Anda di halaman 1dari 80

MEMAHAMI ANCAMAN

RADIKALISME DAN TERORISME


DI INDONESIA

OLEH:
KOMJEN POL. PROF. DR. H. MOHAMMED RYCKO AMELZA DAHNIEL, M.SI.

2023
Daftar Isi
1. Pendahuluan………………………………...……..…...……..3
2. Konsep Terorisme: ajarkan kekerasan, agama atau mengejar
kekuasaan?...............................................................................13
a. Intoleransi sebagai entry-point radikal-terorisme……....16
b. Fear of terror sebagai tujuan utama…………………….17
c. Manipulasi dan penyalahgunaan symbol keagamaan oleh
kelompok teror…………………………………………..20
d. Manipulasi ajaran simbol keagamaan untuk kepentingan
politik…………………..……………………….….…....22
3. Perkembangan terorisme global….................……………......27
a. Aksi terorisme global..……….……………...…..….….…...29
b. Global action on countering terrorism……………..……...33
c. Peran dan kepemimpinan Indonesia dalam
penanggulangan terorisme……….………………..…....….38
4. Perkembangan terorisme di Indonesia…….........................…41
a. Gelombang aksi teror di Indonesia……………..……….41
b. Gelombang Pertama: Negara Islam Indonesia…….........45
c. Gelombang kedua: Jemaah Islamiyah……………….….48
d. Gelombang ketiga: Daulah Islamiyah……………….….51
5. Eksploitasi Perempuan dan anak dalam kelompok
terorisme……………………...…………………..............….58
6. Strategi penanggulangan Radikalisme – Terorisme…...……..66
7. Kesimpulan………..………………………...…..…......…….70
8. Referensi……..…………………………..…...………….…..72
ANCAMAN IDEOLOGI DAN KEJAHATAN
RADIKALISME – TERORISME
DI INDONESIA

Komjen Pol. Prof. Dr. H. Mohammed Rycko Amelza Dahniel, M.Si.1


Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Republik Indonesia

Abstract

Radicalism and terrorism are two phenomena that


threaten the unity and peace of the Indonesian nation.
Radicalism can be interpreted as a form of social
change using violence and persuading people in a way
they think is right, but using the wrong method and
having fatal consequences. Terrorism is an act that
uses violence or threats that create a widespread
atmosphere of terror or fear, which can cause mass
casualties or cause damage with ideological, political
or security motives. Radicalism and terrorism are
forms of distortion of religious teachings because in
practice they justify violence and other brutal methods
to achieve goals. The existence of radical terrorist
groups cannot be separated from the existence of a
practical political agenda aimed at seizing legitimate
government power. This article aims to analyze the
causes, impacts and strategies for preventing
radicalism and terrorism in Indonesia. Apart from that,
this article illustrates that radicalism and terrorism in

1 Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Republik Indonesia,


Guru Besar Ilmu Kepolisian pada PTIK, Dosen PTIK, dan SKSG Universitas Indonesia.
1
Indonesia have various factors, such as ideological,
political, socio-economic, psychological and media
factors. Radicalism and terrorism in Indonesia also
have negative impacts on individuals and society, such
as causing intolerance, discrimination, violence or
terrorism. To prevent radicalism and terrorism in
Indonesia, it is necessary to implement a
comprehensive and collaborative strategy that involves
all elements of society. Some strategies that can be
implemented are increasing national awareness,
monitoring radical accounts or groups on social media
or the internet, carrying out counter-radicalization,
increasing cooperation between state institutions,
increasing the capacity of law enforcement officers,
involving the academic community and increasing
participation of the entire community.
Keywords: radicalism, terrorism, prevention strategies,
community participation

2
Pendahuluan

Terorisme merupakan sebuah ideologi yang


mengusung kekerasan, tidak dapat menerima perbedaan,
merasa diri dan kelompoknya paling benar dan memaksakan
kebenaran kelompoknya kepada pihak lain dengan ancaman
dan atau kekerasan, pihak lain yang tidak sejalan dianggap
lawan dan harus dihancurkan. Ideologi ini mengajarkan
kebencian, mengolok-ngolok orang dan kelompok lain,
termasuk kepada para pemimpin, mengajarkan perlawanan
kepada pemerintah yang sah dan menyebarkan rasa takut
kepada warga. Ideologi ini membenarkan penggunaan
kekerasan untuk mencapai tujuannya dan samasekali tidak
menghormati hak asasi manusia (violent ideology) sehingga
menjadi sebuah kejahatan terhadap kemanusian (crime
against humankind) dan kejahatan terhadap lestarinya
peradaban umat manusia (crime against civilization),
sehingga menjadikan kejahatan masuk dalam kategori
kejahatan yang luarbiasa terhadap peradaban umat manusia
(extraordinary crime against humankind). Khusus untuk
Indonesia, ideologi ini merupakan kejahatan merusak rasa
kebangsaan dan persatuan kesatuan bangsa rakyat Indonesia

3
(crime against unity) yang dibangun dari berbagai perbedaan
dan tinggal menyebar di ribuan pulau nusantara.

Pemerintah Indonesia melalui UU Nomor 5 Tahun


2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Pasal
1 ayat (2), mendefinisikan terorisme sebagai perbuatan yang
menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang
menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas,
yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal,
dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap
objek vital yang strategis, Iingkungan hidup, fasilitas publik,
fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, atau
gangguan keamanan. Lebih lanjut, Pasal 1 ayat (3),
mendefinisikan kekerasan sebagai perbuatan
penyalahgunaan kekuatan fisik dengan atau tanpa
menggunakan sarana secara melawan hukum dan
menimbulkan bahaya bagi badan, nyawa, dan kemerdekaan
orang, termasuk menjadikan orang pingsan atau tidak
berdaya. Sementara berdasarkan Pasal 1 ayat (4), ancaman
kekerasan diartikan sebagai setiap perbuatan secara melawan
hukum berupa ucapan, tulisan, gambar, simbol, atau gerakan
tubuh, baik dengan maupun tanpa menggunakan sarana
dalam bentuk elektronik atau non-elektronik yang dapat

4
menimbulkan rasa takut terhadap orang atau masyarakat
secara luas atau mengekang kebebasan hakiki seseorang atau
masyarakat.

Terorisme memiliki cakupan definisi yang luas


sehingga sulit untuk diterima secara universal. Hal ini
dikarenakan konsep terorisme disesuaikan pada konteks
masing-masing negara yang memiliki perbedaan prinsip
politik. Resolusi Dewan Keamanan PBB 1566 tahun 2004
mendefinisikan terorisme sebagai tindakan kekerasan yang
dilakukan oleh individu atau kelompok dengan tujuan
menciptakan ketakutan, mengancam keamanan publik, atau
memengaruhi tindakan pemerintah atau masyarakat dengan
cara yang ekstrem.

UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan


Tindak Pidana Terorisme menyebutkan beberapa istilah
yang melekat pada terorisme, yaitu : radikalisasi, radikal
terorisme, kontra radikalisasi, dan deradikalisasi. Namun
definisi radikalisme termasuk radikal terorisme sendiri tidak
dirumuskan dalam UU ini. Merujuk pada kamus Merriam
Webster, Radikal diartikan sebagai sebuah “akar” yang
menjadi penopang kehidupan dari sebuah pohon yang
kokoh. Kemudian KBBI mengartikan radikal sebagai secara
5
mendasar (sampai kepada prinsip), keras menuntut
perubahan dan kemajuan dalam berpikir dan bertindak.
Sementara kamus Oxford menyebut salah satu arti dari
radikal adalah mendukung perubahan politik atau sosial yang
ekstrim dan lengkap. Seiring waktu, terminologi radikal
berkembang untuk konteks kerangka sosial politik yang
menuntut perubahan dengan tindakan ekstrim, sehingga
disebut sebagai radikalisme.

Makna kebahasaan di atas menunjukkan bahwa


radikal dan radikalisme memiliki makna positif dan negatif
sekaligus. Sebagai contoh, peneliti asal Jepang Mitsuo
Nakamura dalam South East Asian Studies menyebut
Nahdhatul Ulama sebagai “tradisionalisme radikal” untuk
menggambarkan karakteristik otonom dan independen dari
organisasi Masyarakat Islam terbesar di Indonesia itu
(Indonesia.go.id, 2019). Istilah ini juga dipakai dalam
Tradisionalisme Radikal: Persinggungan Nahdhatul Ulama-
Negara (1997) oleh penerbit LKiS Yogyakarta untuk buku
Nahdhatul Ulama, Traditional Islam, and Modernity in
Indonesia (1996) yang disunting Greg Barton dan Greg
Fealy (Barton dan Fealy, 1997).

6
Karena juga memiliki makna positif, sebagian pihak
menilai radikalisme bukan istilah yang tepat untuk merujuk
aksi atau kelompok yang cenderung menggunakan
kekerasan atau menolak nilai-nilai kebangsaan yang
disepakati. Namun demikian, jika menilik lebih jauh definisi
radikalisme yang banyak dibicarakan, makna yang dirujuk
lebih diartikan sebagai hal yang negatif, dibandingkan hal
positif. Dalam konteks ini, radikal dicirikan sebagai gerakan
dengan perjuangan untuk mewujudkan keyakinan ideologis
yang kuat dan fanatik, menggantikan tatanan nilai dan sistem
yang ada. Usaha mewujudkannya bahkan dilakukan melalui
aksi-aksi kekerasan (Jamhari dan Jahroni, 2004; Mubarak,
2008).

Sebagian studi dan kajian membedakan radikal


dengan ekstremis. Kedua kata ini dibedakan dalam hal ada
tidaknya komitmen atas penggunaan kekerasan. Tidak
semua individu dan kelompok radikal akan menjadi
ekstremis. Namun, benih-benih ekstremisme tertanam
melalui fase radikalisasi bertahap (Susetyo, 2018). Gerakan
radikal cenderung menggunakan kekerasan politik secara
pragmatis dan selektif. Sementara ekstremis, menganggap
kekerasan terhadap musuh sebagai bentuk tindakan politik

7
yang sah dan cenderung meyakini bentuk-bentuk kekerasan
massa ekstrem sebagai bagian dari kredo politik mereka.
Ekstremisme bersifat anti-demokrasi. Gerakan ini berusaha
menghapus demokrasi konstitusional dan supremasi hukum.
Sementara itu, radikalisme cenderung bisa terlibat dalam
demokrasi dan bukan semata-mata anti-demokrasi.
Demokrasi dapat hidup dengan kaum radikal, namun tidak
dengan militan ekstremis yang agresif dan tanpa kompromi
(Bötticher, 2017).

