Anda di halaman 1dari 12

SOAL: Dr. Susaningtyas Nefo Handayani Kertopati, M.Si.

Buat penjelasan terpadu terkait 4 hal ini 3 halaman folio!


1. The Legal Challenges in Counter terrorism Campaign
2. Approach to Deradicalization and Disengagement: Implementation
3. Interagency Cooperation and Coordination
4. Measurement of Effectiveness (MOE) in CT
Jawab
Deputi V Kepala Staf Kepresidenan Jaleswari Pramodhawardani
mengatakan, hasil kajian Tim Lab45 terhadap aksi-aksi teror sepanjang tahun 2000-
2021, serangan bom bunuh diri di Makassar merupakan aksi teror ke 552 di
Indonesia. Jika dirata-ratakan, selama 21 tahun terakhir, setiap tahun ada 26
serangan teroris di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Setiap bulan rata-
rata lebih 2 serangan teroris. Pemerintah berupaya keras memastikan jaringan
pelaku dan pihak-pihak yang terlibat dalam aksi teror ini dapat diusut tuntas dan
dihukum sesuai ketentuan hukum dan tindak pidana yang telah dilakukan.
Pemerintah juga memberikan perhatian kepada seluruh korban dan keluarga korban
dengan berupaya memberikan pelayanan maksimal terkait perawatan medis,
perlindungan dan pemulihan lainnya melalui layanan publik pada Kementerian dan
Lembaga terkait (Yunus, 2021)
Apa yang disebut dengan terorismedan tindakan teror telah terjadi di tengah-
tengah masyarakat sehingga secara umumarti kata terorisme sudah dapat
dipahamioleh banyak kalangan. Namun di saat terorisme didefinisikan secara
khusus dalamrumusan kata-kata menimbulkan cukup banyak varian. Definisi yang
lebih baik dikemukakanoleh Johan Van D. Der Vyer (dalam ) yang menyatakan
Terorisme lebih tepat didefinisikan sebagaitindakan-tindakan kekerasan yang
disengajayang ditujukan pada sasaran-sasaran sipildengan maksud untuk
mempromosikansuatu tujuan-tujuan politik yang telah didugasebelumnya. Tujuan-
tujuan politik ini hanyadapat diraih dengan cara mengitimidasisasaran-sasaran
tersebut seperti dengan melakukan kekerasan untuk memenuhituntutan-tuntutan
dari para pelakukejahatan, yang dapat menghasilkan rasatakut dan kebencian yang
nyata terhadaptindakan tersebut (Aulia, 2015:57).
Dalam Pasal 6 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 disebutkan bahwa
setiap orang yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan
suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan
korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya
nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran
terhadap objek-objek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas umum
atau fasilitas internasional, dipidana karena terorisme dengan pidana mati atau
penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling
lama 20 (dua puluh) tahun. Hal ini memperjelas bahwa teroisme sebenarnya
berfokus pada kegiatan teror itu sendiri.
Secara umum, strategi penegakkan hukum ini dapat dikatakan masih
menghadapi berbagai tantangan. Penegakan hukum terhadap sistem kejahatan
terorisme dipandang masih lemah. Dari segi payung hukum, institusi keamanan
nasional mengalami masalah karena keberadaan UU No.15 tahun 2003 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme belum cukup memayungi operasi
pencegahan dalam bentuk operasi intelijen dan tindakan proaktif di awal (Reni
Windiani, 2017:139). Selain dari aspek hukum, secara praktis dalam aspek struktural
menurut Ketua Badan Penanggulangan Ekstrimisme dan Terorisme MUI yang juga
Kaprodi Kajian Terorisme Muhammad Syauqillah (dalam Kompas.com)
menjelaskan, teroris yang muncul di Indonesia belakangan ini terdiri atas dua pola.
Pertama, berbentuk jaringan, seperti Jamaah Ansharut Daulah (JAD) yang satu
rumpun dengan ISIS dan Jamaah Islamiyah (JI). Selain itu ada juga yang
menggunakan metode lone wolf atau yang bergerak sendiri (Nur Fitriatus, 2021).
