup lebih layak, tetapi dengan
kemampuan yang minim dan kurang mengetahui informasi pasar
kerja, menyebabkan mereka terjebak dalam lilitan hutang para
penyalur tenaga kerja dan mendorong mereka masuk dalam
dunia prostitusi.

3. Pengaruh sosial budaya


Disini misalnya, budaya pernikahan di usia muda yang
sangat rentan terhadap perceraian, yang mendorong anak
memasuki eksploitasi seksual komersial. Berdasarkan UU
Perkawinan No.1/1974, perempuan Indonesia diizinkan untuk
menikah pada usia 16 tahun atau lebih muda jika mendapat izin
dari pengadilan. Meskipun begitu, dewasa ini pernikahan dini
masih berlanjut dengan persentase 46,5% perempuan menikah
sebelum mencapai usia 18 tahun dan 21,5% sebelum mencapai
usia 16 tahun. Tradisi budaya pernikahan dini menciptakan
masalah sosio-ekonomi untuk pihak lelaki maupun perempuan
dalam perkawinan tersebut. Tetapi implikasinya terutama terlihat
jelas bagi gadis/perempuan. Masalah-masalah yang mungkin
muncul bagi perempuan dan gadis yang melakukan pernikahan
dini antara lain: Dampak buruk pada kesehatan (kehamilan
prematur, penyebaran HIV/AIDS), pendidikan terhenti,
kesempatan ekonomi terbatas, perkembangan pribadi terhambat
dan tingkat perceraian yang tinggi.

293
Masing-masing isu diatas adalah masalah sosial yang
berkenaan dengan kesejahteraan anak perempuan khususnya
penting dalam hal kerentanan terhadap perdagangan. Hal ini
dikarenakan:
o Perkembangan pribadi yang terhambat, membuat banyak
gadis tidak mempunyai bekal keterampilan kerja yang cukup
berkembang, sehingga mereka akan kesulitan untuk
berunding mengenai kodisi dan kontrak kerja, atau untuk
mencari bantuan jika mengalami kekerasan dan eksploitasi.
o Keterbatasan pendidikan, mereka sering rentan terhadap
pekerjaan yang eksploitatif dan perdagangan karena mereka
umumnya tidak terlalu paham hak-haknya.
o Peluang ekonomi yang terbatas, mengingat terbatasnya
pilihan ekonomi dan kekuatan tawar-menawar mereka,
perempuan muda rentan terhadap pekerjaan yang eksploitatif
dan perdagangan.

4. Kurangnya pencatatan kelahiran


Anak dan orang dewasa yang tidak terdaftar serta tidak
memiliki akta kelahiran amat rentan terhadap eksploitasi. Orang
yang tidak dapat memperlihatkan akta kelahirannya sering kali
kehilangan perlindungan yang diberi hukum karena dimata
negara secara teknis mereka tidak ada. Rendahnya registrasi
kelahiran, khususnya di kalangan masyarakat desa, memfasilitasi
perdagangan manusia. Agen dan pelaku perdagangan
memanfaatkan ketiadaan akta kelahiran asli untuk memalsukan
umur perempuan muda agar mereka dapat bekerja di luar negeri.
Contoh, seperti yang dikemukakan dalam bagian Kalimantan
Barat dari laporan ini (bagian VF), agen yang sah maupun gelap
memakai kantor imigrasi di Entikong, Kalimantan Barat, untuk
memproses paspor palsu bagi gadis-gadis di bawah umur.

294
5. Korupsi dan lemahnya penegakan hukum
Korupsi di Indonesia telah menjadi suatu yang lazim
dalam kehidupan sehari-hari, karena baik kalangan atas maupun
bawah telah melakukan praktik korupsi ini. Karena itulah,
korupsi memainkan peran integral dalam memfasilitasi
perdagangan perempuan dan anak di Indonesia, disamping
dalam menghalangi penyelidikan dan penuntutan kasus
perdagangan. Mulai dari biaya illegal dan pemalsuan dokumen.
Dampak korupsi ini terhadap buruh migran perempuan dan anak
harus dipelajari dari umur mereka yang masih muda dan lugu,
yang tidak tahu bagaimana cara menjaga diri di kota-kota besar
karena mereka tidak terbiasa dan sering malu untuk mencari
bantuan. Tidak peduli berapa usia dan selugu apa pun mereka,
mereka yang berimigrasi dengan dokumen palsu takut status
illegal mereka akan membuat mereka jatuh ke dalam kesulitan
lebih jauh dengan pihak berwenang atau dapat dideportasi.
Pelaku perdagangan memanfaatkan ketakutan ini, untuk terus
mengeksploitasi para perempuan dan proyek. Masalah lain yaitu
lemahnya hukum di Indonesia.
Untuk penyelidikan dan penuntutan kasus-kasus
perdagangan, sistem hukum Indonesia sampai sekarang masih
lemah, lamban dan mahal. Sangat sedikit transparansi, sehingga
hanya sedikit korban yang mempercayakan kepentingan mereka
kepada sistem tersebut. Perilaku kriminal memiliki sumber daya
dan koneksi untuk memanfaatkan sistem tersebut. Akibatnya,
banyak korban perdagangan yang tidak mau menyelesaikan
masalah melalui proses hukum. Hal ini mengakibatkan praktik
pedagangan/trafficking semakin meningkat dan masih
berlangsung.

6. Media massa
Media massa masih belum memberikan perhatian yang
penuh terhadap berita dan informasi yang lengkap tentang
trafficking dan belum memberikan kontribusi yang optimal

295
dalam upaya pencegahan maupun penghapusannya. Bahkan
tidak sedikit justru memberitakan yang kurang mendidik dan
bersifat pornografis yang mendorong menguatnya kegiatan
trafficking dan kejahatan susila lainnya.

7. Pendidikan minim dan tingkat buta huruf


Survei sosial-ekonomi nasional tahun 2000 melaporkan
bahwa 34% penduduk Indonesia berumur 10 tahun ke atas
belum/tidak tamat SD/tidak pernah bersekolah, 34,2% tamat SD
dan hanya 155 yang tamat SMP. Menurut laporan BPS pada
tahun 2000 terdapat 14% anak usia 7-12 dan 24% anak usia 13-
15 tahun tidak melanjutkan ke SLTP karena alasan pembiayaan.
Orang dengan pendidikan yang terbatas atau buta aksara
kemungkinan besar akan menderita keterbatasan ekonomi. Dan
mereka juga tidak akan mempunyai pengetahuan kepercayaan
diri untuk mengajukan pertanyaan tentang ketentuan-ketentuan
dalam kontrak dan kondisi kerja mereka. Selain itu, mereka akan
sulit mencari pertolongan ketika mereka kesulitan saat
berimigrasi atau mencari pekerjaan. Mereka akan kesulitan
bagaimana mengakses sumber daya yang tersedia, tidak dapat
membaca atau mengerti brosur iklan layanan masyarakat lain
mengenai rumah singgah atau nomor telepon yang bisa
dihubungi untuk mendapatkan bantuan. Seorang yang rendah
melek huruf sering kali secara lisan dijanjikan akan mendapat
jenis pekerjaan atau jumlah gaji tertentu oleh seorang agen,
namun kontrak yang mereka tanda tangani (yang mungkin tidak
dapat mereka baca) mencantumkan ketentuan kerja serta
kompensasi yang jauh berbeda, mengarah ke eksploitasi.

Bentuk-Bentuk Trafficking
Ada beberapa bentuk trafficking manusia yang terjadi pada
perempuan dan anak-anak.
1. Kerja Paksa Seks & Eksploitasi seks, baik di luar negeri maupun
di wilayah Indonesia

296
2. Pembantu Rumah Tangga (PRT), baik di luar ataupun di wilayah
Indonesia
3. Bentuk Lain dari Kerja Migran, baik di luar ataupun di wilayah
Indonesia
4. Penari, Penghibur & Pertukaran Budaya terutama di luar negeri
5. Pengantin Pesanan, terutama di luar negeri
6. Beberapa Bentuk Buruh/Pekerja Anak, terutama di Indonesia
7. Trafficking/penjualan Bayi, baik di luar negeri ataupun di
Indonesia.

Sasaran yang rentan menjadi korban perdagangan perempuan


antara lain :
1. Anak-anak jalanan
2. Orang yang sedang mencari pekerjaan dan tidak mempunyai
pengetahuan informasi yang benar mengenai pekerjaan yang
akan dipilih
3. Perempuan dan anak di daerah konflik dan yang menjadi
pengungsi
4. Perempuan dan anak miskin di kota atau pedesaan
5. Perempuan dan anak yang berada di wilayah perbatasan anatar
Negara
6. Perempuan dan anak yang keluarganya terjerat hutang
7. Perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga, korban
pemerkosaan

Undang-Undang tentang Trafficking


Berikut ini beberapa peraturan perundang-undangan :
1. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Pasal 285, 287-
298; Pasal 506
2. UU RI No. 7 tahun 1984 (ratifikasi konvensi Penghapusan
Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan/CEDAW;
pasal 2,6,9,11,12,14,15,16)
3. UU RI No. 20 tahun 1999 (ratifikasi konvensi ILO No. 138
tentang Usia Minimum yang Diperbolehkan Bekerja)

297
4. UU RI No. 1/2000 (ratifikasi konvensi ILO No. 182 tentang
Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak)
5. UU RI no. 29/1999 (ratifikasi konvensi untuk Mengeliminasi
Diskriminasi Rasial)
6. Keppres No 36/1990 ( ratifikasi konvensi Hak Anak)

Pencegahan dan Penanggulangan Human Trafficking


Pemerintah Indonesia telah berusaha melakukan berbagai
upaya untuk menangani masalah child trafficking yang terjadi di
Indonesia. Namun upaya-upaya yang telah dilakukan oleh
pemerintah Indonesia tidak menunjukan hasil yang memuaskan,
terbukti kasus child trafficking yang terjadi di Indonesia bukannya
menurun malah semakin meningkat. Upaya tersebut dapat dilihat
pada:
a. Dibuatnya Undang-Undang yang relevan untuk memberikan
perlindungan kepada korban trafiking, UU No.37/1997 tentang
Hubungan Luar Negeri : Undang-undang ini dapat digunakan
untuk melindungi orang Indonesia yang tertrafik diluar negeri .
b. UU no 21. Tahun 2007, Tentang pemberantasan tindak pidana
perdagangan orang
c. Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
pun melarang perdagangan anak. Dimana Tujuan dari
perlindungan anak sendiri disebutkan dalam Pasal 3 UU No. 23
Th 2002 : “Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin
terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh,
berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan
harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan
dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak
Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.”
d. Adanya RPSA (Rumah Perlindungan Sementara Anak), dimana
fungsi dari RPSA ini adalah:
 Pemberian pelayanan segera bagi anak yang menghadapi
tindak kekerasan dan perlakuan selah (emergency service).

298
 Perlindungan (Protection).
 Pengembalian keberfungsian sosial anak agar dapat
melaksanakan perannya secara wajar (rehabilitiasoan).
 Pemulihan kondisi mental anakakibat tekanan dan trauma
(revovery).
 Advokasi.
 Penyatuan kembali anak pada keluarga asli, keluarga
pengganti, lembaga lainnya (reunifikasi).

Upaya Masyarakat dalam pencegahan trafficking yakni


dengan meminta dukungan ILO, dan Yayasan Kesejahteraan Anak
Indonesia (YKAI) yang melakukan Program Prevention of Child
Trafficking for Labor and Sexual Exploitation. Tujuan dari program
ini adalah :
1. Memperbaiki kualitas pendidikan dari tingkat Sekolah Dasar
sampai Sekolah Menegah Atas untuk Fmemperluas angka
partisipasi anak laki-laki dan anak perempuan,
2. Mendukung keberlanjutan pendidikan dasar untuk anak
perempuan setelah lulus sekolah dasar,
3. Menyediakan pelatihan keterampilan dasar untuk memfasilitasi
kenaikan penghasilan,
4. Menyediakan pelatihan kewirausahaan dan akses ke kredit
keuangan untuk memfasilitasi usaha sendiri,
5. Merubah sikap dan pola pikir keluarga dan masyarakat terhadap
trafficking anak.

Penguatan komitmen pemerintah Republik Indonesia dalam


penghapusan perdagangan orang tercermin dari Keputusan Presiden
Republik Indonesia Nomor 88 Tahun 2002, tentang Rencana Aksi
Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak (RAN-
P3A) dan adanya Undang-Undang Penghapusan Tindak Pidana
Perdagangan Orang (UU PTPPO). Program Legislasi Nasional
2005-2009 menegaskan RUU Tindak Pidana Perdagangan Orang
berada diurutan 22 dari 55 prioritas RUU yang akan dibahas pada

299
tahun 2005. Penindakan hukum kepada pelaku (trafficker) digiatkan
melalui peningkatan kapasitas penegak hukum serta peningkatan
kerjasama dengan pemangku kepentingan yang lain dan pihak
penegak hukum negara sahabat sehingga Kepolisian Republik
Indonesia berhasil memproses 23 kasus dari 43 kasus yang
terungkap. Upaya-upaya diatas cukup membuktikan bahwa
pemerintah Indonesia tidak tinggal diam dalam melihat kasus
perdagangan anak ini, meskipun pada kenyataanya penerapan dari
upaya-upaya tersebut masih sangat jauh dari yang diharapkan.

Pelaku Trafficking
Pelaku dalam traffiking anak dan perempuan dapat dibeakan
dalam 3 unsur. Pembedaan dilakukan berdasarkan peranannya
masing- masing dalam tindakan trafficking :
a. Pihak yang berperan pada awal perdagangan.
b. Pihak yang menyediakan atau menjual orang yang
diperdagangkan.
c. Pihak yang berperan pada akhir rantai perdagangan sebagai
penerima / pembeli orang yang diperdagangkan atau sebagai
pihak yng menahan korban untuk dipekerjakan secara paksa dan
yang mendapatkan keuntungan dari kerja itu.

Solusi Masalah Perdagangan Manusia di Indonesia


Ada beberapa solusi yang dapat dilakukan agar kasus
perdagangan manusia dapat berkurang. Solusi pertama adalah
meningkatkan kesadaran masyarakat melalui penyuluhan pemuka
agama dan pemerintah. Apabila kesadaran masyarakat akan bahaya
dari perdagangan manusia sudah muncul, maka diharapkan tingkat
perdagangan manusia akan sdikit berkurang.
Solusi kedua adalah memperluas tenaga kerja, fokus pada
program Usaha Kecil Menengah (UKM), serta pemberdayaan
perempuan. Apabila lapangan kerja di Indonesia sudah cukup
memenuhi kebutuhan masyarakat, maka keinginan untuk bermigrasi

300
dan bekerja di luar negeri akan berkurang dan resiko perdagangan
manusia pun akan semakin berkurang juga.
Solusi selanjutnya adalah meningkatkan pengawasan di
setiap perbatas NKRI serta meningkatkan kinerja para aparat
penegak hukum. Kejahatan seperti perdagangan manusia dapat saja
terjadi. Kemungkinan untuk terjadi akan semakin besar apabila tidak
ada pengawasan yang ketat oleh aparat yang terkait. Apabila
pengawasan sudah ketat dan hukum sudah ditegakkan, maka kasus
perdagangan manusia dapat berkurang.
Solusi lainnya adalah memberikan pengetahuan dan
penyuluhan seefektif mungkin kepada masyarakat. Untuk dapat
mencegah masalah ini, perlu diadakan penyuluhan dan sosialisasi
masalah yang rutin mengenai perdagangan manusia kepada
masyarakat. Dengan sosialisasi secara terus-menerus, masyarakat
akan mengetahui bahaya masalah ini dan bagaimana solusinya.
Pendidikan tentu saja tidak hanya diberikan kepada masyarakat
golongan menengah ke atas. Justru pendidikan tersebut harus
diberikan kepada kaum kelas bawah, karena mereka rentan sekali
menjadi korban praktik perdagangan manusia. perdagangan manusia
seringkali terjadi pada masyarakat dengan taraf pendidikan yang
cukup rendah. Pendidikan harus diberikan dengan bahasa yang
mudah dimengerti oleh semua lapisan masyarakat.
Setelah masyarakat mengetahui masalah ini, saatnya mereka
memberitahu keepada orang lain yang belum tahu. Apabila
informasi seperti ini tidak disebarluaskan, maka rantai masalah ini
tidak akan pernah terputus. Sudah menjadi kewajiban masyarakan
untuk menyampaikan apa yang terjadi pada orang lain, terlebih lagi
orang-orang yang dianggap berpotensi mengalami tindakan
perdagangan manusia. Sebab, orang yang tidak mengetahui adanya
permasalahan ini tidak akan menyadari bahwa hal ini mungkin telah
terjadi pada orang lain di sekitar mereka.
Solusi terakhir adalah berperan aktif untuk mencegah.
Setelah mengetahui dan berusahaa berbagi dengan masyarakat yang
lain, kita juga dapat berperan aktif untuk menanggulangi

301
permasalahan ini. Berperan aktif dapat dilakukan dengan cara
melaporkan kasus perdagangan manusia yang diketahui kepada
pihak yang berwajib. Masyarakat juga bisa mengarahkan
keluarganya untuk lebih berhati-hati terhadap orang lain, baik yang
tidak dikenal maupun yang sudah dikenal. Mungkin hal yang
dilakukan hanyalah sesuatu yang kecil dan sederhana, namun
apabila semua orang bergerak untuk turut melakukannya, bukan
tidak mungkin masalah ini akan teratasi.

Perkembangan Kasus Trafficking di Indonesia


Perkembangan kasus traficking (perdagangan orang) di
Indonesia sungguh kian mengkhawatirkan. Dari tahun ke tahun,
kasus ini meningkat tajam. Seakan-akan, kasus trafficking di
Indonesia diibaratkan bak gunung es. Artinya, angka yang
tersembunyi di bawah permukaan jauh lebih besar ketimbang yang
terlihat di permukaan. Data dari International Organization for
Migration (IOM) mencatat hingga April 2006 bahwa jumlah kasus
perdagangan manusia di Indonesia mencapai 1.022 kasus, dengan
rinciannya: 88,6 persen korbannya adalah perempuan, 52 persen
dieksploitasi sebagai pekerja rumah tangga, dan 17,1 persen dipaksa
melacur (www.bkkbn.go.id).
Sepanjang kasus trafficking mencuat di Indonesia sejak 1993,
tahun 2000 merupakan tahun yang paling ramai dengan maraknya
kasus ini. Modus tindak pidana trafficking sangat beragam, mulai
dari dijanjikan pekerjaan, penculikan korban, menolong wanita yang
melahirkan, penyelundupan bayi, hingga memperkejakan sebagai
PSK komersil. Umumnya para korban baru menyadari bahwa
dirinya merupakan korban trafficking setelah tidak mendapatkan
perlakuan yang tidak manusiawi, alias dieksploitasi di negeri rantau.
Ada suatu cerita yang memilukan tentang seorang korban
trafficking yang terpaksa melompat dari lantai dua hanya untuk
melarikan diri perangkap kasus ini. Rina (19), seorang perempuan
TKI sempat gelisah dan bingung karena ia dipaksa menjadi pekerja
seks komersial. Apalagi, sebelumnya ia sudah disuntik dengan

302
cairan anti-hamil oleh seorang dokter sebelum melayani tamu. Ia
tidak kuasa menerima paksaan itu, namun ia sendiri tidak
mengetahui kepada siapa ia harus minta pertolongan agar bisa lari
dan menyelamatkan diri dari rencana tersebut. Maka, satu-satunya
jalan yang mungkin ditempuhnya adalah melarikan diri alias kabur
dari perangkap tersebut. Ia dibantu dengan seorang temannya loncat
ke dasar lantai yang tingginya mencapai empat meter (Kompas,
8/3/2004).
Mendengar cerita di atas hati kita pasti merasa terenyuh.
Susah-susah datang ke negeri rantau, akhirnya cuma
“diperdagangkan” secara tidak manusiawi. Rina tidak sendirian.
Masih banyak lagi korban-korban lainnya yang perlu mendapatkan
pertolongan dan perhatian. Sudah seharusnya pemerintah serius
menangani masalah ini, termasuk dalam hal penertiban terhadap
agen-agen penyalur jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI) ke luar
negeri. Para korban trafficking awalnya tidak menduga bahwa
mereka akan diperdagangkan karena memang mereka hanya
dijanjikan akan mendapatkan pekerjaan setelah sesampainya di
negeri orang.
Berikut ini adalah cerita yang mengungkap fakta tentang
modus dan tahapan trafficking yang menimpa TKI di luar negeri,
yang dikutip dari www.antara.co.id. Pada bulan Meret 2007,
Kedutaan Besar RI di Kuala Lumpur, Malaysia berhasil
menyelamatkan 19 orang wanita Indonesia yang menjadi korban
perdagangan manusia. Pengungkapan kasus tersebut diawali dengan
penangkapan polisi setempat terhadap empat wanita yang dituduh
bekerja dengan memakai visa turis. Pihak Kepolisian RI kemudian
dilibatkan dalam pemeriksaan terhadap empat wanita tersebut.
Terungkap fakta bahwa mereka adalah korban penipuan
perdagangan manusia dengan modus menawarkan magang kerja di
hotel luar negeri.
Mereka menceritakan bahwa setiap calon korban dimintai
uang masing-masing sebesar Rp. 3,5 juta dengan alasan untuk
membiayai tiket pesawat, pengurusan visa, dan akomodasi selama

303
magang kerja. Namun, kenyataannya mereka justru harus bekerja
nonstop selama setahun penuh tanpa libur dan diupah hanya 400
ringgit Malaysia. Dari upah itu, 50 ringgit dipotong pihak agen
tenaga kerja, sehingga korban hanya menerima 350 ringgit atau
sekitar Rp. 800 ribu perbulan. Berbekal keterangan tersebut, pihak
KBRI dan polisi Malaysia dapat menemukan 15 wanita lain yang
bernasib sama. Cerita tersebut menunjukkan betapa pedihnya
penderitaan yang dialami para korban trafficking.
Kasus perdagangan manusia ini tidak akan sepenuhnya dapat
diatasi selama akar pemasalahannya belum terselesaikan. Faktor
kemiskinan dan kurangnya lapangan pekerjaan menjadi penyebab
terbesar terjadinya perdagangan manusia. Pada umumnya, korban
perdgangan manusia ini tidak memiliki pekerjaan sehingga ketika
ditawari pekerjaan mereka langsung menerimanya. Pada awalnya
memang mereka dijanjikan pekerjaan yang layak, namun pada
akhirnya mereka ditipu seperti kasus yang terjadi diatas.

Sumber Referensi

Handhyono, Suparti. Human Trafficking dan Kaitannya dengan


Tindak Pidana KDART, Makalah dalam Seminar di Kota Batu-
Malang, tanggal 30 November 2006.
Jannah, Fathul et.al., Kekerasan terhadap Istri. Yogyakarta:
LKIS,2003
Sumardi, Mulyanto. 1982. Kemiskinan dan Kebutuhan Pokok.
Rajawali: Jakarta
Yentriyani, Andi. Politik Perdagangan Perempuan. Yogyakarta:
Galang Press, 2004.
http://kubil.blogspot.com/2009/06/perdagangan-manusia.html.
http://lanats46.blogspot.com/2011/03/nilai-dan-norma-dalam-
kehidupan.html.
http://triadkita.blogspot.com/2008/03/sosiologi-perdagangan-
manusia.html

304
TANTANGAN WANITA MODERN “KETAKUTAN WANITA
MODERN AKAN KEMANDIRIAN”
Oleh : Yanti Suryanti_1138030225_5-F

Sebelum kita membahas materi lebih jauh, kita harus


mengetahui terlebih dahulu apa itu yang dimaksud dengan wanita,
modern, ketakutan, kemandirian, tantangan, supaya kita lebih
mengerti dan paham mengenai ketakutan wanita akan kemandirian
ini.
A. Pengertian wanita, modern, ketakutan, kemandirian dan
tantangan.
a. Wanita
Kata wanita dalam bahasa Indonesia merupakan kata
serapan dari bahasa Jawa, yaitu WANITO. Sedangkan
makna Wanito itu wani ditoto atau berani ditata.
Mengesankan, wanita selalu diatur-atur, selalu
dikendalikan, selalu diperintah oleh kaum laki-laki.
b. Modern
modern sikap dan cara berpikir serta cara bertindak sesuai
dng tuntutan zaman
c. Ketakutan
Takut adalah suatu perasaan emosional tentang sesuatu yang
belum tentu terjadi di masa depan. Rasa takut timbul karena
adanya dugaan atau prasangka dibuat-buat sendiri di dalam
pikirannya. Rasa takut biasanya merupakan suatu perasaan
yang tidak logis karena dirinya sendiri tidak mampu atau
merasa tidak sanggup menghadapi kemungkinan buruk yang
akan diterimanya.
d. Kemandirian
Menurut Masrun (1986:8) kemandirian adalah suatu sikap
yang memungkinkan seseorang untuk bertindak bebas,
melakukan sesuatu atas dorongan sendiri dan untuk

305
kebutuhannya sendiri tanpa bantuan dari orang lain, maupun
berpikir dan bertindak original/kreatif, dan penuh inisiatif,
mampu mempengaruhi lingkungan, mempunyai rasa percaya
diri dan memperoleh kepuasan dari usahanya.
e. Tantangan
Tantangan adalah suatu hal atau bentuk usaha yang memiliki
tujuan untuk menggugah kemampuan.

Jadi, dari pengertian diatas dapat disimpulkan tantangan


wanita modern “ketakutan wanita kan kamndirian” maksudnya
karena wanita adalah sejatinya wanita yang ditata, diatur,
dikendalikan oleh laki-laki, oleh karena itu tantangan wanita modern
sekarang harus bisa memiliki tujuan untuk menggugah kemampuan
dirinya dalam bertindak, atau mempunyai dorongan sendiri untuk
kebutuhannnya tanpa bantuan orang lain.
Tetapi tidak dipungkuri Seiring dengan teori kebebasan dan
persamaan wanita dengan kaum pria, muncul berbagai persoalan
yang sangat mendasar antara lain:
a) Tentang diskriminasi
Upah terhadap pekerja wanita. Di satu sisi pemerintah
mengeluarkan UU No. 80 Tahun 1954 dan peraturan
pelaksanaan diatur dalam PP No. 8 Tahun 1981 tentang larangan
diskriminasi terhadap perempuan dalam upah, tetapi di sisi lain
pemerintah masih mempertahankan nilai-nilai budaya yang
masih berkembang yang memandang dan menekankan bahwa
peran perempuan ini hanya sebagai isteri dan ibu yang tertuang
dalam UU tahun 1974 yang secara tegas menyatakan bahwa
suami adalah Kepala Rumah Tangga (RT) dan isteri adalah Ibu
RT. Dari orientasi yang mendua inilah ternyata yang menjadi
korban adalah perempuan itu sendiri. Permasalahan ini sangat
dirasakan oleh buruh-buruh wanita dan perusahaan dapat
mengambil manfaat yang besar. Dengan alasan bahwa
perempuan bukan mencari nafkah utama, tetapi hanya sebagai
tambahan maka buruh wanita dibayar murah dan tidak berhak

306
atas tunjangan keluarga (Apong Herlina, Hal II). Ingat kasus
“Marsinah” seorang buruh wanita yang terbunuh oleh konspirasi.
Dalam Seminar Nasional “Kemiskinan di Indonesia Dalam
Perumusan Perspektif perempuan”, yang diselenggarakan
Lembaga Studi dan Pengembangan Perempuan dan Anak
(LSPAA) di Yogyakarta tahun 1994 terungkapkan, bahwa dalam
menghadapi kemiskinan wanita lebih sering dijadikan tumpuan
harapan keluarga. Hal itu terbukti dari beberapa kali penelitian.
Dalam situasi terjepit, umumnya semua mendorong istrinya
untuk mencari jalan keluar (Pikiran Rakyat, 21 April 1995).

b) “Sexual Harrasment” (Pelecehan Seksual)


Belum lama ini, diberitakan dalam berbagai surat kabar
tentang penyekapan beberapa TKW. Ada juga berita tentang
pemerkosaan TKW di negara-negara tempat mereka bekerja.
Kisah tersebut baru sebagian kecil yang terungkap. Bagaimana
dengan kisah-kisah lain yang tidak diungkapkan dan cerita
tentang “Affair” antara wanita karir di kantor-kantor dengan bos
mereka. Lihat hasil penelitian dari Pangka Hila tentang
“penyelewengan” wanita karir, juga bagaimana pelecehan
seksual yang terjadi di perguruan tinggi.

c) Melanggar Suara Hati Nurani


Para istri yang bekerja, umumnya pernah dihantui
perasaan bersalah karena meninggalkan anak kesayangannya di
rumah. Seharian paling tidak, pada mulanya ada semacam
kegamangan. Bagaimana tidak? Betapapun seorang isteri
berusaha mensugesti dirinya sendiri bahwa anaknya toh aman di
samping pembantu, namun tak urung hatinya agak cemas karena
khawatir. Apalagi kalau istri harus meninggalkan bayi di rumah
yang membuat nalurinya sulit dipercayakan kepada pembantu.
Belum lagi banyak wanita karena sikap hidupnya memilih
hidup sendiri dan memutuskan untuk tidak punya anak, mereka
Cuma berfikir dengan orientasi karir. Hal ini juga domotivasi

307
oleh latar belakang pendidikan kaum wanita. Semakin tinggi
tingkat pendidikan wanita semakin besar kecenderungan wanita
untuk mandiri.
Dalam pembahasan ini ada 3 jenis kemandirian antara lain:
1) kemandirian ekonomi, Mandiri dalam konteks ini berarti
memiliki kemampuan ekonomi yang produktif. Perempuan dapat
melakukan kegiatan ekonomi untuk mencari tambahan
pemasukan bagi dirinya sendiri atau keluarga. Hal ini
dimaksudkan agar perempuan dapat memiliki keterampilan
hidup guna menolong dirinya sendiri dan tidak bergantung
sepenuhnya pada suami.
2) kemandirian intelektual, Mandiri dalam konteks ini berarti
perempuan beraktualisasi dengan memanfaatkan intelektualnya
untuk memiliki eksistensi. Dengan demikian, meski perempuan
secara ekonomi bergantung pada suami, tapi perempuan secara
mandiri dapat eksis untuk memberi kontribusi bagi masyarakat
dan lingkungan.
3) kemandirian sikap, Mandiri dalam konteks ini berarti perempuan
memiliki kemampuan untuk memilih sikap terhadap berbagai
soalan kehidupan. Perempuan menjadi partnership yang setara
dengan suami untuk menyampaikan pendapat, opsi, maupun
solusi. Dengan demikian, perempuan menjadi penyeimbang
sekaligus mitra sejajar bagi suami dalam mengarungi rumah
tangga.

B. Tantangan Perempuan di Era Globalisasi


Meskipun perempuan memiliki keunggulan, namun
eksistensi perempuan di ranah publik menghadapi tantangan
beberapa hal berikut:
a) Sindrom Cinderella Complex : adalah sindrom yang
dikemukakan oleh Collete Dowling yaitu suatu rasa takut yang
begitu mencekam, sehingga perempuan merasa tidak berani dan
tidak bisa memanfaatkan potensi otak dan daya kreatifitasnya
secara penuh. Perempuan merasa takut menjadi terkenal, sukses,

308
dan menempati posisi penting, karena merasa harus berperan di
sektor domestik, dengan alasan agama, budaya, dsb. Banyak
perempuan mengalami sindrom ini, dan mengambil keputusan
untuk bekerja dan berkarir seadanya, padahal ia memiliki potensi
yang amat besar.
b) Dukungan institusi yang belum maksimal : maksud dukungan
institusi disini adalah institusi keluarga, masyarakat, perusahaan,
dan pemerintahan. Meskipun pola pikir masyarakat sudah
berkembang tetapi masih di temui pola pikir belum maju, dan
berakibat pada dukungan institusi yang delum maksimal.
Misalnya : institusi keluarga, dimana ayah, ibu, suami, mertua,
dsb memiliki pola pikir yang menghambat perempuan aktif di
dektor publik. Atau perusahaan yang beranggapan bahwa
perempuan hanya boleh menempati posisi tertentu saja.
c) Pergeseran nilai dalam kehidupan : era globalisasi memberi
pengaruh bergesernya nilai yang dianut oleh masyarakat. Nilai
sukses diukur dari sisi materi seperti : uang , rumah jabatan,
kepopuleran. Situasi ini membuat perempuan banyak mengejar
simbol-simbol tersebut. Perempuan terjebak untuk bekerja terus
menerus dan sangat keras ( menjadi sangat maskulin ).
Cenderung meninggalkan femininitasnya. Dengan demikian,
pelan dan pasti perempuan digiring mencapai ambisi, menjadi
semakin individual dan cenderung mengabaikan nilai
kebersamaan.

Biar lebih jelas kita lihat salah satu contoh yang berkaitan
dengan tantangan wanita modern “ketakutan wanita akan
kemandirian” di Amerika.

C. Kemandirian, Ketakutan akan kebergantungan dan


perasaan tidak aman
Hal yng perlu dicamkan bukanlah nilai-nilai Bangsa Amerika
yng saling bertentangan yang dicatat oleh para Sosiolog dan
Sejarawan, tetapi adalah perwujudan dari satu nilai inti. Nilai inti

309
dari bangsa Amerika yng msh dipertanyakan adlah Self-Reliance
(Kemandirian), sifat psikologis yang paling gigih daripada
Kekhawatiran akan kebergantungan. Hal ini dapat ditunjukkan
bahwa semua nilai-nilai yang telah disebutkan sejauh ini, adalah
saling bertentangan dan juga saling mendukung satu sama lain, sisi
yang buruk sama halnya dengan sisi yang baik, bersumber atau
berkaitan dengan kepercayaan diri.
Kemandirian bangsa America pada dasarnya sama dengan
sifat Individualisme bangsa Inggris kecuali yang belakangan
(Individualisme) adlah induk dari yang mendahuluinya
(kemandirian) dan yang mendahuluinya telah melampui jauh dari
yang disebutkan belakangan (Individualisme). Akan tetapi,
Kemandirian ini tidak punya karakteristik dasar yang melekat dalam
Individulisme. Di Eropa, Individualisme berkembang dikarenakan
adanya permintaan atas persamaan hak politik. Hal ini menuntut
bahwa setiap individu memiliki hak yang diberikan oleh Tuhan dan
tak dapat dicabut oleh siapapun juga, dan setap orang mempunyai
hak yang sama untuk mengatur dirinya sendiri atau memilih
pengaturnya(gubernur) sendiri. Di lain pihak, kemandirian di
Amerika tidak dpat dipisahkan dari desakan individu militan pada
persamaan ekonomi, sosial, dan politik yang telah diakui di inggris
dan bangsa-bangsa Eropa lainnya, yang diartikan sebagai Hak
Setiap Warga Amerika yang Tak Dapt dicabut ialah Kemandirian
dan Persamaan yang tidak terbatas.
Hal ini tidak mengesankan bahwa semua warga/orang
Amerika pada kenyataannya sangat menikmati persamaan ekonomi
dan sosial yang tidak terbatas yang mana sangat mereka percayai.
Tetapi ini akan mudah untuk mengobservasi seberapa kuat dan
luasnya kemandirian yang ada pada diri mereka. Sebagai contoh,
orang Inggris telah berhasil memulai adanya Sosialisme dalam
masyarakat, dalam penamaan juga, tapi orang-orang Amerika tidak
menghiraukan akan keamanan sosial, subsidi pertanian,
kesejahteraan, kesehatan dan bentuk-bentuk perencanaan
Pemerintah lainnya-campur tangan dan bantuan, juga dalam hal

310
keberanian yang bebas dan tidak adanya toleransi terhadap sistem
politik dan sosial. Demikian pula orang-orang Inggris masih
cenderung menghormati perbedaan kelas berdasarkan kekayaan,
status, perilaku dan tutur bahasa, sedangkan orang-orang Amerika
cenderung mentertawakan perilaku Aristokrat atau tutur bahasa
Oxford dan merasa tersinggung sekali akan status yang telah
diungkapkan oleh Lloyd Warner sebelumnya bahwa hal ini
dianggap “tabu” dalam diskusi siswa SMA Jonesville. Akhirnya,
orang-orang Inggris tetap menganggap bahwa mahkota sebagai
simbol turun temurun yang terbaik dari semuanya, sedangkan orang-
orang Amerika mengkritik mengenai kebebasan individu akan
jabatan tertinggi dan paling tidak hak yang suara yang sama yang
dimiliki oleh ssesorang untuk menjadi Presiden.
Kemandirian ini juga sangat berbeda sekali dengan Otonomi
diri (berkecukupan). Pada kenyataannya banyak orang-orang desa di
Cina dan Eropa yang dapat mencapai otonomi (berkecukupan).
Rata-rata petani Cina yang berkecukupan akan mendapat paling
tidak hanya simpati dari petani yang tidak berkecukupan. Tetapi,
Kemandirian orang-orang Amerika adalah cita-cita orang militan
yang ditanamkan para orang tua pada anak mereka sehingga dapat
menilai kelayakan dan kebaikan. Inilah Kemandirian yang ditulis
oleh Ralph Waldo secara fasih dan meyakinkan dalam beberapa
bagian yang tak abadi. Ini juga merupakan Kemandirian yang
diajarkan di sekolah-sekolah di Amerika pada saat ini. Berikut ini
adalah kutipan langsung dari sebuah pernyataan mengenai
“Keyakinan Dasar” yang diberikan kepada para siswa oleh
deprtemen ilmu sosial dari satu SMU terbaik pada th.1959:
Kemandirian adalah, seperti halnya, kunci
menuju kebebasan individu dan merupakan satu-satunya keamanan
nyata yang datang dari kemampuan dan kebulatan hati untuk bekerja
keras untuk merencanakan dan unutk menyelamatkan keadaan saat
ini dan masa yang akan datang.
Dan sekarang Kemandirian bangsa Amerika bukanlah hal
yang baru. Sebagai sebuah konsep, Kemandirian ini pada

311
kenyataannya dikenal dan dipahami dengan baik. Tapi hal tersebut
adalah kekuatan dari titk yang tidak jelas dimana dasar keterlibatan
dan percabangannya telah keluar jauh dari tinjauan secara ilmiah.
Bagaimana individualisme orang-orang Eropa Barat telah berubah
bentuk menjadi kemandirian bangsa Amerika adalah pertanyaan
diluar jangkauan bab ini. Hal Itu telah berkaitan dengan yang lain
(Hsu 19970:120-130). Cukup dikatakan disini bahwa idealnya setiap
individu adalah majikan dirinya sendiri, dalam mengendalikan
takdirnya sendiri, dan akan memajukan dan menyurutkan dlam
pergaulan/masyarakat yang hanya berdasarkan usahanya sendiri.
Mungkin dia memiliki sifat yang baik dan buruk, akan tetapi,

“Tersenyumlah, dan Dunia akan tersenyum padamu,


Menangislah, dan menangislah kamu sendiri”
Terlihat jelas disini tetntu saja bahwa tidak semua orang
Amerika punya kemandirian. Di dalam masyarakat ditemukan
individu yang bervariasi dalam tingkat temperamennya, karakter dan
intelenjensi. Lebih lanjut, tidak ada cita-cita yang menunjukkannya
secara seragam pada semua bagian dalam masyarakat. Tetapi
sebuah perbandingan yang singkat akan memperlihatkannya lebih
jelas. Seorang pria di sebuah pedesaan diCina mungkin telah gagal
dalm hidupnya dimana kemandirian bukanlah sesuatu yang ideal di
sana. Tapi andaikata pada masa tuanya, anak laki=lakiny dpat untuk
memenuhi kebutuhannya secara dermawan, orang tersebut tidak
hanya sangat bahagia dan puas akan hal ini, tetapi juga dia akan
menyerukan kepada semua orang di seluruh dunia agar mengetahui
bahwa dia memiliki anak-anak yang baik yang dapat membantunya
dalam keadaan yang dia tidak pernah biasa dengan itu. Sebaliknya,
orang tua warga Amerika yang belum berhasil dalam hidupnya akan
mengambil keuntungan dari kemakmuran anak-anaknya, tapi dia
jelas tidak ingin orang lain mengetahuinya. Dalam kenyataannya,
dia akan marah dengan hal yang berkenaan dengan itu. Pada
kesempatan pertama ketika hal ini memungkinkan untuknya untk
menjadi madiri dari anaknya, dia juga akan melakukannya.

312
Oleh karena itu, walaupun kita mungkin menemukan banyak
individu di pedesaan Cina dan dimanapun juga yang mana mereka
mampu memnuhi kebutuhan sendiri pada kenyataannya, dan
walaupun kita dapat menemui beberapa orang di Amerika yang pada
kenyataannya bergantung pada orang lain, hal yang penting ialah
bahwa ketergantunagn pada diri sendiri bukanlah hal yang ideal,
bukan masalah menjadi dukungan ataupun juga kebanggan, tetapi
mana yang ideal, yaitu keduanya. Dalam masyarakat Amerika,
ketakutan akan kebergantungan sangatlah besar bahwa seorang
individu yang tidak mandiri adalh seorang yang tidak dapat
menyesuaikan diri. “Sifat menggantukan diri” merupakan istilah
yang menghina sekali, dan seorang yang dikategorikan seperti itu
memerlukan pertolongan psikolog.
Bagaimanapun juga, jelas bahwa tidak ada individu yangbisa
mandiri. Pada kenyataanya, dasar kehidupan manusia adalah
ketegantunagn manusia terhadap kawan lain secara intelektual dan
teknologi dan juga secra sosial dan emosional. Individu-individu
mungking memiliki tingkatan yang berbeda-beda dalam pemenuhan
akan kawan, tetapi tak ada orang yang yang dapat benar-benar
berkata dia tidak memerlukan siapapun dalam masyarakat atau
dimanapun
Perasaan tidak aman itu sendiri pada orang-orang Amerika
ditunjukkan dalam berbagai cara. Unsur yang paling utama yaitu
kekurangan ketetapan/kekekalan dalam hal asal muasal hubungan
seseorang (contohnya termasuk keluarga manakah seseorang
dilahirkan) maupun pemerolehan hubungan seseorang tersebut
(contoh: hubungan pernikahan bagai seorang wanita, dan hubungan
bisnis/pekerjaan bagi seorang laki-laki). Keinginan yang paling vital
seorang manusia ialah berusaha bersaing yang terus menerus dengan
kawannya. Dia harus melakukan ini supaya bisa masuk ke dalam
suatu grup/komunitas, atau untuk dapat bertahan dalam
grup/komunitas tsb. Dalam usahanya tsb, dia menemukan beberapa
pilihan yaitu kepatuhan pada tirani organisasi dan persetujuan
terhadap kebisaan dan fakta-fakta kumpulan teman sebaya yang

313
mana itu merupaka hal yang vital baginya untuk dapat menaikkan
atau pun menjaga statusnya dalam waktu dan tempat tertentu.
Dengan kata lain, agar dapat berbuat sesuai dengan orientasi nilai
inti Kemandirian, bangsa Amerika harus berbuat sebaliknya secara
keseluruhan.

D. Bagaimana Tinjauan Islam mengenai ketakutan wanita akan


kemandirian
Pada hakekatnya tidak ada makhluk di atas bumi ini yang
mandiri. Semua saling ketergantungan (dalam ilmu aam atau dikenal
dengan ekosistem). Begitupun dengan manusia. Diciptakannya laki-
laki dan wanita untuk saling mengenal, Li ta’arafu (QS. 49:13) dan
dengan namanya kamu saling meminta-minta satu sama lain (QS.
4:1). Dalam ayat lain disebutkan bahwa Allah tidak menyia-nyiakan
amal dari orang yang beramal saleh di antara kamu baik laki-laki
atau perempuan, karena sebagian kamu adalah keturunan dari
sebagian yang lain (QS. 3:195).
Ayat-ayat di atas menunjukkan pada hakekatnya wanita juga
tidak mungkin mandiri penuh. Wanita merupakan bagian dari rantai
kehidupan yang sangat tergantung dengan lingkungannya, tujuan
hidup manusia adalah agar terjadi kesinambungan alam yang serasi
dan harmonis. Sementara wanita memegang posisi sangat penting.
Ia menjadi pusat reproduksi manusia. Karena itu tidak ada
gerakan/pemikiran manapun yang berhak memutuskan mata rantai
ini. Kehidupan ini adalah milik Allah.
Jika ia seorang wanita lajang, ia amat bergantung kepada
pencipta-Nya (konsep inilah yang membedakan dengan wanita
mandiri dalam pengertian umum). Wanita ini masih di bawah
tanggungjawab kedua orangtuanya (khususnya ayah) karena adalah
tanggungjawab orang tuanya menikahkan/menjadi wali bagi anak
perempuannya. Dalam Islam , wanita tidak dibenarkan “jalan
sendirian” dalam memutuskan siapa teman hidupnya. Ia hendaknya
mengajak musyawarah kedua orang tuanya. (Suatu akhlak mulia

314
yang ditanamkan oleh Rasulullah SAW), walaupun pada akhirnya
wanita berhak menolak laki-laki yang tidak disukainya.
Islam juga tidak membenarkan adanya sikap “memilih tidak
menikah”. Karena nikah adalah sunnah Rasulullah apalagi jika ia
sudah mampu secara materi dan mental. Di samping tidak
memenuhi sunnah, ia juga telah melanggar kehendak alam.
Jika ia seorang istri, sudah sewajarnya istri adalah mitra
suami dalam membangun kehidupan. Istri adalah pakaian suami
begitu pun sebaliknya (QS.2:187). Tidak saling menindas dan
menjajah satu sama lain. Jika laki-laki ini adalah muslim yang baik,
ia akan memahami tugas-tugasnya dan tugas istrinya. Menurut
Rasulullah perhiasan yang paling indah adalah istri yang baik.
Oleh karena itu tidak akan terjadi diskriminasi terhadap
wanita di semua bidang kehidupan, seandainya semua berjalan
sesuai dengan kehendak Allah dan Rasul-Nya. Jika seorang istri
memilih bekerja (dalam pengertian Islam) ia bukan seorang wanita
mandiri, karena pada hakekatnya keputusan bekerja atau tidaknya
adalah hasil musyawarah dengan suami. Masih dalam keputusan
bekerja, ia (istri) tetap tidak meninggalkan fungsi utamanya sebagai
ibu.
Bagaimana dengan perlakuan yang berbeda terhadap upah
kaum wanita karena ia tidak menanggung beban nafkah keluarga?
Itulah perbedaannya dengan Islam. Di hadapan Allah, laki-laki atau
wanita diberi balasan yang sama sesuai dengan tingkat amalnya
masing-masing (QS. 4:124). Begitupun seharusnya manusia
memberi balasan upah kerja, tidak membedakan laki-laki atau
wanita.
Problem ekonomi yang melatarbelakangi wanita bekerja ini
juga karena “kemiskinan struktural”. Mereka miskin karena keadaan
sistem yang membuat mereka demikian. Ibarat benang kusut jika
diurai yang kaya semakin kaya yang miskin semakin miskin.
Pelanggaran seksual terjadi karena adanya dua pihak yang
laki-laki karena sifat agresifnya dan yang wanita memungkinkan

315
adanya peluang ke arah itu. (Dari segi pakaian dan perlengkapan
perhiasan, misalnya).
Jika karena alasan aktualisasi diri dan tuntutan zaman maka
wanita harus bekerja (dalam Islam), wanita tetap harus memegang
norma dan etika. Bahwa secara alami ini tetap menuntutnya untuk
berperan sesuai dengan kodratnya. Jika ia berkarir, ia bersuami, ia
juga mempunyai anak, dan ia juga bagian integral dari masyarakat.
Peran ini menyatu dalam diri wanita. Tinggal bagaimana wanita
menanamkan peranannya dan menjadikan pria bagian dari
kehidupannya.
Penelitian yang dilakukan Collette Dowling diawal tulisan ini
menunjukkan satu kebenaran alami, bahwa tidak mungkin wanita
mandiri dalam pengertian yang sesungguhnya. Begitu banyak
ketakutan-ketakutan akan keinginan-keinginan kemandirian seorang
wanita. Jika ia sudah melanggar kehendak alam, maka problema
wanita mandiri akan semakin krusial. Lalu mengapa tidak kembali
kepada Islam?

E. Kesimpulannnya
membangun kemandirian perempuan bermuara pada
pendidikan. Dengan pendidikan, perempuan dapat menemukan
aktualisasi diri yang pas bagi dirinya dan keluarga. Dengan
pendidikan, perempuan memperoleh sarana untuk menciptakan
eksistensi diri dan mengekspresikan gagasan sekaligus membentuk
jejaring sosial agar dirinya tidak saja bermanfaat bagi keluarga,
tetapi juga bagi orang lain.

316
Sumber Referensi

http://khairunnisamusari.blogspot.co.id/2010/04/kemandirian-
perempuan-radar-jember.html
http://kamusbahasaindonesia.org/modern/mirip
https://abisyakir.wordpress.com/2012/05/17/memilih-istilah-wanita-
atau-perempuan/
https://mazdalifahjalil.wordpress.com/2012/09/11/tantangan-
perempuan-di-era-globalisasi/
https://www.google.com/search?q=BUKU+MENGENAI+KETAK
UTAN+WANITA+AKAN+KEMANDIRIAN&ie=utf-
8&oe=utf-8
https://piyakpiyek.wordpress.com/tag/apa-itu-kemandirian/

317
KESEHATAN REPRODUKSI ISLAM

Oleh : Yayang Wulan Nurbaeta_1138030226_5-F

Dalam ilmu kedokteran, reproduksi bermakna menghasilkan


keturunan. Sedangkan kesehatan reproduksi (kespro) didefinisikan
sebagai keadaan sejahtera fisik, mental, sosial dalam segala hal yang
berkaitan dengan kesehatan reproduksi. Kesehatan reproduksi juga
berkaitan dengan kemampuan untuk memiliki kehidupan seksual
yang memuaskan dan aman, serta kemampuan untuk memiliki
keturunan dan bebas menentukan waktu memiliki keturunan dan
jumlah keturunan. Sebagian orang memandang bahwa kesehatan
reproduksi hanya terkait pada organ reproduksi laki-laki dan
perempuan, padahal hal itu tidak sepenuhnya benar karena cakupan
kesehatan reproduksi sangat luas.
Kespro memiliki tiga komponen yaitu kemampuan untuk
prokreasi, mengatur tingkat kesuburan, dan menikmati kehidupan
seksual. Dampak kehamilan yang baik melalui angka harapan hidup
dan pertumbuhan bayi dan balita yang meningkat, serta proses
reproduksi yang aman. Adapun cakupan kesehatan reproduksi
meliputi alat reproduksi, kehamilan dan persalinan, kespro remaja,
pencegahan kanker leher rahim, metode kontrasepsi dan KB,
kesehatan seksual dan gender, perilaku seksual yang sehat dan yang
berisiko, pemeriksaan payudara dan panggul, impotensi, HIV/AIDS,
infertilitas, kesehatan reproduksi laki-laki, perempuan usia lanjut,
kesehatan reproduksi pengungsi, infeksi saluran reproduksi, safe
motherhood, kesehatan ibu dan anak, aborsi, serta infeksi menular
seksual.
Islam adalah agama yang universal, ajaran Islam bukan
hanya mengatur hal-hal yang berkaitan dengan ibadah, fiqh, tauhid
dan lain sebagainya atau dalam bahasa al-Quran dikenal dengan
haballum minnallah. Akan tetapi Islam juga mengatur aspek
duniawi manusia karena pada dasarnya Islam adalah merupakan

318
agama rahmatan lil alamin. Oleh sebab itu sudah sewajarnya ajaran
Islam memiliki konsep yang jelas tentang kesehatan secara spesifik
kesehatan reproduksi manusia. Islam sebagai pedoman hidup
mengatur dan mengarahkan manusia yang berakal (Ulil Al bab)
sehingga akan bermuara pada kebahagiaan dunia dan kebahagiaan
akhirat.
Manusia dalam menjalankan kehidupanya memiliki sisi-sisi
yang tidak terlepas dari perhatian ajaran Islam salah satunya adalah
sisi kesehatan. Kesehatan adalah merupakan nikmat yang sangat
luar biasa nilainya, tanpa kesehatan tentu saja manusia tidak bisa
menjalankan aktifitasnya oleh karena itu setiap manusia memiliki
kewajiban untuk menjaga dan memelihara kesehatannya secara
sunguh-sungguh.
Kesehatan adalah merupakan hal yang sangat vital bagi kehidupan
manusia selain sandang, pangan dan papan. Karena kesehatan sarana
untuk mencapai kehidupan yang bahagia. Sebesar apapun nilai
kekayaan kita, dan setinggi apapun jabatan kita semuanya akan tersa
hambar tanpa dibarengi dengan kesehatan. Dalam sebuah hadits
nabi Muhammad saw bersabda: Perhatikanlah lima perkara sebelum
datang lima perkara:1. Masa hidupmu sebelum datang maut mu; 2.
Masa sehatmu sebelum datang masa sakitmu; 3. Masa luangmu
sebelum datang masa sibukmu; 3. Masa mudamu sebelum datang
masa tuamu; 4. Masa kayamu sebelum datang masa fakirmu. (HR.
Ahmad dan Baihaqi).
Salah satu makna hadits ini bahwasanya Islam mengajarkan
agar setiap saat kita menjaga kesehatan kita sehingga dengan
kesehatan itu kita bisa secara maksimal melakukan ibadah kepada
Allah swt. Disamping itu Islam juga memerintahkan kepada setiap
manusia yang sakit untuk berobat kepada ahlinya karena
sesungguhnya itu merupakan bentuk ibadah kepada Allah swt.
Dalam hadits nabi Muhammad saw., juga bersabda:
”Berobatlah wahai hamba-hamba Allah, karena sesungguhnya Allah
tidaklah menurunkan suatu penyakit, kecuali telah diturunkan juga

319
obatnya, selain penyakit yang satu, yaitu penyakit tua (pikun) (HR.
Ahmad, Ibnu Hibban, Hakim) “
Sehat merupakan salah satu karunia Allah yang menurut
Nabi saw. sering terlupakan, Kita baru merasa betapa mahalnya
nikmat sehat ketika sedang sakit. Salah satu nikmat sehat yang harus
dijaga ini adalah kesehatan reproduksi.
Sehat yang sering dimaknai sebagai tiadanya penyakit pada
tubuh, sesungguhnya tidak hanya berhubungan dengan faktor fisik
semata, namun juga terkait dengan aspek mental, sosial, dan hal lain
yang dapat mengganggu kesehatan. Sebab itu Kesehatan Reproduksi
(Kespro) adalah keadaan fisik, mental dan sosial yang sehat, bersih
dan terhindar dari hal-hal yang mengganggu sistem reproduksinya.
Bagi perempuan, Kespro ini sangat berkaitan dengan
berfungsinya alat-alat reproduksinya pada masa pra-produksi
(remaja), ketika produksi (hamil dan menyusui), dan pasca
reproduksi (menopouse).
Alquran menyatakan, tolak ukur kesalehan itu termasuk
menjaga kehormatan (menjaga alat-alat reproduksi). Hal ini sama-
sama ditekankan kepada lelaki maupun perempuan. Firman Allah
swt:
“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-
laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang
tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-
laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang
khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan
perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang
memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak
menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka
ampunan dan pahala yang besar“. (QS.Al-Ahzab:35)

320
A. PENGERTIAN KESEHATAN REPRODUKSI MENURUT
PARA AHLI
kesehatan reproduksi menurut WHO adalah suatu keadaan
fisik, mental dan sosial yang utuh, bukan hanya bebas dari penyakit
atau kecacatan dalam segala aspek yang berhubungan dengan sistem
reproduksi, fungsi serta prosesnya.
Kesehatan Seksual menurut WHO adalah sebagai suatu
keadaan fisik, emosi, mental dan perilaku sosial yang berhubungan
dengan seksualitas; tidak hanya mencakup tentang tidak adanya
penyakit, disfungsi dan kelemahan. Kesehatan seksual mensyaratkan
adanya pendekatan positif dan pendekatan saling menghormati
terhadap seksualitas dan hubungan seksual, maupun kemungkinan
merasakan kenikmatan dan kegiatan seksual yang aman, tanpa
paksaan, diskriminasi dan kekerasan.
Hak-hak seksual dan reproduksi adalah hak asasi manuasia
yang berkaitan dengan fungsi dan proses reproduksi untuk mencapai
derajat kesehatan reproduksi tertinggi dari setiap orang yang harus
dilindungi.
Ada 12 hak reproduksi menurut ICPD Cairo 1994 yang
sebaiknya diketahui, yaitu:
1. Hak untuk hidup
Hak untuk bebas dari risiko kematian karena kehamilan, infeksi
menular seksual (IMS) dan HIV & AIDS.

2. Hak atas kemerdekaan dan keamanan


ndividu berhak untuk menikmati dan mengatur kehidupan
seksual dan reproduksi. Kita juga punya hak untuk tidak dipaksa
sama siapapun untuk hamil, sterilisasi dan aborsi.

3. Hak atas kesetaraan dan bebas dari segala bentuk


diskriminasi
Hak untuk bebas dari segala bentuk pebedaan, termasuk dalam
kehidupan seksual dan reproduksi.

321
4. Hak atas kerahasian pribadi
Kita punya hak untuk dapat pelayanan kesehatan seksual dan
reproduksi. Dan pemberi layanan harus menghormati
kerahasiaan pribadi kita.

5. Hak atas kebebasan berfikir


Bebas dari penafsiran ajaran agama yang sempit, kepercayaan
dan tradisi yang ngebatasin kemerdekaan kita untuk berfikir
yentang kesehatan seksual dan reproduksi.

6. Hak mendapat informasi dan pendidikan


Hak untuk mendapatkan informasi yang engkap tentang
kesehatan seksual dan reproduksi. Informasinya juga harus
mudah dimengerti dan membuat kita merasa nyaman akan diri
kita, tubuh kita dan seksualitas kita. Informasi yang kita teria
harus bisa ngejamin untuk membuat keputusan sendiri dan tidak
membuat kita merasa di hakimi.

7. Hak untuk menikah atau tidak menikah serta membentuk


dan merencanakan keluarga
Memiliki kebebasan untuk memilih tanpa paksaaan apalagi
ancaman dari siapapun untuk menikah dengan pasangan kita
atau memilih untuk tidak menikah.

8. Hak untuk memutuskan mempunyai atau tidak dan kapan


waktu memiliki anak
Kebebasan untuk memilih dan memutuskan ingin mempunyai
anak atau tidak dan kapan waktunya. Tidak boleh ada yang
memaksa perempuan untuk punya anak atau menggugurkan
kandungannya.

322
9. Hak atas pelayanan dan perlindungan kesehatan
Hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan reproduksi dan
seksual yang tersedia termasuk alat kontrasepsi. Pusat pelayanan
harus membuat kita erasa aman dan nyaman.

10. Hak untuk mendapat manfaat dari kemajuan ilmu


pengetahuan
Kita punya hak untuk dapat pelayanana kesehatan reproduksi
dengan teknologi mutakhir yang aman dan dapat diterima.

11. Hak atas kebebasan berkumpul dan berpartisipasi dalam


politik
Hak untuk membuat dan mengemukakakn pandangan kita
sendiri tentang isu kesehatan reproduksi dan seksual. Pandangan
kita itu harus dipertimbangkan secara serius oleh pemerintah dan
pihak-pihak terkait. Kita juga punya hak untuk mengadakan
acara pertemuan atau diskusi tentang isu-isu kesehatan
reproduksi dans seksual.

12. Hak untuk bebas dari penganiayaan dan perlakuan buruk


Hak untuk bilang tidak saat diminta melakukan hubungan
seksual atau kegiatan apapun yang tidak kita ungunkan, seperti
disentuh atau dipaksa menyentuk ornag lain. Termasuk hak-hak
perlindungan anak dari perdagangan, eksploitasi dan
penganiayaan seksual. Kita juga punya hak untuk melindungi
dari perkosaan, kekerasan, penyiksaan dan pelecehan seksual.

B. KESEHATAN REPRODUKSI DALAM ISLAM


Islam sebagai pandangan hidup tentu saja memiliki kaitan
dengan kesehatan reproduksi mengingat Islam berfungsi sebagai
pengatur kehidupan manusia dalam rangka mencapai keadaan sesuai
dengan definisi kesehatan reproduksi itu sendiri. Islam mengatur
kesehatan reproduksi manusia ditujukan untuk memuliakan dan
menjunjung tinggi derajat manusia. Dan Islam sejak belasan abad

323
yang lalu jauh sebelum kemajuan ilmu kesehatan dan kedokteran
mengaturnya sesuai dengan Quran, hadits, dan ijma para ulama,
yang mencakup seksualitas, kehamilan, menyusui, kontrasepsi dan
KB, dan aborsi, serta hal lain yang tidak dapat dijelaskan satu-satu
persatu. Dan sebagai umat muslim kita wajib mengikuti aturan-
aturan yang telah ditetapkan Islam dalam rangka mencapai
kesejahteraan sebagai umat manusia.
Kesehatan reproduksi di dalam Islam sangat diperhatikan.
Salah satu isu mengenai kesehatan reproduksi di dalam agama Islam
adalah masalah aborsi. Tingkat aborsi illegal di negara berkembang
khususnya di Indonesia masih cukup tinggi dan menjadi sorotan
dalam pandangan para ulama yang sangat serius dalam
memperhatikan masalah kesehatan reproduksi. Tindakan aborsi
illegal ini lebih banyak dilakukan oleh wanita berusia antara 20
hingga 25 tahun. Kebanyakan adalah wanita yang tidak menikah
atau remaja yang belum cukup memahami mengenai kesehatan alat
reproduksi dengan baik dan dari sumber yang tepat.
Islam memberi banyak ruang dan dukungan atas akses
kesehatan reproduksi terutama pada kaum perempuan. Sebagai
agama yang melindungi kaumnya, posisi perempuan, terutama para
ibu, dalam Islam sangat dimuliakan. Oleh karena itu, posisi
perempuan harus dijaga lewat norma-norma sosial. Pemahaman
yang benar mengenai kesehatan reproduksi merupakan salah satu
bentuk dukungan Islam agar kaum perempuan dapat menjadi ibu
yang sehat dan bertanggung jawab. Umat Islam, baik laki-laki
maupun wanita, sebaiknya mau belajar lebih banyak mengenai
kesehatan reproduksi agar norma-norma sosial dalam Islam bisa
ditegakkan dan dijalankan secara harmonis dengan ajaran-ajaran
Islam lainnya.
Islam sebagai pedoman hidup tentunya memiliki kaitan erat
dengan kesehatan reproduksimengingat Islam memiliki aturan-
aturan dalam kehidupan manusia yang bertujuan untuk mencapai
kondisi yang sesuai dengan persyaratan kesehatan reproduksi. Sejak
berabad-abad yang lalu, sebenarnya aturan-aturan dalam Islam di Al

324
Quran telah mengajarkan berbagai hal mengenai kesehatan
reproduksi antara lain mengenai seksualitas, kontrasepsi, kehamilan,
menyusui dan juga mengenai aborsi. Jika aturan-aturan tersebut
dipatuhi oleh umat Muslim, maka kesejahteraan umat manusia dapat
tercapai dengan baik.
Dalam menjaga kesehatan reproduksi umat Muslim, Islam
telah lama melarang hubungan seksual pra nikah, hubungan seksual
melalui dubur dan mulut. Hubungan seksual antara pasangan sejenis
dan juga hubungan seksual dengan binatang. Dalam rangka menjaga
kesehatan reproduksi, hubungan seksual dengan pasangan yang
berganti-ganti juga sangat tidak diperbolehkan di dalam Islam.
Kepatuhan akan segala larangan tersebut dapat membuat kesehatan
reproduksi umat Muslim terjaga begitu pula kesehatan fisik dan
mentalnya serta hubungan sosial antar umat. Larangan-larangan
tersebut telah dijelaskan secara detail lewat surat-surat di dalam Al
Quran, hadist dan melalui para ulama.
Kesehatan reproduksi dalam pandangan Islam diakui oleh
dunia sangat jelas dan detail namun disampaikan dengan cara yang
simple sehingga dapat dimengerti dengan mudah oleh umat Muslim.
Misalnya dalam masalah kehamilan, dijelaskan dengan gamblang
bagaimana sebuah kehamilan bisa terjadi. Informasi mengenai
kesehatan reproduksi berupa perawatan genital juga disampaikan
dengan baik melalui banyak ayat. Selain itu, hak-hak perempuan
dalam kesehatan reproduksi juga sangat diperhatikan dalam agama
Islam.

 Islam dan Seksualitas


Seksualitas dalam Islam dapat menjadi hal yang terpuji
sekaligus tercela. Seksualitas menjadi hal yang terpuji jika
dilakukan dalam lingkup hubungan yang sesuai syariat, yaitu
hubungan pasangan laki-laki dan perempuan bukan antara pasangan
sejenis (homoseksual) atau dengan binatang (zoofilia) yang telah
menikah secara sah. Sebaliknya seksualitas dalam Islam dapat

325
menjadi hal yang tercela jika hubungan dilakukan di luar
pernikahan, antara pasangan sejenis, atau dengan binatang.
Ayat Quran yang paling terkenal untuk menjelaskan
hubungan laki-laki dan perempuan yang sesuai syariat adalah dalam
surat Ar Ruum: 21 yang menyatakan tujuan pernikahan yaitu
dijadikannya rasa cinta dan kasih sayang. Seorang ahli tafsir dalam
kitab tafsir Al Futuhatul Ilahiyahmenyatakan bahwa cinta berarti
hubungan seksual, dan kasih sayang berarti hasil hubungan seksual
yaitu seorang anak. Hal ini berarti Islam sangat mengatur hubungan
antara laki-laki dan perempuan dalam hal seksualitas adalah untuk
kebaikan bersama secara fisik dan mental serta menghasilkan
keturunan sebagai penerus diinul Islam, bukan hanya untuk
kepuasan secara biologis saja.
melakukan hubungan seksual dengan persetujuan pasangan
(suami atau isteri). Perlu disadari, hubungan seksual dalam
pernikahan harus menjadi kerelaan suami dan isteri. Jangan sampai
ada pihak yang merasa dipaksa melakukannya, sehingga terjadi
‘perkosaan’ dalam hubungan perkawinan (marital rape) dengan
alasan apapun. Sebab Islam telah mengajarkan berlaku santun
kepada pasangan (mu’asyarah bil ma’ruf).
Islam melarang hubungan seksual melalui dubur & mulut
(anal & oral sex), homoseksualitas, sodomi, lesbianisme, dan
perilaku seksual lain yang tidak wajar. Kekhawatiran Islam tentang
hal ini sangat beralasan mengingat saat ini perilaku di atas banyak
ditemukan di masyarakat di seluruh dunia yang berakibat pada
timbulnya penyakit-penyakit menular seksual dan desakralisasi
hubungan pernikahan dimana hanya mementingkan syahwat semata.
Hubungan seksual juga dilarang untuk dilakukan saat menstruasi
(lihat QS. Al Baqarah: 222), pasca melahirkan, penyakit berat, dan
siang hari di bulan Ramadhan. Penelitian-penelitian di abad modern
menunjukkan korelasi positif antara larangan tersebut dengan efek
merugikan yang ditimbulkannya bila dilakukan.
Dalam Islam hubungan seksual pranikah dan perselingkuhan
dilarang dan dapat dihukum sesuai syariat. Bahkan negara kita juga

326
telah memasukkan perihal ini dalam KUHP. Supaya umat manusia
tidak terjebak pada perilaku tercela maka Islam mengaturnya dalam
Quran surat Al Israa: 32 yaitu tentang larangan mendekati zina.
Bukan hanya melakukan, mendekatinya saja dilarang dalam Islam
seperti hubungan laki-laki dan perempuan bukan muhrim yang
terlampau bebas.
Hubungan seksual yang bebas (freesex) secara kedokteran
dapat menyebabkan penyakit/ infeksi menular seksual, kehamilan
tak diinginkan, aborsi dan kematian ibu, dan bayi tanpa ibu. Secara
sosial maka akan menimbulkan nasab yang tidak jelas, sehingga
kehidupan keluarga dan sosial budaya akan terganggu. Semua hal
itu akan berujung pada penurunan kualitas generasi bangsa.

 Islam dan Kehamilan


Dr Maurice Bucaille, ilmuwan Perancis dalam bukunya yang
fenomenal La Bible Le Coran Et La Science (Bibel, Quran, dan
Sains Modern) menyatakan bahwa sebelum ilmu kedokteran modern
berkembang, para ilmuwan memiliki konsep yang salah tentang
penciptaan manusia padahal Quran telah menyatakannya dengan
sangat jelas sejak 14 abad yang lalu. Dalam surat Al Mukminun: 14
dan Al Hajj: 5, Quran telah menjelaskan tahap demi tahap
perkembangan penciptaan manusia. Quran menyebutkan tempat-
tempat mekanisme yang tepat dan menyebutkan tahap-tahap
yang pasti dalam reproduksi, tanpa memberi bahan yang keliru
sedikit jua pun. Semuanya diterangkan secara
sederhana dan mudah dipahami oleh semua orang serta sangat
sesuai dengan hal-hal yang ditemukan oleh sains di kemudian hari.
Mari kita lihat kandungan surat Quran di bawah ini yang begitu
menakjubkan: “Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal
darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan
segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang
belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan
dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Sucilah Allah,
Pencipta Yang Paling Baik”(QS. Al Mu’minun: 14)

327
Hal yang dijelaskan Al Quran di atas sangat sejalan dengan
ilmu kedokteran dan embriologi modern, termasuk diciptakannya
pancaindera seperti tercantum dalam Surat As Sajadah: 9, yang
berbunyi: "Kemudian Dia menyempurnakannya dan meniupkan ke
dalam tubuhnya roh (ciptaan)Nya, dan Dia menjadikan bagi kamu
pendengaran, penglihatan dan hati, (tetapi) sedikit sekali kamu
bersyukur."

 Islam dan Menyusui


Penelitian ilmiah modern baru dapat menyatakan kelebihan
dan manfaat air susu ibu (ASI) di penghujung abad ke-20. Namun,
kajian tentang ASI telah termaktub di dalam Quran beribu tahun
yang lalu sejak diturunkannya pedoman hidup manusia itu. ASI
sebagai makanan terbaik bagi bayi itu telah menjadi rekomendasi
WHO untuk diberikan secara eksklusif selama 4-6 bulan dan
dilanjutkan bersama makanan lain hingga berusia 2 tahun. Hal ini
sesuai dengan surat Al Baqarah: 233, yang secara ilmiah berkaitan
erat dengan pembentukan sistem kekebalan tubuh bayi dalam tahun-
tahun pertama kehidupannya.
ASI tidak hanya penting bagi bayi saja tetapi penting pula
bagi ibunya. Hubungan batin antara ibu dan bayinya menjadi lebih
terasa karena dekatnya hubungan mereka melalui proses penyusuan.
Secara klinis telah pula diteliti bahwa penyusuan dapat mengurangi
risiko kanker payudara. Selain itu proses penyusuan berguna pula
sebagai kontrasepsi alamiah.
Allah SWT berfirman : “Para ibu hendaklah menyusukan
anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin
menyempurnakan penyusuan....”. Sungguhpun dalam Islam
menyusui adalah hak ibu, tapi hal ini sangat dianjurkan karena
dengan menyusui mengurangi risiko penyakit kanker payudara dan
dapat menjarangkan kelahiran yang berdekatan jaraknya.