Para ahli dan sejumlah negara mendefinisikan


ekstremisme kekerasan secara beragam dengan berbagai
kritik atasnya. Dalam kajian akademik dan rumusan
sejumlah negara, istilah ekstremisme kekerasan biasanya
digunakan untuk merujuk fenomena berbagai kekerasan
yang didasari motif ideologi untuk menggunakan kekerasan
(UNESCO, 2017). Dengan kata lain, ekstremisme kekerasan
dapat disebut sebagai kejahatan ideologis. Meski berbeda-
beda, terdapat sebuah elemen penting yang disepakati
hampir semua kalangan, baik di kalangan ahli atau rumusan
negara. Studi Bak, Tarp dan Liang (2019), menjadikan
penggunaan kekerasan sebagai satu dari dua elemen lain
untuk memahami ekstremisme kekerasan: pandangan

8
totalitarianisme dan intoleransi; proyek politik anti-status
quo (Bak, Tarp dan Liang, 2019).

Meskipun merupakan terminologi yang berbeda,


radikalisme, ekstremisme, dan terorisme memiliki korelasi
yang saling terkait. Terorisme tidak terjadi secara tiba-tiba,
melainkan terjadi melalui proses tertentu, mulai dari cara-
cara tanpa menggunakan kekerasan, mobilisasi (persiapan-
persiapan melakukan aksi terorisme), hingga pelaksanaan
aksi. Tentu saja, proses ini tidak selalu terjadi seragam pada
setiap individu dan kelompok. Proses tersebut terjadi dalam
waktu yang bervariasi tergantung pada intensitas paparan
faktor-faktor pendorong yang ada. Bertjan Doose dkk
mengungkapkan ada tiga fase radikalisasi terhadap individu
hingga berani melakukan teror. Tiga fase ini dibagi menjadi
(1) fase sensitivitas; (2) fase keanggotaan kelompok; (3) fase
aksi. Setiap fase terjadi di tiga tingkatan, yaitu mikro, meso
dan makro. Berikut adalah ringkasan tiga fase radikalisasi
pada setiap tingkatan menurut Berthan Doose dkk.

9
Tingkat Cakupan
Fase
Mikro Meso Makro
Perasaan Dipengaruhi Serupa pada
kehilangan lingkungan tingkat meso
dalam diri sosial sekitar dengan
individu, individu cakupan
seperti yang lingkungan
kehilangan merasakan yang jauh
status, ketidakadilan lebih luas,
Sensitivitas merasa atau karena
terhina dalam kekecewaan, adanya faktor
bersosialisasi seperti dari politik,
, kegagalan teman, ekonomi dan
karir, dan keluarga dan budaya
terlibat pada tempat kerja
kejahatan
konvensional
Tergabung Individu Ikut
pada yang berdeklarasi
kelompok tergabung atau muncul
Keanggotaan
masyarakat pada ke muka
Kelompok
lokal yang kelompok publik untuk
merasa radikal sudah mulai terang-
termarjinalka aktif terangan

10
n dengan mengikuti maksud dan
hanya kegiatannya, tujuan
mengikuti dan mulai bergabung
norma dan membatasi dengan
nilai radikal atau menarik kelompok
dari diri dari radikal
kelompok lingkungan
tersebut sebelumya
Melakukan Melakukan Teror
teror dengan kegiatan diarahkan
menargetkan teror dengan kepada
lingkungan strategi pemerintahan
kecil khusus yang
sebelumnya, kepada suatu berdaulat
Aksi
seperti individu atau dengan
keluarga dan kelompok tujuan untuk
teman tertentu yang mengambil
dianggap alih
sebagai kekuasaan
musuh utama

11
Meskipun tidak terdapat definisi universal, namun
berkembangnya penyebaran ancaman terorisme serta situasi-
situasi yang mendukung terorisme tersebut terlihat dengan
masifnya ekstremisme berbasis kekerasan yang
menggunakan berbagai media baik offline dan online dalam
meluaskan propaganda dan agitasi untuk menyebarkan
ajaran maupun mempengaruhi publik agar bersimpati dan
mendukung aksi-aksi terorisme (perkembangan terorisme
sebagai ancaman global, berbanding lurus dengan
meningkatnya situasi yang mendukung munculnya
ekstremisme berbasis kekerasan). Hal ini mendorong
lahirnya semangat bersama negara-negara di dunia melalui
berbagai Resolusi baik di Majelis Umum maupun Dewan
Kemananan PBB tentang pentingnya negara-negara
mengambil langkah-langkah untuk mencegah serta
menanggulangi push and pull factor ekstremisme berbasis
kekerasan yang dapat mengarah pada terorisme. Dalam UN
Plan of Action to Prevent Violen Extremism 2015, PBB
mengidentifikasi:

12
Kondisi kondusif dan Proses radikalisasi menjadi
konteks struktural sebagai faktor penarik/pull factors,
faktor pendorong/push antara lain:
factors, antara lain:
§ Kesenjangan ekonomi § Latar belakang dan
§ Marginalisasi dan motivasi individu
diskriminasi
§ Memposisikan diri
§ Tata kelola
pemerintahan yang sebagai korban
buruk (victimization)
§ Pelanggaran HAM
§ Kekecewaan kolektif
dan lemahnya
penegakan hukum § Distorsi terhadap
§ Konflik pemahaman tertentu
berkepanjangan
(yang berakar dari
§ Radikalisasi di dalam
lembaga kepercayaan, ideologi
pemasyarakatan. politik, etnis dan
perbedaan budaya,
jejaring sosial, serta
kepemimpinan).

Konsep Terorisme: ajarkan agama, kekerasaan,


atau mengejar kekuasaan?

Perilaku teror merupakan bentuk distorsi terhadap


ajaran agama karena dalam parakteknya menghalalkan
13
kekerasan dan cara-cara brutal lainnya untuk mencapai
tujuan. Aksi terorisme radikal disebarkan oleh para teroris
dengan bermodalkan payung agama sebagai bentuk
justifikasi terhadap aksinya. Agama ataupun ideologi dapat
menangkal benih-benih kebencian dan segala bentuk
kekerasan, akan tetapi di sisi lain pemahaman agama atau
ideologi yang disampaikan dengan cara yang tidak benar
dapat menimbulkan konflik bahkan terjadinya tindakan
kekerasan dan terorisme (Madnur, 2023).

Pada dasarnya para pelaku terror telah beranggapan


bahwa ajaran agama yang mereka pahami merupakan bentuk
yang paling sempurna, sehingga pemahaman lainnya
dianggap sebagai suatu kesalahan yang harus diperangi.
Perasaan tinggi inilah yang kemudian memunculkan
intoleransi berujung kekerasan. Adapun bentuk kekerasan
yang dilakukan oleh pelaku terror adalah berupa aksi
pemboman, bom bunuh diri dan lainnya yang dalam hal ini
diyakini sebagai bagian dari seruan agama untuk
mendapatkan predikat tinggi di hadapan Tuhan. Selain itu
aksi-aksi tersebut dianggap sebagai upaya untuk
mendapatkan label syahid dan ganjaran surga bagi pelakunya
(Madnur, 2023).

14
Seperti yang telah disampaikan sebelumnya bahwa
teroris percaya bahwa kelompoknya memiliki pemahaman
yang paling benar terhadap agama dan merasa memiliki
wewenang untuk memaksakan ideologi tersebut terhadap
pihak yang mereka anggap bertentangan dengannya. Dalam
hal ini rasa kewenangan tersebut kemudian berubah menjadi
kuasa yang memaksa kelompok atau pribadi yang
bertentangan untuk tunduk. Cara “menundukan” kelompok
atau pribadi yang bertentangan tadi pun tidak lepas dari
metode kekerasan. Misalnya agenda teror radikalisme yang
dilakukan oleh kelompok ISIS (Islamic State of Iraq and
Syiria) mendirikan Negara Islam berdasarkan syariat atau
hukum Islam dilakukan dengan cara “memerangi” orang-
orang/kelompok yang dianggap sebagai musuh yang
bertentangan (Madnur, 2023).

Di Indonesia, gerakan terorisme radikal dengan


justifikasi agama berawal dari berdirinya gerakan NII
(Negara Islam Indonesia) oleh Kartosuwiryo yang saat ini
telah bertransformasi menjadi beberapa nama-nama baru
seperti Jama’ah Islamiah (JI), Jama’ah Ansharut Tauhid
(JAT) dan nama-nama lainnya yang tujuannya sama untuk
mendirikan Negara Islam dengan cara-cara kekerasan (Mbai,

15
2014). Fenomena aksi terorisme di Indonesia atas dasar
motivasi agama dengan tujuan mendirikan negara islam
didasari karena adanya pemahaman keagamaan yang keliru
dan sangat sempit (Mbai, 2014). Gerakan islam radikal dan
aksi teror yang terjadi saat ini merupakan bentuk tekanan
terhadap rezim yang dianggap tidak aspiratif terhadap Islam.
Dalam hal ini, tujuan gerakan radikal dan aksi teror tersebut
berumara pada tujuan politis kekuasaan yaitu islam harus
menjadi dasar negara dan syariat islam harus diterima
sebagai konstitusi Negara (Zada, 2002). Pada akhirnya
terorisme itu sendiri menjadikan agama sebagai justifikasi
untuk melakukan kekerasan dan mencapai kekuasaan politis
tertentu.

Intoleransi sebagai entry point Radikal-Terorisme

Intoleransi merupakan cikal bakal terbentuknya


radikalisme, lalu ekstremisme, dan terakhir dalam bentuk
terorisme. Dalam hal ini sikap intoleran adalah benih dari
radikalisme dan terorisme (Mone, 2023). Dalam kelompok
terorisme nilai-nilai intoleransi dikembangkan dan
ditanamkan sehingga berpengaruh terhadap orang yang
terlibat dan mendukung kelompok Islamis tersebut (Madnur,

16
2023). Terorisme adalah salah satu manifestasi ekstremisme
yang seringkali didasari oleh sikap intoleran. Terorisme
merusak prinsip-prinsip perdamaian, toleransi, dan
keragaman yang seharusnya menjadi pondasi masyarakat
yang beradab. Kelompok teroris sering mengadopsi ideologi
yang mempromosikan intoleransi terhadap kelompok lain,
entah itu berdasarkan agama, etnisitas, atau keyakinan
politik. Mereka memandang perbedaan sebagai alasan untuk
melakukan kekerasan, yang mengancam kedamaian dan
stabilitas global. Oleh karena itu, upaya untuk melawan
terorisme juga harus melibatkan upaya untuk memerangi
sikap intoleran dan mempromosikan pesan perdamaian,
toleransi, dan dialog antarbudaya. Dengan cara ini, kita dapat
berkontribusi pada masyarakat yang lebih harmonis dan
bebas dari ancaman terorisme.

Fear of Terror sebagai tujuan utama

Menurut Muladi (2002) hakekat perbuatan teroris


mengandung perbuatan kekerasan atau ancaman kekerasan
yang berkarakter politik. Bentuk perbuatannya dapat
ditemukan dalam bentuk aksi pemboman, perompakan,
pembajakan maupun penyanderaan (Syihab & Hatta, 2023).