Intoleransi ialah bibit bagi radikalisme dan radikalisme merupakan cikal bakal
munculnya aksi terorisme. Untuk memastikan tidak muncul regenerasi dalam aksi
terorisme, oleh karena itu tidak cukup hanya dengan melakukan aksi-aksi
penangkapan dan memproses pelaku ke jalur hukum. Memberantas habitus bagi
persemaian para jihadis baru, niscaya membutuhkan program yang kompleks dan
melibatkan peran aktif berbagai pihak (Bagong, 2021).
Seperti pada contoh kasus kelompok teroris - Jamaah Ansharut Daulah (JAD)
adalah organisasi terorisme yang berkiblat pada Negara Islam Irak dan Suriah
(ISIS). Berdasar sejarahnya, JAD terbentuk atas inisiatif Aman Abdurrahman di
Nusakambangan pada medio 2014. Kala itu Aman memanggil orang dekatnya,
Marwan alias Abu Musa dan Zainal Anshori ke NusakambanganPola serangan JAD
cenderung acak. JAD menyasar publikasi dalam aksinya. Dalam catatan sejarah
banyak aksi teror yang telah dilakukan oleh JAD, seperti Bom Samarinda 2016,
Serangan Jakarta 2016, Serangan Kampung Melayu 2017, Pengeboman Surabaya
2018, Kejadian Wiranto 2019 dalam setiap aksi tersebut anggota JAD menjadi
dalang dari peristiwa (Tim Redaksi, 2021).
Dengan melihat salah satu kelompok terorisme JAD dapat dilihat begitu
banyak aksi dan peristiwa yang telah dilakukan oleh kelompok ini yang membuktikan
bahwa penanganan terorisme bukan suatu program yang dapat dilakukan sekali
jalan, melainkan suatu konsep atau sistem yang kompleks Untuk itu perlu
diadakannya sebuah program untuk mengurangi reskiko terorisme yang terdiri dari
deradikalisasi dan disengagement. menurut Golose (dalam Imam Safi’i 2019:202)
deradikalisasi adalah segala upaya untuk menetralisir paham-paham radikal melalui
pendekatan interdispliner, seperti hukum, psikologi, agama, dan sosial budaya bagi
mereka yang dipengaruhi atau ter-ekspose paham radikal dan atau pro-kekerasan.
Dalam hal ini mereka termasuk: napi, mantan napi, individu militan radikal yang
pernah terlibat, keluarga, simpatisannya, dan masyarakat umum. Sedangkan
Disengagement diarahkan pada perubahan perilaku seperti keluarnya seseorang
dari kelompoknya, atau perubahan aturan hidup seseorang terhadap kelompoknya.
Pendekatan disengagement, difokuskan pada bagaimana individu tersebut keluar
dari kelompoknya atau tidak lagi memilih melakukan kekerasan sebagai jalan
mencapai tujuannya (Imam Safi’i 2019:205).
Kedua program tersebut dapat dilakukan pada kelompok JAD sehingga pasca
penanganan tersangka dapat dilakukan dengan pemantauan khusus terpidana
dapat mendapatkan pemahaman lebih lanjut mengenai deradikalisasi dan
diseangegement. Namun Berbagai ancaman pada era globalisasi abad ke-21 yang
asimetris dan cepat berubah membutuhkan model kerjasama antarlembaga
(interagency) yang lebih gesit dan responsif. Pendekatan model antar lembaga
(interagency model) atau yang juga disebut sebagai WoG (Whole of Government)
sebenarnya sudah lama dikenal dan berkembang di beberapa negara seperti
Australia, Selandia Baru dan Inggris (Anglo-Saxon). model kerjasama antarlembaga
(interagency) untuk dapat bekerjasama dan memiliki pandangan bersama mengenai
kepentingan keamanan nasional di seluruh institusi negara (Angga dan Ilham,
2021:97).
