Definisi Terorisme
Oleh : Midih Saputra
1
Jajang Jahroni dan Jamhari Makruf, (eds.), Memahami Terorisme, Sejarah,
Konsep dan Model, (Jakarta: Kencana, 2016), h. 4
2
Muhammad Mustofa, “Memahami Terorisme: Perspektif Kriminologi” dalam
Jurnal Kriminologi Indonesia Vol. 2 No. III Desember 2002 : 30 – 38. h. 31
2
karena cara-cara yang mapan tidak mampu melayani aspirasi mereka. Kelompok
semacam ini sekarang diberi label sebagai teroris yang dimusuhi di seluruh penjuru
dunia, khususnya perspektif yang didominasi oleh kepentingan Amerika dan
sekutu-sekutunyanya.3
Sebaliknya, pelaku terorisme dapat juga kelompok yang dominan dalam
tata pergaulan mapan. Negara, sebagai contoh, dapat dikategorikan sebagai teroris
apabila dalam melaksanakan kebijakan negara melakukan tindakan-tindakan
diskriminasi dan represif terhadap kelompok minoritas atau kelompok pinggiran
(marginal). Penindasan terhadap pejuang kemerdekaan dan warga Palestina oleh
penguasa Israel dan di bawah restu dan dukungan Amerika Serikat, juga merupakan
bentuk tindakan terorisme.
Kedua fase dari terorisme tersebut dapat dipahami melalui kategorisasi
peristiwa kejahatan yang ditawarkan oleh Quinney (1977) sebagai: Pertama, crime
of domination or repression yang secara metodologis dilakukan oleh kapitalis atau
kelas penguasa dan antek-anteknya. Kedua, adalah crimes of accomodation atau
crimes of resistance/rebellion yang dilakukan oleh kelas pekerja atau kelas
bawahan, yang merupakan kejahatan dalam rangka bertahan hidup (lihat Mustofa,
2002: 31).
Dengan definisi terorisme tersebut seperti di atas, maka dalam melakukan
antisipasi terhadap terorisme, kita dapat bersikap lebih bersikap obyektif serta tidak
menganggap bahwasanya semua terorisme itu dilakukan oleh kelompok minoritas
yang termarginalkan, akan tetapi dapat juga dilakukan oleh pemerintah negara yang
represif ataupin kelompok mayoritas. Kedua-dunyanya dapat disebut sebagi gerakan
terorisme jika memiliki ciri mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan, demokrasi dan
batas-batas kedaulatan negara.
Dua tipologi terorisme yang terdiri dari dua bentukan tersebut di atas, maka
akar masalah dari tindakan terorisme paling tidak dapat dikelompokkan dalam dua
ciri. Bagi kelompok minoritas, permasalahannya adalah adanya diskriminasi dan
ketidakadilan yang dirasakan oleh kelompok tersebut. Diskriminasi dan
ketidakadilan yang mereka rasakan ini harus diperjuangkan dengan melakukan
gerakan terorisme. Sebaliknya, negara melakukan gerakan terorisme dalam rangka
mendominasi yang diperkuat dengan alasan bahwa tindakan tersebut sesuai dengan
hukum yang berlaku, sekalipun hukum tersebut bersifat represif.
Terorisme dapat dikatakan sebagai instrumen dari proyek politik atau
agama dimana para pelakunya terus berupaya untuk mencari dukungan-dukungan
dengan melakukan serangkaian aksi kekerasan publik yang demonstratif, yang
3
Muhammad Mustofa, “Memahami Terorisme: Perspektif Kriminologi” dalam
Jurnal Kriminologi Indonesia Vol. 2 No. III Desember 2002 : 30 – 38. h. 31
3
diikuti oleh berbagai ancaman dalam rangka untuk mengintimidasi atau menekan
dan memaksa dengan kekerasan atas sasaran ataupun target tertentu.
Terorisme berasal dari kata le terreur (bahasa Prancis) yang memiliki arti
teror, semula dipergunakan untuk menyebutkan tindakan pemerintahan hasil
revolusi Prancis yang mempergunakan kekerasan secara brutal dan berlebihan untuk
melakukan penindasan kepada golongan anti pemerintah. Diperkirakan, sebanyak
40.000 orang mati dipenggal dengan menggunakan guillotine karena dituduh
sebagai anti revolusi. Kemudian, kata ‘terorisme’ secara khusus dipergunakan untuk
menyebut gerakan kekerasan anti pemerintah di Rusia.
Menurut kamus besar bahasa Indonesia kata terorisme memiliki makna
penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai tujuan
(terutama tujuan politik); praktik tindakan teror. Dengan demikian, sejak awalnya,
kata terorisme dapat dipergunakan untuk menyebut tindakan kekerasan oleh
pemerintah maupun tindakan kekerasan anti pemerintahan. Nuansa politis sangat
mewarnai penggunaan kata terorisme tersebut walau, dalam kenyataan, motivasi
dan tujuan politis tidak selalu merupakan unsur utama (Turk, 2002) lihat Mustofa
2002.
5
Muhammad Mustofa, “Memahami Terorisme: Perspektif Kriminologi” dalam
Jurnal Kriminologi Indonesia. h. 33
5