17
Pelaku dapat merupakan individu, kelompok, atau negara,
sedangkan hasil yang diharapkan adalah kemunculan “rasa
takut”, pemerasan, perubahan radikal politik, tuntutan Hak
Asasi Manusia, dan kebebasan dasar untuk pihak yang tidak
bersalah serta kepuasan tuntutan politik lain (Muladi, 2002).

Terorisme pada dasarnya adalah sebuah bentuk


perang psikologis di mana teroris berusaha untuk
mempengaruhi perubahan kebijakan dengan mempengaruhi
ketakutan dan sikap individu yang dalam hal ini
menargetkan populasi yang jauh lebih luas selain target teror
secara langsung (Friedland & Merari, 1985). Dengan
demikian, salah satu tujuan utama terorisme adalah untuk
menimbulkan kerugian psikologis pada khalayak umum.
Terdapat premis yang telah lama dipegang dalam literatur
tentang terorisme yang menyatakan bahwa provokasi rasa
takut yang dialami oleh massa adalah mekanisme yang
menghubungkan motivasi kekerasan dengan hasil yang
diharapkan dari perubahan kebijakan (Braithwaite, 2013).
Dalam hal ini, efektivitas politik terorisme sangat ditentukan
oleh efek psikologis dari kekerasan terhadap khalayak
(Crenshaw, 1986).

18
Secara singkat, aksi terorisme ada dengan
mengandalkan perbuatan kekerasan atau ancaman kekerasan
dengan menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara
meluas (Purba & Syauqillah, 2022). Rasa takut yang timbul
dari aksi teror merupakan senjata psikologis dan tolok ukur
keberhasilan teror yang dilakukan. Dalam hal ini, terorisme
digunakan sebagai senjata psikologis untuk menciptakan
suasana panik, tidak menentu serta menciptakan
ketidakpercayaan masyarakat terhadap kemampuan
pemerintah dan memaksa masyarakat atau kelompok
tertentu untuk menaati kehendak pelaku teror (Loqman,
1990). Kecemasan dan huru hara yang timbul dari sebuah
teror kemudian dimanfaatkan oleh kelompok teroris untuk
menundukkan masyarakat dan pemerintah.

Dalam menciptakan kecemasan dan rasa takut,


teroris tidak jarang menggunakan media sebagai mekanisme
kunci untuk memastikan bahwa anggota masyarakat yang
tidak secara langsung dirugikan oleh kekerasan (dalam aksi
terorisme) terus percaya bahwa mereka dapat dirugikan oleh
serangan yang sama di masa depan (Braithwaite, 2013).
Dengan kata lain, kunci utama dari aksi terorisme adalah
melakukan kekerasan yang dapat ditonton dan mendapatkan

19
atensi dari khalayak (Nacos, 2005). Hoffman (2006),
menyatakan bahwa media dan segala platformnya
digambarkan sebagai sesuatu yang mudah untuk
dimanipulasi, sehingga propaganda rasa takut dan
kecemasan dapat tersalurkan dengan mudah di kalangan
Masyarakat.

Manipulasi dan penyalahgunaan simbol keagamaan oleh


kelompok teror

Kelompok terorisme membawa identitas keagamaan


yang digunakan untuk membenarkan setiap aksi yang
mereka lakukan. Terdapat simbol, lokasi dan istilah-istilah
keagamaan tertentu yang diselewengkan oleh
pelaku/kelompok teror, seperti penyalahgunaan panji
Rasulullah Al-Liwa dan Ar-Rayah dalam pelaksanaan aksi
teror, penggunaan atribut Islami seperti cadar, kopiyah, dan
baju koko saat pelaksanaan aksi, penggunaan masjid sebagai
lokasi penyebarakan paham radikalisme, sampai dengan
misinterpretasi terhadap diksi jihad dan penggunaan istilah
kafir untuk membenarkan seruan aksi dan masih banyak lagi.

Selain simbol, lokasi dan beberapa istilah yang


disalahgunakan oleh kelompok teror, terdapat juga narasi-
20
narasi adu domba, intoleran, dan anti pemerintahan yang
dilontarkan dalam forum-forum maupun sosial media yang
mereka gunakan sebagai bentuk propaganda. Narasi dalam
hal ini digunakan sebagai sistem koheren yang saling terkait
dan terorganisir untuk membangun ekspektasi audiens sesuai
dengan lintasan dan bentuk retorika yang diharapkan
tertanam kepada mereka (Halverson., et.al., 2011). Narasi
sebagai bentuk propaganda digunakan oleh jihadis teroris
maupun kelompok Islamis yang tidak menggunakan
kekerasan seperti Jamaah Tabligh (Rane, 2016).

Narasi-narasi yang muncul sebagai bentuk


propaganda terorisme dapat berupa seruan kafir yang
ditujukan secara berlebihan kepada non muslim atau saudara
sesama muslim yang tidak sepaham, seruan kebencian
terhadap pemerintah karena dianggap tidak mencerminkan
nilai-nilai islam, seruan jihad melawan pemerintahan yang
thogut, keutamaan berjihad di jalan Tuhan, seruan
keutamaan mati syahid melalui jihad, sampai dengan inti
propagandanya, yaitu pendirian negara islam yang secara
tertib harus menggunakan hukum atau syariat islam. Selain
itu terdapat juga narasi pembenaran berupa pujian terhadap
gerakan teroris yang dianggap proporsional dan suci serta

21
upaya seruan bahwa tugas umat muslim yang baik adalah
dengan mendukung gerakan teror (jihad) tersebut
(McCauley & Moskalenko, 2014).

Pada akhirnya seruan dan aksi terorisme yang


berlindung di balik tabir agama seperti yang telah disebutkan
sebelumnya, menyasar pada agenda politik praktis yang
bertujuan untuk merebut kekuasaan pemerintahan dari
kalangan yang dianggap bertentangan dengan pemahaman
mereka (Madnur, 2023). Penggunaan istilah terorisme,
sebagai alat teror politik menjadi aksi yang digunakan untuk
menciptakan suatu kedaulatan tersendiri, dalam hal ini sesuai
dengan yang mereka anggap benar, yaitu terbentuknya
negara islam yang sesuai dengan hukum syariah dengan
mengagungkan tokoh-tokoh primordial seperti Osamah bin
Laden, Abu Bakar Al-Baghdadi dan tokoh-tokoh besar
dalam kelompok teroris lainnya.

Manipulasi ajaran simbol keeagamaan untuk kepentingan


politik

Manipulasi ajaran dan simbol-simbol keagamaan


adalah modus utama penyebaran ideologi radikal dan
terorisme. Manipulasi ini yang menyebabkan terjadinya
22
distorsi pemahaman kesucian agama dan menjadi salah satu
faktor penyebab munculnya paham radikalisme dan
terorisme di Indonesia. Distorsi ajaran keagamaan adalah
suatu bentuk penyimpangan atau penyelewengan dari ajaran
keagamaan yang sebenarnya menjadi sesuatu yang tidak
sesuai dengan nilai-nilai keagamaan itu sendiri. Distorsi
ajaran keagamaan dapat terjadi karena berbagai alasan,
antara lain: ketidaktahuan, kesalahpahaman, kepentingan
politik atau ekonomi, pengaruh eksternal atau internal, atau
manipulasi informasi. Distorsi ajaran keagamaan dapat
berdampak negatif bagi individu maupun masyarakat, seperti
menyebabkan intoleransi, diskriminasi, kekerasan, atau
terorisme.

Dalam konteks terorisme pada politik, distorsi ajaran


keagamaan dapat dimaknai sebagai suatu cara untuk
membenarkan atau melegitimasi tindakan kekerasan yang
bertujuan untuk mengubah atau menggulingkan sistem
politik yang ada dengan mengatasnamakan agama. Dalam
hal ini, agama digunakan sebagai alat untuk memobilisasi
massa, mempengaruhi opini publik, atau menantang otoritas
negara. Agama juga digunakan sebagai identitas untuk

23
membedakan kelompok sendiri dengan kelompok lain yang
dianggap sebagai musuh atau lawan (Kristianto, 2018).

Beberapa contoh distorsi ajaran keagamaan dalam


konteks terorisme pada politik di Indonesia antara lain
adalah:
● Penggunaan konsep jihad sebagai pembenaran untuk
melakukan perang suci melawan pihak-pihak yang
dianggap kafir, munafik, thaghut, atau penjajah.
Konsep jihad sebenarnya memiliki makna yang luas
dan kompleks dalam Islam, yang tidak hanya
meliputi perang fisik tetapi juga perang moral dan
spiritual. Jihad juga memiliki syarat-syarat dan etika-
etika yang ketat yang harus dipenuhi oleh para
pejuangnya. Namun, kelompok-kelompok radikal
dan teroris sering menafsirkan jihad secara sempit
dan literal sebagai perintah untuk membunuh atau
membantai orang-orang yang tidak sepaham dengan
mereka
● Penggunaan konsep khilafah sebagai tujuan untuk
mendirikan negara Islam global yang berdasarkan
syariah Islam. Konsep khilafah sebenarnya memiliki
makna yang beragam dan kontroversial dalam

24
sejarah Islam, yang tidak selalu identik dengan
negara modern. Khilafah juga memiliki berbagai
model dan bentuk yang berbeda-beda di berbagai
zaman dan tempat. Namun, kelompok-kelompok
radikal dan teroris sering menafsirkan khilafah secara
idealis dan utopis sebagai sistem politik yang
sempurna dan mutlak yang harus diwujudkan dengan
segala cara.
● Penggunaan konsep takfir sebagai alasan untuk
mengkafirkan atau mengapostasikan orang-orang
yang tidak sepaham dengan mereka. Konsep takfir
sebenarnya memiliki makna yang sensitif dan
berbahaya dalam Islam, yang tidak boleh dilakukan
sembarangan oleh siapa pun tanpa otoritas ilmiah dan
hukum. Takfir juga memiliki dampak hukum yang
serius bagi orang-orang yang dikafirkan, seperti
hilangnya hak-hak sipil dan agama mereka. Namun,
kelompok-kelompok radikal dan teroris sering
menafsirkan takfir secara sewenang-wenang dan
subjektif sebagai cara untuk menjustifikasi tindakan-
tindakan kekerasan mereka terhadap orang-orang
yang dikafirkan.

