Secara historis, kehadiran terorisme diprediksi muncul sejak ribuan tahun lalu,
tepatnya di masa Yunani Kuno. Di masa itu, Xenophon menggunakan taktik
psychological warfare sebagai upaya memperlemah lawannya.
Mengapa Islam dikesankan identik dengan teroris? Tentu itu adalah kesan dan
anggapan yang tidak benar.
Namun, mengapa masih saja ada kesan seperti itu seakan Islam diidentikkan
dengan terorisme?
Tragedi berdarah 11 September 2001 yang terjadi Dua Belas tahun lalu masih
meninggalkan trauma baik bagi Amerika Serikat (AS) maupun negara- negara
muslim yang menjadi ”kambing hitam” atas luluh-lantaknya World Trade Center
(WTC) dan Pentagon, simbol kedigdayaan ekonomi dan militer AS. Sebagai
mana diketahui, telunjuk mantan Presiden George Walker Bush langsung
diarahkan kepada Osama bin Laden dengan Jaringan Al Qaeda-nya sebagai
dalang utama peristiwa ”September Hitam” ini. Epilognya sudah sama-sama
kita ketahui bahwa stigma teroris tidak hanya menempel pada sosok Osama
bin Laden dengan Jaringan Al Qaeda-nya melainkan juga meluas ke seluruh
negara muslim. Pemerintah Taliban di Afganistan pun ikut terguling dari
kekuasaan karena dianggap melindungi Sang Teroris yang paling diburu hidup
atau mati oleh Barat itu. Hingga tampuk tertinggi kepemimpinan AS kini telah
beralih dari Bush Junior kepada Presiden Barrack Hussein Obama, sosok
Osama Bin Laden dengan Jaringan Al Qaeda-nya tetap menjadi buruan nomor
wahid AS dan sekutu- sekutunya. Hampir semua aksi pengeboman dan
terorisme dengan sasaran AS senantiasa dihubungkan dengan keterlibatan
anggota jaringan organisasi yang masih dianggap ”misterius” hingga kini yakni
Al-Qaeda. Apakah benar-benar ada organisasi bernama Al- Qaeda itu? Ada
dugaan Al-Qaeda itu sebenarnya hanyalah rekayasa CIA atau setidaknya
hanyalah sebutan pers Barat bagi kelompok pengikut Osama Bin Laden
sebagaimana Pemerintah Malaysia dan Singapura menyebut kelompok
pengajian yang didakwahi Ustad Abu Bakar Ba’asyir dengan nama organisasi
Jamaah Islamiyah (JI). Tidak hanya Al-Qaeda, pihak-pihak yang diduga punya
keterlibatan dengan jaringan tersebut baik personal maupun kelompok tak
luput dari “perburuan” AS dan sekutunya, minimal dicurigai dan diawasi secara
ketat dan simultan
2. Kemiskinan.
Teroris dan kemiskinan merupakan kondisi yang saling melengkapi.
Kemiskinan merupakan alasan untuk membungkus nafsu emosional yang
meyakini perjuangan seseorang adalah benar dan meyakini nilai-nilai terorisme
sebagai hal yang benar.
4. Pengangguran.
Faktor pengangguran sebetulnya bukanlah penyebab utama. Akan tetapi,
meski tidak dominan, pengangguran berperan dalam pencarian pelaku
terorisme. Jaringan terorisme akan menyasar pengangguran sebagai anggota
dengan iming-iming “hadiah berharga”, seperti uang, jaminan keluarga, serta
mati syahid.
5. Kenegaraan.
Dari beberapa kasus, sebagian tokoh utama terorisme menyebutkan bahwa
gerakan teror yang dilakukan merupakan upaya dari ketidakadilan dalam
masalah kenegaraan (misalnya Palestina dan Israel). Perlakuan yang dinilai
tidak adil terhadap suatu negara yang memiliki kesamaan (agama) memicu
rasa benci dan melahirkan terorisme.
6. Ketidakadilan dan Ketimpangan.
Saat ini pusat pembangunan dunia masih berpusat di Amerika. Oleh
karenanya, muncul ketidakadilan dan ketimpangan dalam proses
pembangunan dunia. Ketidakadilan dan ketimpangan ini memantik
ketidaksukaan dan menjadikan Amerika sebagai sasaran aksi teror.
1. Irrational Terrorism.
Motif yang pertama ini tujuannya tidak masuk akal sehat atau irasional. Teror
yang masuk dalam kategori ini, yaitu salvation (pengorbanan diri) dan madness
(kegilaan). Contoh aksi irrational teorism yang paling sering dilakukan teroris di
tanah air adalah pengorbanan diri dengan bentuk bom bunuh diri.
2. Criminal Terrorism.
Motif ini dilatarbelakangi oleh adanya suatu kepentingan. Bisa kepentingan
agama atau kepercayaan tertentu. Bentuk atau contoh aksinya berupa
kegiatan teror dengan motif balas dendam.
3. Political Terrorism.
Dalam negara mapan berdemokrasi dengan supremasi hukum yang kuat,
political terrorism biasanya digunakan untuk mengubah suatu kebijakan. Akan
tetapi, dalam negara yang supremasi hukumnya belum mapan, political
terrorism digunakan dengan tujuan merombak struktur politik. Meski berbeda,
secara garis besar political terrorism digunakan sebagai alat untuk menekan
atau mengubah keseimbangan.
4. State Terrorism.
Istilah state terrorism digunakan PBB saat melihat kondisi sosial politik di Afrika
Selatan, Israel, dan negara-negara Eropa Timur. Warga di negara tersebut
mengalami intimidasi, ancaman, dan berbagai penganiayaan yang dilakukan
oleh oknum negara, termasuk para penegak hukumnya.
Contoh aksi teror yang dilakukan biasanya berbentuk penculikan para aktivis.
Teror ini dilakukan negara dan aparatnya atas nama kekuasaan, stabilitas
politik, dan kepentingan elit tertentu. Atas dasar ini, negara merasa sah dalam
menggunakan kekerasan dan teror lainnya guna merepresi dan memadamkan
kelompok-kelompok kritis dalam masyarakat.
Dalam hal ini, memperkenalkan ilmu pengetahuan bukan hanya sebatas ilmu
umum saja, tetapi juga ilmu agama yang merupakan pondasi penting terkait
perilaku, sikap, dan juga keyakinannya kepada Tuhan. Kedua ilmu ini harus
diperkenalkan secara baik dan benar, dalam artian haruslah seimbang antara
ilmu umum dan ilmu agama. Sedemikian sehingga dapat tercipta kerangka
pemikiran yang seimbang dalam diri.
1. Ibrahim, Idi S dan Romli, Asep SM. 2007. Amerika, Terorisme dan
Islamophobia: Fakta dan Imajinasi Jaringan Kaum Radikal. Bandung:
Nuansa.
2. smadrsoetomo.sch.id, Mencegah Radikalisme Dan Terorisme
3. Abas,Nasir. Membongkar Jamaah Islamiyah: Pengakuan Mantan Anggota JI.
Jakarta, Grafindo Khazanah Ilmu, 2005.
4. Aboe el Fadl, Khaled. The Great Theft, Wrestling Islam from the Extremist,
San Fransisco: Harper San Fransisco, 2005.
5. Dja’far, Alamsyah M. Agama dan Pergeseran Representasi: Konflik dan
Rekonsiliasi di Indonesia, Jakarta, The Wahid Institute, 2009