Anda di halaman 1dari 5

POLICY BRIEF

PENANGANAN TERORISME DAN DERADIKALISASI


DI MASA PANDEMI COVID 19

POKOK-POKOK PERMASALAHAN
1. Pandemi Covid 19 telah terjadi sejak Desember 2019 dan menyebar
hampir ke seluruh negara di dunia. Berdasarkan data Gugus Tugas
Percepatan Penanganan Covid 19 nasional (15 Mei 2020) di Indonesia
tercatat telah 16.469 orang positif dengan status orang dengan perawatan
11.590 orang, meninggal 1.076 orang dan 3.803 orang sembuh. Kondisi
Covid menyebabkan pelambatan ekonomi secara global dan nasional. Di
Indonesia, sektor pariwisata, sektor transportasi, usaha mikro, kecil dan
menengah mengalami pelemahan dan berakibat pada pemutusan
hubungan kerja.
2. Kendati ISIS telah kehilangan pemimpinya Abu Bakar Al Baghdadi akibat
serangan militer Amerika Serikat namun tidak serta merta membuat
pengikutnya atau simpatisannya (lone wolf) untuk menghentikan aksi
terorisme di berbagai belahan di dunia. Merebaknya Pandemi Covid justru
dimanfaatkan mereka untuk mengirim pesan global dan nasional di media
sosial agar simpatisan ISIS melakukan amaliyah.
3. Propaganda kelompok radikal dan terorisme masih terus terjadi di jagat
media sosial, pemberitaan tentang Dukhan pada 15 Ramadhan, menjadi
salah satu isu yang dimunculkan untuk menimbulkan keresahan di masa
Pandemi Covid 19, selain itu masih maraknya konten media sosial yang
mempromosikan khilafah.
4. Dalam tiga bulan terakhir, aparat Kepolisian Republik Indonesia telah
melakukan penangkapan lebih dari 50 orang terduga pelaku aksi
terorisme di beberapa lokasi seperti di Pandeglang, Serang, Kendari,
Sidoarjo, Surabaya, Kendari dan Poso. Selain itu, terdapat juga kasus
penyerangan aparat kepolisian dan pembunuhan warga yang dilakukan
oleh kelompok Ali Kalora di Poso, kemudian penyebaran video ancaman
terhadap pemerintah yang dianggap thogut dan penindakan atas upaya
perencanaan penyerangan polisi di Batang.
5. Peristiwa Poso melibatkan pelaku Ali alias Darwin Gobel memperlihatkan
masalah residivisme di kalangan mantan narapidana kasus terorisme. Ali
yang pada April 2016 menyerahkan diri, Darwin Gobel adalah anggota
Anshor Daulah Islamiyah Poso, kelompok yang memiliki anggota Poso,
Parigi Moutong, Toli-Toli, Mamuju dan Jakarta, tahun 2017 Darwin dan
kelompoknya merencanakan penyerangan Mako Brimob dan Pangkalan
TNI AL Toli Toli, namun sebelum melancarkan aksinya, aparat keamanan
berhasil mengamankan Darwin dan Kelompoknya.