25
Distorsi ajaran keagamaan adalah salah satu faktor
penyebab munculnya paham radikalisme dan terorisme di
Indonesia. Distorsi ajaran keagamaan adalah suatu bentuk
penyimpangan atau penyelewengan dari ajaran keagamaan
yang sebenarnya menjadi sesuatu yang tidak sesuai dengan
nilai-nilai keagamaan itu sendiri. Distorsi ajaran keagamaan
dapat terjadi karena berbagai alasan, antara lain:
ketidaktahuan, kesalahpahaman, kepentingan politik atau
ekonomi, pengaruh eksternal atau internal, atau manipulasi
informasi (Syam dkk, 2020). Distorsi ajaran keagamaan
dapat berdampak negatif bagi individu maupun masyarakat,
seperti menyebabkan intoleransi, diskriminasi, kekerasan,
atau terorisme. Dalam konteks terorisme pada politik,
distorsi ajaran keagamaan dapat dimaknai sebagai suatu cara
untuk membenarkan atau melegitimasi tindakan kekerasan
yang bertujuan untuk mengubah atau menggulingkan sistem
politik yang ada dengan mengatasnamakan agama. Beberapa
contoh distorsi ajaran keagamaan dalam konteks terorisme
pada politik di Indonesia antara lain adalah penggunaan
konsep jihad, khilafah, dan takfir secara sempit dan literal
oleh kelompok-kelompok radikal dan teroris.

26
Perkembangan Terorisme Global.

Aksi terorisme global

Perkembangan terorisme global adalah isu kompleks, terus


berubah, dan memengaruhi banyak negara di seluruh dunia.
Ini melibatkan berbagai kelompok teroris, ideologi radikal,
dan metode yang terus berkembang. Faktor globalisasi telah
memungkinkan kelompok teroris untuk beroperasi di
berbagai negara dan mendapatkan dukungan di tingkat
internasional. Internet, dengan semua platformnya, kini
berperan penting dalam meradikalisasi individu dan
menyebarkan propaganda teroris. Selain kelompok teroris
yang terkenal seperti Al-Qaeda dan ISIS, ada juga banyak
kelompok lain dengan agenda dan tujuan berbeda di berbagai
wilayah dunia.

Al-Qaeda adalah organisasi teroris global yang


didirikan oleh Osama bin Laden pada tahun 1988. Al-Qaeda
merupakan kelompok terorisme multinasional pertama di
abad ke-21 yang mengatasnamakan jihad dalam melakukan
penyerangan terhadap aktor yang mereka anggap sebagai
musuh dari umat islam (Nasution, et.al., 2023). Al Qaeda
dalam hal ini, menganut ideologi radikal Islam dan percaya

27
pada perang suci atau jihad sebagai cara untuk mencapai
tujuan mereka. Kelompok ini diproyeksikan untuk
meluncurkan kekuatan global anti Amerika Serikat dan
berhasil melakukan transformasi ideologi serta strategi
dengan memanfaatkan trend globalisasi (Nasution, et.al.,
2023).

Salah satu serangan paling terkenal yang dilakukan


oleh al-Qaeda adalah serangan 11 September 2001 di
Amerika Serikat, yang mengakibatkan kematian ribuan
orang dan keruntuhan Menara Kembar World Trade Center
di New York. Al-Qaeda memiliki jaringan global yang
beroperasi di berbagai negara dan telah terlibat dalam
serangan-serangan di seluruh dunia. Setelah peristiwa 11
September atau yang dikenal dengan peristiwa 9/11 ini
terjadi, Al-Qaeda kemudian mengembangkan sebuah
ideologi bahwa globalisasi adalah bentuk lain dari
imperialisme Amerika Serikat (Nasution, et.al., 2023).
Strategi Al-Qaeda pasca 11/9 ini diperkenalkan oleh Abu
Mushab as-Suri yang berintikan konsep perang semesta
antara umat Islam dengan Amerika Serikat, konsep ini
menampilkan Al-Qaeda sebagai pemimpin dalam perang

28
yang kemudian diikuti oleh masyarakat muslim secara global
(Nasution, et.al., 2023).

Aksi teror 9/11 yang melibatkan Al Qaeda


merupakan sebuah turning point yang merubah pemahaman
dunia tentang terorisme. Aksi terror 9/11 ini menunjukkan
bahwa isu terrorisme tidak hanya melibatkan sentimen
agama tetapi juga menunjukkan bahwa terorisme adalah
sebuah kejahatan luar biasa yang bersifat transnasional
(Wahid et.al., 2004). Jika sebelumnya aksi terorisme lebih
banyak terjadi secara domestik di dalam suatu negara dengan
motif politik atau ekonomi, Al-Qaeda memberi inspirasi
banyak kelompok teroris untuk berjejaring dengan
kelompok-kelompok serupa yang berada di berbagai negara
(Damayanti, e.al., 2023). Kelompok Jamaah Islamiyah (JI)
adalah salah satu contoh organisasi terorisme di Indonesia
yang memiliki hubungan yang terafiliasi dengan aksi serta
jaringan Taliban dan Al-Qaeda di berbagai negara (CNN,
2021).

Meskipun Osama bin Laden tewas pada tahun 2011,


kelompok ini masih aktif dengan pemimpin berikutnya,
Ayman al-Zawahiri. Tujuan utama Al-Qaeda adalah
mengusir pasukan asing dari negara-negara Muslim,
29
menggulingkan pemerintahan yang mereka anggap tidak
Islami, dan mendirikan negara Islam yang menerapkan
hukum syariah. Mereka menggunakan berbagai taktik,
termasuk serangan bom, serangan senjata, dan serangan
bunuh diri. Meskipun telah mengalami tekanan dari berbagai
pihak, Al-Qaeda tetap menjadi ancaman serius dalam dunia
terorisme global dan memiliki jaringan yang tersebar di
berbagai wilayah.

Selain Al-Qaeda, terdapat kelompok teroris lain yang


sampai saat ini masih eksis, yaitu ISIS atau Islamic State of
Iraq and Syria. ISIS adalah kelompok teroris yang juga
dikenal dengan sebutan ISIL (Islamic State of Iraq and the
Levant) atau Daesh (singkatan dalam bahasa Arab).
Kelompok ini muncul pada awal tahun 2000-an dan
mencapai sorotan dunia ketika mereka merebut wilayah
besar di Irak dan Suriah pada pertengahan dekade 2010-an.
ISIS yang berasal dari pecahan kelompok Al-Qaeda di Irak
(AQI) berhasil meluaskan pengaruhnya sampai ke Suriah
dan melakukan ekspansi hingga ke luar Irak dan Suriah
(Damayanti, e.al., 2023).

ISIS telah menggunakan narasi Islam yang secara


efektif dan selektif disesuaikan untuk mencapai tujuan
30
politiknya. Dalam hal propaganda, ISIS tidak hanya
mencerminkan manipulasi penafsiran Islam yang ekstrim,
tetapi juga menampilkan objek yang dilanda perang
(Mahood & Rane, 2017). Dalam proses penyebaran teror
radikal, ISIS mengundang orang-orang untuk melakukan
kekerasan demi mencapai tujuan mereka. ISIS juga
menyebarkan kebencian terhadap orang atau kelompok yang
bertentangan dengan pemahaman agama mereka yang
eksklusif (Mardiansyah, 2023). Dalam hal ini, mereka
menganggap kelompoknya sebagai kelompok yang paling
bertakwa dan kelompok lainnya murtad atau kafir. ISIS
memiliki ideologi ekstremis Islam yang radikal dan memiliki
tujuan untuk mendirikan negara Islam yang diperintah
dengan ketat oleh hukum syariah. Mereka terlibat dalam
serangan teror di berbagai negara dan menciptakan
kekacauan serta kerusakan di wilayah tersebut. Salah satu
serangan paling terkenal yang diklaim oleh ISIS adalah
serangan Paris pada tahun 2015 dan serangan di Brussels
pada tahun 2016.

Pada puncak kekuasaannya, ISIS mengendalikan


wilayah luas di Irak dan Suriah, tetapi tekanan militer dari
berbagai pihak, termasuk koalisi internasional yang dipimpin

31
oleh Amerika Serikat, telah menyebabkan mereka
kehilangan sebagian besar wilayah tersebut. Meskipun
demikian, ISIS masih aktif dan memiliki simpatisan di
seluruh dunia yang dapat membentuk sel-sel tidur atau
melaksanakan serangan teror mandiri. ISIS telah menjadi
fokus utama upaya penanggulangan terorisme internasional
dan upaya terus dilakukan untuk mengatasi ancaman yang
mereka tampilkan serta menghentikan penyebaran ideologi
radikal mereka.

Kedua kelompok besar terorisme di atas (Al- Qaeda


& ISIS), sama-sama medistorsi dan memanipulasi ajaran
agama untuk melaksanakan aksi terornya. Pada dasarnya
semua kelompok terror di atas menyasar pada kepentingan
politik, namun menggunakan kekerasan, terror, dan rasa
takut untuk mencapainya. Kelompok radikal terorisme tidak
lepas dari adanya agenda politik praktis yang bertujuan
untuk merebut kekuasaan pemerintahan dari kalangan yang
dianggap bertentangan dengan pemahaman mereka
(Madnur, 2023). Dalam hal ini kelompok teror dalam
aksinya tidak segan untuk menggunakan metode kekerasan
terhadap mereka yang dianggap berseberangan paham.
Penggunaan istilah terorisme, sebagai alat teror politik

32
menjadi aksi yang digunakan untuk menciptakan suatu
kedaulatan tersendiri, dalam hal ini sesuai dengan yang
mereka anggap benar, yaitu terbentuknya negara islam yang
sesuai dengan hukum syariah.

Global Action on countering terrorism

Terorisme merupakan ancaman terhadap perdamaian


dan keamanan internasional. Oleh karena itu, terorisme
menjadi isu sentral dalam Dewan Keamanan PBB (DK
PBB). UN Global Counter Terrorism Strategy (UNGCTS)
merupakan instrumen global untuk meningkatkan upaya
nasional, regional dan internasional dalam melawan
terorisme. Melalui konsensus pada tahun 2006, seluruh
Negara Anggota PBB menyetujui pendekatan strategis dan
operasional bersama untuk memerangi terorisme.

Strategi ini menegaskan kembali bahwa Negara-


negara Anggota mempunyai tanggung jawab utama untuk
melaksanakan UNGCTS dan dalam mencegah dan melawan
terorisme dan ekstremisme berbasis kekerasan yang
mengarah pada terorisme. Hal ini memberikan pesan yang
jelas bahwa Negara-negara Anggota telah memutuskan
untuk mengambil langkah-langkah praktis, baik secara
33
individu dan kolektif, untuk mencegah dan memerangi
terorisme. Langkah-langkah praktis tersebut mencakup
beragam tindakan mulai dari memperkuat kapasitas negara-
negara anggota untuk melawan ancaman teroris hingga
mengoordinasikan kerangka dan upaya penanggulangan
terorisme melalui sistem PBB. Strategy tersebut bersifat
living document, dimana dilakukan review setiap dua tahun
untuk meninjau perkembangan implementasinya dan
menentukan langkah kedepan.