328
 Islam dan Kontrasepsi
Hingga saat ini kontrasepsi sebagai sarana pengaturan jarak
kehamilan masih menjadi perdebatan di kalangan ulama dan
ilmuwan Islam. Ada kalangan yang menentang karena mereka
beranggapan kontrasepsi atau keluarga berencana merupakan
produk Yahudi dan kaum kafir untuk melemahkan kaum muslimin
karena mereka takut kalau-kalau pertumbuhan umat Islam akan
mengancam tujuan, dominasi/pengaruh dan kepentingan
mereka. Kalangan yang menentang juga beranggapan bahwa KB
bertentangan dengan anjuran Islam untuk memperbanyak keturunan.
Ada pula kalangan yang membolehkan atau membolehkan dengan
syarat.
Kontrasepsi di dunia Islam memiliki sejarah panjang. Dasar
penggunaan kontrasepsi di dalam Islam adalah hadits Rasulullah
yang berbunyi, ‘Kami pernah melakukan azl (senggama terputus) di
zaman Rasulullah. Rasul mengetahui hal itu terapi tidak melarang
kami melakukannya’. Beberapa ulama menggunakan qyas,
bila azl diperbolehkan, maka metode ikhtiar pengaturan kehamilan
lainnya pun boleh, kecuali sterilisasi. Jarak kehamilan dalam Islam
pun telah diatur melalui program menyusui. Kedokteran Islam
sendiri telah mengembangkan kontrasepsi sejak awal dan
memerintahkan Eropa untuk menggunakannya.
Penggunaan kontrasepsi dilarang jika ditujukan untuk
menyuburkan kolonialisme dan imperialism. Intinya ketentuan
Islam yang berhubungan dengan kontrasepsi atau KB bergantung
kepada niat. Kalau kita menggunakan kontrasepsi karena ingin anak
sedikit, malas mengurus anak, takut kulit rusak, takut organ
reproduksi atau fungsi seksual terganggu, atau takut miskin,
tentunya menggunakan kontrasepsi bertentangan dengan anjuran
Islam karena unsurnya hanyalah egoisme
bukan hablumminallah atau hablumminannas. Tentunya berbeda
kalau kita berupaya menjarangkan kehamilan itu karena ikhtiar
untuk dapat mendidik anak dengan lebih sempurna atau karena kita

329
takut lahir anak yang cacat bila usia kita sudah di atas 35 tahun. Ada
baiknya kita renungkan ayat Quran berikut:
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang
seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang
lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka.
Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan
hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar (QS. An
Nisaa: 9)”.

 Islam dan Aborsi


Permasalahan aborsi atau secara medis berarti penghentian
kehamilan di bawah usia kehamilan 20 minggu masih menjadi
perdebatan di kalangan muslim. Kalangan yang sepenuhnya
menentang mendasarkan pendapatnya pada Quran Surat Ath-
Thalaq: 3, yaitu, ‘Dan memberinya rezki dari arah yang tiada
disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada
Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.
Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya.
Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap
sesuatu’
Sementara itu kalangan muslim lainnya membolehkan aborsi
hanya untuk alasan berat seperti mengancam nyawa ibu atau
kemungkinan janin lahir cacat. Saat ini berkembang perdebatan di
Indonesia tentang akan dikeluarkannya Undang-Undang (UU) yang
cenderung untuk melegalkan bahkan meliberalkan aborsi, dengan
alasan saat ini banyak masyarakat yang terlibat praktik aborsi yang
tidak aman sehingga menimbulkan angka kematian ibu dan bayi
tertinggi di antara negara-negara ASEAN. Tentu saja pembuatan
produk legislatif ini harus disikapi dengan bijaksana dengan
melibatkan berbagai unsur dalam masyarakat termasuk kalangan
ulama dan agamawan dalam proses pembuatannya.

330
 Islam dan Pendidikan Seks
Islam juga sama sekali tidak lupa untuk mengajarkan kita
tentang pendidikan seks berupa penjelasan tentang alat-alat
reproduksi, kehamilan, menstrusi (haid), hubungan seksual yang
aman dan syar’i, dengan bahasa yang sederhana dan
dalam batas tata susila yang diperlukan, bukan mengandung unsur
pornografi.
Akhirnya kita semua harus memahami bahwa Islam
mengatur seksualitas untuk mencegah umat manusia melakukan
perilaku seksual yang serampangan, yang dapat mengancam
kemanusiaan.

C. KESEHATAN REPRODUKSI PEREMPUAN DALAM


ISLAM
Berdasarkan definisi dari Departemen Kesehatan, diketahui
bahwa kesehatan reproduksi adalah: ”keadaan sehat secara
menyeluruh serta proses reproduksi”. Dengan demikian
kesehatan reproduksi bukan hanya kondisi bebas dari penyakit,
melainkan bagaimana seseorang dapat memiliki kehidupan yang
sehat.
Pemahaman yang seperti itulah yang pada akhirnya banyak
diikuti oleh para ilmuwan, termasuk oleh para ulama. Dan, bahkan
mereka – kemudian – menawarkan pandangan yang lebih
komprehensif.

 Perkembangan Pemikiran tentang Kesehatan Reproduksi


Perempuan
Pembangunan kesehatan bertujuan untuk mempertinggi
derajat kesehatan masyarakat. Demi tercapainya derajat kesehatan
yang tinggi, maka perempuan sebagai penerima kesehatan, anggota
keluarga dan pemberi pelayanan kesehatan harus berperan dalam
keluarga, supaya anak tumbuh sehat sampai dewasa sebagai
generasi muda. Oleh sebab itu perempuan, seyogyanya diberi
perhatian sebab:

331
1. Perempuan menghadapi masalah kesehatan khusus yang tidak
dihadapi pria berkaitan dengan fungsi reproduksinya
2. Kesehatan perempuan secara langsung mempengaruhi kesehatan
anak yang dikandung dan dilahirkan.
3. Kesehatan perempuan sering dilupakan dan ia hanya sebagai
objek dengan mengatas namakan “pembangunan” seperti
program KB, dan pengendalian jumlah penduduk.
4. Masalah kesehatan reproduksi perempuan sudah menjadi agenda
intemasional diantaranya Indonesia menyepakati hasil-hasil
konferensi mengenai kesehatan reproduksi dan kependudukan
5. Berdasarkan pemikiran di atas kesehatan perempuan merupakan
aspek paling penting disebabkan pengaruhnya pada kesehatan
anak-anak. Oleh sebab itu pada perempuan diberi kebebasan
dalam menentukan hal yang paling baik menurut dirinya sesuai
dengan kebutuhannya di mana ia sendiri yang memutuskan atas
tubuhnya sendiri.

 Pemahaman Komprehensif tentang Reproduksi Perempuan


Berdasarkan Konferensi Perempuan sedunia ke-4 di Beijing
pada tahun 1995 dan Koperensi Kependudukan dan Pembangunan
di Cairo tahun 1994, sudah disepakati perihal hak-hak reproduksi.
Dalam hal ini disimpulkan bahwa terkandung empat hal pokok
dalam reproduksi perempuan, yaitu:
1. Kesehatan reproduksi dan seksual (reproductive and sexual
health)
2. Penentuan dalam keputusan reproduksi (reproductive decision
making)
3. Kesetaraan pria dan perempuan (equality and equity for men
and women)
4. Keamanan reproduksi dan seksual (sexual and reproductive
security)

Adapun definisi tentang arti kesehatan reproduksi yang telah


diterima secara internasional yaitu: “keadaan kesejahteraan fisik,

332
mental, sosial yang utuh dalam segala hal yang berkaitan dengan
sistim, fungsi-fungsi dan proses reproduksi”. Selain itu juga
disinggung hak-hak reproduksi yang didasarkan pada pengakuan
hak asasi manusia bagi setiap pasangan atau individu untuk
menentukan secara bebas dan bertanggung jawab mengenai jumlah
anak, penjarakan anak, dan menentukan kelahiran anak mereka.

 Indikator Permasalahan Kesehatan Reproduksi Perempuan


Dalam pengertian kesehatan reproduksi secara lebih
mendalam, bukan semata-mata sebagai pengertian klinis
(kedokteran) saja tetapi juga mencakup pengertian sosial
(masyarakat). Intinya goal kesehatan secara menyeluruh bahwa
kualitas hidupnya sangat baik. Namun, kondisi sosial dan ekonomi
terutama di negara-negara berkembang yang kualitas hidup dan
kemiskinan memburuk, secara tidak langsung memperburuk pula
kesehatan reproduksi perempuan.

 Indikator-indikator permasalahan kesehatan reproduksi


perempuan di Indonesia: Di antara indikator-indikator
permasalahan kesehatan reproduksi perempuan di
Indonesia yang diprediksi sangat berpengaruh ialah:
1. Gender; yaitu peran masing-masing pria dan perempuan
berdasarkan jenis kelamin menurut budaya yang berbeda-
beda. Jender sebagai suatu konstruksi sosial mempengaruhi
tingkat kesehatan, dan karena peran jender berbeda dalam
konteks cross cultural (lintas budaya), berarti tingkat
kesehatan perempuan juga berbeda-beda.
2. Kemiskinan; yang antara lain mengakibatkan:
3. Makanan yang tidak cukup atau makanan yang kurang gizi
4. Persediaan air yang kurang, sanitasi yang jelek dan
perumahan yang tidak layak
5. Tidak mendapatkan pelayanan yang baik
6. Pendidikan yang Rendah.

333
Kemiskinan mempengaruhi kesempatan untuk mendapatkan
pendidikan. Kesempatan untuk sekolah tidak sama untuk semua
tetapi tergantung dari kemampuan membiayai. Dalam situasi
kesulitan biaya biasanya anak laki-laki lebih diutamakan karena
laki-laki dianggap sebagai pencari nafkah utama dalam keluarga.
Dalam hal ini bukan indikator kemiskinan saja yang berpengaruh
tetapi juga jender berpengaruh pula terhadap pendidikan. Tingkat
pendidikan ini mempengaruhi tingkat kesehatan. Orang yang
berpendidikan biasanya mempunyai pengertian yang lebih besar
terhadap masalah-masalah kesehatan dan pencegahannya. Minimal
dengan mempunyai pendidikan yang memadai seseorang dapat
mencari liang, merawat diri sendiri, dan ikut serta dalam mengambil
keputusan dalam keluarga dan masyarakat.

7. Kawin Muda
Di negara berkembang termasuk Indonesia kawin muda pada
perempuan masih banyak terjadi (biasanya di bawah usia 18 tahun).
Hal ini banyak kebudayaan yang menganggap kalau belum menikah
di usia tertentu dianggap tidak laku. Ada juga karena faktor
kemiskinan, orang tua cepat-cepat mengawinkan anaknya agar lepas
tanggung jawabnya dan diserahkan anak perempuan tersebut kepada
suaminya. Ini berarti perempuan muda hamil mempunyai resiko
tinggi pada saat persalinan. Di samping itu resiko tingkat kematian
dua kali lebih besar dari perempuan yang menikah di usia 20
tahunan. Dampak lain, mereka putus sekolah, pada akhirnya akan
bergantung kepada suami baik dalam ekonomi dan pengambilan
keputusan.

8. Kekurangan Gizi dan Kesehatan yang Buruk


Menurut WHO di negara berkembang terrnasuk Indonesia
diperkirakan 450 juta perempuan tumbuh tidak sempurna karena
kurang gizi pada masa kanak-kanak, akibat kemiskinan. Jika pun
berkecukupan, budaya menentukan bahwa suami dan anak laki-laki
mendapat porsi yang banyak dan terbaik dan terakhir sang ibu

334
memakan sisa yang ada. Perempuan sejak ia mengalami menstruasi
akan membutuhkan gizi yang lebih banyak dari pria untuk
mengganti darah yang keluar. Zat yang sangat dibutuhkan adalah zat
besi yaitu 3 kali lebih besar dari kebutuhan pria. Di samping itu
perempuan juga membutuhkan zat yodium lebih banyak dari pria,
kekurangan zat ini akan menyebabkan gondok yang membahayakan
perkembangan janin baik fisik maupun mental. Perempuan juga
sangat rawan terhadap beberapa penyakit, termasuk penyakit
menular seksual, karena pekerjaan mereka atau tubuh mereka yang
berbeda dengan pria. Salah satu situasi yang rawan adalah,
pekerjaan perempuan yang selalu berhubungan dengan air, misalnya
mencuci, memasak, dan sebagainya. Seperti diketahui air adalah
media yang cukup berbahaya dalam penularan bakteri penyakit.

9. Beban Kerja yang Berat


Perempuan bekerja jauh lebih lama dari pada pria, berbagai
penelitian yang telah dilakukan di seluruh dunia rata-rata perempuan
bekerja 3 jam lebih lama. Akibatnya perempuan mempunyai sedikit
waktu istirahat, lebih lanjut terjadinya kelelahan kronis, stress, dan
sebagainya. Kesehatan perempuan tidak hanya dipengaruhi oleh
waktu.

D. Pandangan Islam tentang Kesehatan Reproduksi


Perempuan
Islam sebagai ad-Dîn merupakan pedoman hidup yang
mengatur dan membimbing manusia yang berakal untuk
kebahagiaan mereka di dunia dan akhirat. Sisi-sisi kehidupan
manusia sekecil apapun telah menjadi perhatian Islam, termasuk
dalam hal ini yang berkaitan dengan kesehatan. Ia merupakan
nikmat dari Allah SWT yang luar biasa nilainya, karena itu ia
merupakan amanah yang menjadi kewajiban bagi setiap pribadi
untuk menjaganya dengan memelihara kesehatan secara sungguh-
sungguh.

335
Kesehatan adalah sesuatu yang sangat vital sekali bagi
kehidupan manusia, disamping kebutuhan sandang, pangan dan
papan, karena kesehatan merupakan sarana dalam mencapai
kehidupan yang bahagia. Kebutuhan hidup yang tersedia tidak akan
berguna dan menjadi hambar apabila tidak diiringi dengan kesehatan
badan. Dalam hal ini Rasulullah s.a.w. bersabda, sebagaimana hadis
yang diriwayatkan an-Nasai dari ’Amr bin Maimun dalam kitab As-
Sunan al-Kubrâ:
‫اغتَنِ ْم َخمْ سًا قَ ْب َل َخمْ س‬: ْ ‫ َو ِغنَاكَ قَ ْب َل‬، َ‫سقَمِ ك‬ َ ‫ َو ِص َّحت َكَ قَ ْب َل‬، َ‫شبَابَكَ قَ ْب َل ه ََرمِ ك‬ َ
َ ْ ُ َ َ َ
َ‫ َو َحيَاتِكَ ق ْب َل َموْ تِك‬، َ‫ َوف َراغكَ ق ْب َل شغ ِلك‬، َ‫فق ِرك‬. ْ َ
”Perhatikanlah lima perkara ini sebelum datangnya lima
perkara: masa mudamu sebelum datang masa tuamu; kesehatanmu
sebelum datang sakitmu; kekayaanmu sebelum datang kefakiranmu;
kesempatanmu sebelum datang kesibukanmu; hidupmu sebelum
datang kematianmu.”
Disamping itu setiap muslim yang sakit di perintahkan pula
untuk berobat kepada ahlinya dan perbuatan tersebut juga bernilai
ibadah sebagaimana yang pernah di sabdakan oleh Nabi s.a.w.,
، َ‫ ِإالَّ ْال َم ْوت‬،‫ ِإالَّ أ َ ْنزَ َل َم َعهُ ِشفَا ًء‬،‫ع َّز َو َج َّل َل ْم يُن َِز ْل دَا ًء‬ َّ ‫ فَإ ِ َّن‬،ِ‫تَدَ َاو ْوا ِع َبادَ هللا‬
َ َ‫اَّلل‬
ْ
‫وال َه َر َم‬.
َ
“Berobatlah wahai hamba-hamba Allah, karena
sesungguhnya Allah tidaklah menurunkan suatu penyakit, kecuali
telah diturunkan pula obatnya, selain kematian dan penyakit tua
(pikun).” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ahmad, Ibnu Hibban dan
al-Hakim dari Usamah bin Syarik)
Islam mengajarkan prinsip-prinsip kesehatan, kebersihan dan
kesucian lahir dan batin. Antara kesehatan jasmani dengan
kesehatan rohani merupakan kesatuan sistem yang terpadu, sebab
kesehatan jasmani dan rohani menjadi syarat bagi tercapainya suatu
kehidupan yang sejahtera di dunia dan kebahagiaan di akhirat.
Sistem kesehatan dalam Islam tercermin dalam ajaran syariat
yang mewajibkan perbuatan membersihkan diri dari kotoran (najis),
dari hadats dan dari kotoran hati semua itu berada dalam satu paket
ibadah seperti wudhu’, mandi, shalat dan lain sebagainya.

336
Kita sudah mengenal bahwa pangkal dari kesehatan adalah
kebersihan, bahkan melalui ajaran-ajaran Rasulullah s.a.w., kita
dituntun untuk senantiasa memperhatikan masalah kebersihan. Ada
satu pernyataan populer di kalangan para mubaligh: ”Kesehatan
jasmani sebaiknya diprioritaskan dari pada kesempurnaan agama,
sementara kebersihan itu adalah sebagian dari iman.” Sebagaimana
pernyatan ulama (bukan hadis Nabo s.a.w.) ”an-nadhâfatu minal
îmân (kebersihan itu adalah sebagian dari iman). Simpulan
sederhananya, kata para mubaligh, ”iman merupakan pokok ajaran
untuk berbaktivitas secara sehat”. Islam kata mereka menunjukkan
kebersihan dan kesucian dalam lima bagian, kebersihan dan
kesucian rumah dan perkarangan, badan, pakaian, makanan serta
kebersihan dan kesucian ruh dan hati.
Kesehatan baik jasmani atau ruhani merupakan nikmat dan
rahmat Allah yang setinggi-tingginya, harta benda dan jabatan tidak
ada gunanya apabila jasmani dan rohani sakit. Jasmani dan rohani
yang sehat merupakan pangkal kebahagiaan dan kesenangan.
Secara lebih khusus, perhatian Islam terhadap masalah
kesehatan reproduksi perempuan sedemikian besar, ini tercermin
dalam hal:
Pelarangan berduaan antara laki-laki dan perempuan yang
bukan mahram, sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh ath-
Thabarani dari Ibnu Abbas, Rasulullah s.a.w. bersabda:
َ ُ‫ َوال ي‬،ٍ‫ال يَ ْخلُو َر ُج ٌل َم َع ْام َرأَة‬
‫سافَ ُر َمعَ َها إِال َو َمعَ َها ذُو َمحْ َر ٍم‬
”Janganlah sekali-kali seorang laki-laki berdua-duaan
dengan seorang perempuan dan jangan pula melakukakan safar
dengannya, kecuali jika ada mahramnya.”
Pelarangan ini merupakann tindakan preventif agar tidak
terjadi perzinaan (hubungan seksual di luar pernikahan) yang
merupakan perbuatan terlarang. Sebab dampak yang ditimbulkan
dari perzinaan adalah dapat menyebabkan kehamilan yang tidak
dikehendaki (unwanted pregnancy) yang ujungnya adalah aborsi
sedangkan aborsi itu sendiri dapat menimbulkan berbagai penyakit,
di antaranya kemandulan atau timbulnya berbagai macam penyakit

337
kelamin salah satunya adalah AIDS. Yang banyak dirugikan adalah
kaum perempuan itu sendiri.
Pelarangan ini menunjukkan betapa besar perhatian Islam
terhadap kesehatan reproduksi perempuan, agar setiap orang
menjaganya dengan baik sehingga seorang perempuan dapat
menjalankan fungsi reproduksinya secara sehat dan bertanggung
jawab.
Menganjurkan pernikahan sebagai bentuk perlindungan agar
reproduksi menjadi sehat dan bertanggung jawab.
Tidak berhubungan ketika isteri sedang haid (QS al-Baqarah
[2]: 222).
“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah:
“Haidh itu adalah suatu kotoran”. oleh sebab itu hendaklah kamu
menjauhkan diri[1] dari wanita di waktu haidh; dan janganlah
kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci[2]. apabila mereka
telah Suci, Maka campurilah mereka itu di tempat yang
diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang
mensucikan diri.”
Memberikan hak pada perempuan untuk mendapatkan
perlakuan yang baik dari semua pihak misalnya hak untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan pada saat hamil dan menyusui.
Dalam saat seperti ini suami berkewajiban menjaga istrinya yang
sedang hamil atau menyusui agar selalu dalam keadaan sehat, baik
secara fisik maupun mental. Bahkan Allah swt dalam al-Quran
menegaskan kondisi perempuan yang hamil dalam keadaan lemah
(QS Luqmân [31]: 13,
”Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di
waktu ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah
kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan
(Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar”.
dan al-Ahqâf [46]: 15),
”Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik
kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan

338
susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula).
mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan,
sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat
puluh tahun ia berdoa: “Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk
mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku
dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang
saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan
(memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku
bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku Termasuk orang-
orang yang berserah diri”.
Oleh karena perhatian yang sangat besar terhadap kondisi
tersebut, maka perempuan hamil dan menyusui tidak diwajibkan
untuk beribadah puasa.
Memberikan hak pada perempuan untuk mengatur kelahiran.
Islam memberikan petunjuk kepada perempuan agar reproduksi
dilakukan dengan mengatur jarak kelahiran. Hal ini untuk
mengantisipasi kemungkinan yang tidak diinginkan seperti
meninggal ketika melahirkan karena lemah fisik atau badan tidak
sehat. Dan juga untuk memenuhi kebutuhan bayi terhadap ASI,
karena ASI itu sendiri sangat besar manfaatnya bagi kesehatan,
pertumbuhan dan perkembangan bayi. Isyarat tersebut ada di dalam
QS al-Baqarah [2]: 233,
“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua
tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan.
dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu
dengan cara ma’ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut
kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita
kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya,
dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin
menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan
permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika
kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa
bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut.

339
Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha
melihat apa yang kamu kerjakan.”
”Para ibu hendaklah menyusui anaknya selama dua tahun
penuh, yaitu bagi yangberkeinginan untuk menyempurnakan
penyusuan kepada anaknya”.
Dalam QS al-Ahqâf [46]: 15,
”Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik
kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan
susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula).
Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan,
sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat
puluh tahun ia berdoa: “Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk
mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku
dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang
saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan
(memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku
bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku Termasuk orang-
orang yang berserah diri”.
”Mengandungnya sampai menyapihnya selama tiga puluh
bulan”. Artinya jarak kelahiran bisa terjadi kurang lebih 3 tahun.

340
DISKRIMINASI GENDER
Oleh : Yesi Guspitasari_1138030228_5-F

Gender berasal dari kata “Genus” yang artinya jenis atau


tipe. Gender adalah sifat atau prilaku yang terdapat dalam diri
manusia baik itu perempuan maupun laki-laki yang menjadi ciri
khas dari diri seseorang. Gender berhubungan dengan peran dan
tanggung jawab antara perempuan dan laki-laki. Setelah itu, gender
dapat dikatakan sebagai pembeda jenis kelamin.
Diskriminasi adalah suatu tindakan, prilaku atau anggapan
yang tidak seharusnya dilakukan oleh seorang individu maupun
kelompok terhadap individu atau kelompok lain. Diskriminasi
merupakan suatu tindakan yang dapat merampas hak orang lain
termasuk hak seorang perempuan maupun laki-laki.
Maka dapat diartikan bahwa diskriminasi gender merupakan
suatu tindakan atau anggapan yang dilakukan terhadap diri
seseorang yang berakibatkan terampasnya hak-hak seseorang dalam
kehidupannya. Hak tersebut diantaranya :
1. Hak untuk hidup tenang dan tentram sesuai yang diharapkan
2. Hak untuk mendapatkan kelayakan hidup
3. Hak untuk mendapatkan pekerjaan
4. Hak untuk mendapatkan pendidikan
5. Hak untuk mendapatkan kesehatan

Unsur-unsur yang terkandung dalam istilah “Diskriminasi”


tersebut meliputi :
1. Ideology, berupa asumsi-asumsi berbasis gender tentang peran
dan kemapuan perempuan
2. Tindakan, perbedaan perilaku, pembatasan atau pengucilan
perempuan
3. Niat, diskriminasi langsung atau tidak langsung
4. Akibat

341
5. Pengaruh tau penghapusan pengakuan, penikmatan, penggunaan
hak dan kebebasan
6. Diskriminasi dalam semua bidang (politik, ekonomi, sosial,
budaya, sipil)dan oleh setiap pelaku

Unsur-unsur yang terkandung dalam pengertian diskriminasi


tersebut sangat jelas digambarkan adanya pembedaan perlakuan
berupa pengucilan atau pembatasan terhadap perempuan (atas dasar
jenis kelamin) yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk
mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan, dan
penggunaan Hak Asasi Manusia dan kebebasan-kebebasan lainnya.

Kekerasan Berbasis Gender


Butir 1 dari latar belakang Rekomendasi Umum nomor 19
Tahun 1993 tentang kekerasan terhadap perempuan, menyatakan
bahwa: “kekrasan berbasis gender adalah sebuah bentuk
diskriminasi yang secara serius menghalangi kesempatan wanita
untuk menikmati hak-hak kebebasannya yang setara dengan laki-
laki.”
Selanjutnya, Butir ke 6 ulasan umum rekomendasi umum no
19 Tahun 1993 tentang kekerasan terhadap perempuan juga
menegaskan bahwa:
“konvensi dalam pasal 1,menetapkan definisi tentang
diskriminasi terhadap perempuan. Definisi Diskriminasi itu
termasuk juga kekerasan berbasis gender, yaitu kekerasan yang
langsung ditujukan kepada seorang perempuan,karena dia adalah
perempuan atau hal-hal yang memberi akibat pada perempuan
secara tidak proporsional. Hal tersebut termasuk tindakan-tindakan
yang mengakibatkan kerugian atau penderitaan fisik, mental dan
seksual atau ancaman-ancaman seperti itu,paksaan dan perampasan
kebebasan lainnya kekerasan berbasis gender bisa melanggar
ketentuan tertentu dari konvensi, walaupun ketentuan itu tidak
secara spesifik tentang kekerasan”.

342
Kekerasan Berbasis Gender Kekerasan berbasis gender
adalah pelanggaran HAM yang sangat umum, merupakan suatu
krisis kesehatan masyarakat, dan tantangan terhadap kesetaraan,
pembangunan, keamanan dan perdamaian. Istilah “kekerasan
terhadap perempuan” dan “kekerasan berbasis gender” digunakan
untuk menggambarkan serangkaian penganiayaan yang dilakukan
kepada perempuan yang berakar pada ketidaksetaraan gender dan
subordinasi perempuan di dalam masyarakat terhadap laki-laki.
Kekerasan terhadap perempuan termasuk pada saat perang
digunakan sebagai alat untuk menyebarkan rasa takut, menteror dan
mempermalukan perempuan, keluarga dan komunitas mereka. Pada
tahun 1993, Deklarasi PBB untuk Penghapusan Kekerasan Terhadap
Perempuan mendefinisikan kekerasan terhadap perempuan sebagai
“tindakan kekerasan berbasis gender yang menghasilkan atau
berkemungkinan menghasilkan cedera fisik, seksual, atau psikologis
atau penderitaan terhadap perempuan, termasuk ancaman untuk
melakukan tindakan-tindakan seperti ini, pemaksaan atau
penghilangankebebasan secara acak, baik terjadi di kehidupan
publik atau pribadi.” Definisi ini mencakup kekerasan yang terjadi
di keluarga, di dalam masyarakat umum, dan kekerasan yang
dilakukan atau dibiarkan oleh Negara. Bentuk-bentuk kekerasan
berbasis gender termasuk tetapi tidak terbatas pada: kekerasan
domestik, penganiayaan seksual, perkosaan, pelecehan seksual,
perdagangan perempuan, prostitusi paksa, dan tindakan-tindakan
yang berbahaya terhadap perempuan. Bentuk-bentuk kekerasan ini
bisa mengakibatkan masalah pada kesehatan reproduksi maupun
masalah fisik, mental, seksual, dan masalah kesehatan lainnya.
Lebih dari itu, majemuknya identitas perempuan dan
persinggunannya dengan berbagai faktor identitas lain seperti kelas,
ras, etnis, agama, usia, seksualitas dan status kewarganegaraan bisa
menjadi sesuatu yang meningkatkan kerentanan mereka terhadap
kekerasan.

343
Masalah Gender Dalam Perilaku Sosial Budaya Masayarakat
Hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan dapat dilihat
dalam berbagai bidang kehidupan antara lain dalam bidang politik,
sosial, ekonomi, budaya dan hukum ( baik hukum tertulis maupun
tidak tertulis yakni hukum hukum adat ). Hubungan sosial antara
laki-laki dan perempuan dalam berbagai bidang kehidupan tersebut
pada umumnya menunujukan hubungan yang sub-ordinasi yang
artinya bahwa kedudukan perempuan lebih rendah bila
dibandingkan dengan kedudukan laki-laki. Hubungan yang sub-
ordinasi tersebut dialami oleh kaum perempuan di seluruh dunia
karena hubungan yang sub-ordinasi tidak saja dialami oleh
masyarakat yang sedang berkembang seperti masyarakat Indonesia,
namun juga dialami oleh masyarakat negara-negara yang sudah
maju seperti Amerika Serikat dan lain-lainnya. Keadaan yang
demikian tersebut dikarenakan adanya pengaruh dari idiologi
patriarki yakni idiologi yang menempatkan kekuasaan pada tangan
laki-laki dan ini terdapat di seluruh dunia. Keadaan seperti ini sudah
mulai mendapat perlawanan dari kaum feminis, karena kaum
feminis selama ini selalu berada pada situasi dan keadaan yang
tertindas. Oleh karenanya kaum femins berjuang untuk menuntut
kedudukan yang sama dengan kaum laki-laki dalam berbagai bidang
kehidupan agar terhindar dari keadaan yang sub-ordinasi tersebut.
Ketidakadilan gender merupakan berbagai tindak ketidakadilan atau
diskriminasi yang bersumber pada keyakinan gender. Ketidakadilan
gender sering terjadi di mana-mana ini terkaitan dengan berbagai
faktor. Mulai dari kebutuhan ekonomi budaya dan lain lain.
Sebenarnya masalah gender sudah ada sejak jaman nenek moyang
kita, ini merupakan masalah lama yang sulit untuk di selesaikan
tanpa ada kesadaran dari berbagai pihak yang bersangkutan. Budaya
yang mengakar di indonesia kalau perempuan hanya melakukan
sesuatu yang berkutik didalam rumah membuat ini menjadi
kebiasaan yang turun temurun yang sulit di hilangkan. Banyak yang
menganggap perbedaan atau dikriminasi gender yang ada pada film
itu adalah hal yang biasa dan umum, sehingga mereka tidak merasa

344
di diskriminasi, namun akhir-akhir ini muncul berbagai gerakan
untuk melawan bias gender tersebut. Saat ini banyak para wanita
bangga merasa hak nya telah sama dengan pria berkat atas kerja
keras RA KARTINI padahal mereka dalam media masih di jajah
dan di campakan seperti dahulu.

Bentuk-bentuk Diskriminasi Gender


 Marginalisasi
Proses peminggiran atau penyisihan yang mengakibatkan
dalam keterpurukan. Hal ini banyak terjadi dalam masyarakat di
negara berkembang seperti penggusuran dari kamoung
halaman,eksploitasi. Namun, pemiskinan atas prempuan maupun
laki-laki yang disebabkan jenis kelamin merupakan salah satu
bentuk ketidak adilan yang disebabkan gender.sebagai contoh,
banyak pekerja prempuan tersingkir dan menjadi miskin akibat dari
program pembangunan seperti intersifikasi pertanian yang hanya
memfokuskan petani laki-laki,perempuan dipinggirkan dari berbagai
jenis kegiatan pertanian dan industry yang lebih memerlukan
ketrampilan yang biasanya lebih banyak dimiliki laki-laki. Selain itu
perkembangan teknologi telah menyebabkan apa yang semula
dikerjakan secara manual oleh prempuan diambil alih oleh mesin
yang umumnya dikerjakan oleh tenaga laki-laki.
Contoh lain marginalisasi
a. Design teknologi terbaru diciptakan untuk laki-laki,dengan
postur tun.
b. Mesin-mesin digerakkan membutuhkan tenaga laki-laki.
c. Baby sister adalah perempuan.
d. Perusahaan garmen banyak membutuhkan perempuan
e. Direktur banyak oleh laki-laki

 Sub Ordinasi
Sub ordinasi pada dasarnya adalah keyakinan bahwa salah
satu jenis kelamin dianggap lebih penting atau lebih utama
dibanding jenis kelamin lainnya. Sudah sejak dahulu ada pandangan

345
yang menempatkan kedudukan dan peran perempuan lebih rendah
dari laki-laki. Banyak kasus dalam tradisi, tafsiran ajran agama
maupun dalam aturan birokrasi yang meletakkan kaum perempuan
sebagai subordinasi dari kaum laki-laki. Kenyataan memperlihatkan
bahwa masih ada nilai-nilai masyarakat yang membatasi ruang
gerak terutama perempuan dalam kehidupan.
Contoh Sub Ordinasi:
a. Persyaratan melanjutkan studi untuk istri harus ada izin suami
b. Dalam kepanitian perempuan paling tinggi pada jabatan
sekretaris

 Pandangan stereotip
Adalah penandaan atau cap yang sering bermakna negative.
Pelebelan negative secara umum selalu melahirkan ketidakadilan.
Salah satu stereotype yang berkembang berdasarkan pengertian
gender, yakni terjadi terhadap salah satu jenis kelamin perempuan,
misalnya:
a. Pekerjaan dirumah seperti mencuci, memasak, membersihkan
rumah diidentikan dengan pekerjaan perempuan atau ibu rumah
tangga
b. Laki-laki sebagai pencari nafkah yang utama, harus diperlakukan
dengan istimewa di dalam rumah tangga, misalnya yang
berkaitan dengan makan

Hal ini tidak hanya terjadi dalam lingkup rumah tangga


tetapi juga terjadi di tempat kerja dan masyarakat, bahkan ditingkat
pemerintahan dan negara. Apabila seorang laki-laki marah, ia
dianggap tegas, tetapi bila perempuan marah atau tersinggung
dianggap emosional dan tidak dapat menahan diri. Standar nilai
terhadap perilaku perempuan dan laki-laki berbeda, namun standar
nilai tersebut banyak menghakimi dan merugikan perempuan lebel
kaum perempuan sebagai “ibu rumah tangga” merugikan, jika
hendak aktif dalam kegiatan laki-laki seperti berpolitik bisnis atau
birokrat. Sementara lebel laki-laki sebagai pencari nafkah utama,

346
(breadwinner) mengakibatkan apa saja yang dihasilkan oleh
perempuan dianggap sebagai sambilan atau tambahan dan
cenderung tidak diperhitungkan.

 Kekerasan
Berbagai bentuk tindak kekerasan terhadap perempuan
sebagai akibat perbedaan muncul dalam berbagai bentuk. Kata
kekerasan merupakan terjemahan dari violence artinya suatu
keserangan terhadap fisik maupun integritas mental psikologi
seseorang oleh karena itu kekerasan tidak hanya menyangkut sarana
fisik saja seperti perkosaan, pemukulan dan penyiksaan tetapi
bersifat nonfisik seperti pelecehan seksual sehingga secara
emosional terusik.
 Adapun contoh tindak kekerasan yaitu
 Suami memperketat istri dalam urusan ekonomi keluarga
 Suami melarang istri bersosialisasi di masyarakat
 Istri mencela pendapat suami di depan umum
 Istri merendahkan martabat suami dihadapan masyarakat
 Suami memukul istri

Perilaku kekerasan bermacam-macam,ada yang bersifat


individu, baik di dalam rumah tangga sendiri maupun di tempat
umum, ada juga di dalam masyarakat itu sendiri. Pelaku bisa saja
suami atau ayah, keponakan,sepupu, paman, mertua, anak laki-laki,
tetangga dan majikan.

 Beban kerja
Beban kerja yang dilakukan oleh jenis kelamin terlalu lebih
banyak bagi perempuan di rumah mempunyai beban kerja lebih
besar daripada laki-laki, 90% pekerjaan domestic atau rumah tangga
dilakukan oleh perempuan belum lagi jika dijumlahkan dengan
bekerja diluar rumah. Dalam proses pembangunan, kenyataannya
perempuan sebagai sumber daya mungkin masih mendapat

347
perbedaan perlakuan terutama bila bergerak dalam bidang public.
Dirasakan banyak ketimpangan, meskipun ada juga ketimpangan
yang dialami kaum laki-laki disatu sisi.

Ketidakadilan Gender Harus Dihentikan


Memperjuangkan keadilan gender merupakan tugas berat,
karena masalah gender adalah masalah yang sangat intens, dimana
kita masing-masing terlibat secara emosional. Banyak terjadi
perlawanan manakala perjuangan ketidakadilan gender diaktifkan,
karena menggugat masalah gender sesungguhnya juga berarti
menggugat privilege yang kita dapatkan dari adanya ketidakadilan
gender. Persoalannya, spektrum ketidakadilan gender sangat luas,
mulai yang ada di kepala dan di dalam keyakinan kita masing-
masing, sampai urusan negara. Dengan demikian bila kita
memikirkan jalan keluar, pemecahan masalah gender perlu
dilakukan secara serempak. Pertama-pertama perlu upaya-upaya
bersifat jangka pendek yang dapat memecahkan masalah-masalah
praktis ketidakadilan tersebut. Sedangkan langkah berikutnya adalah
usaha jangka panjang untuk memikirkan bagaimana menemukan
cara strategis dalam rangka memerangi ketidakadilan. Dari segi
pemecahan praktis jangka pendek, dapat dilakukan upaya-upaya
program aksi yang melibatkan perempuan agar mereka mampu
membatasi masalahnya sendiri. Misalnya dalam hal mengatasi
masalah marginalisasi perempuan di pelbagai projek peningkatan
pendapatan kaum perempuan, perlu melibatkan kaum perempuan
dalam program pengembangan masyarakat, serta berbagai kegiatan
yang memungkinkan kaum perempuan terlibat dan menjalankan
kekuasaan di sektor publik. Akan halnya yang menyangkut
subordinasi perempuan, perlu diupayakan pelaksanaan pendidikan
dan mengaktifkan berbagai organisasi atau kelompok perempuan
untuk jangka pendek. Untuk menghentikan masalah kekerasan,
pelecehan dan pelbagai stereotype terhadap kaum perempuan, suatu
aksi jangka pendek juga perlu mulai digalakkan. Kaum perempuan
sendiri harus mulai memberikan pesan penolakan secara tegas

348
kepada mereka yang melakukan kekekerasan dan pelecehan agar
tindakan kekerasan dan pelecehan tersebut terhenti. Membiarkan
dan menganggap biasa terhadap kekerasan dan pelecehan berarti
mengajarkan dan bahkan mendorong para pelaku untuk
melanggengkannya. Pelaku penyiksaaan, pemerkosaaan, dan
pelecehan seringkali salah kaprah bahwa ketidaktegasan penolakan
dianggapnya karena diam-diam perempuan menyukainya. Perlu
kiranya dikembangkan kelompok perempuan yang memungkinkan
mereka saling membahas dan saling membagi rasa pengalaman
untuk berperan menghadapi masalah kekerasan dan pelecehan.
Karena kekerasan, pemerkosaan, pelecehan, dan segala bentuk yang
merendahkan kaum perempuan bukan semata-mata salah kaum
perempuan, maka usaha untk menghentikan secara bersama perlu
digalakkan. Termasuk di dalam kegiatan praktis jangka pendek
adalah mempelajari pelbagai teknik oleh kaum perempuan sendiri
guna menghentikan kekerasan, pemerkosaan, dan pelecehan.
Misalnya mulai membiasakan diri mencatat setiap kejadian dalam
buku harian, termasuk sikap penolakan dan response yang diterima,
secara jelas kapan dan dimana. Catatan ini kelak akan berguna jika
peristiwa tersebut ingin diproses secara hukum. Usaha tersebut
menyuarakan unek-unek ke kolom “surat pembaca” perlu
diintensifkan. Usaha ini tidak saja memiliki dimensi praktis jangka
pendek tetapi juga sebagai upaya pendidikan dengan cara kampanye
anti kekerasan dan anti pelecehan terhadap kaum perempuan bagi
masyarakat luas. Secara praktis dalam surat-surat itu harus tersirat
semacam ancaman, yakni jika pelecehan dan kekerasan tidak segera
dihentikan, maka kejahatan semacam itu bisa dan akan dilaporkan
ke penguasa pada tingkatan lebih atas. Kesankah bahwa anda tidak
sendiri melainkan suatu kelompok perempuan yang tengah
menyadari hal itu. Suatu kelompok atau organisasi lebih sulit
diintimidasi ketimbang individu. Usaha perjuangan strategis jangka
panjang perlu dilakukan untuk memperkokoh usaha praktis tersebut.
Mengingat usaha-usaha praktis diatasseringkali justru berhenti dan
tidak berdaya hasil karena hambatan ideologis, misalnya bias

349
gender, sehingga sistem masyarakat justru akan menyalahkan
korbannya. Maka perjuangan strategis ini meliputi pelbagai
peperangan ideologis di masyarakat. Bentuk-bentuk peperangan
terebut misalnya dengan melancarkan kampanye kesadaran kritis
dan pendidikan umum masyarakat untuk menghentikan pelbagai
bentuk ketidakadilan gender. Upaya strategis itu perlu dilakukan
dengan berbagai langkah pendukung, seperti melakukan studi
tentang pelbagai bentuk ketidakadilan gender dan manifestasinya
baik di masyarakat, negara maupun dalam rumah tangga. Bahkan
kajian ini selanjutnya dapat dipakai untuk melakukan advokasi guna
mencapai perubahan kebijakan , hukum, dan aturan pemerintah yang
tidak adil tehadap kaum perempuan.

Contoh kasus Diskriminasi


Kasus Diskriminasi pekerjaan
Dalam suatu pekerjaan banyak terjadi masalah atau kasus-
kasus tentang diskriminasi pekerjaan, salah satunya yang saya bahas
tentang diskriminasi pekerjaan terhadap perempuan, memang
banyak terjadi diskriminasi terhadap perempuan di Indonesia. Di
berbagai bidang pekerjaan banyak terjadi diskriminasi pekerjaan
terhadap perempuan seperti diskriminasi ras, agama, suku gender
dan lain-lain. Dibali juga banyak terjadi diskriminasi contohnya
disekitar lingkungan kita seperti perusahaan rokok malboro, untuk
mempromosikan produknya, biasanya dijalan-jalan atau disebuah
event ini dibutuhkan spg (salles promotion girl), maka dalam
pemilihan spg akan terjadi diskriminasi karena perusahaan akan
mencari perempuan yang cantik dan berpenampilan menarik,
sedangkan perempuan yang kurang cantik tidak akan diterima oleh
perusahaan, dan sebuah perusahaan juga dalam penerimaan upah
pekerjaan biasanya juga terjadi diskriminasi terhadap perempuan,
dimana karyawan laki-laki biasanya mendapatkan gaji lebih besar
dibandingkan perempuan dan jabatan laki-laki dalam suatu
perusahaan biasanya lebih tinggi dari perempuan karena laki-laki

350
diberi peluang lebih untuk berkembang naik jabatan, sedangkan
perempuan susah untuk naik jabatan.
Menurut saya diskriminasi terhadap perempuan merupakan
tindakan yang sebenarnya tidak diperbolehkan dilakukan oleh
perusahaan. Seharusnya perusahaan tidak membeda-bedakan
karyawannya dan juga pada saat proses penerimaan
karyawan.perusahaan seharusnya memilih karyawan atau menerima
karyawan yang mempunyai skill dan kemampuan yang bagus.
Dalam melakukan pendiskriminasian perusahaan biasanya
memakai alasan yaitu kebutuhan terhadap karyawan yang seperti itu
yang dibutuhkan perusahaan itu sendiri. Faktanya memang banyak
kasus seperti ini terjadi salah satu kasus seperti di atas, dalam
perusahaan rokok malboro mungkin melihat orang hanya dari
penampilannya saja. Mungkin saja dalam diskriminasi perusahaan
ini telah mengabaikan orang yang mempunyai talenta ada
kemampuan memasarkan produk lebih bagus. Selain itu laki-laki
biasanya mendapatkan gaji lebih besar dan lebih mudah dalam naik
jabatan dibanding perempuan. Beberapa perempuan di bali
mengatakan, mereka sering mengalami tindakan diskriminasi seperti
ini, banyak perusahaan yang mementingkan kecantikan seseorang
dan lebih mementingkan laki-laki dari pada perempuan. Perusahaan
diatas hanya ingin memperoleh hasil yang maksimal dengan cara
apapun walaupun cara yang dilakukannya salah. Perusahaan ini
telah melanggar hak asasi manusia, karena seharusnya manusia
mempunyai derajatnya yang sama. Cara mengatasi agar diskriminasi
terhadap perempuan tidak terjadi lagi yaitu setiap orang harus
mempunyai rasa saling menghargai terhadap orang lain, harus
adanya perlindungan hak-hak bagi perempuan dalam pekerjaan,
setiap perusahaan harus menyadari tentang kesamaan derajat antara
laki-laki dengan perempuan dalam sebuah pekerjaan, dengan itu
akan dapat mengurangi kasus seperti ini.
Dalam hal ini diskriminasi pekerjaan terhadap perempuan,
telah melanggar norma dan aturan etika bisnis, dimana sebuah
perusahaan tidak dibolehkan mendiskriminasikan para

351
karyawaannya. Dan karena diskriminasi telah menyalahi nilai-nilai
moral karena diskriminasi telah membeda-bedakan antara orang
yang satu dengan orang yang lainnya. Dalam kasus diatas, berarti
terjadi diskriminasi dalam bentuk sengaja karena perusahaan atau
pun yang menyeleksi karyawan tersebut telah menilai sendiri tanpa
melihat skill dan kemampuan yang dimiliki oleh orang tersebut
dengan aturan yang telah dibuat oleh perusahaan tersebut dan
kebutuhannya juga. kesimpulannya lebih baik tidak melakukan
diskriminasi dalam pekerjaan, dan sebaiknya mengikuti etika bisnis
dalam menjalankan suatu perusahaan agar mendapatkan hasil yang
maksimal, dan belajar untuk menghargai orang lain dalam sebuah
pekerjaan.

Prespektif Agama Islam terhadap Gender


Isu gender dalam persepektif Islam merupakan isu yang
menarik dibicarakan di kalangan akademisi, karena banyak hal yang
dapat kita gali dan kita pelajari untuk lebih mengetahui nilai-nilai
serta kandungan di balik isu yang berkembang tersebut lewat
kacamata Al-Qur’anul Karim dan hadits Nabi Muhammad SAW.
Ketika isu gender di angkat, yang timbul dalam benak kita adalah
diskriminasi terhadap wanita dan penghilangan hak-hak terhadap
mereka. Gender yang telah diperjuangkan oleh beberapa kalangan,
baik dari kalangan akademisi atau dari kalangan yang menanggap
bahwa Islam adalah agama yang memicu kehadiran isu gender
tersebut di dunia ini. Tentunya para orientalis yang berbasis
misionarisme ini ingin mendiskreditkan umat Islam dengan
mengangkat isu ini dalam berbagai tulisan dan buku atau artikel-
artikel yang menyudutkan dan memberikan opini secara sepihak
tentang islam dan gender.
Islam tidak membedakan antara hak dan kewajiban yang ada pada
anatomi manusia, hak dan kewajiban itu selalu sama di mata Islam
bagi kedua anatomi yang berbeda tersebut. Islam mengedepankan
konsep keadilan bagi siapun dan untuk siapapun tanpa melihat jenis
kelamin mereka. Islam adalah agama yang telah membebaskan

352
belenggu tirani perbudakan, persamaan hak dan tidak pernah
mengedapankan dan menonjolkan salah satu komunitas anatomi
saja. Islam hadir sebagai agama yang menyebarkan kasih sayang
bagi siapa saja.
Allah menciptakan bentuk fisik dan tabiat wanita berbeda
dengan pria. Kaum pria di berikan kelebihan oleh Allah subhanahu
wata’ala baik fisik maupun mental atas kaum wanita sehingga
pantas kaum pria sebagai pemimpin atas kaum wanita. Allah
subhanahu wata’ala berfirman (artinya):
“Kaum lelaki itu adalah sebagai pemimpin (pelindung) bagi kaum
wanita.” (An Nisa’: 35)
Sehingga secara asal nafkah bagi keluarga itu tanggug jawab kaum
lelaki. Asy syaikh Ibnu Baaz berkata: “Islam menetapkan masing-
masing dari suami istri memiliki kewajiban yang khusus agar
keduanya menjalankan perannya, hingga sempurnalah bangunan
masyarakat di dalam dan di luar rumah. Suami berkewajiban
mencari nafkah dan penghasilan sedangkan istri berkewajiban
mendidik anak-anaknya, memberikan kasih sayang, menyusui dan
mengasuh mereka serta tugas-tugas lain yang sesuai baginya,
mengajar anak-anak perempuan, mengurusi sekolah mereka, dan
mengobati mereka serta pekerjaan lain yang khusus bagi kaum
wanita. Bila wanita sampai meninggalkan kewajiban dalam
rumahnya berarti ia menyia-nyiakan rumah berikut penghuninya.
Hal tersebut berdampak terpecahnya keluarga baik hakiki maupun
maknawi1. Sehingga makna yang dapat kita ambil adalah pada
konteks masyarakat saat hak dan kewajiban istri sama besar dengan
suami dalam menjaga keutuhan rumah tangganya, dan dengan
masyarakat saat inipun begitu. Perempuan bekerja dalam hal
melaksanakan kewajibannya dan haknya, hanya berbeda dengan
konteks dengan zaman saat ayat tersebut diturunkan.
Hal inilah yang harus diperhatikan oleh masyarakat dalam
menginterprestasikan agama. Karena agama itu sendiri diturunkan
bukan untuk dicerna secara tekstual, melainkan secara kontekstual
sesuai dengan yang dibutuhkan oleh masyarakat, disinilah peran

353
akal dalam mencerna wahyu yang diterima dari Allah SWT seperti
halnya yang dilakukan para nabi dizamannya2.
(Khatharu Musyarakatil Mar’ah lir Rijal fil Maidanil amal, hal. 5)

Sumber Referensi

Kamanto Sunanto, Pengantar Sosioogi (Jakarta: FE UI 2004) Abbott


dan Sapsford, 1987
Ishomuddin, Sosiologi Prespektif Islam (Malang: UMM Press,
2005)
Nasution, Harun, Akal dan Wahyu dalam Islam, (Jakarta:
Universitas Indonesia, 2012)
Ace Suryadi dan Ecep idris. (2004). Kesetaraan Gender dalam
Bidang Pendidikan. Bandung: PT. Ganesindo
Monsour Fakih.(1997). Analisis Gender dan Transformasi Sosial.
Yogyakarta: Pustaka pelajar,
http://sosbud.kompasiana.com/2012/06/04/permasalahan-gender-
di-indonesia-467221.html
http://aceh.tribunnews.com/2012/11/03/kesetaraan-gender\
http://id.wikipedia.org/wiki/Agama_di_Indonesia

354
PERANAN WANITA DALAM PRESFEKTIF GENDER
Oleh : Yuli Parlina_1138030230_5-F

Menurut Azyumardi Azra, gender merupakan perbedaan


peran antara perempuan dan laki-laki yang dibentuk oleh budaya.
Perbedaan peran ini sudah demikian melekat dalam masyarakat,
sehingga diasumsikan sebagai peran kodrati. Hal tersebut tidak akan
menimbulkan masalah selama tidak memunculkan ketimpangan
relasi gender dan peran gender.Atau dalam pengertian lain bahwa
gender adalah perbedaan tingkah laku antara laki-laki dan
perempuan yang secara sosial dibentuk perbedaan yang bukan
kodrat ini diciptakan melalui proses sosial dan budaya yang panjang.
Prof. Dr. Nasaruddin Umar, M.A., dalam bukunya Argumen
Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur’an mengemukakan, laki-laki
dan wanita dalam pandangan Al-Qur’an memiliki posisi dan peran
yang sama. Laki-laki dan wanita sama-sama sebagai hamba Allah.
Laki-laki dan wanita sama-sama sebagai khalifah. Laki-laki dan
wanita sama-sama menerima perjanjian primordial Tuhan. Laki-laki
dan wanita sama-sama terlibat secara aktif dalam drama kosmis
kehidupan. Bahkan, laki-laki dan wanita sama-sama berpotensi
meraih prestasi dan pahala.
Membicarakan peranan wanita merupakan topik yang tidak
akan pernah habis. Dari berbagai perspektif dan sudut pandang,
permasalahan wanita saat ini masih menjadi pembicaraan yang up to
date. Pada tanggal 3 Nopember 1947 Presiden Soekarno pernah
menerbitkan buku dengan judul SARINAH. Seperti yang
disampaikan Ir. Soekarno mengatakan bahwa sesungguhnya
kesetaraan gender telah dibicarakan sejak tahun 1947. Hal ini
diungkapkan dalam tulisannya: “Bilakah semua Sarinah-Sarinah
mendapat kemerdekaan? Tetapi kemerdekaan yang bagaimana?
Kemerdekaan seperti jang dikehendaki oleh pergerakan
feminismekah, jang hendak menyamaratakan perempuan dalam

355
segala hal dengan laki-laki? .Dari buku tersebut menunjukkan
kemajuan wanita telah diupayakan dan diperjuangkan, wanita perlu
mendapatkan hak yang sama dengan laki-laki dalam segala bidang.

A. Wanita Menurut Konsep Pendidikan Jawa


Wanita yang dicita-citakan Ir. Soekarno pada masa itu
diformulasikan sebagai suatu kesetaraan gender yang antara lain,
wanita memiliki kemampuan berpikir, bisa bertindak dan bekerja
seperti kaum laki-laki misalnya menjadi jaksa, hakim, dokter,
tentara, teknokrat dan pemimpin organisasi politik. Menurut
pandangan dan konsepsi piwulang Jawa, yang dimaksud dengan
peranan wanita, antara lain wanita harus memiliki kekuatan,
sehingga akan bermuara pada pembebanan wanita dalam dua dunia,
yaitu wanita sebagai isteri dan wanita yang dapat bekerja. Terlepas
dari hal tersebut maka yang dimaksud dengan wanita Jawa dalam
konsep pendidikan yang disarikan dari naskah Jawa yang Wulang
Estri, maka wanita yang diharapkan adalah:
 Pertama, wanita harus cakap, artinya seorang siteri harus mampu
melaksanakan tugas dan mengetahui seluk beluk
kerumahtanggan, seperti pada ungkapan dalam naskah ini:
Nora gampang babo yang ngalaki, luwih saking abot, kudu
weruh ing tata titine, miwah cara carane lan watake ugi, den
awas, den emut.
(Tidak mudah bersuami, sangat berat, harus tahu tata cara
dan seluk-beluk serta sifat-sifat harus awas dan waspada).
Cakap disini dimaknai, seorang isteri harus dituntut
memiliki kelebihan dalam mengatur rumah tangga, yang
dikonsepsikan untuk bisa, menata rumah dengan segala tata cara
yang telah ditentukan menurut adat istiadat. Secara psikologis,
wanita atau isteri juga dituntut memiliki kewaspadaan tinggi. Di
samping itu, dalam keluarga, isteri mempunyai peranan ganda
yang cukup penting, karena hak dan kedudukan isteri harus
seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan
dan pergaulan hidup bersama di dalam masyarakat

356
 Kedua, wanita harus bersifat cermat, seorang isteri harus mampu
memiliki perhitungan yang baik dalam mengatur segala kegiatan
dalam rumah tangga, sebagaimana yang tertuang dalam
ungkapan berikut:
Tan kena tinambak warni, uger-ugere wong krama, kudu eling
paitane, eling kawiseseng priya, nora kena sembrana, kurang
titi kurang emut, iku luput ngambra-ambra.
(Tidak hanya karena wajah, patokan orang berumah
tangga, bermodalkan kesadaran, sadar dikuasai lelaki, maka
tidak boleh seenaknya, kurang cermat, kurang sadar, akan
menjadi semakin salah).
Kecermatan yang dimaksudkan dalam konsep piwulang
ini menekankan bahwa seorang wanita harus cermat
memperhitungkan ketelitian serta berpegang kepada ajaran
moral.

 Ketiga, wanita harus bersikap tanggap, seorang isteri harus


mampu menyesuaikan diri dengan situasi dalam segala
suasana apapun, terutama menjaga hubungan di dalam
keluarga serta lingkungannya. Hal ini digambarkan dalam
kitab Wulang Estri sebagai berikut:
Yen kakung mentas pepara, utawi kondaur tinangkil, netya
wong wangen den awas, menawa animpen runtik, ing madya
tan kelair, solahmu kang dhokoh luluh, aja acelandhakan,
jenenge wong nora mikir, yang kebranang dadi aseman
duduka.
Apabila seorang suami baru pulang dari bekerja, maka
isteri harus melihat bagaimana kondisi suami, sehingga isteri
harus bisa menyikapinya, dalam melihat situasi perlu dicermati
oleh isteri.

 Keempat, terampil. Yang dimaksud di dalam sikap ini ialah


seorang isteri harus mampu bekerja dengan menciptakan usaha

357
yang bersifat mengatur sistem hubungan kerumahtanggaan
beserta kebutuhannya, seperti pada ungkapan berikut ini:
Marmane ginawan iku, iya dariji jalenthik, dipun kothak
akithikan, yen ana karsaning kakung, karepe kathah thithikan
den terampil barang kardi.
(Maksudnya keterampilan yang dimiliki harus dari tangan
sendiri atau dengan jari jemari adalah hasil karya yang
dipersiapkan untuk suami dan keluarga).

 Kelima, cekatan. Wanita harus bisa memfokuskan diri kepada


ketermpilan bekerja yang cekatan, walaupun masih dalam batas-
batas norma, yang berlaku sopan santun seperti ungkapan yang
berikut ini:
Lamun angladosi kakung, den kebatna ning den risih, aja kebat
garobyakan dredegan saya cinincing, apaan iku kebat nistha,
pan rada ngoso ing batin.
(Jika melayani suami sebaiknya dengan tata cara yang
halus, jangan terlalu cepat dan menimbulkan suara, cepat yang
baik adalah dengan rasa tetapi bukan dengan perasaan yang
disertai amarah).
Dari penjelasan tersebut dapat disarikan bahwa, apa yang
diajarkan kepada wanita dalam batas peran wanita dalam rumah
tangganya. Gerak wanita dibatasi oleh adat istiadat maupun
norma-norma yang berlaku. Unsur-unsur pendidikan yang
terdapat dalam naskah Wulang Estri merupakan nilai-nilai watak
dan sikap orang Jawa yang dapat dijadikan acuan dan tolok ukur,
bagaimana wanita yang baik dalam pengajaran.

B. Peran Wanita Tradisional


Di desa, kesamaan hak wanita telah berjalan secara alami
tanpa ada tuntutan, baik dari masyarakat maupun dari pihak wanita
itu sendiri. Selama ini yang dilakukan wanita desa memanjat pohon
kelapa, mencari kayu bakar, menanam padi, sebagai buruh

358
bangunan dan wanita masih dituntut untuk memasak melayani
suami serta menghadapi persoalan hidup. Tuntutan peran ganda
yang dijalani wanita selama ini disebabkan adanya suatu prinsip
hidup “ora obah ora mamah” artinya tidak bekerja berati tidak
makan. Prinsip tersebut melukiskan bahwa tuntutan hidup saat itu
bersifat matematis dan berjalan dengan pasti. Konsep peran wanita
tradisional ini diungkap pula oleh Ir. Soekarno dalam buku Sarinah
sebagai berikut:
Sesungguhnya, - telah hantjur tradisi jang membuat dia
machluk pingitan dan machluk jan isi perutjnya tergantung pada
laki-laki sadja, tetapi masih tetap berdjalan tadisi jang membuat dia
kuda beban di dalam rumah tangga. Ia mendapat kemerdekaan,
terlepas dari ikatan tutupan, tetapi kemerdekaan itu harus dibelinja
dengan memikul dua beban yang hampir mematahkan tulang
belakangnya. Kesehatan tubuhnya selalu terganggu.
Begitu pula tidak kalah hebatnya peran wanita seperti yang
diungkapkan Henriette Roland Holst dalam buku Sarinah. Ia
memberikan gambaran keadaan fisik wanita yang bekerja untuk
hidup keluarganya: “Door haar wezen loopt een scheur” yang
artinya jiwa dan raganya telah retak.
Suatu kenyataan yang terjadi pada masyarakat desa
sebanarya perkembangan kesamaan hak antara pria dan wanita tidak
dapat didefinisikan dengan jelas apakah itu emansipasi atau
kesamaan hak, atau sama halnya dengan emansipasi. Berpijak dari
sebuah ungkapan ora obah ora mamah maka yang disebut kegiatan
rutin wanita desa antara lain: bekerja tanpa lelah, yakni selain
sebagai ibu rumah tangga yang melayani suami, melahirkan,
menyusui anak, wanita masih harus dituntut bekerja keras untuk
menghidupi keluarganya. Dalam menyikapi kemajuan jaman saat
ini, wanita pedesaan tidak dapat berbuat apa-apa, sehingga mereka
tidak bisa menikmati kemajuan jaman secara nyata dan secara
materiil. Dengan demikian wanita hanya bersikap nrimo dan pasrah.
Hal ini dapat disimak dari hasil penelitian yang pernah dilakukan

359
oleh C. Geertz, dalam mengungkap pola rekreasi masyarakat
pedesaan sebagai berikut:
Biasanya selama musim-musim orang sibuk bekerja di
tegalan atau di sawah, aktivitas rekreasi di desa menurun. Pada
petani sudah mulai beristirahat sebelum larut malam dan keesokan
harinya mereka bangun di pagi buta agar dapat segera bekerja di
tegalan atau di sawah, sebelum panas matahari menyengat.
Apa yang digambarkan oleh C. Geertz adalah suatu
kenyataan bahwa dalam menghadapi kemajuan jaman, seperti
rekreasi dan hiburan, wanita pedesaan tidak bisa menikmatinya,
kendati saat panen mereka memiliki uang yang cukup.

C. Konsep Peran Ganda Wanita


Banyak alasan mengapa wanita bekerja, selain karena
tuntutan akan kebutuhan kehidupan juga karena peningkatan taraf
pendidikan kaum wanita. Perjalanan peran ganda wanita di
Indonesia telah berjalan puluhan tahun dan para wanita, terutama
yang berpendidikan, tidak pernah merasakan adanya suatu tekanan
atau paksaan agar mereka bekerja sekaligus berperan sebagai ibu
rumah tangga. Akan tetapi bagi wanita yang belum berpendidikan
apakah sedikit demi sedikit wanita telah meninggalkan tugasnya
sebagai ibu rumah tangga? Perlu diketahui bahwa, peran-peran yang
dimiliki wanita merupakan dampak dari kemajuan atau perubahan
kultur. Secara positif, wanita memiliki kemampuan ikut
memperjuangkan bangsa dan negara dalam segala hal. Di sisi lain
banyak peran wanita yang berjalan tanpa adanya batasan-batasan
moral, sehingga banyak wanita terlibat pelanggaran hukum seperti
narkoba, penipuan, korupsi atau beberapa hal yang secara formal
berbuat tidak sesuai dengan kepribadian wanita Indonesia. Wanita
Indonesia umumnya dan wanita Jawa pada khususnya dalam
menyikapi kemajuan jaman yang membawa wanita pada suatu
puncak prestasi di negeri ini, sebaiknya tidak meninggalkan sistem
nilai yang mengikat selama ini, yaitu norma-norma yang merupakan
ciri kepribadian wanita.

360
Kehidupan sehari-hari wanita berada dalam suatu konteks
beban ganda. Beban untuk memberikan pengasuhan yang tak di
bayar dalam pelayanan-pelayanan dalam pekerjaan rumah tangga,
serta beban untuk memberikan kelangsungan hidup, perekonomian
melalui kerja upahan memberikan norma bagi wanita. Tak ada
pemisahan yang rasional dari keduanya. Dua hal itu merupakan
aktiitas yang tak terpisahkan bagi wanita, kecuali di bawah
kapitalisme, kolonialisme, dan patriarki. Interseksi nilai tukar dan
nilai guna ini telah di soroti oleh wanita.
Sebagai pekerja rumah tangga, pekerja suka rela dan pekerja
yang di bayar, sumbangan-sumbangan produktif wanita di
marginalisasikan melalui proses-proses historis feminisasi, serta
pemisahan antara lingkungan public dan lingkungan pribadi dalam
produksi. Nilai tukar tenaga kerja wanita belum dihitung secara
efektif, wanita juga tidak mendapat ganti kerugian atas kehilangan
upah dan keuntungan, kesempatan-kesempatan penembangan karir,
dan akses untuk waktu senggang. Kegunaan tenaga kerja ini telah
direndahkan oleh budaya patriarkhi dan kolonialisasi yang
menanamkan pekerjaan secara itu sebagai “pekerjaan wanita”.
Namun pekerjaan yang direndahkan itu telah menghasilkan
pelayanan-pelayanan yang bermanfaat bagi masyarakat yakni
pendidikan, perawatan kesehatan, dukungan spiritual atau
emosional, serta tanggungan perawatan baik kaum tua atau anak-
anak yang menjadi tanda-tanda bagi definisi sebagai suatu
peradaban.
Dalam menganalisis sejarah pekerjaan wanita,
memperlihatkan defaluasi nilai tukar wanita melalui keuntungan
yang tidak adil dalam pendidikan dan pelatihan, stereotype para
majikan dan rekan sekerja, serta pemikiran wanita melalui
perundang-undangan tenaga kerja yang bersifat protektif dan
pembangunan pasar tenaga kerja yang bersifat protektif dan
pembangunan pasar tenaga kerja yang telah di feminisasi. Bila
proporsi wanita berubah dalam suatu pekerjaan tertentu kita
temukan pengaruh-pengaruh feminisasi yang bersamaan pada nilai

361
tempat, upah, dan pretise juga berubah. Manajement Dalam contoh-
contoh melalui pekerjaan ketatausahaan dan pendidikan khusus para
pekerja, kita temukan ilustrasi yang bertentangan. Pada abad yang
lalu, wanita memasuki angkatan kerja angkatan kerja ketatausahaan,
dan pria naik pangkat ke posisi manajement baru. Birokrasi
kapitalisme mengubah sifat pekerjaan, dan upah di tekan. Pada masa
yang baru, ketika laki-laki memasuki pendidikan sekolah umum
mereka mempelajari pendidikan khusus. Peningkatan upah dalam
bidang ini mencerminkan kekuasaan ekonomi pria sector sekolah
umum.
Menurut Gandarsih dalam ungkapan menyikapi wanita dalam
kemajuan jaman adalah, bahwa:
Kebudayaan meliputi gagasan-gagasan, cara berpikir, ide-ide
yang menghasilkan norma-norma, adat istiadat, hukum dan
kebiasaan-kebiasaan yang merupakan pedoman bagi tingkah
lakunya dalam masyarakat. Tingkat yang lebih tinggi dan paling
abstrak dari adat istiadat adalah sistem nilai budaya, karena sistem
nilai budaya merupakan konsep yang hidup dalam alam pikiran
(sebagainya) masyarakat. Sistem nilai budaya berfungsi sebagai
pedoman tetapi juga sebagai pendorong kelakuan manusia dalam
hidup.
Dari ungkapan tersebut berarti semakin jelas bahwa wanita
yang berperan ganda pun tidak lepas dari norma-norma yang
mengatur gerak dan langkahnya dalam bertindak, berpikir dan
mengambil suatu keputusan.
Wanita yang memiliki kepribadian sesuai dengan sistem
budaya yang menaunginya, membentuk kepribadiannya yang
diperoleh melalui proses sosialisasi. Perubahan kepribadian wanita
Indonesia dimulai tahun 70-an, yaitu sejak pemerintah Indonesia
pertama kalinya mencanangkan REPELITA. Sejak saat itu telah
terbuka kesempatan kerja seluas-luasnya bagi wanita sehingga
kesempatan kerja seluas-luasnya bagi wanita sehingga kesempatan
bekerja sangat berarti bagi kehidupan wanita dan keluarganya saat
itu.

362
Perubahan jaman menyebabkan perubahan kepribadian
seorang wanita. Biasanya dimulai dari irama kehidupan yang tidak
sesuai lagi dengan kodrat wanita. Misalnya: (1) banyak wanita yang
mulai kehilangan waktu bersama anak-anak; (2) waktu untuk suami
terganggu karena faktor kelelahan dan problem pekerjaan, sehingga
harmonisasi keluarga juga ikut terganggu, dan lain sebagainya. Hal
demikian itu diungkapkan oleh Asi S Dipodjojo, bahwa:
Dengan melakukan dan melestarikan ketentuan, tata tertib,
kebiasaan, tingkah laku dan perbuatan tersebut oleh tiap warga
masyarakat berarti melestarikan irama kehidupan yang sesuai
dengan kondrat alam dan cita-cita masyarakat, sehingga tindakan
pelanggaran ketentuan-ketentuan tersebut akan mengganggu irama
kehidupan masyaraka.

a. Pemerintahan oleh wanita di Kepulauan Nusantara


Pada suku Dayak kaum wanita besar pengaruhnya, tidak saja
dalam musyawarah-musyawarah kaum laki-laki, walaupun adat
melarangnya untuk turut berbicara akan tetapi dalam pemerintahan
karena antara mereka terdapat wanita-wanita yang tenaga seperti
laki-laki mengepalai beberapa suku, member semnagat untuk pergi
berperang dan mempimpin sendiri kaum laki-laki yang tahu dalam
kancah peperangan.
Beberapa contoh dari pemerintahan-pemerintahan oleh
wanita atau setidak-tidaknya contoh-contoh dari pengaruh kaum
wanita yang menentukan atas urusan negara dalam sejarah negara-
negara Jawa dan Melayu.
Dalam pemberitaan-pemberitaan kuno Portugis tentang
Kepulauan Nusantara berulang kali disebut seorang ratu yang
berkuasa di Jepara di Pulau Jawa, yang mampu menggerakan
angkatan laut yang besar dan dengan itu berulang-ulang membantu
raja Aceh dalam usahanya untuk mengusir Portugis dari Malaka.
Serta di Kalimantan terdapat pemerintahan oleh wanita dalam
kerajaan kecil Mampaw di pantai Barat. Pada tahun 1790
mangkatlah penembahan Adi Jaya Kusuma sesudah menyatakan

363
keinginannya supaya pemerintahan diserahkan kepada jandanya
Dayang Lela. Serta dalam cerita yang bersumber pada sejarah dan
Palembang sedikit sekali jumlahnya raja-raja dijunjung begitu tinggi
seperti Ratu Sinuhun. Makamnya yang di anggap keramat masih
terdapat dalam jarak empat pal (6km) dari ibu kota, dan oleh
penduduk di hormati dengan sajian dan doa pada hari-hari raya
tertentu. Makam itu berada dalam sebuah bangunan kuat dari kayu
besi, yan pintu-pintu dan jendela-jendelanya memperagakan ukiran
yang indah-indah. Menurut hukum, Ratu Sinuhun bukanlah seorang
ratu yang memerintah, akan tetapi agaknya dialah yang sebenarnya
memegang kendali pemerintahan atas nama suaminya yang lemah,
pangeran Sindang Kanayang. Menurut berita dialah yang menjadi
raja Palembang dari tahun 1616 sampai 1628, tetapi rupanya
kecuali namanya tidaklah banyak di dengar mengenai beliau Ratu
itu menonjol karena kamauannya yang keras dan kecerdasannya.

b. Wanita Sebagai Kepala Persekutua Hukum Indonesia


Berulang kali wanita mendapat panggilan untuk memangku
jabatan sebagai kepala daerah atau ratu. Apabila wilayah hukum
Indonesia kita tinjau bagian demi bagian lalu kita mulai dengan
meninjau Aceh, maka kita lihat, bahwa lingkungan hukum ini sejak
dahulu kala telah mengenal adanya para penguasa wanita. Berkali-
kali terjadi seorang wanita menggantikan suaminya memegang
pimpinan daerah, selama suaminya itu tak dapat hadir untuk
memimpin. Yang juga sungguh amat terkenal ialah kenyataan,
bahwa dalam jangka waktu dari 1641 sampai 1699 empat orang
sultan wanita telah memegang kekuasaan tertinggi di Aceh.
Suku-suku bangsa Daya yang animis di Kalimantan berkali-
kali kepala rakyatnya seorang wanita. Hal ini di beritakan mengenai
orang-orang Segai, Modang, Otdanum dan Kenya, yang seringkali
jabatan kepala rakyatnya di pangku oleh seorang wanita. Demikian
juga pada orany-orang Kayan, meskipun dalam hal ini para pia juga
diutamakan. Wilkwn menggambarkan tentang adanya wanita-wanita
yang bertindak sebagai kepala di negeri Gandis dan daerah Lingga.