Pemberantasan teroris di Indonesia harus di tata pengelolaannya meskipun
memang tidak mudah, namun sebuah negara memang harus dan sudah menjadi
kewajiban agar menjaga keamanan khususnya di Indonesia, pemerintah pun sudah
melakukan berbagai cara dalam pemberantasan terorisme di Indonesia (Zulfikar dan
Aminah, 2020:130). Namun, dalam sebuah kerangka pengukuran, penanganan
terorisme perlu dilihat lebih kompleks dan multidimensional, yaitu sebagai upaya
terpadu yang melibatkan dimensi ideologi, politik, ekonomi, dan sosial budaya, serta
langkah-langkah menciptakan keamanan untuk mengakhiri dan mencegah aksi
teror, kekerasan bersenjata, menciptakan dan memelihara stabilitas keamanan.
Kasus seperti Ali Imron ini adalah dari pihak berwajib juga dapat mengakses
informasi secara langsung dan dapat dijadikan sebuah data mentah untuk manuever
selanjutnya dan selain itu dapat melakukan deradikalisasi .Sekjen PBB Kofi Annan
dalam sambutannya di International Summitt on Democracy, Terrorism and Security
in Madrid Spain,UN di Madrid tahun 2004 (Alexandra dkk, 2006:123), mengusulkan
lima langkah penting dalam usaha penangkalan terorisme. Lima langkah tersebut
adalah sebagai berikut :
1. Menghalangi kelompok garis keras (the disaffected) untuk tidak memilih taktik
teror.
2. Meniadakan prasarana yang dimiliki kelompok teroris untuk melakukan aksi
teror.
3. Menghalangi dukungan negara untuk aktivitas teror (statesponsored terrorism)
4. Mengembangkan kemampuan kapasitas preventif dari negara.
5. Membela dan menjunjung hak asasi manusia dalam perjuangan melawan teror.
Pasca peristiwa 9/11, PBB menginisiasi program counter terrorism seperti
diadopsi dalam Resolusi Dewan Keamanan PBB 1373 yang mengharuskan setiap
untuk membekukan aset yang dimiliki oleh kelompok teroris dan pendukungnya.
SOAL: Dr. F. G. Cempaka Timur, S.IP., M.Si (Han)
1. Media and The War of Ideas on Counterterrorism
Soal: Bagaimana Anda menjelaskan proses intervensi melalui media yang
diadaptasi dari Darnton, 2008 serta kaitannya dengan kebijakan pola komunikasi
strategis yang diterapkan di Indonesia dalam menghadapi kontraterorisme?
Elaborasikan melalui studi kasus pilihan Anda dengan memasukkan analisis latar
belakang, institusi pelaksana, target penerima, tujuan, dampak stratcomm-nya,
pesan kunci dan implementasi tugasnya!
Jawab
Pembahasan mengenai intervensi media yang diadaptasi oleh Darnton
terlebih dahulu kita bahas mengenai hal yang mendukung dari apa yang
dikemukakan oleh Darnton yaitu perilaku. Dapat dijelaskan bahwa perilaku
merupakan suatu hal yang kompleks, namun dalam beberapa model dari para ahli
secara sengaja dibuat lebih sederhana (Darnton, 2008:37). Banyak model tentang
perilaku yang disederhanakan bahkan sebagian besar model dengan tujuan untuk
memudahkan dalam proses pemahaman pada studi lebih lanjut. Sebagian besar
model perilaku menyajikan faktor sosial-psikologis sebagai perilaku sebelumnya
Model seperti itu adalah 'konsekuensialis', dan dibaca dari kiri ke kanan,
menyiratkan bahwa mengubah faktor diperlukan untuk mengubah perilaku (Darnton,
2008:37).
Perbuahan juga menjadi salah satu yang perlu dibahas mengenai apa yang
dijelaskan oleh Darnton, Sementara itu semua teori perubahan perlu menyertakan
elemen temporal, dengan contoh yang paling jelas adalah pada model perilaku
kesehatan Transtheoretical Prochaska dan Di Clemente Perubahan, juga dikenal
sebagai model 'Tahap Perubahan' perilaku (Darnton, 2008:41).
1. Pra-Kontemplasi: di mana orang tidak berniat untuk mengubah atau mengambil
tindakan; selama periode enam bulan.