Merujuk Review ke-8 UNGCTS pada Juni 2023,


Pilar strategi meliputi:
• Langkah-langkah untuk menghadapi kondisi
kondusif penyebaran terorisme;
• Langkah-langkan untuk pencegahan dan
penanggulangan terorisme.
• Langkah-langkah untuk membangun kapasitas
negara dalam mencegah dan menanggulangi
terorisme, dan untuk memperkuat peran sistem PBB
dalam konteks ini;
• Langkah-langkah untuk menjamin penghormatan
terhadap Hak Asasi Manusia untuk semua, dan

34
kepastian hukum sebagai dasar fundamental dalam
penanggulangan terorisme.

Dalam konteks kawasan, sebuah tonggak penting


upaya negara-negara di ASEAN dalam Penanggulangan
Terorisme ditandai dengan berhasil disahkannya ASEAN
Convention on Counter Terrorism (ACCT) melalui
mekanisme AMMTC/SOMTC pada Januari 2007. Konvensi
ini berfungsi sebagai kerangka kerja bagi ASEAN untuk
melawan, mencegah serta menekan terorisme dalam segala
bentuk dan manifestasinya dan untuk memperdalam kerja
sama antara lembaga-lembaga penegak hukum dan otoritas
terkait dari Para Pihak (Negara-negara ASEAN) dalam
melawan terorisme.

Konvensi ini kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam


ASEAN Action On Countering Terrorism (ACPOA ON CT)
pada November 2009 dan kemudian direvisi pada September
2017 menjadi 19 area kerjasama. Pembahasan lebih lanjut
mengenai isu penanggulangan terorisme mulai dilanjutkan
kembali melalui pertemuan the 1st Special ASEAN
Ministerial Meeting on the Rise of Radicalisation and
Violent Extremism (SAMMRVE).

35
Dalam dua dokumen sebelumnya, fokusnya hanya
pada isu penanggulangan terorisme saja. Munculnya
Resolusi UNGA 70/291 tahun 2016 terkait Secretary
General’s Plan of Action to Prevent Violent Extremism, telah
menjadi referensi bagi ASEAN untuk juga membahas isu
mengenai Radikalisme dan Ekstremisme Kekerasan di
Kawasan. Oleh karena itu, pada bulan September 2017, pada
pertemuan the 2nd Special Asean Ministerial Meeting on The
Rise of Radicalisation And Violent Extremism (Sammrve),
Negara-Negara Asean Menyetujui Manila Declaration to
Counter The Rise of Radicalisation and Violent Extremism,
dalam upaya untuk melihat akar penyebab radikalisme,
ekstremisme dan terorisme kekerasan, dan pentingnya
pendekatan komprehensif dan menekankan soft approach,
serta keterlibatan semua pemangku kepentingan, entitas
pemerintah dan non-pemerintah, dalam menangani
radikalisme, ekstremisme kekerasan, dan terorisme.

Sebagaimana mandat yang telah diamanatkan oleh


Manila Declaration, untuk menugaskan sebuah Ad-hoc
Experts Working Group dibawah SOMTC guna
merumuskan serta mengembangkan rancangan ASEAN Plan
of Action to Prevent and Counter the Rise of Radicalisation
36
and Violent Extremism, Indonesia dalam kapasitasnya
sebagai voluntary lead shepherd on counter terrorism telah
memprakarsai penyusunan draft ASEAN Plan of Action to
Prevent and Counter the Rise of Radicalisation and Violent
Extremism (ASEAN PoA PCRVE) 2018-2025.

Tujuan utama dari ASEAN PoA PCRVE 2018-2025


adalah untuk mencegah dan menanggulangi radikalisasi dan
ektrimisme berbasis kekerasan yang mengarah ke terorisme
di Kawasan. Selain itu, dokumen ini diharapkan mampu
menjadi rujukan bagi Negara-negara Anggota ASEAN
ketika akan memulai untuk menetapkan Rencana Aksi
nasional / domestik masing-masing dalam mencegah dan
menanggulangi radikalisasi dan ekstremisme berbasis
kekerasan.

ASEAN PoA PCRVE 2018-2025 terdiri dari 4 pilar,


yaitu: (Pilar 1) Pencegahan radikalisasi dan ekstrimisme
berbasis kekerasan; (Pilar 2) Penanggulangan Radikalisasi
serta mempromosikan deradikalisasi; (Pilar 3) Penegakan
hukum dan penguatan legislasi nasional yang berhubungan
dengan penanggulangan radikalisasi; serta (Pilar 4)
Kemitraan dan Kerjasama Regional.

37
Peran dan Kepemimpinan Indonesia dalam
Penanggulangan Terorisme

Pemerintah Indonesia telah mendapatkan pengakuan


dan kepercayaan dunia internasional atas inisiatif dan
kepemimpinan Indonesia dalam bidang penanggulangan
terorisme pada tingkat bilateral, regional, dan multilateral.

Pada lingkup kerja sama bilateral, hingga tahun 2023


BNPT telah memiliki 27 MoU Kerjasama Penanggulangan
Terorisme dengan sejumlah counterpart negara sahabat di
berbagai kawasan di Asia Pasifik, Afrika, Amerika dan
Eropa, termasuk negara 5 P. MoU tersebut antara lain dengan
Pakistan, India, Rumania, Rusia, Srilanka, Kanada,
Kazakhstan, Filipina, RRT, Spanyol, Uzbekistan, Tajikistan,
Belanda, As, Perancis, Australia, Selandia Baru, Mesir,
Slovenia, Maroko, Korea Selatan, PEA, UK, Yordania,
Belgia, Jerman, dan Vietnam. Kesepakatan kerjasama
tersebut meliputi area kerjasama pertukaran informasi,
pengembangan kapasitas, dan pertukaran praktik-praktik
baik dan lesson learned.

Pada lingkup kerja sama regional, untuk


mengimplementasikan ASEAN PoA PCRVE 2018-2025,

38
Indonesia lebih lanjut telah memprakarsai serangkaian
pertemuan Lintas Sektoral dan Lintas Pilar ASEAN untuk
menyusun Rencana Kerja dari ASEAN PoA PCRVE 2018-
2025 melalui Bali Work Plan 2019-2025.

Selain merupakan bukti komitmen ASEAN untuk


mensinergikan kolaborasi lintas sektoral dan lintas pilar
dalam mencegah dan memberantas kejahatan lintas negara,
Bali Work Plan juga menjadi rujukan bagi Badan-Badan
Sektoral ASEAN terkait dalam melaksanakan
kegiatan/aktivitas yang diperlukan, serta memantau
efektivitasnya dalam mencegah dan menanggulangi
radikalisme dan ekstremisme berbasis kekerasan. Tercatat 19
Badan Sektoral ASEAN yang terlibat dalam
pengimplementasian Bali Work Plan (SOMTC, ASEAN-
IPR, SOMY, ASEAN Foundation, SOM-MLAT, AICHR,
SOMED, AIPA, ASLOM, ACCSM, DGICM, ADSOM,
SOMCA, AUN, SOMRY, ACW, ACWC, SOMSWD,
SOMRDPE).

Beberapa Negara Mitra ASEAN serta Entitas PBB telah


memberikan komitmennya untuk ikut berkolaborasi bersama
dengan SOMTC Indonesia dalam mengimplementasikan

39
Bali PCRVE Work Plan 2019-2025. Dalam fora kerjasama
kawasan yang lebih luas:
• Melalui mekanisme ASEAN Regional Forum (ARF)
Indonesia mendorong inisiatif diadopsinya:
- ASEAN Regional Forum (ARF) Statement on
Preventing and Countering Violent Extremism
Conducive to Terrorism in 2019,
- ARF Statement on the Treatment of Children
Recruited by or Associated with Terrorist
Groups 2020
• Indonesia bersama negara-negara di kawasan Asia
Tenggara dan Asia Selatan telah berhasil
menginisiasi “Bali Call for Action for the
implementation of the UNODC Roadmap on
Children Associated with Terrorist and Violent
Extremists Groups” sebagai komitmen politis dalam
upaya memajukan perlindungan anak yang direkrut
maupun dieksploitasi oleh kelompok teroris.
• Pemri berpartisipasi aktif dalam pembahasan isu-isu
keamanan termasuk penanggulangan terorisme di
kawasan melalui forum Sub-Regional Meeting,

40
dimana Indonesia dan Australia merupakan co-
chairs.
• Pemri juga terus memperkuat kepemimpinan
Indonesia di kawasan dalam memajukan forum
Aqaba Process yang bertujuan meningkatkan
kerjasama keamanan termasuk penanggulangan
terorisme di kawasan dan global, serta,
• Memperkuat kerjasama dengan Uni Eropa melalui
“EU CT-P/CVE Activity Plan for Indonesia and the
Region 2021-2024” yang mencakup tema utama:
Prison, Gender, dan Financing.

Perkembangan Terorisme di Indonesia

Gelombang Aksi Teror di Indonesia

Radikalisme dan terorisme adalah dua fenomena


yang mengancam keutuhan dan kedamaian bangsa
Indonesia. Radikalisme dapat diartikan sebagai suatu bentuk
adanya perubahan sosial dengan menempuh jalan kekerasan,
dan meyakinkan dengan suatu jalan yang mereka sendiri
anggap benar, tetapi dengan menggunakan cara yang salah
dan fatal. Terorisme adalah perbuatan yang menggunakan

41
kekerasan atau ancaman yang menimbulkan teror atau rasa
takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban massal
atau kerusakan dengan motif ideologi, politik, atau gangguan
keamanan (Solihin, 2017).

Indonesia telah beberapa kali mengalami serangan


terorisme yang dilakukan oleh kelompok-kelompok radikal
yang berafiliasi dengan organisasi-organisasi internasional
seperti Al-Qaeda, Jama’ah Islamiyah (JI), atau Negara Islam
Irak dan Syam (ISIS). Beberapa contoh serangan terorisme
terbesar di Indonesia adalah bom gereja serentak di malam
Natal tahun 2000, bom Bali I tahun 2002, bom JW Marriot
dan Ritz Carlton tahun 2009, bom Thamrin tahun 2016, bom
Surabaya tahun 2018, dan lain-lain. Serangan-serangan ini
menimbulkan korban jiwa yang tidak sedikit, baik dari warga
negara Indonesia maupun asing, serta merusak fasilitas
publik dan infrastruktur.

Paham radikalisme dan terorisme di Indonesia dapat


muncul dan berkembang karena berbagai faktor, antara lain:
faktor ideologis, politis, sosial-ekonomis, psikologis, dan
media. Faktor ideologis berkaitan dengan adanya
pemahaman agama yang sempit, intoleran, dan ekstrem yang
mengklaim sebagai satu-satunya kebenaran dan
42
menghalalkan segala cara untuk mewujudkannya. Faktor
politis berkaitan dengan adanya ketidakpuasan terhadap
pemerintah atau sistem pemerintahan yang dianggap tidak
adil, korup, atau tidak mewakili aspirasi rakyat. Faktor
sosial-ekonomis berkaitan dengan adanya kemiskinan,
pengangguran, ketimpangan, atau diskriminasi yang
menyebabkan rasa frustrasi, marjinalisasi, atau alienasi.
Faktor psikologis berkaitan dengan adanya trauma, dendam,
atau rasa sakit hati akibat pengalaman buruk di masa lalu
atau pengaruh orang-orang terdekat. Faktor media berkaitan
dengan adanya penggunaan media sosial atau internet
sebagai sarana propaganda, rekrutmen, komunikasi, atau
koordinasi kelompok-kelompok radikal (Mahfud dkk, 2018).