364
Sedikit juga keterangan-keterangan yang didapat dari
lingkungan-lingkungan hukum Gorontalo dan Toraja. Tentang
Perigi dan Tinompo diberitahukan, bahwa di tempat-tempat itu
kaum wanita telah bertindak sebagai pemegang kekuasaan
pemerintahan. Juga di tanah Toraja kaum wanita dapat ditunjuk
sebagai kepala.
Di samping itu terlalu banyaklah berita tentang pemerintahan
yang dipegang oleh kaum wanita di Sulawesi Selatan. Berkali-kali
wanita bertindak sebagai kepala daerah pemilik pemilik harta
pusaka kebesaran tertinggi atau kerajaan-kerajaan asli. Wilken dan
veth member kepastian tentang adanya kenyataan ini. Demikian
pula halnya dengan Bakkers untuk daerah Tanette, De Vogel untuk
Rapang dan Supa, Tideman untuk Laikang, Andriani untuk Lawu.
Daerah-daerah Nepo, Bacukiki dan Bojo dan juga pambuang pernah
di perintahkan oleh para penguasa wanita. Menurut alamanak
pemerintahan yang terakhir, di daerah-daerah Soppeng, Malusetassi,
Sawito, Batulapa dan Kasa, RApang dan Luwu, wanitalah yang
menjalankan pemerintahan swatantra.
Mengenai Seram diberitahukan oleh Riedel, bahwa di
beberapa negeri wanitalah yang lebih diutamakan untuk memegang
kekuasaan dengan gelar “latu mahina”, demikian juga dulu di
Seram-laut. Di kepulauan Tanimbar umumnya kepala rakyat yang
telah meninggal di gantikan oleh jandanya.

D. Peran Wanita di Minangkabau


Perempuan mempunyai kedudukan yang tinggi dalam
pandangan Adat Minangkabau. Dalam ajaran adat Minangkabau di
tanamkan rasa hormat dan memuliakan perempuan sebagai
keagungan atau disebut juga dengan Matrilinial. Karena sistem
matriarkat, maka kaum wanita di dalam masyarakat Mnangkabau
menduduki tempat yang khas. Seperti pada bangsa-bangsa Timur
dimana, kedudukan mereka masih senantiasa lebih rendah dari pada
kedudukan kaum lelaki. Meskipun anak-anak termasuk keluarga si

365
ibu, namun kaum lelaki itu merupakan unsur uang menonjol ke
depan, yang dapat memperlakukan kaum wanita sesuka hatinya.
Dalam satu hal wanita Minangkabau berkuasa, yaitu
mengenai perkawinan dari anggota-anggota keluarganya yang laki-
laki terutama dari anaknya dan saudara laki-laki. Dialah yang
“menentukan calon istri mereka”, keputusannya di perhitungkan
meskipun kadang-kadang sama sekali berlainan arahnya dengan
cita-cita calon mempelai laki-laki. Kekuasaan yang tidak di berikan
kepadanya dalam rumah tangga sendiri di samping suaminya di sini
sungguh-sungguh diperlihatkan supaya di rasakan. Pengaruhnya
tidak jarang di jalankan sampai ke dalam kehidupan perkawinan
anaknya, saudara laki-laki yang mendahulukan kepentingan
keluarga biasanya tunduk pada kemauan keluarganya meskipun
perasaan hatinya harus ditekannya.
Wanita di Minangkabau juga mempunyai peranan penting
dalam bidang perekonomian. Sesuai dengan sifatnya yang dinilai
lebih bersifat ekonomis dan lebih teliti, maka padanya dipercayakan
untuk mengatur penggunaan hasil sawah dan ladang. Yang di
ungkapkan dengan pepatah adat “umbun puruik pedangan kunci,
umbun puruik aluang bunian” yang artinya bahwa hasil ekonomi
sebagai pegangan kuncinya adalah Bundo Kanduang (kaum
perempuan).
Dalam musyawarah perempuan Minangkabau mempunyai
hak sama dengan kaum laki-laki begitu pula halnya dalam
penggunaan harta pustaka untuk kepentingan bersama, menggadai
dan menghibah harus dengan kesepakatan bersama termasuk kaum
perempuan.
Demikian adat Minangkabau memposisikan kedudukan
wanita pada kehidupan berkaum dalam masyarakat yang
memperlakukan perempuan dengan mulia. Berbeda dengan
perlakuan pada zaman jahiliyah yang merendahkan martabat
perempuan dan menganggap kaum laki-laki mulia dari kaum
perempuan.

366
E. Peranan Wanita Toraja Sebagai Imam
Masyarakat Toraja di Sulawesi Tengah dahulu kala masih
mengalami keadaan yang di anggap ideal (sebagaimana yang di cita-
citakan ), kiranya bolehlah di pastikan bahwa mereka itu merupakan
bangsa pahlawan yang prianya dan imam-imam yang wanita. Pada
waktu itu kaum prianya menampilkan diri sebagai kaum pengayau
dan kaum wanitanya menempatkan diri sebagai imam. Menurut
Maria Ulfah untuk mencapai hasil perjuangan mereka melakukan
perlawatan dengan mempertaruhkan jiwanya dan mendapat
pengalaman-pengalaman dasyat. Kaum pengayau menempuh jalan
ke daerah musuh di Dunia Tengah ini, dan para imam wanita
mengarahkan langkahnya ke dunia atas dan dunia bawah. Di
samping rebutan hasil perjuangan yang mereka inginkan itu dengan
perlawatan mereka berhasil juga menanamkan wibawa suku bangsa
mereka di luar batas-batas wilayah.
Orang Toraja yang sudah dewasa, baik pria maupun wanita
mempunyai kewajiban-kewajiban terhadap sukunya, yaitu kompleks
keluarga-keluarga atau keturunan-keturunan yang belum lupa akan
asal usul bersamanya. Kewajiban pertama yang harus mereka
penuhi ialah: bersikap pahlawan, baik terhadap musuh dalam
peperangan maupun terhadap pihak lawan dalam proses peradilan
atau dalam suatu perundingan. Tujuannya ialah supaya kepentingan-
kepentingan mereka sedapat mungkin dapat ditingkatkan atau
dipertahankan. Hal yang kedua yang harus mereka penuhi ialah:
Dermawan.kewajiban yang ketiga ialah: mempunyai banyak anak,
hingga sukunya menjadi bertambah kuat. Kewajiban ketiga ialah:
mempunyai banyak anak, hingga sukunya menjadi bertambah kuat.
Inilah merupakan salah satu kewajiban penting dalam kehidupan
umum.
Menurut Maria Ulfah di Toraja kaum pria menggunakan
keberaniannya terutama untuk melakukan pengayauan. Perjalanan-
perjalanan yang di lakukan pada kesempatan-kesempatan tertentu
untuk merebut kepala manusia, sering banyak memakan waktu
berbahaya

367
Bagaimana wanita orang Toraja dapat memenuhi kewajiban
yang menjadi bebannya juga, tetapi ungtuk pelaksanaannya ia tidak
memiliki sifat-sifat baik karena kodrat maupun dengan latihan-
latihan seperlunya. Untuk keperluan itu ada dua jalan terbuka
baginya:
1. Di dunia Tengah ini ia hanya dapat melakukan secara simbolis,
apa yang benar-benar dikerjakan oleh kaum pria
2. Di dunia atas dan di dunia bawah ia dapat melakukan apa yang
oleh kaum pria hanya dapat dilaksanakan di dunia tengah aja.

Jadi dengan dua jalan tersebut wanita Toraja dapat


melakukan tindakan-tidakan yang disebut dengan istilah
sympathetis, yang dijalankan oleh sukunya, seperti yang dibuat oleh
kaum pria.
Menurut maria suku bangsa Toraja tidak mempunyai imam
pria, melainkan hanya imam wanita. Mereka mendapat gelar tadu,
boleh jadi kata itu terjadi karena pertukaran bunyi pada kata “datu”
yaitu gelar mulia yang sudah terkenal, juga di antara orang-orang
Toraja. Para imam itu wanita terhormat, pada umumnya sudah
kawin dan jabatan mereka tidak di jadikan sumber nafkah jangankan
jadi sumber kemakmuran. Lazimnya imam-imam wanita itu tokoh-
tokoh penting.
Mestinya tiap wanita Toraja itu imam . oleh karena hal ini
tidak mungkin, maka bagi kaum wanita terbukalah suatu
kesempatan, supaya tiap wanita setidak tidaknya satu kali dalam
hidupnya dapat ikut serta dalam pekerjaan imam wanita. Yang di
magsud ialah: dalam bayangan mengadakan perlawatan ke dunia
atas untuk mendapat zat roh hal ini kiranya dapat kita istilahkan “
hidup panjang dan kesehatan” dari dewa-dewa di sorga bagi orang-
orang yang sesuku dengan dia. Jadi yang mereka usahakan itu sama
dengan yang diperjuangkan kaum pria dari tangan musuh-musuhnya
di dunia tengah ini.

368
HUMAN TRAFFICKING
Oleh : Yulia Rachmi_1138030231_5-F

 Apa itu yang di maksud “Human trafficking”


Perdagangan manusia adalah perdagangan ilegal manusia
untuk tujuan reproduksi perbudakan, eksploitasi seksual komersial,
kerja paksa, atau bentuk modern-hari perbudakan. Protokol untuk
Mencegah, Menekan dan Menghukum Perdagangan Orang,
terutama Perempuan dan Anak (juga disebut sebagai Protokol
Trafiking) diadopsi oleh PBB di Palermo, Italia pada tahun 2000,
dan merupakan perjanjian hukum internasional yang melekat pada
Konvensi PBB Kejahatan Terorganisir Transnasional. Protokol
Perdagangan adalah satu dari tiga Protokol diadopsi untuk
melengkapi Konvensi.
Protokol adalah global pertama, instrumen yang mengikat
secara hukum tentang perdagangan di lebih dari setengah abad dan
satu-satunya yang menetapkan definisi yang disepakati perdagangan
orang. Tujuan dari Protokol ini adalah untuk memfasilitasi
konvergensi dalam kerjasama nasional dalam menyelidiki dan
menuntut perdagangan orang. Tujuan tambahan dari Protokol adalah
untuk melindungi dan membantu korban perdagangan orang dengan
menghormati sepenuhnya hak asasi manusia mereka. Protokol
Perdagangan mendefinisikan perdagangan manusia sebagai:
Human trafficking adalah perekrutan, pengiriman,
pemindahan, penyembunyian atau penerimaan orang, dengan cara
ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk pemaksaan
lainnya, penculikan, penipuan, penipuan, penyalahgunaan
kekuasaan atau posisi kerentanan atau pemberian atau penerimaan
pembayaran atau keuntungan untuk memperoleh persetujuan dari
orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan
eksploitasi. Eksploitasi mencakup, minimal, eksploitasi pelacuran
orang lain atau bentuk lain dari eksploitasi seksual, kerja atau

369
layanan paksa, perbudakan atau praktek serupa perbudakan,
penghambaan atau pengambilan organ tubuh.
Menurut sebuah survey yang dilakukan oleh Kantor
Pengawasan dan Pemberantasan Perdagangan Manusia milik
Amerika Serikat, setiap tahunnya diperkirakan 600.000-800.000
laki-laki, perempuan dan anak-anak diperkirakan menyeberangi
perbatasan-perbatasan internasional dan sampai saat ini masih terus
berkembang. Sebagian dari orang-orang ini memang sengaja
diselundupkan dengan tujuan memasok pasar perdagangan seks
internasional dan buruh serta dilakukan melalui jaring kejahatan
internasional (transnational crime) yang terorganisasi secara rapi,
baik melalui jalur Negara perantara maupun langsung.
Daerah-daerah yang memasok terbesar kasus trafficking
(perdagangan orang) tersebar di tanah air. Suatu data menyebutkan
bahwa sedikitnya 80 persen dari 8000 kasus trafficking sejak tahun
2004 melibatkan korban asal warga Subang, Karawang, Cianjur, dan
Indramayu, Provinsi Jawa Barat. Akibat dari besarnya kasus
tersebut, kemungkinan besar Indonesia terancam dicoret dalam
daftar Negara yang berhak mendapatkan jatah bantuan kemanusiaan
dari PBB.
Trafficking (perdagangan orang) umumnya terjadi pada
kasus-kasus pengiriman TKI ke luar negeri. Untuk itulah,
penanganan terhadap masalah trafficking juga perlu mengatasi
masalah pengiriman tersebut. Sebab, banyak para calon TKI yang
akan berangkat ke luar negeri tidak memiliki pengetahuan yang
memadai tentang bagaimana prosedur dan syarat-syarat yang harus
dipenuhi. Kelengahan mereka kemudian dimanfaatkan secara
ekonomi namun tidak bertanggung jawab oleh sejumlah agen, calo,
atau jasa pengiriman TKI.
Banyaknya negara yang berbatasan langsung dengan
Indonesia ini memiliki banyak keuntungan dan kerugian yang
didapatkan dari daerah perbatasan tersebut. Seperti salah satu isu
yang menjadi isu nasional maupun internasional untuk sekitar
daerah perbatasan adalah perdagangan manusia (Human Trafficking)

370
yaitu perdagangan manusia terutama pada perempuan dan anak-
anak, baik di dalam negeri maupun di luar negeri.
Umumnya para korban Trafficking adalah orang yang mudah
terbujuk oleh janji-janji palsu sang traffickers
Beberapa traffickers menggunakan taktik-taktik manipulasi untuk
menipu korbannya diantaranya dengan intimidasi, rayuan,
pengasingan, ancaman, penyulikan dan penggunaan obat-obatan
terlarang.
Banyak dampak yang ditimbulkan dengan adanya
perdagangan manusia tersebut tidak hanya merugikan negara saja
tetapi juga pada korban dari perdagangan manusia tersebut. Menurut
Jose Ferraris sebagai perwakilan dari UNFPA mengatakan bahwa
“perdagangan manusia terdiri dari berbagai bentuk, termasuk
paksaan dalam eksploitasi seksual komersial, pelacuran anak
dibawah umur, jeratan hutang atau kerja paksa dan lain
sebagainya.”
 Beberapa faktor yang menjadi penyebab terjadinya
tindakan human traffickingini adalah:
a) Kemiskinan (Permasalahan Ekonomi)Semenjak terjadinya
krisis ekonomi mulai tahun 1997, semuanya berdampak
kepada seluruh elemen masyarakat. Perekonomian semakin
sulit, semakin banyak rakyat yang tidak mampu untuk
membiayai keluarganya khususnya anaknya. Mulai dari
biaya pendidikan, hingga biaya kehidupan sehari-hari.
Himpitan perekonomian itu membuat keluarga khususnya
orangtua semakin mudah terbujuk rayu oleh agen atau pelaku
perdagangan anak dengan iming-iming serta janji palsu akan
pekerjaan yang dapat membuat hidup lebih baik lagi dengan
gaji yang besar. Ketidakjelasan akan pekerjaan juga membuat
orang menjadi pasrah dalam menerima pekerjaan untuk
dipekerjakan sebagai apa saja dan hal ini yang membuat para
pelaku menargetkan anak sebagai korban.
b) Kurangnya Pendidikan dan Informasi

371
Pendidikan yang memadai tentunya akan sangat membantu
masyarakat agar tidak terjebak dalam kasus perdagangan
manusia. Kekurangtahuan akan informasi mengenai
perdagangan manusia membuat orang-orang lebih mudah
untuk terjebak menjadi korban perdagangan manusia
khususnya di pedesaan dan terkadang tanpa disadari pelaku
perdagangan manusia tidak menyadari bahwa ia sudah
melanggar hukum. Para korban perdagangan biasanya susah
untuk mencari bantuan dinegara dimana mereka dijual karena
mereka tidak memiliki kemampuan unutuk menggnakan
bahasa dinegara tersebut.
c) Kurangnya Kepedulian Orang Tua
Tidak jarang ditemukan orang tua yang kurang peduli untuk
membuat akta kelahiran sang anaknya dengan berbagai
alasan. Orang tanpa tanda pengenal yang memadai lebih
mudah menjadi korban trafficking karena usia dan
kewarganegaraan mereka tidak terdokumentasi. Sehingga
pelaku dapat melakukan aksinya tanpa khawatir identitas
korban tidak mudah terlacak. Anak- anak
korban trafficking misalnya, lebih mudah diwalikan ke orang
dewasa manapun yang memintanya.
d) Kurangnya pencatatan kelahiran
Anak dan orang dewasa yang tidak terdaftar serta tidak
memiliki akta kelahiran amat rentan terhadap eksploitasi.
Orang yang tidak dapat memperlihatkan akta kelahirannya
sering kali kehilangan perlindungan yang diberi hukum
karena dimata negara secara teknis mereka tidak ada.
Rendahnya registrasi kelahiran, khususnya di kalangan
masyarakat desa, memfasilitasi perdagangan manusia. Agen
dan pelaku perdagangan memanfaatkan ketiadaan akta
kelahiran asli untuk memalsukan umur perempuan muda agar
mereka dapat bekerja di luar negeri. Contoh, seperti yang
dikemukakan dalam bagian Kalimantan Barat dari laporan ini
(bagian VF), agen yang sah maupun gelap memakai kantor

372
imigrasi di Entikong, Kalimantan Barat, untuk memproses
paspor palsu bagi gadis-gadis di bawah umur.
e) Korupsi dan lemahnya penegakan hokum
Korupsi di Indonesia telah menjadi suatu yang lazim dalam
kehidupan sehari-hari, karena baik kalangan atas maupun
bawah telah melakukan praktik korupsi ini. Karena itulah,
korupsi memainkan peran integral dalam memfasilitasi
perdagangan perempuan dan anak di Indonesia, disamping
dalam menghalangi penyelidikan dan penuntutan kasus
perdagangan. Mulai dari biaya illegal dan pemalsuan
dokumen. Dampak korupsi ini terhadap buruh migran
perempuan dan anak harus dipelajari dari umur mereka yang
masih muda dan lugu, yang tidak tahu bagaimana cara
menjaga diri di kota-kota besar karena mereka tidak terbiasa
dan sering malu untuk mencari bantuan. Tidak peduli berapa
usia dan selugu apa pun mereka, mereka yang berimigrasi
dengan dokumen palsu takut status illegal mereka akan
membuat mereka jatuh ke dalam kesulitan lebih jauh dengan
pihak berwenang atau dapat dideportasi. Pelaku perdagangan
memanfaatkan ketakutan ini, untuk terus mengeksploitasi
para perempuan dan proyek. Masalah lain yaitu lemahnya
hukum di Indonesia.
Untuk penyelidikan dan penuntutan kasus-kasus
perdagangan, sistem hukum Indonesia sampai sekarang
masih lemah, lamban dan mahal. Sangat sedikit transparansi,
sehingga hanya sedikit korban yang mempercayakan
kepentingan mereka kepada sistem tersebut. Perilaku
kriminal memiliki sumber daya dan koneksi untuk
memanfaatkan sistem tersebut. Akibatnya, banyak korban
perdagangan yang tidak mau menyelesaikan masalah melalui
proses hukum. Hal ini mengakibatkan praktik
pedagangan/trafficking semakin meningkat dan masih
berlangsung.

373
f) Media massa
Media massa masih belum memberikan perhatian yang
penuh terhadap berita dan informasi yang lengkap tentang
trafficking dan belum memberikan kontribusi yang optimal
dalam upaya pencegahan maupun penghapusannya. Bahkan
tidak sedikit justru memberitakan yang kurang mendidik dan
bersifat pornografis yang mendorong menguatnya kegiatan
trafficking dan kejahatan susila lainnya.
g) Pendidikan minim dan tingkat buta huruf
Survei sosial-ekonomi nasional tahun 2000 melaporkan
bahwa 34% penduduk Indonesia berumur 10 tahun ke atas
belum/tidak tamat SD/tidak pernah bersekolah, 34,2% tamat
SD dan hanya 155 yang tamat SMP. Menurut laporan BPS
pada tahun 2000 terdapat 14% anak usia 7-12 dan 24% anak
usia 13-15 tahun tidak melanjutkan ke SLTP karena alasan
pembiayaan. Orang dengan pendidikan yang terbatas atau
buta aksara kemungkinan besar akan menderita keterbatasan
ekonomi. Dan mereka juga tidak akan mempunyai
pengetahuan kepercayaan diri untuk mengajukan pertanyaan
tentang ketentuan-ketentuan dalam kontrak dan kondisi kerja
mereka. Selain itu, mereka akan sulit mencari pertolongan
ketika mereka kesulitan saat berimigrasi atau mencari
pekerjaan. Mereka akan kesulitan bagaimana mengakses
sumber daya yang tersedia, tidak dapat membaca atau
mengerti brosur iklan layanan masyarakat lain mengenai
rumah singgah atau nomor telepon yang bisa dihubungi
untuk mendapatkan bantuan. Seorang yang rendah melek
huruf sering kali secara lisan dijanjikan akan mendapat jenis
pekerjaan atau jumlah gaji tertentu oleh seorang agen, namun
kontrak yang mereka tanda tangani (yang mungkin tidak
dapat mereka baca) mencantumkan ketentuan kerja serta
kompensasi yang jauh berbeda, mengarah ke eksploitasi.

374
 Bentuk-Bentuk Trafficking
Ada beberapa bentuk trafficking manusia yang terjadi pada
perempuan dan anak-anak:
1) Kerja Paksa Seks & Eksploitasi seks, baik di luar negeri maupun
di wilayah Indonesia
2) Pembantu Rumah Tangga (PRT), baik di luar ataupun di wilayah
Indonesia
3) Bentuk Lain dari Kerja Migran, baik di luar ataupun di wilayah
Indonesia
4) Penari, Penghibur & Pertukaran Budaya terutama di luar negeri
5) Pengantin Pesanan, terutama di luar negeri
6) Beberapa Bentuk Buruh/Pekerja Anak, terutama di Indonesia
7) Trafficking/penjualan Bayi, baik di luar negeri ataupun di
Indonesia

Sasaran yang rentan menjadi korban perdagangan perempuan


antara lain :
1) Anak-anak jalanan
2) Orang yang sedang mencari pekerjaan dan tidak mempunyai
pengetahuan informasi yang benar mengenai pekerjaan yang
akan dipilih
3) Perempuan dan anak di daerah konflik dan yang menjadi
pengungsi
4) Perempuan dan anak miskin di kota atau pedesaan
5) Perempuan dan anak yang berada di wilayah perbatasan anatar
Negara
6) Perempuan dan anak yang keluarganya terjerat hutang
7) Perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga, korban
pemerkosaan

 Undang-Undang tentang Trafficking


Berikut ini beberapa peraturan perundang-undangan :
1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Pasal 285,
287-298; Pasal 506

375
2) UU RI No. 7 tahun 1984 (ratifikasi konvensi Penghapusan
Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan/CEDAW;
pasal 2,6,9,11,12,14,15,16)
3) UU RI No. 20 tahun 1999 (ratifikasi konvensi ILO No. 138
tentang Usia Minimum yang Diperbolehkan Bekerja)
4) UU RI No. 1/2000 (ratifikasi konvensi ILO No. 182 tentang
Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak)
5) UU RI no. 29/1999 (ratifikasi konvensi untuk Mengeliminasi
Diskriminasi Rasial)
6) Keppres No 36/1990 ( ratifikasi konvensi Hak Anak)

Pemerintah Indonesia telah berusaha melakukan berbagai


upaya untuk menangani masalah human trafficking yang terjadi di
Indonesia. Namun upaya-upaya yang telah dilakukan oleh
pemerintah Indonesia tidak menunjukan hasil yang memuaskan,
terbukti kasus human trafficking yang terjadi di Indonesia bukannya
menurun malah semakin meningkat.

 Upaya mengenai human trafficking


1) Dibuatnya undang-undang yang relevan untuk memberikan
perlindungan kepada korban trafficking, UU No.37/1997
tentang Hubungan Luar Negeri : Undang-undang ini dapat
digunakan untuk melindungi orang Indonesia yang ter-
traffick diluar negeri.
2) Undang-undang No 21. Tahun 2007, Tentang pemberantasan
tindak pidana perdagangan orang. Pasal 1 UU No. 21 Tahun
2007 menegaskan, "Perdagangan orang adalah tindakan
perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman,
pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman
kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan,
pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau
posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau
manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang
memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang

376
dilakukan di dalam negara maupun antarnegara, untuk
tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi."

 Terdapat tiga komponen kunci yang patut digarisbawahi


dari definisi tentang perdagangan orang (human trafficking)
di atas.
Pertama, berkaitan dengan tindakan dan proses, yakni
pluralitas tindakan dan proses dengan dan dalamnya
perdagangan manusia terjadi, yakni perekrutan, pengangkutan,
penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan
seseorang atau sekelompok orang.
Kedua, cara-cara yang digunakan dengannya tindakan-
tindakan yang disebut pada poin pertama tergolong sebagai
tindakan perdagangan orang, yakni dengan ancaman kekerasan,
penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan,
penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan,
penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat.
Ketiga, tujuan dari perdagangan orang adalah eksploitasi.
Namun, kendatipun eksploitasi tidak menjadi tujuan (sesuatu
yang dimaksudkan secara sengaja), tindakan-tindakan yang
disebutkan dalam poin pertama dan dilakukan melalui salah satu
cara yang disebutkan dalam poin kedua tetap tergolong sebagai
perdagangan orang kalau mengakibatkan eksploitasi.

 Dampak Negatif Perdagangan Manusia (Human Traficking)


Banyak dampak negatif yang mereka alami. Korban tidak hanya
hanya dalam bentuk fisik seperti luka, cacat, atau meninggal saja
tetapi bagi mereka yang terkena pelecahan seksual atau
kekerasan tetapi juga dari segi psikologis. Tentu akan ada
dampak pada mental mereka yang akan berpengaruh pada
kehidupan mereka. Dampak psikologis merupakan luka
permanen bagi korban perdagangan manusia daripada dampak
yang ditimbulkan dalam hal fisik. Mereka mengalami stress,
trauma bahkan depresi setelah apa yang mereka alami. Rasa

377
takut akan sering muncul pada diri korban perdagangan manusia.
Ciri lain yang tampak adalah korban terkadang berfikir untuk
bunuh diri, kepercayaan dan harga diri yang kurang, selalu
merasa bersalah, merasa takut, merasa ketakutan sering mimpi
buruk, kehilangan harga diri, kehilangan kontrol atas diri sendiri
cenderung korban yang disuntikan narkoba oleh pelaku

 Dampak psikologis yang terjadi pada


korban trafficking, diantaranya adalah:
1) Trauma
Sebagian besar korban perdagangan manusia akan
mengalami trauma dari dampak kekerasan atau pengalaman
yang tidak menyenangkan bagi mereka.Trauma adalah :
“The essence of trauma is that it overwhelms the victim’s
psychological and biological coping mechanisms. This
occurs when internal and external resources
are inadequate to cope with the external threat.”
2) Pembatasan gerak
yaitu kontrol yang dilakukan oleh para traffickers telah
melampaui batas
3) Multiple Trauma
Mengalami beberapa atau kronis peristiwa traumatis atau
kasar telah ditemukan memiliki efek yang lebih negatif dari
trauma tunggal. Sebuah kecemasan korban dapat diungkap,
karena banyak korban yang masih menghadapi bahaya nyata
terkait pengalaman perdagangan mereka bahkan setelah
terjadi eksploitasi.
4) Violence
Korban perdagangan pasti telah mengalami kekerasan baik
sebelum dan selama proses perdagangan. Kekerasan sebelum
perdagangan terlihat pada sebagian besar korban
perdagangan untuk eksploitasi seksual.

378
5) Abuse
Hal ini biasanya digunakan oleh para traffickers bagi korban
yang kurang pengetahuaanya untuk dipengaruhi secara
negatif agar mau melaksanakan apa yang dia perintah.
6) Concurrent Symptoms
Setelah mengalami perdagangan sebagian besar wanita
memiliki banyak simultan masalah kesehatan fisik dan
mental. Di antara korban perdagangan gejala kesehatan fisik
menyebabkan mereka merasa sakit dan tidak nyaman.
Beberapa gejala kesehatan mental mengalami lebih lama.
7) Physical symptoms
Kelelahan dan penurunan berat badan, gejala neurologis, dan
gastrointestinal adalah masalah yang paling sering
dilaporkan. Banyak korban perdagangan yang hanya
memiliki sedikit waktu untuk tidur karena dipaksa untuk
melakukan aktivitas terus-menerus. Kurang tidur kronis atau
berkepanjangan tidak hanya mempengaruhi kemampuan
individu untuk berkonsentrasi dan berpikir jernih, tetapi juga
melemahkan sistem kekebalan tubuh dan kemampuan untuk
menahan rasa sakit.
8) Post-traumatic stress disorder (PTSD)
PTSD adalah istilah yang menggambarkan gangguan
kesehatan mental yang disebabkan, sebagian, oleh satu atau
lebih peristiwa traumatis. Gangguan ini berlangsung dalam
jangka waktu lama dalam gejala psikologis yang parah
dialami oleh mereka yang telah terkena pengalaman yang
telah memiliki efek traumatis pada mereka. Hampir semua
orang yang memiliki pengalaman traumatis akan memiliki
perasaanshock, sedih dan penyesuaian dan tidak semua orang
yang mengalami peristiwa traumatis akan menyebabkan
PTSD. Karakteristik umum PTSD adalah kecenderungan
gejala menurun dari waktu ke waktu di sebagian orang. Studi
korban trafficking ( khususnya untuk eksploitasi seksual )
telah menemukan bahwa korban menunjukkan banyak gejala

379
PTSD. Pola penurunan dalam gejala PTSD juga ditemukan
dalam korban trafficking. PTSD tercermin dalam studi
tentang perdagangan orang adalah bahwa beberapa korban
masih memiliki beberapa gejala setelah perdagangan.

 PEMECAHAN MASALAH TRAFFICKING


Ada sejumlah cara yang dapat dilakukan untuk
memecahkan masalah yang amat pelik ini. Menurut laporan
Kementerian Koordinator Kesehateraan Rakyat pencegahan
trafficking dapat dilakukan melalaui beberapa cara. Pertama,
pemetaan masalah perdagangan orang di Indonesia, baik untuk
tujuan domestik maupun luar negeri. Kedua, peningkatan
pendidikan masyarakat, khususnya pendidikan alternatif bagi
anak-anak dan perempuan, termasuk dengan sarana dan
prasarana pendidikannya. Ketiga, peningkatan pengetahuan
masyarakat melalui pemberian informasi seluas-luasnya tentang
perdagangan orang beserta seluruh aspek yang terkait
dengannya. Keempat, perlu diupayakan adanya jaminan
aksesibilitas bagi keluarga khususnya perempuan dan anak untuk
memperoleh pendidikan, pelatihan, peningkatan pendapatan dan
pelayanan sosial. Cara-cara tersebut terkesan sangat ideal,
tinggal bagaimana implementasinya secara nyata. Upaya tersebut
juga memerlukan keterlibatan seluruh sektor pemerintah, swasta,
LSM, badan-badan internasional, organisasi masyarakat,
perseorangan, dan termasuk media massa.
Sebagai salah satu bentuk implementasi dari cara-cara
tersebut, kami mengambil contoh, langkah yang selama ini baru
dilakukan oleh Kantor Pemberdayaan Perempuan Provinsi
DIY(contohnya) untuk meminimalisir praktek trafficking adalah
dengan mengadakan pelatihan bagi para kepala desa tentang
tertib administrasi. Salah satu tujuan utamanya adalah
mengantisipasi praktek pemalsuan identitas yang kian marak
terjadi dalam hal pengurusan syarat-syarat TKI. Namun,
sayangnya mengapa lembaga perempuan tersebut baru

380
melangkah pada tindakan antisipasi yang sifatnya administratif.
Padahal, masih banyak bentuk kegiatan lain yang bisa
menyentuh masyarakat secara umum, termasuk kaum perempuan
di dalamnya yang rentan dengan trafficking.
Masyarakat secara umum sangat rawan menjadi korban
trafficking apabila tidak mempunyai bekal pengetahuan yang
memadai tentang masalah ini. Untuk itulah, kami mengusulkan
agar dilakukan kampanye (sosialisasi) secara massif untuk
menyebarluaskan informasi tentang apa dan bagaimana praktek
trafficking yang harus diwaspadai itu. Upaya sosialisasi ini
adalah bagian dari program pendidikan yang mampu
memberdayakan para calon TKI. Mereka perlu mendapatkan
pengetahuan secara komprehensif tentang tawaran kerja di mana
dan bagaimana konsekuensinya
Lebih lanjut, kami bahwa dengan adanya pendidikan
(training) tersebut, maka para calon TKI akan merasa aman
karena tidak adanya biaya-biaya yang menyusahkan mereka.
Umumnya, praktek trafficking bermula dari tindakan tidak
bertanggung jawab sejumlah pihak (calo TKI) yang merekrut
calon TKI dengan iming-iming tertentu. Tentunya, para calon
TKI yang berasal dari pedesaan dan sedang dalam himpitan
masalah ekonomi dengan mudahnya menerima tawaran tersebut.
Biasanya mereka hanya berpikir bahwa yang penting dapat
pekerjaan. Ketika merasa terjepit dalam masalah ekonomi,
akhirnya mereka menerima pekerjaan secara asal-asalan. Mereka
kurang memerhatikan bagaimana akibatnya kemudian.Ternyata
sosialisasi saja tidak cukup. Andi Akbar dari Lembaga Advokasi
Hak Anak (LAHA) mengatakan bahwa penanganan masalah
trafficking tidak cukup dalam bentuk penyadaran korban
maupun pelaku, tetapi harus menembus faktor-faktor
penyebabnya.
Menurutnya, trafficking dan eksploitasi seks komersial
anak antara lain didorong karena faktor kemiskinan,
ketidaksetaraan jender, sempitnya lapangan kerja, dan

381
peningkatan konsumerisme. Faktor-faktor seperti inilah yang
juga perlu mendapatkan perhatian dan diberantas hingga ke akar-
akarnya. Sebab, tanpa memecahkan masalah-masalah semacam
itu, upaya penyadaran hanya berfungsi sesaat saja.Kita semua
sepakat bahwa pemberantasan masalah trafficking memerlukan
adanya penegakan hukum yang tegas, apalagi payung hukum
berbentuk UU khusus sudah ada. Tanpa penegakan hukum,
pemberatasan masalah ini akan sia-sia saja. Sebab, pelaku
trafficking akan semakin leluasa saja. Peningkatan kasus
trafficking ternyata tidak diimbangi dengan penegakan hukum
yang ketat. Pasalnya, hanya kurang dari 1 persen kasusnya yang
dibawa ke pengadilan, mantan Ketua Panitia Khusus RUU
PTPPO, untuk memberi jera pada pelaku perdagangan manusia,
UU tersebut meningkatkan sanksi pidana hingga 15 tahun
penjara dan denda ratusan juta rupiah.
Semua kasus tindak pidana trafficking diharapkan dapat
diproses secara hukum dan diberi hukuman yang seberat-
beratnya. Hukuman selama lima tahun memang dirasa masih
kurang.Sehingga, penambahan masa hukuman penjara selama
15 tahun cukup fair mengingat begitu beratnya kasus kejahatan
yang diperbuat oleh para pelakunya. Hal ini dimaksudkan agar
para pelaku trafficking yang sudah atau belum tertangkap
merasa jera dan tidak mengulangi perbuatan yang melawan
hukum itu.

382
Sumber Referensi

Editor, “Sosialisasi Bahaya Trafficking”, Jurnal Perempuan, Edisi


15 Februari 2005
Yentriyani,Andi. PolitikPerdaganganPerempuan. Yogyakarta:
Galang Press, 2004.
http://arfiansyahcepi.blogspot.co.id/
http://www.kompas.com./kolomctil.asp.098
http://www.kemlu.go.id/Pages/InformationSheet.aspx?IDP=114&l=
id
http://uai.ac.id/2014/07/03/kuliah-umum-perdagangan-orang-dalam-
perspektif-psikologi-media-yang-diselenggarakan-oleh-program-
studi-psikologi-fakultas-psikologi-universitas-al-azhar-
indonesia-di-jakarta-30/

383
ISLAM DAN GENDER
Oleh : Yuliani Kosasih_1138030232_5-F

Istilah gender ini lebih populer di lingkungan Kantor


Kementerian Pemberdayaan Perempuan. Dalam Instruksi Presiden
RI No. 9 tahun 2000, sebagai berikut:
Gender (asal kata gen); perbedaan peran, tugas, fungsi, dan
tanggung-jawab serta kesempatan antara laki-laki dan perempuan
karena dibentuk oleh tata nilai sosial budaya (konstruksi sosial)
yang dapat diubah dan berubah sesuai kebutuhan atau perubahan
zaman (menurut waktu dan ruang).
Gender adalah konsep yang mengacu pada peran dan
tanggung-jawab laki-laki dan perempuan yang terjadi akibat dari
dan dapat berubah oleh keadaan sosial dan budaya masyarakat.
Gender adalah pembagian peran dan tanggung jawab keluarga dan
masyarakat, sebagai hasil konstruksi sosial yang dapat berubah-ubah
sesuai dengan tuntutan perubahan zaman. Dalam pemahaman lain
gender merupakan suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki
maupun perempuan yang dikonstruksikan secara sosial maupun
kultural. Perubahan cirri dan sifat-sifat yang terjadi dari waktu ke
waktu dan dari tempat ke tempat lainnya disebut konsep gender.

384
Istilah gender dan seks memiliki perbedaan dari segi
dimensi. Isilah seks (jenis kelamin) mengacu pada dimensi biologis
seorang laki-laki dan perempuan, sedangkan gender mengacu pada
dimensi sosial-budaya seorang laki-laki dan perempuan.
Secara mendasar, gender berbeda dari jenis kelamin biologis.
Jenis kelamin biologis merupakan pemberian, kita dilahirkan
sebagai seorang laki-laki atau seorang perempuan. Tetapi, jalan
yang menjadikan kita maskulin atau feminine adalah gabungan
blok-blok bangunan biologis dasar dan interpretasi biologis oleh
kultur kita. Setiap masyarakat memiliki berbagai naskah untuk
diikuti oleh anggotanya seperti mereka belajar memainkan peran
feminine atau maskulim, sebagaimana halnya setiap masyarakat
memiliki bahasanya sendiri.
Sejak kita sebagai bayi mungil hingga mencapai usia tua, kita
mempelajari dan mempraktikkan cara-cara khusus yang telah
ditentukan oleh masyarakat bagi kita untuk menjadi laki-laki dan
perempuan. Gender adalah seperangkat peran yang seperti halnya
kostum dan topeng di teater menyampaikan kepada orang lain
bahwa kita adalah feminine atau maskulin. Perangkat perilaku
khusus ini yang mencakup penampilan, pakaian, sikap, kepribadian,
bekerja di dalam dan di luar rumah tangga, seksualitas, tanggung
jawab keluarga dan sebagainya secara bersama-sama memoles peran
gender kita.

Pendekatan Tafsir Agama dengan Perspektif Gender.


Pada dasarnya inti ajaran setiap Agama, khususnya dalam
hal ini Islam,adalah menganjurkandan menegakkan prinsip keadilan.
Al-Qur’an, sebagai prinsip-prinsip dasar atau pedomn moral tentang
keadilan tersebut, mencakup berbagai anjuran untuk menegakkan
keadilan ekonomi, keadilan politik, kultural termasuk keadilan
gender. Persoalan muncul ketika masyarakat berkembang dan jenis
ketidakadilan juga berkembang seiring dengan perkembangan
zaman. Dalam kaitan itu,guna memahami dan menganalisis tentang
apa yang adil dan apa yang tidak adil serta bagaimana mekanisme

385
ketidakadilan yang menjadi prinsip dasar agama, seseorang
membutuhkan pisau analisis atau perlu meminjam analisis ilmu-
ilmu social atau politik- ekonomi.
Diperlukan metode pendekatan penafsiran terhadap ayat-
ayat al-Qur’an yang bisa dipergunakan untuk memahami bagaimana
ajaran moral agama yang bersifat prinsipil mesti membutuhkan
analisis social. Pada dasarnya di dalam al-Qur;an terdapat dalil ayat-
ayat yang bersifat mutlak dan tidak bisa ditafsirkan lebih dari satu
pengertian,yng disebut dalil qoth’iy (qoth’iyul dalalah). Ayat-ayat
tersebut jumlahnya sangat sedikit,yakni biasanya menyangkut hal-
hal yang sangat prinsip. Sementara itu terdapat dalil al-Qur’an yang
bisa dan boleh menimbulkan tafsiran, yang disebut dalil dhanny
(dhanniyul dalalah).Dalam hal dalil-dalil dhanny inilah
sesungguhnya untuk memahaminya diperlukan pisau analisis yang
haru dipinjam dari ilmu-ilmu lainnya, termasuk meminjam pisau
analisis gender. Dengan begitu penafsiran atu pemahaman atas
realitas social, karena sesungguhnya prinsip dasar seruan agama
Islam untuk menegakkan keadilan tetap relevan.
Dengan demikian penafsiran terhadap dalil yang bersifat
dhanniyah dengan menggunakan analisis dan perspektif gender
perlu dilakukan. Implikasi dari penafsiran tersebut adalah
kemungkinan dilakukannya rekontruksi fikih yang merupakan
landasan prilaku keseharian umat Islam. Tafsir dan fikih
perempuan,yakni bukan saja tafsir dan fikih yang dilahirkan oleh
kaum perempuan sendiri, melainkan juga tafsir dan fikih yang telah
menggunakan analisis dan perspektif gender.

Wanita Dalam Pandangan Islam


Cobalah kita renungkan apa artinya kenyataan sejarah ini;
disaat kaum wanita di Barat dianggap begitu kotor sehingga
sentuhannya dianggap mengotori kitab Injil, ternyata manuskrip-
manuskrip Al-Qur’an dipercayakan penyimpanannya kepada
nyonya Hafsah di Madinah. Pada saat orang-orang Romawi
menyelenggarak konferensi-konferensi untuk berdebat apakah

386
wanita itu suatu pribadi atau suatu benda,ternyata Nabi Muhammad
SAW bangkit untuk mempermaklumkan bahwa wanita adalah
saudara kaum lelaki.
Kenyataan ini merupakan tuturan sejarah bagaimana Islam
mengangkat wanita ke kedudukan mulia, suatu hal yang belum
pernah terjadi sepanjang sejarah sebelumnya.
Dikalangan masyarakat Arab jahiliyah kita telah
mengetahui bagaimana wanita diperlakukan, mereka mengubur anak
perempuannya hidup-hidup karena takut mendapat malu atau karena
takut tidak mampu memberi nafkah bagi hidupnya.
Dalam pandangan aktivis ormas Islam bahwa berusaha
menentukan jumlah anak merupakan prilaku yang secara normatif
dibenarkan. Hal senada juga ditegaskan Chairiah seorang ketua
Nasyiatul Asyiyah Kalimantan Selatan. Ia mengungkapkan,
“Menentukan jumlah anak oleh istri diperbolehkan , sejauh
merencanakan bukan menentukan. Mengenai jumlah anak ini harus
direncanakan secara bersama-sama,baik oleh suami maupun istri.”
Rata-rata perempuan muslim Indonesia setuju jumlah anak
ditentukan berdasarkan kesepakatan antara suami dan istri. Yang
mungkin masih kontraversi adalah dengan cara apa jumlah anak itu
ditentukan atau dengan alat kontrasepsi apa jumlah anak
dikendalikan. Dalam masalah ini, sepenuhnya pendapat kalangan
perempuan muslim masih merujuk pada keputusan-keputusan ulama
soal keluarga berencana (KB).
Kenyataan sejarah diatas memperlihatkan bagaimana
malangnya nasib wanita pada waktu tertentu dimasa silam pada
sebagian agama dan peradaban di dunia. Keadaan itu baru mulai
membaik sekitar akhir abad ke-19 degan serangkaian undang-
undang yang di mulai dengan undang-undang Harta milik Wanita
Berkeluarga pada tahun 1870, yang kemudian disempurnakan pada
tahun 1882 dan tahun 1870.
Di Indonesia misalnya pada dekade terakhir ini terlihat
gejala yang menunjukan adanya ‘trend kebangunan’ kaum wanita
yang memanifestasikan dirinya dalam benuk penyamaan

387
hak,kewajiban, dan peranan dengan kaum pria dalam berbagi segi
kehidupan, semisal munculnya terminologi wanita karier,wanita
profesi, wanita pekerja, bahkan berbagai kajian mengenai gender,
sebagai bagian dari fenomena kebangkitan wanita dunia, dan lain
sebagainya.
Islam menempatkan kaum wanita pada posisi yang mulia,
dan agama ini menyapa kaum wanita dengan kelembutan.
Kelembutan Islam dan pandangannya yang positif terhadap wanita
dapat dilihat bagaimana ia memandang wanita dari sudut
spiritual,sosial ekonomi, dan politik.
a. Dari segi Spiritual
Tuhan memandang kedudukan wanita sama dengan pria dalam
hak dan tanggung jawabnya.
b. Dari segi Sosial
Islam memandang peranan wanita di masyarakat yang paling
suci dan esensial adalah sebagai seorang istri dan seorang ibu.
Sebab peran ini tidak dapat digantikan oleh siapapun. Namun
Islam tidak melarang wanita untuk mencari nafkah, jika
dibutuhkan, asal yang sesuai dengan harkat kewanitaannya.
Seperti perawat, guru, dan sebagainya. Tidak ada larangan untuk
mengambil keuntungan dari bakat (profesi) mereka.
c. Segi Ekonomi
Satu hak yang tidak dimiliki kaum wanita sebelum Islam adalah
pemilikan yang bebas, hak seorang wania atas uangnya, tanah
atau kebunnya,atau harta benda lainnya. Akan tetapi Islam
memberikan hak itu secara mengesankan bagi mereka.
d. Dari segi Politik
Dalam Islam kita melihat bagaimana wanita memperoleh hak
politiknya, berhak memilih dan dipilih untuk berperan serta
dalam masalah-masalah umum kemasyarakatan.

388
Tuntunan Dalam Al-Qur’an
Kitab Al-Qur’an yang diturunkan kepada Muhammad
Rasulullah Saw di awal abad ke 7 (jauh sebelum Women Lib lahir),
merupakan petunjuk bagi ummat manusia agar terlepas dari
kegelapan dan keragu-raguan tentang kebenaran Tuhan. Jadi orang
yang beriman kepada Tuhan dan Rasul-Nya, harus menggunakan
Al-Qur’an sebagai pedoman hidupnya. Dalam surat Yunus
dijelaskan, yang artinya:
“Maka jika kamu (Muhammad) berada dalam keragu-raguan
tentang apa yang Kami turunkan kepadamu, maka tanyakanlah
kepada orang-orang yang membaca kitab sebelum kamu.
Sesungguhnya telah datang kebenaran kepadamu dari Tuhanmu,
sebab itu janganlah sekali-kali kamu temasuk orang-orang yang
ragu-ragu.” (QS 10:94).
Pada dasarnya manusia itu adalah sama kedudukannya di sisi
Allah SWT, yang membeda- kan adalah taqwanya. Allah SWT
menciptakan pria dan wanita berpasang-pasangan, bersuku-suku dan
berbangsa-bangsa, yang sama derajatnya. Namun yang paling mulia
adalah mereka yang paling bertaqwa kepada Allah SWT. Tidak ada
bedanya lelaki atau wanita, yang berbuat jahat akan disiksa,
sedangkan mereka yang beriman dan beramal saleh akan masuk
surga.
“Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan
supaya kamu mengingat kebesaran Allah.” (QS 51:49).
“Dan bahwasanya Dialah yang menciptakan berpasang-
pasangan pria dan wanita.” (QS 53:45).
“Barang siapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-
laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu
masuk ke dalam surga, dan mereka tidak dianiaya walau
sedikitpun.” (QS 4:124)
“Barang siapa mengerjakan perbuatan jahat, maka dia tidak
akan dibalasi melainkan sebanding dengan kejahatan itu. Dan
barang siapa mengerjakan amal yang saleh, baik laki-laki maupun
perempuan, sedang ia dalam keadaan beriman, maka mereka akan

389
masuk surga, mereka diberi rezki di dalamnya tanpa hisab.” (QS
40:40)
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-
mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di
sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS
49:13)

Kepemimpinan
Pemimpin dan kepemimpinan dalam islam punya rujukan
naqliyah, artinya ada isyarat-isyarat Alquran yang memperkuat perlu
dan pentingnya kepemimpinan dalam sistem sosial. Sedangkan
berbicara mengenai perempuan dalam Alquran mengharuskan kita
untuk memulai dari awal tentang bagaimana Alquran memposisikan
perempuan. Wacana kepemimpinan dalam prespektif islam berakar
dari hasil penafsiran surat an-nisa’ ayat 34.
Artinya : Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum
perempuan karena allah telah melebihkan sebagian mereka(laki-
laki) atas sebagian yang lain(perempuan) dank arena mereka(laki-
laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka .Sebab itu maka
perempuan yang saleh ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara
diri ketika suaminya tidak ada oleh karena allah telah memelihara
mereka (Q.S An-Nisa ayat 34)
Ayat ini banyak ditafsiri secara tekstual sehingga terkesan
sarat akan bias gender dan juga seringkali dijadikan legitimasi atas
superioritas laki-laki. Dalam tafsir mutaqaddimin seperti karangan
ibnu katsir misalnya, lafad Qawwamun pada ayat ini ditafsiri dengan
pemimpin, penguasa, hakim dan pendidik bagi perempuan hal ini
karena kelebihan (fadhal) yang dimiliki laki-laki, karena alasan ini
jugalah -menurut ibnu katsir- nubuwwah dan kepemimpinan hanya
dikhususkan untuk laki-laki.

390
Adapun dalam tafsir Al Misbah Quraish Shihab
menerangkan, Ayat yang lalu (ayat 32) melarang berangan-angan
serta iri menyangkut keistimewaan masing-masing manusia, baik
pribadi maupun kelompok atau jenis kelamin. Keistimewaan yang
dianugerahkan Allah itu antara laki-laki dan perempuan. Kini fungsi
dan kewajiban masing-masing jenis kelamin, serta latar belakang
perbedaan itu disinggung oleh ayat ini dengan menyatakan bahwa:
Para lelaki, yakni jenis kelamin laki-laki atau suami adalah
qawwamun, pemimpin dan penanggung jawab atas para wanita, oleh
karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang
lain dan karena mereka, yakni laki-laki secara umum atau suami
telah menafkahkan sebagian dari harta mereka untuk membayar
mahar dan biaya hidup untuk isteri dan anak-anaknya.
Kata [‫ ]الرجال‬adalah bentuk jamak dari kata [‫ ]رجل‬yang biasa
diterjemahkan lelaki, walaupun al Qur’an tidak selalu
menggunakannya dalam arti tersebut. Banyak ulama’ yang
memahami kata ar–rijal dalam ayat ini dalam arti para suami.
Seandainya yang dimaksudkan dengan kata “ lelaki’’ adalah kaum
pria secara umum, maka tentu konsiderannya tidak demikian. Lebih-
lebih lagi lanjutan ayat tersebut dan ayat berikutnya secara amat
jelas berbicara tentang para istri dan kehidupan rumah tangga.
Ibn Asyur dalam tafsirnya mengemukakan satu pendapat
yang amat perlu dipertimbangkan yaitu bahwa kata ar-Rijal tidak
digunakan oleh Bahasa Arab, bahkan bahasa Alquran dalam arti
suami. Berbeda dengan kata [‫ ]النساء‬atau [‫ ]إمرأة‬yang digunakan
untuk makna Istri. Menurutnya: Penggalan awal ayat di atas
berbicara secara umum tentang pria dan wanita dan berfungsi
sebagai pendahuluan bagi penggalan kedua ayat ini, yaitu tentang
sikap dan sifat isteri-isteri shalehah.
Kata [‫ ]قوامون‬adalah bentuk kata jama’ dari kata qawwam
yang terambil dari kata “qama”. Kata ini berkaitan dengannya.
Perintah shalat-misalnya juga menggunakan akar kata itu. Perintah
tersebut bukan berarti perintah mendirikan shalat, tetapi
melaksanakannya dengan sempurna, memenuhi segala syarat, rukun

391
dan sunnah-sunnahnya. Seorang yang melaksankan tugas itu
sesempurna mungkin berkesinambungan dan berulang ulang, maka
dia namai qawwam. Ayat di atas menggunakan kata jamak yakni
qawwamun sejalan dengan makna kata ar Rijal yang berarti lelaki
banyak. Seringkali kata ini diterjemahkan dengan pemimpin. Tetapi,
seperti terbaca dari maknanya di atas-agaknya terjemahan itu belum
menggambarkan seluruh makna yang dikehendaki, walau harus
diakui bahwa kepemimpinan merupakan satu aspek yang
dikandungnya atau dengan kata lain, dalam pengertian
“Kepemimpinan” tercakup pemenuhan kebutuhan, perhatian,
pemeliharaan, pembelaan dan pembinaan.
Jadi, legitimasi ayat terhadap laki-laki sebagai pemimpin
dengan pertimbangan pokok-poko yang diseukan Alquran, yaitu:
Pertama, [‫]بعض علي بعضهم هللا فضل بما‬ karena Allah
melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain, yakni masing-
masing memiliki keistimewaan. Tetapi, keistimewaan yang dimiliki
lelaki lebih menunjang tugas kepemimpinan daripada keistimewaan
yang dimiliki perempuan. Di sisi lain keistimewaan perempuan
lebih menunjang tugasnya sebagai pemberi rasa damai dan tenang
kepada serta lebih mendukung fungsingnya dalam mendidik dan
membesarkan anak-anaknya.
Kedua, [‫ ]أ َ ْم َوا ِل ِه ْم مِ ْن أ َ ْنفَقُوا ِب َما‬disebabkan karena mereka telah
menafkahkan sebagian harta mereka. Bentu kata kerja past tence
atau masa lampau yang digunakan ayat ini “telah menafkahkan”
menunjukkan bahwa memberi nafkah kepada wanita telah menjadi
suatu kelaziman bagi laki-laki, serta kenyataan umum dalam
masyarakat ummat manusia sejak dahulu hingga kini. Sedemikian
lumrah hal tersebut sehingga langsung digambarkan dengan bentuk
kata kerja masa lalu yang menunjukkan sejak masa dahulu.
Penyebutan konsideran itu oleh ayat ini menunjukkan bahwa
kebiasaan lama itu masih berlaku sampai sekarang.
Berbicara tentang kepemimppinan perempuan dalam literatur
hadis yang sering dijadikan alasan untuk mendukung ayat di atas
ialah seperti: ‫ْام َرأَةً أ َ ْم َر ُه ْم َولَّ ْوا قَ ْو ٌم يُ ْف ِل َح لَ ْن‬

392
Dalam periwayatan Ahmad dengan redaksi hadits langsung
menunjukan pada pokok utama hadits yang menjelaskan tentang
tidak akan bahagia suatu kaum apabila dipimpin oleh seorang
wanita. Riwayat Al-Bukhari, At-Tirmidzi dan An-Nasai redaksi
matan hadits yang digunakan adalah: ‫ْام َرأَةً أ َ ْم َر ُه ْم َولَّ ْوا قَ ْو ٌم يُ ْف ِل َح لَ ْن‬
Riwayat Ahmad pada hadits kesatu dan kedua redaksi matan hadits
yang digunakan adalah: ‫ ْام َرأ َ ٍة إِلَى أ َ ْم َر ُه ْم أ َ ْسنَدُوا قَ ْو ٌم يُ ْف ِل َح لَ ْن‬Riwayat Ahmad
pada hadits yang ketiga redaksi matan hadits yang digunakan
adalah: ‫ام َرأَة ٌ ت َْم ِل ُك ُه ُم قَ ْو ٌم يُ ْف ِل َح لَ ْن‬.
ْ

Wanita Dalam Keluarga


Di dalam Al-Qur’an banyak ayat yang menjelaskan tentang
wanita dalam hubungannya dengan kehidupan berkeluarga. Namun
hanya kami sebutkan beberapa saja, yang sesuai dengan topik.
Seperti dalam surat 4 (An Nisaa’), QS 65 (Ath-Thalaaq), QS 2 (Al-
Baqarah), QS 66 (At-Tahrim), QS 3 (Ali ‘Imran), dan QS 49 (Al-
Hujuraat).
Dalam kehidupan berkeluarga, sudah disyariatkan Allah Swt,
bahwa kepala keluarga adalah laki-laki. Syariat adalah hukum Allah
Swt yang tidak dapat ditawar lagi, bahkan oleh nabi sekali pun.
Maka wanita wajib patuh kepada suaminya, misalnya tidak pergi
tanpa izin suami. Dan menjaga dirinya walau si suami sedang pergi,
misalnya tidak berbuat curang, serta memelihara rahasia dan harta
suaminya. Bila isteri taat, maka suami diwajibkan untuk
mempergauli isterinya dengan baik.
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh
karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas
sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah
menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita
yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika
suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka).
Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka
nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka,
dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka

393
janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.
Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS 4:34)

Menelusuri Pemikiran Santri Ma’had Aly Tentang Kesetaraan


Dan Keadilan Gender Dalam Islam

Kemapanan Dan Keragaman Konsep Kesetaraan Gender Para


Elit Santri
Kesetaraan dan keadilan gender dikembangkan oleh para
santri Ma’had Aly Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, Situbondo, Jawa
Timur karena memiliki landasan teologis yang kuat dalam Al-Quran
maupun al-Sunnah. Sejumlah ayat al-Qur’an telah menunjukkan
bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai derajat yang sama
dihadapan Allah, yang membedakan mereka adalah ketaqwaan,
sehingga dalam konteks islam keduanya sama-sama memiliki akses,
partisipasi, wewenang dan tanggungjawab sebagai hamba Allah.
Qardhawi mengungkapkan bahwa kepemimpinan kepala
negara dimasa sekarang ini kekuasaannya tidak sama dengan
seorang ratu atau khalifah di sama lalu yang identik dengan seorang
imam dalam shalat. Sehingga kedudukan wanita dan pria dalam hal
perpolitikan adalah sejajar karena sama-sama memiliki hak memilih
dan hak dipilih. Dengan alasan bahwa wanita dewasa adalah
manusia mukallaf (diberi tanggung jawab) secara utuh, yang
dituntut untuk beribadah kepada Allah, menegakan agama, dan
berdakwah.
Gambaran umum konstruk pemikiran santri M’had Aly
tentang kesetaraan dan keadilan gender dapat di telaah melalui
bulletin Tanwirul Afkar yang memuat hasil-hasil diskusi para santri
seputar isu-isu fiqh kontemporer yang antara lain mengusung tema
kesetaraan gender dalam perspektif islam.
Kesimpulannya bahwa kesetaraan gender ini memang sudah
diakui eksistensinya oleh semua kalangan termasuk oleh islam.
Perempuan mempunyai wewenang, partisipasi dan akses yang sama

394
dengan laki-laki sehingga memungkinkan perempuan untuk bisa
berbaur dalam segala aspek kehidupan.

Sumber Referensi

Harahap Syahrin, Islam Dinamis, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya,


1997.
Ismatu Jamhari Ropi, Citra Perempuan dalam Islam, Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 2003.
Julia Cleves Mosse, Gender & Pembangunan, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1996.\
Leila Ahmed, Wanita & Gender Dalam Islam, Jakarta: PT. Lentera
Basritama, 2000.
Mansour Fakih, Analisi Gender & Transformasi Sosial, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2013
Mufidah, Gender di Pesantren Salaf, Malang: UIN-Maliki Press,
2010.
Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-
Qur'an, http://daeeleea.blogspot.co.id/2013/05/gender-dalam
alquran.html (diakses pada Juni 2013)

395
ANALISIS GENDER DAN TAFSIR AGAMA
Oleh : Zahrotun Nafi’ah_1138030233_5-F

Sebelum saya merangkum analisis yang berhubungan dengan


judul di atas, terlebih dahulu saya akan menjelaskan secara singkat
apa itu yang dimaksud dengan gender. Untuk memahami konsep
gender harus dibedakan kata gender dengan kata seks (jenis
kelamin). Pengertian jenis kelamin merupakan pensifatan atau
pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara
biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Misalnya bahwa
manusia jenis laki-laki adalah manusia yang memiliki atau bersifat
diantaranya: memiliki penis, kala menjing, dan memproduksi
sperma. Sedang perempuan memiliki alat reproduksi seperti rahim
dan saluran untuk melahirkan, memproduksi telur, memiliki vagina
dan memiliki alat menyusui. Untuk lebih singkat bahwasanya
konsep gender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki
atau perempuan yang dikontruksi secara social maupun kultural.
Misalnya bahwa, perempuan itu dikenal lemah lembut, cantik,
emosional, atau keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat,
rasional, jantan dan perkasa. Ciri dari sifat itu sendiri merupakan
sifat-sifat yang dapat dipertukarkan.
Langsung saja untuk menindaklanjuti judul di atas tentang
Analisis Gender dan Tafsir Agama, maka tidak akan terlepas
hubunganya dengan feminisme. Gerakan feminisme telah banyak
membuktikan, minimal menyumbangkan inspirasi pemikiran,
bahkan pemahaman terhadap terciptanya dunia yang lebih baik dan
lebih adil. Gerakan feminisme tidak hanya mempengaruhi lembaga-
lembaga birokrasi pembangunan, teori-teori baru ilmu social dan
penelitian social, bahkan juga mempengaruhi pandangan berbagai
agama, paling tidak memaksa kaum agamawan untuk melihat,
mengevaluas kembali tafsiran terhadap posisi perempuan yang
selama ini ada. Gerakan ini pula yang mendorong munculnya
gugatan atas berbagai kultur, tradisi yang mempengaruhi tradisi dan

396
posisi perempuan di banyak tempat. Sebetulnya, seberapa jauhkah
para agamawan memandang kasus ini sehingga muncul pertanyaan
yang sangat menarik, yaitu: Apa sumbagan dan alternatif gagasan
kaum agamawan untuk emberikan jalan keluar dalam rangka
transformasi social termasuk merubah posisi kaum perempuan
dalam struktur masyarakat di masa mendatang?

 Pandangan Agama yang Membebaskan dan Transformasi


Sosial
Dewasa ini agama mendapat ujian baru, karena agama
sering dianggap biang masalah, bahkan dijadikan kambing hitam atas
terjadinya pelanggengan ketidakadilan gender. Hal yang sangat
mengganggu misalnya tentang penggambaran bahwa Tuhan seolah-
olah adalah laki-laki, penggambaran ini terjadi dalam hamper semua
agama. Dalam konteks ini, perlu kiranya kita memertajam persoalan
dengan cara melakukan telaah kasus dalam islam berkenaan dengan
prinsip ideal islam dalam memposisikan perempuan. Pertama-tama
harus dipahami lebih dahulu apa spirit yang dibawa oleh islam pada
awal kelahiranya, yakni melakukan perbandingan atas posisi dan
kondisi perempuan pada zaman sebelum dan sesudah islam. Banyak
sejarawan mengungkapkan bahwa dalam masyarakat pra-islam atau
yang dikenal dengan zaman jahiliyah, kedudukan perempuan dalam
masyarakat sangatlah rendah posisinya dan amat buruk kondisinya,
serta dianggap tidak lebih berharga dari suatu komoditas. Sebetulnya
bukan masalah ini saja yang mengganggap seakan wanita itu lebih
rendah daripada laki-laki, rendahnya martabat kaum perempuan juga
trelihat dari hakikat perkawinan yang posesif sifatnya, yang mana
mereka juga yang tidak membatasi berapa jumlah perempuan yang
boleh dikawini oleh laki-laki.
Al-Quran sebagai rujukan prinsip masyarakat islam, pada
dasarnya mengakui bahwa kedudukan laki-laki dan perempuan
adalah sama. Kedudukan diciptakan dari satu nasf , dimana yang
satu tidak memiliki keunggulan terhadap yang lain. Bahkan Al-
Quran tidak menjelaskan secara tegas bahwa Hawa diciptakan dari

397
tulang rusuk Nabi Adam sehingga kedudukan dan statusnya lebih
rendah. Atas dasar itu, prinsip Al-Quran terhadap kaum laki-laki dan
perempuan adalah sama, di mana hak istri diakui sederajat dengan
hak suami. Denagan kata lain laki-laki memiliki hak dan kewajiban
terhadap perempuan dan sebaliknya, apalagi jika dikaitkan dengan
konteks masyarakat pra-islam yang ditransformasikannya.
Persamaan kedudukan laki-laki dan perempuan selain
dalam hal pengambilan keputusan, juga dalam hak ekonomi, yakni
untuk memiliki harta kekayaan dan tidaklah suami ataupun
bapaknya boleh mencampuri hartanya. Kekayaan itu termasuk yang
didapat melalui pewarisan ataupun yang diusahakanya sendiri.
Lantas dari manakah asal datangnya pemikiran yang telah menjadi
tradisi dan tafsir keagamaan yang meletakkan posisi perempuan
lebih rendah dari laki-laki dan berbagai usaha yang
melanggengkannya. Sesungguhnya ada banyak hal yang memkokoh
kedudukan perempuan yang semuanya dianggap mewakili
pandangan resmi islam, antara lain : pengaruh kultur Timur Tengah
terhadap abad pertengahan. Sheikh Nefzawi seorang penulis Muslim
yang mewakili kultur pada zamanya menjelaskan tipe ideal kaum
perempuan di masa itu. Menurutnya perempuan ideal adalah :
Perempuan yang jarang bicara atau ketawa. Dia tidak
pernah meninggalkan rumah, walaupun untuk menjeguk
tetangganya atau sahabatnya. Ia tidak memiliki teman perempuan,
dan tidak percaya terhadap siapa saja kecuali kepada suaminya.
Dia tidak menerima apa pun dari orang lain kecuali dari
suami dan orang tuanya. Jika dia bertemu dengan sanak
keluarganya, dia tidak mencampuri urusan mereka. Dia harus
membantu segala urusan suaminya, tidak boleh banyak menuntut
ataupun bersedih. Ia tak boleh tertawa selagi suaminya bersedih,
dan senantiasa menghiburnya. Dia menyerahkan diri hanya kepada
suaminya, meskipun jika control akan membunuhnya. Perempuan
seperti itu adalah yang dihormati oleh semua orang
.

398
Kultur semacam itu disebagian masyarakat islam masih
dipertahankan, namun diberbagai masyarakat muslim sudah tidak
berlaku lagi. Dalam kasus tersebut kultur patriarki benar-benar ikut
andil melanggengkan ketidakadilan gender.
Lebih dari persoalan tersebut, tafsir keagamaan tetap
memegang peran penting dalam melegitimasi dominasi atas kaum
perempuan. Persoalanya di sini adalah, mengapa Al-Quran seolah-
olah menempatkan kedudukan laki-laki di atas perempuan. Aali
Engineer (1992) mengusulkan dalam memahami ayat yang berbunyi
“laki-laki adalah pengelola atas perempuan” hendaknya dipahami
sebagai deskripsi keadaan struktur dan norma social masyarakat
pada masa itu, dan bukan suatu norma ajaran. Ayat tersebut
menjelaskan bahwa saat itu laki-laki adalah manager rumah tangga,
dan bukan pernyataan kaum laki-laki harus menguasai, memimpin.
Dalam sejarah islam keadaan kaum perempuan berubah, seiring
makin berkembagnya kesadaran hak kaum perempuan, dan konsep
hak juga makin meningkat. Pada saat ayat tersebut diwahyukan
memang belum ada kesadaran akan hal itu. Kata Qowwam dari
masa kemasa dipahami selalu berbeda. Dulu atas dasar aya’ tersebut
perempuan dianggap lebigh rendah dari laki-laki, dan implikasinya
adalah seperti zaman feudal bahwa perempuan harus mengabdi
kepada laki-laki sebagai bagian dari tugasnya. Namun Al-quran
menegaskan bahwa kedudukan suami dan istri adalah sejajar.
Untuk memahami bagaimana kedudukan kaum perempuan,
kita dianjurkan untuk memahami konteks ayat ini. Diriwayatkan
pada suatu hari seorang sahabat Nabi bernama Saad bin Rabi
menampar istrinya Habibah bin Zaid karena suatu persoalan.
Habibah tiddak terima dan mengadukan peristiwa tersebut kepada
ayahnya. Lantas ayahnya pergi mengadu ke Nabi. Keputusan Nabi
adalah, meminta Habibah untuk membalasnya. Atas keputusan Nabi
tersebut kaum laki-laki di Madinah saan itu protes. Kalau ditarik
makna atas peristiwa tersebut, jelas bahwa Nabi telah
memperhitungkan dan paham betul aka ada akibatnya, yaitu pasti
menghebohkan masyarakat yang didominasi oleh laki-laki. Jadi

399
surat An-Nisa’ ayat 35 yang menganjurkan untuk mengangkat
hakim dalam mennyelesaikan perselisihan tersebut diturunkan
dengan semangat untuk mengurangi kekerasan terhadap kaum
perempuan, dan bukan menegaskas superioritas laki-laki atas
perempuan. Namun kenyataanya banyak tafsiran justru tidak
mencerminkan, mengungkapkan kondisi social dan kekerasan yang
pada saat itu dituntut oleh kaum perempuan agar dihentikan.
Sebetulnya sangat diperlukan kajian kritis guna mengakhiri
bias dan dominasi dalam penafsiran agama. Maka diperlukan suatu
proses kolektif yang mengombinasikan studi, investigasi, analisis
social, pendidikan serta aksi untuk membahas isu perempuan. Hal
ini termasuk memberikan semangat dan kesempatan perlawanan
kepada kaum perempuan guna menembangkan tafsiran ajaran
agama yang tidak bias laki-laki. Usaha ini dimaksud untuk
menciptakan perimbangan dan perubahan radikal dengan
menempatkan perempuan sebagai pusat perubahan. Proses ini
termasuk menciptakan kemungkinan bagi kaum perempuan untuk
membuat, mengontrol dan menggunakan pengetahuanya sendiri.
Usaha inilah yang memungkinkan tumbuhnya kesadaran kritis
menuju transformasi kaum perempuan. Gerakan transformasi gender
ini mempercepat transformasi social secara luas dan menyeluruh.

 Pendekatan Tafsir Agama dengan Perspektif Gender


Pada dasarnya inti dari setiap ajaran Agama, khususnya
dalam hal ini islam, adalah menganjurkan dan menegakkan prinsip
keadilan. Al-Quran, sebagai prinsip-prinsip dasar atau pedoman
moral tentang keadilan tersebut, mencakup berbagai anjuran untuk
menegakkan keadilan ekonomi, keadilan politik, kultural termasuk
keadilan gender. Persoalan muncul ketika masyarakat berkembang
dan jenis ketidakadilan juga berkembang seiring dengan
perkembangan zaman. Dalam kaitan itu, guna memahami dan
menganalisis tentang apa yang adil dan apa yang tidak adil serta
bagaimana mekanisme ketidakadilan yang menjadi prinsip dasar

400
agama, seorang membutuhkan pisau analisis atau perlu meminjam
analisis ilmu-ilmu social atau politik ekonomi.
Diperlukan metode pendekatan penafsiran terhadap ayat-
ayat Quran yang bisa dipergunakan untuk memahami bagaimana
ajaran moral agama yang bersifat prinsipil mesti membutuhkan
analisis social. Pada dasarnya di dalam Al-Quran terdapat dalil ayat-
ayat yang bersifat mutlak dan tidak bisa ditafsirkan lebih dari satu
pengertian, yang adil disebut dalil qoth’iy (qoth’iyul dalalah). Ayat-
ayat tersebut jumlahnya sangat sedikit, yakni biasanya menyangkut
hal-hal yang sangat prinsip. Sementara itu terdapat dalil Al-Quran
yang bisa dan boleh menimbulkan tafsiran, yang disebut dalil
dhanny (dhanniyul dalalah). Dalam hal dalil-dalil dhanny inilah
sesungguhnya memahaminya diperlukan pisau analisis yang harus
dipinjam dari ilmu-ilmu lainya, termasuk meminjam pisau analisis
gender. Dengan begitu pemahaman atau tafsiran terhadap ajaran
keadilan prinsip dasar agama akan berkembang sesuai dengan
pemahaman atas realitas social, karena sesungguhnya prinsip dasar
seruan agama islam untuk menegakkan keadilan tetap relevan.
Ddengan demikian penafsiran terhadap dalil yang bersifat
dhanniyah dengan menggunakan analisis dan perspektif gender
perlu dilakukan. Implikasi dari penafsiran tersebut adalah
kemungkinan dilakukanya rekontruksi fikih yang merupakan
landasan perilaku keseharian umat islam. Tafsir dan fikih
perempuan, yakni bukan saja tafsir dan fikih yang dilahirkan oleh
kaum perempua sendiri, melainkan juga tafsir dan fikih yang telah
menggunakan analisis dan perspektif gender.