PROGRAM STUDI KAJIAN TERORISME, SEKOLAH KAJIAN STRATEJIK DAN GLOBAL,


1
UNIVERSITAS INDONESIA
6. Hingga saat ini, beragam data tentang residivisme kasus terorisme,
lembaga PAKAR menyebut angka 80 kasus sejak tahun 2010 hingga
2019, berbeda dengan kementerian/lembaga lain yang menyebut angka
pada kisaran 30 kasus dan 50 kasus.
7. Dalam lima tahun terakhir, aksi terorisme mengalami trend penurunan, hal
ini terlihat pada tahun 2018 terdapat 17 peristiwa, pada tahun 2019 turun
menjadi 9 peristiwa. Angka tersebut menunjukkan adanya tren penurunan
aksi terorisme, bahkan pada tahun 2017 tercatat 12 peristiwa sedangkan
di tahun 2016 tercatat 6 peristiwa. Sedangkan dari sisi pelaku terorisme,
sempat naik pada tahun 2018 dan 2019, seiring dengan pemberlakukan
UU No. 5 Tahun 2018, dimana fungsi pencegahan menjadi salah satu hal
yang signifikan.
Tahun Peristiwa Terorisme Pelaku Terorisme
2016 6 163
2017 12 172
2018 17 396
2019 9 297
8. Selanjutnya analisa tren aksi teror tidak cukup hanya dengan statistik
semata, dalam konteks terorisme, tren jumlah aksi teror menurun tidak
menjadi argumentasi bahwa terorisme bukan lagi menjadi ancaman
keamanan yang sangat membahayakan, mengingat Undang-Undang
Terorisme No. 5 Tahun 2018 Tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang Undang Nomor 1 Tahun 2002, mendefinisikan
terorisme sebagai perbuatan yang menggunakan kekerasan atau
ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut
secara meluas, yang dapat menimbulkan korban secara massal, dan/atau
menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang
strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik atau fasilitas internasional
dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan.
9. Di masa pandemi setidaknya terdapat empat sikap jaringan terorisme
yang muncul; kelompok pertama, kelompok yang menyebut Covid 19
sebagai ujian dari Allah SWT terhadap umat Islam; kedua, kelompok yang
memanfaatkan Covid 19 sebagai sarana persiapan perang (idad al harbi),
kelompok ini memanfaatkan situasi untuk menjalankan propaganda
online, rekrutmen sekaligus menggalang pendanaan melalui selubung
organisasi amal; ketiga, kelompok amaliyah, kelompok ini akan
melakukan amaliyah di tengah situasi pandemi yang ada sekarang,
dengan memanfaatkan situasi (Ridwan Habib, 2020); dan keempat,
kelompok yang memanfaatkan Covid sebagai saat yang tepat untuk
pengembangan kapasitas skill berupa pengetahuan intelijen dan teknologi
informasi (Zora Sukabdi, 2020).

PROGRAM STUDI KAJIAN TERORISME, SEKOLAH KAJIAN STRATEJIK DAN GLOBAL,


2
UNIVERSITAS INDONESIA
DERADIKALISASI
10. Dalam hal deradikalisasi sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang
No. 5 Tahun 2018 pasal 43 D, dijabarkan bahwa deradikalisasi dapat
dilakukan kepada tersangka, terdakwa, narapidana, mantan narapidana
terorisme dan orang atau kelompok yang sudah terpapar paham radikal
terorisme.
11. Program deradikalisasi selama ini dilaksanakan oleh berbagai
stakeholder, pertama, selama dalam proses hukum, dilaksanakan oleh
aparat kepolisian dalam hal ini Detasemen Khusus AT 88 Polri; kedua,
saat menjalani putusan hukum pengadilan di lembaga pemasyarakatan,
deradikalisasi dijalankan oleh petugas lapas (Kementerian Hukum dan
HAM) dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme; ketiga, di luar
lembaga pemasyarakatan, deradikalisasi dilakukan oleh Balai
Pemasyarakatan (Kementerian Hukum dan HAM), Badan Intelijen Negara
dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), dalam
beberapa tahapan deradikalisasi tersebut, terdapat keterlibatan kalangan
masyarakat sipil dan juga organisasi yang dibentuk oleh mantan
narapidana terorisme.
12. Data tahun 2020 menunjukkan bahwa jumlah orang yang terlibat
terorisme adalah 988 orang, yang terdiri dari narapidana dan tahanan
kasus terorisme yang tersebar di 93 lembaga pemasyarakatan dan rumah
tahanan yang tersebar di 26 provinsi di Indonesia (BNPT). Sedangkan
jumlah mantan narapidana terorisme hingga bulan Februari 2020 berada
pada angka 906 orang.
13. Melihat cluster terdampak Covid 19, mantan narapidana teroris, deportan,
returnee adalah bagian dari cluster terdampak secara ekonomi, beberapa
mantan narapidana terorisme mengeluhkan adanya penurunan aktifitas
ekonomi.
14. Implementasi Pembatasan Sosial Berskala Besar dan Social Distancing,
Badan Penanggulangan Terorisme (BNPT), menyatakan bahwa telah
memanfaatkan media daring adalah terobosan bagi upaya deradikalisasi,
menghubungi sejumlah mantan narapidana terorisme untuk menjaga
komunikasi, lalu bagaimana prosedur instrumen penilaian yang dilakukan
secara periodik dan bagaimana aktifitas deradikalisasi dalam lembaga
pemasyarakatan dapat dilaksanakan.
15. Peniadaan kunjungan warga binaan sekaligus aturan penggunaan gawai
di lembaga pemasyarakatan adalah tantangan yang dihadapi dalam
melakukan pembinaan kepada warga binaan di lembaga
pemasyarakatan. Belum lagi, dalam konteks strategi deradikalisasi
dengan melibatkan keluarga.
16. Ketiadaan kunjungan secara offline dan menggantinya dengan kunjungan
online terhadap napiters dan mantan napiters di masa pandemi
menimbulkan tantangan bagi kerja deradikalisasi, terutama dalam hal
penilaian.
17. Selama masa Pandemi Covid 19, program deradikalisasi secara offline
berhenti, mantan narapidana tidak terlibat dalam program deradikalisasi.