Untuk memahami ancaman radikalisme dan


terorisme di Indonesia, perlu dilakukan upaya-upaya
pencegahan dan penanggulangan yang melibatkan seluruh
elemen masyarakat. Upaya pencegahan dapat dilakukan
dengan cara meningkatkan kewaspadaan nasional,
melakukan pemantauan akun atau grup radikal di media
sosial atau internet, serta melakukan kontra radikalisasi
(Putra dkk, 2020). Kewaspadaan nasional berarti
meningkatkan kesadaran dan kesiapan masyarakat untuk

43
menghadapi ancaman radikalisme dan terorisme dengan cara
melaporkan hal-hal mencurigakan kepada pihak berwenang,
menjaga kerukunan antar umat beragama, serta menolak
segala bentuk provokasi atau hasutan (Sirry, 2020).
Pemantauan akun atau grup radikal di media sosial atau
internet berarti melakukan pengawasan dan penindakan
terhadap konten-konten yang mengandung unsur
radikalisme atau terorisme dengan cara melaporkannya
kepada pihak penyedia layanan atau pihak berwenang.
Kontra radikalisasi berarti melakukan upaya-upaya untuk
mengubah pandangan atau sikap orang-orang yang telah
terpapar atau terlibat dalam radikalisme atau terorisme
dengan cara memberikan bimbingan agama yang moderat,
memberikan pendidikan kewarganegaraan yang demokratis,
memberikan bantuan sosial-ekonomis yang memadai, serta
memberikan dukungan psikologis yang positif.

Upaya penanggulangan dapat dilakukan dengan cara


meningkatkan kerjasama antar lembaga negara,
meningkatkan kapasitas aparat penegak hukum, serta
meningkatkan partisipasi masyarakat. Kerjasama antar
lembaga negara berarti meningkatkan koordinasi dan sinergi
antara pemerintah pusat dan daerah, lembaga legislatif dan
44
yudikatif, serta lembaga-lembaga terkait seperti Badan
Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Kepolisian
Republik Indonesia (Polri), Tentara Nasional Indonesia
(TNI), Badan Intelijen Negara (BIN), dan lain-lain.
Kapasitas aparat penegak hukum berarti meningkatkan
kemampuan dan kewenangan aparat penegak hukum dalam
melakukan pencegahan, penindakan, penyidikan,
penuntutan, dan peradilan terhadap pelaku atau tersangka
radikalisme atau terorisme dengan cara memberikan
pelatihan, peralatan, anggaran, serta perlindungan hukum
yang memadai (BNPT, 2017). Partisipasi masyarakat berarti
meningkatkan peran dan tanggung jawab masyarakat dalam
memberantas radikalisme atau terorisme dengan cara
memberikan informasi, saran, masukan, kritik, atau
dukungan kepada pihak-pihak yang berwenang atau terkait.

Gelombang Pertama: Negara Islam Indonesia

Negara Islam Indonesia (NII) adalah sebuah gerakan


pemberontakan yang bertujuan untuk mendirikan negara
Islam di Indonesia, yang diproklamasikan pada 7 Agustus
1949 oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, seorang
politisi Muslim dan mantan pejuang kemerdekaan. NII juga

45
dikenal dengan nama Darul Islam (DI) atau Rumah Islam.
NII memiliki akar sejarah dari gerakan Darul Islam yang
muncul pada masa perjuangan kemerdekaan Indonesia
melawan penjajahan Belanda pada tahun 1940-an. Gerakan
ini menentang sistem pemerintahan Republik Indonesia yang
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, dan menginginkan
sistem pemerintahan yang berdasarkan syariah Islam.
Gerakan ini juga menolak perjanjian Renville dan Roem-
Royen yang mengakui kedaulatan Belanda atas sebagian
wilayah Indonesia.

NII berusaha untuk merebut kekuasaan dari


pemerintah pusat dengan melakukan pemberontakan
bersenjata di berbagai daerah, terutama di Jawa Barat, Aceh,
Sulawesi Selatan, dan Kalimantan Selatan. NII juga
membentuk struktur pemerintahan sendiri, dengan
Kartosoewirjo sebagai imam atau pemimpin tertinggi, dan
membentuk angkatan perang yang disebut Tentara Islam
Indonesia (TII). NII juga mengeluarkan mata uang sendiri
yang disebut Dinar dan Dirham. NII menghadapi perlawanan
keras dari pemerintah Republik Indonesia, yang didukung
oleh militer, polisi, dan organisasi-organisasi Islam seperti
Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Pemerintah

46
melakukan operasi militer untuk menumpas pemberontakan
NII, yang berlangsung selama lebih dari satu dekade. Banyak
tokoh dan anggota NII yang ditangkap, dibunuh, atau
menyerah kepada pemerintah. Kartosoewirjo sendiri
ditangkap pada tahun 1962 dan dieksekusi mati pada tahun
berikutnya. Dengan demikian, pemberontakan NII secara
resmi berakhir pada tahun 1962.

Meskipun demikian, ideologi dan pengaruh NII


masih bertahan hingga kini, dengan munculnya kelompok-
kelompok yang mengaku sebagai pewaris atau simpatisan
NII, seperti Komando Jihad, Jamaah Islamiyah (JI),
Mujahidin Indonesia Timur (MIT), Jamaah Ansharut Daulah
(JAD), dan lain-lain. Kelompok-kelompok ini melakukan
aksi-aksi terorisme yang menargetkan pemerintah dan
masyarakat sipil, dengan tujuan untuk menggulingkan
negara Pancasila dan mendirikan negara Islam di Indonesia.
Kelompok-kelompok ini juga berafiliasi dengan jaringan
teroris internasional seperti Al-Qaeda dan Negara Islam Irak
dan Syam (ISIS).

47
Gelombang Kedua: Jemaah Islamiyah

Jemaah Islamiyah (JI) adalah sebuah jaringan teroris


Islam yang berbasis di Indonesia, yang bertujuan untuk
mendirikan negara Islam di Asia Tenggara, meliputi
Thailand Selatan, Malaysia, Singapura, Indonesia, Brunei,
dan Filipina Selatan. JI didirikan pada awal tahun 1990-an
oleh beberapa mantan anggota NII yang melarikan diri ke
Malaysia dan bergabung dengan organisasi dakwah Al-
Jama’ah Al-Islamiyyah Al-Munzharoh. JI kemudian
berkembang menjadi sebuah organisasi militan dengan
mendapatkan bantuan dan pelatihan dari Al-Qaeda di
Afghanistan dan Filipina Selatan. JI dipimpin oleh Abdullah
Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir sebagai pemimpin rohani
(Naifular, 2022).

JI bertanggung jawab atas serangkaian aksi terorisme yang


menewaskan ratusan orang di Indonesia dan negara-negara
lain di Asia Tenggara. Beberapa aksi terorisme yang
dilakukan oleh JI antara lain adalah:
● Bom Kedutaan Besar Filipina di Jakarta pada tahun
2000, yang menewaskan dua orang dan melukai 21
orang

48
● Bom Natal 2000, yang menargetkan gereja-gereja
dan tempat-tempat umum di 11 kota di Indonesia,
yang menewaskan 19 orang dan melukai lebih dari
100 orang
● Bom Bali 2002, yang menargetkan dua klub malam
di Kuta, Bali, yang menewaskan 202 orang, sebagian
besar adalah wisatawan asing, dan melukai lebih dari
200 orang
● Bom Hotel JW Marriott di Jakarta pada tahun 2003,
yang menewaskan 12 orang dan melukai 150 orang
● Bom Kedutaan Besar Australia di Jakarta pada tahun
2004, yang menewaskan 11 orang dan melukai 160
orang
● Bom Bali 2005, yang menargetkan tiga restoran di
Kuta dan Jimbaran, Bali, yang menewaskan 22 orang
dan melukai lebih dari 100 orang
● Bom Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton di Jakarta
pada tahun 2009, yang menewaskan 9 orang dan
melukai 53 orang

Pemerintah Indonesia dan negara-negara lain telah


melakukan upaya-upaya untuk memberantas JI dengan
menangkap, membunuh, atau mengadili ratusan anggota dan
49
pemimpinnya. Beberapa tokoh penting JI yang berhasil
ditangkap atau dibunuh antara lain adalah:
● Hambali, yang dianggap sebagai otak di balik
serangan-serangan JI dan perantara antara JI dan Al-
Qaeda, yang ditangkap di Thailand pada tahun 2003
dan diserahkan kepada Amerika Serikat.
● Azahari Husin, yang dianggap sebagai ahli pembuat
bom JI dan dalang di balik serangan-serangan JI di
Indonesia, yang ditembak mati oleh polisi Indonesia
di Malang, Jawa Timur, pada tahun 2005.
● Noordin Mohammad Top, yang merupakan salah
satu pemimpin JI dan pendiri kelompok pecahan JI
yang disebut Tanzim Qaedat al-Jihad, yang ditembak
mati oleh polisi Indonesia di Solo, Jawa Tengah,
pada tahun 2009.
● Zulkarnaen, yang merupakan salah satu pendiri JI
dan komandan militer JI, yang ditangkap oleh polisi
Indonesia di Lampung pada tahun 2020 setelah buron
selama 18 tahun.

Meskipun telah mengalami kemunduran besar akibat


operasi penumpasan pemerintah, JI masih tetap eksis hingga
kini dengan melakukan aktivitas-aktivitas seperti
50
penggalangan dana, perekrutan anggota baru, pelatihan
militer, dan penyebaran propaganda. JI juga masih memiliki
hubungan dengan kelompok-kelompok teroris lain seperti
Al-Qaeda dan ISIS. Beberapa anggota JI diketahui telah
bergabung dengan ISIS atau kelompok afiliasinya di Suriah,
Irak, Afghanistan, Filipina Selatan, dan Indonesia.

Gelombang Ketiga: Daulah Islamiyah

Daulah Islamiyah (DI) adalah sebuah istilah yang


digunakan oleh pemerintah Indonesia untuk menyebut
kelompok-kelompok teroris yang berafiliasi dengan ISIS
atau Negara Islam Irak dan Syam (NIIS) di Indonesia. Istilah
ini pertama kali digunakan oleh Presiden Joko Widodo pada
tahun 2018 untuk menggantikan istilah Jamaah Ansharut
Daulah (JAD), yang sebelumnya digunakan untuk menyebut
kelompok teroris pro-ISIS terbesar di Indonesia. Alasan
penggantian istilah ini adalah untuk menghindari
kebingungan dengan organisasi Islam moderat lainnya yang
memiliki nama serupa seperti Jamaah Ansharut Tauhid
(JAT) atau Jamaah Ansharusy Syariah (JAS).