 Indifikasi Agenda Masalah Agama yang Strategis


Dengan menekuni persoalan-persoalan gender, ada beberapa
permasalahan tafsiran keagamaan yang dianggap strategis agar
segera mendapat perhatian untuk dilakukan kajian. Pertama yang
menyangkut persoalan subordinasi kaum perempuan akibat
penafsiran yang meletakkan kaum perempuan dalam kedudukan dan
martabat yang tidak subordinatif terhadap kaum laki-laki. Padahal,

401
pada dasarnya semangat hubungan lai-laki dan perempuan dalam
islam bersifat adil (equal). Oleh karena itu subordinasi kaum
perempuan merupakan suatu keyakinan yang berkembang
dimasyarakat yang tidak sesuai atau bertentangan dengan semangat
keadilan seperti ayat Tuhan dalam Al-Quran, surat Al-Hujurat ayat
14 yang artinya:
“Sesungguhnya telah Aku ciptakan kalian dan perempuan
dan Aku jadikan berbangsa dan bersuku-suku agar kalian lebih
saling mengenal, sesungguhnya yang mulia diantara kalian adalah
yang paling takwa”.
Masih banyak sekali ayat Al-Quran yang mendukung
pandangan bahwa kaum perempuan tidaklah subordinasi terhadap
kaum laki-laki, seperti sutar At-Taubah ayat 71, An-Nisa’ ayat 123,
surat Ali Imron ayat 195 dan surat An-Nahl ayat 97.
Kedua, pemahaman yang bias gender selain meneguhkan
subordinasi kaum perempuan, juga membawa akibat pada persoalan
waris dan kesaksian, di mana nilai kaum perempuan dianggap
separo dari kaum laki-laki. Untuk embahas ini perlu dilakukan
analisis konteks social terhadap struktur social, kultural pada saat
ayat tersebut diturunkan, sehingga tidak bertentangan denga prinsi
keadilan yang disampaikan dalam ayat-ayat di atas. Umumnya
merekayang menekuni masalah keadilan gender tidak melihat angka
pembagianya, melainkan semangat keadilan. Sehingga demi
mencapai keadilan, merubah angka yang sesuai dengan sistem dan
struktur social dewasa inipun perlu dilakukan.
Ketiga, segenap ayat yang berkenaan dengan hak produksi
dan reproduksi kaum perempuan. Dalam tradisi penafsiran islam
yang tidak menggunakan perspektif gender, kaum perempuan sama
sekali tidak memiliki hak reproduksi maupun reproduksi yalni untuk
mengontrol organ reproduksi mereka. Untuk itu usaha untuk
menafsirkan kembali agar terjadi keadilan gender dalam hak-hak
reproduksi perlu mendapat perhatian. Diantara agenda mengenai
penafsiran hak-hak reproduksi ini meliputi:

402
a) Hak jaminan keselamatan dan kesehatan yang berkenaan dengan
pilihan-pilihan untuk menjalankan dan menggunakan atau
menolak penggunaan organ reproduksinya, mulai dari
menstruasi, mengandung, melahirkan dan menyusui. Dalam
kaitan ini termasuk hak menentukan kehamilan bagi perempuan
sepanjang akan membahayakan kesehatan dan keselamtanya.
b) Hak untuk memilih pasangan. Dalam kenyataan masih banyak
beredar keyakinan dimasyarakat islam bahwa orang tua (dalam
hal ini ayah) memiliki hak menentukan jodoh (Ijbar) bagi anak
gadisnya. Kajian tentang hak-hak perempuan untuk menentukan
nasib jodohnya ini juga perlu diagendakan.
c) Hak untuk menikmati dan menolak hubungan seksual. Dalam
pandangan islam yang bias gender, kaum perempuan secara
seksual dimiliki dan dikontrol oleh kaum laki-laki dan tugas
utama istri adalah melayani, Meskipun tidak jelas dari mana
pandangan ini datangnya, namun hubungan seksual bagi kaum
perempuan lebih dikontruksi sebagai kewajiban belaka. Oleh
karena itu perlu dilakukan dekontruksi terhadap tafsir dan ajaran
fikih yang menolak segenap jenis ketidakadilan gender dalam
bentuk pelecehan seksual, pmerkosaan terhadap istri yang masih
menjadi masalah kontroversi tersebut.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwatafsiran agama


mempunyai kedudukan yang sangat strategis dalam melanggengkan
ketidakadilan gender maupun sebaliknya, yaitu dalam usaha
menegakkan keadilan gender. Untuk itu diperlukan suatu pengkajian
ulang terhadap keseluruhan tafsir agama dan implikasinya terhadap
ajaran dan perilaku keagamaan. Kajian tersebut menyangkut
identifikasi akar permasalahan dan strategi pemecahanya.
Suatu strategi advokasi bisa dipimjam untuk melakukan
proses penyadaran dana penafsiran ulang dengan pendekatan-
pendekatan sebagai berikut. Apabila persoalanya terletak dalam ayat
Al-Quran atau bunyi suatu hadist, maka yang perlu dilakukan adalah
penafsiran ulang terhadap ayat tersebut dengan perspektif gender,

403
penelitian terhadap autentisitas hadist tersebut, untuk menemukan
hadist yang lebih saheh. Ini berarti memerlukan usaha yang
melibatkan antara ulama dengan berbagai orang dengan bermacam-
macam disiplin ilmu yang mempunyai perspektif gender.
Namun jika permasalahanya terletak pada penafsiranya,
yakni dalam pemahaman para ulama yang memiliki otoritas
penafsiran, maka perlu diadakan pendekatan dan pendidikan atau
lokakarya guna membahas analisis gender bagi kalangan otoritas
ilmu keagamaan tersebut. Kegiatan ini berarti melibatkann mereka
yan dianggap memiliki otoritas ilmu keagamaan dalam memahami
dan mendeseminasikan wacana keadilan gender dalam islam.
Namun jika persoalanya terletak pada kultur masyarakat agama
yang melanggengkan ketidakadilan gender, yag diperlukan adalah
suatu usaha kampanye dan pendidikan massa tentang masalah
gender yang dilakukan oleh semua pihak yang peduli terhadap
masalah keadilan, termasuk melibatkan para ulama.
Untuk itu sudah saatnya lembaga keagamaan dan pendidikan
serta lembaga kajian keagamaan memiliki bagian “pengkajian
perempuan”sebagai wadah yang memberi ruang untuk mengkaji
persoalan kedudukan perempuan dalam agama. Dalam masyarakat
islam misalnya, perlunya kajian masyarakat islam di pesantren
maupun lembaga pendidikan tnggi islam sudah semakin mendesak.
Melalui lembaga kajian seperti ini kemungkinan lahirnya tafsir
maupun fikih perempuan yang berperspektif keadilan gender
terbuka lebar.

Diskursus Pembangunan Dan Nasib Kaum Perempuan


Dalam bgaian ini pembahasan difokuskan terhadap analisis
kritis tentang bagaimana ketidakadilan gender dan ketidakpekaan
terhadap masalah gender telah mempengaruhi berbagai ideology
besar seperti teori-teori ilmu social tentang pembangunan. Uraian
berikut ini memusatkan perhatian secara kritis terhadap diskursus
pembangunan yang sejak mula dikembangkan tanpa
mempertimbangkan masalah gender dan telah menimbulkan akibat

404
dan hasil yang berbeda antara kaum laki-laki dan perempuan.
Seperti akan ditunjukkan dalam uraian berikut bahwa hamper semua
teori social tentang pembangunan yang sagat berpengaruh terhadap
nasib berjuta-juta umat manusia telah dikembangkan tanpa
mempertimbangkan masalah gender. Akibatnya, bangunan yang
semboyannya untuk menyejahterakan dan menjawab tantangan
kemiskinan dan keterbelakangan bangsa-bangsa Dunia ketiga
tersebut justru telah mengakibatkan keterbelakangan kaum
perempuan. Women in Development (WID) yang dicitakan sebagai
jawaban atas kritik terhadap pembangunan (developmentalism) juga
dianggap telah gagal menjalankan tugasnya, karena program ini
hanya mampu menjawab persoalan dan kebutuhan praktis jangka
pendek kaum perempuan. Tanpa analisis gender, diskursus
pembangunan telah gagal menjawab kebutuhan strategis kaum
perempuan, yakni suatu proses jangka panjang untuk
mentranspormasikan baik keyakinan dan ideology ketidakadilan
gender maupun struktur kekuasaan yang tidak adil yang dibangun
berlandaskan keyakinan dan ideology gender.
Di Indonesia kata ‘pembangunan’ menjadi diskursus yang
dominan dan erat kaitanya dengan lahirnya Orde Baru. Kata
‘pembangunan’ selain menjadi semboyan juga diabadikan sebagai
nama pemerintahan Orde Baru. Hal itu bisa dilihat dari penamaan
cabinet sejak pemerintah Orde Baru yang selalu dikaitkan dengan
kata ‘pembangunan’sesungguhnya telah dikenal dan dipergunakan
sejak zaman Orde Lama.
Apa yang membedakan esensi dari kata pembangunan dalam
konteks Orde Baru adalah terkait erat dengan diskursus
pembangunan yang dikembangkan oleh Negara-negara Barat.
Uraian berikut mencoba melihat diskursus pembangunan secara
kritis. Karenanya, perhatian uraian ini tidak melakukan tinjauan dari
segi bahasa, tetapi mencoba melakukan kajian atas politik ekonomi
dalam permulaan diskursus pembangunan, dan bagaimana proses
pembangunan disebar ked an diserap oleh Negara-negara Dunia

405
Ketiga, serta kaitanya dengan diskursus pembangunan di Indonesia
sejak Pemerintahan Orde Baru.
Jika kita melihat pengertian konsep dasar pembangunan,
sesungguhnya tidak ada konsep dalam ilmu-ilmu social yang
serumit dan sesamar kata tersebut. Istilah pembangunan dipake
dalam bermacam-macam konteks, dan seringkali dipergunakan
dalam konotasi politik dan ideology tertentu. Ada banyak kata yang
memiliki makna sama dengan kata pembangunan, seperti misalnya
perubahan social, pertumbuhan, kemajuan dan modernisasi. Dari
kata tersebut hanya ada satu istilah yang memberi makna perubahan
kea rah positif, yaitu perubahan social. Kata pembangunan sangat
tergantunng pada konteks siapa yang menggunakan dan untuk
kepentingan apa. Maka, uraian mengenahi pengertian pembangunan
ini akan lebih jelasjika dilihat dari konteks grand theory yang
menjadi landasan berbagai teori mengenai perubahan social.

 Sketsa Teori-teori Pembangunan


Cara untuk menyampaikan berbagai teori tanpa mengadili
terlebih dahulu merupakan persoalan bagi setiap orang yang
mencoba mendeskripsikan tentang aneka ragam teori dalam hal ini
adalah pembangunan. Kesulitanya terletak pada bias masing-masing
penulis dan pembaca dalam memandang dan memperlakukan teori
tersebut. Oleh karena itu, pendekatan yang dilakukan berikut ini
adalah dengan cara mengambil bentuk proses kronologi bagaimana
grand theory dikembangkan, terutama pada sejarah pemikiran
pembangunan abad modern hingga saat ini. Meski demikian, secara
jujur penulis merasa sulit menghindari subjektifitas sejak
pengumpulan bahan bacaan dan analisis untuk menyusun kronologi
ini.

 Teori Evolusi
Zaman pencerahan memberi dampak besar terhadap
pemikiran tentang perubahan social. Dampak yang paling
menonjol adalah munculnya apa yang dikenal sebagai teori

406
evolusi atau organic. Teori tersebut didasarkan pada 6 asumsi
tentang perubahan, yaitu bahwa perubahan dilihat sebagai :
natural, direksional, imanen, kontinyu, suatu keharusan, dan
berjalan melalui sebab universal yang sama.
Meskipun awal perkembangan teori evolusi berpangkal
pada pemikiran Friedrich Hegel, namun filosof Prancis Auguste
Comte yang membawa teori evolusi menjadi pengetahuan ilmu
social positivistic. Tidak seperti Hegel, Comte tidak meletakkan
Tuhan dalam pusat teori Evolusinya. Comte menggambarkan
bahwa perubahan selalu mulai dari fase teologis dimana
masyarakat dikuasai oleh ‘Pendeta’ dan diperintah oleh Militer.
Fase kedua metafisis dimana dosa berdasar padapemikiran
filososfi manusia, sedangkan tingkat ketiga adalah ilmiah atau
positif yaitu dengan memahami hukum alam dan eksperimentasi
ilmiah.
Teori evolusi sangat mempengaruhi hamper semua teori
tentang perubahan social dan teori pembangunan setelahnya.
Bagi Comte intervensi manusia sangat menentukan
perkembangan fase-fase evolusi tersebut. Pengetahuan ilmiah
dapat direncanakan yang oleh pengikutnya sering disebut
sebagai rekayasa social, yang oleh Herbert Spencer disebut
sebagai Darwinis Sosial. Aplikasi teori ini berpengaruh kepada
pemikiran modern tentang pembangunan, yaitu bahwa
masyarakat bergerak dari masyarakat miskin non industry,
primitive, akan berevolusi ke masyarakat industry yang lebih
kompleks dan berbudaya. Menurut teori ini yang menjadi
sumber masalah adalah teradisi.

 Teori Fungsionalisme Struktural


Teori ini muncul 30-an sebagai kritik terhadap teori
evolusi, dan sering disebut sebagai fungsionalisme. Teori ini
dikembangkan oleh Robert Merton dan Talcott Parsons, meski
tidak secra langsung menyinggung pembanguana, namun teori
ini terkait dengan beberapa teori pembangunan seperti teori

407
sumber daya manusia dan modernisasi. Teori ini sesungguhnya
sangat sederhana, yakni bagaimana memandang masyarakat
sebagai sistem yang terdiri atas bagian yang saling berkaitan
(agama, pendidikan, struktur politik sampai rumah tangga).
Masing-masing bagian secara terus menerus mencari
keseimbangan dan harmoni. Adapun interaksi terjadi karena
adanya consensus. Pola yang non-normatif dianggap akan
melahirkan gejolak. Jika hal tersebut terjadi maka masing-
masing bagian akan cepat menyesuaikan diri untuk mecapai
keseimbangan kembali. Para penganut teori ini menganggap
masyarakat akan berubah namun tidak ditetapkan berapa lama
evolusinya. Konflik di masyarakat dilihat tidak fungsional,
karenanya harus dihindarkan. Maka berdasarkan teori ini status
quo harus dipertahankan.

 Teori Modernisasi
Teori modernisasi lahir tahu 1950-an dan merupakan
tanggapan kaum intelektual terhadap Perang Dunia. Bagi para
penganut teori evolusi, modernisasi dianggap sebagai jalan
optimis menuju perubahan. Menurut Huntington (1976) proses
modernisasi bersifat revolusioner (perubahan cepat dari tradisi
ke modern), kompleks 9melalui banyak cara), sistematik, global
(akan mempengaruhi semua manusia 9convergency) dan
progresif.

 Teori Sumber daya Manusia


Sementara teori modernisasi didominasi kaum sosiolo
dan psikolog, para ekonom merumuskan teori pembangunan
berlandaskan pada teori fungsionalisme structural yang disebut
Teori Sumber Daya Manusia. Jika teori modernisasi
memusatkan kepada sikap dan nilai-nilai individu, maka para
ekonom ini lebih menekankan kepada kemampuan produktif
sumber daya manusia sebagai modal investasi bagi proses
pembangunan.

408
 Teori Konflik
Jika sebagian besar teori di atas evolusi dan
fungsionalisme structural menjelaskan bahwa perubahan
diyakini terjadi secara perlahan dan damai dengan mengabaikan
konflik sebagai dimensi perubahan social, maka teori ini justru
lebih mendasarkan atas konflik. Contoh konflik adalah revolusi,
eksploitasi, kolonialisme, ketergantungan, konflik kelas dan
rasial. Bahkan bagi Nisbet (1969) prinsip konflik sesungguhnya
implisit, dua sisi mata uang dalam semua teori perubahan dan
pembangunan.

 Teori Ketergantungan
Pendekatan teori ini berlawanan degan teori evolusi dan
modernisasi. Teori ketergantungan menekankan hubungan-
hubungan dalam masyarakat, misalnya masalah struktur social,
kultur, ekonomi dan politik. Asumsi dasar teori ini adalah bahwa
keterbelakangan dan pembangunan merupakan konsep yang
saling berkaitan. Keterbelakangan masyarakat dianggap sebagai
proses yang berhubungan dengan perkembangan masyarakat
diluarnya. Kata ketergantungan dipakai untuk memberi tekanan
bahwa hubungan kemajuan di masyarakat center misalnya
merupakan keterbelakangan di daerah pinggiran yang
diakibatkan oleh proses sejarah yang disengaja.

 Teori Pembebasan
Teori ini dianggap masih dekat dengan teori Marxis dan
ketergantungan. Meskipun menolak, namun teori pembebasan
memberikan titik perhatian alternative terhadap keterbelakangan
dan bagaimana mengatasinya. Teori ini adanya perubahan
mendasar dalam struktur masyarakat dan struktur yang lebih luas
dalam sosio-ekonomi, polotik dan kultural. Pada dasarnya teori
ini memilih pendekatan humanistic ketimbang pendekatan
structural. Dalam asumsinya, teori ini menganggap bahwa

409
masyarakat berada dalam keadaan terbelakang karena ditindas
oleh pemegang kekuasaan dalam masyarakat mereka sendiri,
yakni mereka yang mengontrol sumber daya ekonomi, seperti
tanah, industry dan kekayaan.

 Teori kekuasaan dan Diskursus dalam Perubahan Sosial


Teori ini lahir dari inspirasi pandangan Foucault tentang
diskursus kekuasaan dan pengetahuan, terutama dalam hal
bagaimana diskursus dan pengetahuan adalah dua hal yang tidak
bisa dipisahkan. Melalui proses ‘pendisiplinan’ dan ‘normalisasi’,
proses penggunaan pengetahuan, kekuasaan telah diterapkan
dalam berbagai aspek (seperti misalnya kegilaan, sakit, kejahatan,
dan seksualitas). Dengan demikian bagi Foucault, bentuk
perjuangan tidak hanya melawan eksploitas 9ekonomi) dan
dominasi (social, etnis, seksual, agama) saja, namun juga melawan
subjection (yakni bentuk penyerahan seseorang sebagai individu,
seperti hubungan psikiater dengan pasienya). Baginya setiap
strategi yang mengabaikan ketiga hal tersebut pasti akan gagal.

 Arkeologi Developmentalism : Sebuah Pandangan Kritis


Saat ini kita hidup dalam suatu abad yang dikenal sebagai
suatu zaman Pembangunan. Zaman simana suatu gagasan mampu
mendominasi dan mempengaruhi pemikiran bangsa-bangsa secara
global, menyangkut gagasan pembebasan masalah kemiskinan dan
keterbelakangan bagi berjuta-juta rakyat di Dunia Ketiga. Istilah
pembangunan kini telah menyebar dan dipergunakansebagai visi,
teori dan proses yang diyakini oleh rakyat dihampir semua Negara,
khususnya Dunia Ketiga. Dan selanjutnya pembangunan menjadi
sinonim modernisasi.
Modernisasi teori yang lahir tahun 50-an yang merupakan
respon kaum intelektual terhadap Perang Dunia, dianggap jalan
paling optimis menuju perubahan. Huntington (1976) percaya
bahwa modernisasi bersifat revolusioner dan progesif. Teori ini

410
mempengaruhi interdisiplin, seperti sosiologi, psikologi, ilmu
politik, ekonomi, antropologi dan bahkan agama.
Konsep pembangunan dan modernisasi yang kemudian
serta merta dianut oleh berjuta-juta rakyat Dunia Ketiga, pada
dasarnya merupakan refleksi paradigm Barat tentang perubahan
social. Pembangunan diidentikan dengan gerak langkah demi
langkah menuju modernitas yang lebih tinggi. Yang dimaksud
modernitas disini merefleksi pada bentuk perkembangan dan
kemajuan teknologi dan ekonomi seperti yang dicapai oleh
Negara-negara industry. Konsep ini mempunyai akar sejarah dan
intelektualitas dan perubahan social yang berhubungan dengan
revolusi industry di Eropa.
Dalam masa yang sangat singkat, gagasan pembangunan
dan modernisasi menjadi program besar-besaran. Selain menjadi
doktrin politik bantuan luar negeri Amerika baik kepada
Pemerintah Dunia Ketiga maupun LSM, juga serempak hamper
semua universitas di Barat membuka kajian baru yang dikenal
dengan Development Studies. Melalui studies di Barat ini, proses
penyebar serapan kapitalisme ke penjuru dunia dipercepat dan
berlangsung mulus, yakni melalui teknokrat, intelektual dan
bahka aktivis LSM Dunia Ketiga yang menjadi pasar utama
program studi tersebut.
Puncak dari proses developmentalism adalah terciptanya
posisi peran Amerika Serikat yang semakin penting, itu terlihat
dari bagaimana pengaruh mereka atas setiap kebijakan dan
perencanaan ekonomi bantuan mereka.

 WID dan Developmentalism


WOMEN in development (WID-perempuan dalam
pembangunan) menjadi bagian diskursus pembangunan, dan
merupakan pendekatan dominan bagi pemecahan persoalan
perempuan Dunia Ketiga. Gagasan WID dianggap satu-satunya
jalan guna memperbaiki status dan nasib berjuta-juta perempuan
di Negara Dunia Ketiga. Namun setelah kurang lebih sepuluh

411
tahun berjalan, banyak orang mulai menyangsikanya dan
mengajukan kritik mendasar terhadap konsep WID. Kritik ini
dipelopori oleh berbagai aliran feminisme. WID dianggap bagian
dari agenda Dunia Pertama untuk mendominasi Dunia Ketiga.
Konsep WID sendiri dianggap membawa bias feminis liberal,
kelas menengah kulit putih, yang dianggap tidak memiliki
kepentingan pembebasan kaum perempuan.
WID, yang merupakan strategi arus utama
developmentalism, lebih menghasilkan penjinakkan dan
pengekangan perempuan Dunia Ketiga, ketimbang
membebaskanya. Banyak kajian telah dilakukan atas masalah
ini. Agenda utama program WID adalah bagaimana melibatkan
kaum perempuan dalam kegiatan pembangunan. Asumsinnya,
penyebab keterbelakangan perempuan adalah karena mereka
tidak berpartisipasi dalam pembangunan.
Jadi dapat disimpulkan bahwa WID merupakan strategi
dan diskursus developmentalism untuk melanggengkan dominasi
dan penindasan perempuan di Dunia Ketiga, malalui upaya
menjinakkan dan pengekangan perempuan. Berarti, pada
dasarnya menghindari upaya emansipasi. Oleh karena itu, WID
diragukan mampu memacu proses transformasi.
Jika WID bertujuan memroses persamaan kaum laki-laki
dan perempuan, maka transformasi gender merupakan gerakan
pembebasan perempuan dan laki-laki dari sistem dann struktur
yang tidak adil. Dengan demikian transpormasi gender
merupakan upaya pembebasan dari segala bentuk penindasan
baik struktur maupun personal, kelas, warna kulit dan ekonomi
internasional.
Tujuan gerakan transppormasi gender tidak sekedar
memperbaiki status perempuan yang indikatornya menggunakan
norma laki-laki melainkan memperjuangkan martabat dan
kelakuan perempuan. Hal tersebut membutuhkan perubahan
peran, baik perempuan maupun laki-laki. Dalam hal ini kekuatan
bukan berarti mendominasi yang lain. Kekuatan ang dimaksud

412
adalah kekuatan internal, dalam rangka mengonntrol hidup dan
jasad, juga kemampuan meraih akses terhadap alokasi sumber-
sumber material dan non material. Transpormasi gender
menolak integrasi perempuan tidak memberikan pilihan dan
suara untuk mempertahankan kehidupan macam apa yang
diidamkan oleh kaum perempuan , berbagai kekuasaan.

413
ISLAM Dan GENDER
Oleh : Zein Ahmad Maliki_1138030234_5-F

Dalam pandangan hukum Islam, segala sesuatu diciptakan


Allah dengan kodrat. Demikian halnya manusia, antara laki-laki dan
perempuan sebagai individu dan jenis kelamin memiliki kodratnya
masing-masing. Al-Qur'an mengakui adanya perbedaan anatomi
antara laki-laki dan perempuan. Al-Qur'an juga mengakui bahwa
anggota masing-masing gender berfungsi dengan cara merefleksikan
perbedaan yang telah dirumuskan dengan baik serta dipertahankan
oleh budaya, baik dari kalangan kaum laki-laki maupun perempuan
sendiri. Kodrat perempuan sering dijadikan alasan untuk mereduksi
berbagai peran perempuan di dalam keluarga maupun masyarakat,
kaum laki-laki sering dianggap lebih dominan dalam memainkan
berbagai peran, sementara perempuan memperoleh peran yang
terbatas di sektor domestik. Kebudayaan yang berkembang dalam
masyarakat pun memandang bahwa perempuan sebagai makhluk
yang lemah, emosional, halus dan pemalu sementara laki-laki
makhluk yang kuat, rasional, kasar serta pemberani. Anehnya
perbedaan-perbedaan ini kemudian diyakini sebagai kodrat, sudah
tetap yang merupakan pemberian Tuhan. Barang siapa berusaha
merubahnya dianggap menyalahi kodrat bahkan menentang
ketetapan Tuhan. Peran dan status perempuan dalam perspektif
Islam selalu dikaitkan dengan keberadaan laki-laki. Perempuan
digambarkan sebagai makhluk yang keberadaannya sangat
bergantung kepada laki-laki. Sebagai seorang anak, ia berada di
bawah lindungan perwalian ayah dan saudara laki-laki, sebagai istri
bergantung kepada suami. Islam menetapkan perempuan sebagai
penenang suami, sebagai ibu yang mengasuh dan mendidik anak dan
menjaga harta benda serta membina etika keluarga di dalam
pemerintahan terkecil.

414
Al-Qur'an tidak mengajarkan diskriminasi antara lelaki dan
perempuan sebagai manusia. Di hadapan Tuhan, lelaki dan
perempuan mempunyai derajat yang sama, namun masalahnya
terletak pada implementasi atau operasionalisasi ajaran tersebut.
Kemunculan agama pada dasarnya merupakan jeda yang secara
periodik berusaha mencairkan kekentalan budaya patriarkhi. Oleh
sebab itu, kemunculan setiap agama selalu mendapatkan perlawanan
dari mereka yang diuntungkan oleh budaya patriarkhi. Sikap
perlawanan tersebut mengalami pasang surut dalam perkembangan
sejarah manusia. Semua dimungkinkan terjadi karena pasca
kerasulan Muhammad, umat sendiri tidak diwarisi aturan secara
terperinci (tafshily) dalam memahami Al-Qur'an. Di satu sisi Al-
Qur'an mengakui fungsi laki-laki dan perempuan, baik sebagai
individu maupun sebagai anggota masyarakat. Namun tidak ada
aturan rinci yang mengikat mengenai bagaimana keduanya
berfungsi secara kultural. Berbeda pada masa kenabian superioritas
dapat diredam. Keberadaan nabi secara fisik sangat berperan untuk
menjaga progresivitas wahyu dalam proses emansipasi
kemanusiaan. Persoalannya, problematika umat semakin kompleks
dan tidak terbatas seiring perkembangan zaman, sementara Al-
Qur'an sendiri terdapat aturan-aturan yang masih bersifat umum dan
global (mujmal) adanya.

Pengertian Gender
Secara umum, pengertian gender adalah perbedaan yang
tampak antara laki-laki dan perempuan apabila dilihat dari nilai dan
tingkah laku. Sejauh ini persoalan Gender lebih didominasi oleh
perspektif perempuan, sementara dari perspektif pria sendiri belum
begitu banyak dibahas. Dominannya perspektif perempuan sering
mengakibatkan jalan buntu dalam mencari solusi yang diharapkan,
karena akhirnya berujung pada persoalan yang bersumber dari kaum
laki-laki. Ada beberapa fenomena yang sering kali muncul pada
persoalan Gender. Kata Gender berasal dari bahasa Inggris yang
berarti jenis kelamin (John M. Echols dan Hassan Sadhily, 1983:

415
256). Secara umum, pengertian Gender adalah perbedaan yang
tampak antara laki-laki dan perempuan apabila dilihat dari nilai dan
tingkah laku. Dalam Women Studies Ensiklopedia dijelaskan bahwa
Gender adalah suatu konsep kultural, berupaya membuat perbedaan
(distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik
emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam
masyarakat.
Dalam buku Sex and Gender yang ditulis oleh Hilary M. Lips
mengartikan Gender sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-
laki dan perempuan. Misalnya; perempuan dikenal dengan lemah
lembut, cantik, emosional dan keibuan. Sementara laki-laki
dianggap kuat, rasional, jantan dan perkasa. Ciri-ciri dari sifat itu
merupakan sifat yang dapat dipertukarkan, misalnya ada laki-laki
yang lemah lembut, ada perempuan yang kuat, rasional dan perkasa.
Perubahan ciri dari sifat-sifat tersebut dapat terjadi dari waktu ke
waktu dan dari tempat ke tempat yang lain (Mansour Fakih 1999: 8-
9).
Heddy Shri Ahimsha Putra (2000) menegasakan bahwa
istilah Gender dapat dibedakan ke dalam beberapa pengertian
berikut ini: Gender sebagai suatu istilah asing dengan makna
tertentu, Gender sebagai suatu fenomena sosial budaya, Gender
sebagai suatu kesadaran sosial, Gender sebagai suatu persoalan
sosial budaya, Gender sebagai sebuah konsep untuk analisis, Gender
sebagai sebuah perspektif untuk memandang kenyataan.
Epistimologi penelitian Gender secara garis besar bertitik
tolak pada paradigma feminisme yang mengikuti dua teori yaitu;
fungsionalisme struktural dan konflik. Aliran fungsionalisme
struktural tersebut berangkat dari asumsi bahwa suatu masyarakat
terdiri atas berbagai bagian yang saling mempengaruhi. Teori
tersebut mencari unsur-unsur mendasar yang berpengaruh di dalam
masyarakat. Teori fungsionalis dan sosiologi secara inhern bersifat
konservatif dapat dihubungkan dengan karya-karya August Comte
(1798-1857), Herbart Spincer (1820-1930), dan masih banyak para
ilmuwan yang lain.

416
Teori fungsionalis kontemporer memusatkan pada isu-isu
mengenai stabilitas sosial dan harmonis. Perubahan sosial dilukiskan
sebagai evolusi alamiah yang merupakan respons terhadap
ketidakseimbangan antar fungsi sosial dengan struktur peran-peran
sosial. Perubahan sosial secara cepat dianggap perubahan
disfungsional.
Hilary M. Lips dan S. A. Shield membedakan teori
strukturalis dan teori fungsionalis. Teori strukturalis condong ke
sosiologi, sedangkan teori fungsionalis lebih condong ke psikologis
namun keduanya mempunyai kesimpulan yang sama. Dalam teori
itu, hubungan antara laki-laki dan perempuan lebih merupakan
kelestarian, keharmonisan daripada bentuk persaingan (Talcott
Parson dan Robert Bales). Sistem nilai senantiasa bekerja dan
berfungsi untuk menciptakan keseimbangan dalam masyarakat,
misalnya laki-laki sebagi pemburu dan perempuan sebagai peramu.
Perempuan dengan fungsi reproduksinya menuntut untuk berad pada
peran domestik. Sedangkan laki-laki pemegang peran publik. Dalam
masyarakat seperti itu, stratifikasi peran gender ditentukan oleh jenis
kelamin (sex).
Kritik terhadap aliran tersebut bahwa struktur keluarga kecil
yang menjadi ciri khas keluarga modern menyebabkan perubahan
dalam masyarakat. Jika dulu tugas dan tanggung jawab keluarga
besar dipikul bersama-sama, dewasa ini fungsi tersebut tidak selalu
dapat dilakukan. Sedangkan teori konflik diidentikkan dengan teori
marxis karena bersumber pada tulisan dan pikiran Karl Marx.
Menurut teori itu, perubahan sosial, terjadi melalui proses
dialektika. Teori itu berasumsi bahwa dalam susunan masyarakat
terdapat beberapa kelas yang saling memperebutkan pengaruh dan
kekuasaan.
Friedrich Engels, melengkapi pendapat Marx bahwa
perbedaan dan ketimpangan Gender tidak disebabkan oleh
perbedaan jenis kelamin (biologis), akan tetapi merupakan divine
creation. Engels memandang masyarakat primitiv lebih bersikap
egaliter karena ketika itu belum dikenal adanya surplus penghasilan.

417
Mereka hidup secara nomaden sehingga belum dikenal adanya
pemilikan secara pribadi. Rumah tangga dibangun atas peran
komunitas. Perempuan memiliki peran dan kontribusi yang sama
dengan laki-laki.
Menurut Marxisme, penindasan perempuan dalam dunia
kapitalis karena mendatangkan keuntungan. Pertama, eksploitasi
wanita dalam rumah tangga akan meningkatkan meningkatkan
produksi kerja laki-laki di pabrik-pabrik. Kedua, perempuan yang
terlibat peran produksi menjadi buruh murah, memungkinkan dapat
menekan biaya produksi, sehingga perusahaan lebih diuntungkan.
Ketiga, masuknya perempuan sebagai buruh murah dan
mengkondisikan buruh-buruh cadangan akan memperkuat posisi
tawar pihak kapitalis, mengancam solidaritas kaum buruh. Ketiga,
hal tersebut dapat mempercepat akumulasi kapital bagi kapitalis
(Mansour Fakih, 1996: 87-88).
Sedangkan Dahrendarf dan Randall Collins tidak sepenuhnya
sependapat dengan Marx dan Engels. Menurutnya konflik tidak
hanya terjadi pada perjuangan pekerja kepada pemilik modal, tetapi
juga disebabkan oleh faktor kesenjangan antara anak dan orang tua,
istri dengan suami, yunior dengan senior dan sebagainya.
Secara mendasar, gender berbeda dari jenis kelamin biologis.
Jenis kelamin biologis merupakan pemberian, kikta dilahirkan
sebagai seorang laki-laki atau seorang perempuan. Tetapi, jalan
yang menjadikan kita maskulin atau feminine adalah gabungan
blok-blok bangunan biologis dasar dan interpretasi biologis oleh
kultur kita. Setiap masyarakat memiliki berbagai naskah untuk
diikuti oleh anggotanya seperti mereka belajar memainkan peran
feminine atau maskulim, sebagaimana halnya setiap masyarakat
memiliki bahasanya sendiri. Sejak kita sebagai bayi mungil hingga
mencapai usia tua, kita mempelajari dan mempraktikkan cara-cara
khusus yang telah ditentukan oleh masyarakat bagi kita untuk
menjadi laki-laki dan perempuan. Gender adalah seperangkat peran
yang seperti halnya kostum dan topeng di teater menyampaikan
kepada orang lain bahwa kita adalah feminine atau maskulin.

418
Perangkat perilaku khusus ini yang mencakup penampilan, pakaian,
sikap, kepribadian, bekerja di dalam dan di luar rumah tangga,
seksualitas, tanggung jawab keluarga dan sebagainya secara
bersama-sama memoles peran gender kita.
Begitu lahir, kita mulai mempelajari peran gender kita.
Dalam satu studi laboratory mengenai gender, kaum ibu diundang
untuk bermain dengan bayi orang lain yang didandani sebagai anak
perempuan atau laki-laki. Tidak hanya gender dari bayi itu yang
menimbulkan bermacam-macam tanggapan dari kaum perempuan,
tetapi perilaku serupa dari seorang bayi ditanggapi secara berbeda,
tergantung kepada bagaimana ia didandani. Ketika si bayi didandani
sebagai laki-laki, kaum perempuan tersebut menanggapi inisiatif si
bayi dengan aksi fisik dan permainan. Tetapi ketika bayi yang sama
tampak seperti perempuan dan melakukan hal yang sama tampak
seperti perempuan dan melakukan hal yang sama, kaum perempuan
itu menenangkan dan menghiburnya. Dengan kata lain, sejak usia
enam bulan anak-anak telah direspon menurut stereotype gender.
Untuk memahami konsep gender harus dibedakan kata
gender dengan kata seks (jenis kelamin). Pengertian jenis kelamin
merupakan pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia
yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin
tertentu. Sedangkan konsep lainnya adalah konsep gender yakni
suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan
yang konstruksi secara sosial maupun cultural.
Dalam perspektif Islam, semua yang diciptakan Allah SWT
berdasarkan kodratnya masing-masing.“Sesungguhnya segala
sesuatu Kami ciptakan dengan qadar” (QS. Al-Qamar: 49). Para
pemikir Islam mengartikan qadar di sini dengan ukuran-ukuran,
sifat-sifat yang ditetapkan Allah SWT bagi segala sesuatu, dan itu
dinamakan kudrat. Dengan demikian, laki-laki dan perempuan
sebagai individu dan jenis kelamin memiliki kudratnya masing-
masing. Syeikh Mahmud Syaltut mengatakan bahwa tabiat
kemanusiaan antara laki-laki dan perempuan berbeda, namun dapat
dipastikan bahwa Allah SWT lebih menganugerahkan potensi dan

419
kemampuan kepada perempuan sebagaimana telah
menganugerahkannya kepada laki-laki. Ayat Al-Quran yang populer
dijadikan rujukan dalam pembicaraan tentang asal kejadian
perempuan adalah firman Allah dalam QS. An-Nisa’ ayat 1 : ”Hai
sekalian manusia, bertaqwalah kepada Tuhanmu, yang telah
menciptakan kamu dari diri (nafs) yang satu, dan darinya Allah
menciptakan pasangannya dan keduanya Allah
mengembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak”Yang
dimaksud dengan nafs di sini menurut mayoritas ulama tafsir adalah
Adam dan pasangannya adalah istrinya yaitu Siti Hawa. Pandangan
ini kemudian telah melahirkan pandangan negatif kepada
perempuan dengan menyatakan bahwa perempuan adalah bagian
laki-laki. Tanpa laki-laki perempuan tidak ada, dan bahkan tidak
sedikit di antara mereka berpendapat bahwa perempuan (Hawa)
diciptakan dari tulang rusuk Adam.
Kitab-kitab tafsir terdahulu hampir bersepakat mengartikan
demikian. Kalaupun pandangan di atas diterima yang mana asal
kejadian Hawa dari rusuk Adam, maka harus diakui bahwa ini
hanya terbatas pada Hawa saja, karena anak cucu mereka baik laki-
laki maupun perempuan berasaldari perpaduan sperma dan ovum.
Allah menegaskan hal ini dalam QS. Ali Imran: 195 ”Maka Tuhan
mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman):
"Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang
beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena)
sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain. Maka orang-
orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang
disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan yang dibunuh, Pastilah
akan Ku-hapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan Pastilah Aku
masukkan mereka ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di
bawahnya, sebagai pahala di sisi Allah. dan Allah pada sisi-Nya
pahala yang baik." Maksud dari sebagian kamu adalah turunan dari
sebagian yang lain adalah sebagaimana laki-laki berasal dari laki-
laki dan perempuan, Maka demikian pula halnya perempuan berasal
dari laki-laki dan perempuan. kedua-duanya sama-sama manusia,

420
tak ada kelebihan yang satu dari yang lain tentang penilaian iman
dan amalnya.
Adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan tidak
dapat disangkal karena memiliki kudrat masing-masing. Perbedaan
tersebut paling tidak dari segi biologis. Al-Quran mengingatkan: ”
Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah
kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain.
(karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang
mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa
yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari
karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala
sesuatu”.
Ayat di atas mengisyaratkan perbedaan, dan bahwa masing-
masing memiliki keistimewaan. Walaupun demikian, ayat ini tidak
menjelaskan apa keistimewaan dan perbedaan itu. Namun dapat
dipastikan bahwa perbedaan yang ada tentu mengakibatkan fungsi
utama yang harus mereka emban masing-masing. Di sisi lain dapat
pula dipastikan tiada perbedaan dalam tingkat kecerdasan dan
kemampuan berfikir antara kedua jenis kelamin itu. Al-Quran
memuji ulul albab yaitu yang berzikir dan memikirkan tentang
kejadian langit dan bumi. Zikir dan fikir dapat mengantar manusia
mengetahui rahasia-rahasia alam raya. Ulul albab tidak terbatas pada
kaum laki-laki saja, tetapi juga kaum perempuan, karena setelah Al-
Quran menguraikan sifat-sifat ulul albab ditegaskannya bahwa
“Maka Tuhan mereka mengabulkan permintaan mereka dengan
berfirman; “Sesungguhnya Aku tidak akan menyia-nyiakan amal
orang yang beramal di antara kamu, baik lelaki maupun
perempuan”. (QS. Ali Imran: 195). Ini berarti bahwa kaum
perempuan sejajar dengan laki-laki dalam potensi intelektualnya,
mereka juga dapat berpikir, mempelajari kemudian mengamalkan
apa yang mereka hayati dari zikir kepada Allah serta apa yang
mereka pikirkan dari alam raya ini.
Jenis laki-laki dan perempuan sama di hadapan Allah.
Memang ada ayat yang menegaskan bahwa “Para laki-laki (suami)

421
adalah pemimpin para perempuan (istri)” (QS. An-Nisa’: 34),
namun kepemimpinan ini tidak boleh mengantarnya kepada
kesewenang-wenangan, karena dari satu sisi Al-Quran
memerintahkan untuk tolong menolong antara laki-laki dan
perempuan dan pada sisi lain Al-Quran memerintahkan pula agar
suami dan istri hendaknya mendiskusikan dan memusyawarahkan
persoalan mereka bersama. Sepintas terlihat bahwa tugas
kepemimpinan ini merupakan keistimewaan dan derajat tingkat
yang lebih tinggi dari perempuan. Bahkan ada ayat yang
mengisyaratkan tentang derajat tersebut yaitu firmanNYA, “Para
istri mempunyai hak seimbang dengan kewajibannya menurut cara
yang ma’ruf, akan tetapi para suami mempunyai satu derajat/tingkat
atas mereka (para istri)” (QS. Al-Baqarah: 228). Kata derajat dalam
ayat di atas menurut Imam Thabary adalah kelapangan dada suami
terhadap istrinya untuk meringankan sebagian kewajiban istri. Al-
Quran secara tegas menyatakan bahwa laki-laki bertanggungjawab
untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, karena itu, laki-laki
yang memiliki kemampuan material dianjurkan untuk
menangguhkan perkawinan. Namun bila perkawinan telah terjalin
dan penghasilan manusia tidak mencukupi kebutuhan keluarga,
maka atas dasar anjuran tolong menolong yang dikemukakan di atas,
istri hendaknya dapat membantu suaminya untuk menambah
penghasilan. Jika demikian halnya, maka pada hakikatnya hubungan
suami dan istri, laki-laki dan perempuan adalah hubungan
kemitraan. Dari sini dapat dimengerti mengapa ayat-ayat Al-Quran
menggambarkan hubungan laki-laki dan perempuan, suami dan istri
sebagai hubungan yang saling menyempurnakan yang tidak dapat
terpenuhi kecuali atas dasar kemitraan.
Hal ini diungkapkan Al-Quran dengan istilah ba’dhukum
mim ba’dhi sebagian kamu (laki-laki) adalah sebahagian dari yang
lain (perempuan). Istilah ini atau semacamnya dikemukakan kotab
suci Al-Quran baik dalam konteks uraiannya tentang asal kejadian
laki-laki dan perempuan (QS. Ali Imran: 195), maupun dalam
konteks hubungan suami istri (QS. An-Nisa’:21) serta kegiatan-

422
kegiatan sosial (QS. At-Taubah: 71).Kemitraan dalam hubungan
suami istri dinyatakan dalam hubungan timbal balik: “Istri-istri
kamu adalah pakaian untuk kamu (para suami) dan kamu adalah
pakaian untuk mereka” (QS. Al-Baqarah: 187), sedang dalam
keadaan sosial digariskan: “Orang-orang beriman, laki-laki dan
perempuan, sebagian mereka adalah penolong bagi sebagian yang
lain, mereka menyuruh (mengerjakan yang ma’ruf) dan mencegah
yang munkar” (QS. At-Taubah:71). Pengertian menyuruh
mengerjakan yang ma’ruf mencakup segi perbaikan dalam
kehidupan, termasuk memberi nasehat/saran kepada penguasa,
sehingga dengan demikian, setiap laki-laki dan perempuan
hendaknya mampu mengikuti perkembangan masyarakat agar
mampu menjalankan fungsi tersebut atas dasar pengetahuan yang
mantap. Mengingkari pesan ayat ini, bukan saja mengabaikan
setengah potensi masyarakat, tetapi juga mengabaikan petunjuk
kitab suci.

Pengertian Kesetaraan Dan Keadian Gender


Kesetaraan gender berarti kesamaan kondisi bagi laki-laki
dan perempuan untuk memperoleh kesempatan serta hak-haknya
sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam
kegiatan politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, pendidikan, dan
pertahanan dan keamanan nasional (hankamnas), serta kesamaan
dalam menikmati hasil pembangunan tersebut. Kesetaraan gender
juga meliputi penghapusan diskriminasi dan ketidak adilan
struktural, baik terhadap laki-laki maupun perempuan.
Keadilan gender adalah suatu proses dan perlakuan adil
terhadap perempuan dan laki-laki. Dengan keadilan gender berarti
tidak ada pembakuan peran, beban ganda, subordinasi, marginalisasi
dan kekerasan terhadap perempuan maupun laki-laki. Terwujudnya
kesetaran dan keadilan gender ditandai dengan tidak adanya
diskriminasi antara perempuan dan laki-laki, dan dengan demikian
mereka memiliki akses, kesempatan berpartisipasi, dan kontrol atas
pembangunan serta memperoleh manfaat yang setara dan adil dari

423
pembangunan. Memiliki akses dan partisipasi berarti memiliki
peluang atau kesempatan untuk menggunakan sumber daya dan
memiliki wewenang untuk mengambil keputusan terhadap cara
penggunaan dan hasil sumber daya tersebut. Memiliki kontrol
berarti memiliki kewenangan penuh untuk mengambil keputusan
atas penggunaan dan hasil sumber daya. Sehingga memperoleh
manfaat yang sama dari pembangunan.
Faktor penyebab kesenjangan gender yaitu Tata nilai sosial
budaya masyarakat, umumnya lebih mengutamakan laki-laki
daripada perempuan (ideology patriarki); Peraturan perundang-
undangan masih berpihak pada salah satu jenis kelamin dengan kata
lain belum mencerminkan kesetaraan gender; penafsiran ajaran
agama yang kurang komprehensif atau cenderung tekstual kurang
kontekstual, cenderung dipahami parsial kurang holistik;
kemampuan, kemauan dan kesiapan perempuan sendiri untuk
merubah keadaan secara konsisten dan konsekwen; rendahnya
pemahaman para pengambil keputusan di eksekutif, yudikatif,
legislatif terhadap arti, tujuan, dan arah pembangunan yang
responsif gender. Adanya kesenjangan pada kondisi dan posisi laki-
laki dan perempuan menyebabkan perempuan belum dapat menjadi
mitra kerja aktif laki-laki dalam mengatasi masalah-masalah sosial,
ekonomi dan politik yang diarahkan pada pemerataan pembangunan.
Selain itu rendahnya kualitas perempuan turut mempengaruhi
kualitas generasi penerusnya, mengingat mereka mempunyai peran
reproduksi yang sangat berperan dalam mengembangkan sumber
daya manusia masa depan.

Kesetaraan Gender Dalam Al-Qur’an


Al Qur’an secara umum dan dalam banyak ayatnya telah
membicarakan relasi gender, hubungan antara laki- laki dan
perempuan, hak- hak mereka dalam konsepsi yang rapi, indah dan
bersifat adil. Al Qur’an yang diturunkan sebagai petunjuk manusia,
tentunya pembicaraannya tidaklah terlalu jauh dengan keadaan dan
kondisi lingkungan dan masyrakat pada waktu itu. Seperti apa yang

424
disebutkan di dalam QS. Al- Nisa, yang memandang perempuan
sebagai makhluk yang mulia dan harus di hormati, yang pada satu
waktu masyarakat Arab sangat tidak menghiraukan nasib mereka.
Sebelum diturunkan surat Al- Nisa ini, telah turun dua surat
yang sama-sama membicarakan wanita, yaitu surat Al-Mumtahanah
dan surat Al-Ahzab. Namun pembahasannya belum final, hingga
diturunkan surat al-Nisa’ ini. Oleh karenanya, surat ini disebut
dengan surat Al-Nisa’Al-Kubro, sedang surat lain yang
membicarakan perempuan juga, seperti surat al-Tholak, disebut
surat al-Nisa’ al Sughro. Surat Al Nisa’ ini benar- benar
memperhatikan kaum lemah, yang di wakili oleh anak-anak yatim,
orang-orang yang lemah akalnya, dan kaum perempuan. Maka, pada
ayat pertama surat al-Nisa’ kita dapatkan, bahwa Allah telah
menyamakan kedudukan laki-laki dan perempuan sebaga hamba dan
makhluk Allah, yang masing- masing jika beramal sholeh, pasti
akan di beri pahala sesuai dengan amalnya. Kedua-duanya tercipta
dari jiwa yang satu (nafsun wahidah), yang mengisyaratkan bahwa
tidak ada perbedaan antara keduanya. Semuanya di bawah
pengawasan Allah serta mempunyai kewajiban untuk bertaqwa
kepada-Nya (ittaqu robbakum).
Kesetaraan yang telah di akui oleh Al Qur’an tersebut, bukan
berarti harus sama antara laki- laki dan perempuan dalam segala
hal.Untuk menjaga kesimbangan alam (sunnatu tadafu’), harus ada
sesuatu yang berbeda, yang masing-masing mempunyai fungsi dan
tugas tersendiri. Tanpa itu, dunia, bahkan alam ini akan berhenti dan
hancur. Oleh karenanya, sebgai hikmah dari Allah untuk
menciptakan dua pasang manusia yang berbeda, bukan hanya pada
bentuk dan postur tubuh serta jenis kelaminnya saja, akan tetapi juga
pada emosional dan komposisi kimia dalam tubuh. Hal ini akibat
membawa efek kepada perbedaan dalam tugas, kewajiban dan hak.
Dan hal ini sangatlah wajar dan sangat logis. Ini bukan sesuatu yang
di dramatisir sehingga merendahkan wanita, sebagaimana anggapan
kalangan feminis dan ilmuan Marxis. Tetapi merupakan bentuk
sebuah keseimbangan hidup dan kehidupan, sebagiamana anggota

425
tubuh manusia yang berbeda- beda tapi menuju kepada persatuan
dan saling melengkapi. Oleh karenanya, suatu yang sangat kurang
bijak, kalau ada beberapa kelompok yang ingin memperjuangkan
kesetaraan antara dua jenis manusia ini dalam semua bidang. Al
Qur’an telah meletakkan batas yang jelas dan tegas di dalam
masalah ini, salah satunya adalah ayat- ayat yang terdapatdi dalam
surat al Nisa. Terutama yang menyinggung konsep pernikahan
poligami, hak waris dan dalam menentukan tanggungjawab di dalam
masyarakat dan keluarga.

Pandangan Ulama Kontemporer Tentang Kepemimpinan


Wanita
Ulama kontemporer ternama Yusuf Al-Qordhawi memiliki
pandangan dan pendapat yang berbeda terhadap kepemimpinan
wanita dalam berpolitik. Beliau menjelaskankan bahwa penafsiran
terhadap surat an-nisa ayat 34 bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi
wanita dalam lingkup keluarga atau rumah tangga. Jika ditinjau
tafsir surat An-Nisa ayat 34 bahwa laki-laki adalah pemimpin
wanita, bertindak sebagai orang dewasa terhadapnya, yang
menguasainya, dan pendidiknya tatkala dia melakukan
penyimpangan. “Karena Allah telah mengunggulkan sebagian
mereka atas sebagian yang lain. Yakni, karena kaum laki-laki itu
lebih unggul dan lebih baik daripada wanita. Oleh karena itu
kenabian hanya diberikan kepada kaum laki-laki. Laki-laki menjadi
pemimpin wanita yang dimaksud ayat ini adalah kepemimpinan
dirumah tangga, karena laki-laki telah menginfakkan hartanya,
berupa mahar, belanja dan tugas yang dibebankan Allah kepadanya
untuk mengurus mereka. Tafsir ibnu katsir ini menjelaskan bahwa
wanita tidak dilarang dalam kepemimpinan politik, yang dilarang
adalahkepemimpinan wanita dalam puncak tertinggi atau top leader
tunggal yang mengambil keputusan tanpa bermusyawarah, dan juga
wanita dilarang menjadi hakim. Hal inilah yang mendasari
Qardhawi memperbolehkan wanita berpolitik.

426
Qordhawi juga menambahkan bahwa wanita boleh berpolitik
dikarenakan pria dan wanita dalam hal mu’amalahmemiliki
kedudukan yang sama hal ini dikarenakan keduanya sebagai
manusia mukallaf yang diberi tanggung jawab penuh untuk
beribadah, menegakkan agama, menjalankan kewajiban, dan
melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Pria dan wanita memiliki hak
yang sama untuk memilih dan dipilih, sehingga tidak ada dalil yang
kuat atas larangan wanita untuk berpolitik. Namun yang menjadi
larangan bagi wanita adalah menjadi imam atau khilafah (pemimpin
negara).
Quraish Shihab juga menambahkan bahwa dalam Al- Qur’an
banyak menceritakan persamaan kedudukan wanita dan pria, yang
membedakannya adalah ketaqwaanya kepada Allah. Tidak ada yang
membedakan berdasarkan jenis kelamin, ras, warna kulit dan suku.
Kedudukan wanita dan pria adalah sama dan diminta untuk saling
bekerjasama untuk mengisi kekurangan satu dengan yang lainnya,
sebagai mana di jelaskan dalam surat At-Taubah ayat 71 yang
Artinya: ”Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan,
sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang
lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari
yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat
pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh
Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Islam sebenarnya tidak menempatkan wanita berada didapur
terus menerus, namun jika ini dilakukan maka ini adalah sesuatu
yang baik, hal ini di nyatakan oleh imam Al-Ghazali bahwa pada
dasarnya istri tidak berkewajiban melayani suami dalam hal
memasak, mengurus rumah, menyapu, menjahid, dan sebagainya.
Akan tetapi jika itu dilakukan oleh istri maka itu merupakan hal
yang baik. Sebenarnya suamilah yang berkewajiban untuk
memberinya/menyiapkan pakaian yang telah dijahid dengan
sempurna, makanan yang telah dimasak secara sempurna. Artinya
kedudukan wanita dan pria adalah saling mengisi satu dengan yang
lain, tidak ada yang superior. Hanya saja laki-laki bertanggung

427
jawab untuk mendidik istri menjadi lebih baik di hadapan Allah
SWT. Sebenarnya hanyalah permainan kaum feminis saja yang
menyatakan bahwa laki-laki superior dibandingkan dengan wanita,
agar mereka dapat melakukan hal-hal yang melampaui batas,
dengan dalih bahwa wanita dapat hidup tanpa laki-laki, termasuk
dalam hal seks, sehingga muncullah fenomena lesbian percintaan
sesama jenis, banyaknya fenomena kawin cerai karena sang istri
menjadi durhaka terhadap suami, padahal dalam rumah tangga
pemimpin keluarga adalah laki-laki, sedangkan dalam hal berpolitik
tidak ada larangan dalam Islam untuk berpolitik dan berkarier.
Taqiyuddin al-Nabhani menjelaskan ada tujuh syarat seorang
kepala negara atau (Khalifah) dapat di bai’at yaitu muslim, laki-laki,
baligh, berakal, adil, merdeka dan mampu. Syarat muslim
merupakan syarat mutlak untuk mengangkat pemimpin dalam
sebuah negara yang mayaritas penduduk islam, dan dilarangkan
mengangkat pimpinan dari kalangan kafir. Hal ini termaktub dalam
surat An-Nisa ayat 144 yang Artinya: “Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi
wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kamu
mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu) ?
Kedua laki-laki, wanita dalam hal ini dilarang menjadi
khalifah, imam, ulil amri, atau kepala negara dalam hal ini kepala
negara tidak dimaksud Presiden, yang dimaksud disini adalah
kepemimpinan yang dapat mengambil keputusan tanpa
dimusyawarahkan terlebih dahulu, sedangkan presiden dalam
membuat keputusan harus dilakukan dengan bermusyawarah
terlebih dahulu terhadap pembantu-pembantunya baik menteri, staff
ahli, maupun dengan penasihat pribadinya.
Ketiga baligh, dengan syarat baligh maka pemimpindibebani
oleh hukum, sehingga apa yang di pikulnya atau diamanahi kepada
mereka maka akan dapat dipertanggung jawabkan secara hukum,
baik hukum dunia, maupun hukum dihadapan Allah.
Keempat berakal, orang yang hilang akalnya dilarang
menjadi pemimpin karena akan mengambil keputusan yang tidak

428
tepat, dan kehilangan akal akan membebaskan seseorang dari
hukum, sehingga tidak dapat dimintai pertanggung jawabannya.
Kelima adil, yaitu pemimpin yang konsisten dalam menjalani
agamanya hal ini termaktub dalam surah An-Nahl ayat 90 yang
Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan
berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah
melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. dia
memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil
pelajaran”.
Keenam, merdeka terbebas dari perbudakan sehingga dapat
mengambil keputusan tanpa interfensi dari tuannya. Dan seorang
hamba sahaya dilarang diangkat menjadi pemimpin karena dia tidak
memiliki wewenang untuk mengatur orang lain dan bahkan terhadap
dirinyapun tidak memiliki wewenang.
Ketujuh, mampu melaksanakan amanat khilafah, jika tidak
mampu menjalankan amanat maka tunggulah hasilnya.
Sebagaimana di jelaskan dalam hadist yang diriwayatkan oleh
Bukhari ” Jika urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka
tunggulah Kiamat” (HR Bukhari).
Qardhawi dalam hal ini kembali mempertegas bahwa
kepemimpinan kepala negara dimasa sekarang ini kekuasaannya
tidak sama dengan seorang ratu atau khalifah di sama lalu yang
identik dengan seorang imam dalam shalat. Sehingga kedudukan
wanita dan pria dalam hal perpolitikan adalah sejajar karena sama-
sama memiliki hak memilih dan hak dipilih. Dengan alasanbahwa
wanita dewasa adalah manusia mukallaf (diberi tanggung jawab)
secara utuh, yang dituntut untuk beribadah kepada Allah,
menegakan agama, dan berdakwah. Menurut Abu Hanifah seorang
perempuan dibolehkan menjadi hakim, tetapi tidak boleh menjadi
hakim dalam perkara pidana. Sementara Imam Ath-Thabari dan
aliran Dhahiriyah membolehkan seseorang perempuan menjadi
hakim dalam semua perkara, sebagaimana mereka membolehkan
kaum perempuan untuk menduduki semua jabatan selain puncak
kepemimpinan negara.

429
Simpulan
Al Qur’an secara umum dan dalam banyak ayatnya telah
membicarakan relasi gender, hubungan antara laki- laki dan
perempuan, hak- hak mereka dalam konsepsi yang rapi, indah dan
bersifat adil. Kesetaraan yang telah di akui oleh Al Qur’an itu,
bukan berarti harus sama antara laki- laki dan perempuan dalam
segala hal. Untuk menjaga kesimbangan alam (sunnatu tadafu’),
harus ada sesuatu yang berbeda, yang masing-masing mempunyai
fungsi dan tugas tersendiri. Dalam pandangan Islam perempuan
memiliki kedudukan yang sama dibandingkan dengan laki-laki. Dari
sudut penciptaan, kemuliaan, dan hak mendapatkan balasan atas
amal usahanya perempuan memiliki kesetaraan dengan laki-laki.
Sedangkan dalam hal peran perempuan memiliki perbedaan dengan
laki-laki. Peran perempuan yang wajib adalah sebagai anggota
keluarga yaitu sebagai istri dari suami dan ibu bagi anak-anaknya.
Sedangkan peran perempuan sebagai anggota masyarakat dalam
urusan muamalah mendapatkan profesi (pekerjaan) dihukumi
dengan rukhshah darurat. Meskipun diperbolehkan namun harus
selalu mementingkan segi kemaslahatan baik bagi rumah tangga
maupun bagi masyarakat. Apabila lebih banyak kemudaratannya
bagi keluarga maka profesi di luar rumah harus ditinggalkan
mengingat sesuatu yang darurat tidak boleh meninggalkan hal yang
wajib.

430
Sumber Referensi

Fayumi, Badriyah, Jender dalam Perspektif Islam, Jakarta: UIN


Syarif Hidayatullah Jakarta, 2002.
Julia Cleves Mosse, Gender & Pembangunan, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1996.
Leila Ahmed, Wanita & Gender Dalam Islam, Jakarta: PT. Lentera
Basritama, 2000.
Zainuddin, Muhammad dan Maisaroh, Ismail. 2005. Posisi Wanita
Dalam Sistem Politik Islam.
Mansour Fakih, Analisi Gender & Transformasi Sosial, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1996.
Malik, MadanyThe Magnificent Seven ulama-ulama inspirator
zaman, Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2010
Majelis Ulama Indonesia, Tuntunan Islam tentang Kemitrasejajaran
Pria dan Wanita, Jakarta: MUI, 1999.
Murpratomo, A. Sulasikin, ”Gender dan Pembangun di Indonesia”,
dalam Tuntunan Islam Tentang Kemitrasejajaran Pria dan
Wanita, Jakarta: Majelis Ulama Indonesia Jakarta, 1999.
http://kepemimpinan-fisipuh.blogspot.com/2009/03/pengertian-
pemimpin-dalam-bahasa.html.

431
ISLAM DAN GENDER
Oleh : Zihan Zahrotul Mukarromah_1138030235_5-F

Definisi dan Konsep Gender


Kata “gender” secara leksikal berasal dari bahasa Inggris,
atau “Geschlecht” (bahasa Jerman), “Genre” (bahasa Perancis),
“Genero” (bahasa Spanyol), yang artinya semacam jenis, ras dan
kelas, dan “generare” (bahasa Latin) yang artinya prokreasi atau bisa
juga bermakna ras atau jenis. Pengertian kata “jender”
(menggunakan huruf j karena sudah diadopsi dalam bahasa
Indonesia) atau “gender” dalam kamus-kamus bahasa Inggris
ataupun bahasa Indonesia tidak dibedakan dengan pengertian jenis
kelamin. Dalam kamus umum Bahasa Indonesia, kata gender
diartikan dengan gender, bagian gamelan Jawa yang dibuat dengan
bilah-bilah logam yang pipih dengan penggema bunyi dari bambu.
Kata gender berasal dari Bahasa Inggris gender yang berarti
jenis kelamin. Menurut Nasruddin Umar, pengertian ini kurang
tepat, sebab dengan sex yang berarti jenis kelamin pula. Persoalan
ini muncul barangkali adalah karena kata gender termasuk kosakata
baru.
Istilah gender sudah lazim dipergunakan, khususnya di
Kantor Menteri Urusan Peranan Wanita dengan ejaan ‘Gender’.
Gender diartikan sebagai penafsiran yang bersifat mental dan
budaya terhadap perbedaan kelamin, laki-laki dan perempuan.
Gender biasanya dipergunakan untuk menunjukkan pembagian kerja
yang tepat bagi laki-laki dan perempuan.
Gender sebagai alat analisis umumnya digunakan oleh
penganut aliran ilmu social konflik yang memusatkan perhatian
pada ketidakadilan structural dan system. Gender adalah perbedaan
yang bukan biologis dan bukan kodrat Tuhan. Perbedaan biologis
dan perbedaan jenis kelamin adalah kodrat Tuhan sehingga secara
permanen berbeda. Sementara gender adalah behavioral differences

432
antara laki-laki dan perempuan yang socially-constructed, yaitu
perbedaan yang bukan kodrat atau bukan ciptaan Tuhan, melainkan
diciptakan oleh kaum laki-laki dan perempuan melalui proses
panjang dalam kehidupan social dan budaya.
Gender adalah identitas yang “diperoleh” atau “didapatkan”
seseorang dalam proses bersosialisasi dengan masyarakat. Simone
de Beauvoir, yang terkenal dengan karya The Second Sex pada tahun
1949 dan menandai lahirnya the second wave of feminism, dengan
tegas menyatakan bahwa “women is made, not born”, perempuan
adalah dibentuk, bukan dilahirkan. Lebih lanjut, tokoh yang
memopulerkan konsep gender, yang juga seorang filsuf perempuan
ini menjelaskan bahwa “gender is socially constructed, not
biologically determined”, gender adalah konstruksi sosial, bukan
(sesuatu yang ditentukan secara) biologis. Konsep gender
membedakan perempuan dengan laki-laki secara kultural:
perempuan dipandang sebagai sosok yang emosional, cantik, dan
keibuan; sementara laki-laki rasional, kuat, dan gentle. Sifat-sifat
yang dilabelkan terhadap dua jenis kelamin tersebut merupakan
sifat-sifat yang tidak permanen, bisa berubah atau berbeda, dan
dapat dipertukarkan. Dengan kata lain, konsep gender melahirkan
bipolaritas sifat (maskulin dan feminin), peran (domestik dan
publik), dan posisi (tersubordinasi dan mensubordinasi atau inferior
dan superior).
Islam diyakini oleh para pemeluknya sebagai rahmatan lil
‘alamin (agama yang menebarkan rahmat bagi alam semesta). Salah
satu bentuk rahmat itu adalah pengakuan terhadap keutuhan
kemanusiaan perempuan yang setara dengan laki-laki. Ukuran
kemuliaan seorang manusia di sisi Tuhan adalah prestasi dan
kualitas takwanya, tanpa membedakan ras, etnik, dan jenis kelamin
(QS. Al-Hujurat, [49]:13):
“Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-
mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di

433
sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Al-Qur’an tidak menganut paham the second sex yang
memberikan keutamaan kepada jenis kelamin tertentu, atau the first
ethnic, yang mengistimewakan suku tertentu. Setiap orang, tanpa
dibedakan jenis kelamin dan suku bangsanya, memiliki potensi yang
sama untuk menjadi ‘abid dan khalifah (QS. An-Nisa’, [4]:124
“Barang siapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik
laki-laki maupun perempuan sedang ia orang yang beriman maka
mereka itu masuk ke dalam surga dan tidak dianiaya walau
sedikitpun.” (QS.an-Nisa’ [4]:124) dan al-Nahl, [16]:97):
“Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki-
maupun perempuan dalam keadaan beriman maka sesungguhnya
akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan
sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan
pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.(QS.
Al-Nahl [16]:97)
Islam memberikan kebebasan yang begitu besar kepada
perempuan, sehingga tidaklah mengherankan jika pada masa Nabi
ditemukan sejumlah perempuan yang memiliki kemampuan dan
prestasi cemerlang seperti yang dimiliki kaum laki-laki. Dalam
jaminan Al-Qur’an, perempuan dengan leluasamemasuki sektor
publik lainnya.
Sejak periode tahun 1985-1995, banyak sarjana, aktivis
perempuan dan organisasi-organisasi nongovernment mulai
mendiskusikan teori feminis dan analisis gender serta relevansinya
dengan proses perkembangan sosial dan politik di Indonesia.
Sebagai salah satu konsekuensi, banyak pemahaman keagamaan dan
budaya yang patriarkhal dalam masyarakat menghadapi ktitik yang
fundamental. Sementara itu, jumlah perempuan yang terdidik
meningkat secara signifikan, termasuk di tingkat Perguruan Tinggi.
Pengarusutamaan gender menjadi agenda pembangunan nasional
yang diamanatkan melalui instruksi presiden No 9 tahun 2002

434
Dalam bahasa Inggris modern dan bahasa Jerman, kata
gender dan geschlecht dekat artinya dengan konsep seks,
seksualitas, perbedaan seks, generasi, dan prokreasi. Gender secara
umum merupakan jantung dari konstruksi dan klasifikasi sistem
perbedaan.

Konstruksi dan Persoalan Perempuan dalam Islam


Agama Yahudi dan Kristen mendapatkan kritik fundamental
karena dalam sejarahnya diwarnai dengan endosentrisme, sexisme
dan patriarkhi. Sementara itu, Islam, sebagaimana dikatakan oleh
Lucinda Joy Peach, menentang penggambaran atau penggunaan
imagi Tuhan yang berbasis gender. Tuhan dalam pandangan Islam
tidak diasosiasikan dengan laki-laki maupun perempuan karena
Tuhan tidak diasosiasikan sebagaimana manusia. Namun demikian,
penggunaan kata ganti Tuhan dalam al-Qur’an menggunakan
terminologi “huwa” yang secara literal berarti dia laki-laki. Banyak
pemikir Islam yang menjelaskan bahwa penggunaan kata ganti
“huwa” untuk Allah sama sekali tidak terkait dengan jenis kelamin,
tetapi semata karena keterbatasan bahasa manusia (dalam hal ini
bahasa Arab) untuk dapat merepresentasikan gagasan ideal tentang
netralitas gender dari keberadaan Tuhan.
Dalam konteks keterbatasan bahasa ini, komentar Peach
bahwa teks al-Quran secara ekplisit ditulis dari perspektif laki-laki
dapat dipahami. Fakta sejarah membuktikan bahwa penulisan al-
Qur’an dilakukan oleh para sahabat Nabi melalui beberapa tahapan
atau perkembangan tertentu. Lebih dari itu, bahasa Arab
menerapkan sektarianisme-rasialistik tidak hanya terhadap orang
lain tetapi juga terhadap perempuan dalam kelompoknya sendiri.
Perempuan diperlakukan layaknya kelompok minoritas yang selalu
ditekan kepentingannya agar mereka berada di bawah proteksi dan
otoritas laki-laki. Maskulinitas dalam bahasa Arab menjadi subjek
pokok, sedangkan feminitas menjadi cabang yang tidak mempunyai
kemampuan sebagai subjek.