PROGRAM STUDI KAJIAN TERORISME, SEKOLAH KAJIAN STRATEJIK DAN GLOBAL,


3
UNIVERSITAS INDONESIA
18. Fungsi BNPT sebagai koordinator sebagaimana amanat UU No. 5 Tahun
2018, belum ada prosedur bagaimana deradikalisasi dengan melibatkan
seluruh kementerian/lembaga sekaligus organisasi masyarakat sipil dan
juga organisasi mantan kombatan/narapidana kasus terorisme.
19. BNPT belum maksimal dalam menjalankan fungsi deradikalisasi secara
menyeluruh sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Adapun
deradikalisasi dilakukan hanya secara intensif pada sampel kecil dari
populasi yang besar, program tersebut berjalan di Pusat Deradikalisasi
Sentul. Sedangkan fenomena yang muncul di lembaga pemasyarakatan
ialah kunjungan program deradikalisasi yang belum konsisten dan
berkelanjutan, apalagi dalam lembaga pemasyarakatan dengan
keamanan maksimum yang tidak mendapatkan banyak akses terhadap
program (23 jam di dalam tahanan/hari).
20. Deradikalisasi narapidana kasus terorisme di lembaga pemasyarakatan
menghadapi berbagai tantangan, narapidana yang berafiliasi dengan ISIS
yang tidak kooperatif dalam program-program deradikalisasi,
permasalahan sumber daya manusia lembaga pemasyarakatan dalam
pembinaan mantan narapidana kasus terorisme.
21. Dalam masa Pandemi, beberapa organisasi baik korban maupun mantan
narapidana kasus terorisme, telah melakukan berbagai aksi peduli
dampak Covid 19, antara lain Yayasan Penyintas, Persadani Semarang
Jawa Tengah dan Yayasan Lingkar Perdamaian, Lamongan Jawa Timur.