2. Kontemplasi: orang berniat untuk mengambil tindakan dalam enam bulan ke
depan, tetapi tidak siap untuk mengambil tindakan; keraguan tentang efektivitas
tindakan dan tidak merata biaya dan manfaat dapat menghambat orang pada
tahap ini untuk beberapa waktu (dalam keadaan "kontemplasi kronis").
3. Persiapan: orang berniat untuk mengambil tindakan di bulan depan; mereka
sangat sadar biaya dan manfaat dari perubahan dan beberapa perubahan
perilaku mungkin sudah terjadi telah terjadi, termasuk memiliki rencana tindakan.
4. Tindakan: orang telah membuat atau sedang membuat modifikasi terbuka yang
spesifik pada perilaku, biasanya dimulai dalam enam bulan terakhir.
5. Pemeliharaan: orang secara aktif bekerja untuk mencegah kekambuhan perilaku
sebelumnya, telah melakukan perubahan setidaknya enam bulan sebelumnya.
6. Pengakhiran: perilaku yang berubah menjadi normatif; tidak ada kesempatan
untuk kambuh
Untuk mengarah pada counterterorism yang mengarah pada komunikasi
strategis yang tentunya hal ini dilakukan oleh pihak regulator atau pemerintah
Secara umum, sebagian besar komunikasi pemerintah berupaya mendorong atau
memungkinkan orang untuk bertindak dengan satu atau beberapa cara berikut:
1. untuk memulai atau mengadopsi perilaku baru;
2. berhenti melakukan sesuatu yang merusak;
3. untuk mencegah adopsi perilaku negatif atau berbahaya; dan/atau
4. untuk mengubah atau memodifikasi perilaku yang ada.
Dalam setiap kasus, tujuannya adalah membuat orang berperilaku dengan cara
tertentu. Wawasan dari teori psikologi sosial dan ekonomi perilaku, yang keduanya
memberi kita pemahaman yang lebih dalam tentang perilaku manusia, oleh karena
itu relevan dengan semua komunikasi pemerintah. Dalam pengaplikasiannya dalam
sebuah kasus dimana penulis mengambil kasus ancaman radikalisme di dunia
pendidikan khususnya di sekolah. Dimana melihat kondisi sekarang bahwa Sekolah
ditengarai menjadi sasaran empuk kelompok radikal. Generasi muda berada di usia
yang rawan terpapar radikalisme dari media sosial karena cenderung tidak berpikir
kritis dan menelan mentah-mentah infomasi yang mereka terima, tanpa, melakukan
cek-ricek. Penyebaran paham radikal sering dibumbui narasi heroisme terutama
propaganda lewat media sosial bisa dianggap menarik oleh generasi muda karena
kemudahan akses internet dan banyaknya waktu luang, kemudian konten dan
narasi radikal disebar dengan mudah.
Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol). Provinsi Jawa Tengah
menjadi instansi yang dipilih untuk mengajak siswa, guru dan staf lingkungan
Pendidikan dalam memilah informasi digital sebagai pencegahan radikalisme. Perda
Nomor 7 Tahun 2008 Pasal 20 dinyatakan bahwa Badan Kesbangpol Provinsi Jawa
Tengah mempunyai tugas pokok melaksanakan penyusunan dan pelaksanaan
kebijakan daerah di bidang kesatuan bangsa, politik. Untuk melaksanakan tugas
pokok tersebut, Badan Kesbangpol menyelenggarakan fungsi (dalam Admin 2020)
sebagai berikut :
1. Perumusan kebijakan teknis bidang kesatuan bangsa dan politik;
2. Penyelenggaraan urusan pemerintahan dan pelayanan umum bidang
kesatuan bangsa dan politik;
3. Pembinaan, fasilitasi dan pelaksanaan tugas di bidang ideologi dan
kewaspadaan, ketahanan bangsa, politik dalam negeri di lingkup provinsi dan
kabupaten/kota
4. Pemantauan, evaluasi dan pelaporan bidang kesatuan bangsa dan politik;
5. Pelaksanaan kesekretariatan badan;
Melihat fungsi yang demikian dapat dirumuskan bahwa tujuan dari Stratcom ini
adalah Mendorong peran guru dan staf lingkungan sekolah kepada siswa dalam
pencegahan radikalisme yang berasal dari media sosial dengan target Pelajar, Guru
dan Staf lingkungan Sekolah di Provinsi Jawa Tengah dengan harapan dapat
memberikan dampak berupa dunia Pendidikan sebagai lingkungan kedua setelah
keluarga menjadi media dalam pencegahan radikalisme karena Gen Z dan Milenial
di Indonesia lebih mendominasi. Kita harus memiliki daya tahan yang baik,
ketahanan di bidang ideologi yang mumpuni agar anak muda tidak terpengaruh
paham radikal dan terorisme
Adapun pesan utama yang ingin disampaikan adalah Peran pendidikan menjadi
sangat penting untuk mengatasi berbagai fenomena radikalisme, salah satunya
dengan memberikan bahan ajar yang mampu mengasah dan mempertajam nilai-
nilai toleransi berbentuk bahan ajar maupun melalui peran guru sebagai model
pendidikan karakter yang mampu menangkal radikalisme dengan bentuk kegiatan
berupa bekerjasama dengan OSIS masing-masing sekolah di Provinsi Jawa Tengah
atau bekerjasama dengan Guru serta Staf Pendidikan di Provinsi Jawa Tengah
2. Deradicalization And Disengagements: Theory and Practice
Soal:
Menurut pendapat Saudara, bagaimana mengukur keberhasilan deradikalisasi dan
disengagement pada program kontraterorisme yang diterapkan pemerintah
Indonesia? Gunakan studi kasus yang Anda ketahui untuk mengelaborasi pendapat
Anda!
Jawab
Inisiatif kebijakan deradikalisasi di Indonesia sendiri diumumkan pada
Februari 2007 ketika parlemen mendukung kebijakan deradikalisasi oleh pemerintah
yang bertujuan untuk menghentikan terbentuknya kelompok-kelompok keagamaan
garis keras dan melawan terorisme. Anggota parlemen mengimbau pemerintah
untuk fokus pada pengentasan kemiskinan dan pengadaan lapangan kerja. Pada
saat yang sama, mereka menekankan pentingnya tidak memberikan kesempatan
dan ruang bagi kelompok-kelompok radikal dan jaringan teroris untuk
mengembangkan dan menyebarkan propaganda untuk merekrut anggota baru atas
nama agama. Peran kelompok-kelompok keagamaan mainstream adalah
instrumental dalam mempromosikan inisiatif tersebut, bersatu dalam mencegah
unsur-unsur radikal yang menjustifikasi terorisme atas nama agama. Namun, secara
formal baru pada tahun 2012 BNPT menerapkan program ini kepada para
narapidana terorisme (napiter) yang berhasil ditangkap aparat (Jerry dan Prakoso,
2019:3). Di Indonesia, upaya penanganan teroris diamanahkan kepada Badan
Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) dengan program andalan deradikalisasi.
Deradikalisasi yang dilakukan BNPT meliputi identifikasi, rehabilitasi, reedukasi, dan
resosialisasi baik di dalam Lapas maupun Luar lapas melalui sinergi dan kordinasi
dengan pemangku kebijakan.
Penanganan tindak pidana terorisme dapat juga dikatakankan sebagai suatu
perlawanan yang ditunjukan terhadap ideologi yang dianut para teroris. Upaya
perlawanan ini termasuk juga menghentikan proses penyebarannya. Program ini
menjadi penting karena berperan untuk melepaskan ideologi kekerasan yang dianut
oleh para teroris radikal tersebut, untuk kemudian kita gantikan kembali dengan
ideologi pancasila, yang sebelumnya sudah mereka tinggalkan. Deradikalisasi juga
tidak hanya dilakukan kepada napi teroris saja, tetapi dapat juga dilakukan kepada
keluargakeluarga napi tersebut. Hal ini berguna agar sekembalinya para napi
tersebut dari masa hukuman, mereka kembali diterima oleh pihak keluarga. Selain
itu, cara ini dapat juga mencegah pihak keluarga tidak terkontaminasi paham radikal
karena terpengaruh ideologi kekerasan (Saefudin Zuhri, 2017:103).