435
Superioritas laki-laki semakin jelas tergambarkan dalam
wacana tafsir yang terkait dengan status ontologis dan peran
perempuan; Manusia pertama dalam kebanyakan tafsir dipahami
sebagai Adam, yang lebih sering dipahami sebagai laki-laki bapak
dari seluruh manusia, sementara Hawa adalah perempuan yang
diciptakan dari tulang rusuk Adam, bahkan tulang rusuk yang paling
bengkok. Meskipun banyak pemikir Islam kontemporer yang lebih
memilih mengartikan Adam sebagai jenis manusia dan bukan jenis
kelamin laki-laki dari manusia, namun pendapat ini tidak atau belum
popular dibandingkan dengan pendapat pertama yang sudah menjadi
mainstream (arus utama) dalam masyarakat. Sebagai manusia
kedua, perempuan juga memiliki kemampuan akal atau
intelektualitas dan pengetahuan yang lebih rendah dibanding laki-
laki. Dalam tafsir al-Qurtubi misalnya, dikatakan bahwa laki-laki
memiliki kelebihan akal, managerial, kejiwaan dan naluri, yang
tidak dimiliki oleh perempuan. Naluri laki-laki diyakini didominasi
oleh unsur panas dari kering yang merupakan sumber kekuatan
sementara naluri perempuan didominasi unsur basah dan dingin
yang merupakan sumber kelembutan dan kelemahan.
Konstruksi status perempuan yang lebih rendah ini
berimplikasi pada pembagian peran yang hirarkhis. Laki-laki dengan
berbagai kelebihan yang dipandang kodrati dengan demikian
dianggap lebih tepat sebagai pemimpin atau Imam. Sementara itu,
perempuan dengan berbagai kekurangan dan kelemahannya menjadi
pihak yang dipimpin dan menjadi ma’mum yang harus mengikuti
dan taat pada sang Imam. Status dan peran perempuan sebagaimana
dideskripsikan di atas menggambarkan adanya fenomena
androsentrisme, sexisme dan patriarkhi dalam masyarakat atau
pemahaman Islam. Berbagai masalah yang sering mendapatkan
kritik dari kalangan feminis atau diperdebatkan dalam kalangan
umat Islam sendiri terkait dengan status dan peran perempuan dalam
Islam, antara lain:
1. Konsep Penciptaan Perempuan
2. Status Ontologis dan Otonomi Perempuan

436
3. Ketaatan Istri pada Suami
4. Poligami
5. Konsep Wali
6. Konsep Mahram
7. Kepemimpinan perempuan dalam wilayah domestik, public
maupun dalam Ibadah
8. Saksi perempuan
9. Warisan
10. Perempuan Bekerja
11. Perceraian
12. Akikah

Di antara kritik feminis terhadap problem perempuan dalam


Islam yang menarik untuk diperdebatkan adalah konsep menstruasi
yang melahirkan diskriminasi terhadap perempuan. Menstruasi
digunakan sebagai justifikasi untuk melakukan segregasi terhadap
perempuan, memperlakukan mereka sebagai pihak yang inferior,
dan menyisihkan mereka dari masjid. Menstruasi juga menyebabkan
perempuan tidak diperbolehkan melakukan berbagai ibadah seperti
shalat, puasa, atau bahkan membaca al-Qur’an. Terkait dengan
persoalan ini, pendapat mainstream dari kaum Muslim bahwa
ibadah tidak hanya terbatas shalat atau puasa. Banyak bentuk ibadah
lain yang dapat dilakukan perempuan yang sedang mengalami
menstruasi.
Sesungguhnya ada banyak hal yang memperkokoh
kedudukan perempuan resmi Islam, antara lain: pengaruh kultur
Timur Tengah abad pertengahan. Sheikh Nefzawi seorang penulis
Muslim yang mewakili kultur pada zamannya menjelaskan tipe ideal
kaum perempuan di masa itu. Menurutnya perempuan ideal adalah:
Perempuan yang jarang bicara atau ketawa. Dia tak pernah
meninggalkan rumah, walaupun untuk menjenguk tetangganya atau
sahabatnya. Ia tidak memiliki teman perempuan, dan tidak percaya
terhadap siapa saja kecuali kepada suaminya. Dia tidak menerima
apa pun dari orang lain kecuali dari suami dan orang tuanya. Jika

437
dia bertemu dengan sanak keluarganya, dia tidak mencampuri
urusan mereka. Dia harus membantu segala urusan suaminya, tidak
boleh banyak menuntut ataupun bersedih. Ia tak boleh tertawa
selagi suaminya bersedih, dan senantiasa menghiburnya. Dia
menyerahkan diri hanya kepada suaminya, meskipun jika control
akan membunuhnya.…perempuan seperti itu adalah yang dihormati
oleh semua orang.
Beribu tahun sebelum Islam, perempuan dipandang tidak
memiliki kemanusiaan yang utuh dan oleh karenanya tidak boleh
bersuara, berkarya dan berharta. Bahkan, ia dianggap tidak memiliki
dirinya sendiri. Islam secara bertahap mengembalikan lagi hak-hak
perempuan sebagai manusia merdeka. Berhak menyuarakan
keyakinan, berhak mengaktualisasikan karya, dan berhak memiliki
harta yang memungkinkan mereka diakui sebagai warga
masyarakat. Ini merupakan gerakan emansipatif yang tiada tara di
masanya, saat perempuan-perempuan lain di belahan bumi Barat
terpuruk dalam kegelapan.

Konsep Gender dalam Islam


Berbicara tentang konsep gender dalam Islam ditemukan
sejumlah ayat dalam Al-Qur'an, antara lain QS Al-Hujurat: 13, Al-
Nisa':1, Al-A'raf:189, Al-Zumar:6, Fatir:11, dan Al-Mu'min: 67.
Di antaranya dalam al-Qur'an surat al-Hujurat: 13
“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu
berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-
mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu
disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Ayat di atas memberi petunjuk bahwa dari segi hakikat
penciptaan, antara manusia yang satu dan manusia lainnya tidak ada
perbedaan, termasuk di dalamnya antara perempuan dan laki-laki.
Karena itu, tidak perlu ada semacam superioritas suatu golongan,
suku, bangsa, ras, atau suatu entitas gender terhadap lainnya.

438
Kesamaan asal mula biologis ini mengindikasikan adanya
persamaan antara sesama manusia, termasuk persamaan antara
perempuan dan laki-laki. Penjelasan di atas menyimpulkan bahwa
Al-Qur'an menegaskan equalitas perempuan dan laki-laki.
Senada dengan Al-Qur'an, sejumlah hadis Nabi pun
menyatakan bahwa sesungguhnya perempuan itu mitra sejajar laki-
laki. Meskipun secara biologis laki-laki dan perempuan berbeda
sebagaimana dinyatakan juga dalam Al-Qur'an, namun perbedaan
jasmaniah itu tidak sepatutnya dijadikan alasan untuk berlaku
diskriminatif terhadap perempuan. Perbedaan jenis kelamin bukan
alasan untuk mendiskreditkan perempuan dan mengistimewakan
laki-laki.
Perbedaan biologis jangan menjadi pijakan untuk
menempatkan perempuan pada posisi subordinat dan laki-laki pada
posisi superordinat. Perbedaan kodrati antara laki-laki dan
perempuan seharusnya menuntun manusia kepada kesadaran bahwa
laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan dan dengan bekal
perbedaan itu keduanya diharapkan dapat saling membantu, saling
mengasihi dan saling melengkapi satu sama lain. Karena itu,
keduanya harus bekerja sama, sehingga terwujud masyarakat yang
damai menuju kepada kehidupan abadi di akhirat nanti. Islam secara
tegas menempatkan perempuan setara dengan laki-laki, yakni dalam
posisi sebagai manusia, ciptaan sekaligus hamba Allah SWT. Dari
perspektif penciptaan, Islam mengajarkan bahwa asal penciptaan
laki-laki dan perempuan adalah sama, yakni sama-sama dari tanah
(saripati tanah), sehingga sangat tidak beralasan memandang
perempuan lebih rendah daripada laki-laki.
Sebagai manusia, perempuan memiliki hak dan kewajiban
untuk melakukan ibadah sama dengan laki-laki. Perempuan juga
diakui memiliki hak dan kewajiban untuk meningkatkan kualitas
dirinya melalui peningkatan ilmu dan takwa, serta kewajiban untuk
melakukan tugas-tugas kemanusiaan yang dalam Islam disebut amar
ma'ruf nahi munkar menuju terciptanya masyarakat yang adil,
damai, dan sejahtera.

439
Namun dalam perkembangannya, kesetaraan gender ini
belum sepenuhnya berlandaskan pada ajaran tersebut diatas. Bahkan
antara satu negara dengan negara lainnya yang berpenduduk muslim
tidaklah sama dalam memperjuangkan nasib perempuan. Hal ini
terlihat dari keberadaan kaum perempuan di Indonesia yang masih
menjadi subordit kaum laki-laki. Dengan kata lain, kaum perempuan
tidak serta merta dapat sejajar dengan kaum laki-laki. Hampir setiap
budaya kita menempatkan laki-laki sebagai pemimpin baik dalam
keluarga ,maupun berbangsa dan bernegara, meski juga diakui tidak
semua budaya kita menjadikan perempuan dalam posisi kedua.

Gender dalam Perspektif Islam


Di abad pertengahan, pada umumnya kedudukan kaum
wanita di benua Barat sangat terkungkung; baik dalam kehidupan
rumah tangga sebagai isteri, apalagi yang berkenaan dengan hak-hak
kemasyarakatan. Posisi kaum wanita pada saat itu tak begitu jauh
bedanya dengan kedudukan perbudakan yang diperlakukan semena-
mena. Pada waktu itulah timbul di benua Eropa gerakan perempuan
yang dinamakan gerakan emansipasi. Ketika wacana teologis
tentang perempuan dibuka dan menjadi diskursus yang cukup ramai,
maka pembahasan dogma-dogma agama mulai muncul dan
berkembang. Diawali dengan anggapan bahwa konstruksi gender
dalam masyarakat sangat dipengaruhi oleh agama dan ideologi yang
dianutnya, maka wacana teologi gender mulai bergulir. Anggapan
bahwa pemahaman agama bias gender membuat arah baru gerakan
feminisme, di mana para feminis mulai menawarkan pemaknaan
baru terhadap agama sekaligus membongkar dogma-dogma agama
yang telah mapan dan dianggap membelenggu kaum perempuan.
Hal ini hampir terjadi di semua agama. Menurut sebuah tulisan yang
mengatakan bahwa pada tahun 1895 misalnya, Elizabeth Cady
berkomentar dan pandangan Injil terhadap perempuan dalam
tulisannya yang terkenal yaitu The Women Bible.
Dia menganggap bahwa subordinasi terhadap perempuan
yang terjadi di masyarakat Barat waktu itu berakar dari ideology dan

440
agama yang dipegang teguh masyarakat. Isu penting yang muncul
menjelang berakhirnya abad ke-20 adalah persoalan gender. Isu
tentang gender ini telah menjadi tema sentral dan menarik untuk
dibicarakan dan menjadi bahasan yang memasuki setiap analisis
sosial, perubahan sosial, dan juga persoalan pembangunan dan
perubahan sosial. Sesungguhnya ini menjadi penting karena kaum
perempuan dianggap punya andil dalam keberhasilan pembangunan,
baik fisik apalagi moril. Dalam membicarakan persoalan gender
pasti pikiran kita akan terus digiring terhadap eksistensi wanita,
terutama yang berkaitan dengan persoalan hak-hak yang terabaikan.
Istilah gender itu pada awalnya berkembang sebagai suatu analisis
ilmu sosial oleh Ann Oakley, dan sejak saat itu menurutnya gender
lantas dianggap sebagai alat analisis yang baik untuk memahami
persoalan diskriminasi terhadap kaum perempuan secara umum.
Terlepas dari analisis yang dijadikan sebagai acuan untuk setiap
persoalan perempuan, penulis sengaja menggambarkan realita yang
cukup diperhitungkan untuk diperbincangkan baik di kalangan
kampus atau akademisi maupun obrolan ringan di setiap pertemuan.
Seiring dengan berkembangnya feminisme di dunia Islam,
spirit serupa juga mulai muncul dari kalangan Islam pada decade
1980-an lewat tulisan Riffat Hasan dan Yvonne Haddad. Tokoh
feminisme muslim ini semakin bertambah banyak dengan lahirnya
buku-buku yang bernafas rekonstruksi pemikiran seperti yang
dilakukan oleh Fatimah Mernisi, Ali Asghar E, Amina Wadud
Muhsin, dan sebagainya. Ada banyak sebab mengapa feminisme di
kalangan Islam juga berkembang, sebab yang paling nyata adalah
karena kondisi di sebagian masyarakat Islam yang pemahaman,
persepsi, dan perlakuan terhadap perempuan lebih banyak diwarnai
oleh kultur lokal dibanding Islam. Mereka mengkritik pemahaman
yang berkembang selama ini. Pemahaman masyarakat dan ulama
khususnya terhadap hadits dan ayat-ayat Al-Qur’an dianggap bias
gender. Itulah sebabnya menurut mereka di masyarakat Islam masih
ada fenomena penindasan dan ketidakadilan terhadap kaum wanita.
Feminis muslim memahami bahwa spirit Islam yang dibawa Rasul

441
adalah untuk membebaskan kaum perempuan dari penindasan dan
ketidakadilan tersebut, seperti yang banyak dilansir dalam sejarah
Islam dengan sebutan zaman jahiliyah.
Seperti satu klausul yang ditulis oleh Nazaruddin Umar
dalam makalahnya yaitu: Di dalam memposisikan keberadaan
perempuan, kita tidak sepenuhnya merujuk kepada pengalaman di
masa Nabi, meskipun Nabi telah semaksimal mungkin untuk
mewujudkan gender equality, tetapi kultur masyarakat belum
kondusif untuk mewujudkan hal itu”. Dari pernyataan tersebut dapat
dipastikan bahwa sebenarnya kesetaraan gender yang diperjuangkan
oleh Rasul untuk mengangkat perempuan dari penindasan dan
ketidakadilan sangat terikat oleh kultur suatu komunitas masyarakat.
Secara sederhana dapat diartikan sebagai sebuah proses yang terus
berjalan dan tidak pernah berhenti atau berjalan ditempat. Amina
Wadud dalam penelitiannya mengatakan bahwa, di bidang gender,
para pemikir konservatif menafsirkan reformasi yang jelas, yang
dilakukan Al-Qur’an terhadap praktik historis dan kultur, sebagai
pernyataan yang sesungguhnya dan pasti tentang praktik tersebut
untuk selamanya dan di manapun. Yang dibutuhkan adalah suatu
pemahaman yang menganggap perubahan tersebut sebagai upaya
membangun preseden untuk dikembangkan secara berkelanjutan
menuju sebuah tatanan sosial yang adil. Tatanan sosial yang adil dan
komprehensif tidak saja memperlakukan wanita secara adil, tetapi
juga melibatkan wanita sebagai agen, yang bertanggung jawab
untuk memberikan konstribusi terhadap semua persoalan yang
berhubungan dengan masyarakat manusia. Menarik untuk
dibicarakan, paling tidak sebagai upaya mengangkat harga diri kaum
perempuan sehingga lebih disejajarkan dengan kaum laki-laki.
Ini merupakan salah satu perjuangan yang tidak akan
bergerak mundur tetapi sebuah peningkatan konstribusi pemikiran
secara ilmiah agar kaum perempuan benar-benar mendapatkan
haknya dan tidak diterlantarkan. Persoalan gender memang begitu
kompleks, analisis gender sebagai alat analisis sosial konflik
memusatkan perhatian pada ketidakadilan struktural yang

442
disebabkan oleh keyakinan gender yang mengakar dan tersembunyi
di berbagai tempat, seperti tradisi masyarakat, keyakinan
keagamaan. Karena persoalan gender sebenarnya adalah persoalan
ideologi yang dianut oleh kaum laki-laki maupun perempuan yang
sangat berpengaruh terhadap perilaku, bukan terletak pada kaum
perempuan itu sendiri.

Pandangan Islam Tentang Gender


Tidak hanya orang yang berasal dari non Ialam, tidak
hanya orang Islam yang dangkal pengetahuannya tentang Islam,
orang Islam yang khusus mempelajari Islam pada tingkat tinggi pun
kadang-kadang gagal memahami ajaran Islam.
Mengapa? Persoalannya terletak pada kenyataan bahwa
Islam itu adalah suatu system. bila orang memahami sesuatu aspek
ajaran Islam dan tidak melihatnya dari sistem di mana aspek itu
hanyalah salah satu komponen sistem itu, ia akan gagal memahami
ajaran Islam tentang aspek itu. Lihatlah bagaimana silang sengketa
pemahaman –misalnya- tentang pembagian waris, tentang
pembatasan jumlah anak, tentang haji yang sunnat dikerjakan
berkali-kali, tentang poligami, dan tentang gender. Melesetnya
orang memahami ajaran Islam tentang gender antara lain disebabkan
karena orang tersebut tidak meletakkan gender itu dalam Islam
sebagai suatu komponen sistem, ia melihat gender itu sebagai suatu
aspek ajaran Islam terpisah dari aspek ajaran Islam lainnya. Kasus-
kasus seperti ini banyak sekali, mungkin pada semua aspek ajaran
Islam.
Seseorang, bila hendak menilai ajaran Islam, ia harus menilai
sistem Islam, ia harus menilai Islam sebagai sebuah sistem. Orang
tidak boleh menilai Islam pada aspek tertentu saja. Secara akademis
cara itu tidak dibenarkan. Saya berikan contoh. Laki-laki boleh
poligami, perempuan tidak. Talak kira-kira 75% ada di tangan
suami, pada tangan isteri hanya kira-kira 25%. Anak laki-laki
mendapat bagian dua kali anak peempuan dalam pembagian waris.
Nah, melihat ini lantas orang berkesimpulan, ajaran Islam tidak adil.

443
Kesimpulan itu tidak sah.Tidak sah karena ada kesalahan pada segi
epistemologi. Dari sudut pandang seperti itulah uraian tentang
gender berikut ini dibuat.
Pertama, harus dikatakan bahwa gender hanyalah salah satu
aspek kecil saja dalam ajaran Islam sebagai suatu sistem. Harus
ditegaskan lagi bahwa pemahaman tentang gender harus terkait
dengan pemahaman kita tentang sistem Islam itu.
Kedua, gender itu ada dalam ajaran Islam. Dengan kata lain,
Islam memperhatikan gender. Islam memberikan perhatian yang
cukup terhadap gender.
Ketiga, aturan Islam tentang gender sudah selesai. Apa-apa
yang telah dirumuskan oleh para ulama tempo dulu masih relevan
untuk zaman sekarang.
Keempat, kesan sementara orang ialah bahwa gender dalam
Islam terlalu memihak laki-laki. Sampai-sampai ada joke yang
mengatakan Islam itu agama laki-laki.
Kelima, ajaran Islam tentang gender, yang telah dirumuskan
sampai hari ini, sudah tepat, sudah benar, sudah sesuai dengan
sistem Islam. Kita tinggal mempelajari rumusan itu. Kita tidak perlu
lagi merevisinya. Pada masa depan, jika terjadi perubahan kondisi
luar biasa, mungkin kita harus merevisi rumusan-rumusan itu.
Berikut adalah beberapa rumusan tentang gender dalam
ajaran Islam.
(1) Dalam ajaran Islam laki-laki dan perempuan itu berpasangan,
bukan berhadapan. Rumusan ini merupakan yang terpenting
dalam hal gender. Rumusan ini menurunkan konsekwensi-
konsekwensi yang besar. Rumusan inilah yang menurunkan
rumusan lain yang mengatakan bahwa dalam Islam tidak ada
permasalahan lagi tentang gender. Di Barat timbul banyak
masalah tentang gender antara lain disebabkan di Barat laki-laki
dan perempuan itu dianggap berhadapan.
(2) Perubahan situasi menyebabkan perubahan rumusan. Situasi
sekarang memungkinkan perempuan (isteri) bekerja di luar
rumah. Timbul masalah di mana perempuan dikatakan

444
“merebut” pekerjaan laki-laki. Gender Islam merumuskan bahwa
perempuan boleh saja melakukan pekerjaan di luar rumah asal
saja atribut muslimahnya tidak hilang. Situasi sekarang ditandai
juga oleh adanya persaingan. Gender Islam merumuskan bahwa
perempuan boleh saja melakukan pekerjaan apa saja asal mampu
mengerjakannya –sekurang-kurangnya- sebaik laki-laki.
3) Keadilan merupakan salah satu prinsip dalam Islam. Karena sifat
biologis dan psikologisnya, maka gaji pekerja perempuan boleh
jadi lebih kecil dari pada gaji yang diterima oleh pekerja laki-
laki. Itu dapat dibuktikan pada produk perpotong yang dihasilkan
mereka. Karena sifat biologis dan psikologisnya boleh jadi ada
pekerjaan yang tidak mungkin dilakukan oleh perempuan atau
pekerjaan itu pasti akan lebih baik bila dikerjakan oleh laki-laki.
Itu adil. Karena prinsip keadilan itu juga dapat terjadi sebaliknya
yaitu dalam berbagai hal gaji pekerja laki-laki lebih kecil dan
mungkin ada jenis pekerjaan yang tidak mungkin dikerjakan
oleh laki-laki atau pekerjaan itu pasti lebih baik hasilnya bila
dilakukan oleh perempuan.
(4) Zina diharamkan dalam ajaran Islam, ia merupakan salah satu
dosa besar. Dalam kerangka inilah orang harus melihat ajaran
Islam tentang pakaian perempuan muslim. Umumnya orang
melihat masalah ini dari sudut perempuan saja, sehingga timbul
issue yang mengatakan bahwa ajaran Islam tentang pakaian
perempuan mempersulit perempuan muslim.

445
Sumber Referensi

Badudu J. S, & Sultan Mohammad Zain. 2001. Kamus Umum


Bahasa Indonesia Jakarta: Pustaka Sinar Harapan
Fakih, Mansour. 1996. Analisis Gender dan Transformasi Sosial.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.
Lubis, Ridwan. 2005. Cetak Biru Peran Agama: Merajut
Kerukunan, Kesetaraan Gender dan Demokratisasi Masyarakat
Multsikultural. Jakarta: Puslitbang Kehidupan Beragama.
Mosse, Julia Cleves. 2003. Gender dan Pembangunan. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Murniati, Nunuk Prasetyo. 2004. Getar Gender. Magelang:
Indonesiatera.
Rohmaniyah, Inayah. 2008. “Meninjau Ulang Wacana Spiritualitas
dan Perempuan,” Jurnal Studi Gender dan Islam Musawa
(Agustus 2008).
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-
Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: Depag RI, 1986
Zayd, Nasr Hamid Abu. 2003. Dekonstruksi Gender: Kritik Wacana
Perempuan dalam Islam. Yogyakarta: Samha.
http://aatafsir.blogspot.co.id/2008/07/pandangan-islam-tentang-
gender.html?m=1
http://nasacenter.blogspot.co.id/2009/11/gender-dalam-perspektif-
islam.html?m=1

446
GENDER DALAM PERSPEKTIF ISLAM
Oleh: Irwan Suhendar_1148030110_5-F

Abstraksi
Konsep gender dalam Islam berakar pada paradigma bahwa
secara teologis, perempuan dan laki-laki diciptakan dari asal yang
sama, karenanya keduanya memiliki kualitas kemanusiaan yang
sederajat. Namun demikian, dalam konstalasi pemikiran Islam, ada
tiga pandangan yang berkembang, pandangan konservatif yang
bernuansa patriarkhis, pandangan moderat yang berbasis pada
paradigma keseimbangan dan keadilan dan pandangan liberal yang
mencoba mendekonstruksi konsep konsep religiusitas yang
dipandang merugikan pihak perempuan. Namun jika merujuk pada
sejarah dan filosofi penciptaan, perempuan dengan kualitas
femininitanya dan laki-laki dengan maskulinitasnya memang harus
diakui memiliki kekhasan masing-masing. Justru karena kekhasan
tersebut, keduanya komplementer karena merupakan wujud dualitas
makrokosmos yang akhirnya menciptakan keseimbangan.

PENGERTIAN GENDER
Gender pada hakekatnya adalah sebuah terma yang
digunakan untuk membedakan peran antara laki-laki dan
perempuan, hasil dari rekayasa manusia sebagai akibat pengaruh
sosial budaya masyarakat yang tidak bermakna kodrati. Di dalam
Women’s Studies Encyclopedia disebutkan gender adalah suatu
konsep kultural yang berupaya membuat perbedaan (distinction)
dalam hal peran, prilaku, mentalitas dan karakteristik emosional
antara laki-laki dan perempuan yang berkembang di dalam
masyarakat. Tidak dipungkiri, bahwa acapkali muncul relasi
problematik antara perempuan dan laki-laki. Bukan perbedaan
alamiah keduanya tapi implikasi yang tercipta dari perbedaan
tersebut. Hampir tidak ada isu psikologis apapun yang begitu
kontroversial dan kompleks dibandingkan dengan isu ini.

447
Oleh karena itu berbicara gender berarti bicara tentang
sebuah konsepsi yang menunjuk pada suatu sistem peranan dan
hubungan antara perempuan dan laki-laki yang tidak ditentukan oleh
perbedaan biologis semata melainkan juga oleh lingkungan sosial,
politik dan juga ekonomi. Hal ini perlu ditegaskan guna
membedakan segala sesuatu yang normatif dan biologis dan segala
sesuatu yang merupakan konstruksi sosial budaya dalam bentuk
proses kesepakatan normatif dan sosial yang dapat
ditransformasikan.
Istilah gender diperkenalkan oleh para ilmuwan sosial untuk
menjelaskan perbedaan perempuan dan laki-laki yang bersifat
bawaan sebagai ciptaan Tuhan dan yang bersifat bentukan budaya
yang dipelajari dan disosialisasikan sejak kecil. Pembedaan ini
sangat penting, karena selama ini sering sekali mencampur adukan
ciri-ciri manusia yang bersifat kodrati dan yang bersifat bukan
kodrati (gender). Perbedaan peran gender ini sangat membantu kita
untuk memikirkan kembali tentang pembagian peran yang selama
ini dianggap telah melekat pada manusia perempuan dan laki-laki
untuk membangun gambaran relasi gender yang dinamis dan tepat
serta cocok dengan kenyataan yang ada dalam masyarakat.
Perbedaan konsep gender secara sosial telah melahirkan perbedaan
peran perempuan dan laki-laki dalam masyarakatnya. Secara umum
adanya gender telah melahirkan perbedaan peran, tanggung jawab,
fungsi dan bahkan ruang tempat dimana manusia beraktivitas.
Sedemikian rupanya perbedaan gender ini melekat pada cara
pandang kita, sehingga kita sering lupa seakan-akan hal itu
merupakan sesuatu yang permanen dan abadi sebagaimana
permanen dan abadinya ciri biologis yang dimiliki oleh perempuan
dan laki-laki.
Kata „gender‟ dapat diartikan sebagai perbedaan peran,
fungsi, status dan tanggungjawab pada laki-laki dan perempuan
sebagai hasil dari bentukan (konstruksi) sosial budaya yang tertanam
lewat proses sosialisasi dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Dengan demikian gender adalah hasil kesepakatan antar manusia

448
yang tidak bersifat kodrati. Oleh karenanya gender bervariasi dari
satu tempat ke tempat lain dan dari satu waktu ke waktu berikutnya.
Gender tidak bersifat kodrati, dapat berubah dan dapat
dipertukarkan pada manusia satu ke manusia lainnya tergantung
waktu dan budaya setempat.
Definisi gender menurut berbagai pustaka adalah sebagai
berikut:
1) . “Gender adalah perbedaan antara laki-laki dan perempuan
dalam peran, fungsi, hak, tanggung jawab, dan perilaku yang
dibentuk oleh tata nilai sosial, budaya dan adat istiadat dari
kelompok masyarakat yang dapat berubah menurut waktu serta
kondisi setempat. Tanggung jawab dan perilaku yang dibentuk
oleh tata nilai sosial, budaya dan adat istiadat dari kelompok
masyarakat yang dapat berubah menurut waktu serta kondisi
setempat.
2) . “Gender refers to the economic, social, political, and cultural
attributes and opportunities associated with being female and
male. The social definitions of what it means to be female or
male vary among cultures and changes over time.”2.4 (gender
merujuk pada atribut ekonomi, sosial, politik dan budaya serta
kesempatan yang dikaitkan dengan menjadi seorang perempuan
dan laki-laki. Definisi sosial tentang bagaimana artinya menjadi
perempuan dan laki-laki beragam menurut budaya dan berubah
sepanjang jaman).
3) “Gender should be conceptualized as a set of relations, existing
in social institutions and reproduced in interpersonal
interaction“ (gender diartikan sebagai suatu set hubungan yang
nyata di institusi sosial dan dihasilkan kembali dari interaksi
antar personal).
4) “Gender is not a property of individuals but an ongoing
interaction between actors and structures with tremendous
variation across men‟s and women‟s lives “individually over
the life course and structurally in the historical context of race
and class” (Gender bukan merupakan property individual

449
namun merupakan interaksi yang sedang berlangsung antar aktor
dan struktur dengan variasi yang sangat besar antara kehidupan
laki-laki dan perempuan „secara individual‟ sepanjang siklus
hidupnya dan secara struktural dalam sejarah ras dan kelas).
5) “At the ideological level, gender is performatively produced”
(Pada tingkat ideologi, gender dihasilkan).
6) “Gender is not a noun- a „being‟–but a „doing‟. Gender is
created and reinforced discursively, through talk and behavior,
where individuals claim a gender identity and reveal it to
others” (Gender bukan sebagai suatu kata benda–„menjadi
seseorang‟, namun suatu „perlakuan‟. Gender diciptakan dan
diperkuat melalui diskusi dan perilaku, dimana individu
menyatakan suatu identitas gender dan mengumumkan pada
yang lainnya).
7) “Gender theory is a social constructionist perspective that
simultaneously examines the ideological and the material levels
of analysis” (Teori gender merupakan suatu pandangan tentang
konstruksi sosial yang sekaligus mengetahui ideologi dan
tingkatan analisis material).

Gender sebaliknya merupakan konsep sosial. Istilah


“feminisme” dan “maskulinitas” yang berkaitan dengan astilah
gender berkaitan pula dengan sejumlah karakteristik psikologis yang
kompleks, yang telah dipelajari seorang melalui pengalaman
sosialisasinya. Contohnya, dilingkungan budaya kita, sipat lembut,
sabar, berpenampilan rapih, dan senang melayani kebutuhan orang
lain dianggap sebagai karakter positif dari feminitas. Perilaku
tersebut diperkuat dengan cara anak perempuan didandani dan
mainan yang dibelikan. Itu masih ditambah denagn peringatan bila
sianak perempuan berperilaku yang oleh lingkungannya dianggap
tidak feminim. Pandangan tentang hubungan antara sex dan gender
mencerminkan kontroversi anta faktor nature-nurture atau
perdebatan antara determinisme biologis dan determinisme sosial.

450
Gender dan perempuan dalam islam
Islam tidak mengenal diskriminasi antaara kaum laki-laki dan
perempuan. Islam menempatkan perempuan sebagai mitra sejajar
kaum laki-laki. Kalupun ada perbedaan, maka itu akibat fungsi dan
tugas-tugas utama yang dibebankan aaagaama kepada masing-
masing jenis kelamin, sehingga perbedaan yang ada, tidak
mengakibatkan yang satu merasa memiliki kelebihan atas yang lain.
Keduanya saling melengkapi dan bantu membantu daaalam
memerankan fungsinya dalam hidup dan kehidupan. Hal ini telah
ditegaskan dalam firman Allah swt:
ِ‫سآء‬ َ َ‫َصيبٌ ِم َّما ٱ ْكت‬
َ ِ‫سبُوا َولِلن‬ ِ ‫ِلر َجا ِل ن‬ِ ‫ضل‬ ٍ ‫علَى َب ْع‬ َ ‫ض ُك ْم‬ َّ ‫َو َال تَت َ َمنَّ ْوا َما َف‬
َّ ‫ض َل‬
َ ‫ٱَّللُ بِِۦه بَ ْع‬
﴾٢٣﴿ ‫علِي ًما‬ َ ٍ‫ش ْىء‬ َ ‫ٱَّللَ َكانَ ِب ُك ِل‬
َّ ‫ض ِل ِ ٓهۦ ِإ َّن‬ َّ ‫سبْنَ َوسْـَٔلُوا‬
ْ َ‫ٱَّللَ مِ ن ف‬ َ َ ‫َصيبٌ ِم َّما ٱ ْكت‬ ِ ‫ن‬
“Dan janganlah kamu iri hati terhadap karunia yang telah
dilebihkan Allah kepada sebagian kamu atas sebagian yang lain.
(Karena) bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan,
dan bagi perempuan (pun) ada bagian dari apa yang mereka
usahakan. Mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya.
Sungguh, Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”(QS An-Nisa :
32)
Berdasarkan ayat tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa
islam telas memploklamirkan kesetaraan laki-laki dan perempuan
serta adanya integrasi antara keduanya daalam memerankan
fungsinya masing-masing. Ada beberapa konsep islam terhadap
kesetaraan gender:

1. Persfektif Pengabdian
Islam tidak membedakan laki-laki dan perempuan dalam
pengabdian satu-satunya perbedaan yang dijadiakn ukuran untuk
meninggikan atau merendahkan derajat mereka hanyalah nilai
pengabdian dan ketakwaan kepada Allah swt. Hal ini sebagaimana
ditegaskan dalam firman Alla swt:
‫ارفُ ٓوا ِإ َّن‬
َ ‫شعُوبًا َوقَ َبآئِ َل ِلت َ َع‬ ُ ‫َٓيأَيُّ َها ٱل َّن‬
ُ ‫اس ِإ َّنا َخلَ ْقنَ ُكم ِمن ذَك ٍَر َوأُنثَى َو َج َع ْلنَ ُك ْم‬
﴾٣٢﴿ ‫ير‬ ٌ ِ‫علِي ٌم َخب‬
َ َ‫ٱَّلل‬ َّ ُ َ ْ َ َّ َ‫أ َ ْك َر َم ُك ْم عِند‬
َّ ‫ٱَّللِ أتقىك ْم إِن‬

451
“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu
dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami
jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu
saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu
di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah
Maha Mengetahui, Maha teliti. (QS Al-Hujurat: 13).
Laki-laki dan perempuan sama-sama berhak masuk surga,
sama-sama diperbolehkan turut berpartisipasi dan berlomba-lomba
mengerjakan kebijakan, mengabdi kepada masyarakat, negara dan
agama. Dasar persamaan nini ditegaskan dalam Al-Quran.
َ ً ‫ص ِل ًحا ِمن ذَك ٍَر أ َ ْو أُنثَى َوه َُو ُمؤْ مِ نٌ فَلَنُحْ يِ َينَّ ۥهُ َحيَوة‬
‫ط ِيبَةً َولَنَجْ ِزيَنَّ ُه ْم‬ َ ‫عمِ َل‬ َ ‫َم ْن‬
﴾٧٩﴿ َ‫س ِن َما كَانُوا يَ ْع َملُون‬ َ ْ‫أَجْ َرهُم ِبأَح‬
”Barangsiapa mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun
perempuan dalam keadaan beriman, maka pasti akan Kami berikan
kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami beri balasan
dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka
kerjakan”.(QS An-Nahl : 97)

2. Persfektif Asal Kejadian Perempuan


Al-Quran menerangkan bahwa perempuan dan laki-laki
diciptakan Allah dengan derajat yang sama. Tidak ada isyarat dalam
Al-Quran bahwa perempuan bahwa perempuan pertama (Hawa)
yang diciptakan oleh Allah adalah suatu ciptaan yang mempunyai
martabat lebih rendah dari laki-laki pertama (Adam). Hal ini
ditegaskan dalam Al-Quran .
‫ث مِ ْن ُه َما‬ ُ ‫َٓيأَيُّ َها ٱل َّن‬
َّ ‫اس ٱتَّقُوا َربَّ ُك ُم ٱلَّذِى َخلَقَ ُكم ِمن نَّ ْف ٍس َوحِ دَ ٍة َو َخ َلقَ مِ ْن َها زَ ْو َج َها َو َب‬
َ
﴾٣﴿ ‫عل ْي ُك ْم َر ِقيبًا‬ َّ ‫ام إِ َّن‬
َ َ‫ٱَّللَ َكان‬ َ ْ ُ
َ ‫سا ٓ َءلونَ بِِۦه َوٱْل ْر َح‬ َّ
َ َ ‫ٱَّللَ ٱلذِى ت‬ ُ َّ
َّ ‫سا ٓ ًء َوٱتقوا‬ ً ‫ِر َج ًاال َكث‬
َ ِ‫ِيرا َون‬
Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah
menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), dan (Allah)
menciptakan pasangannya (Hawa) dari (diri)-nya; dan dari
keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan
yang banyak. Bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya
kamu saling meminta, dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan.

452
Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu. (QS An-
Nisa : 1)
Ayat ini merupakan penegasan bahwa bahan untuk
menciptakan manusia tidak ada bedanya, baik bahan yang
digunakan untuk menciptakan perempuan maupun laki-laki,
keduanya berasal dari jenis yang sama.

3. Perspektif Kejiwaan
Ada anggapan bahwa dari segi kejiwaan, perempuan
mewmiliki jiwa yang lemah sehingga mudah terkena godaan atau
rayuan. Anggapan ini biasanya menyandarkan diri pada peristiwa
keberhasilan iblis merayu Adam untuk memakan buah surga
disebabkan keberhasilan iblis merayu Hawa terlebih dahulu.
Anggapan ini jelas tidak benar karena dalam Al-Quran terlihat
bahwa godaan dan rayuan iblis ditujukan kepada laki-laki dan
perempuan (Adam dan Hawa), bukan hanya kepada Hawa saja,
sebagaiman disebutkan dalam Al-Quran.
‫س ْو َءتِ ِه َما َوقَا َل َما نَ َهى ُك َما‬ َ ‫ع ْن ُه َما مِ ن‬
َ ‫ى‬َ ‫ِى لَ ُه َما َما ُو ِۥر‬
َ ‫طنُ ِليُ ْبد‬ َ ‫س لَ ُه َما ٱل َّش ْي‬ َ ‫فَ َوس َْو‬
﴾٣٠﴿ َ‫ال أَن ت َ ُكونَا َملَ َكي ِْن أ َ ْو ت َ ُكونَا مِ نَ ْٱل َخ ِلدِين‬ ٓ َّ ‫ش َج َرةِ ِإ‬َّ ‫ع ْن َه ِذ ِه ٱل‬ َ ‫َربُّ ُك َما‬
Kemudian setan membisikkan pikiran jahat kepada mereka
agar menampakkan aurat mereka (yang selama ini) tertutup. Dan
(setan) berkata, "Tuhanmu hanya melarang kamu berdua mendekati
pohon ini, agar kamu berdua tidak menjadi malaikat atau tidak
menjadi orang yang kekal (dalam surga)."(QS Al-A’raf : 20).
Dalam ayat tersebut dinyatakan bahwa setan membisikkan
pikiran jahat kepada keduanya adaalah bentuk muatsanna, artinya
menunjukan dua orang, yaitu laki-laki dan perempuan (Adam dan
Hawa), bukan berbentuk mufrad (tunggal). Kalaupun ada yang
berbentuk mufrad, tetapi kalimat itu justru menunjukan kepada laki-
laki (Adam) sebagai pemimpin terhadap istrinya, sebagaimana
disebutkan dalam Al-Quran:
‫ش َج َرةِ ْٱل ُخ ْل ِد َو ُم ْلكٍ َّال َي ْب َل‬
َ ‫علَى‬َ َ‫طنُ قَا َل َٓيـَٔادَ ُم ه َْل أَد ُُّلك‬ َ ‫ش ْي‬ َّ ‫س ِإ َل ْي ِه ٱل‬ َ ‫فَ َوس َْو‬
Kemudian setan membisikkan (pikiran jahat) kepadanya,
dengan berkata, "Wahai Adam! Maukah aku tunjukkan kepadamu

453
pohon keabadian (khuldi) dan kerajaan yang tidak akan binasa?"
(QS Thaha : 120).
Ayat di atas merupakan sanggahan terhadap pandangan yang
mengataakan bahwa perempuan (Hawa) yang digoda dan
diperalat oleh setan sehingga manusia terusir dari surga.
Dengan demikian, tidak benar tuduhan bahwa perempuanlah
sebagai segala bencana.

4. Perspektif Kemanusiaan
Salah saatu traadisi bangsa Arab sebelum kedatangan Islam
ialah mengubur hidup-hidup bayi perempuan karena alasan takut
miskin atau tercemar namanya, sebagaimana disebutkan dalam
firman Allah swt :
ُ ‫﴾ َيت ََو َرى مِ نَ ْٱلقَ ْو ِم مِ ن‬٨٥﴿ ‫ظ َّل َوجْ ُه ۥهُ ُمس َْودًّا َوه َُو َكظِ ي ٌم‬
‫س ٓوءِ َما‬ َ ‫َوإِذَا بُش َِر أ َ َحدُهُم بِ ْٱْلُنثَى‬
﴾٨٧﴿ َ‫سا ٓ َء َما يَحْ ُك ُمون‬ َ ‫ب أ َ َال‬
ِ ‫ُون أ َ ْم يَدُ ُّس ۥهُ فِى ٱلت ُّ َرا‬
ٍ ‫علَى ه‬ َ ُ‫بُش َِر بِِۦٓه أَي ُْم ِس ُك ۥه‬
Padahal apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan
(kelahiran) anak perempuan, wajahnya menjadi hitam (merah
padam), dan dia sangat marah. Dia bersembunyi dari orang
banyak, disebabkan kabar buruk yang disampaikan kepadanya.
Apakah dia akan memeliharanya dengan (menanggung) kehinaan
atau akan membenamkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)?
Ingatlah alangkah buruknya (putusan) yang mereka tetapkan
itu.(QS An-Nahl: 58-59).
Islam hadir dengan mereformasi dan melakukan revolusi
terhadap tradisi yang telah menginjak-injak kemanusiaan, terutama
terhadap kaum perempuan. Islam melarang tradisi penguburan
hidup-hidup bayi perempuan dan mengecamnya sebagai perbuatan
yang sangat biadab.

5. Perspektif kepemilikan harta


Islam menghapuskan semuatradisi yang diberlakukan atas
kaum perempuan berupa pelarangan atau pembatasan untuk
membelanjakan harta yang mereka memiliki dan kesewenang-
wenangan suami terhadap harta istri. Islam dalam menetapkan hak

454
kepemilikan dan pembelanjaan atas harta bagi kaum perempuan,
sebagaiman firman Allah swt:
ِ‫سآء‬ َ َ‫َصيبٌ ِم َّما ٱ ْكت‬
َ ‫سبُوا َول ِِلن‬ ِ ‫ِلر َجا ِل ن‬
ِ ‫ضل‬ ٍ ‫علَى َب ْع‬ َ ‫ض ُك ْم‬ َّ ‫َو َال تَت َ َمنَّ ْوا َما َف‬
َّ ‫ض َل‬
َ ‫ٱَّللُ ِبِۦه َب ْع‬
﴾٢٣﴿ ‫علِي ًما‬ َ ٍ‫ش ْىء‬ ُ َّ ‫ض ِل ِ ٓهۦ إِ َّن‬
َ ‫ٱَّللَ َكانَ بِك ِل‬ ْ َ‫ٱَّللَ مِ ن ف‬ ُ
َّ ‫سبْنَ َوسْـَٔلوا‬ َ َ ‫َصيبٌ ِم َّما ٱ ْكت‬ ِ ‫ن‬
“Dan janganlah kamu iri hati terhadap karunia yang telah
dilebihkan Allah kepada sebagian kamu atas sebagian yang lain.
(Karena) bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan,
dan bagi perempuan (pun) ada bagian dari apa yang mereka
usahakan. Mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya.
Sungguh, Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”(QS An-Nisa :
32)
Ayat ini mengisyaratkan bahwa perempuan punya hak untuk
memiliki, berdagang dan mengembangkan hartanya, walaupun
perempuan itu terikat oleh perkawinan, bahkan perempuan berhak
mempertahankan kekayaan yang ada di tangan mereka melalui jalur
pengadilan dan upaya lain yang disyariatkan.

6. Perspektif kewarisan
Islam memberikan hak waris kepada kaum perempuan,
sebagaiman ditegaskan dalam Al-Quran:
ِ َ‫َصيبٌ ِم َّما ت ََركَ ْٱل َو ِلد‬
‫ان‬ ِ ‫سآءِ ن‬ ِ َ‫َصيبٌ ِم َّما ت ََركَ ْٱل َو ِلد‬
َ ِ‫ان َو ْٱْل َ ْق َربُونَ َولِلن‬ ِ ‫لِل ِر َجا ِل ن‬
﴾٩﴿ ‫َصيبًا َّم ْف ُروضًا‬ ِ ‫َو ْٱْل َ ْق َربُونَ مِ َّما قَ َّل مِ ْنهُ أ َ ْو َكث ُ َر ن‬
Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan kedua
orang tua dan kerabatnya, dan bagi perempuan ada hak bagian
(pula) dari harta peninggalan kedua orang tua dan kerabatnya, baik
sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.(QS An-
Nisa:7 )
Selain yang disebutkan diatas, yaitu yaitu tentang pemilikan
harta dan hak waris bagi perempuan, Islam telah menetapkan pula
bahwa perempuan berhak mendapat wasiat, bahkan kaum
perempuan memiliki penuh atas mahar dan nafkah dari
suaminya,meskipun mereka berasal daari keluarga mampu. Masalah
ini akan dibicarakan dalam pembatasan tentang kedudukan
perempuan dalam kehidupan.

455
7. Perspektif pendidikan dan pengajaran
Dalam islam,menurut ilmu dibuka seluas-luasnya kepada
perempuan seperti halnya laki-laki. Perempuan diwajibkan
menuntut ilmu pengetahuan, sebagaimana dalam hadits Nabi
Muhammad saw.
Dari Anas bin Malik berkata, Bersabda Rasulullah saw,
“menuntuk ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim.”
Ayat-ayat Al-Quran dan hadits banyak menyebutkan tentang
kewajiban bekajar yang ditujukan kepada laki-laki dan perempuan.
Kaum perempuan dijaman Rasulullah menyadari benar kewajiban
ini sehingga bermohon kepada Nabi agar beliau bersedia
menyisihkan waktu tertentu dan khusus untuk mereka dalam rangka
belajar dan Nabi mengabulkan permohonan mereka.
Beberapa bias gender pendidikan Islam dalam kurikulum
diantaranya adalah:
Masalah keimanan [aqidah-ahlaq]
Sebagai contoh dalam buku ajar agama Islam untuk SD,
tentang “Iman kepada Rasul-Rasul Allah SWT, dijelaskan bahwa
pengertian Nabi ialah “Seorang manusia biasa (laki-laki) yang
menerima wahyu dari Allah SWT, untuk dirinya sendiri. Sedangkan
Rasul ialah seorang manusia biasa (laki-laki) yang diutus oleh Allah
SWT, dan menerima wahyu untuk dirinya sendiri dan untuk
umatnya”.
Dari teks di atas dapat dipahami bahwa yang dapat menjadi
Nabi dan Rasul hanyalah seorang yang berjenis kelamin laki-laki,
sedangkan perempuan tidak dapat menjadi seorang Nabi dan Rasul.
Bias Gender yang lain dalam buku ajar Agama Islam juga terdapat
dalam bentuk gambar dimana dalam topik Takabbur (sombong),
digambarkan sekelompok perempuan yang sedang membicarakan
seorang perempuan yang sombong. Secara implisit ilustrasi gambar
yang diberikan juga telah menumbuhkan dan membangun bias
gender bagi yang membaca ataupun melihatnya dimana perempuan
akan diidentikkan dengan sosok yang suka mengunjing, menggosip
dan lain sebagainya.

456
Hal senada juga dapat dilihat pada bahasan rukun Iman,
dimana terdapat satu keluarga yang sedang beraktifitas, sosok anak
lakilakinya digambarkan sedang belajar, ayahnya sedang melihat
pemandangan, sementara si ibu dan anak perempuannya memasak
didapur.
Masalah hukum Islam (fiqh)
Persoalan bias gender dalam masalah hukum fiqh40 adalah
tentang shalat jama’ah, yaitu “Laki-laki mengimami perempuan”.
Dari teks tersebut, dapat dipahami bahwa perempuan tidak dapat
menjadi imam bagi laki-laki dan dipertegas dengan salah satu syarat
untuk menjadi imam adalah harus laki-laki. Dari teks ini timbul
pertanyaan, “Mengapa perempuan tidak boleh mengimami laki-laki,
“Bagaimana jika yang menjadi makmum itu laki-laki yang masih
kanak-kanak atau bolehkah perempuan mengimami laki-laki karena
bacaan salatnya lebih fasih dan ‘alim dibandingkan laki-laki yang
menjadi makmum".
Dalam buku pedoman ajar Agama Islam untuk SLTP tentang
Udhiyah, dijelaskan bahwa, ”Aqiqah untuk anak laki-laki adalah
dua ekor kambing dan anak perempuan sebanyak satu ekor
kambing". Dari teks tersebut dapat dipahami bahwa, adanya
diskriminasi terhadap anak, yaitu harga anak laki-laki dua kali lipat
dari harga anak perempuan, sehingga timbul pertanyaan, “Mengapa
harus dibedakan antara anak laki-laki dan perempuan”.

Pengaruh Feminisme Dan Persamaan Gender Barat Dalam


Masyarakat Islam
Gerakan Feminisme dan Persamaan Gender pada mulanya
adalah gerakan sekelompok aktivis perempuan Barat yang kemudian
menjadi kajian akademik di lembaga kajian, dan pengajian tinggi
dengan kajian “women studies”, yang menyebar baik di negara
Barat mahupun di negara Muslim. Gerakan ini akhirnya telah
mendapat perakuan dari Pertubuhan Bangsa-Bangsa Bersatu dengan
dikeluarkannya Convention on the Elimination of All Forms of
Discrimination Against Women ( CEDAW). Bahkan sebahagian

457
Negara Barat memberikan bantuan dana untuk mengembangkan
kajian dan fahaman tersebut dalam masyarakat sebagaimana yang
dilakukan oleh Amerika kepada Negara Indonesia : “Amerika
Syarikat juga memberikan dana kepada berbagai-bagai organisasi
muslim dan pondok untuk mengangkat persamaan gender dan anak
perempuan dengan memperkukuhkan pengertian tentang nilai-nilai
tersebut di antara para pemimpin perempuan masyarakat dan
membantu demokratisasi serta kesetaraan gender di pondok
pesantren melalui latihan kepimpinan pesantren lelaki dan
perempuan”.
Pada tahun 1990-an, gerakan feminisme Barat mulai
mempengaruhi beberapa sarjana dan pemikir muslim, sehingga
muncullah gerakan feminisme muslim. Azza M.Karam
mendefinisikan feminisme muslim adalah : “a one who adopts a
worldview in which Islam can be contextualized and reinterpreted in
order to promote concepts of equity and equality between men and
women and for whom freedom of choice plays an important part in
expression of faith”. Gerakan feminisme dalam masyarakat muslim
yang pertama muncul di Mesir, dengan terbentuknya The Egyptian
Feminist Union pada tahun 1923 yang didirikan oleh Huda Shaarawi
( 1879-1947).
Dalam The Oxford Encyclopedia of Modern Islamic World
dinyatakan bahawa : “feminisme moden dikenali dalam masyarakat
Islam sejak awal abad 20 meskipun mereka tidak menggunakan
istilah tersebut. Pemikiran feminisme di dunia Islam dapat ditelusuri
melalui pemikiran-pemikiran Aisha Taymuriyah (penulis Mesir),
Zainab Fawwaz (penulis Lebanon), Rokeya Sakhawat Hossein,
Nazar Haidar, Emilie Ruete (Zanzibar), Ta’jal Sulthaniyah (Iran),
Huda Shaarawi, Malak Hifni Naser, Nabawiyah Musa (Mesir), dan
Fame Aliye (Turki). Mereka dikenal sebagai tokoh perintis dalam
menumbuhkan kesedaran mengenai persoalan gender, termasuk
melawan kebudayaan dan ideologi masyarakat yang hendak
menghalangi kebebasan perempuan”.

458
Gerakan feminisme muslimah dilanjutkan oleh Aminah
Wadud, Rifaat Hasan dan Fatimah Naseef yang memberikan
perhatian pada kajian semula teks al-Quran yang berkaitan dengan
perempuan, sedangkan Fatima Mernissi, Hidayaet Tuskal
memberikan perhatian kepada kajian semula teks hadis yang
berkaitan dengan perempuan, dan Aziza al-Hibri dan Shaheen
Sardar Ali memberikan perhatian kepada kajian semula terhadap
hukum syariah yang berkaitan dengan perempuan. Malahan, akhir-
akhir ini muncul muslimah yang mengkaji semula masalah
homoseksual dan lesbian seperti Irsyad Manji dan Musdah Mulia.
Pengaruh pemikiran Feminisme Barat dan Persamaan Gender
di dalam masyarakat muslim juga dilanjutkan dengan munculnya
institusi kajian seperti Femina Insitute (Indonesia), Sisters in Islam
(SIS), Musawwa (Malaysia), dan sebagainya. Di samping itu terbit
beberapa majalah, jurnal, tentang feminisme dan persamaan gender
seperti jurnal Perempuan.
Dalam disertasi yang telah diterbitkan dengan judul
“Argumen Kesetaraan Gender : Perspektif al-Quran” dijelaskan
bahawa penulis menggunakan beberapa metodologi:
 Meletakkan teks al-Quran sama dengan teks naskhah-naskhah
lainnya yang tidak memiliki makna kesucian : “Dalam
menganalisa teks, baik teks al-Quran mahupun teks lainnya, ada
beberapa pertanyaan filologis yang perlu diperhatikan, antara
lain : Dari mana teks diperoleh? Bagaimana autensiti dan
keaslian teks itu? Siapa yang menterjemahkan? Teks aslinya dari
bahasa apa? Terjemahan dari bahasa asli atau bahasa lain? Jarak
waktu penterjemah dengan teks terjemahan? Setiap bahasa
mempunyai latar belakang, bagaimana latar belakang budaya
teks itu?32
 Melakukan kritikan terhadap ayat dengan menyatakan adanya
bias gender dalam bahasa Arab : “Bahasa Arab yang dipinjam
Tuhan dalam menyampaikan idea-Nya sejak awal mengalami
bias gender, baik dalam kosa kata (mufradat) mahupun dalam
struktur kalimatnya”.33 Hal ini dibuktikan dengan perintah

459
kepada awam tetapi dalam ayat disebutkan dengan perintah
kepada lelaki seperti “aqimuusshalah” yang bermakna untuk
lelaki.
 Menggunakan fahaman relativisme, dengan mengatakan
bahawa Tuhan sangat memihak lelaki sebab menyebut
dirinya dengan “huwa” padahal Tuhan bukan lelaki dan
bukan perempuan.34
 Mengkritik sejarah dengan mengkaji latar belakang budaya
yang dimiliki suatu bangsa dan membezakan antara unsur
normatif dan kontekstual.35
 Menggunakan teori : “khususussabab” (sebab khas) sebagai
pengesahan untuk menguatkan kritik sejarah “Hampir semua
ayat gender turun dalam sebab khas tetapi hampir semua ayat
tersebut menggunakan lafaz am”.36
 Dialektika antara tekstual dan kontekstual. Kata tekstual
selalu digambarkan sebagai hal yang negatif, konservatif,
sedangkan pemahaman kontekstual selalu digambarkan
terbuka, moderat, dan sesuai untuk masa kini.

Menurut Henri, metode kritik sejarah dan kritik teks di atas


merupakan metode yang dipakai dalam mengkritik kitab suci Bible
(Biblical Criticism).37 Dalam kritik Kitab Suci menurut feminis
(Hermeneutika Feminis) terdapat lima metode :
 Kritik feminis harus menerima suatu bentuk kecurigaan
penerimaan wibawa al-Kitab.
 Kritik feminis harus mengevaluasi lebih daripada mengkoreksi.
Ertinya banyak teks yang harus ditolak jika teks itu
mengabadikan dan menyetujui sistem patriarki.
 Penafsiran adalah terpisah dari pernyataan firman Tuhan. Teks
yang mengabadikan struktur penindasan patriarki dilarang untuk
dinyatakan sebagai firman Tuhan, maka sebelum teks
diterjemahkan dengan bahasa yang inklusif, suatu proses
pemilihan yang teliti perlu dilakukan.

460
 Teks yang mengabadikan dan mengesahkan struktur patriarki
perlu dirubah. Hermeneutika ini perlu untuk merekonstruksi
kemurnian dan sejarah Nasrani dari perspektif wanita.
 Penafsiran harus meliputi perayaan dan ritual, dengan
mengaktualisasikan teks untuk masa kini. Cerita al-Kitab
diceritakan kembali dalam perspektif feminis. Hal yang penting
dalam penafsiran feminis, adalah bagaimana teks al-Kitab
ditafsirkan secara benar tanpa melupakan nilai-nilai
kemanusiaan seutuhnya.38

Dari tulisan di atas dapat dilihat bahwa metode penafsiran al-


Quran yang digunakan oleh feminis Muslim merupakan pengaruh
dari metode kritik kitab suci (Biblical Criticism) yang dipergunakan
oleh feminis Barat dalam mengkaji semula teks kitab suci mereka
yang sangat merendahkan kaum perempuan.

Renspon Masyarakat Islam terhadap Diskursus Gender


Secara empirik persoalan gender oleh sebagian pandangan
umat Islam diasosiasikan sebagai the nature yang tak bisa diubah
karena sifatnya yang taken for granted , namun oleh sebagian
lainnya justru diasumsikan sebagai the nuture yang dibentuk dan
dikondisikan oleh sistem nilai dan budaya yang berlaku di
masyarakat sehingga bersifat changeable dari waktu ke waktu dan
dari masyarakat ke masyarakat. Dengan demikian tafsir genderpun
dalam pemikiran Islam terderivasi menjadi beberapa pandangan.
Tidak ada homogenitas tafsir. Tidak ada pandangan tunggal. Dan
masing-masing pandangan memilki sudut pandang tersendiri.
Pandangan Konservatif
Syariat Islam sejak kemunculannya telah berusaha
mewujudkan keadilan gender dalam masyarakat Arab yang
memiliki budaya dan tradisi patriarkhi yang sangat kuat. Upaya
tersebut diwujudkan dengan adanya aturan dan doktrin – doktrin
yang berusaha mengangkat harkat dan martabat kaum perempuan
dari posisinya semula. Aturan-aturan syariat tersebut antara lain

461
mengecam penguburan anak perempuan, membatasi poligami,
memberikan hak waris, hak-hak sebagai isteri, hak sebagai saksi dan
hak-hak lainnya. Dengan kata lain syariat Islam sejak semula telah
memberikan hak dan peran kepada kaum perempuan baik diwilayah
domestik maupun publik. Padahal tradisi Arab ketika itu secara
umum menempatkan perempuan hampir sama dengan hamba sahaya
yang tidak memiliki hak apapun. Karena itu dapat dilihat dari sisi ini
bahwa sesungguhnya semangat dan pesan moral Islam adalah
persamaan derajat antara laki-laki dan perempuan dan berusaha
menegakkan keadilan gender di tengah masyarakat.
Walaupun pesan universal Islam adalah keadilan gender,
namun banyak penafsir yang memahami teks – teks yang terdapat
dalam alQuran hadis-hanya secara tekstual, parsial dan dilepaskan
dari konteks turunnya,sehingga menghasilkan interprestasi yang bias
gender dan melahirkan aturan dan doktrin ketidakadilan gender. Hal
ini terjadi karena setelah nabi wafat, posisi sosial perempuan yang
semula membaik kembali mengalami krisis. Alih-alih stabil secara
sosial, posisi perempuan malah berbalik kembali ke nilai-nilai pra
Islam. Selain masalah menguatnya lagi tribalisme (rasa kesukuan)
Arab, pasca Nabi, Fatimah Mernisi memvonis bahwa adanya
pelepasan historis bentuk pemahaman ajaran agama terhadap
perempuan. Akibatnya sangat jelas, patriarki kembali memberi
pengaruh kuat dalam menafsirkan ajaran Islam. "Perempuan
kembali tidak dipercaya," demikian tulis Mernisi dalam Women in
Islam.
Secara historis, sikap misoginis – kegusaran laki-laki atas
derajat keberadaannya yang disamakan dengan perempuan – ini
telah ada sejak Islam muncul sebagai gerakan reformasi budaya.
Penolakan Islam oleh masyarakat Arab merupakan penolakan atas
moralitas yang menghapuskan simbol-simbol superioritas kekuasaan
laki-laki. Tidak semua sahabat Nabi dapat dengan segera
memberikan respon yang emansipatif terhadap reformasi sosial ini.
Sebagian sahabat berpandangan bahwa Nabi memberikan hak
terlalu banyak kepada perempuan. Mereka menghendaki agar Islam

462
lebih menekankan perubahan pada dunia publik tetapi tetap
mempertahankan moralitas dunia privat berdasarkan tradisi Arab
lama yang patriarkhis.
Sepeninggal Nabi, kecenderungan pada superioritas laki-laki
yang belum sepenuhnya terkikis oleh reformasi budaya Islam
kembali menguat. Hal ini tampak dari interprestasi para sahabat
terhadap beberapa ayat al Quran tentang hubungan sosial antara
laki-laki dan perempuan. Dari sekian sahabat yang dipandang
mempunyai kapasitas penafsiran yang cerdas seperti Ibnu Abbas
tetap saja laki-laki ditempatkan sebagai penguasa, pemimpin dan
pengontrol perempuan. Dominasi budaya patriarkhi mencapai
puncaknya di abad pertengahan Islam, dimana saat itu penafsiran
agama yang diskriminatif dianggap memiliki kebenaran mutlak.
Imbasnya segala produk hokum yang dihasilkan para ulama dan
imam madzhab abad pertengahan secara seragam tidak memberikan
ruang gerak sedikitpun bagi penghargaan terhadap hak perempuan
seperti yang tercantum dalam lembaran kitab-kitab kuning. Dan
ironisnya, justru kitab-kitab kuning yang sangat beraroma
patriarkhis inilah yang kemudian selama berabad abad menjadi
referensi utama dalam masyarakat Islam.
Dalam konteks ini Karen Amstrong dalam A History of God
berpendapat, “ setelah Muhammad wafat- agama Islam kemudian
dibajak oleh kaum laki-laki yang menafsirkan teks-teks al Quran
dengan cara yang berpandangan negative terhadap perempuan. Olel
karena itu begitu Islam menempati posisinya di dalam dunia
peradaban, kaum muslim mengadopsi adat Oikumene yang
menempatkan perempuan pada status warga kelas dua. Mereka
mengadopsi kebiasaan Persia dan Kristen Byzantium untuk menutup
wajah perempuan dan mengurungnya di dalam harem. Dengan cara
inilah akhirnya perempuan di dalam Islam terpinggirkan, dan sama
nasibnya dengan rekan mereka di kalangan masyarakat Yahudi dan
Nasrani”. Hal senada juga dikatakan Leila Ahmed dalam Women
and Gender in Islam bahwa setelah Muhammad, dimulailah proses
kematian berangsur-angsur partisipasi perempuan dalam komunitas

463
religius Islam dari sikap positif Muhammad kepada interprestasi
misogynist di kemudian hari.
Dengan membawa justifikasi agama, seperti Ar Rijalu
Qawwamuna ‘ala an Nisaa, konservatisisme yang berbasis pada
paradigma patriarkhis memaknai gender secara distriminatif dan
stuktural, menempatkan perempuan sebagai makhluk kelas dua
(second clas ) yang bersubornidasi oleh superioritas pria dengan.
Adagium seperti surga nunut, neraka katut, konco cingking, sumur,
kasur, dapur dan manak, macak dan masak yang dilekatkan pada
perempuan telah meredusir posisi perempuan hanya sekedar
menjadi the body yang potensi soulnya apalagi mind dan spiritnya
sama sekali tidak mendapat tempat.
Konservatisisme.- dengan metode skripturalisnya – menarik
Islam ke masa 15 abad yang lalu dalam merespon persoalan gender
dalam aroma Arabisme yang sangat patriarkhis. Indikasinya
interprestasi mereka terhadap konsep hijab, poligami, talak dan
lainnya cenderung bernuansa semangat penaklukan terhadap
perempuan. Oleh karena itu penolakan tentang ide kesetaraan ini
paling artikulatif dilakukan oleh kaum “Konservativ” yang pada
dasarnya merupakan gerak protes terhadap beberapa aspek dari
modernisme. Resistensi ini tidaklah mengherankan karena
konservatisisme menfokuskan diri pada gender sebagai isu utama
dan keluarga sebagai issu utama dalam upaya menanamkan tatanan
moral dan nilai yang dipercaya sebagai cetak biru yang harus
diwujudkan. Bagi gerak konservatisisme keluarga adalah menjadi
salah satu simbol utama pranata moral ideal yang keharusan untuk
kembali ke bentuk ideal keluarga merupakan prioritas tertinggi dari
agenda sosial mereka. Pada gilirannya nilai-nilai mengarah pada
pembatasan peran perempuan di sektor domestik dan peran-peran
tradisional atau penguatan kembali sistem patriarkhi dengan laki-
laki sebagai pusat kekuasaan.
Namun dalam perspektif lain, konservatisisme ini dikatakan
sebagai manifestasi ketakutan akan perubahan. Feminis yang
memperjuangkan kebebasan perempuan, reformasi pola relasi dan

464
kuasa antara laki-laki dan perempuan di lingkungan pribadi,
keluarga dan publik dilihat sebagai ancaman dan antitesa serta
bentuk dekonstruksi terhadap kemapanan tradisi, institusi keluarga
dan ideologi patriarkhi yang akan menggoyahkan otoritas patriarkhi.
Feminisme dalam perspektif konservatif diasumsikan sebagai
budaya tandingan (Counter Culture) karena menggugat dan
mengkritisi nilai-nilai baku yang dipandang aksiomatik (badihi)
selama ini sebagai bentuk peringatan bahwa pranata sosial yang
berlaku sedang goyah, sistem pendukung kultural mitos dan simbol
tidak lagi menghegemoni.
Kemudian dalam konteks kekinian, neo konservatisisme
Islam kembali muncul dengan kemasan yang lebih akademis dan
ilmiah sebagai kultur tandingan terhadap gerak modernisme. Gaya
hidup global telah menyebabkan krisis moral dan spiritual serta
meningkatnya patologi sosial di tingkat lokal, dan semuanya
ditimpakan pada perempuan yang berkiprah diluar rumah sebagai
penyebabnya. Hal ini cukup meresahkan, karena pada tingkat
tertentu konservatisisme menginginkan terealisasinya kultur Islam
dengan disertai dengan domestifikasi perempuan yang tidak
proporsional.

Pandangan Moderat
Keadilan gender pada hakekatnya sudah tercermin sejak
periode awal Islam. Sejak zaman Nabi Saw. banyak wanita
menduduki posisi penting. Khadijah yang juga istri Nabi misalnya,
adalah seorang komisaris sebuah kongsi dagang. Begitu juga
Aisyah., seorang wanita muslim pertama yang menuntut dan
menjalani karir politik. Kecerdasan Aisyah sangat kentara. Ia
mempunyai pengetahuan fikih yang luas dan termasuk di antara
barisan orang-orang yang paling terdidik. Islam telah mengakhiri
praktek-praktek diskriminasi dan pelecehan terhadap perempuan
yang terjadi pada masa itu.
Pada masa Muhammad, perempuan menjadi bagian dari
sebuah masyarakat yang kritis karena Muhammad tidak pernah

465
membuat garis perbedaan antara laki-laki dengan perempuan dalam
hal ilmu pengetahuan seperti dalam hadis "Menuntut ilmu adalah
kewajiban setiap muslim lelaki maupun perempuan". Dalam sebuah
hadis Imam Bukhari, Aisyah pernah memuji semangat para
perempuan Anshar dalam menuntut ilmu. "Perempuan terbaik
adalah mereka dari Anshar, mereka tidak pernah malu untuk selalu
belajar agama," katanya.
Will Durant, seorang sejarawan Barat terkemuka, mengakui
jasa Muhammad dalam meningkatkan dan memperbaiki hak-hak
wanita. Menurutnya, perlakuan yang ditunjukkan oleh Nabi
terhadap kaum perempuan sungguh-sungguh berbeda dengan
perlakuan masyarakat Arab saat itu menempatkan perempuan pada
strata social urutan paling bawah..
Pada masa Nabi posisi perempuan justru mengalami
mobilitas vertikal. Gerak dan kesempatan perempuan untuk
berpartisipasi dalam berbagai bidang, khususnya bidang keilmuan
terbuka luas. Sumbangan perempuan bahkan sangat signifikan
dalam upaya transformasi masyarakat ke arah yang lebih egaliter.
Dalam seting social-kultur Arab yang sangat paternalistic, apa yang
dilakukan Muhammad adalah sangat revolusionar dan sangat
modern
Islam telah membawa semangat reformasi, transformasi dan
liberasi yang membebaskan perempuan dari praktek-praktek
dehumanisme dan feodalisme.. Ketika exsistensi perempauan sama
sekali tidak mendapat tempat dimasyarakat, Muhammad telah
menempati laki dan perempuan pada kedudukan yang ekuvalin
(Lihat QS Taubat 71, Annisa124 ). Secara empiris, penghormatan,
pengakuan dan penghargaan terhadap existensi perempuan
dicontohkan Muhammad dengan memposisikan isteri-isterinya
sebagai patner perjuangannya, sebagai tempat saring intelektual,
moral dan spiritual yang saling berbagai tugas dalam memenangkan
dakwah. Dalam konteks ini salah satu isteri Hitler berkata “
sesungguhnya sistem poligami adalah salah satu faktor terbesar
dalam mewujudkan keberhasilan dan kemenangan Muhammad.

466
Untuk itu setelah perang ini aku tidak akan ragu-ragu untuk
membujuk Hitler agar mewajibkan poligami kepada masyarakat
Jerman untuk menggantikan jutaan laki-laki yang menjadi korban
perang”.
Dengan fakta sejarah tersebut, pandangan modernis meyakini
bahwa spirit Islam yang dibawa Muhammad adalam membebaskan
perempuan. Secara histories dikatakan bahwa perubahan yang
dilakukan oleh Rasulullah berjalan secara gradual disesuaikan
dengan kondisi masyarakat Arab pada waktu itu. Meski demikian
perubahan gradual itu dalam konteks historis dan cultural mestinya
berjalan terus dan tidak berhenti ketika Muhammad wafat. Karena
menurut pandangan ini, pola dialektika ajaran Islam menganut asas
penerapan bertahap (relatifering process), karenanya di dalam
memposisikan perempuan, dalam prakteknya tidak dapat
sepenuhnya merujuk kepada pengalaman di masa Nabi. Meskipun
nabi telah berupaya semaksimal mungkin untuk mewujudkan gender
equality, tetapi kultur masyarakat saat itu belum kondusif. Wahyu
baru saja selesai turun ketika Nabi wafat, maka Nabi tidak sempat
menyaksikan blueprint ajarannya sepenuhnya terwujud. Terlebih
kedudukan perempuan yang berkembang dalam dunia Islam pasca
Nabi tidak bisa dijadikan rujukan, karena bukannya semakin
mendekati kondisi ideal tetapi malah semakin jauh. Dengan
demikian pemaknaan ulang harus dilakukan terhadap beberapa isu
perempuan di dalam Islam seperti poligami, waris, persaksian, hijab,
kepemimpinan dan lainnya.
Ayat-ayat dengan beberapa tema diatas tidak harus dipahami
sesuati teks tertulisnya tetapi harus dipahami sesuai dengan spirit
“pembebasan” yang dalam prakteknya bisa disesuaikan
penerjemahannya sesuai dengan konteks perkembangan jaman. Hal
itu harus dilakukan, karena menurut pandangan ini, Allah telah
pemberikan otoritas kepada umat Islam untuk merefleksikan nilai-
nilai unuversal al-Qur’an dalam prespektif kekinian dan kemudian
mefungsikannya dalam realita empirik sehari-hari secara dinamis

467
dan progresif agar fungsi al Qur’an sebagai sumber nilai dan norma
tidak mengalam stagnasi tetapi tetap relevan dengan zaman.
Secara praksis, pandangan modernis tidak menjebak
perempuan pada pilihan dilematis antara dunia public dan domestic,
namun tetap melihat keefektifan kedua peran tersebut. Peran
domestic berarti perempuan berada di belakang layar “ kebesaran “
laki-laki, namun justru ia tidak menjadi populer dengan perannya.
Seringkali keberhasilan perempuan disektor ini malah memperkuat
dominasi “kekuasaan laki-laki” disektor publik. Karenanya –
menurut pandangan modernis ini - hendaknya fungsi domestikasi
perempuan tidak dijadikan pelengkap keperkasaan laki-laki.
Peletakan perempuan dalam satu sektor domestik saja tanpa
mempertimbangan semua aspek yang melatarbelakanginya
merupakan upaya marginalisasi laki-laki terhadap seluruh potensi
perempuan. Karenanya teks-teks agama tidak boleh ditafsirkan
untuk melegitimasi otoritas kemaskulinan yang membagi peran
keduanya secara dikotomis : publik dan domestik. Argumentasi
“public milik laki-laki dan domestic milik perempuan” ini secara
kontekstual telah menyalahi kodrat kemanusiaan. Kelahiran Hawa
yang lebih kemudian dari Adam bukan berarti hawa lebih rendah.
Tak ada dominasi atau resesivitas dalam hubungan gender.
Keduanya komplementer.