51
DI bukanlah sebuah organisasi tunggal yang
terstruktur dan terpusat, melainkan sebuah jaringan luas dari
berbagai kelompok kecil yang tersebar di berbagai daerah di
Indonesia, seperti Aceh, Sumatera, Jawa, Kalimantan,
Sulawesi, Maluku, dan Papua. Kelompok-kelompok ini
memiliki kesamaan dalam hal ideologi, yaitu mengikuti
ajaran dan visi ISIS untuk mendirikan khilafah atau negara
Islam global dengan menggunakan kekerasan ekstrem dan
brutal (Syam dkk, 2020). Kelompok-kelompok ini juga
memiliki kesamaan dalam hal sumber inspirasi, yaitu
mengagumi dan meniru pemimpin ISIS Abu Bakr al-
Baghdadi dan juru bicara ISIS Abu Muhammad al-Adnani.
Namun, kelompok-kelompok ini memiliki perbedaan dalam
hal struktur, kepemimpinan, strategi, dan target. Beberapa
kelompok memiliki pemimpin yang jelas dan terorganisir,
seperti Aman Abdurrahman yang merupakan pendiri JAD
dan dianggap sebagai pemimpin tertinggi DI di Indonesia.
Beberapa kelompok lainnya tidak memiliki pemimpin yang
jelas dan beroperasi secara otonom atau seluler, seperti
kelompok MIT yang dipimpin oleh Santoso alias Abu
Wardah yang tewas dalam operasi Tinombala pada tahun
2016. Beberapa kelompok memiliki strategi yang terencana

52
dan terkoordinasi, seperti kelompok yang melakukan bom
Thamrin pada tahun 2016 yang didalangi oleh Bahrun Naim,
seorang anggota ISIS di Suriah (Mahfud dkk, 2018).
Beberapa kelompok lainnya memiliki strategi yang spontan
dan tidak terkoordinasi, seperti kelompok yang melakukan
bom Surabaya pada tahun 2018 yang dilakukan oleh
keluarga Dita Oepriarto. Beberapa kelompok memiliki target
yang simbolis dan strategis, seperti pemerintah, polisi,
militer, atau asing. Beberapa kelompok lainnya memiliki
target yang acak dan sembarangan, seperti masyarakat sipil
atau minoritas (BNPT, 2017).

DI telah melakukan berbagai aksi terorisme yang


menimbulkan korban jiwa dan kerusakan di Indonesia.
Beberapa aksi terorisme yang dilakukan oleh DI antara lain
adalah:
● Bom Thamrin 2016, yang menargetkan pusat
perbelanjaan Sarinah dan pos polisi di Jalan MH
Thamrin, Jakarta Pusat, yang menewaskan 8 orang
dan melukai 24 orang. Aksi ini merupakan aksi
terorisme pertama di Indonesia yang mengklaim
berafiliasi dengan ISIS.

53
● Bom Kampung Melayu 2017, yang menargetkan
terminal bus Kampung Melayu di Jakarta Timur,
yang menewaskan 5 orang dan melukai 11 orang.
Aksi ini dilakukan oleh dua orang pelaku bom bunuh
diri yang berafiliasi dengan JAD.
● Bom Gereja Surabaya 2018, yang menargetkan tiga
gereja di Surabaya, Jawa Timur, yaitu Gereja Katolik
Santa Maria Tak Bercela (SMTB), Gereja Kristen
Indonesia (GKI) Diponegoro, dan Gereja Pantekosta
Pusat Surabaya (GPPS), yang menewaskan 28 orang
dan melukai 57 orang. Aksi ini dilakukan oleh satu
keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dua anak laki-
laki, dan dua anak perempuan yang berafiliasi dengan
JAD. Aksi ini merupakan aksi terorisme pertama di
Indonesia yang melibatkan anak-anak sebagai pelaku
bom bunuh diri.
● Bom Sidoarjo 2018, yang menargetkan sebuah
apartemen di Sidoarjo, Jawa Timur, yang
menewaskan 4 orang dan melukai 4 orang. Aksi ini
dilakukan oleh satu keluarga yang terdiri dari ayah,
ibu, dua anak laki-laki, dan satu anak perempuan
yang berafiliasi dengan JAD. Aksi ini merupakan

54
aksi terorisme kedua di Indonesia yang melibatkan
anak-anak sebagai pelaku bom bunuh diri.
● Bom Polrestabes Surabaya 2018, yang menargetkan
markas Polrestabes Surabaya di Jawa Timur, yang
menewaskan 4 orang dan melukai 10 orang. Aksi ini
dilakukan oleh satu keluarga yang terdiri dari ayah,
ibu, dua anak laki-laki, dan satu anak perempuan
yang berafiliasi dengan JAD. Aksi ini merupakan
aksi terorisme ketiga di Indonesia yang melibatkan
anak-anak sebagai pelaku bom bunuh diri.
● Penusukan Menkopolhukam Wiranto 2019, yang
menargetkan Menteri Koordinator Bidang Politik,
Hukum, dan Keamanan Wiranto di Pandeglang,
Banten, yang melukai Wiranto dan dua orang
lainnya. Aksi ini dilakukan oleh sepasang suami istri
yang berafiliasi dengan JAD.
● Bom Medan 2019, yang menargetkan markas
Polrestabes Medan di Sumatera Utara, yang
menewaskan pelaku bom bunuh diri dan melukai 6
orang. Aksi ini dilakukan oleh seorang pria yang
berafiliasi dengan JAD.

55
● Bom Makassar 2021, yang menargetkan Gereja
Katedral Makassar di Sulawesi Selatan, yang
menewaskan dua orang pelaku bom bunuh diri dan
melukai 20 orang. Aksi ini dilakukan oleh sepasang
suami istri yang berafiliasi dengan JAD.
● Bom Polsek Daha Selatan 2021, yang menargetkan
markas Polsek Daha Selatan di Hulu Sungai Selatan,
Kalimantan Selatan, yang menewaskan pelaku bom
bunuh diri dan melukai enam orang. Aksi ini
dilakukan oleh seorang pria yang berafiliasi dengan
JAD.
Pemerintah Indonesia telah melakukan upaya-upaya
untuk memberantas DI dengan menangkap, membunuh, atau
mengadili ratusan anggota dan pemimpinnya. Beberapa
tokoh penting DI yang berhasil ditangkap atau dibunuh
antara lain adalah:
● Aman Abdurrahman, yang merupakan pendiri JAD
dan pemimpin tertinggi DI di Indonesia, yang
ditangkap pada tahun 2010 dan dihukum mati pada
tahun 2018 atas perannya dalam serangan-serangan
terorisme di Indonesia.

56
● Zainal Anshori, yang merupakan pemimpin JAD
sebelum ditangkap pada tahun 2017 dan dihukum 7
tahun penjara atas perannya dalam pengiriman
senjata dan dana ke kelompok MIT.
● Ali Kalora, yang merupakan pemimpin MIT setelah
Santoso tewas, yang ditembak mati oleh polisi
Indonesia di Parigi Moutong, Sulawesi Tengah, pada
tahun 2021.

Meskipun telah mengalami kemunduran besar akibat


operasi penumpasan pemerintah, DI masih tetap eksis hingga
kini dengan melakukan aktivitas-aktivitas seperti
penggalangan dana, perekrutan anggota baru, pelatihan
militer, dan penyebaran propaganda. DI juga masih memiliki
hubungan dengan ISIS atau kelompok afiliasinya di Suriah,
Irak, Afghanistan, Filipina Selatan, dan Indonesia. Beberapa
anggota DI diketahui telah bergabung dengan ISIS atau
kelompok afiliasinya di Suriah, Irak, Afghanistan, Filipina
Selatan, dan Indonesia.

57
Eksploitasi Perempuan dan Anak dalam
Kelompok Terorisme: Unexpected Actor

Keterlibatan perempuan dan anak di Indonesia dalam


aksi ekstrimisme kekerasan yang mengarah pada terorisme
di Indonesia pada dasarnya dipengaruhi oleh situasi global.
Perempuan dan anak menjadi sosok tidak terduga terlibat
dalam aksi terorisme. Perempuan khususnya, secara global
sudah terlibat bukan hanya ketika adanya Al-Qaeda maupun
ISIS, misalnya dalam Red Brigade di Italia, Kelompok
Baader-Meinhof di Jerman, American Black Panther, dan
Pasukan Merah di Jepang. Dengan adanya contoh-contoh
keterlibatan perempuan dalam kelompok kekerasan tersebut,
maka keterlibatan perempuan dalam aksi kekerasan
mengindikasikan fenomena ini adalah hal biasa. Disebutkan
oleh beberapa studi bahwa pemimpin Al-Qaeda, Osama bin
Laden menunjukkan resistensinya terhadap peran
perempuan sebagai aktor utama dalam terorisme. Bin Laden
lebih setuju perempuan ditempatkan dalam peran support
untuk mendukung suami, saudara laki-laki atau anak yang
ikut berperang (Knopp, 2007; Davis, 2013).

58
Perempuan pada era lama identik dengan peran
keibuan seperti mendidik anak, memberikan perawatan
medis, maupun memberikan dukungan moral (O’Reilly,
2020) tanpa harus turun aksi. Hal ini sejalan dengan stereotip
gender yang selama ini melekat pada perempuan bahwa
tugas utamanya adalah melayani suami, mengasuh anak dan
mengurus rumah tangga. Tanpa disadari banyak perempuan
kemudian merasa terikat dengan stereotip tersebut dan
merasa wajib memenuhinya.

Sementara itu, lain dengan organisasi ISIS yang


dipimpin Al-Baghdadi, ISIS justru membangun narasi yang
berbeda dalam mengeksploitasi perempuan dan anak,
bahkan peran perempuan sebagai pelaku bom bunuh diri
meningkat tajam ketika ISIS berjaya. Pada 2017, ISIS juga
mengirimkan sejumlah pelaku bom bunuh diri perempuan ke
Irak Utara. Posisi marjinal mereka seolah dikonstruksikan
memiliki ruang dan posisi di depan dalam perjuangan atas
nama agama (IPAC, 2017; Cook & Vale, 2018). Sehingga,
hal ini membongkar stereotip gender era lama dan sangat
dinantikan oleh banyak perempuan yang terbelenggu dengan
norma masyarakat dominan. Kendati keterlibatan
perempuan dalam terorisme bukanlah hal baru, namun

59
motivasi dan alasan perempuan untuk keterlibatan tersebut
masih menimbulkan pertanyaan tersendiri, terlebih dalam
kasus bunuh diri.