Pada tataran implementasi, deradikalisasi seringkali tumpang tindih bahkan
tidak bisa diterjemahkan secara konkrit. Ini terjadi karena pada tataran konseptual,
deradikalisasi menjadi banyak dan mudah untuk diperdebatkan. Bagi BNPT,
deradikalisasi mengacu pada pengertian AS. Hikam yang memiliki dua makna, yaitu
pemutusan atau pelepasan diri (disengagement) dan deideologisasi
(deideologization). Pelepasan diri adalah upaya pengarahan pada perubahan
perilaku, seperti contoh keluarnya seseorang dari jaringan teroris dengan mengubah
perilaku hidupnya, serta akhirnya meninggalkan aturan kelompoknya. Kemudian,
deideologisasi diarahkan untuk menghapus pemahaman ideologis atas doktrin politik
Islam dan menjadikan Islam sebagai nilai-nilai luhur yang menyemai perdamaian.
Orientasi deradikalisasi adalah mengubah spektrum seseorang menjadi tidak lagi
radikal, tetapi moderat (Saefudin Zuhri, 2017:75).
Dalam beberapa tahun terakhir Indonesia sudah melancarkan program
deradikalisasi terhadap pelaku aksi terror. Beberapa peneliti juga sudah mulai
membahas topik ini, seperti program deradikalisasi di penjara atau di wilayah
tertentu misalnya di Poso, Sulawesi Tengah. Akan tetapi, masih banyak yang perlu
dikaji khususnya di bidang evaluasi program deradikalisasi dan disengagement, baik
di Indonesia maupun di negara-negara lain. Laporan yang dikeluarkan International
Crisis Group buIan Juli ini pun menekankan perlunya mengevaluasi program
“deradikalisasi, disengagement, dan counter-extremisme” di Indonesia. Laporan ini
menyebutkan sudah banyak dana selama sepuluh tahun terakhir yang digunakan
untuk program deradikalisasi dan counter-terrorism. Tetapi, belum ada yang secara
sistematis mengevaluasi program-program tersebut, sehingga kita tahu program
yang berhasil atau gagaI dan mengapa (Susi, 2019).
Pada contoh kasus dimana Mengacu pada aksi kejadian bom Gereja Katedral
di Makassar, melalui instruksi Kepala BNPT, Irfan Idris menyatakan dalam
mengoptimalkan serta menguatkan program Deradikalisasi di Sulawesi Selatan,
BNPT akan memaksimalkan yayasan yang mewadahi mantan napi teroris maupun
simpatisan untuk mengembangkan kegiatan yang telah dimiliki untuk dijalankan.
Melihat dari pelaku bom Gereja Katedral Makassar, Prof Irfan Idris menambahkan,
seseorang yang memiliki paham radikalisme dan langsung melakukan aksi bom
bunuh diri sangatlah berbahaya dibandingkan dengan mantan teroris.
Luasnya jaringan dari mantan teroris terhadap informasinya adanya pihak
yang mendukung kelompok radikal, sangat membantu mengimplementasikan
program deradikalisasi dan memanfaatkan binaan mantan teroris yang sudah ada.
Lebih lanjut, bersama para mitra deradikalisasi di Sulawesi Selatan, BNPT akan
mengembangkan program deradikalisasi secara informal, dengan mengadakan
kegiatan pembinaan wawasan kebangsaan yang dilaksanakan door-to-door, yang
juga akan diisi dengan wawasan keagamaan. Tentunya program ini harus didukung
oleh seluruh pihak pemerintah dan juga masyarakat, mulai dari RT/RW, Pemerintah
daerah (Author, 2021).
Referensi
Angga Putera Pratama dan Ilham Putra Dewanta. 2021. Strategi Kontra-Terorisme
Model Antar Lembaga (Studi Perbandingan Indonesia-Australia).