Pandangan Liberal
Pandangan liberal berasumsi bahwa kebebasan dan
keseimbangan berakar pada rasionalitas. Bagi mereka
keterbelakangan perempuan yang terjadi selama ini disebabkan
karena perempuan bersikap irasional dan berpegang teguh pada
nilai-nilai tradisional agama, tradisi, dan budaya. Sikap seperti ini
mengungkung perempuan dalam dunia domestik yang tidak
produktif. Karenanya keterlibatan perempuan dalam dunia publik
mutlak adanya. Menurut mereka keterlibatan perempuan dalam
industrialisasi dan modernisasi adalah jalan yang harus ditempuh
untuk meningkatkan status perempuan.

468
Pandangan liberal dalam pemikiran Islam muncul karena
adanya pengaruh fenimisme barat. Pandangan ini berkeyakinan
bahwa jika selama ini perempuan selalu berada.
Dibawah dominasi laki-laki, maka saatnya kini perempuan
menggugat dominasi laki-laki. Pandangan ini berusaha mengkritisi
kembali nilai-nilai kemapanan (status quo) bahkan menggugat juga
wilayah-wilayah aksiomatik (badihi) dalam Islam. Mereka bergerak
dalam usaha mengubah hokum agama yang dianggap merugikan
perempuan karena berkeyakinan bahwa akar ketertindasan
perempuan adalah adanya tradisi dan hokum agama yang membatasi
perempuan dari kesusksesan dunia public. Karena itu solusinya
adalah ia harus diberi hak yang sama di semua aspek kehidupan. .
Pandangan ini disatu sisi meluluhlantakan suatu sistem
dominasi tapi disisi lain meneguhkan sistem dominasi yang lain. Ini
tentu bukanlah jalan tengah yang mencari keseimbangan dan
kesetaraan yang adil dalam hal kedudukan dan peran masing-masing
jenis, laki-laki dan perempuan melainkan justru memunculkan
model ketimpangan dan ketidakharmonisan social lainnya.
Menanggapi fenomena ini, Nazarudin Umar mengatakan,
bahwa Barat belakangan mulai mengendur dalam soal gender,
sebaliknya sejumlah umat Islam yang justru bersikap lebih Barat.
Dalam Islam kata Nazarudin, masalah gender sebenarnya sudah
sangat jelas, yakni semangat Islam memuliakan wanita. Dalam
Islam, laki-laki dan perempuan dipandang sama-sama memiliki
kelebihan sementara gender yang diperjuangkan Barat, sebenarnya
tidak menguntungkan kepada kaum perempuan.

469
Sumber Referensi

Tahido Yanggo Huzaemah, Fikih Perempuan Kontenporer. Ghalia


indonesia, Bogor
Sadli Saparinah, Berbeda Tetapi Setara, Kompas. Jakarta
Indar Parawansa Hofifah, Mengukur Paradigma Menembus Tradisi.
LP3ES : Jakarta
Sopiah Pipih, Kaum Perempuan Menggugat. Cipta Dea Pustaka :
Jakarat
Dr. M Haitsan Al-Khayyath, Problematika Muslimah Di Era
Modern. Erlangga, Jakarta.
Ahmed El-Chdrie Hakam, Fiqih Perempuan. Ar-Raudhah. Jepara
Puspitawati Herien. Konsep, Teori Dan Analisis Gender, Jurnal
ekologi manusia
Jannah Nasyithotul. Implementasi Konsep Gender Dalam Pemikiran
Islam. Jurnal Gender

470
Oleh: Seni Ardina_1148030210_3-F

Pembahasan mengenai wanita memang selalu menjadi topik


yang hangat untuk di perbincangkan oleh berbagai kalangan
khusunya di kalangan politisi dan akademisi. Segala bentuk
diskriminasi yang terjadi terhadap wanita menjadi kajian yang
sangat menarik untuk di diskusikan. Pembedaan masyarakat
terhadap peran dan fungsi laki-laki dan perempuan yang
menimbulkan ketidaksetaraan sehingga memunculkan persoalan.
Seorang aktivis wanita bernama Muthia Esfand mengatakan bahwa
penyebab yang paling dominan terjadinya marginalisasi terhadap
wanita tentunya adalah cara pandang mengenai perempuan itu
sendiri yang dianggap selalu menjadi kaum kelas kedua dengan
segala persepsi terhadap keterbatasan yang dimiliki oleh perempuan
seperti kelemahan fisik, mental, dan tingkat intelektualitas yang
diyakini menjadi sesuatu yang bersifat bawaan yang melekat pada
diri setiap perempuan57.
Dalam sosiologi, wanita sebagai suatu objek study banyak
diabaikan. Hanya di bidang perkawinan dan keluarga ia dilihat
keberadaannya. Kedudukannya dalam sosiologi bersifat tradisional,
sebagaimana pandangan masyarakat pada umumnya bahwa tempat
wanita adalah di rumah. Karena latar belakang budaya, perempua
selalu diposisikan sebagai warga kelas dua, mengerjakan pekerjaan
domestic dan tidak biasa mempunyai peran publik.
Definisi mengenai diskriminasi terhadap perempuan dimuat
dalam Pasal 1 Konvensi Perempuan: “istilah diskriminasit terhadap
perempuan’ berarti setiap pembedaan, pengucilan atau pembatasan
yang dibuat atas dasar jenis kelamin, yang mempunyai pengaruh
atau tujuan untuk mengurangi atau menghapus pengakuan,
penikmatan atau penggunaan hak-hak asasi manusia dan kebebasan-

57
Shu, Rita. Thanks God I’m A Women. (Kelompok
Gramedia: 2012)

471
kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, social, budaya, sipil
atau apapun lainnya oleh perempuan, ter;epas dari status perkawinan
mereka, atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan.”
Suatu tindakan proaktif, seperti melarang perempuan
melakukan suatu jenis pekerjaan tertentu dapat dianggap sebagai
suatu tindak diskriminasi, karena dalam jangka panjang dapat
bertentangan dengan kepentingan perempuan.
Diskriminasi juga terjadi pada wanita yang bekerja di ruang
publik. Diantaranya (1) Tawaran gaji yang lebih rendah dari pekerja
laki-laki, meskipun wanita tersebut memiliki kemahiran setara
dengan pekerja laki-laki (2) Wanita seringkali di letakkan di dalam
struktur yang paling rendah dalam organisasi yang terlibat (3)
wanita tidak akan di tawarkan kerja apabila didapati sedang dalam
keadaan mengandung, menurut pendapat para direktur (bos) hal ini
hanya akan menaikkan kos organisasi (4) Pekerja wanita juga
dianggap tidak mempunyai keupayaan dalam pengurusan serta
kepimpinan, lantas mengurangi peluang untuk kenaikan pangkat
serta peluang-peluang untuk menjalani latihan. (5) dan yang paling
ironi adalah pelecehan yang dialami wanita oleh rekan kerja maupun
bos mereka sendiri.
Mitos-mitos sebegini sememangnya akan menjadi motif
utama berlakunya diskrimanasi terhadap wanita. Perkara ini juga
akan menimbulkan kesan emosi negatif kepada pekerja wanita jika
dibiarkan berleluasa. Akibatnya pekerja wanita tadi akan mengalami
kerendahan motivasi untuk bekerja, lantas mengurangkan
produktiviti dan prestasi kerja. Kewibawaan seseorang wanita itu
juga mungkin akan tercabar sekiranya perkara seperti ini berlaku
dalam organisasi mereka. Budaya kerja yang mendiskriminasikan
pekerja wanita ini pula kebiasaannya akan mempengaruhi
kakitangan yang telah lama bekerja. Oleh itu akan terjadi situasi-
situasi, yang mana pekerja lelaki senior merasakan dia tidak perlu
hormat atau akur dengan arahan daripada ketua wanita. Ini akhirnya
akan mewujudkan persekitaran kerja yang tidak sihat dan semangat
cintakan organisasi tidak dapat dipupuk.

472
Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of
Discrimination Against Women) adalah salah satu perjanjian
Internasional tentang Hak Asasi Manusia (HAM) yang diterima oleh
Majelis Umum PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) pada 18
Desember 1979. Negara Republik Indonesia telah meratifikasi
Konvensi ini melalui UU No. 7/1984. Konsekuensi dari ratifikasi ini
mewajibkan Indonesia untuk menjamin pemenuhan serta
perlindungan hak asasi perempuan sebagai bagian dari hak asasi
manusia, baik di bidang sipil, politik, hukum, ekonomi, sosial, dan
budaya, dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara. Indonesia pun terikat secara hukum pada amanah
Konvensi CEDAW yaitu memastikan pelaksanaan tiga prinsip yaitu:
(a) Persamaan Substantif; (b) Non Diskriminasi; dan (c) Kewajiban
Negara.
Prinsip persamaan substantif mengakui adanya perbedaan
kondisi dan situasi hidup perempuan dan laki-laki, dimana
perempuan lebih rentan mengalami diskriminasi melalui perbedaan
ketubuhannya dibanding laki-laki. Diskriminasi dapat dialami
langsung atau merupakan kelanjutan dari berbagai tindakan
diskriminatif di waktu yang lalu. Untuk menanggulanginya,
persamaan substantif menggunakan pendekatan korektif melalui
tindakan khusus sementara (temporary special measures) dan
perlindungan maternitas. Prinsip non diskriminasi memastikan
bahwa negara wajib menghapuskan segala bentuk diskriminasi yang
dialami perempuan baik di ranah domestik maupun publik.
Prinsip kewajiban negara mendorong negara untuk
mengimplementasikan CEDAW dengan mengambil langkah-
langkah dan kebijakan bagi penghapusan segala bentuk diskriminasi
terhadap perempuan, serta membangun dan mengembangkan sistem
hukum yang menjamin pelaksanaan hak-hak perempuan. Selain itu,
negara-negara pihak yang telah meratifikasi Konvensi CEDAW
diwajibkan untuk menyerahkan laporan kemajuan secara berkala
kepada Komite CEDAW, setiap empat tahun sekali. Komite

473
CEDAW akan memberikan komentar penutup (concluding
observations) yang berisi saran-saran Komite CEDAW tentang
upaya-upaya yang perlu dilakukan oleh negara-negara pihak,
terutama dalam mengatasi isu-isu diskriminasi yang krusial di
negaranya.
Diskriminasi terhadap perempuan menyebabkan
terhalanginya perempuan, anak, dan pada akhirnya masyarakat,
untuk mencapai kualitas kehidupan terbaik, menyulitkan kerjasama
yang setara dan saling menghormati di antara perempuan dan laki-
laki, yang pada gilirannya, menyulitkan penghapusan kemiskinan,
pembangunan yang berkesadaran lingkungan, dan berbagai hal lain
di banyak sektor kehidupan. Diskriminasi terhadap perempuan
menyebabkan banyak anggota masyarakat, dalam hal ini
perempuan, yang memiliki potensi sama besar atau lebih baik
daripada laki-laki, terhalangi untuk memberikan sumbangannya
yang maksimal dalam kehidupan keluarga, bermasyarakat, dan
bernegara.
Dalam tulisannya Ritha Shu mengatakan bahwa wanita dan
pria itu memang berbeda. Bukannya lebih baik tau lebih buruk ,
hanya berbeda. Satu-satunya persamaan diantara pria dan wanita
adalah berasal dari jenis yang sama, yaitu manusia. Penelitian yang
dilakukan oleh Ritha pada abad ke-20 menunjukkan bahwa bayi
wanita dibentuk oleh lingkungan, orangtua maupun guru-gurunya
dengan nuansa yang lebih feminin. Sejak pada masa purba terdapat
perbedaan dari segi pekerjaan antara pria dan wanita. Pria berburu,
sedangkan wanita mengumpulkan. Pada abad ke-21 peranan wanita
menjadi lebih bervariasi, tidak hanya sebagai pengumpul dan
pengasuh saja namun sudah banyak yang mengejar karir dan
dipandang setara dalam pendidikan dan bidang pekerjaan.
Perbedaan selalu dikonstruksikan oleh proses-proses sosial
dan pola perbedaan ini melahirkan sistem-sistem ketidakdilan dan
privilsese58. Di dalam tulisan Peggy McIntosh, White Privilege and

58
KBBI, Privilese berarti hak istimewa

474
Male Privilege”, terlihat nyata adanya “paket istimewa yang terberi”
dimana ras kulit putih dapat menikmatinya dan menggunakannya
kapan saja tanpa perlu dipertanyakan lagi. Sistem seperti diatas,
memfasilitasi ketidakadilan, subordinasi59, dan dominasi termasuk
rasisme; berdasarkan kelompok etnis tertentu dan juga seksisme
berdasarkan jender tertentu.
Apakah hak dan kewajiban wanita dan pria sama? Maka saya
berpendapat bahwa, tidak sepenuhnya sama. Mungkin benar jika
wanita punya hak untuk memperoleh pendidikan yang sama dengan
pria. Mungkin benar jika wanita memiliki hak untuk diperlakukan
sama di muka hukum negara ini. Tapi untuk sebagian kasus lain,
hak dan kewajiban mereka tidak bisa disamakan. Mengapa hak
wanita berbeda dengan pria? Karena memiliki kewajiban yang
berbeda. Kewajiban yang berbeda melahirkan hak yang berbeda
pula
Salah satu teori yang berasumsi bahwa wanita itu lebih lemah
dari kaum pria adalah teori nature. Teori ini beranggapan bahwa
sudah menjadi kodrat wanita menjadi lebih lemah dan karena itu
tergantung kepada laki-laki dalam banyak hal untuk hidupnya.
Anak-anak dan perempuan dikategorikan sebagai budak-budak oleh
Aristoteles. Laki-laki dewasa menguasai budak karena budak
memang dikodratkan untuk menjadi budak. Maka istilah gender
disini menjadi sebuah persoalan ketika salah satu kaum merasa
termarginalkan. Sebagai contoh yakni tentang kekerasan dalam
pacaran. Ketika pacaran, wanita seringkali mengalami pelecehan
dan kekerasan. Padahal di dalam hubungan yang beratas namakan
cinta, tidak sepatutnya terjadi kekerasan dan pelecehan.
Pada masa Jahiliyah (sebelum Islam), masyarakat Arab
memandang wanita sebagai makhluk yang berkedudukan sangat
rendah. Bangsa Arab Jahiliyah menerima kehadiran wanita dengan

59
Ibid, subordinasi berkaitan dengan kedudukan bawahan,
sehingga yang satu terikat kepada
yang lain

475
dua cara yang berbeda. Mayoritas mereka menguburkan anak
wanitanya hidup-hidup, sebab seiring dengan itu mereka
beranggapan terkuburjugalah segala aib yang menimpa dirinya.
Tradisi lainnya, yaitu dengan tetap memelihara anak itu, namun
dilakukannya secara tidak adil dan jauh dari nilai-nilai insaniyah
(kemanusiaan).
Para filsuf sudah banyak yang berteori membenarkan
mengapa perempuan harus ditindas. Seorang ilmuwan Bram Brocca
(1862), yang mengasosiasikan bentuk otak perempuan lebih kecil
dari laki-laki yang nantinya akan berdampak pada tingkat
kecerdasan yang berbeda pula60. Di perkuat dengan teori Aristoteles
yang mengatakan perempuan itu ½ (setengah) dari manusia,
dikategorikan sebagai anak-anak, tidak dewasa dan tidak mungkin
menjadi pemimpin61. Hal ini terbukti di kalangan masyarakat yang
menilai bahwa perempuan itu tidak pantas menjadi pemimpin akan
tetapi tanpa alasan-alasan yang rasional. Keadaan demikian yang
nantinya akan menjadi sebuah kebiasaan yang membudaya dan
terpatri dalam benak setiap masyarakat.
Seorang pembela hak atas kesetaraan wanita adalah siapa
yang kita kenal sebagai ibu Kartini. Beliau merupakan pelopor yang
meminta agar keberadaan wanita tidak dipandang sebelah mata oleh
masyarakat. Salah satu isi surat Kartini tahun 1902 :

“Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan


pendidikan anak-anak perempuan, bukan sekali-kali,
karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu
menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya,
tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar
sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap

60
Gadis Arivia. Feminisme: sebuah kata hati. (Buku
Kompas:2006) hlm. 178
61
Ibid, hlm. 179

476
melakukan kewajibannya; menjadi ibu, pendidik
manusia yang pertama-tama.”

Tentu tidak dapat disangkal bahwa Kartini di dalam


pemikiran nya banyak melontarkan kritik pedas terhadap orang
kolonial. Kedua, Kartini juga sangat menentang diskriminasi
terhadap perempuan, suratnya tanggal 23 Agustus 1900,
mempermasalahkan hal ini:
“Yang pertama dan utama, aku akan menghapus adat
kebiasaan buruk yang lebih memihak anak laki-laki
daripada anak perempuan. Kita tidak seharusnya
terkejut akan sifat laki-laki yang memikirkan diri
sendiri saat kita menyadari bagaimana, sejak kecil dia
sudah dimenangkan dari perempuan, adiknya. Dan
sudah semasa kanak-kanaknya laki-laki sudah diajari
untuk merendahkan perempuan”.

Kesetaraan pendidikan yang di cita-citakan Kartini


hanyalah sebatas cita-cita pnerahan yang ia memperjuangkannya
dalam ruang lingkupnya, mengenal dan bergumul dengan kaum
perempuan Jawa yang tertindas, tidak pula terbesit olehnya untuk
mengajari mereka membaca. Kartini berhenti pada kata “kasihan”
untuk mayoritas perempuan Jawa yang bodoh. Kritiknya terhadap
poligami tidak terwujud secara nyata. Akhirnya dia mengalah untuk
dinihkan kepada pria yang telah beristri dan mati karena melahirkan
di usia yang masih muda, 24 tahun.
Komitmen Pemerintah dalam mencapai kesetaraan dan
keadilan gender sudah lama tersurat dalam konstitusi UUD 1945
yang menjamin dan melindungi hak asasi manusia tanpa adanya
pembedaan baik ras, agama, jenis kelamin maupun gender. Pada
tahun 1984, Pemerintah Indonesia meratifikasi “konvensi
perempuan” yakni Convention on the Elemination of All Forms of
Discrimination Againts Women (CEDAW) menjadi undang-undang
No. 7 th 1984. Di masa reformasi setelah GBHN ditiadakan, untuk

477
tetap melanjutkan perjuangan mencapai kesetaraan dan keadilan
gender Pemerintah kemudian mengeluarkan Instruksi Presiden No. 9
tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam
Pembangunan Nasional dan surat Keputusan Kemendagri No. 132
tahun 2003 tentang pedoman umum pelaksanaan pengaruh peranan
gender dalam pembangunan di daerah sebagai tindak lanjut dari
Inpres.
Mengapa perlu RUU kesetaraan dan keadilan gender? Alinea
keempat pembukaan UUD 1945 mengandung arti filosofis yaitu
Negara menjamin hak setiap orang dan berkewajiban untuk
melindungi hak tersebut dari perilaku diskriminatif. Selain itu kata
keadilan sosial juga dapat dimaknai bahwa setiap proses dan hasil
pembangunan harus dapat dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia
baik laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu, RUU KKG secara
filosofis telah sejalan dengan apa yang telah diamanatkan oleh
Pembukaan UUD 1945 sebagai cita-cita bangsa dan Negara. Dengan
adanya RUU KKG diharapkan tanggung jawab sosial baik
pemerintah, swasta maupun masyarakat terhadap kesetaraan dan
keadilan gender akan semakin meningkat.
Selama ini peraturan perundang-undangan yang mengatur
secara spesifik mengenai kesetaraan dan keadilan gender masih
berbentuk Instruksi Presiden (selain UU konvensi CEDAW).
Berdasarkan UU No. 12 tahun 2011, kedudukan instruksi presiden
tidak ada dalam struktur peraturan perundang-undangan dan sudah
dipastikan kekuatan hukumnya jauh berada dibawah undang-
undang. InPres No. 9 tahun 2000 ini juga hanya mengikat dan
mengatur pemerintah eksekutif saja. Ini artinya komitmen
Pemerintah mengenai PUG baru berlaku pada ranah eksekutif,
sedangkan legislatif dan yudikatif belum ada. Dengan membentuk
Undang-undang Kesetaraan dan Keadilan Gender bukankah akan
semakin memperluas usaha pengarusutamaan gender baik
pemerintah dalam artian luas (eksekutif, legislative dan yudikatif)
serta masyarakat dan swasta.

478
Dalam buku gadis arivia, disebutkan bahwa perempuan
terbelakang dalam pendidikan. Hal ini dibuktikan dengan angka
partisipasi sekolah yang rendah. Di tingkat SD (Sekolah Dasar)
tercatat secara umum lebih banyak laki-laki yang bersekolahdi tahun
ajaran 1999/2000 dengan rerata perbandingan ke-26 provinsi 51,68
persen untuk laki-laki dan 48,32 persen untuk perempuan. Data
statistik dari “Indonesia Educational Statistics in Brief”
memaparkan bahwa ketimpangan partisipasi sekolah antara laki-laki
dan perempuan yang paling menolok terdapat di provinsi Maluku,
Jawa Timur, Lampung, dan DKI Jakarta. Sedangkan perbedaan
yang tipis terdapat di provinsi Kalimantan Tengah, DI Aceh,
Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Selatan. Kurangnya pendidikan
terhadap wanita berdampak pada rendahnya tingkat partisipasi
wanita di publik.
Kesenjangan gender juga dapat dilihat dari banyaknya
perempuan yang menjadi korban kekerasan dibandingkan dengan
laki-laki baik dilingkungan publik dan bahkan domestik. Pada tahun
2011 Komnas Perempuan melaporkan bahwa kasus kekerasan
terhadap perempuan mengalami peningkatan berkisar 13,32% yakni
mencapai 119.107 kasus dari tahun lalu yang mencapai 105.103[4].
Kasus kekerasan terhadap perempuan seringkali terjadi pada
lingkungan yang seharusnya menjadi lingkungan teraman yaitu
rumah tangga dan seringkali dilakukan oleh orang terdekat atau
keluarga. Pada lingkungan publik, perempuan juga sering menjadi
objek eksploitasi seperti korban perdagangan, kekerasan oleh
majikan, korban pemerkosaan dan sebagainya. Hal ini tentu saja
menunjukkan betapa pengetahuan dan pemahaman perempuan
mengenai hak-haknya masih rendah. Oleh karena itu, menjadi tugas
Negara untuk meningkatkan pemahaman dan pengetahuan sekaligus
melindungi hak-hak perempuan dengan membentuk Undang-
Undang Kesetaraan dan Keadilan gender.
Undang-Undang Kesetaraan dan Keadilan Gender juga
diperlukan dalam mendorong upaya sementara dalam peningkatan
kepemimpinan perempuan diberbagai bidang. Sebagai contoh upaya

479
sementara ini telah dilakukan dalam peningkatan keterwakilan
perempuan di lembaga perwakilan pusat maupun daerah dengan
kebijakan kuota 30%. Meskipun kuota tersebut belum terpenuhi
namun jumlah keterwakilan perempuan mengalami peningkatan.
Kebijakan upaya sementara ini tidak hanya dibutuhkan pada
lembaga perwakilan saja, jumlah kepemimpinan perempuan pada
eksekutif dan judikatif juga memerlukan dorongan dan dukungan
tersebut.
Tingkat kekerasan terhadap perempuan, menurut laporan
yayasan pemberdayaan perempuan PBB hingga hari ini masih tetap
tinggi. Sudah saatnya kini untuk memerangi diskriminasi gender.
Komentar Grahame Lucas.
Aksi kekerasan terhadap perempuan bukan masalah Utara-
Selatan atau Barat-Timur. Melainkan sebuah fenomena global.
Daftar aksi kekerasan, pelecehan seksual dan diskriminasi gender
amat panjang, dan setiap hari bisa terus ditambah dengan fakta dan
data baru.Di era sosial media dan internet, kita bisa dengan mudah
memonitor pola aksi kekerasan dan penganiayaan terhadap kaum
perempuan. Juga sialnya, setiap hari kita bisa memantau makin
banyak contoh dari kebiasaan yang mengerikan itu.
Walau di banyak negara hukuman bagi pelanggaran hak-hak
perempuan makin berat, tapi nyaris tidak ada bukti bahwa perilaku
pria terhadap perempuan juga mengalami perubahan, khususnya di
negara dimana lelaki dianggap lebih berkuasa. Di India perkosaan
massal sulit dituntaskan lewat jalur hukum. Di Nigeria, milisi Boko
Haram menculik ratusan anak gadis yang dipaksa kawin dengan
mereka. Milisi Islamic State di Suriah dan Irak memaksa perempuan
lain agama atau beda mazhab jadi budak seks atau pelacur.
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menyebut kesetaraan
hak perempuan sebagai melawan hukum alam. Di Saudi Arabia
perempuan juga dilarang menyetir mobil. Penolakan mengakui hak-
hak dasar kesetaraan gender ini ibaratnya sebuah undangan untuk
melakukan kekerasan dan pelecehan.

480
Data lainnya juga sangat menggiriskan. Lebih 30 juta anak
perempuan saat ini terancam mutilasi genital, sementara sekitar 140
juta lainnya sudah mengalami hal itu. Belum lagi masalah
perkawinan di bawah umur, dimana anak perempuan yang belum
dewasa dipaksa menikah dengan lelaki yang jauh lebih tua.
Dampaknya adalah tingkat kematian ibu hamil dan ibu melahirkan
amat tinggi, serta maraknya kekerasan dalam rumah tangga.
Jadi, melihat latar belakang seperti itu, tidaklah
mengherankan jika statistik yang dilansir PBB amat
memprihatinkan. Lebih 35 persen perempuan dilaporkan pernah
sekali mengalami aksi kekerasan fisik atau seksual dalam hidupnya.
Bahkan di sejumlah negara, menurut PBB angkanya naik jadi 70
persen.
Kampanye PBB melawan aksi kekerasan terhadap
perempuan yang digelar setiap 25 November ditujukan kepada
rakyat biasa dan komunitas lokal bertujuan meningkatkan
kepedulian pada masalah ini. Media juga harus meliput dan
memberitakan sebanyak mungkin kampanye tersebut. Perilaku harus
diubah tanpa reserve.
Perempuan harus mendapat jaminan hak yang setara, peluang
yang sama dengan lelaki dan dilindungi dari aksi kekerasan serta
pelecehan. Sebab hal ini untuk keuntungan semua pihak. Riset
membuktikan, warga di negara dimana perempuan diakui setara
dengan lelaki, biasanya lebih makmur dan lebih bahagia.
Juga harus dicatat, jika aksi kampanye kesetaraan gender
semacam itu didukung oleh pemerintah dan kalangan politik,
perilaku masyarakat biasanya berubah menjadi lebih baik dan
positif. Juga kampanye butuh dukungan kaum lelaki. Tidak ada
salahnya, jika kaum lelaki juga bangga disebut sebagai feminis dan
juga bertindak selaras.
Tujuan dari pembentukan wacana kekerasan terhadap
perempuan ini adalah untuk mengakhiri atau setidaknya mengurangi
jumlah kekerasan terhadap perempuan. Tak aneh bila banyak negara
anggota PBB yang meratifikasi Deklarasi PBB tahun 1993 tentang

481
“Elimination of Violence Against Women” tersebut dan kemudian
menerbitkan berbagai ketentuan hukum nasional yang
mengkriminalkan berbagai bentuk kekerasan fisik, seksual,
psikologis dan ekonomi terhadap perempuan. Bahkan, kini
kekerasan terhadap perempuan dianggap sebagai kejahatan terhadap
hak-hak asasi perempuan.
Tapi apakah kriminalisasi atas berbagai bentuk kekerasan
terhadap perempuan tersebut akan mengakhiri atau setidaknya
mengurangi diskriminasi terhadap perempuan? Pertanyaan ini hanya
bisa dijawab kalau kita bisa secara jelas membedakan diskriminasi
terhadap perempuan dari kekerasan terhadap perempuan. Apakah
benar diskriminasi gender (dalam hal ini diskriminasi negatif, bukan
diskriminasi positif) adalah dasar dari munculnya bentuk-bentuk
kekerasan terhadap perempuan? Kalau benar demikian, maka
apakah diskriminasi gender itu bukan merupakan sebuah kekerasan?
Apakah membedakan dan menganggap peran sosial dan budaya
perempuan sebagai lebih rendah daripada pria itu bukan merupakan
kekerasan?
Pembedaan diskriminasi dari kekerasan terhadap perempuan
hanya akan membuat jumlah kekerasan terhadap perempuan bisa
berkurang (dengan syarat aparat penegak hukum memahami
berbagai ketentuan hukum tentang kekerasan terhadap perempuan
ini). Tapi hal itu tak dengan sendirinya akan mengurangi bentuk-
bentuk dan jumlah diskriminasi terhadap perempuan. Sulitnya
hukum untuk mengakhiri diskriminasi gender disebabkan oleh
kenyataan, bahwa gender bukan satu-satunya identitas yang
membentuk hubungan antara pria dan perempuan. Dalam kehidupan
sehari-hari secara konfiguratif identitas gender berperan bersama
dengan berbagai identitas yang lain―seperti orientasi seksual,
agama, etnisitas, ras, usia, status sosial, kelas sosial, usia dan
nasionalisme―saat membentuk relasi antara pria dan perempuan.
Misalnya di Indonesia seorang perempuan Tionghoa yang
mengalami kekerasan seksual di tempat kerjanya tak bisa begitu saja
menuntut pelakunya yang beretnis Jawa dan beragama Islam ke

482
pengadilan. Karena bisa jadi saat kasusnya diproses di kepolisian,
kejaksaan dan pengadilan ia mengalami kekerasan berbasis etnis dan
agama baik oleh aparat penegak hukum atau kelompok masyarakat
yang lain. Hal ini tentu tak terjadi bila korban pelecehan seksual di
tempat kerja itu adalah perempuan Jawa yang beragama Islam.
Karena―seperti yang dicatat oleh Carol Smart―hukum tak
bisa secara mudah mengakhiri diskriminasi terhadap perempuan.
Sebab bahasa dan sistem hukum yang baik adalah bahasa dan sistem
hukum yang netral terhadap para pihak yang bersengketa dan juga
netral terhadap sengketa berbasis gender. Asas praduga tidak
bersalah terhadap tersangka dan terdakwa, alat bukti dan barang
bukti akan seringkali mempersulit proses pembuktian terjadinya
diskriminasi gender. Sebab diskriminasi gender adalah nilai-nilai
yang berlaku di masyarakat dan yang mendapat pembenaran budaya
ataupun agama. Tentang hal ini Smart menulis:
 Law is undoubtedly sexist at one level. However, this
attribution did not really begin to tap the problem that law poses and
does, I would suggest, slightly misrepresent the problem. The
argument that law is sexist suggests that a corrective could be made
to a biased vision of a given subject who stands before law in reality
as competent and rational as a man, but who is mistaken for being
incompetent and irrational. This corrective suggests that law suffers
from a problem of perception which can be put right such that all
legal subjects are treated equally. This form of argument is by no
means a simplistic one. It is framed with different degrees of
sophistication from those who suggest that the introduction of
gender neutral language into law rids us of the problem of
differentiation and hence discrimination (e.g. spouse instead of wife,
parent instead of mother) to those who appreciate that
discrimination is part of a system of power relations which needs to
be addressed before the sexism can be ’extracted’. For the former,
sexism is a surface problem to be tackled by re-education
programmes and a rigorous policy of hiding visible signs of
difference. For the latter, law is embedded in politics and culture

483
and the route to fairer treatment for women lies in changes which
will allow women to occupy different positions in society so that
differentiation will become redundant.
Maka berlakunya berbagai ketentuan hukum tentang
kekerasan terhadap perempuan tidak dengan sendirinya akan
mengurangi jumlah kekerasan terhadap perempuan. Karena
diskriminasi terhadap perempuan tak hanya terjadi dalam bentuk
pembedaan gender, tapi juga dalam bentuk pembedaan identitas
orientasi seksual, agama, etnisitas, ras, status sosial, kelas sosial,
usia dan nasionalisme. Karena itu pandangan yang dikotomis
tentang diskriminasi terhadap perempuan dengan kekerasan
terhadap perempuan harus ditinjau ulang dengan memerhatikan
konfigurasi beragam identitas non-gender tersebut yang juga
berperan dalam membentuk hubungan antara pria dan perempuan.
Ada indikasi, beberapa perusahaan banyak yang memasung
hak-hak reproduksi perempuan seperti pemberian cuti melahirkan
bagi karyawan perempuan dianggap pemborosan dan inefisiensi.
Perempuan dianggap mengganggu produktivitas perusahaan
sehingga ada perusahaan yang mensyaratkan calon karyawan
perempuan diminta untuk menunda perkawinan dan kehamilan
selama beberapa tahun apabila mereka diterima bekerja. Syarat ini
pun menjadi dalih sebagai pengabdian perempuan kepada
perusahaan layaknya anggota TNI yang baru masuk.
Meskipun undang-undang memberi wanita cuti melahirkan
selam 3 bulan, yakni 1,5 bulan sebelum melahirkan dan 1,5 bulan
sesudah melahirkan, wanita yang sedang hamil atau melahirkan
masih sering dipecat atau diganti ketika sedang cuti. Hal ini terjadi
pada perusahaan yang tidak begitu baik tingkat pendapatannya.
Mereka rugi bila harus menanggung biaya atau memberikan gaji
bagi yang cuti.
Tak dipungkiri, dalam masyarakat Indonesia dan beberapa
Negara, wanita kebanyakan ditempatkan pada tugas-tugas
administrasi dengan bayaran lebih rendah dan tidak ada prospek
kenaikan jabatan. Masih ada stereotype yang ‘menjebak’ bahwa

484
wanita identik dengan “penampilan menarik”, hal ini seringkali
dicantumkan dalam kriteria persyaratan sebuah jabatan pada
lowongan pekerjaan. Pegawai perempuan sering mengalami
tindakan yang menjurus pada pelecehan seksual. Misalnya, ketika
syarat yang ditetapkan perusahaan adalah harus memakai rok
pendek dan cenderung menonjolkan kewanitaannya.
Kasus yang terbaru untuk kategori diskriminasi ini ini adalah
terjadi di Inggris. Hanya karena mengenakan busana Muslim,
banyak wanita Muslimah berkualitas di Inggris mengalami
diskriminasi dalam pekerjaan mereka. Laporan EOC menunjukkan
bahwa 90% kaum perempuan Muslim asal Pakistan dan Banglades
mendapat gaji yang lebih rendah dan tingkat penganggurannya
tinggi.
Kasus lain juga terjadi di Perancis, pada kwartal akhir tahun
2002. Seorang pekerja wanita dipecat perusahaan tempatnya bekerja
lantaran menolak menanggalkan jilbab yang dikenakannya saat
bekerja. Padahal dirinya telah bekerja di tempat tersebut selama 8
tahun. Menurut laporan BBC News, tindakan ini dipicu oleh tragedi
11 September 2001 adanya pesawat yang menabrak WTC di
Amerika Serikat.
Beberapa penyebab yang menimbulkan adanya diskriminasi
terhadap wanita dalam pekerjaan, di antaranya, pertama, adanya tata
nilai sosial budaya dalam masyarakat Indonesia yang umumnya
lebih mengutamakan laki-laki daripada perempuan (ideologi
patriaki). Kedua, adanya bias budaya yang memasung posisi
perempuan sebagai pekerja domestik atau dianggap bukan sebagai
pencari nafkah utama dan tak pantas melakukannya.
Ketiga, adanya peraturan perundang-undangan yang masih
berpihak pada salah satu jenis kelamin dengan kata lain belum
mencerminkan kesetaraan gender, contohnya pada UU No. 1 tahun
1974 tentang Perkawinan dan Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja
No. 7 tahun 1990 tentang Pengelompokan Komponen Upah dan
Pendapatan Non-upah yang menyebutkan bahwa tunjangan tetap
diberikan kepada istri dan anak. Dalam hal ini, pekerja wanita

485
dianggap lajang sehingga tidak mendapat tunjangan, meskipun ia
bersuami dan mempunyai anak.
Keempat, masih adanya anggapan bahwa perbedaan kualitas
modal manusia, misalnya tingkat pendidikan dan kemampuan fisik
menimbulkan perbedaan tingkat produktifitas yang berbeda pula.
Ada pula anggapan bahwa kaum wanita adalah kaum yang lemah
dan selalu berada pada posisi yang lebih rendah daripada laki-laki.

Sumber Referensi
Budiman, Arif. 1981. Pembagian Kerja Secara Seksual. Jakarta:
Gramedia
Esfhand, Muthia. 2012. Women Self Defense. Jakarta: Visimedia
Gadis Arivia. 2006. Feminisme: Sebuah Kata Hati. Jakarta: Buku
Kompas
Irianto, Sulistyowati. 2006. Perempuan & Hukum. Jakarta: Buku
Obor
Shu, Rita. 2012. Thanks God I’m A Women. Jakarta: Kelompok
Gramedia
Sunarijati, Ari., Djamal, Chamsiah., DKK. 2000. Perempuan Yang
Menuntun. Bandung: Ashoka Indonesia.
Sucahyono, Budi., Sumaryana, Yan. 1996. Sosiologi Wanita.
Jakarta: RINEKA CIPTA
http://www.kalyanamitra.or.id/2013/07/cedaw-dan-penegakan-hak-
hak-perempuan-di-bidang-politik-dan-kehidupan-publik-
advokasi-ruu-keadilan-dan-kesetaraan-gender/
http://www.kalyanamitra.or.id/2013/03/pentingnya-payung-hukum-
kesetaraan-gender
http://www.jurnalperempuan.org/blog/diskriminasi-kekerasan-dan-
hilangnya-hasrat-atas-kesetaraan-gender

486
“KEMISKINAN DAN PEMBERDAYAAN EKONOMI DAN
POLITIK”

BENARKAH STRATEGI WID (WOMEN IN DEVELOPMENT)


ATAU PEREMPUAN DALAM PEMBANGUNAN ADALAH
SEBUAH SOLUSI DALAM MENGATASI PERSOALAN
PEREMPUAN?

Oleh : Susanti_1148030222_3-F

Ketika berbicara mengenai perempuan dalam pembangunan


sebenarnya adalah satu tema yang menarik, ketika dahulu
perempuan dipandang tidak ikut serta dalam jalannya pembangunan,
namun pada saat ini khususnya di Negara Indonesia sudah banyak
para perempuan yang berperan dalam pembangunan, tidak hanya
dalam pembangunan kaum perempuan saja namun meliputi
keseluruhan dalam artian pembangunan Negara Indonesia.
Sebagaimana yang kita ketahui bahwa perempuan juga pernah
menduduki posisi penting dalam proses pembangunan di Indonesia.
Hal tersebut ditunjukan dengan terpilihnya Megawati Soekarno
Putri sebagai Wakil presiden kemudian pada saat ini ada mentri
perempuan, seperti Mentri Susi. Bahkan pada saat ini kaum
perempuan diberikan kesempatan untuk menduduki posisi di
kepemerintahan sebesar 30%. Hal tersebut merupakan salah satu
keberhasilan dari perjuangan yang dilakukan oleh gerakan kaum
perempuan yang menginginkan masuk dalam kepemerintahan.
Terlepas dari apa kepentingan mereka baik itu untuk
memperjuangkan hak-hak perempuan yang belum tersampaikan
ataupun adanya kepentingan-kepentingan politik. Namun apakah
keberhasilan tersebut disebabkan karena menjalankan strategi WID
(Women In Development)? Sebagaimana di Negara Indonesia
Pemerintah di daerah-daerah berkembang. Suatu keterangan umum
lainnya dari usaha-usaha pemerintah untuk membatasi partisipasi
politik adalah bahwa para elit yang memerintah di Negara-negara

487
yang baru itu sering khawatir akan hancurnya nilai-nilai kepentingan
mereka sendiri. Pertama-tama haruslah dicatat bahwa hanya sedikit
elit yang mau mengakui bahwa mereka memang membatasi
partisipasi rakyat. (Weiner. 2012: 167-l68).
Permasalahan-nya sekarang adalah meskipun kuota posisi
kepemerintahan bagi kaum perempuan telah disediakan sampai 30%
tetapi apakah kualitas sumber daya dari pada kaum perempuan itu
sendiri telah siap dan mampu menduduki posisi di kepemerintahan
atau tidak? Jika dilihat kebanyakan kaum perempuan lebih
berkontribusi pada sektor informal dari pada sektor formal.
Kemudian kebanyakan juga justru para artis-artis yang tidak
memiliki latarbelakang politik masuk ke dalam pemerintahan.
Apakah hal tersebut secara tidak langsung telah menunjukan kondisi
kualitas sumber daya perempuan yang masih kurang? Lalu apakah
dalam hal ini kaum laki-laki pun patut untuk disalahkan ketika para
perempuan menuntut untuk diberikan ruang dalam kepemerintahan
dan ketika telah terpenuhi namun kondisi kualitas sumber daya
yang dimiliki oleh kaum perempuan itu sendiri belum mencukupi,
maka kaum laki-laki pun menduduki ruang yang disediakan untuk
kaum perempuan. Bagaimana pun dalam konteks hal tersebut kaum
laki-laki tidak juga dapat disalahkan begitupun dengan kaum
perempuan. Seyogyanya ruang yang telah disediakan untuk kaum
perempuan dalam kepemerintahan juga seharusnya terlebih dahulu
didukung oleh siapnya kualitas kemampuan sumber daya yang
dimilikinya. Singkatnya, ketika kaum perempuan telah diberi
kesempatan untuk disamakan kedudukanya dengan laki-laki maka
seharusnya mempergunakannya dengan sungguh-sungguh dengan
cara meningkatkan kualitas yang dimilikinya agar dapat bersaing
dengan kaum laki-laki. Ketika yang sebenarnya yang dicita-citakan
oleh kaum perempuan dalam konteks kasus ini adalah persamaan
dengan laki-laki.
Dalam pembahasan perempuan dalam pembangunan
seyogyanya harus disisihkan terlebih dahulu dalam melibatkan
perasaan emosi sebagai seorang perempuan agar dapat melihat tidak

488
hanya pada sudut pandang perempuan saja namun juga dari sudut
pandang laki-laki. Khsusnya dalam hal ini penulis sebagai seorang
perempuan.
Artikel ini mencoba memberikan pandangan tentang WID
(Women In Development) atau perempuan dalam pembangunan,
sebagai suatu strategi pertama yang dipandang dapat mengatasi
terkait dengan persoalan perempuan. Strategi ini muncul sebelum
adanya GAD (Gender and Development), CEDAW (Convention on
the Eleminataion of all Discrimination Against Women) atau
Konvensi anti segala bentuk diskriminasi terhadap kaum
perempuan, kemudian sampai munculya GM (Gender
Mainstreaming) atau Pengarusutamaan Gender. Pengarusutamaan
gender (gender Mainstreaming) sebagaimana yang dikemukan oleh
Susilaningsih dan Najib (2004: 1) dalam bukunya yang berjudul
Kesetaraan Gender di Perguruan Tinggi Islam bahwa
pengarusutamaan gender adalah suatu strategi untuk mencapai
kesetaraan gender melalui perencanaan dan penerapan kebijakan
yang berspektif gender pada organisasi dan institusi.
Pengarusutamaan gender dianggap sebagai suatu starategi alternatif
bagi usaha pencepatan tercapainya kesetaraan gender. Strategi
tersebut sebagai suatu perkembangan setelah beberapa strategi yang
muncul sbeelumnya dianggap tidak bisa menyelesaikan persoalan
perempuan. Oleh karena itu starategi pengarusutamaan gender
muncul.
WID muncul sebagai suatu jawaban kaum
Developmentalisme atas kritik kaum feminis yang menganggap
pembangunan telah mengabaikan perempuan. Kritik pertama
muncul tahun 70-an. Serangan kaum feminis pertama atas
pandangan asumsi konvensional kaum liberal, terutama atas
pandangan mereka bahwa peningkatan teknologi membebaskan
perempuan. Dengan kata lain, Modernisasi dianggap sebagai suatu
hal yang membebaskan perempuan. Kritikan tersebut ditunjukan
dengan terbitkan-nya buku Ester Boserup yang berjudul Women’s
Role in Economic Development. Bagi Boserup, peningkatan

489
teknologi pertanian, justru telah merendahkan status perempuan,
karena menyingkirkan akses perempuan terhadap kerja produktif. Ia
membagi sistem pertanian ke dalam sistem “pertanian perempuan”
yang menggunakan teknik potong dan bakar serta pertanian
komunal dan sistem “pertanian laki-laki” yang merupakan sistem
kerja dengan pendekatan bisnis swasta, petak yang jelas, dan
penggunaan buruh tani. Di dalam sistem pertanian perempuan,
perempuan memerankan fungsi sebagai pedagang dan oleh
karenanya memiliki mobilitas geografis yang memadai sedangkan di
dalam sistem pertanian laki-laki, perempuan seringkali dipaksa
tinggal dibawah kekuasaan laki-laki. (fakih. 2012: 61)
Ketika Amerika Serikat bergerak dari masyarakat pertanian
pedesaan ke masyarakat industri, dan sekarang sistem ekonomi
multinasional pasca industry, pekerjaan wanita dalam beberapa hal
mengalami perubahan, dan dalam hal-hal lainnya tetap sama (C.
Ollenburger dan A moore. 1996: 91). Maka tidak heran menurut
Boserup sebagaimana yang telah dikutip oleh Fakih (2012:62)
berpendapat bahwa Modernisasi juga menjadi salah satu akibat yang
menghancurkan perempuan. Sebagaimana yang dikemukakakn oleh
Soekanto (2013: 304) bahwa Modernisasi mencakup transformasi
total kehidupan bersama yang tradisional atau pra modern dalam arti
teknologi serta organisasi sosial kearah pola-pola ekonomis dan
politis. Modernisasi merupakan suatu bentuk perubahan sosial,
dimana biasanya merupakan suatu perubahan yang terarah yang
didasarkan pada perencanaan atau yang dinamakan dengan Social
Planning. Modernisasi sebagai suatu konsep yang dianggap penting
dalam pembangunan. (Ranjabar. 2015: 156). Modernisasi
menyebabkan kaum perempuan semakin berkurang pekerjaan-nya
dalam sektor modern, dan seringkali jenis pekerjaan dalam sektor
modern pun tertutup bagi kaum perempuan karena steriotipe
terhadap kaum perempuan. Sebagaimana yang dikemukan oleh
Gerungan (1988: 168) bahwa stereotip yaitu suatu gambaran atau
tanggapan seseorang mengenai sifat-sifat dan watak seseorang yang
biasanya bercorak negatif. Prasangka dan diskriminasi sebagaimana

490
yang dikemukakan oleh Soelaeman (1987: merupakan kedua hal
yang saling berkaitan. Dimana seseorang mempunyai prasangka
rasial yang biasanya bertindak diskriminatif terhadap ras yang
diprasangkakannya. Tetapi dapat pula orang bertindak diskriminatif
tanpa didasari prasangka, dan sebaliknya seoranng yang
berprasangka dapat saja bertindak tidak diskriminatif. Selanjutnya
ada perbedaan, yaitu antara prsangka yang menunjukan sikap,
sedangkan diskriminatif pada tindakan. Prasangka atau prejudice
berasal dari kata latin Prejudicium, yang pengertiannya sebagai
berikut:
a. Semula diartika sebagai suatu praseden, artinya keputusan
diambil atas dasar pengalaman yang lalu.
b. Dalam bahasa inggris mengandung arti pengambilan keputusan
tanpa penelitian dan pertimbangan yang cermat, tergesa-gesa
atau tidak matang
c. Untuk mengatakan prasangka dipersyaratkan pelibatan unsur
emosiaonal (suka tidak suka) dalam keputusan yang telah
diambil

Dalam konteks rasila prasangka diartikan sebagai susuatu


sikap terhadap anggota kelompok etnis atau ras tertentu yang
terbentuk terlalu cepat tanpa suatu indikasi. Dalam hal ini
terkandung ketidakadilan dalam arti sikap yang diambilnya dari
beberapa pengalaman dan yang didengarnya. Dapat disimpulkan
bahw aprasangka itu muncul sebagai suatu akibat kurangnya
pengetahuan, pengertian dan fakta kehidupan, adanya dominasi
kepentingan golongan atau pribadi dan tidak menyadari atas
kerugian yang akan terjadi.
Dalam usaha mengatasi atau mengurangi prasangka tersebut
dilakukan dengan perbaikan kondisi sosial ekonomi, melalui
pendidikan anak, mengadakan kontrak diantara dua kelompok yang
berprasangka dan permainan peran atau role playing. Permainan
peran tersebut diartikan, orang yang berprasangka dimana untuk
berperan sebagai orang yang menjadi korban berprasangka diminta

491
untuk berperan sebagai orang yang menjadi korban prasangka,
sehingga yang berprasangka akan merasakan, mengalami dan
menghayati segala penderitaan yang menjadi korban prasangka. Dan
akhirnya ia tidak berprasangka dan tidak bertindak diskriminatif.
(Soelaeman, 1987: 299)
Pada dasarnya untuk mengendalikan yang namanya
prasangka dalam kehidupan sehari-hari apalagi meyangkut gender
yaitu antara peran laki-laki dan perempuan sulit untuk dikendalikan
karenadidalam prasangka tidak hanya melibatkan rasional tetapi
juga emosional. Tetapi bagaimanapun juga integrasi masyarakat
akan terwujud apabila manusia mampu mengendalikan prasangka
tersebut yang ada di masyarakat sehingga tidak terjadi konflik,
dominasi dan tidak banyak sisitem yang tidak saling melengkapi dan
tumbuh integrasi tanpa paksaan. Meskipun bagaimana pun caranya
manusai menghindari yang namanya konflik ketika dilihat dari
pandangan pendekatan konflik. Bahwa konflik itu akan selalu ada
dalam masyarakat namun di sisi lain bagamaima pun juga hal
tersebut harus selalu mengarah pada integritas dan keseimbangan
sebagaimana pendekatan structural-fungsioanal.
Sering terjadi konflik antara peran laki-laki dan perempuan
dikarenakan suatu prasangka diantara keduanya. Padahal suatu
prasangka adalah sesuatu yang belum tentu benar dalam
kenyataannya. Oleh sebab itu konflik anatara keduanya pun tidak
bisa dihindari. Sehingga memunculkan yang namanya diskriminasi
terhadap kaum perempuan. Diskriminasi tersebut selalu didasari
oleh prasangka-prasangka laki-laki terhadap perempuan. Prasangka
tersebut hanya melihat satu sudut pandang saja, misalnya menurut
laki-laki bahwa perempuan itu tidak harus bergabung dalam
perpolitikan karena kodrat perempuan itu hanyalah berdiam diri di
rumah, mengurus rumah tangga dan mengasuh anak. Hal tersebut
menjadi suatu steriotipe dan prasangka yang dikemukakan oleh
kaum laki-laki saja tanpa memberi kesempatan dari pada perempuan
itu sendiri.

492
Prsangka atau steriotipe tersebut menjadi suatu pelabelan
negatif terhadap kaum perempuan sehingga menyebabkan kaum
perempuan dalam sektor modern sulit untuk mendapat pekerjaan.
Akibatnya, kebanyakan kaum perempuan melakukan pekerjaan
yang semestinya tidak dilakukan seperti pelacuran. Kemudian ada
juga yang bekerja sampai ke luar negeri menjadi seorang pembantu
rumah tangga. Hal tersebut bukan lah menjadi solusi bagi
perempuan tetapi justru malah memunculkan kembali ketidakadilan
bagi perempuan. Sebenarnya yang dibutuhkan oleh perempuan
adalah pemberdayaan perempuan itu sendiri. Modernisasi yang
identik dengan perkembangan teknologi memang tidak sepenuhnya
berdampak negatif juga terhadap perempuan tetapi ada juga dampak
positifnya. Contohnya perempuan dapat mengakses dari internet
dengan berbagai kemudahan yang ada untuk mengembangkan
keahlian yang dimilikinya, misalnya: seorang perempuan yang bisa
membuat kue rumahan, bisa menjualnya secara online sehingga
memudahkan pendistribusian kue ke berbagai daerah serta
menemukan berbagai pelanggan dengan adanya kemudahan dari
teknologi internet tersebut mengakibatkan yang tadinya seorang
perempuan tersebut hanya sebagai pembuat kue rumahan bisa
menjadi mendirikan usaha yang besar dengan memperkejakan
banyak pegawai. Hal tersebut menunjukan ketika kemajuan
teknologi tersebut dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya maka
akan dirasakan pula dampak positif yang dirasakan. Tetapi hal
tersebut tidak terbatas pada perempuan saja namun juga terhadap
laki-laki. Karena yang namanya modernisasi bukan kepada lingkup
perempuan saja tetapi juga keseluruhan.
Developmentalisme atau pembangunan juga mencakup ide-
ide pendewaan politik seperti yang Nampak dalam suatu proses
pemerintahan yang stabil dan teratur berdasarkan keinginan yang
dinyatakan rakyat. Pada akhirnya ide pembangunan mengharuskan
adanya perubahan watak manusia, yakni suatu perubahan yang
merupakan alat untuk mencapai tujuan yang berupa pertumbuhan

493
yang lebih lanjut lagi, dan berbarengan dengan itu juga merupakan
tujuan besar proses pembangunan itu sendiri (Weiner. 1994:103)
WID sebagai strategi pertama yang popular pada tahun 1975-
1985. Dimana ketika pada tahun pada tahun 1974 biro WID mulai
dibuka di USAID, pada saat itulah ilmu baru tercipta. Sebagaian
besar litelatur mereka memusatkan perhatiannya kepada isu-isu
yang berkenaan dengan bagaimana cara mendorong partisipasi
perempuan dalam program pembangunan. (fakih, 2012: 59).
Agenda utama program WID adalah bagaimana caranya
melibatkan kaum perempuan dalam kegiatan pembangunan.
Asumsinya, bahwa penyebab dari keterbelakangan perempuan
adalah karena kaum perempuan tidak ikut berpartisipasi dalam
pembangunan. Dengan cepat WID menjadi satu-satunya kebijakan
di hampir semua dunia ketiga. Hal tersebut juga didukung oleh
pemerintah Amerika Serikat ketika mengungumkan “The Percy
Amandement to the 1973 Foreign Assistance Act” yang
mencantumkan perlunya perhatian terhadap perempuan dalam
pembangunan. Amandemen tersebut telah mempengaruhi PBB pada
tahun 1974 yang kemudian memproklamirkan International Decade
of Women (1976-1985). Sebagaimana yang telah dijelaskan
sebelumnya bahwa biro WID mulai dibuka di USAID pada tahun
1974, dan sejak itulah pengetahuan, kebijakan, sumber informasi,
telah diciptakan dan diekspor guna mempengaruhi jutaan nasib
perempuan di dunia ketiga. Dan sejak itu pula, hampir semua
pemerintah dunia ketiga beramai-ramai memasukkan agenda
program WID ke dalam program pembangunan masing-masing.
WID pada saat itu senantiasa selalu diajukan sebagai jawaban kaum
Developmentalisme atas kritik kaum feminis yang menganggap
pembangunan telah mengabaikan perempuan. (Fakih, 2012:59-61).
Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa WID muncul sebagai suatu
jawaban dari Developmentalisme yang mencoba memasukan peran
perempuan dalam pembangunan. Oleh sebab itu para pengikut
strategi WID menganggap bahwa permasalahan kaum perempuan
itu disebabkan karena rendahnya kualitas sumber daya perempuan

494
itu sendiri sehingga menyebabkan kaum perempuan tidak bisa
bersaing dengan kaum laki-laki dan memperoleh kesempatan yang
sama dengan laki-laki dalam program-program pembangunan. Oleh
karena itu WID muncul sebagai suatu solusi atas hal tersebut dengan
melakukan berbagai usaha untuk menghilangkan diskriminasi yang
menghalangi dalam mendidik kaum perempuan agar peningkatan
kualiatas sumber daya pun dapat tercapai.
WID melakukan usaha-usaha dengan beberapa program nya,
seperti pembangunan program PKK, proyek pemberantasan
kemiskikan dengan cara peningkatan pendapatan perempuan
kemudian dengan melibatkan kaum perempuan dalam
pembangunan. Hal tersebut dilakukan agar kaum perempuan
memiliki peran selain reproduksi di sektor domestik juga pada
sektor produktif dan publik (Susilaningsih dan Najib, 2004: 26). Hal
tersebut berlawanan dengan pendapat C. Mosse (1996: 205) yang
menyebutkan bahwa WID bertujuan untuk benar-benar menekankan
sisi produktif kerja dan tenaga perempuan khususnya dalam
menghasilkan pendapatan dan mengabaikan sisi reproduktifnya.
Menurutnya WID memfokuskan kepada suatu inisiatif, seperti
pengembangan teknologi yang lebih baik, tepat serta meringankan
beban kerja perempuan. hal tersebut sangat jelas menunjukan
pendapat tersebut berlawanan dengan yang dikemukan oleh
Susilaningsih dan Najib yang mempunyai asumsi bahwa WID
menjadikan perempuan memiliki beban ganda pekerjaan sedangkan
C. Mosse mempunyai asumsi bahwa WID akan meringkan beban
kerja perempuan. Dalam hal ini penulis memiliki pandangan ketika
di satu sisi WID menginginkan partisipasi perempuan dalam
pembangunan melalui peningkatan sumber daya yang dimilikinya
agar dapat bersaing dengan laki-laki tetapi di sisi lain WID
sebagaimana melihat dari pendapat Susilaningsih dan Najib, juga
menginginkan agar peran perempuan di akui di sektor publik dan
reproduksi dan juga di akui di sektor produktif dan publik pula.
Dengan kata lain, WID di satu sisi menginginkan adanya persamaan
dengan laki-laki tapi di sisi lain perempuan diberikan beban ganda

495
yaitu di sektor domestik dan juga publik. Dimana beban ganda
tersebut seakan memberatkan perempuan dan memungkinakan
adanya penindasan terhadap kaum peremuan dengan adanya beban
kerja tersebut. Oleh sebab itu tidak heran ketika fakih (2012: 65)
menyebutkan bahwa menurutnya gagasan WID sesungguhnya lebih
menjinakkan dan mengekang kaum perempuan dunia ketiga dari
pada membebaskannya. Berarti pada dasarnya lebih merupakan
menghindari upaya emansipasi wanita.
Pada awalnya strategi WID dianggap sebagai satu-satunya
jalan guna memperbaiki status dan nasib berjuta-juta perempuan di
dunia ketiga. Maksud dari dunia ketiga tersebut adalah suatu abad
atau zaman dimana suatu gagasan mampu mendominasi dan
mempengaruhi bangsa-bangsa secara global, yang menyangkut
gagasan pembebasan masalah kemiskinan dan keterbelakangan
rakyat. Namun dengan seiring berjalannya waktu banyak orang
yang mulai meragukan konsep WID sehingga muncul banyak kritik.
Kritik tersebut di pelopori oleh berbagai aliran feminisme, dimana
konsep WID dianggap justru malah membuat perempuan tidak
memiliki kebebasan. (Faqih. 2012:58) Hal tersebut tidak lain karena
di dalam WID itu sendiri seakan membebankan perempuan dengan
pekerjaan ganda yaitu di sektor domestik dan publik. Partisipasi
perempuan dalam pembangunan dianggap dapat meningkatkan
status perempuan, namun hal tersebut tidak sejalan dengan apa yang
ada dikenyataannya bahwa tidak setiap ketika perempuan masuk ke
dalam sektor produktif akan meningkatkan status perempuan tetapi
justru kebanyakan memanfaatkan kerja perempuan tersebut untuk
kepentingan-kepentingan lainnya. Oleh sebab itu kemungkinan
adanya ketidakadilan dalam ruang tersebut bisa terjadi. Karena
bagaimana pun posisi perempuan dalam hal tersebut berada pada
posisi yang bukan dominan dari laki-laki.
WID yang awalnya di harapkan sebagai suatu jawaban atas
kritik terhadap pembangunan (developmentalisme) juga dianggap
telah gagal menjalankan tugasnya, karena program tersebut hanya
mampu menjawab persoalan dan kebutuhan praktis jangka pendek

496
kaum perempuan. (Fakih, 2012: 26). Kebutuhan jangka pendek
kaum perempuan tersebut terkait dengan hanya pemenuhan
kebutuhan praktis kaum perempuan seperti keterlibatan kaum
perempuan dalam pengembangan program PKK, peningkatan
pendapatan perempuan dan lain-lain. Hal tersebut hanya sebatas
pemenuhan kebutuhan jangka pendek perempuan saja, tetapi untuk
jangka panjang dan bersifat stategis dipandang belum terlihat.
WID dipandang sebagai strategi yang hanya memfokuskan
kepada perempuan dan dipandang lambat dalam mengatasi
persoalan perempuan. Oleh sebab itu muncul strategi kedua yaitu
GAD (Gender And Development) dengan lebih memfokuskan pada
sistem, struktur, ideology, dan budaya hidup masyarakat yang
melahirkan bentuk-bentuk ketidakadilan yang dikenal dengan
ketidakadilan yang bersumber pada keyakinan gender.
(Susilaningsih dan Najib. 2004: 27). Dengan kata lain, GAD
mencoba mengintegrasikan gender dalam pembangunan. GAD
muncul setelah WID yang dianggap tidak dapat melakukan
pemberdayaan perempuan namun justru malah seakan
menjerumuskan perempuan kedalam beban ganda yang justru
semakin mengikat perempuan dan berpotensi adanya tindakakan
penindasan. GAD dianggap sebagai satu-satunya pendekatan
terhadap perempuan dalam pembangunan yang melihat semua aspek
kehidupan perempuan dan semua kerja yang dilakukan oleh
permepuan, yaitu kerja produktif, reproduktif, privat dan public
serta menolak upaya apapun untuk menilai rendah pekerjaan
mempertahankan keluarga dan rumah tangga atau yang lebih dikenal
dengan “pemberdayaan” (C.Mosse,1993:209). Namun GAD juga
dipandang curiga oleh banyak lembaga bantuan dan pemerintah
dunia ketiga. Pendekkatan ini mempertanyakan teori-teori yang
lazim diterima tentang apa yang dibawa oleh pembangunan daripada
sekedar pertumbuhan ekonomi dan penggunaan uang yang efisien,
serta menolak gagasan bahwa permepuan ingin diintegrasikan ke
dalam arus utama pembangunan yang dirancang Barat, dimana
mereka memiliki sedikit peluang menentukan jenis masyarakat apa

497
yang diinginkannya. Pendekatan pemberdayaan berbeda dengan
pendekatan-pendekatan lainnya dalam analisisnya terhadap asal,
dinamika dan struktur penindasan perempuan, serta bagaimana
pendekatan itu berniat mengubah posisi perempuan dunia ketiga.
Proses perubaha, dan pengaruhnya atas kesadaran orang-orang yang
menjalankan pemabngunannya, seringkali sama pentingnya dengan
perubahan itu sendri. Pemberdayaan lebih terkait dengan pendekatan
dari bawah ke atas ketimbang pendekatan dari atas ke bwah, dan
kebanyakan pemikiran tentang pemberdayan datang dari tukisan
feminis dan gerakan permepuan yang muncul di Selatan.
Pendekatan tersebut dipandang merupakan pendekatan perempuan
selatan terhadap pemangunan, ketimbang pendekatan laki-laki kulit
putih Utara. Pendekatan ini memahami tujuan pembangunan bagi
perempuan dalam pengertian kemandirian dan ekuatan internal, dan
sedikit banyak lebih mnekankan pada pembuatan undang-undang
yang berkenaan dengan kesamaan antara laki-laki dan perempuan
dari pada pemberdayaan perempuan itu sendiri untuk berusaha
mengubah dan mentransformasikan struktur yang sangat
bertentangan dengan mereka seperti undang-undang perburuhan,
control laki-laki atas tubuh dan hak reproduktif perempuan, undang-
undang sipil dan ha katas kekayaan.
Strategi kedua tersebut masih dirasa memuaskan Kemudian
sampai munculnya strategi yang ketiga yaitu GM (Gender
Mainstreaming), yang lebih memfokuskan pada Negara. Strategi
tersebut lebih menggunakan sarana advokasi, studi dan perencanaan
kebijakan. (Fakih. 2004:30)
Dari analisis WID diatas sudah terlihat apakah WID tersebut
menjadi suatu solusi bagi persoalan perempuan atau tidak. Pada
dasarnya penulis memiliki pandangan ketika dilihat dari latar
belakang munculnya WID sebagai suatu jawaban dari
Developmentalisme yang menekankan pada sebuah modernisasi
serta mengabaikan perempuan, kemudian WID muncul untuk
menjawab persoalan perempuan yang menginginkan adanya
persamaan dengan laki-laki. Oleh karena itu WID memiliki asumsi

498
bahwa penyebab keterbelakangan tidak adanya persamaan dengan
laki-laki adalah dikarenakan tidak terlibatnya perempuan dalam
pembangunan. Oleh karena itu program yang dimilikinya pun terakit
dengan bagaimana perempuan itu dapat terlibat dalam pembangunan
serta meningkatkan sumber daya yang dimilikinya. Tetapi di sisi
lain WID juga seakan membebankan ganda peran perempuan
dengan diakuinya peran perempuan dalam sektor domestik dan
publik sehingga kesempatan penindasan terhadap perempuan pun
terbilang besar serta hanya menjawab kebutuhan-kebutuhan praktis
perempuan saja. Hal tersebut menurut penulis berawal dari
pandangan awal dari WID itu sendiri yang menyebutkan bahwa
keterbelakangan perempuan disebabkan karena tidak ikut
berpartisipasinya perempuan dalam pembangunan. Oleh sebab itu
program dari WID hanya sebatas memasukan perempuan agar
terlibat dalam pembangunan. Sedangkan hal-hal yang nantinya akan
ditimbulkan nantinya seperti beban kerja yang diperoleh oleh
perempuan tidak dipertimbangkan. Dengan kata lain, WID hanya
terfokus pada hal-hal yang bersifat kebutuhan-kebutuhan praktis
perempuan saja tanpa mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan
jangka panjang yang nantinya akan diakibatkan oleh adanya WID
tersebut. Tetapi di sisi lain juga WID telah memberikan
sumbangannya dengan keterlibatan perempuan dalam pembangunan
dengan peningkatan pendapatan yang diperoleh perempuan.
Perempuan dilibatkan dalam pembangunan, dengan begitu
pekerjaan perempuan dalam bidang public akan diakui, kemudian
selain itu akan meningkatkan pendapatan perempuan. Tetapi
kelemahan lainnya WID hanya memfokuskan pada perempuan saja
tanpa membahas gender. Oleh sebab itu penulis berpandangan WID
merupakan sebuah solusi pada saat itu hanya atas jawaban dari
permasalahan developmentalisme saja. WID sebagai solusi bagi
kebutuhan praktis manusia bukan dalam jangka panjang. Namun
WID juga memiliki suatu kelemahan-kelemahan tersendiri yaitu
tanpa mempertimbangan beban kerja yang dimunculkan dari pada
strategi yang dilakukannya. WID sebagai sebuah solusi tetapi di sisi

499
lain juga dipandang sebagai suatu strategi yang justru dianggap jauh
dari emansipasi, karena perempuan tergabung dalam sektor
pembangunan bukan berdiri sebagai sebuah objek yang harus
terlibat dalam pembangunan tetapi hanya sebatas sebagai subjek.
Sehingga menurut para pengkritisi hal tersebut akan sangat
memungkinkan perempuan akan dimanfaatkan pekerjaannya oleh
kaum laki-laki.

Sumber Referensi
C. Mosse, Julia. 1996. Gender dan Pembangunan. Yogyakarta:
RIFKA ANNISA Women’s Crisis Centre.
C. Ollenburger, Jane dan A. Moore, Helen. 1996 (terj. Budi
Sucahyono dan Yan Sumaryana), Sosiologi Wanita. Jakarta:
Rineka Cipta.
Fakih, Mansour. 2012. Analisis Gender dan Transformasi Sosial.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Gerungan, W.A. 1988. Psikologi sosial. Bandung: Eresco.
Ranjabar, Jacobus. 2015. Perubahan Sosial. Bandung: Alfabeta.
Soerjono, Soekanto. 2013. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta:
Rajawali Pers.
Susilaningsih dan M.Najib, Agus. Kesetaraan Gender di
Peruguruan Tinggi Islam. Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga &
McGill.
M Soelaeman, M. 1987. Ilmu sosial Dasar. Bandung: Refika
Aditama.
Weiner, Myron. 1994. Modernisasi Dinamika Pertumbuhan.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

500
WANITA DALAM GENDER
Oleh : Weni Pitriana_1148030237_3-F

Berbicara tentang Gender pasti tidak jauh menyoroti dari


perempuan. Perempuanlah yang biasanya menjadi obyek pertama
yang menjadi bahasan dalam gender. Mengapa demikian? Sebelum
berbicara tentang gender alangkah baiknya terlebih dahulu kita
membahas apa itu definisi dari gender itu sendiri. Apa itu gender ?
kata gender dalam bahasa Indonesia dipinjam dari bahasa Inggris.
Kalau dilihat dalam kamus, tidak secara jelas dibedakan pengertian
kata sex dan gender . sementara itu, belum ada uraian yang mampu
menjelaskan secara singkat dan jelas mengenai konsep gender dan
mengapa konsep tersebut penting guna memahami sistem ketidak
adilan sosial. Untuk itu, memahami kosep gender harus dibedakan
kata gender dengan kata seks (jenis kelamin). Pengertian jenis
kelamin merupakan pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin
manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis
kelamin tertentu. Misalnya, bahwa manusia jenis laki-laki
mempunyai penis, memiliki jakala (kala menjing) dan memproduksi
sperma. Sedangkan perempuan memiliki alat reproduksi seperti
rahim dan saluran untuk melahirkan, memproduksi telur, memiliki
vagina, dan mempunyai alat menyusui atau bisa dibilang payudara.
Alat-alat tersebut secara biologis melekat pada manusia jenis
perempuan dan laki-laki selamanya. Oleh karena itu, dalam konsep
ini tidak bisa ditukarkan jenis kelamin perempuan maupun laki-laki
karena sudah melekat pada jenis perempuan dan jenis laki-laki.
Secara permanen tidak berubah dan merupakan ketentuan biologis
atau atau sering dikatakan kodrat dari tuhan. Sedangkan konsep
lainnya adalah konsep gender, yakni suatu sifat yang melekat pada
kaum laki-laki maupun perempuan yang dikontruksi secara sosial
maupun kultural. Dalam hal ini, ciri-ciri dari sifat bisa di
pertukarkan. Artinya ada laki-laki yang emosional, lemah lembut,

501
keibuan, sementara juga ada perempuan yang kuat, rasional,
perkasa. Perubahan ciri dari sifat-sifat itu dapat terjadi dari waktu ke
waktu dan dari tempat ketempat lain.
Dalam hal ini, timbullah pertanyaan dalam seputar gender
yang mana, mengapa jenis kelamin harus melahirkan perbedaan-
perbedaan gender? Dan mengapa perbedaan gender tersebut?
Perbedaan gender sesungguhnya tidaklah menjadi masalah
sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender (gender
inequalties). Namun, yang menjadi persoalan, ternyata perbedaan
gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan, baik pada kaum
laki-laki maupun pada kaum perempuan. Ketidakadilan gender
merupakan sistem dan struktur di mana baik kaum laki-laki maupun
perempuan menjadi korban dari sistem tersebut. Dalam
ketidakadilan gender termanifestasikan dalam pelbagai bentuk
ketidakadilan, yakni: Marginalisasi atau proses pemiskinan
ekonomi, subordinasi atau anggapan tidak penting dalam keputusan
politik, pembentukan stereotipe atau melalui pelabelan negatif,
kekerasan (violence), beban kerja lebih panjang dan lebih banyak
(burden), serta sosialisasi ideologi peran gender. Gender juga
merupakan produk kontruksi sosial budaya yang berhubungan
dengan peran, kedudukan, dan kebutuhan laki-laki maupun
perempuan. Selanjutnya, standpoint theory (Harding 1986; Wood
2007), menyatakan bahwa. Laki-laki dan perempuan memiliki
perspektif terpisah dan perbedaan hierarki sosial yang
mempengaruhi apa yang dilihat dan dikomunikasikan karena
perempuan dan minoritas lainnya mempersepsi dunia secara berbeda
dari kelompok yang berkuasa, yaitu laki-laki.
Sebelumnya kita harus mengerti dulu apa peran perempuan
dalam gender, Sebelum membicarakan mengenai peranan
perempuan, agar lebih memahaminya saya coba menjelaskan
terlebih dahulu mengenai “peran”, serta “perempuan” yang nantinya
akan saya jelaskan secara spesifik . Agar mudah memahami secara
lebih jelas maksud dari peran perempuan.