REKOMENDASI
22. BNPT sebagai koordinator penanganan terorisme, perlu menyiapkan
strategi khusus yang tertuang dalam dokumen, baik dalam bentuk
peraturan maupun petunjuk teknis yang berkaitan dengan deradikalisasi
di masa pandemi dan pasca pandemi Covid 19, baik deradikalisasi di
dalam lembaga pemasyarakatan maupun di luar lembaga
pemasyarakatan, dengan melibatkan stakeholder yang terkait.
23. Program deradikalisasi perlu memiliki database narapidana. Di antara
kepentingan database ini ialah identifikasi mana narapidana yang dapat
dilibatkan dalam kerja sama dan mana yang sebaliknya. Klasifikasi ini
nantinya dapat digunakan dalam usaha pelibatan narapidana atau mantan
narapidana dalam usaha penanggulangan terorisme.
24. Pemanfaatan online dalam pembinaan narapidana dan mantan
narapidana kasus terorisme memerlukan mekanisme atau instrumen
penilaian, sehingga secara berkala dapat diukur skala ideologi
radikal/terorisme, baik sebelum, selama dan sesudah pandemi Covid 19.
25. Deradikalisasi yang dilakukan secara offline di masa pandemi Covid 19,
perlu mempertimbangkan protokol kesehatan yang dikeluarkan oleh
otoritas kesehatan.
26. Gugus Tugas Penanganan Covid-19 Nasional perlu melibatkan mantan
pelaku terorisme (tentunya dengan mempertimbangkan aspek individu)

PROGRAM STUDI KAJIAN TERORISME, SEKOLAH KAJIAN STRATEJIK DAN GLOBAL,


4
UNIVERSITAS INDONESIA
dan organisasi atau perkumpulan kombatan konflik atau mantan
narapidana kasus terorisme dalam penanganan Pandemi Covid 19.
27. Kontra narasi terhadap upaya propaganda, rekrutmen dan teror yang
mengakibatkan keresahan publik perlu dilakukan dengan mengimbangi
pesan yang benar berkenaan dengan suatu isu tertentu.
28. Lembaga negara dan lembaga philantropi perlu mengambil peran dalam
pemberdayaan mantan narapidana terorisme, dampak ekonomi secara
jangka pendek perlu diatasi dengan bantuan sosial dan secara jangka
panjang perlu adanya upaya pemberdayaan.
29. BNPT dan Kepolisian RI perlu memanfaatkan program Jaring
Pengamanan sosial seperti kartu sembako, bantuan langsung tunai desa,
Program Keluarga Harapan untuk kepentingan deradikalisasi kepada
korban aksi terorisme, mantan narapidana terorisme, returnee, deportan
yang terdampak Covid 19.
30. Perlu adanya revisi terhadap blue print deradikalisasi yang digunakan oleh
BNPT selama ini, blueprint tersebut perlu memuat aspek kebaruan atas
dinamika politik, sosial dan kebudayaan yang ada di Indonesia.
31. BNPT, Detasemen Khusus 88 Anti Teror, Kejaksaan, Lembaga Peradilan,
Lembaga Pemasyarakatan, perlu memiliki database terpadu berkenaan
dengan profile tersangka, terdakwa, narapidana dan mantan narapidana
kasus terorisme dengan mempertimbangkan aspek penggunaan
teknologi informasi, mengingat model dalam pengembangan program
Deradikalisasi di Indonesia akan banyak dipengaruhi oleh perkembangan
teknologi informasi.
32. Penanganan deradikalisasi diperlukan upaya yang bersifat holistik dalam
bentuk kerjasama antara lembaga negara, organisasi-organisasi non
pemerintah, instansi akademik, para ahli dan pakar di bidangnya, serta
seluruh elemen masyarakat sipil sehingga tidak bersifat eksklusif dan
bersifat transparan demi mengatasi permasalahan deradikalisasi
khususnya di tengah pandemi Covid-19.
33. Dalam pelaksanaan deradikalisasi perspektif multidisiplin sangat
diperlukan dengan mempertimbangkan aspek HAM, gender, ekonomi,
sosial keagamaan dan kebudayaan, serta aspek psikologis dalam struktur
masyarakat sipil dan bersifat soft approaches.

PROGRAM STUDI KAJIAN TERORISME, SEKOLAH KAJIAN STRATEJIK DAN GLOBAL,


5
UNIVERSITAS INDONESIA

Anda mungkin juga menyukai