NUSANTARA: Jurnal Ilmu Pengetahuan Sosial. Vol 8 (3)
Admin. 2020. Tentang Kesatuan Bangsa dan Politik Provinsi Jawa Tengah.
https://kesbangpol.jatengprov.go.id/publik/profil/NzBlYmQ0M2Q1NmNjM2Yx
MWViODI5Y2IwNmY5MWNmNWVjYTkwNjc5MTNiMGE3MmFiZDBmNGYwY
TIyMmIxYw--. Diakses pada 17 Agustus 2022
Aulia Rosa Nasution. 2015. Terorisme di Abad Ke-21 upaya Penegakan Hukum
Terhadap Tindak Kejahatan Terorisme Dalam Perpektif Hukum
Internasional Dan Hak Asasi Manusia. Jurnal Mercatoria Vol 8 (1)
Author. 2021. BNPT Jalankan Program Deradikalisasi Dan Maksimalkan Yayasan
Mitra Deradikalisasi Di Makassar. https://www.bnpt.go.id/bnpt-jalankan-
program-deradikalisasi-dan-maksimalkan-yayasan-mitra-deradikalisasi-di-
makassar. Diakses pada 18 Agustus 2022
Alexandra Retno Wulan, dkk. 2006. Negara, Intel, dan Ketakutan. PACIVIS, Center
for Global Civil Society Studies,University of Indonesia
Bagong Suyanto. 2021. Terorisme dan Benih-Benih Radikalisme.
https://analisis.kontan.co.id/news/terorisme-dan-benih-benih-radikalisme.
Diakses pada 17 Agustus 2022
Imam Safi’i. 2019. Deradikalisasi (Studi Atas Upaya Bnpt Dalam Mencegah
Munculnya Teroris di Lamongan). Ancoms. Institut Pesantren KH. Abdul
Chalim
Jerry Indrawan dan M. Prakoso Aji. 2019. Efektivitas Program Deradikalisasi Badan
Nasional Penanggulangan Terorisme Terhadap Narapidana Terorisme di
Indonesia. Jurnal Pertahanan & Bela Negara Vol 9 (2) 1 – 20
Muhammad Yunus. 2021. Data Serangan Teroris di Indonesia : Rata-rata Lebih 2
Kali Setiap Bulan. https://sulsel.suara.com/read/2021/03/29/053004/data-
serangan-teroris-di-indonesia-rata-rata-lebih-2-kali-setiap-bulan?page=all.
Diakses pada 17 Agustus 2022
Muhammad Zulfikar dan Aminah. 2020. Peran Badan Nasional Penanggulangan
Terorisme Dalam Pemberantasan Terorisme Di Indonesia. Jurnal
Pembangunan Hukum Indonesia. Vol 2 (1)
Nur Fitriatus Shalihah. 2021. Penyerangan Mabes Polri dan Alasan di Balik
Munculnya Aksi Teror.
https://www.kompas.com/tren/read/2021/04/02/123100465/penyerangan-
mabes-polri-dan-alasan-di-balik-munculnya-aksi-teror-?page=all. Diakses
pada 16 Agustus 2022
Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme
Reni Windiani. 2017. Peran Indonesia Dalam Memerangi Terorisme. Jurnal Ilmu
Sosial Vol. 16 (2)
Saefudin Zuhri. 2017. Deradikalisasi Terorisme. Jakarta: Daulat Press
Susi. 2019. Pentingnya Evaluasi “Deradikalisasi Dan Disengagement.
https://tribratanews.kepri.polri.go.id/2019/10/12/pentingnya-evaluasi-
deradikalisasi-dan-disengagement-2/. Diakses pada 17 Agustus 2022
Tim Redaksi. 2021. Akar Sejarah Jamaah Ansharut Daulah: Niat Aman
Abdurrahman Mendirikan Khilafah. https://voi.id/memori/41490/akar-sejarah-
jamaah-ansharut-daulah-niat-aman-abdurrahman-mendirikan-khilafah.
Diakses pada 17 Agustus 2022

Anda mungkin juga menyukai