502
Dalam hal ini, Istilah peran mengacu pada sekumpulan
norma prilaku yang berlaku untuk sebuah posisi dalam struktur
sosial. Norma-norma yang dimaksud disini adalah sekumpulan atau
satu set ekspektasi mengenai peran yang harus ditampilkan,
bagaimana menyikapi orang lain ketika menampilkan peranannya,
sekaligus juga bagaimana seseorang menerima peran tersebut.
Dalam bentuknya yang ideal peran tampilan adalah peran yang
diharapkan ditambah dengan peran yang diterima yang kedua-
duanya bersifat pengaruh mempengaruhi atau dengan kata lain
adanya hubungan timbal balik diantara harapan dan yang diterima.
Peran berhubungan dengan status seseorang yang terpola yang
dipengaruhi oleh seperangkat harapan orang lain dan yang
ditampilkan oleh orang lain yang bersangkutan. Pelaksanaan peran
ini dipengaruhi oleh citra (image) yang ditampilkan oleh seseorang
yang bersangkutan. Dengan demikian peran adalah budaya yang
dihubungkan dengan status seseorang yang bersangkutan.penilaian
terhadap peran itu sendiri sudah mencakup baik serta buruk, banyak,
sedikit atau bahkan tinggi dan rendah. Pada intinya status dan peran
itu saling melengkapi satu sama lainnya. Jadi secara singkat, Peran
adalah prilaku yang diharapkan dari seseorang yang mempunyai
suatu status.
Sebagai contohnya adalah Kesepakatan umum untuk peran
seorang ibu adalah merawat anak dan peran ayah adalah menghidupi
keluarga. Dua peranan tersebut berhubungan dengan serangkaian
tingkah laku, konsekuensi dan nilai-nilai sosial. Jika dipandang tidak
sesuai semisal ibu tidak merawat anak atau ayah tidak menghidupi
keluarga maka masyarakat akan memberikan sanksi atau penilaian
tertentu, seperti ibu dan ayah yang tidak bertanggung jawab.
Selanjutnya mengetahui perempuan, Siapakah perempuan?
Apakah perempuan? Seperti apakah perempuan? Atau
bagaimanakah perempuan memandang makna perempuan itu
sendiri? pertanyaan-pertanyaa tersebut cukup sulit dijawab, hal ini
karena berkaitan dengan bagaimana sudut pandang perempuan itu
memaknai atau melihat diri mereka sendiri sebagai perempuan, dan

503
bagaimana orang melihat dan memaknai perempuan. Ragam sudut
pandang mengenai perempuan ini dapat menimbulkan berbagai
konflik karena adanya beda konsep ( self concept) yang dipahami.
Lantas apa yang dimkasud dengan self concept , saya akan
mencoba memaparkannya. Self concept adalah bagaimana seseorang
, perempuan atau lelaki, berpikir dan merasakan dirinya sebagai
“apa” dan “siapa”. Hal ini dipengaruhi oleh interaksi dengan dirinya
sendiri dan orang lain. Menurut penelitian dibidang komunikasi,
bahwa self concept antara laki-laki dan perempuan berbeda.
Perempuan lebih berorientasi pada pencitraan diri pada penilaian.
Sedangkan laki-laki pada komparasi sosial. Perbedaan pandangan
self concept ini tidak terlepas dan persepsi mengenai pencitraan
orang terhadap konsep peran yang dilakukan oleh seorang
perempuan.
Pada level masyarakat, tipe masyarakat mereprentasikan
peran yang ditampilakn oleh seorang perempuan. Analisis peran
perempuan dapat dilakukan dari perspektif posisi mereka dalam
berurusan dengan pekerjaan produktif tidak langsung (domestik)
dan pekerjaan produktif langsung (publik), yaitu sebagai berikut :
1. Peran tradisi menempatkan perempuan dalam fungsi
reproduksi (mengurus rumahtangga, melahirkan dan mengasuh
anak, serta mengayomi suami). Hidupnya 100% untuk
keluarga. Pembagian kerja sangat jelas, yaitu perempuan di
rumah dan lelaki di luar rumah.
2. Peran transisi mempolakan peran tradisi lebih utama dari peran
yang lain. Pembagian tugas mengikuti aspirasi gender, tetapi
eksistensinya mempertahankan keharmonisan dan urusan
rumahtangga tetap tanggungjawab perempuan.
3. Dwiperan memposisikan perempuan dalam kehidupan dua
dunia, yaitu menempatkan peran domestik dan publik dalam
posisi sama penting. Dukungan moral suami pemicu ketegaran
atau sebaliknaya keengganan suami akan memicu keresahan
atau bahkan menimbulkan konflik terbuka atau terpendam.

504
4. Peran egalitarian menyita waktu dan perhatian perempuan
untuk kegiatan di luar. Dukungan moral dan tingkat kepedulian
lelaki sangat hakiki untuk menghindari konflik kepentingan
pemilahan dan pendistribusian peranan. Jika tidak, yang terjadi
adalah masing-masing akan saling berargumen untuk mencari
pembenaran atau menumbuhkan ketidaknyamanan suasana
kehidupan berkeluarga.
Peran kontempoler, adalah dampak pilihan perempuan untuk
mandiri dalam kemandirian. Jumlahnya belum banyak. Akan tetapi
benturan demi benturan dari dominasi lelaki atas perempuan yang
belum terlalu peduli pada kepentingan perempuan mungkin akan
meninggalkan populasinya.
Dampaknya adalah perempuan selalu terposisikan pada
hierarki lebih rendah dari laki-laki. Karena itu, sama halnya dengan
perjuangan kelas (seperti filosofi kaum proletar: Karl Max dan
Friederich Engels) harus ada perjuangan terhadap deskriminasi
gender. Lagi-lagi dalam gender yang disoroti yang menjadi topik
utamanya adalah kaum perempuan. Perempuan dianggap makhluk
yang paling lemah. Sehingga, perempuan hanya mempunyai posisi
dibawah dari laki-laki. Dalam hal ini kaum perempuan menuntut
adanya kesetaraan yang mana dalam ranah ini perempuanlah yang
selalu dirugikan. Tidak hanya itu, salah satu masalah yaitu aturan
yang melarang perempuan yang bekerja diranah publik.
Dalam dunia kerja terkadang perempuanpun digaji lebih
rendah daripada laki-laki. Dimana perempuan yang menjadi anggota
kesatuan kerja dalam lingkup kapitalisme selalu dibayar dibawah
rata-rata sedangkan laki-laki dibayar diatas rata-rata. Dalam hal ini,
tidak peduli apakah keberadaan perempuan tersebut memiliki
keluarga atau belum. Perempuan dibayar selalu disesuaikan dengan
keberadaannya dikeluarga yang disebut dengan family wages. Hal
inilah yang kemudian memunculkan perspektif feminis politik
ekonomi untuk mengungkap dimensi-dimensi ideologis laki-laki
terhadap dunia kerja perempuan. Tidak hanya dalam pembagian
upah saja tetapi pada di berbagai masyarakat ialah diskriminasi

505
terhadap orang hamil (pregnancy discrimination). Diskriminasi pada
orang hamil tersebut berupa penolakan untuk memperkerjakannya,
pemutusan hubungan kerja, keharusan cuti, dan sanksi lainnya.
Contoh , dalam cuti yang menjadikan masalah pada perempuan
ketika mereka sedang haid atau melahirkan. Kritik feminisme tahun
1970-an terhadap ketidak-netralan hukum memang sangat
meyakinkan, namun solusi yang ditawarkan, yakni “perlakuan
setara” dan “perlakuan istimewa” (affirmative actions). Secara tidak
kritis justru membenarkan asusmsi dasar patriarki tentang hubungan
dikotomis dan hierarkis antara ruang publik (tempat kerja, pria) dan
ruang privat (rumah tagga, perempuan). Akibatnya, ketika hendak
memasuki ruang publik untuk bekerja , perempuanlah yang harus
menyesuaikan diri. Hal ini berarti mengasimilasikan atau
menyamakan status gender perempuan dengan pria. Dikira metode
asimilasi ini akan memuat perempuan bisa setara dengan laki-laki,
padahal yang terjadi sebenarnya adalah perempuan harus mengikuti
dan menundukkan diri dari dunia pria. Walaupun diskriminasi atas
dasar jenis kelamin ditempat kerja melanggar hukum, kita maklum
hal itu tetap ada. Hingga sekitar dasawarsa berselang, perempuan
masih sering digambarka dalam buku sejarah, buku bacaan sekolah ,
dan dalam media massa sebagai kaum lemah, dibawah laki-laki,
pengurus rumah tangga, kaum ibu, kaum isteri, sebagai pembantu
bukan sebagai pemimpin atau pelaksana. Dengan berkembangnya
gerakan (emansipasi) wanita, maka gambaran demikian tentang
wanita sedang berubah betapapun lambannya.
Tidak hanya pada diskriminasi dalam dunia pekerjaan saja
tetapi perempuanpun terkadang menjadi korban dalam kekerasan
dalam rumah tangga (KDRT). Kekerasan tersebut dapat berbentuk
hubungan seks secara paksa , kekerasan fisik ataupun pelecehan
secara lisan. Tidak hanya itu kaum perempuanpun terkadang
mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan seperti pelecehan seks.
Yang biasanya dialami perempuan ditempat kerja. Olehkarena itu,
ketidakadilan gender termanifeskan dalam berbagai ketidakadilan,
yaitu: marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi, subordinasi,

506
pembentukan streotipe, kekerasan dan beban ganda. Pada
hakikatnya, perbedaan gender itu tidak menjadi persoalan ketika
tidak memunculkan masalah. Yang menjadi persoalan adalah
perbedaan itu yang memunculkan masalah ketidak adilan. Jadi,
gender merupakan masalah yang muncul.
Lain halnya ketika kaum Wanita dalam sistem marga, bisa
saya ambil contoh dari orang Batak yang mana sistem
kekerabatannya yang di tentukan oleh garis ibu. Namun demikian
dalam hal ini saya ingin juga membela hak-hak garis ibu. Sebab
anehnya ialah bahwa sifat masyarakat Batak yang digambarkan
kepada kita seolah-olah menitik beratkan pengaruh laki-laki,
sehingga hal ini bertentangan dengan kenyataan seperti halnya juga
dengan teori tentang orang Batak yang dahulu kala berdasarkan
struktur matrealineal. Dalam hal ini, rupanya menganggap
kedudukan wanita batak telah sangan mundur demi keuntungan
perkembangan kaum laki-laki. Yang mana mula-mula wanita itu
menjadi faktor yang menguasai segala-galanya, sedangkan yang ada
pada sekarang ini ia dinamakan “yang dibeli”, yang karena
perkawinannya beralih dari marganya ke marga suaminya. Dalam
susunan kekerabatan menurut garis ibu, si laki-laki bertempat
tinggal dirumah istrinya dan disana agaknya mempunyai kedudukan
dibawah. Tetapi ketika kemudian bertumbuh susunan garis
kekerabatan menurut garis bapa dan si laki-laki dengan demikian
mulai sadar, bahwa kedudukannya dapat diperbaiki dengan
menguntungkan dirinya, maka istrinya dibawanya dari lingkungan
keluarganya.hal ini agaknya disertai dengan perbuatan melarikan si
wanita dengan paksa dan permusuhan yang mengalirkan darah.
Permusuhan ini harus diselesaikan dengan memberi tebusan. Tetapi
dengan bertambah besarnya pengaruh susunan kekerabatan menurut
garis bapa, hilanglah pengertian memberi tebusan itu dan makin
lama makin menjadi jumlah pembeli si wanita. Dan karena susunan
kekerabatan menurut garis bapa itu lagi pula berarti si wanita
dilepaskan dari golongannya, sehingga dengan demikian diderita
suatu kerugian, maka dengan jelasnya dahulu kala merupakan

507
pemberian tebusan lalu lama kelamaan dianggap harga pembelian.
Dalam hal ini seharusnya wanita itu merupakan mata rantai anatara
dua marga yang mempunyai hubungan kekerabatan karena
perkawinan, dan jadi sama sekalo bukan suatu “barang berlian”.
Kalau diikuti jalan pikiran: wanita itu adalah barang berlian dan
marga hanya berarti masyarakat sebagai kelompok yang
berdasarkan garis bapa, maka agaknya sudah sewajarnyalah, bila
para ayah akan berusaha “melepaskan anak-anak mereka kepada
orang yang paling tinggi tawarannya”. Hal ini, sebagai orang tua
lebih suka memilih seorang Batak miskin dari kelompok boru
daripada seorang laki-laki kaya dari derajat yang lebih rendah atau
seorang budak. Namun hal ini mereka lakukan, dan orang batak
tidak mempunyai penghargaan terhadap perkawinan antara seorang
wanita dengan laki-laki yang lebih rendah derajatnya. Dalam hal ini
bisa kita pahami banyak masalah-masalah yang wanita hadapi dalam
ranah lingungan gender. Terkadang wanita hanya bisa pasrah
kepada nasib dan adatnya hanya karena untuk menyelamatkan
keluarganya. Tetapi disatu sisi lain wanita pun ingin memberontak
agar ia bisa terbebas dari hal yang selalu merugikannya.
Kemudian bukan hanya itu saja, ketika agama pun tidak luput
dari sorotan masalah. Jika dilihat dari agama islam, yang mana pada
zaman jahiliya, kedudukan perempuan dalam masyarakat sangatlah
rendah posisinya dan amat buruk kondisinya, serta dianggap tidak
lebih berharga dari suatu komoditas. Kemudian, dapat kita ketahui
jika seorang suami meninggal dunia, saudara tua atau saudara laki-
laki lainnya mendapat waris untuk memiliki jandanya. Bahkan pada
zaman dahulu mengubur bayi perempuan hidup-hidup adalah
praktik merendahkan kaum perempuan yang membentang luas di
dunia Arab pada zaman pra-Islam. Oleh karena itu, Al-quran
sebagai rujukan prinsip masyarakat islam, pada dasarnya mengakui
bahwa kedudukan laki-laki dan perempuan adalah sama. Keduanya
diciptakan dari satu nafs (living entity), dimana yang satu tidak
memiliki keunggulan terhadap yang lain.

508
Tidak hanya itu saja dalam ranah dunia pendidikan, Di
bidang pendidikan dan ketenagakerjaan peran perempuan berangsur-
angsur meningkat sampai awal tahun 1900. Pada tahun 1848
Queen’s College (untuk perempuan) di buka di London. Women’s
Colleges lainnya mengikuti, tetapi perempuan tidak diperkenankan
kuliah bersama-sama dengan lelaki. Bahkan pada tahun 1884-1920
Oxpord University tidak menerima perempuan sebagai Full Time
Student. Baru pada tahun 1920, perempuan Inggris mulai
diperbolehkan bekerja diluar rumah yaitu di pabrik. Karena revolusi
industri menyebabkan kekurangan tenaga kerja. Tetapi, dibidang
lannya perempuan masih tetap tidak diperbolehkan bekerja,
sedangkan di Prancis baru tahun 1881, untuk pertama kalinya,
perempuan bersuami, dan bekerja di pabrik boleh membuka
rekening tabungan tanpa ijin suami dan atau memakai nama suami.
Sedangan perempuan laninnya yang bekerja selain dipabrik baru
diperbolehkan sekitar tahun 1907an.
Pada saat perang dunia ke-1 (1914-1918) dan perang dunia
ke-2 (1939-1945), perempuan yang sedang perang mengambil alih
pekerjaan-pekerjaan yang semula dilakukan oleh lelaki, karena laki-
laki diprioritaskan untuk maju kemedan perang. Di Amerika Serikat
dikabarkan hampir 18 juta perempuan bekerja ditempat pembuatan
sejata selama perang dunia ke-2. Akan tetapi, setelah perang usai
perempuan kembali kepekerjaan semula yaitu di rumhtangga.
Sampai tahun 1990 hanya sedikit kampanye yang dilakukan kaum
perempuan untuk tambahan hak. Pada tahun 1970an, sudah lebih
banyak wanita yang berkuliah dan memegang berbagai macam
pekerjaan atau jabatan dibanding dengan tahun sebelumnya.
Perempuan memiliki hak suara dan ikut menduduki jabatan penting
di pemerintahan di hampir semua negara yang mempunyai prosedur
pemilihan umm, termasuk di Indonesia (sejak tahun 1950an). Salah
satu dokumen dari PBB yang mengurusi status perempuan,
menyatakan bahwa perkawinan tidak dapat dilaksanakan kecuali
atas dasar persetujuan pria dan wanita yang bersangkuatan secara

509
sukarela. Hal ini bertujuan untuk melindungi perempuan dari kawin
paksa.
Namun dapat kita ketahui dahulu kala di Indonesia wanita
tidak boleh ikut mengenyam dunia pendidikan. Wanita hanya boleh
dirumah saja, yang mana diungkapkan hanya sebatas sumur, dapur,
kasur. Berbeda dengan laki-laki yang mana mereka bebas
bersekolah dimanapun dan kapanpun mereka mau. Selanjutnya di
dalam ranah pedesaan, seorang gadis yang berusia 14 atau 15 tahun
ditarik dari sekolah untuk menyuruh kawin. Akan tetapi si gadis
tidak mau kawin, ia ingin bersekolah kembali. Pada akhirnya ia
setuju juga kawin asalkan dengan syarat, bahwa sesudah beberapa
bulan ia diperbolehkan untuk meminta cerai. Ketika persoalan
perceraian itu diulur-ulur, akhirnya wanita itu mencoba bunuh diri,
tetapi gagal. Kemudian perkawinannya itu diputuskan, tetapi ia tidak
bersekolah kembali. Oleh karena itu kebanyakan gadis desa tidak
bisa menolak untuk di kawinkan karena kebanyakan mereka tidak
ingin mempermalukan orang tuanya dan salah satunya faktor
ekonomi. Demikian lah yang terjadi dalam kebanyakan hal; bagi
seorang gadis hanya ada satu pilihan lain; lari dari rumah orang tua.
Akan tetapi itu pun membawa banyak kesulitan dan ketidakpastian
yang besar. Gadis-gadis dikota tahu benar, bahwa bersekolah adalah
pilihan lain yang baik. Jika kita dilihat dari sudut pandang orang tua,
orang tua bermaksud baik kepada anak gadisnya. Perkawinan yang
diselenggarakan adalah perkawinan yang sangat baik. Akan tetapi
jika kita dilihat dari sudut para gadis, ia ingin bersekolah. Tetapi jika
gadis tersebut tidak mau bersekolah karena ia sudah menikah dan
bercerai otomatis hal itu sangat memalukan untuk dirinya sendiri. Ia
merasa malu terhadap teman-temannya yang sementara itu sudah
naik kelas, sedangkan ia masih duduk dikelas yang masih rendah.
Hal tersebut banyaknya memicu para wanita untuk mengakhiri
hidupnya. Oleh karena itu, yang harus menjadi tugas kita adalah
merubah pola pikir kita. Bahwa struktur pendidikan menentukan
pola kehidupan wanita.

510
Banyaknya pendidikan dan tipe pendidikan yang kita terima,
mempengaruhi pekerja serta imbalan-imbalan ekonomi yang dapat
kita peroleh. Sehingga dengan kita bersekolah kita mempunyai
banyak wawasan dan mempunyai skill yang dapat kita pergunakan
untuk mencari pekerjaan. Seperti para teoretisi menyatakan bahwa
pendidikan dan pelatihan meningkatkan modal manusia secara
individual, yaitu keahlian dan kecakapan yang kita peroleh. Para
ekonomi menegaskan, investasi dalam pendidikan dan pelatihan
adalah sama besarnya dengan investasi dalam barang-barang modal.
Para teoritis ini memfokuskan pada tingkat keuntungan waktu atau
uang yang diinvestasikan untuk mendapatkan keahlian-keahlian
yang amat penting kegunaannya bagi masyarakat. Pendidik
dianggap seakan-akan membawa keuntungan yang besar bagi
individu melalui peningkatan penghasilan, dan bagi masyarakat
melalui penyediaan pelatihan yang cukup untuk bekerja terampil.
Tidak hanya itu saja wanita perlu sekali memperoleh pendidikan
karena alasan-alasan sebagai berikut:
a. Hal itu membuka jalan bagi pendidikan anak yang direncanakan
dan dilakukan secara sadar
b. Hal itu memperkembangkan sifat-sifat hemat, rapih dan teratur
dalam rumah tangga dan turut pula membantu mengurangi
kecenderungan beranak banyak
c. Hal itu mengurintangi poligami dan perkawinan yang disatu
pihak tidak diinginkan
d. Hal itu mengurangi kematian dan penyakit dikalangan rakyat,
karena wanita yang terdidik mau menerima pengertian
kebersihan
e. Hal itu membuat hidup lebih nikmat dan membuat kaum pria
yang maju lebih merasa kerasan dirumah
f. Hal itu membuka jalan bagi wanita untuk ikut serta dalam hidup
kemasyarakatan dengan menduduki berbagai jabatan.

Dalam hal ini, pendidikan untuk kaum pria mempunyai


kegunaan yang langsung terlihat dan bersifat ekonomis. Pendidikan

511
kaum wanita lebih penting artinya untuk pendidikan bangsa dan
dengan demikian secara tidak langsung mendorong dengan kuat
perkembangan sosial dan ekonomi bangsa itu.
Pemerintahan, yang hanya memperhatikan pendidikan bagi
anak laki-laki saja, bekerja setengah-setengah dan akan mendorong
tumbuhnya suatu masyarakat yang secara intelektualis bersifat
timpang.
Oleh sebab itu, Perbedaan gender sesungguhnya tidaklah
menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender
(gender inequalties). Namun, yang menjadi persoalan, ternyata
perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan, baik
pada kaum laki-laki maupun pada kaum perempuan. Ketidakadilan
gender merupakan sistem dan struktur di mana baik kaum laki-laki
maupun perempuan menjadi korban dari sistem tersebut. Kita tidak
bisa memandang suatu hal hanya dari satu sudut saja, kita harus
memandangnya dari beberapa sudut yang lain agar kita paham dan
mengerti pokok persoalan yang muncul, dan kita bisa
mengantisipasinya.
Lain halnya gender dalam wanita itu sendiri, terkadang
wanita selalu merasa dirinya selalu kurang jika dikaitkan dengan
wanita-wanita lain. Padahal di dalam dunia ini Allah swt
menciptkan manusia tidak ada yang sempurna, pasti mempunyai sisi
positif dan negatifnya. Terkadang ada banyak beberapa faktor
wanita merasa selalu dirinya belum memenuhi apa yang
diinginkannya, seperti dalam halnya pada kecantikan, kemewahan,
dan lain sebagainya. Wanita kebanyakan rela melakukan apa saja
demi apa saja agar apa yang di inginkannya dapat terkabulkan.
Contohnya dalam merubah penampilan pada dirinya sendiri.
Terkadang banyak wanita yang tidak paham dan tidak mengerti
sehingga mereka merasa kecanduan terus menerus merubah bentuk
tampilannya, contohnya pada penampilan fisik yang sangat
fenomenal dikalangan wanita zaman sekarang. Yaitu merubah
bentuk dari apa yang sudah diberikan oleh sang Maha Pencipta.
Yaitu dengan operasi plastik untuk memperindah tubuhnya.

512
Terkadang banyak Wanita ‘belajar’ bagaimana mengubah dirinya
menjadi suatu ‘tampilan’ dengan membandingkan wanita lain yang
dilihatnya. Dampak dari sisi yang lain, laki-laki juga menjadi korban
pasif media yang mengkontruksikan citra cantik Wanita.
Menurut mereka wanita yang cantik itu seperti para artis
korea, yang mempunyai wajah bersih ,kulit putih, hidung mancung,
bentuk wajah yang tirus, tinggi, rambut lurus dan lain sebagainya.
Akibatnya para wanita pun rela berbondong-bondong untuk
merubah penampilannya dengan tidak tanggung-tanggung biaya
yang mereka keluarkan untuk demi merubah apa yang ia inginkan.
Dengan begitu, timbul suatu pendapat yang dikemukakan oleh salah
satu aktivis perempuan, Alice Embree yang menyatakan
“perempuan dianggap sebagai ‘tubuh’ bukan ‘orang’ “. Dalam
feminisme gelombang kedua pun ada sedikit pengakuan tentang
bagaimana ideal feminisme akan kecantikan secara implisit dan
eksplisit dianggap putih.Oleh sebab itu harus diadakannya
pendekatan untuk memperbaiki kondisi wanita saat ini. Menurut
Novian (2010) pemberdayaan perempuan adalah upaya pemampuan
perempuan untuk memperoleh akses dan kontrol terhadap sumber
daya, ekonomi, politik, sosial, budaya, agar perempuan dapat
mengatur diri dan meningkatkan rasa percaya diri untuk mampu
berperan dan berpartisipasi aktif dalam memecahkan masalah,
sehingga mampu membangun kemampuan dan konsep diri.
Kemudian dalam hal ini, dengan adanya tujuan untuk
pemberdayaan perempuan yang mana ialah untuk menantang
ideologi patriarkhi yaitu dominasi laki – laki dan subordinasi
perempuan, merubah struktur dan pranata yang memperkuat dan
melestarikan diskriminasi gender dan ketidakadilan sosial
(termasuk keluarga, kasta, kelas, agama, proses dan pranata
pendidikan). Dengan adanya tujuan pemberdayaan perempuan
maka harus tercapai pada bentuk-bentuk sasarannya. Dengan hal
ini dibentuklah program-program untuk mencapai pada sasaran
pemberdayaan perempuan.

513
Sasaran-sasaran program pemberdayaan perempuan
diantaranya:
1. meningkatnya kualitas sumber daya perempuan di berbagai
kegiatan sektor dan subsektor serta lembaga dan nonlembaga
yang mengutamakan peningkatan kemampuan dan
profesionalisme atau keahlian kaum perempuan.
2. mewujudkan kepekaan, kepedulian gender dari seluruh
masyarakat, penentu kebijakan, pengambil keputusan, perencana
dan penegak hukum serta pembaharuan produk hukum yang
bermuatan nilai sosial budaya serta keadilan yang berwawasan
gender.
3. mengoptimalkan koordinasi dan keterpaduan dalam pengelolaan
pemberdayaan perempuan yang meliputi aspek perencanaan,
pelaksanatauan, evaluasi dan pelaporan.

Kemudian dari hal itu cotoh bentuk-bentuk pemberdayaan


perempuannya seperti Pengembangan Keterampilan Membuat
Kue. Tidak hanya itu saja pemberdayaan perempuan juga harus
dibekali dengan keterampilan-keterampilan serta keahlian-
aliannya agar ia bisa memenuhi kebutuhannya sendiri, serta dapat
membuka lapangan pekerjaannya sendiri.

514
Sumber Referensi

Fakih,Mansour.2013.Analisis Gender dan Transformasi


sosial.Yogyakarta:Pustaka Pelajar
Hubeis,Vitayala.S.Aida.2010.Pemberdayaan Perempuan dari Masa
ke Masa.Bogor:PT penerbit IPB Press
Ollenburger,C.Jane . Helen, A.Moore . 1996. Sosiologi Wanita .
Jakarta: PT Rineka Cipta
Sopiah,Pipih.2002. Profil Perempuan Indonesia Berpotensi dari
Masa ke Masa.Bandung:CV Cipta Dea Pustaka
Sadli,Saparinah.2010. Berbeda Tapi Setara.Jakarta: PT Kompas
Media Nusantara
Subadio, Ulfah Maria. T.O Ihromi.1994 . Peranan dan Kedudukan
Wanita Indonesia .Yogyakarta: Gajah Mada University Press\
Vuuren,N.C.1988.Wanita dan Karier.Yogyakarta: Kanisius

515
KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DALAM
PERSPEKTIF GENDER
Oleh : Wina Ria Sari_1148030238_3-F

Dari tahun ke tahun tingkat kejahatan dengan kekerasan


cenderung meningkat dengan modus yang beragam, dengan dampak
yang cukup serius baik terhadap korban perempuan maupun laki-
laki. Tindak kekerasan dapat menimpa siapapun dan dimanapun.
Namun, jika kita perhatikan dalam kehidupan sehari-hari angka
tindak kekerasan yang paling dominan ditujukan kepada perempuan.
Tindak kekerasan pada perempuan ini banyak membawa dampak
yang sangat serius seperti kekerasan seksual, tindak perkosaan, dan
pelecehan seksual yang kebanyakan ditujukan pada perempuan.
Kekerasan tersebut dipahami sebagai kekerasan yang berbasis
gender. (Sucahyono, 1996)
Kekerasaan terhadap perempuan bukanlah hal yang baru
bahkan sangat sering dan biasa terjadi. Berabad-abad lamanya
perempuan sudah terbiasa diperlakukan kasar, tidak berguna oleh
keluarganya, masyarakat disekelilingnya, kekasihnya bahkan
suaminya. Bahkan orang-orang pintar pun seperti orang-orang
ilmuwan ataupun filsuf sudah banyak yang berteori membenarkan
alasan mereka mengapa perempuan harus ditindas (Arivia, 2010).
Kekerasaan yang sering terjadi pada perempuan meliputi
pemerkosaan, pelecehan seksual, perdagangan perempuan,
penyunatan pada anak perempuan, dan lainnya.
Setelah kekerasan terjadi dan muncul trauma, melupakan
ingatan pada kekerasan itu tidak akan berhasil. Wajah-wajah mereka
yang telah diberlakukan dengan adil tidak akan pergi dengan
mudahnya. Semakin ingatan mereka ditekan semakin ia tak
terkendali. Agar seseorang tersebut bisa menata pikiran dan
hidupnya kembali membuat semua ini menjadi masuk akal, tidak

516
ada jalan lain untuk belajar mengingat dan bercerita agar pemulihan
tercapai.
Istilah kekerasan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
diartikan: perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang
menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan
kerusakan fisik atau barang orang lain. (Sopiah, 2011)
Kejahatan atau kriminalitas yang menimpa laki-laki bisa jadi
jumlahnya lebih banyak dibanding dengan kasus yang menimpa
perempuan. Lantas, mengapa kejahatan yang menimpa perempuan
menjadi salah satu objek favorit pada tindakan kriminalitas?
Dalam tatanan yang seharusnya, laki-laki dan perempuan
berposisi sejajar, tanpa ada satu pihak yang dilebihkan. Masing-
masing memiliki karakteristik dan tanggung jawab yang sama berat,
meski terkadang dalam wujud yang berbeda-beda. Namun, dalam
realitasnya masih menunjukkan bahwa di berbagai tempat terdapat
kecenderungan yang sebaliknya. Kejahatan dan kekerasan
kebanyakan pelakunya adalah laki-laki dan kebanyakan korbannya
adalah perempuan, termasuk anak perempuan. Dengan demikian
perempuanlah yang menjadi objek utamanya. (Esfand, 2012)
Ada banyak sebab dan latar belakang mengapa hal semacam
ini masih terus berlanjut layaknya siklus yang tidak terputuskan.
Penyebab yang paling dominan tentunya cara pandang terhadap
perempuan yang dianggap selalu menjadi kaum kelas kedua dengan
segala pembatasan yang diberikan kepadanya dikarenakan
kelemahan fisik, mental, dan tingkat intelektualitas yang diyakini
menjadi sesuatu yang bersifat bawaan pada diri setiap manusia.
(Sadli, 2010)
Cara pandang yang seperti ini telah terwariskan dari generasi
ke generasi. Bahkan, menjadi suatu bentuk keyakinan yang tertanam
pada diri sebagian besar perempuan tanpa mereka sadari. Keyakinan
bawah sadar ini terkadang muncul ke permukaan saat mereka
mengalami kondisi-kondisi ekstrim. Sehingga, sebagian besar para
perempuan ini tidak mau bersusah payah untuk menjadi sosok
perempuan yang tangguh, mandiri, berdaya guna dan cerdas.

517
Kejahatan terhadap perempuan adalah setiap perbuatan yang
berakibat kesengsaraan atau penderitaan kepada perempuan, baik
secara fisik, psikis maupun seksual yang terjadi di lingkungan
masyarakat maupun di lingkungan rumah tangga. (Irianto, 2006)
Kekerasan terhadap perempuan di lingkungan masyarakat, antara
lain;
1. Pemerkosaan
Pemerkosaan adalah jenis kekerasan terhadap perempuan
yang paling kejam dan paling ditakuti, karena bukan hanya
merenggut kehormatan korban, kejahatan ini juga
meninggalkan trauma yang dalam bagi korban. Pemerkosaan
adalah salah satu cara yang efektif untuk menghancurkan masa
depan sebagian besar perempuan. Pelaku pemerkosaan
biasanya adalah orang yang dekat dengan korban. Mulai dari
kelurga, kekasih, teman dekat, rekan kerja, tetangga, bahkan
guru. Akhir-akhir ini, Berita yang ditayangkan di televisi
banyak terjadinya kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh
keluarga dekat, misalnya ayah atau saudara kandung. Bahkan
ada pemerkosaan oleh orang tua sendiri yang dilakukan selama
bertahun-tahun tanpa diketahui pihak keluarga yang lain.
Pemerkosaan oleh keluarga sendiri ini sering kali menjadi
masalah yang cukup rumit untuk diselesaikan. Karena biasanya
ada kelurga yang menutup rapat-rapat kenyataan tersebut agar
nama baik keluarganya tidak tercemar.
Pemerkosaan oleh orang yang tidak dikenal juga
sering terjadi. Mulai dari orang yang awalnya hanya ingin
berniat merampas harta korban, sampai orang yang berpura-
pura mengantar ke tempat tujuan korban.
Anggapan bahwa seorang gadis yang memakai
rok pendek dan baju terbuka seringkali dikatakan rawan
perkosaan. Anggapan itu sebenarnya hanyalah bertujuan untuk
memperlemah perempuan. Sebab kenyataannya, korban
pemerkosaan sangat beragam, mulai dari gadis-gadis montok

518
sampai nenek-nenek bahkan anak-anak sekalipun. (Arivia,
2006)

2. Pelecehan Seksual
Pelecehan seksual adalah suatu bentuk penghinaan atau
memandang rendah seseorang dalam hal seks, jenis kelamin,
atau aktivitas seksual antara laki-laki dan perempuan. Dampak
negatif pelecehan seksual antara lain; rasa malu, tersinggung,
terhina, marah, kehilangan harga diri, kehilangan kesucian pada
diri orang yang menjadi korban. Tidak ada bentuk pelecehan
seksual yang berdampak positif, karena tidak ada perempuan
yang sepenuhnya rela dilecehkan kehormatan dan harga dirinya.
Pelecehan seksual banyak dijumpai dimana-mana.
Dikeluarga, sikap keluarga yang lebih memenangkan laki-laki;
ditempat kerja, majikan atau teman kerja laki-laki yang sering
menggoda atau adanya perbedaan gaji yang diterima karena
semata-mata ia perempuan.
Pelecehan seksual sekarang sudah sangat mewabah. Kita
dapat merasakan hampir disetiap tempat umum. Seperti ketika
menunggu bus, direstoran, dijalan. Dari bos yang lulusan
Harvard sampai sopir-sopir yang tamatan SD semua melakukan
pelecehan terhadap perempuan. Agaknya status pendidikan
tidak menentukan sikap sopan santun mereka terhadap
perempuan. (Arivia, 2006)
Pelecehan seksual sering pula terjadi dimedia massa.
Iklan-iklan yang sangat mengganggu adalah iklan-iklan yang
semata-mata ingin menonjolkan bagian-bagian tubuh
perempuan agar produknya terjual. Misalnya, iklan rokok yang
menampilkan sosok pria macho dengan seorang gadis ayu
gemulai. Iklan bir yang menunjukkan betapa perkasanya pria
yang menyukai bir dan digandrungi perempuan-perempuan
cantik. (Arivia, 2006)

519
3. Penyunatan pada Anak Perempuan
Kekerasan yang satu ini dikenal sebagai sunat. Sunat
terhadap perempuan dilakukan dibagian klitoris, dengan
memotong sedikit atau kadangkala semuanya. Menurut WHO
(World Health Organization) terdapat 84 juta perempuan yang
telah mengalami pemaksaan? Sebab gadis-gadis cilik tersebut
dipotong ovariumnya tanpa dimintai persetujuannya dan tanpa
alasan yang jelas. Penyunatan merupakan suatu mitos yang
dipercayai begitu saja secara turun temurun dengan pada
awalnya beralasan pada religi dan kemudian medis. Penyunatan
dilakukan secara rutin sejak 6000 tahun yang lalu disebelah
selatan Afrika, bahkan terdapat bukti gambar-gambar relief dari
zaman Mesir pada tahun 2800 M. alasan utama penyunatan
dilakukan pada saat itu adalah alasan agama yang dimaksudkan
untuk menghukum manusia agar tidak melakukan tindakan
seksual yang menyimpang dan berlebihan. Dengan kata lain,
penyunatan dimaksudkan untuk menurunkan tingkat kegairahan
seksualnya.
Sunat pada perempuan pada awalnya dimaksudkan untuk
mengontrol seksualitas perempuan. Banyak kaum muslim
menginterprestasikan sebagai kewajiban yang diharuskan oleh
kitab suci Al-Qur’an (Mohamud, 1991). Banyak pula yang
percaya bahwa penyunatan akan menambah kesuburan,
feminitas, dan kebersihan. Penyunatan perempuan secara tradisi
dimaksudkan agar perempuan tidak liar dan dapat dipercaya
bila sedang tidak ada dirumah. (Irianto, 2006)

4. Kekerasan dalam Pacaran


Pelecehan dan kekerasan kecil dianggap sebagai bumbu
percintaan, bahkan kekerasan mulai sering terjadi dan berubah
menjadi lebih parah. Dalam hubungan yang beratas namakan
cinta, seharusnya tidak terdapat unsur kekerasan dan pemaksaan
sedikitpun, karena cinta adalah hal yang identik dengan kasih

520
sayang dan kelemah lembutan. Dalam kenyataannya banyak
laki-laki yang mengumbar janji ingin bertanggung jawab
sebelum mengajak berhubungan seksual, padahal dalam
nyatanya janji tersebut tidak terbukti sama sekali, dan hanya
sang perempuanlah yang menanggung sendiri kehamilannya
diluar pernikahan. (Esfand, 2012)

5. Kekerasan dalam Rumah Tangga


Kekerasan dalam rumah tangga adalah tindakan yang
dilakukan didalam rumah tangga baik oleh suami, istri maupun
anak. Sebagian besar korban kekerasan dalam rumah tangga
adalah istri dan pelakunya adalah suami. Bentuk kekerasan
dalam rumah tangga memiliki berbagai bentuk diantaranya;
kekerasan fisik (menampar, menjambak, dan mendorong
korban), kejahatan psikis (menyebabkan korban menjadi takut,
fobia, gangguan tidur, dan rasa tidak berdaya) maupun seksual
(memaksa korban dengan cara eksploitatif termasuk pelacuran).
Tidak semua tindakan KDRT dapat ditangani secara tuntas,
karena korban beralasan adanya ikatan struktur budaya, agama
dan belum dipahaminya sistem hukum yang berlaku. (Arivia,
2006)
Bentuk KDRT (Pasal 5): Setiap orang dilarang
melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang
dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara:
a) Kekerasan fisik
b) Kekerasan psikis
c) Kekerasan seksual
d) Penelantaran rumah tangga

Ratna Batara Munti menjelaskan bahwa kekerasan terhadap


perempuan dalam rumah tangga dapat terjadi dalam berbagai bentuk
sebagaimana diringkaskan di bawah ini yaitu:
1. Kekerasan fisik, langsung dalam bentuk pemukulan, pencakaran
sampai pengrusakan vagina (kekerasan seksual) dan kekerasan

521
fisik secara tidak langsung yang biasanya berupa memukul meja,
membanting pintu, memecahkan piring, gelas, tempat bunga dan
lain-lain, serta berlaku kasar.
2. Kekerasan psikologis, Kekerasan psikis adalah perbuatan yang
mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya
kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau
penderitaan psikis berat pada seseorang.
3. Kekerasan Seksual, Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan
yang berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan
seksual dengan cara tidak wajar dan/atau tidak disukai,
pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan
komersial dan/atau tujuan tertentu dan tidak memenuhi
kebutuhan seksual istri.
4. Kekerasan ekonomi, berupa tidak diberikannya nafkah selama
perkawinan atau membatasi nafkah secara sewenang-wenang,
membiarkan atau bahkan memaksa istri bekerja keras, juga tidak
memberi nafkah setelah terjadi perceraian meskipun pengadilan
memutuskan.
5. Penelantaran rumah tangga adalah seseorang yang
menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal
menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan
atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau
pemeliharaan kepada orang tersebut. Selain itu, penelantaran
juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan
ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau
melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah
sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.

 Siklus kekerasan dalam KDRT


Relasi Personal sering disertai dengan siklus kekerasan,
dengan pola berulang. Siklus kekerasan ini menyebabkan korban
terus mengembangkan harapan dan mempertahankan rasa cinta
atau kasihan, membuatnya sulit keluar dari perangkap kekerasan.
Siklus kekerasan umumnya bergulir sebagai berikut:

522
 Dimulai dengan individu tertarik dan mengembangkan
hubungan.
 Individu dan pasangan mulai lebih mengenal satu sama lain,
“tampil asli” dengan karakteristik dan tuntutan masing-masing,
muncul konflik dan ketegangan.
 Terjadi ledakan dalam bentuk kekerasan.
 Ketegangan mereda. Korban terkejut dan memaknai apa yang
terjadi. Pelaku bersikap ”baik” dan mungkin meminta maaf.
 Korban merasa ”berdosa” (bila tidak memaafkan), korban
menyalahkan diri sendiri karena merasa atau dianggap menjadi
pemicu kejadian, korban mengembangkan harapan akan
hubungan yang lebih baik.
 Periode tenang tidak dapat bertahan. Kembali muncul konflik
dan ketegangan, disusul ledakan kekerasan lagi, demikian
seterusnya.
 Korban “terperangkap”, merasa bingung, takut, bersalah, tak
berdaya, berharap pelaku menepati janji untuk tidak melakukan
kekerasan lagi, dan demikian seterusnya.
 Bila tidak ada intervensi khusus (internal, eksternal) siklus
kekerasan dapat terus berputar dengan perguliran makin cepat,
dan kekerasan makin intens.
 Sangat destruktif dan berdampak merugikan secara psikologis
(dan mungkin juga fisik).

 Dampak psikologis pada korban KDRT


KDRT dapat menimbulkan dampak yang serius pada korban
dan orang terdekatnya (misal: anak). Adanya dampak fisik mungkin
lebih tampak. Misalnya: luka, rasa sakit, kecacatan, kehamilan,
keguguran kandungan, kematian. Apapun bentuk kekerasannya,
selalu ada dampak psikis dari KDRT. Dampak psikis dapat
dibedakan dalam ”dampak segera” setelah kejadian, serta ”dampak
jangka menengah atau panjang” yang lebih menetap. Dampak
segera, seperti rasa takut dan terancam, kebingungan, hilangnya rasa
berdaya, ketidakmampuan berpikir, konsentrasi, mimpi buruk,

523
kewaspadaan berlebihan. Mungkin pula terjadi gangguan makan dan
tidur.

 Karakteristik korban KDRT


Seorang perempuan yang terpelajar dan mandiri secara
ekonomi, tetap dapat menjadi pribadi yang tidak mudah mengambil
keputusan dalam menghadapi KDRT. Hal ini dapat terjadi karena:
1. Karakteristik individu (pasif, cenderung kecil hati dan tidak
mampu mengambil keputusan).
2. Peristiwa masa lalu yang membekas dan menghalangi bersikap
asertif (trauma masa lalu yang belum terselesaikan dengan baik
dan berpengaruh terhadap cara berpikir, merasa dan bertindak
saat ini).
3. Keluarga berasal dari keluarga konvensional dan menekankan
keutuhan rumah tangga sebagai hal yang paling baik (ideologi
gender yang kaku).

 Karakteristik Umum Pelaku KDRT


Pelaku baik sadar atau tidak memiliki peran gender yang
kaku dan seolah-olah membenarkan mereka untuk melakukan
kekerasan terhadap perempuan atau anak yang ada di
bawah lindungannya.
Meski demikian, ada pula karakteristik psikologis yang
berbeda, misalnya:
1. Ada yang pada dasarnya memang telah hidup dalam budaya
kekerasan, melihat kekerasan sebagai cara menyelesaikan
konflik dan mendapatkan hal yang diinginkan. Misal, orang
dengan kepribadian ”preman”.
2. Ada yang mungkin tampak baik-baik saja di depan orang yang
tidak mengenal secara dekat. Ia terkesan sopan dan bersedia
bekerja sama. Akan tetapi secara khusus orang
ini berpandangan rendah tentang perempuan dan menuntut
perempuan untuk patuh, melayani, mengikuti
hal yang diinginkan. Ia tersosialisasi untuk mengembangkan

524
dominasi yang besar atas perempuan. Sebagai kepala keluarga,
ia juga menuntut anak untuk patuh.
3. Dekat dengan ciri di atas, pelaku yang dibesarkan dalam
lingkungan disiplin bernuansa kekerasan di masa kecil akan
mengambil pola yang sama untuk keluarganya ketika dewasa.

Tanda-tanda potensi pelaku KDRT sebelum menikah:


1. Cenderung kasar pada semua orang. Misal: pada teman, saat
menyetir mobil, di tempat umum, dan keluarga sendiri. Ia
mudah tersinggung dan marah, ketika marah bersikap kasar.
2. Dalam keluarganya, kita melihat kebiasaan kekerasan,
kurang peduli pada orang lain, mau menang sendiri, tidak
mau berbagi. Ayah mungkin memberikan contoh kekerasan
dan anak-anak menirunya.
3. Ia mungkin egois dan selalu memikirkan kepentingannya
sendiri, enggan berbagi. Orang lain yang harus
menjaga perasaan dan lebih banyak menyesuaikan diri.
4. Ia tidak terlihat kasar saat pergaulan sehari-hari, tetapi
terkesan tidak dapat mengendalikan diri saat kecewa
atau marah. Bila kecewa atau marah, ia dapat bersikap kasar,
bertingkah laku membahayakan, dan membuat orang merasa
takut.
5. Ia mudah curiga pada orang lain, mudah menyalahkan,
banyak berpikiran buruk, khususnya perilaku pasangan.
6. Ia posesif dan tidak memberikan ruang pribadi bagi kita.
7. Ia cenderung meyakini pembagian peran gender yang kaku,
menempatkan laki-laki sebagai penentu.
8. Ia tidak menunjukkan penyesalah setelah berbuat salah atau
menyakiti orang lain. Ia malah mempersalahkan orang lain
atas kekasaran yang dilakukannya.
9. Ia senang berjudi, minum dan mabuk, terlibat penggunaan
obat-obatan bahkan hingga kecanduan.

525
6. Perdagangan Perempuan
Banyak kasus perdagangan manusia pelakunya justru
orang yang dekat dengan korban sehingga korban menjadi
mudah percaya dengan janji-janji yang diberikan. Pelakunya
juga bisa keluarga inti atau bahkan orang tua sendiri. Pemaksaan
juga banyak terjadi, sehingga korban tidak mampu melawan.
Pelaku perdagangan perempuan bukan hanya orang yang
membawa korban dari kampungnya melainkan juga pihak lain
yang terlibat, seperti pihak yang pertama kali bertemu dengan
korban dengan segala janji dan penjelasan yang diberikan, dan
pihak yang menjadi penyedia orang untuk di perdagangkan.
Modus yang biasa terjadi adalah iming-iming pekerjaan yang
upahnya lebih besar di kota atau di luar negeri, tetapi ditengah
perjalanan justru dikurung disuatu tempat. (Budiman, 1981)
Kita telah melihat bahwa masalah perdagangan
perempuan dan anak sudah merupakan masalah publik yang
berjalan seiring dengan pembentukan bangsa Indonesia, dan
hingga saat ini pun praktek Human Trafficking masih ada di
Indonesia dalam warna yang berbeda yaitu berkedok sebagai
Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang tidak sedikit dari mereka
menjadi korban perdagangan manusia di luar negeri.
Di negara berkembang Human Trafficking bertujuan
memaksa perempuan dan anak perempuan masuk dalam situasi
penindasan dan eksploitasi secara seksual dan ekonomi,
sebagaimana juga tindakan ilegal lainnya yang berhubungan
dengan perdagangan perempuan seperti pekerja paksa domestik,
kawin palsu,pekerja gelap dan adopsi palsu demi kepentingan
perekrut, pedagang dan sindikasi kejahatan.
Ini tidak lepas dari kondisi para korban yang kemampuan
ekonominya serba terbatas,di tengah kebutuhan hidup yang
semakin tinggi,mau tidak mau hal ini menuntut kita untuk
mendapatkan sesuatu yang lebih untuk menyambung hidup.
Tergiur oleh janji dari pihak yang tak bertanggung jawab yang
menjanjikan akan di pekerjakan di tempat yang tepat dengan gaji

526
yang besar,mereka inilah yang tak jarang menjadi
korbanTrafficking. Kurang hati-hatinya para calon TKI dalam
menentukan biro penempatan kerja mereka di luar negeri dapat
berakibat buruk saat bekerja diluar negeri nanti.Umunnya para
TKI di luar negeri bekerja sebagai pembantu rumah tangga,
Baby sister,sopir,pekerja proyek, dan lain-lain.
Kekerasan terhadap perempuan tidak lepas dari aturan sistem
masyarakat patriarki. Pengaturan sistem ini begitu mengakar pada
kepercayaan dan tradisi masyarakat yang ditumbuhkan sejak kecil.
(Arivia, 2006)
Persoalan kekerasan apapun bentuknya dan ditujukan pada
siapapun, menjadi persoalan semua orang dan semua pihak. Akan
sulit rasanya bila persoalan ini hanya ditanggung oleh mereka yang
menjadi korban. Hal yang sering terjadi adalah persoalan kekerasan
terhadap perempuan yang seakan hanya menjadi urusan perempuan
saja. Padahal penyadaran akan kesetaraan hubungan gender,
penghargaan atas hak-hak individu menjadi sangat penting bagi
semua pihak.
Ketika berbicara tentang kekerasan seksual atau perkosaan
terhadap perempuan kita mesti disadarkan bahwa kita hidup dengan
ibu. Dia adalah perempuan. Kita juga memiliki adik, kakak, dan
saudara yang adalah perempuan. Mereka berpeluang menjadi korban
kekerasan, dengan itu perlu dibangunnya empati dan kesadaran akan
pentingnya kesetaraan gender yang berguna untuk mengubah sikap
dan perilaku kekerasan berbasis gender. Karena kekerasan akan
selalu melahirkan penderitaan dan tidak pernah memberikan solusi.
(Sucahyono, 1996)
Sebaik apapun produk hukum, akan sulit di implementasikan
tanpa disertai adanya kesadaran bahwa tindak kekerasan terhadap
perempuan merupakan persoalan kita semua bukan hanya persoalan
mereka (perempuan) saja. Penyelesaian kasus kekerasan melalui
jalur hukum merupakan suatu keharusan. Usulan dari berbagai pihak
guna menetapkan hukum minimal serta hukuman yang berat
terhadap pelaku kekerasan dipercaya dapat mencegah individu

527
melakukan berbagai tindak kekerasan seksual terhadap perempuan.
Akan tetapi itu saja belum cukup mengubah keseluruhan sistem
hukum dan kinerja jajarannya yang mengakomodasi kebutuhan dan
pengalaman perempuan merupakan bagian yang paling mendasar.
(Esfand, 2012)
Berbagai bentuk kekerasan berbasis gender cenderung
menargetkan tubuh perempuan, seperti kekerasan seksual,
perkosaan, eksploitasi seksual, perdagangan perempuan, dan
kekerasan dalam rumah tangga yang relatif lebih banyak terjadi
pada perempuan daripada laki-laki. Kekerasan terhadap perempuan
terus terjadi baik dalam sektor domestik maupun sektor publik.
Seseorang dapat dikatakan sebagai korban kekerasan apabila
menderita kerugian fisik, mengalami luka atau kekerasan psikologis,
dan pembatasan kebebasan secara sosial. Salah satu dampak tindak
kekerasan atau kejahatan terhadap perempuan yaitu terkait dengan
rasa aman. Hal ini terbukti banyak perempuan yang merasa tidak
aman dan dihantui rasa takut bila berada diluar rumah pada malam
hari, karena mereka beralasan untuk menghindarkan diri dari
berbagai tindak kekerasan fisik maupun seksual. (Sadli, 2010)
Kenapa kebanyakan perempuan yang sering menjadi korban
kekerasan? Karena banyak tindak kekerasan yang dilakukan oleh
laki-laki, baik di sektor domestik maupun sektor publik. Stereotipe
yang dilekatkan terhadap perempuan sebagai individu yang lemah,
bertindak lembut, tidak agresif, halus, pasif dan bukan pengambil
keputusan menyebabkan perempuanlah yang sering menjadi korban
kekerasan dibanding dengan laki-laki.
Semua bentuk kekerasan terhadap perempuan tersebut adalah
tindak kriminal, karena telah menghilangkan rasa aman dan
kebebasan dari segala bentuk kekerasan yang sejatinya merupakan
hak dari setiap manusia. Tidak bisa dipungkiri, perempuan di mana
pun hingga kini masih mengalami berbagai bentuk kejahatan, baik
yang dialami oleh anak perempuan maupun perempuan dewasa.
Dalam banyak kasus, perempuan sering kali tidak cukup
memiliki pengetahuan tentang berbagai hal yang menjadi haknya

528
serta jaminan hukum yang diberikan pemerintah untuk
melindunginya. Ditambah dengan kenyataan bahwa kejahatan
kekerasan yang dialami perempuan tersebut, terutama yang terkait
dengan kekerasan fisik, kadang dianggap sebagai aib diri yang
enggan untuk ditindaklanjuti.
Jadi, Sepanjang sejarah perjalanan, perempuan selalu
dihubungkan dengan persoalan-persoalan diskriminasi, pelecehan,
dan rasa inferior (rasa rendah diri) serta bentuk-bentuk lainnya yang
sejenis. Rasa inferior ini dipupuk sejak kecil dan dimitoskan
sehingga banyak perempuan yang merasa bahwa ia memang
mempunyai kualitas yang lebih rendah dari laki-laki.

Sumber Referensi

Arivia, Gadis. 2006. Feminisme: Sebuah Kata Hati. Jakarta:


Penerbit Buku Kompas.
Budiman, Arief. 1981. Pembagian Kerja Secara Seksual. Jakarta:
PT Gramedia.
Esfand, Muthia. 2012. Women Self Defence. Jakarta: Visimedia.
Irianto, Sulistyowati. 2006. Perempuan dan Hukum: Menuju
Hukum yang Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.
Sadli, Saparinah. 2010. Berbeda Tetapi Setara: Pemikiran tentang
Kajian Perempuan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Sucahyono, Budi., Sumaryana, Yan. 1996. Sosiologi Wanita.
Jakarta: PT Asdi Mahasatya.
Sopiah, Pipih. 2011. Kaum Perempuan Menggugat. Bandung: CV
Bangkit Citra Persada.

529
POLIGAMI = KETIDAKADILAN PADA PEREMPUAN ?
Oleh : Yuni Kartika_ _3-F

Sebelum menyimak apa itu poligami, ada baiknya memahami


terlebih dahulu mengenai ketidakadilah gender yang nantinya akan
penulis khususkan kepada ketidakadilan pada perempuan. Apa itu
ketidakadilaan gender? Dalam Women’s Studies Encylopedia
dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep kultural yang
berkembang dalam suatu masyarakat yang berupaya membuat
perbedaan peran, prilaku, mentalitas dan karakter emosional antara
laki-laki dan perempuan.(Ubaedillah,167)
Apa yang di ungkapkan Ubaedillah nantinya akan
membudaya, bahwa anggapan “perbedaan” tersebut akan merujuk
pada hal yang nantinya disebut sebagai “ketidakadilaan”. karena
justru perbedaan gender tidak menjadi masalah selama tidak
bermasalah dalam sosial budayanya. dikatakan ketidakadilan apabila
dianggap perbedaan tersebut dijadikan permasalahan oleh
masyarakat. Ketidakadilan ini sering muncul atau terjadi pada
perempuan. Bahkan dalam buku Teori-teori Politik karyanya
Muslim Mufti, menyatakan bahwa dua hal yang berkaitan dengan
dikotomi dan hierarki gender diantaranya pertama, maskulinitas dan
Feminin bukan kategori bebas, maskulinitas dalam budaya Barat
digabungkan dengan kualitas rasionalitas, keras kepala. Dan feminin
lebih diidentikan dengan lembut, pasif, dan emosional. Kedua
maskulin mempunyai nilai yang lebih tinggi , sedangkan feminin
memiliki nilai yang lebih rendah.(Mufti, 248)
Apa yang diungkapkan Muslim Mufti dalam bukunya, bisa
dijadikan sebagai acuan bahwa perempuan dengan sikap yang
feminin dianggap memiliki nilai yang rendah dibandingkan dengan
laki-laki yang memiliki karakter yang maskulin dianggap lebih
memiliki nilai tinggi. Hal tersebut atau anggapan tersebut akan
merujuk kepada ketidakadilaan gender.

530
Perempuan dianggap memiliki nilai yang lebih rendah
daripada laki-laki termanifestasi kedalam beberapa bentuk yaitu
streotip atau pelabelan negatif pada perempuan. Subordinasi atau
diskriminasi pada perempuan. Marginalisasi atau anggapan
perempuan tidak penting. Beban ganda yaitu pekerja publik dan
domsetik pada perempuan. Kekerasan pada perempuan, kekerasan
pada perempuan lah yang snagat sering terjadi bahkan menjadi
momok sorotan yang sering ditampilkan, hal ini karena beberapa
sebab yaitu karena suaminya sendiri yang melakukan kekerasaan
atau karena dari pihak istrinya itu sendiri. tidak jarang sekarang ini
kekerasaan juga terjadi pada suami yang dianiaya oleh istrinya.
(Ubaedillah, 168). Bentuk-bentuk dari ketidakadilaan tersebut
merupakan suatu permasalah yang sampai saat ini masih
diperjuangkan keadilannya oleh perempuan makanya muncul
gerakan feminisme.
Setelah memaparkan mengenai ketidakadilan maka
selanjutnya penulis memaparkan mengenai poligami dalam berbagai
sudut pandang, sebenarnya ketika dikaitkan dengan bahasan
poligami hal ini menjadi sensitif. Akan tetapi penulis akan
melupakan sebentar bahwa penulis adalah perempuan dan nantinya
akan menjadi seorang istri. Penulis akan memposisikan diri sebagai
yang netral tidak berdasarkan perasaan dalam memaparkan materi
kali ini tentang poligami.
Makna poligami menurut sosiologi dalam buku (Hubeis:226)
adalah seseorang yang mempunyai pasangan nikah lebih dari satu
pada saat yang bersamaan. Jika seorang lelaki mempunyai istri lebih
dari satu, dia disebut berpoligini. Dan jika berpasangan lebih dari
satu dilakukan oleh seorang perempuan dia disebut berpoliandri.
Masyrakat pernah mengenal poliandri (Shihab:201). Dalam
masyrakat jahiliah di Jazirah Arab dahulu disamping pelacuran
seperti yang dikenal dewasa ini yaitu dikenal juga dengan nikah al-
istibdha’ yakni seorang suami membiarkan seorang istrinya digauli
untuk masa tertentu dengan seorang lelaki dengan harapan

531
memperoleh keturunan yang berkualitas melalui lelaki pilihannya
begitu istrinya hamil, hubungan tersebut segera dihentikan.
Bentuk poliandri yang lainnya adalah “pencampuran”
seorang istri dengan sekelompok lelaki, yang nantinya ketika istri
tersebut hamil, maka menunjuk lelaki yang jadi bapa dari anaknya,
dan lelaki yang ditunjuk tersebut akan bertanggung jawab.
(Shihab:202). Kendati poliandri dikenal pada masyarakat tertentu
dimasa lalu, akan tetapi poliandri tersebut tidak berhasil dan
akhirnya ditinggalkan. Hal ini terjadi karena poliandri bertentangan
dengan kodrati lelaki dan perempuan. Sekaligus menegaskan bahwa
kekaburan status anaknya nanti, padahal anak memerlukan status
yang pasti. timbul lagi satu permasalahan dari poliandri, yang
menjadi kepala keluarga apakah mereka atau para suami harus
bergiliran satu sama lain untuk menjadi kepala keluarga, dan apakah
dalam hal hubungan seks juga harus bergantian? “binatang saja
engga bergiliran, apalagi manusia. Binatang saja memiliki
kehormatan dan kecemburuan apalagi manusia terhormat.
(Shihab:203)
Boleh jadi, ada yang tidak menerima pendapat ilmuwan yang
menyatakan bahwa fitrah pria cenderung berpoligami dan fitrah
wanita bermonogami. Boleh jadi, ada yang tidak setuju dengan
pernyataan bahwa, “sangat mudah menjadikan perempuan hanya
untuk seorang lelaki, tetapi tidak mudah menjadikan seorang lelaki
hanya untuk seorang perempuan”. Karena itu, menjawab pertanyaan
diatas sebaiknya dengan mengundang penanya melihat kenyataan,
atau menjawab pertanyaan berikut: “mengapa negara-negara
membolehkan prostitusi, melakukan pemeriksaan kesehatan rutin
bagi perempuan-perempuan berperilaku seks bebas, dan tidak
melakukan bagi pasangan yang sah?” Ini kenyataan bahwa
perempuan menunjukkan hanya diciptakan untuk disentuh oleh
cairan yang bersih , yakni sperma satu orang diantaranya sperma
satu orang lelaki. Begitu terlibat dua lelaki dalam hubungan seksual
dengan seorang perempuan, ketika itu pula cairan yang merupakan
benih anak itu tidak bersih lagi dan sangat dikhawatirkan

532
menjangkitkan penyakit. Kenyataan menjadi bukti yang sangat jelas
menyangkut hal ini. (Shihab:204)
Pernyataan-pernyataan diatas menunjukan bahwa praktik-
praktik poliandri atau perempuan mempunyai banyak suami tersebut
pernah dilakukan hanya saja banyak sekali hal yang merugikan bagi
perempuanya itu sendiri yang melakukan praktik poliandri. Apalagi
nantinya apabila perempuan yang melakukan poliandri tersebut
hamil, maka status anak tersebut jadi kabur, padahal manusia butuh
status yang pasti apalagi hal ini meyoalkan status seorang anak.
Poligami boleh jadi dinilai sebagai keistimewaan bagi lelaki.
Adapun poliandri, sedikit banyak tidak dapat dinilai sebagai
keistimewaan perempuan karena lelaki cenderung menginginkan
jasad perempuan, sedangkan perempuan mendambakan hati lelaki.
Banyak lelaki apabila telah menguasai jasad perempuan, ia tidak
terlalu membutuhkan hatinya. Karena itu , berpoligami, seorang
suami sering kali tidak memedulikan hati istrinya yang lain.
Sedangkan perempuan sebaliknya. Memang ada dua unsur
pernikahan, yakni unsur jasmani tercermin dalam dorongan seksual
yang meluap pada masa muda dan berangsur-angsur menurun
dengan semakin bertambahnya umur. Unsur rohani adalah cinta dan
kasih sayang. Lelaki lebih diidentikan memerhatikan unsur jasmani
dan perempuan sebaliknya. (Shihab:205)
Pada akhirnya, kita dapat berkata bahwa poliandri
merugikan, bukan saja bagi lelaki melaikan juga bagi perempuan,
sedangkan poligami tidak mutlak merugikan lelaki selama dia
mampu memenuhi syarat-syarat dan tidak juga merugikan
perempuan, baik secara individu lebih-lebih perempuan secara
kolektif. Secara individu, terjadi anatara lain pada saat istri tidak
dapat melaksanakan fungsinya yang ketika itu ia lebih baik dimadu
daripada dicerai, dan secara kolektif apabila jumlah perempuan
lebih banyak daripada jumlah lelaki. Wa Allahu A’lam.
Bahasan selanjutnya mengenai persepsi perempuan
terhadap poligami. Secara fitrah dan naluri anak manusia, memang
sangat sulit menemukan seseorang yang menyatakan dirinya

533
bersedia dimadu atau sama sulitnya menemukan seorang istri yang
mengizinkan suaminya menikah lagi alias juga bersedia dimadu.
Ketidaksediaan ini, jika ditinjau dari sudut yang ekstrim sebenarnya
mencirikan ketidakyakinan seseorang sebagai umat Islam tentang
ajaran Islam. Menurut penulis buku (Hubeis:228), menurutnya
penulis pernah mendengar dari penjelasaan beberapa tokoh agama,
ketidakyakinan terhadap isi Al-Quran, bahkan hanya satu ayat pun,
dapat diartikan telah mengingkari ayat Allah. Pernyataan ini jelas
benar, sebab kalau diyakini bahwa segala tindak tanduk orang dalam
kehidupan haruslah mengacu pada Al-Quran, Al-Hadist, dan Sunnah
Rasul maka tentunya harus rela pula mengakui adanya aturan yang
memungkinkan seorang suami berpoligami. Namun, dalam ayat lain
juga dapat dijumpai pernyataan yang memunculkan bahwa Islam
adalah ajaran yang tidak memberatkan umatnya. Jadi, kalau ada
seorang istri yang tidak rela suaminya menikah lagi tetapi tidak
mampu lagi membuat raga suaminya hanya untuk dia seorang, atau
tidak secara langsung membiarkan suaminya mempunyai simpanan
asal tidak dicerai maka dia sebenarnya turut berdosa. Padahal ayat
yang lain, jelas dinyatakan bahwa pekerjaan halal yang dibenci
Allah adalah perceraian. Dengan demikian, seorang istri tidak
bersedia dimadu maka dia pun berhak untuk minta
cerai(Hubeis:229)
Hal ini bukanlah menjadikan suatu dilema, asalkan segala
sesuatu yang kita lakukan disandarkan pada aturan-Nya serta
tidak disertai keraguan akan aturan-Nya, percaya lah bahwa
aturan yang dibuat-Nya adalah aturan yang sebaik-baiknya
aturan untuk umat manusia, apalagi perempuan adalah makhluk
yang sangat dimulyakan oleh Allah SWT.
Hanya masalahnya, seringkali perceraian itu menjadi
“momok yang harus dihindari”. Apalagi jika keluarga bersangkutan
tergolong punya status tinggi. Belum lagi ditambah dengan adanya
kelompok organisasi wanita yang sebenarnya mempunyai tujuan
baik yaitu memperhatikan keharmonisan keluarga pertama dan
mengharamkan keluarga kedua (jika ditemukan dikalangan mereka),

534
turut mendorong keajekan kekeliruan bertindak tersebut. Padahal
yang tersangkut paut daam perpoligamian, semuanya (istri pertama,
atau kedua, dan seterusnya) adalah sama-sama perempuan yang
harus dilindungi haknya. (Hubeis:229)
Berlanjut kepada bahasan selanjutnya mengenai peraturan
tentang poligami. Poligami dan hukumnya, pada dasarnya, poligami
(beristri lebih dari satu dengan sebanyak-banyaknya empat) adalah
suatu cara atau sistem yang dihalalkan oleh Allah SWT.
(Mudhor:28).
Kalau disimak dengan teliti maka sebenarnya Islam adalah
agama yang mengajarkan penganutnya untuk bermonogami (beristri
satu). Namun, poligami tidak dilarang atau diharamkan untuk orang-
orang tertentu yang mendasari kejadian poligami tersebut sambil
memenuhi ketentuan Allah dalam pelaksanaanya. Tegasnya Islam
memungkinkan praktik “poligami terbatas” dengan memenuhi
ketentuan Allah(Hubeis:228). seperti tercantum dalam surat An-
Nisa’:3 : “...Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil
terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilaman kamu
mengawininya) maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu
senangi , dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak
akan dapat berlaku adil (dalam hal-hal yang bersifat lahiriah) maka
(kawinlah) seorang saja atau budak-budak yang kamu miliki. Yang
demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”.
Perlu digaris bawahi bahwa ayat poligami ini tidak membuat
peraturan baru tentang poligami karena poligami telah dikenal dan
dilaksanakan oleh penganut berbagai syariat agama serta adat
istiadat masyarakat sebelum turunnya ayat ini, ayat ini tidak
menganjurkan apalagi mewajibkan poligami, tetapi ia hanya
berbicara tentang bolehnya poligami, dan itupun merupakan pintu
kecil yang hanya dapat dilalui oleh siapa yang sangat amat
membutuhkan, dan dengan syarat yang tidak ringan. (Shihab:184).
Redaksi ayat ini mirip dengan ucapan seseorang yang
melarang makan tertentu, dan untuk menguatkan larang itu dia
berkata : “ jika anda khwatir akan sakit bila makan makanan ini,

535
habiskan saja makanan selainnya yang ada di hadapan Anda”. Tentu
saja, perintah menghabiskan makanan lain itu hanya sekadar
menekankan perlunya mengindahkan larangan untuk tidak makan
makanan tertentu itu
Poligami diperbolehkan seperti dalam surat An-Nisa’:3,
namun demikian, ada syarat yang cukup berat yang hanya harus
dipenuhi oleh seorang suami jika ingin berpoligami, yakni “adil”
. soal adil ini sangat sulit karena menyangkut urusan lahir dan
batin. Bahkan jika seorang suami dikhwatirkan tidak dapat
berlaku adil, maka Allah menyarankan untuk beristri satu saja.
Dalam rumusan Kompilasi Hukum Islam, apabila syarat utama
(adil) tersebut tidak mungkin dipenuhi, maka suami dilarang
beristri lebih dari seorang (Pasal 55 ayat 3).
Karena sulitnya masalah ini, tidak sedikit kalangan yang
memandang poligami sebagai suatu hal yang harus diperhatikan
pelaksanannya.
UU Perkawinan menegaskan, dalam hal seorang suami
akan beristri lebih dari seorang, maka ia wajib mengajukan
permohonan kepada pengadilan didaerah tempat tinggalnya
(Pasal 4 ayat 1).
Pengadilan dimaksud hanya akan memberikan izin
kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang,
apabila:
a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya
sebagai istri.
b.Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang
tidak dapat disembuhkan.
c. Istri tidak dapat melahirkan keturunanan.

Selanjutnya pada pasal 5 ayat 1 dijelaskan:


Untuk dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan,
sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat 1 Undang-undang ini,
harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. Adanya persetujuan dari istri/istri-istri.

536
b.Adanya kepastian bahwa suami menjamin
keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka.
c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap
istri-istri dan anak-anak mereka.
Dengan demikian, terdapat sinkronisasi antara hukum
Islam dan UU Perkawinan dalam soal poligami, yakni
diperbolehkan tetapi dengan syarat-syarat sebagaimana diatas.
Namun demikian, UU perkawinan menetapkan monogami (beristri
satu) sebagaimana salah satu asasnya. (Mudlor:28-29).
Dalam buku (Hubeis:229) yang menyatakan bahwa
menurut ajaran Islam, pada dasarnya justru seorang suami boleh
menikah lagi tanpa harus meminta izin dari istrinya. Tetapi, sebelum
menikah lagi dia harus membaiat (berjanji setia) pada istrinya yang
pertama sehingga istrinya paham dan ikhlas bahwa perkawinan
suaminya (yang kedua,ketiga atau keempat) tidak akan membuat
dirinya dan anak-anaknya menjadi sengsara, baik fisik maupun
batin. Jadi, kalau mau berbuka mata dan berbuka batin maka
sebenarnya agama Islam mengandung ajaran yang tidak
memberatkan umatnya, tetapi memberi banyak alternatif
solusi/keputusan, bahkan option yang luas, bagi umatnya. Hanya
tinggal umatnyalah yang menentukan mana yang terbaik dan yang
mampu dilakukan, sesuai dengan kaidah ajaran Islam . Apalagi
dalam ayat yang lain juga dkatakan bahwa Allah tidak akan
mencoba umatnya, seorang manusia, diluar kesanggupan yang
bersangkutan.
Sedangkan peraturan poligami untuk Indonesia khususnya
PNS (Pegawai Negeri Sipil), PP (peraturan presiden) No.10 plus PP
No.45 dianggap mempersulit kaum lelaki untuk berpoligami.
Banyak fakta yang menunjukan bahwa suami-suami (terutama yang
sukses duniawi), tidak berpoligami tetapi memiliki “istri simpanan”.
Mereka lebih takut pada hukum dunia ketimbang hukum Allah.
Padahal Allah telah memberikan peluang dan hikmah bagi orang-
orang tertentu untuk boleh beristri lebih dari satu. Orang-orang
tertentu inilah yang harus diartikan dengan ijthihad , kepala dingin

537
dan bukan dengan hati panas. Jika tidak demikian, persoalan
poligami hanya akan selalu menimbulkan silang pendapat yang
tidak akan pernah selesai, baik menurut hukum dunia (Indonesia)
maupun hukum Allah. (Hubeis:227)
Urusan perkawinan tercantum pada UU Perkawinan RI
tahun 1974 dan khusus PNS adalah PP 10 (ditambah dengan PP 45
sebagai penjelasan tambahan). Secara eksplisit, PP 10 menyatakan
bahwa praktik poligami tidak dianjurkan tetapi juga tidak dilarang,
terutama untuk hal-hal yang sangat mendesak. Misalnya istri tidak
dapat memberi keturunan atau sakit berkepanjangan sehingga tidak
dapat melayani kebutuhan biologis suami. Sebaliknya, tidak ada
klausal yang memperhatikan nasib istri yang seharusnya mengurus
suami yang sakit-sakitan sepanjang hidup perkawinan dan juga tidak
dapat memberikan keturunan ? padahal jika istri seperti ini,
menuntut cerai dari suami PNS maka menuntut peraturan
kepegawaian dia tidak akan mendapat bagian nafkah
suami.(Hubeis:227)
Sebenarnya, aturan tentang praktik poligami sudah sangat
lengkap tertulis dalam ajaran Islam, khususnya dalam ayat-ayat
Quran yang membahas tentang kekeliruan persepsi yang seakan-
akan menyudutkan Islam sebagai agama yang mengajukan dan
membenarkan poligami.
Bahasan terakhir yang ingin penulis paparkan adalah
persetujun tentang poligami, pada bagian ini bermaksud untuk
membicarakan persoalan setuju atau tidak setuju terhadap praktik
poligami. Tetapi jelas persoalan berpoligami ini telah diberi peluang
oleh Allah, terutama untuk laki-laki yang memang diberi hidayah
untuk melakukan itu. Jadi, kalau ada seorang suami berpoligami lalu
menimbulkan keresahan dikeluarganya, berarti ada sesuatu yang
salah dalam cara dia memutuskan dan melaksanakan
keinginannya.(Hubeis:231)
Dalam agama, memang tidak ada ketentuan yang
menyatakan suami perlu meminta izin istri untuk menikah lagi,
tetapi dia tetap harus menciptakan seuatu kondisi yang meyakinkan

538
istri pertama bahwa keinginannya untuk menikah lagi adalah untuk
menjalankan ajaran agama karena dia mampu melakukannya. Jadi,
ada proses baiat membaiat (saling bersumpah setia diantara suami-
istri) yang akan memperkokoh perkawinan pertama walaupun ada
perkawinan-perkawinan berikutnya. (Hubeis:231)
Perlu digaris bawahi bahwa memang dalam ajaran Islam
seperti apa yang telah di ungkapkan Aida Vitayala S. Hubeis dalam
bukunya pemerdayaan perempuan dari masa ke masa, tidak
perlunya seorang suami meminta izin pada istrinya untuk menikah
lagi. Akan tetapi dalam pelaksanaannya sangatlah penting
bersumpah setia kepada istri dan tidak akan berkhianat baik secara
jasmani dan rohani. Bahkan dalam pelaksanaannya agama Islam
dengan sangat baik mengatur jalannya poligami.
Menurut Aida, jika masalah poligami sudah ditetapkan dalam
suatu ayat dalam Al-Quran, maka tentunya kita harus tidak
berpransangka lain bahwa hal itu diturunkan oleh Allah karena ada
maksud-maksud baik yang terkandung didalamnya, misalnya
menghindari praktik kawin gelap dan menghindari penyakit kotor.
Sebagai Muslim, kita sendiri harus yakin bahwa ketidakyakinan
pada ayat Al-Quran jelas merupakan petunjuk bahwa kita belum
beriman atau dalam kalimat yang pedas dan ekstrim dapat disebut
kufur karena mengingkari ayat Allah.
Ayat lain yang sering dikondisikan orang untuk
mendikriditkan praktik poligami adalah timbulnya pertengkaran
dalam keluarga, baik antar suami dan istri maupun antar istri. Bahan
yang sering dijadikan ilustrasi adalah kisah pertengkaran antar istri
Nabi Muhammad SAW. Intinya adalah kisah Nabi saja masih suka
bertengkar apakah kita manusia yang doif dan tidak luput dari
kesalahan mampu menghindari pertenngkaran.
Ada baiknya ketika menentukan segala sesuatu denngan
landasan yang sangat kuat dan dengan berbagai pertimbangan.
Dalam kasus ini perlu ada kemampuan yang lebih, dalam artian
ketika berpoligami haruslah menyiapkan segala sesuatunya dengan
pertimbangan yang matang tanpa terburu-buru dan didahulukan oleh

539
nafsu, hal ini juga harus didasarkan pada landasan syara-syarat
poligami.
Pertanyaan yang patut diajukan adalah apakah karena
pertengkaran antar istri, praktik poligami hanya untuk masa lalu dan
bukan masa sekarang, hanya untuk Nabi dan bukan untuk manusia
biasa? Secara historis, memang benar istri-istri Nabi pernah
bertengkar.tetpi pertengkaran itu harus dilihat dari konteks kejadian
dan hikmah dari kejadian itu.seperti yang diketahui , setiap ayat
yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad SAW selalu
dimulai dengan suatu peristiwa. Tanpa ada pertengkaran antar Istri
Nabi tentunya tidak ada ayat dan hadist tentang perkawinan dan
keluarga yang dapat diturunkan untuk dipedomi oleh kita-kita yang
lahir setelah zaman Nabi.
Untuk mengambarkan ironi dunia permaduan, banyak orang
yang senang sekali mengutip perasaan cemburu Siti Aisyah terhadap
Siti Khadijah diumpamakan “sebagai api yang panasnya dapat
membakar pohon yang sedang disandarinya” . disini kita lihat ada
tesis yang terbalik jika diperbandingkan dengan praktik poligami
masa kini: pada zaman Nabi, “istri muda mencemburui istri tua
(Siti Aisyah versus Siti Khadijah)” dan bukan seperti yang terjadi
saat ini, dimana “istri tua berpanas dada terhadap istri muda” ,
berarti ada sesuatu yang salah dari para lelaki yang berpraktik
poligami saat ini. Pada dasarnya, setiap manusia pasti punya rasa
cemburu dan keinginan memiliki “sesuatu” hanya untuk dirinya
sendiri dan ini tidak hanya berlaku dalam perkawinan tetapi juga
dalam pemilikan yang lain. Jika, dalam hal ini mencoba bersikap
netral, sebenarnya setiap istri (apakah dia istri pertama atau istri
berikutnya) pasti memiliki rasa cemburu. Disini peran suami untuk
adil (baik terhadp dirinya maupun terhadap istri-istrinya) dan
mengurangi perasaan cemburu ini menjadi penting.
Perwujudan tindakan adil itu tidak selalu harus dituntut sama,
contohnya Nabi Muhammad SAW selalu berujar bahwa istrinya
(Siti Khadijah) adalah istri yang paling dia hormati dan kagumi
karena beliaulah “ orang pertama yang menyatakan iman kepada

540
Risalat yang dibawa Rasullah SAW., bahkan, beliau pernah
menyatakan bahwa kedudukan istrinya ( Siti Khadijah) sama
tarafnya dengan Maryam ibunya Isa dan Aisiah istri Firaun yang
mu’minat. Sedangkan Istri yang disayangi oleh Nabi adalah Siti
Aisyah, dengan alasan turunnya ayat selalu pada saat Nabi
bersamanya.
Disini dapat dilihat bahwa tiap istri mempunyai
kontribusinya sendiri dalam kehidupan suami dan harus diakui oleh
suami yang bersangkutan . jadi kalau ada seorang suami yang
menikah lagi karena sudah kayaraya dengan alasan istrinya sudah
tua, jelas ini keliru karena dia melupakan kristalisasi keringat istri
pertama yang mendampinginya sejak belum punya apa-apa. Akan
tetapi, kalau dia ingin menikah lagi untuk memenuhi ajaran agama
dan mampu meyakinkan istrinya bahwa ini terbaik untuk mereka
bersama maka niatnya (nawaitunya) memang benar ingin
melaksanakan ajaran agama.
Dalam hal ini sekali lagi penulis tekankan bahwa jangan
dijadikan sebagai suatu pembenaran bahwa karena ajaran agama
mereka melakukan poligami tanpa ada dasar yang kuat atas
agamnya sendiri. semata-mata nama agama dijadikan sebagai
pembenar prilaku yang salah, yaitu melakukan poligami tapi tanpa
memenuhi aturan-aturan yang telah ditentukan dimuka, baik itu
secara segi agama Islam ataupun peraturan ketata negaraan sendiri.
Yang ingin penulis ungkapkan bahwa banyak jalan yang
dapat ditempu guna menghalangi ketidakadilan terhadap
perempuan, termasuk dalam hal poligami, tanpa harus
mengorbankan teks atau memberinya penafsiran yang sama sekali
tidak sejalan dengan kandungan teks itu sendiri, antara lain seperti
yang ditempu oleh mereka yang menafsirkan ayat yang berbicara
tentang ketidakmungkinan keadilan dalam hal poligami atau
melarangnya secara mutlak.
Sekali lagi, perlu penulis tegaskan bahwa teks ayat Al-Quran
dan penjelasan Nabi saw menyoalkan tentang poligami, tentu saja
bukan berarti membuka lebar-lebar pintu poligami tanpa batas dan

541
syarat. Dalam saat yang sama, ia tidak juga dapat dikatakan
menutup pintunya rapat-rapat, sebagaimana dikehendaki oleh
sementara orang. Disamping itu, poligami menurut hemat penulis
mirip dengan pintu darurat dalam pesawat terbang, yang hanya
boleh dibuka dalam keadaan emergency tertentu, yang duduk di
samping pintu darurat pun haruslah mereka yang memiliki
pengetahuan dan kemampuan membukanya serta baru
diperkenankan membukanya pada saat diizinkan pilot.
Sebagai penutup, penulis ingin mengakhiri pembahasan ini
yang InsyaAllah akan diikuti oleh rekan-rekan yang lain ditempat
lain pada waktu yang akan datang dengan satu tesis baru yaitu
tuntutan bersikap adil dari suami yang berpoligami, seyogianya
diikuti dengan tuntutan keikhlasan dari istri yang dimadu
untuk menerima kekurangan tindakan ketidakadilan, sejauh itu
masih sekedar manusiawi. karena itulah Islam menyatakan bahwa
“poligami terbatas” lah yang dibenarkan, yaitu hanya untuk orang-
orang tertentu (lelaki yang diberi hidayah) dan bukan untuk semua
kaum lelaki. Dan kejadian ini, juga seharusnya hanya menimpa
perempuan-perempuan terpilih karena ganjaran keikhlasan seorang
istri merelakan suami berpoligami adalah syurga.
Kalau kita tidak mau memahami rasionalitas persoalan ini
maka sistem wanita simpanan akan tetap berkembang yang
sekaligus berarti tingkahlaku dan peradaban manusia akan semakin
merendahkan kaum perempuan. Sudah saatnya, kita semua (lelaki
dan perempuan) mulai berpijak pada kenyataan dan rasionalitas
dengan landasan iman untuk mengkaji dengan kepala dingin
mengapa Tuhan menganjurkan lelaki dibolehkan beristrikan
sebanyak-banyaknya empat orang dengan syarat-syarat yang tidak
ringan.
Didalam artikel yang telah dibuat penulis dimuka, penulis
tidak ingin terjebak dalam posisi pro dan kontra terhadap poligami.
Hanya saja, persoalan poligami harus didudukkn secara
proporsional, dengan memperhatiakan banyak aspek. Meskipun
agama tidak melaranng poligami, namun tidak serta merta praktik

542
ini dapat dilakukan dengan mudah. Sangat berat sekali syarat yang
harus dimiliki seorang lelaki untuk bisa berpoligami. Miasalnya
harus mampu berbuat adil, seperti yang telah dijelaskan dimuka. Al-
Quran dengan tegas menyatakan, jika khawatir tidak mampu berbuat
adil, satu istri sudah cukup. Persoalannya apakah berbuat adil
mudah dilakukan? Hanya laki-laki yang memang diberi hidayah
yang mampu melakukannya. Jadi kalau ada seorang suami
berpoligami lalu menimbulkan keresahan pada keluarganya, berarti
ada sesuatu yang salah dalam cara dia memutuskan dan
melaksanakan keinginan itu. Wallahu a’lam

Sumber Referensi

Hubeis S. Vitayala Aida, 2010, Pemberdayaan Perempuan dari


Masa ke Masa,IPB:IPB Press.
Mufti Muslim, 2013, Teori-teori Politik, Bandung:Pustaka Setia.
Muhdlor Zuhdi A, 1995, Hukum Perkawinan, Bandung:Mizan.
Shihab Qurais M, 2014, Perempuan, Jakarta:Lentera hati.
Ubaedillah A,dkk, 2014, Pendidikan Kewarganegaraan,
Jakarta:PrenadaMedia Group.
Undang-Undang Republik Indonesia, Nomor 1 tahun 1974,
perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, Grahmedia Press,
2014.

543
PERMASALAHAN DALAM DUNIA GENDER

Nama :Tatang Rohmat


Kelas : Sosiogi F

Pada dasarnya semua orang sepakat bahwa perempuan dan


laki – laki berbeda. Namun, gender bukanlah jenis kelamin laki –
laki dan perempuan sebagai pemberian Tuhan. Gender lebih
ditekankan pada perbedaan peranan dan fungsi yang ada dan dibuat
oleh masyarakat. Oleh karena itu, gender penting di pahami dan
dianalisa untuk melihat apakah perbedaan tersebut menimbulkan
diskriminasi dalam artian perbedaan yang membawa kerugian dan
penderitaan terhadap pihak perempuan. Sebenarnya, kita telah
mempunyai basis legal yang menjamin hak - hak dan kesempatan
bagi laki – laki dan perempuan. Hal tersebut terlihat dari Deklarasi
Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan yang di buat oleh PBB
pada tahun 1993. Namun, deklarasi tersebut tidak begitu dikenal
oleh masyarakat di Indonesia, sehingga jarang di buat sebagai acuan
dalam kegiatan penyelesaian masalah yang berbasis gender (Sunanti
Zalbawi, 2004). Di Indonesia, isu kesetaraan gender akhir – akhir ini
menjadi isu yang tidak ada habisnya dan masih berusaha terus di
perjuangkan baik di tingkat eksekutif maupun legislatif. Hal tersebut
seperti yang diutarakan oleh Imam Prasodjo dalam Kompas 29 Juli
2010, menyatakan bahwa permasalahan perspektif gender yang
paling substantif juga terlihat di eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Permasalahan tersebut mencakup substantif pemahaman tentang
kebijakan berspektif gender itu sendiri. Istilah gender diambil dari
kata dalam bahasa Arab “Jinsiyyun” yang kemudian diadopsi dalam
bahasa Perancis dan Inggris menjadi “gender” (Faqih, 1999).
Gender diartikan sebagai perbedaan peran dan tanggung jawab
perempuan dan laki-laki yang ditentukan secara sosial. Gender
berhubungan dengan bagaimana persepsi dan pemikiran serta
tindakan yang diharapkan sebagai perempuan dan laki-laki yang
dibentuk masyarakat, bukan karena perbedaan biologis. Peran
gender dibentuk secara sosial., institusi sosial memainkan peranan

544
penting dalam pembentukkan peran gender dan hubungan.
Kesetaraan gender adalah tidak adanya diskriminasi berdasarkan
jenis kelamin seseorang dalam memperoleh kesempatan dsan
alokasi sumber daya, manfaat atau dalam mengakses
pelayanan. Berbeda halnya dengan keadilan gender
merupakan keadilan pendistribusian manfaat dan tanggung jawab
perempuan dan laki-laki. Konsep yang mengenali adanya perbedaan
kebutuhan dan kekuasaan antara perempuan dan laki-laki, yang
harus diidentifikasi dan diatasi dengan cara memperbaiki
ketidakseimbangan antara jenis kelamin. Masalah gender muncul
bila ditemukan perbedaan hak, peran dan tanggung jawab karena
adanya nilai-nilai sosial budaya yang tidak menguntungkan salah
satu jenis kelamin (lazimnya perempuan) Untuk itu perlu dilakukan
rekontruksi sosial sehingga nilai-nilai sosial budaya yang tidak
menguntungkan tersebut dapat dihilangkan. Sehingga masalah
kesehatan reproduksi yang erat kaitannya dengan ketidakadilan dan
ketidaksetaraan gender dapat dihindari, khususnya kematian ibu dan
anak yang masih tinggi di Indonesia.
Pembahasan dalam topik isu gender ini dimaksudkan untuk
memberikan informasi sehingga dapat mengembangkan ide-ide
kreatif dan inovatif yang disesuaikan dengan sosial, budaya, kondisi
dan situasi di wilayah setempat untuk megatasi masalah kesehatan
reproduksi remaja. Mengingat masih tingginya “4 TERLALU” (
Terlalu Muda, Terlalu tua, Terlalu Banyak, Terlalu Sering untuk
hamil dan bersalin) yang berhubungan dengan penyebab kematian
ibu dan anak kondisi ini sesungguhnya dapat dicegah, dan tidak
terjadi kematian yang sia-sia. Selain itu masalah ksehatan lainnya
penularan dan penyebaran HIV/AIDS. Dengan upaya pemberian
informasi kesehatan diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan
remaja yang pada akhirnya remaja mempunyai pandangan dan sikap
yang baik untuk dapat membantu pencegahan penularan HIV/AIDS,
pencegahan kehamilan tidak diharapkan. Masalah kesehatan
reproduksi remaja selain berdampak secara fisik, juga dapat
berpengaruh terhadap kesehatan mental dan emosi, keadaan
ekonomi dan kesejahteraan sosial dalam jangka panjang. Dampak
jangka panjang tersebut tidak hanya berpengaruh terhadap keluarga,

545
masyarakat dan bangsa akhirnya.
Permasalahan prioritas kesehatan reproduksi pada remaja dapat
dikelompokkan sebagai berikut :
a Kehamilan tidak dikehendaki, yang seringkali menjurus kepada
aborsi yang tidak aman dan komplikasinya
b.Kehamilan dan persalinan usia muda yang menambah risiko
kesakitan dan kematian ibu dan bayi
c. Masalah Penyakit Menul;ar Seksual termasuk infeksi HIV/AIDS
d. Tindak kekerasan seksual, seperti pemerkosaan, pelecehan
seksual dan transaksi seks komersial

Kehamilan remaja kurang dari 20 tahun menyumbangkan risiko


kematian ibu dan bayi 2 hingga 4 kali lebih tinggi dibanding
kehamilan pada ibu berusia 20 – 35 tahun. Pusat penelitian
Kesehatan UI mengadakan penelitian di Manado dan Bitung (
1997), menunjukkan bahwa 6% dari 400 pelajar SMU puteri dan
20% dari 400 pelajar SMU putera pernah melakukan hubungan
seksual.Survei Depkes (1995/1996) pada remaja usia 13 - 19 tahun
di Jawa barat (1189) dan di Bali (922) mendapatkan 7% dan 5
% remaja putri di Jawa Barat dan Bali mengaku pernah terlambat
haid atau hamil. Di Yogyakarta, menurut data sekunder tahun
1996/1997, dari 10.981 pengunjung klinik KB ditemukan 19,3%
yang datang dengan kehamilan yang tidak dikehendaki dan telah
melakukan tindakan pengguguran yang disengaja sendiri secara
tidak aman. Sekitar 2% diantaranya berusia kurang dari 22 tahun.
Dari data PKBI sumbar tahun 1997 ditemukan bahwa remaja yang
telah melakukan hubungan seksual sebelum menikah mengakui
kebanyakan melakukannya pertama kali pada usia antara 15 – 18
tahun.

Ada beberapa fakta berikut yang berhubungan dengan kesehatan


reproduksi remaja bahwa KEK remaja putri 36% (SKIA : 1995),
Anemia Remaja Putri 52% (SDKI : 1995), merokok berusia kurang
dari 14 tahun 9% dan kurang dari 19 tahun 53% (Susenas : 1995),
Remaja Putri Perokok sebanyak 1% – 8%, peminum minuman keras
6%, pemakai napza 0,3 – 3% (LDFE-UI). Sekitar 70.000 remaja

546
putri kurang dari 18 tahun terlibat dalam prostitusi industri seks
ditemukan di 23 propinsi, seks sebelum menikah 0,4 – 5% (LDFE-
UI : 1999), 2,4 juta aborsi/ tahun, 21% diantaranya terjadi pada
remaja, 11% kelahiran terjadi pada usia remaja, 43% perempuan
melahirkan anak pertama dengan usia pernikahan kurang dari 9
bulan. Informasi dan pelayanan kesehatan reproduksi remaja dewasa
ini belum memadai, dan kebanyakan baru ditangani oleh swadaya
masyarakat di kota-kota besar.(Depkes : 2001). Dari berbagai
penelitian terbatas diketahui angka prevalensi Infeksi Saluran
Reproduksi (ISR) di Indonesia cukup tinggi, diantaranya penelitian
pada 312 akseptor KB di Jakarta Utara (1998) angka prevalensi ISR
24,7% dengan infeksi klamidia yang tertinggi yaitu 10,3%,
kemudian trikomoniasis 5,4%, dan gonore 0,3%. Penelitian lain di
Surabaya pada 599 ibu hamil didapatkan infeksi virus
herpessimpleks sebesar 9,9%, klamidia 8,2% trikomoniasis 4,8%,
gonore 0,8% dan sifilis 0,7%. Suatu survey di 3 Puskesmas di
Surabaya (1999 (pada 195 pasien pengunjung KIA/BP diperoleh
proorsi tertinggi infeksi trikomoniasis 6,2%, kemudian sifilis 4,6%
dan klamidia 3,6%. Upaya pencegahan dan penanggulangan ISR di
tingkat pelaynan dasar masih jauh yang diharapkan. Upaya tersebut
baru dilaksanakan secara terbatas di beberapa propinsi. Hambatan
sosio-budaya sering mengakibatkan ketidak tuntasan dalam
pengobatanya, sehingga menimbulkan komplikasi ISR yang serius
seperti kemandulan, keguguran, dan kecacatan janin. Hingga bulan
Desember 2006 tercatat jumlah kumulatif kasus HIV sebanyak 5230
dan kasus AIDS sebanyak 8190. Dari penderita AIDS tersebut, 6604
kasus (80,7%) adalah laki-laki dan 1529 kasus (18,6%) adalah
perempuan dan tidak diketahui 61 kasus (0,7%). Dari segi usia
rebanyak pada usia 20 - 29 tahun sebanyak 4487 kasus ( 54,7%),
usia 30 – 39 tahun sebanyak 2226 kasus ( 27,2%), usia 40 – 49
sebannyak 647 kasus (7,9%), usia 15 – 19 tahun sebanyak 222
kasus (2,7%),usia 5 – 14 tahun 22 kasus (0,26%), dengan jumlah
kasus terbanyak berada di DKI Jakarta 2565 (31,3%).
Dengan faktor risiko penularan yaitu narkoba suntik 50,3%,
heteroseksual 40,3%, homo biseksual 4,2%, transfuse darah 0,1%
transmisi perinatal 1,5%, tidak diketahui 3,6%. Jumlah penderita

547
HIV/AIDS yang sebenarnya diperkirakan 100 kali lipat dari jumlah
yang dilaporkan.. Strategi Penanggulangan AIDS Nasional 2003-
2007 menyatakan bahwa pencegahan dan penularan HIV dari ibu ke
bayi merupakan sebuah program prioritas. Masih banyak isu gender
lainnya yang terkait dengan kesehatan reproduksi
remaja, diantaranya sunat pada perempuan, kekerasan terhadap
perempuan/dalam rumah tangga, perlecehan seksual/pemerkosaan,
perdagangan manusia/perempuan.Program ini akan membahas
mengenai fakta dan upaya mengatasi ketidaksetaraan berbasis
gender yang terjadi di masyarakat, data yang akan ditunjukkan
dalam bidang pendidikan, partisipasi politik dan ekonomi,
mengingat perempuan yang paling terkena dampak dari
ketidaksetaraan ini diantaranya perempuan dinilai kurang bernilai
daripada laki-laki maka data yang akan di sajikan akan lebih banyak
mengenai keterlibatan perempuan.

Permasalahan gender merupakan masalah yang tidak ada habisnya.


Banyak isu-isu yang muncul kemudian tertuju pada kesetaraan
gender yang dialami antara laki-laki dan perempuan. Padahal
sebetulnya kesetaraan gender ini bukan melulu pada perempuan dan
laki-laki namun, kesetaraan gender ini juga sebenarnya terjadi pada
kelompok-kelompok rentan atau kelompok minoritas.

“Kemunculaan persoalan gender ini muncul ketika pada abad ke-19


di Prancis, di mana ketika itu upah yang didapat oleh laki dan
perempuan saat bekerja sangat berbeda. Hal inilah yang kemudian
memunculkan ketidakadilan antara perempuan dan laki-laki. Selain
itu faktor biologis ini juga dijadikan sebagai titik tolak awal
kemunculan gender,“ jelas Anggoro Budi Prasetya selaku Direktur
LSM Aksara yang ketika itu menjadi pembicara dalam acara diskusi
terbuka dengan tema ““Menentang” Determinasi Biologis Pada
Gender”, pada hari Selasa (27/5) di Taman Batu Gedung D
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY).

548
Anggoro menjelaskan, Gender akan tetap menjadi
persoalan sebab hal ini terkait dengan ketidakadilan antara peran
laki-laki dan perempuan. Seperti contoh ketika seorang perempuan
bergabung atau memutuskan untuk menggeluti di ranah politik maka
kesetaraan perempuan dengan laki-laki akan berbeda. Perempuan
akan berada pada level dua, hal inilah yang kemudian muncul.
“Selain itu perempuan sering mengalami stereotype pandangan
negatif, misalanya ketika adanya kekerasan seksual maka ada 2 cara
pandang yang berbeda. Pertama, adanya kesalahan dari si pelaku,
yang kedua, kesalahan dari korban. Namun yang sering kita jumpai
adalah kesalahan itu muncul dari si korban atau perempuan yang
memiliki peran terjadinya kekerasan seksual. Padahal jika kita
telaah kembali si pelaku sebenarnya juga punya alasan penyebab
kekerasan seksual itu bisa terjadi,“ jelasnya.

Persoalan gender akan menjadi isu yang sangat sensitif


ketika isu itu dikaitkan dengan pesoalan agama. Perlu adanya
kebijakan dalam memikirkan isu gender ini, sebenarnya isu gender
ini hanya terkait dengan kesetaraan yang dialami oleh laki-laki dan
perempuan. “Kesetaraan itu, adanya kemudahan akses yang
diberikan oleh laki-laki dan perempuan untuk memajukan dirinya.
Hal ini penting karena dengan diberikan akses yang mudah maka
perempuan memiliki tempat yang sama untuk bisa meningkatkan
potensi yang ada pada dirinya. Ini menunjukkan bahwa perempuan
dan laki-laki memiliki ruang yang sama untuk bisa berpartisipasi,“
paparnya.

Isu terkait dengan gender ini, lanjut Anggoro, akan berubah


seiring dengan waktu dan budaya yang berkembang di masyarakat.
Karena itu, tentunya perlu adanya perubahan mindset yang
dilakukan oleh masyarakat sekitar, yang masih mengganggap
perempuan itu sangat lemah dan hanya mengurus domestik
sedangkan laki-laki berurusan pada publik. “Masyarakat masih
banyak yang beranggapan bahwa kodrat seorang perempuan itu

549
adalah memasak, mencuci, dan mengurus anak. Padahal secara
pengertian, kodrat adalah sesuatu hal yang muncul dari Tuhan dan
tidak bisa diubah misalnya mengandung dan melahirkan. Perlu
ditekankan bahwa memasak dan mengurus anak itu bukan kodrat
tetapi keterampilan. Namun bukan berarti kita bisa melupakan tugas
kita sebagai ibu adalah mengurus dan menghormati suami. Dalam
urusan rumah tangga sebenarnya antara suami dan istri itu bisa
saling membantu satu sama lain,“ tegasnya.

Anggoro menambahkan bahwa, ketika seorang suami pergi


membeli beras di pasar maka akan dianggap aneh oleh masyarakat
sekitar atau lingkungan sosial. Padahal dalam keluarga tersebut
tidak ada masalah jika suami membeli beras ke pasar. “Budaya atau
pola pikir inilah yang harus kita ubah, bahwa ketika laki-laki
melakukan pekerjaan rumah akan dianggap menyalahi kodrat
sebagai laki-laki,“ tambahnya.

Hal yang sama pun diungkapkan oleh Firly Annisa, MA


selaku dosen Ilmu Komunikasi UMY dan juga peneliti Rumah
Sinema saat menjadi pembicara dalam acara tersebut. Menurutnya,
konsep gender ini bukan milik perempuan tetapi juga milik laki-laki.
Feminis bukan milik perempuan tetapi laki-laki, masalahnya adanya
pematenan tunggal dari lingkungan sosial bahwa perempuan itu
feminis dan laki-laki itu maskulinitas, sehingga muncullah pelabelan
yang terjadi di lingkungan sosial. Untuk itu harus ada yang
dikendarai oleh perempuan untuk bisa menunjukkan kualitasnya.
Misalnya ketika ada kebijakan bahwa 70% beasiswa akan diberikan
kepada perempuan, kebijakan itu yang bisa diambil untuk
menyetarakan antara perempuan dan laki-laki dalam bidang
akademis, dengan begitu ini tidak akan menyalahkan kodrat yang
ada.

Firly juga mengatakan, perlu adanya keterbukaanaan antara


dogma agama dan juga konteks sosial, karena dalam kesetaraan

550
gender ini tidak ada yang dirugikan. “Inti dari kesetaraan adalah
tidak ada yang mendominasi dan tidak ada yang didominasi.
Keduanya harus saling memberi, intinya keadilan gender itu sesuai
dengan kebutuhan yang dimiliki oleh keduanya. Jadi ketika seorang
istri memutuskan untuk berhenti bekerja atas kemauannya, ya itu
bukan permasalahn gender lagi, tetapi ketika itu ada paksaan inilah
yang kemudian menjadi tidak ada keadilan. Yang terpenting saat ini
perlu adanya pengetahuan yang baik karena pengetahuan merupakan
kunci dari segalanya,“ tutupnya.

Gender seringkali disamakan maknanya dengan


pembedaan jenis kelamin antara perempuan dan laki-laki. Namun
sejatinya, isu gender yang dalam beberapa tahun belakangan ini
banyak dibahas adalah berkaitan dengan peran, posisi dan tanggung
jawab perempuan maupun laki-laki di dalam masyarakat dan
hubungan peran-peran tersebut. Peran antara laki-laki dan
perempuan dalam masyarakat dalam isu gender dapat dipertukarkan,
contoh yang paling mudah antara lain, seorang perempuan
menduduki posisi sebagai kepala daerah, bahkan sebagai presiden.
Berbeda dengan gender dalam arti jenis kelamin, yang lebih
mencerminkan ciri biologis makhluk hidup dan tidak dapat
dipertukarkan antar keduanya, misalnya alat kelamin perempuan dan
laki-laki, sperma, rahim, melahirkan, menyusui, haid dan
membuahi.

Gender merupakan suatu tafsir sosial yang sangat


dipengaruhi oleh pemahaman agama, budaya, kebijakan dan politik.
Misalnya gender laki-laki seringkali dikaitkan sebagai pencari
nafkah utama, sedangkan perempuan lebih dilihat dalam peran
reproduksi dan domestiknya.

Perbedaan gender sesungguhnya tidak menjadi masalah


sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender (gender

551
inequalities). Namun demikian, dengan semakin terbukanya
informasi dan komunikasi, ketidakadilan gender menjadi isu yang
muncul di berbagai belahan bumi dan menarik untuk dibahas.
Ketidakadilan gender itu sendiri merupakan sistem dan struktur
yang mengakibatkan salah satu gender, apakah itu perempuan
ataupun laki-laki, menjadi korban. Ketidakadilan gender
termanifestasikan dalam berbagai bentuk antara lain:

 Marginalisasi atau peminggiran hak-hak, dimana hak salah


satu gender terabaikan karena kepentingan gender yang
lain ataupun karena kepentingan politis yang lebih besar
 Subordinasi atau perendahan posisi, status dan peran dalam
keputusan yang bersifat politis
 Stereotip atau pelabelan negatif
 Tindak kekerasan
 Beban kerja lebih panjang dan lebih banyak (multi beban)

Permasalahan dalam gender sering muncul lebih banyak


dipengaruhi oleh tafsir sosial itu sendiri. Dalam banyak hal,
permasalahan gender seringkali lebih nampak saat perempuan yang
menjadi terpinggirkan, sehingga isu gender seolah-olah identik
dengan permasalahan perempuan. Sebagai contoh, dalam partisipasi
ekonomi, kaum laki-laki memperoleh kesempatan yang lebih besar
daripada perempuan. Demikian pula dalam akses informasi dan
pasar, umumnya perempuan memiliki keterbatasan yang lebih besar
daripada laki-laki. Namun demikian, di beberapa negara terdapat
kasus dimana laki-laki justru mengalami ketidakadilan. Jadi gender
bukanlah keberpihakan terhadap perempuan, tetapi lebih
menekankan terhadap pembagian peran secara adil antara laki-laki
dan perempuan. Bagaimana pola relasi antara perempuan dan laki-
laki dalam unit rumah tangga, masyarakat dan kelompok sosial yang
lebih besar berpengaruh terhadap posisi dan status gender. Hal ini
juga yang kemudian berpengaruh pada kesempatan ikut serta dalam

552
pembangunan dan menikmasi hasil pembangunan apakah
berlangsung secara adil atau tidak.

OERKEMBANGAN ISU GENDER DARI WAKTU KE WAKTU

Perhatian terhadap isu gender lahir dari pemikiran gerakan


feminisme yang memusatkan perhatian pada masalah perempuan
adalah karena kualitas dari perempuan itu sendiri. Perempuan tidak
mampu berkompetisi dengan laki-laki untuk ikut serta dan
menikmati hasil pembangunan. Upaya yang direkomendasikan
adalah dengan melibatkan perempuan lebih aktif dalam
pembangunan untuk meningkatkan kehidupan perempuan sekaligus
demi efisiensi keberhasilan program pembangunan. Pendekatan ini
banyak dilakukan oleh sebagian besar organisasi internasional
seperti PBB, Bank Dunia, USAID dan lembaga pemerintahan
melalui program global Woman in Development atau WID.

Sebagai alternative, muncul pemikiran dari segolongan


pemerhati perempuan untuk lebih menekankan gender sebagai suatu
konstruksi sosial yang memuat unsur ketidakadilan. Hal tersebut
berpengaruh terhadap kebijakan dan model pembangunan yang
direncanakan dan dilakukan. Pemikiran ini menekankan adanya
struktur ideologi dan masyarakat yang menjadi sumber
ketidakadilan tersebut. Pendekatan ini dikenal sebagai Genderand
Development atau GAD. Jika pemikiran pertama hanya ingin
menjawab kebutuhan praktis bagi perempuan dan juga
pembangunan, pemikiran yang kedua melihat lebih panjang ke
depan. Jangan-jangan upaya pembangunan yang praktis tersebut
justru akan menambah beban perempuan. Tanpa merespons
penyebab terjadinya ketidaksetaraan gender, maka sampai beberapa
puluh tahun ke depan kondisi akan tetap sama bahkan mungkin
semakin parah. Karena itu, pemikiran ini melihat bahwa secara
strategis posisi perempuan harus diangkat.

Perhatian pada isu gender saat ini setidaknya berangkat dari


dua pemikiran tersebut. Desain pembangunan tidak hanya

553
memperhatikan permasalahan praktis gender dan pembangunan,
tetapi juga harus berupaya mengubah situasi dan kondisi yang
mendasari adanya ketidaksetaraan sebagai tujuan jangka panjang.

ISU GENDER INDONESIA DAN DUNIA

Di Indonesia, pengarusutamaan gender telah diinstruksikan


oleh Presiden melalui INPRES No. 9/2000 yang memiliki tujuan
untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam
kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Pengarusutamaan gender merupakan aspek yang penting dari good
governance, bagaimana mendesain program pembangungan dan
kebijakan yang dapat merespons kebutuhan dan kepentingan
perempuan yang berbeda dengan laki-laki, dan mendistribusikan
manfaat secara adil diantara perempuan dan laki-laki.

Seperti disebutkan dalam INPRES No. 9/200 bahwa


pengarusutamaan gender merupakan strategi yang dibangun untuk
mengintegrasikan gender dalam perencanaan, penyusunan,
pelaksanaan, pemantauan, evaluasi kebijakan dan program
pembangunan nasional. Beberapa hal yang perlu dilakukan dalam
mensinergiskan pengarusutamaan gender ini adalah:

1. Peningkatan partisipasi perempuan dalam pengambilan


keputusan;
2. Peningkatan kesadaran mengenai adanya kebutuhan dan
pengalaman yang berbeda antara perempuan dan laki-laki,
sehingga upaya intervensi dalam permasalahan
lingkungan juga akan berbeda antara perempuan dan laki-
laki;
3. Membenahi berbagai informasi terkait lingkungan dengan
pengumpulan data terpilah gender.

Tidak hanya di Indonesia, program pengarusutamaan gender ini


juga merupakan bagian dari strategi global dalam memajukan

554
kesetaraan gender yang diajukan dalam rencana aksi yang diadopsi
pada Konferensi Internasional IV tentang Perempuan di Beijing
Tahun 1995 serta merupakan amanat dari Perserikatan Bangsa-
bangsa yang dicetuskan pada bulan Juni tahun 2000.
MENGAPA ISU GENDER MENJADI SUATU HAL YANG
PENTING?

Secara alami dan dalam banyak hal, laki-laki dan


perempuan memiliki pengalaman berbeda dalam menyikapi suatu
permasalahan dan akan menghasilkan pengetahuan serta
pengambilan keputusan yang berbeda pula. Salah satu contohnya
adalah bagaimana perempuan mengambil keputusan dalam
memasarkan produk-produk agroforestri dari kebunnya dan
bagaimana perempuan memanfaatkan uang hasil penjualan
produknya seperti petikan di atas. Hal ini menunjukkan bahwa ada
perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam memanfaatkan
sumberdaya yang mereka miliki dan yang ada di sekitarnya.

Dalam pandangan hukum Islam, segala sesuatu diciptakan


Allah dengan kodrat. Demikian halnya manusia, antara laki-laki dan
perempuan sebagai individu dan jenis kelamin memiliki kodratnya
masing-masing. Al-Qur'an mengakui adanya perbedaan anatomi
antara laki-laki dan perempuan. Al-Qur'an juga mengakui bahwa
anggota masing-masing gender berfungsi dengan cara merefleksikan
perbedaan yang telah dirumuskan dengan baik serta dipertahankan
oleh budaya, baik dari kalangan kaum laki-laki maupun perempuan
sendiri.
Kodrat perempuan sering dijadikan alasan untuk mereduksi
berbagai peran perempuan di dalam keluarga maupun masyarakat,
kaum laki-laki sering dianggap lebih dominan dalam memainkan
berbagai peran, sementara perempuan memperoleh peran yang
terbatas di sektor domestik. Kebudayaan yang berkembang dalam
masyarakat pun memandang bahwa perempuan sebagai makhluk
yang lemah, emosional, halus dan pemalu sementara laki-laki
makhluk yang kuat, rasional, kasar serta pemberani. Anehnya
perbedaan-perbedaan ini kemudian diyakini sebagai kodrat, sudah

555
tetap yang merupakan pemberian Tuhan. Barang siapa berusaha
merubahnya dianggap menyalahi kodrat bahkan menentang
ketetapan Tuhan.
Peran dan status perempuan dalam perspektif Islam selalu
dikaitkan dengan keberadaan laki-laki. Perempuan digambarkan
sebagai makhluk yang keberadaannya sangat bergantung kepada
laki-laki. Sebagai seorang anak, ia berada di bawah lindungan
perwalian ayah dan saudara laki-laki, sebagai istri bergantung
kepada suami. Islam menetapkan perempuan sebagai penenang
suami, sebagai ibu yang mengasuh dan mendidik anak dan menjaga
harta benda serta membina etika keluarga di dalam pemerintahan
terkecil.
Al-Qur'an tidak mengajarkan diskriminasi antara lelaki dan
perempuan sebagai manusia. Di hadapan Tuhan, lelaki dan
perempuan mempunyai derajat yang sama, namun masalahnya
terletak pada implementasi atau operasionalisasi ajaran tersebut.
Kemunculan agama pada dasarnya merupakan jeda yang secara
periodik berusaha mencairkan kekentalan budaya patriarkhi. Oleh
sebab itu, kemunculan setiap agama selalu mendapatkan perlawanan
dari mereka yang diuntungkan oleh budaya patriarkhi. Sikap
perlawanan tersebut mengalami pasang surut dalam perkembangan
sejarah manusia.
Semua dimungkinkan terjadi karena pasca kerasulan
Muhammad, umat sendiri tidak diwarisi aturan secara terperinci
(tafshily) dalam memahami Al-Qur'an. Di satu sisi Al-Qur'an
mengakui fungsi laki-laki dan perempuan, baik sebagai individu
maupun sebagai anggota masyarakat. Namun tidak ada aturan rinci
yang mengikat mengenai bagaimana keduanya berfungsi secara
kultural. Berbeda pada masa kenabian superioritas dapat diredam.
Keberadaan nabi secara fisik sangat berperan untuk menjaga
progresivitas wahyu dalam proses emansipasi kemanusiaan.
Persoalannya, problematika umat semakin kompleks dan tidak
terbatas seiring perkembangan zaman, sementara Al-Qur'an sendiri
terdapat aturan-aturan yang masih bersifat umum dan global
(mujmal) adanya.

556
Sejak kita sebagai bayi mungil hingga mencapai usia tua,
kita mempelajari dan mempraktikkan cara-cara khusus yang telah
ditentukan oleh masyarakat bagi kita untuk menjadi laki-laki dan
perempuan. Gender adalah seperangkat peran yang seperti halnya
kostum dan topeng di teater menyampaikan kepada orang lain
bahwa kita adalah feminine atau maskulin. Perangkat perilaku
khusus ini yang mencakup penampilan, pakaian, sikap, kepribadian,
bekerja di dalam dan di luar rumah tangga, seksualitas, tanggung
jawab keluarga dan sebagainya secara bersama-sama memoles peran
gender kita.62[1]
Begitu lahir, kita mulai mempelajari peran gender kita.
Dalam satu studi laboratory mengenai gender, kaum ibu diundang
untuk bermain dengan bayi orang lain yang didandani sebagai anak
perempuan atau laki-laki. Tidak hanya gender dari bayi itu yang
menimbulkan bermacam-macam tanggapan dari kaum perempuan,
tetapi perilaku serupa dari seorang bayi ditanggapi secara berbeda,
tergantung kepada bagaimana ia didandani. Ketika si bayi didandani
sebagai laki-laki, kaum perempuan tersebut menanggapi inisiatif si
bayi dengan aksi fisik dan permainan. Tetapi ketika bayi yang sama
tampak seperti perempuan dan melakukan hal yang sama tampak
seperti perempuan dan melakukan hal yang sama, kaum perempuan
itu menenangkan dan menghiburnya. Dengan kata lain, sejak usia
enam bulan anak-anak telah direspon menurut stereotype
gender.63[2]
Untuk memahami konsep gender harus dibedakan kata
gender dengan kata seks (jenis kelamin). Pengertian jenis kelamin
merupakan pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia
yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin
tertentu. Sedangkan konsep lainnya adalah konsep gender yakni

557
suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan
yang konstruksi secara sosial maupun cultural.64[3]

Kesetaraan Gender Dalam Al-Qur’an


Al Qur’an secara umum dan dalam banyak ayatnya telah
membicarakan relasi gender, hubungan antara laki- laki dan
perempuan, hak- hak mereka dalam konsepsi yang rapi, indah dan
bersifat adil. Al Qur’an yang diturunkan sebagai petunjuk manusia,
tentunya pembicaraannya tidaklah terlalu jauh dengan keadaan dan
kondisi lingkungan dan masyrakat pada waktu itu. Seperti apa yang
disebutkan di dalam QS. Al- Nisa, yang memandang perempuan
sebagai makhluk yang mulia dan harus di hormati, yang pada satu
waktu masyarakat Arab sangat tidak menghiraukan nasib mereka.
Sebelum diturunkan surat Al- Nisa ini, telah turun dua surat
yang sama-sama membicarakan wanita, yaitu surat Al-Mumtahanah
dan surat Al-Ahzab. Namun pembahasannya belum final, hingga
diturunkan surat al-Nisa’ ini. Oleh karenanya, surat ini disebut
dengan surat Al-Nisa’ al-Kubro, sedang surat lain yang
membicarakan perempuan juga , seperti surat al-Tholak, disebut
surat al-Nisa’ al Sughro. Surat Al Nisa’ ini benar- benar
memperhatikan kaum lemah, yang di wakili oleh anak- anak yatim,
orang-orang yang lemah akalnya, dan kaum perempuan.
Maka, pada ayat pertama surat al-Nisa’ kita dapatkan,
bahwa Allah telah menyamakan kedudukan laki-laki dan perempuan
sebagai hamba dan makhluk Allah, yang masing- masing jika
beramal sholeh, pasti akan di beri pahala sesuai dengan amalnya.
Kedua-duanya tercipta dari jiwa yang satu (nafsun wahidah), yang
mengisyaratkan bahwa tidak ada perbedaan antara keduanya.
Semuanya di bawah pengawasan Allah serta mempunyai kewajiban
untuk bertaqwa kepada-Nya (ittaqu robbakum).
Kesetaraan yang telah di akui oleh Al Qur’an tersebut,
bukan berarti harus sama antara laki- laki dan perempuan dalam

558
segala hal.Untuk menjaga kesimbangan alam (sunnatu tadafu’),
harus ada sesuatu yang berbeda, yang masing-masing mempunyai
fungsi dan tugas tersendiri. Tanpa itu, dunia, bahkan alam ini akan
berhenti dan hancur. Oleh karenanya, sebgai hikmah dari Allah
untuk menciptakan dua pasang manusia yang berbeda, bukan hanya
pada bentuk dan postur tubuh serta jenis kelaminnya saja, akan
tetapi juga pada emosional dan komposisi kimia dalam tubuh.
Hal ini akibat membawa efek kepada perbedaan dalam
tugas ,kewajiban dan hak. Dan hal ini sangatlah wajar dan sangat
logis. Ini bukan sesuatu yang di dramatisir sehingga merendahkan
wanita, sebagaimana anggapan kalangan feminis dan ilmuan
Marxis. Tetapi merupakan bentuk sebuah keseimbangan hidup dan
kehidupan, sebagiamana anggota tubuh manusia yang berbeda- beda
tapi menuju kepada persatuan dan saling melengkapi. Oleh
karenanya, suatu yang sangat kurang bijak, kalau ada beberapa
kelompok yang ingin memperjuangkan kesetaraan antara dua jenis
manusia ini dalam semua bidang. Al Qur’an telah meletakkan batas
yang jelas dan tegas di dalam masalah ini, salah satunya adalah ayat-
ayat yang terdapatdi dalam surat al Nisa. Terutama yang
menyinggung konsep pernikahan poligami, hak waris dan dalam
menentukan tanggungjawab di dalam masyarakat dan keluarga.

Pandangan Ulama Kontemporer Tentang Kepemimpinan


Wanita
Ulama kontemporer ternama Yusuf Al-Qordhawi memiliki
pandangan dan pendapat yang berbeda terhadap kepemimpinan
wanita dalam berpolitik. Beliau menjelaskankan bahwa penafsiran
terhadap surat an-nisa ayat 34 bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi
wanita dalam lingkup keluarga atau rumah tangga. Jika ditinjau
tafsir surat An-Nisa ayat 34 bahwa laki-laki adalah pemimpin
wanita, bertindak sebagai orang dewasa terhadapnya, yang
menguasainya, dan pendidiknya tatkala dia melakukan
penyimpangan. “Karena Allah telah mengunggulkan sebagian
mereka atas sebagian yang lain. Yakni, karena kaum laki-laki itu

559
lebih unggul dan lebih baik daripada wanita. Oleh karena itu
kenabian hanya diberikan kepada kaum laki-laki.
Laki-laki menjadi pemimpin wanita yang dimaksud ayat ini
adalah kepemimpinan dirumah tangga, karena laki-laki telah
menginfakkan hartanya, berupa mahar, belanja dan tugas yang
dibebankan Allah kepadanya untuk mengurus mereka. Tafsir ibnu
katsir ini menjelaskan bahwa wanita tidak dilarang dalam
kepemimpinan politik, yang dilarang adalah kepemimpinan wanita
dalam puncak tertinggi atau top leader tunggal yang mengambil
keputusan tanpa bermusyawarah, dan juga wanita dilarang menjadi
hakim. Hal inilah yang mendasari Qardhawi memperbolehkan
wanita berpolitik.65[4]
Qordhawi juga menambahkan bahwa wanita boleh
berpolitik dikarenakan pria dan wanita dalam hal mu’amalah
memiliki kedudukan yang sama hal ini dikarenakan keduanya
sebagai manusia mukallaf yang diberi tanggung jawab penuh untuk
beribadah, menegakkan agama, menjalankan kewajiban, dan
melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Pria dan wanita memiliki hak
yang sama untuk memilih dan dipilih, sehingga tidak ada dalil yang
kuat atas larangan wanita untuk berpolitik. Namun yang menjadi
larangan bagi wanita adalah menjadi imam atau khilafah (pemimpin
negara).
Quraish Shihab juga menambahkan bahwa dalam Al-
Qur’an banyak menceritakan persamaan kedudukan wanita dan pria,
yang membedakannya adalah ketaqwaanya kepada Allah. Tidak ada
yang membedakan berdasarkan jenis kelamin, ras, warna kulit dan
suku. Kedudukan wanita dan pria adalah sama dan diminta untuk
saling bekerjasama untuk mengisi kekurangan satu dengan yang
lainnya, sebagai mana di jelaskan dalam surat At-Taubah ayat 71.
Islam sebenarnya tidak menempatkan wanita berada
didapur terus menerus, namun jika ini dilakukan maka ini adalah
sesuatu yang baik, hal ini di nyatakan oleh imam Al-Ghazali bahwa
pada dasarnya istri tidak berkewajiban melayani suami dalam hal

560
memasak, mengurus rumah, menyapu, menjahid, dan sebagainya.
Akan tetapi jika itu dilakukan oleh istri maka itu merupakan hal
yang baik. Sebenarnya suamilah yang berkewajiban untuk
memberinya/menyiapkan pakaian yang telah dijahid dengan
sempurna, makanan yang telah dimasak secara sempurna. Artinya
kedudukan wanita dan pria adalah saling mengisi satu dengan yang
lain, tidak ada yang superior. Hanya saja laki-laki bertanggung
jawab untuk mendidik istri menjadi lebih baik di hadapan Allah
SWT.
Sebenarnya hanyalah permainan kaum feminis saja yang
menyatakan bahwa laki-laki superior dibandingkan dengan wanita,
agar mereka dapat melakukan hal-hal yang melampaui batas,
dengan dalih bahwa wanita dapat hidup tanpa laki-laki, termasuk
dalam hal seks, sehingga muncullah fenomena lesbian percintaan
sesama jenis, banyaknya fenomena kawin cerai karena sang istri
menjadi durhaka terhadap suami, padahal dalam rumah tangga
pemimpin keluarga adalah laki-laki, sedangkan dalam hal berpolitik
tidak ada larangan dalam Islam untuk berpolitik dan berkarier.
Taqiyuddin al-Nabhani menjelaskan ada tujuh syarat
seorang kepala negara atau (Khalifah) dapat di bai’at yaitu muslim,
laki-laki, baligh, berakal, adil, merdeka dan mampu. Syarat muslim
merupakan syarat mutlak untuk mengangkat pemimpin dalam
sebuah negara yang mayaritas penduduk islam, dan dilarangkan
mengangkat pimpinan dari kalangan kafir. Hal ini termaktub dalam
surat An-Nisa ayat 144.

561
Sumber Referensi :

Modul Sosiologi Komunikasi oleh Heri Budiyanto S.Is M.Si pokok


bahasan Gender dan media masa : Pusat pengembangan
Bahan ajar UMB.

Gender, kesehatan dan pelayanan kesehatan, mata kuliah ilmu


sosial dan kesehatan masyarakat oleh Ratna Siwi
Fatmawati, 6/5/2010

Budiman, Arief, Pembagian Kerja Secara Seksual, Sebuah


Pembahasan Sosiologis tentang Peran Wanita di dalam
Masyarakat. Jakarta, Gramedia,1985

Fakih, Mansour, DR. Analisis Gender dan Transformasi Sosial.


Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997

Ibrahim, Idi Subandy dan Hanif Suranto, (ed). Wanita dan Media.
Bandung: Remaja Rosdakarya, 1998

Munir, Lily Zakiyah, (ed). Memposisikan Kodrat. Bandung: Mizan,


1999

Noor, H. M. Arifin, Drs. Ilmu Sosial Dasar. Bandung: Pustaka


Setia, 1997

Saptari, Ratna dan Brigitte Holzner. Perempuan Kerja dan


Perubahan Sosial. Sebuah Pengantar Studi Perempuan.
Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1997

562
HUMAN TRAFFICKING
Oleh : Syahrul Mubarok

2.1 Pengertian Human Trafficking


Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) mendefinisikan
trafficking sebagai :
Perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan,
atau penerimaan seseorang, dengan ancaman, atau penggunaan
kekerasan, atau bentuk-bentuk pemaksaan lain, penculikan,
penipuan, kecurangan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi
rentan, atau memberi atau menerima bayaran atau manfaat untuk
memperoleh ijin dari orang yang mempunyai wewenang atas orang
lain, untuk tujuan eksploitasi. (Protokol PBB tahun 2000 untuk
Mencegah, Menanggulangi dan Menghukum Trafficking terhadap
Manusia, khususnya perempuan dan anak-anak; Suplemen Konvensi
PBB mengenai Kejahatan Lintas Batas Negara).
Dari definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa istilah
trafficking merupakan:
a. Pengertian trafficking dapat mencakup kegiatan pengiriman
tenaga kerja, yaitu kegiatan memindahkan atau mengeluarkan
seseorang dari lingkungan tempat tinggalnya/ keluarganya. Tetapi
pengiriman tenaga kerja yang dimaksud tidak harus atau tidak selalu
berarti pengiriman ke luar negeri.
b. Meskipun trafficking dilakukan atas izin tenaga kerja yang
bersangkutan, izin tersebut sama sekali tidak menjadi relevan (tidak
dapat digunakan sebagai alasan untuk membenarkan trafficking
tersebut) apabila terjadi penyalahgunaan atau korban berada dalam
posisi tidak berdaya. Misalnya karena terjerat hutang, terdesak oleh
kebutuhan ekonomi, dibuat percaya bahwa dirinya tidak mempunyai
pilihan pekerjaan lain, ditipu, atau diperdaya.
c. Tujuan trafficking adalah eksploitasi, terutama tenaga kerja
(dengan menguras habis tenaga yang dipekerjakan) dan eksploitasi
seksual (dengan memanfaatkan kemudaan, kemolekan tubuh, serta
daya tarik seks yang dimiliki tenaga kerja yang yang bersangkutan
dalam transaksi seks).

563
Sedangkan Global Alliance Against Traffic in Woman
(GAATW) mendefinisikan perdagangan (trafficking):
Semua usaha atau tindakan yang berkaitan dengan
perekrutan, pembelian, penjualan, transfer, pengiriman, atau
penerimaan seseorang dengan menggunakan penipuan atau tekanan,
termasuk pengunaan ancaman kekerasan atau penyalahgunaan
kekuasaan atau lilitan hutang dengan tujuan untuk menempatkan
atau menahan orang tersebut, baik dibayar atau tidak, untuk kerja
yang tidak diinginkan (domestik seksual atau reproduktif) dalam
kerja paksa atau dalam kondisi perbudakan, dalam suatu lingkungan
lain dari tempat dimana orang itu tinggal pada waktu penipuan,
tekanan atau lilitan hutang pertama kali.
Dari definisi ini, dapat disimpulkan bahwa istilah
perdagangan (trafficking) mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
1. Rekrutmen dan transportasi manusia
2. Diperuntukkan bekerja atau jasa/melayani
3. Untuk kepentingan pihak yang memperdagangkan

2.2 Faktor Penyebab Human Trafficking


Tidak ada satu pun yang merupakan sebab khusus
terjadinya trafficking manusia di Indonesia. Trafficking disebabkan
oleh keseluruhan hal yang terdiri dari bermacam-macam kondisi
serta persoalan yang berbeda-beda. Termasuk ke dalamnya adalah:
1. Kemiskinan
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) adanya
kecenderungan jumlah penduduk miskin terus meningkat.
Kemiskinan telah mendorong anak-anak untuk tidak bersekolah
sehingga kesempatan untuk mendapatkan keterampilan kejuruan
serta kesempatan kerja menyusut. Seks komersial kemudian menjadi
sumber nafkah yang mudah untuk mengatasi masalah pembiayaan
hidup. Kemiskinan pula yang mendorong kepergian ibu sebagai
tenaga kerja wanita yang dapat menyebabkan anak terlantar tanpa
perlindungan sehingga beresiko menjadi korban perdagangan
manusia.
2. Keinginan cepat kaya

564
Keinginan untuk hidup lebih layak, tetapi dengan
kemampuan yang minim dan kurang mengetahui informasi pasar
kerja, menyebabkan mereka terjebak dalam lilitan hutang para
penyalur tenaga kerja dan mendorong mereka masuk dalam dunia
prostitusi.
3. Pengaruh ias budaya
Disini misalnya, budaya pernikahan di usia muda yang
sangat rentan terhadap perceraian, yang mendorong anak memasuki
eksploitasi seksual komersial. Berdasarkan UU Perkawinan
No.1/1974, perempuan Indonesia diizinkan untuk menikah pada usia
16 tahun atau lebih muda jika mendapat izin dari pengadilan.
Meskipun begitu, dewasa ini pernikahan dini masih berlanjut
dengan persentase 46,5% perempuan menikah sebelum mencapai
usia 18 tahun dan 21,5% sebelum mencapai usia 16 tahun. Tradisi
budaya pernikahan dini menciptakan masalah sosio-ekonomi untuk
pihak lelaki maupun perempuan dalam perkawinan tersebut. Tetapi
implikasinya terutama terlihat jelas bagi gadis/perempuan. Masalah-
masalah yang mungkin muncul bagi perempuan dan gadis yang
melakukan pernikahan dini antara lain: dampak buruk pada
kesehatan (kehamilan iasl, penyebaran HIV/AIDS), pendidikan
terhenti, kesempatan ekonomi terbatas, perkembangan pribadi
terhambat dan tingkat perceraian yang tinggi.
Masing-masing isu diatas adalah masalah ias yang
berkenaan dengan kesejahteraan anak perempuan khususnya penting
dalam hal kerentanan terhadap perdagangan. Hal ini dikarenakan:
1. Perkembangan pribadi yang terhambat, membuat banyak gadis
tidak mempunyai bekal keterampilan kerja yang cukup berkembang,
sehingga mereka akan kesulitan untuk berunding mengenai kodisi
dan kontrak kerja, atau untuk mencari bantuan jika mengalami
kekerasan dan eksploitasi.
2. Keterbatasan pendidikan, mereka sering rentan terhadap pekerjaan
yang eksploitatif dan perdagangan karena mereka umumnya tidak
terlalu paham hak-haknya.
3. Peluang ekonomi yang terbatas, mengingat terbatasnya pilihan
ekonomi dan kekuatan tawar-menawar mereka, perempuan muda
rentan terhadap pekerjaan yang eksploitatif dan perdagangan.

565
4. Kurangnya pencatatan kelahiran
Anak dan orang dewasa yang tidak terdaftar serta tidak
memiliki akta kelahiran amat rentan terhadap eksploitasi. Orang
yang tidak dapat memperlihatkan akta kelahirannya sering kali
kehilangan perlindungan yang diberi ias karena dimata ias secara
teknis mereka tidak ada.
5. Korupsi dan lemahnya penegakan hukum
Korupsi di Indonesia telah menjadi suatu yang lazim
dalam kehidupan sehari-hari, karena baik kalangan atas maupun
bawah telah melakukan praktik korupsi ini. Karena itulah, korupsi
memainkan peran integral dalam memfasilitasi perdagangan
perempuan dan anak di Indonesia, disamping dalam menghalangi
penyelidikan dan penuntutan kasus perdagangan. Mulai dari biaya
illegal dan pemalsuan dokumen. Dampak korupsi ini terhadap buruh
ias perempuan dan anak harus dipelajari dari umur mereka yang
masih muda dan lugu, yang tidak tahu bagaimana cara menjaga diri
di kota-kota besar karena mereka tidak terbiasa dan sering malu
untuk mencari bantuan. Tidak peduli berapa usia dan selugu apa pun
mereka, mereka yang berimigrasi dengan dokumen palsu takut
status illegal mereka akan membuat mereka jatuh ke dalam kesulitan
lebih jauh dengan pihak berwenang atau dapat dideportasi. Pelaku
perdagangan memanfaatkan ketakutan ini, untuk terus
mengeksploitasi para perempuan dan proyek. Masalah lain yaitu
lemahnya ias di Indonesia.
Untuk penyelidikan dan penuntutan kasus-kasus
perdagangan, ias ias Indonesia sampai sekarang masih lemah,
lamban dan mahal. Sangat sedikit transparansi, sehingga hanya
sedikit korban yang mempercayakan kepentingan mereka kepada ias
tersebut. Perilaku iasl memiliki sumber daya dan koneksi untuk
memanfaatkan ias tersebut. Akibatnya, banyak korban perdagangan
yang tidak mau menyelesaikan masalah melalui proses ias. Hal ini
mengakibatkan praktik pedagangan/trafficking semakin meningkat
dan masih berlangsung.
6. Media massa
Media massa masih belum memberikan perhatian yang
penuh terhadap berita dan informasi yang lengkap tentang

566
trafficking dan belum memberikan kontribusi yang optimal dalam
upaya pencegahan maupun penghapusannya. Bahkan tidak sedikit
justru memberitakan yang kurang mendidik dan bersifat pornografis
yang mendorong menguatnya kegiatan trafficking dan kejahatan
susila lainnya.

7. Pendidikan minim dan tingkat buta huruf

Orang dengan pendidikan yang terbatas atau buta aksara


kemungkinan besar akan menderita keterbatasan ekonomi. Dan
mereka juga tidak akan mempunyai pengetahuan kepercayaan diri
untuk mengajukan pertanyaan tentang ketentuan-ketentuan dalam
kontrak dan kondisi kerja mereka.
Selain itu, mereka akan sulit mencari pertolongan ketika
mereka kesulitan saat berimigrasi atau mencari pekerjaan. Mereka
akan kesulitan bagaimana mengakses sumber daya yang tersedia,
tidak dapat membaca atau mengerti brosur iklan layanan masyarakat
lain mengenai rumah singgah atau nomor telepon yang ias
dihubungi untuk mendapatkan bantuan. Seorang yang rendah melek
huruf sering kali secara lisan dijanjikan akan mendapat jenis
pekerjaan atau jumlah gaji tertentu oleh seorang agen, namun
kontrak yang mereka tanda tangani (yang mungkin tidak dapat
mereka baca) mencantumkan ketentuan kerja serta kompensasi yang
jauh berbeda, mengarah ke eksploitasi.

2.3 Bentuk-Bentuk Trafficking


Ada beberapa bentuk trafficking manusia yang terjadi
pada perempuan dan anak-anak.

1. Kerja Paksa Seks & Eksploitasi seks, baik di luar negeri


maupun di wilayah Indonesia
2. Pembantu Rumah Tangga (PRT), baik di luar ataupun di
wilayah Indonesia
3. Bentuk Lain dari Kerja Migran, baik di luar ataupun di wilayah
Indonesia
4. Penari, Penghibur & Pertukaran Budaya terutama di luar negeri

567
5. Pengantin Pesanan, terutama di luar negeri
6. Beberapa Bentuk Buruh/Pekerja Anak, terutama di Indonesia
7. Trafficking/penjualan Bayi, baik di luar negeri ataupun di
Indonesia

Sasaran yang rentan menjadi korban perdagangan perempuan


antara lain :

1. Anak-anak jalanan
2. Orang yang sedang mencari pekerjaan dan tidak mempunyai
pengetahuan informasi yang benar mengenai pekerjaan yang
akan dipilih
3. Perempuan dan anak di daerah konflik dan yang menjadi
pengungsi
4. Perempuan dan anak miskin di kota atau pedesaan
5. Perempuan dan anak yang berada di wilayah perbatasan
anatar Negara
6. Perempuan dan anak yang keluarganya terjerat hutang
7. Perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga, korban
pemerkosaan

2.4 Undang-Undang Tentang Human Trafficking


Berikut ini beberapa peraturan perundang-undangan :

1. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Pasal 285, 287-


298; Pasal 506
2. UU RI No. 7 tahun 1984 (ratifikasi konvensi Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan/CEDAW; pasal
2,6,9,11,12,14,15,16)
3. UU RI No. 20 tahun 1999 (ratifikasi konvensi ILO No. 138
tentang Usia Minimum yang Diperbolehkan Bekerja)
4. UU RI No. 1/2000 (ratifikasi konvensi ILO No. 182 tentang
Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak)
5. UU RI no. 29/1999 (ratifikasi konvensi untuk Mengeliminasi
Diskriminasi Rasial)

568
6. Keppres No 36/1990 ( ratifikasi konvensi Hak Anak)

2.5 PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN HUMAN


TRAFFICKING
Perdagangan orang, khususnya perempuan sebagai suatu
bentuk tindak kejahatan yang kompleks, tentunya memerlukan
upaya penanganan yang komprehensif dan terpadu. Tidak hanya
dibutuhkan pengetahuan dan keahlian profesional, namun juga
pengumpulan dan pertukaran informasi, kerjasama yang memadai
baik sesama aparat penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan,
hakim maupun dengan pihak-pihak lain yang terkait yaitu lembaga
pemerintah (kementerian terkait) dan lembaga non pemerintah
(LSM) baik lokal maupun internasional. Semua pihak bisa saling
bertukar informasi dan keahlian profesi sesuai dengan kewenangan
masing-masing dan kode etik instansi. Tidak hanya perihal
pencegahan, namun juga penanganan kasus dan perlindungan
korban semakin memberikan pembenaran bagi upaya pencegahan
dan penanggulangan perdagangan perempuan secara terpadu. Hal ini
bertujuan untuk memastikan agar korban mendapatkan hak atas
perlindungan dalam hukum.

Dalam konteks penyidikan dan penuntutan, aparat


penegak hukum dapat memaksimalkan jaringan kerjasama dengan
sesama aparat penegak hukum lainnya di dalam suatu wilayah
negara, untuk bertukar informasi dan melakukan investigasi
bersama. Kerjasama dengan aparat penegak hukum di negara tujuan
bisa dilakukan melalui pertukaran informasi, atau bahkan melalui
mutual legal assistance, bagi pencegahan dan penanggulangan
perdagangan perempuan lintas negara.

Upaya Masyarakat dalam pencegahan trafficking yakni


dengan meminta dukungan ILO, dan Yayasan Kesejahteraan Anak
Indonesia (YKAI) yang melakukan Program Prevention of Child
Trafficking for Labor and Sexual Exploitation. Tujuan dari program
ini adalah :

569
1. Memperbaiki kualitas pendidikan dari tingkat
Sekolah Dasar sampai Sekolah Menegah Atas untuk memperluas
angka partisipasi anak laki-laki dan anak perempuan,
2. Mendukung keberlanjutan pendidikan dasar untuk
anak perempuan setelah lulus sekolah dasar,
3. Menyediakan pelatihan keterampilan dasar untuk
memfasilitasi kenaikan penghasilan,
4. Menyediakan pelatihan kewirausahaan dan akses ke
kredit keuangan untuk memfasilitasi usaha sendiri,
5. Merubah sikap dan pola pikir keluarga dan
masyarakat terhadap trafficking anak.

2.6 HAMBATAN PEMBERANTASAN HUMAN TRAFFICKING


Upaya penanggulangan perdagangan manusia
khususnya perdagangan perempuan dan anak mengalami berbagai
hambatan. Dari berbagai upaya yang telah dilakukan SP selama ini,
terdapat 3 (tiga) hal yang merupakan hambatan kunci dalam
melakukan upaya tersebut, yaitu antara lain:

1. Budaya masyarakat (culture)


Anggapan bahwa jangan terlibat dengan masalah orang
lain terutama yang berhubungan dengan polisi karena akan
merugikan diri sendiri, anggapan tidak usah melaporkan masalah
yang dialami, dan lain sebagainya. Stereotipe yang ada di masyarkat
tersebut masih mempengaruhi cara berpikir masyarakat dalam
melihat persoalan kekerasan perempuan khususnya kekerasan yang
dialami korban perdagangan perempuan dan anak.

2. Kebijakan pemerintah khususnya peraturan perundang-undangan


(legal substance)
Belum adanya regulasi yang khusus (UU anti
trafficking) mengenai perdagangan perempuan dan anak selain dari
Keppres No. 88 Tahun 2002 mengenai RAN penghapusan
perdagangan perempuan dan anak. Ditambah lagi dengan masih
kurangnya pemahaman tentang perdagangan itu sendiri dan
kurangnya sosialisasi RAN anti trafficking tersebut.

570
3. Aparat penegak hukum (legal structure)
Keterbatasan peraturan yang ada (KUHP) dalam
menindak pelaku perdagangan perempuan dan anak berdampak
pada penegakan hukum bagi korban. Penyelesaian beberapa kasus
mengalami kesulitan karena seluruh proses perdagangan dari
perekrutan hingga korban bekerja dilihat sebagai proses
kriminalisasi biasa.

Sumber Referensi :

Analisis gender dan transformasi social; (Dr Mansour Faqih)

Kuntjoro, Memahami Pekerja Seks sebagai Korban Penyakit Sosial


, Jurnal Perempuan Nomor 36 Yayasan Jurnal perempuan, cetakan
pertama, Jakarta : 2004.

Kementrian Bidang Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat,


Pengahapusan Perdagangan Orang Traffficking in Person
diIndonesia Tahun 2003
-2004, Jakarta: 2004

. Mulyana Kusumah, Analisa Krimiologi tentang Kejahatan-


Kejahatan Kekerasan. Jakarta : Ghalia Indonesia,1991.

MozasaChairul Bariah, aturan-aturan hukum trafficking


(perdagangan dan anak), Medan : USU Press , 2005.

Mudjiono, Sistem Hukum Dan Tata Hukum Indonesia,Yogyakarta :


Liberty, 1997.

Mulyadi Mahmud, Politik Hukum Pidana, Medan : USU Press,

571

Anda mungkin juga menyukai