Dalam sebuah riset terkait feminisme dan Islam di


Mesir pada 1920-1930an oleh Peneliti Politik Islam Azza
Karam yang dikutip oleh Elizabeth Lauren Miller dalam
jurnal bertajuk ‘An Analysis of Women and Terrorism:
Perpetrators, Victims, Both?’ disebutkan seorang perempuan
bernama Zaynab Al-Ghazali yang mendorong perempuan
lain untuk menjadi pendukung suami mereka dalam
peperangan. Peran tidak langsung itu dianggap sebagai salah
satu bentuk jihad. Sementara, peneliti lain bernama
Rushworth Kidder menyebutkan, salah satu wanita pelaku
bom bunuh diri paling awal adalah Sana’a Mehaydali di
Suriah pada 1985. Mehaydali masih berusia 17 tahun saat
meledakkan diri di antara konvoi pasukan Israel. Aksi
tersebut menunjukkan adanya diferensiasi peran perempuan
dalam aksi terorisme.

Transisi peran tersebut juga berdampak luas pada


seluruh kelompok afiliasi ISIS di seluruh dunia. Keterlibatan
perempuan dan anak bukan hanya dalam bentuk simpati atas
nilai perjuangannya, melainkan juga turut serta dalam aksi
60
dan pergerakannya. Diferensiasi dan pergeseran peran
perempuan Indonesia setelah 2014 juga berkaitan erat
dengan berkembangnya ISIS di Timur Tengah. Sikap ISIS
yang lebih permisif terhadap peran perempuan sebagai aktor
utama juga ditiru oleh kelompok teror dalam negeri seperti
Jamaah Anshoru Daulah (JAD).

Sebelum ISIS mendeklarasikan diri pada Juni 2014,


hanya ada 4 (empat) orang perempuan Indonesia yang
ditangkap karena kasus terorisme. Mereka adalah
Munfiatun, Putri Munawaroh, Deni Carmelita, dan Nurul
Azmy Tibyani. Keempat perempuan tersebut ditangkap
karena tidak melaporkan aktivitas terorisme yang mereka
ketahui atau menyembunyikan buron terorisme. Munfiatun
diketahui memiliki keterkaitan erat dengan JI, namun
perannya juga bukan sebagai pelaku utama. Hal ini
menunjukkan, JI yang berbaiat pada Al-Qaeda juga tak
menempatkan perempuan sebagai pelaku utama dalam aksi
terorisme.

Lain halnya dengan pelaku perempuan yang


ditangkap setelah 2014, setelah Deklarasi ISIS, jumlahnya
meningkat secara signifikan. Bahkan, peran perempuan yang
ditangkap semakin bervariasi. Beberapa di antaranya
61
memiliki peran sebagai pelaku utama aksi terorisme di
Indonesia. Mulai dari rencana bim bunuh diri di istana
negara, pelibatan Pekerja Migran Indonesia (PMI) dan
penyerangan pejabat negara dan anggota kepolisian.
Berdasarkan data yang dihimpun oleh BNPT, dalam 5 (lima)
tahun yakni 2018 – 2023, terdapat 71 orang perempuan yang
terlibat dalam aksi terorisme, 5 orang diantaranya melakukan
bom bunuh diri. Sementara itu, 66 orang perempuan lainnya,
terlibat dalam aktivitas terorisme ini juga memiliki peran
lebih aktif dibanding pelibatan perempuan pada era lama.
Peran tersebut diantaranya, perekrut, propaganda di media
sosial, hacker, kombatan, pendanaan terorisme, pelaku
penyerangan menggunakan senjata tajam dan FTF.

Di sisi lain dalam konteks pelibatan anak dalam


kelompok terorisme secara global, anak telah terlibat dalam
pergerakan jaringan teror bahkan sebelum ISIS terbentuk.
PBB memperkirakan setidaknya 8000 anak telah direkrut
untuk bergabung dengan Boko Haram sejak 2009, termasuk
anak yang berusia empat tahun sekalipun (Jorgensen, 2019).
Lebih lanjut, pelibatan anak pada kelompok tersebut tak
hanya sebagai tentara anak (child soldiers). Anak-anak
digunakan dalam permusuhan langsung, untuk menanam alat

62
peledak rakitan dan membakar sekolah dan rumah, serta
dalam peran pendukung seperti juru masak, pembawa pesan,
dan pengintai. Anak-anak juga dilaporkan dijadikan tameng
manusia untuk melindungi elemen Boko Haram selama
operasi militer. Banyak anak juga menjadi korban paksaan
pindah agama dan kawin paksa serta dimanfaatkan untuk
tujuan seksual.

Hal serupa turut dilakukan oleh ISIS, Jorgensen


(2019) dalam artikelnya menyebutkan bahwa anak-anak
ISIS mengalami berbagai bentuk kekerasan seksual seperti
pernikahan paksa anak perempuan dengan anggota ISIS,
hingga saat ini di dalam kamp pengungsian di Suriah. Dalam
beberapa kasus, orang tua akan dipaksa untuk menyetujui hal
tersebut. Sementara di kasus lain, anggota perempuan ISIS
akan dikirim untuk mengunjungi rumah dan merekrut
pengantin anak. Kondisi ini memprihatinkan, bahkani kasus
lainnya justru anak bergabung dengan ISIS atas kemauan
sendiri, sebagian bersama dengan teman-temannya, sebagian
lainnya bersama keluarga.

Fenomena ini berimplikasi pada pelibatan anak


dalam kelompok terorisme di Indonesia. Sebelum ISIS
terbentuk, anak tidak pernah terlibat dalam pergerakan
63
kelompok ekstremisme yang mengarah pada kekerasan.
Terbentuknya ISIS dengan propaganda media sosialnya
yang masif turut mengubah lanskap pergerakan jaringan
teror di Indonesia, termasuk dalam hal pelibatan anak.
Sebutlah Nur Dhania, gadis yang saat itu berusia 16 tahun
justru mengajak 25 anggota keluarganya untuk pergi ke
Suriah demi kehidupan yang dinilai lebih baik. Kasus
lainnya adalah Mutsanah yang pergi bersama keluarga
besarnya ke Suriah. Mutsanah mendapatkan berbagai
pelatihan militer seperti mengoperasikan senjata api. Namun
publik dikejutkan dengan kasus serangan bom Surabaya,
serangan bom pertama yang melibatkan anak-anak.
Berdasarkan data olahan Direktorat Penindakan BNPT,
jumlah anak yang terlibat dalam kasus terorisme periode
2016-2022 mencapai 23 orang anak. Jumlah tersebut
berpotensi meningkat mengingat tren pelibatan anak dalam
kelompok teror masih berlangsung.

Dilibatkannya anak dalam aksi terorisme di


Indonesia sedikit banyak dapat dikaitkan dengan aktivitas
indoktrinasi yang terinstitusionalisasi (institutionalised
indoctrination) oleh komunitas pro-ISIS di Indonesia yang
dalam hal ini adalah kelompok Jamaah Ansharut Daulah

64
(JAD). Proses institutionalised indoctrination sendiri tidak
dapat dipisahkan dari proses sosialisasi orang tua terhadap
anak-anak mereka (Arianti, 2018). Hal ini dikuatkan oleh
Levenia (2019) yang mengungkap bahwa anak-anak pelaku
Bom Surabaya Tahun 2018 yang saat ini dibawah tanggung
jawab Kementerian Sosial, mengakui setiap hari
diindoktrinasi oleh orangtuanya dengan konten video
propaganda ISIS. Narasi propaganda tersebut adalah
pentingnya kaum Muslimin untuk berjihad. Pelaku Bom
Surabaya juga menakuti anak-anaknya dengan gambaran
hari kiamat, bagaimana mereka akan mati dan dihisab.
Termasuk pemahaman nilai jihad yang salah, sehingga
mereka seolah tidak memiliki pilihan lain selain apa yang
diyakini dan dipercaya orang tuanya.

Perempuan dan anak seringkali terpinggirkan dan


tidak memiliki kesempatan yang sama dalam hal belajar dan
bergerak dalam konteks ini pendalaman agama. sehingga
pilihan yang tersedia bagi perempuan dan anak yang berada
pada lingkaran jaringan terorisme adalah pemahaman dalam
kelompok itu saja. Oleh karena itu, merujuk kasus bom
bunuh diri dan aktivitas perempuan dan anak di Indonesia
dalam kelompok jaringan terorisme, perlu ditindaklanjuti

65
dengan pendalaman apakah peran tersebut dilandasi faktor-
faktor non-sukarela (involuntary) atau kesukarelaan
(voluntary). Faktor non-sukarela meliputi kewajiban,
perintah atau keterpaksaan karena mengemban status
tertentu. Sedangkan faktor sukarela menitikberatkan pada
keinginan sendiri perempuan untuk terlibat dalam aksi
terorisme. Dengan mengetahui faktor ini, maka aktor tidak
terduga (unexpected actors) dalam aktivitas terorisme ini
dapat diminimalisir risiko dan dampaknya.

Strategi Penanggulangan Radikalisme –


Terorisme

Dalam menanggulangi terorisme, secara konseptual


indonesia menggabungkan strategi pendekatan lunak (soft
approach) dan pendekatan keras (hard approach) dalam
sebuah statregi cerdas (smart approach) melalui
pembentukan ketahanan warga secara nasional (national
resilience) melalui Pembangunan kesadaran publik terhadap
bahaya ideologi radikal dan terror (public awareness) dan
membentuk keterlibatan public yang memiliki daya cegah,
daya tangkal dan daya lawan terhadap bahaya ideologi

66
radikal dan terror (public engagement) yang didukung oleh
kekuatan sinergi dari kolaborasi Pencegahan merupakan
startegi terbaik dan meluas, karena menyasar seluruh elemen
bangsa. Sementara penindakan tetap harus dilakukan, karena
secara filosofis penindakan pelaku teorisme dalam rangka
restorasi (restorative law enformecent). Tujuan dari
penindakan-restoratif ini difokuskan pada memulihkan
ideologi para pelaku yang telah termanipulsasi dogma-
dogma keagamaan maupun kekuasan. Untuk melihat lebih
jelas, para stakeholder harus memiliki perspektif bahwa para
pelaku sejatinya adalah korban dari penyesatan tersebut.

Radikalisme dan terorisme adalah dua fenomena


yang mengancam keutuhan dan kedamaian bangsa
Indonesia. Untuk menanggulangi radikalisme dan terorisme
di Indonesia, perlu dilakukan strategi-strategi yang
komprehensif dan kolaboratif yang melibatkan seluruh
elemen masyarakat. Beberapa strategi yang dapat dilakukan
antara lain adalah (BNPT, 2022):

● Strategi pencegahan, yaitu strategi yang bertujuan


untuk mencegah munculnya paham radikalisme dan
terorisme di masyarakat dengan cara memberikan
pendidikan, sosialisasi, advokasi, dan bimbingan
67
yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, UUD 1945,
dan HAM. Strategi ini juga meliputi pemberian
pelayanan publik yang berkualitas, pemberantasan
korupsi, peningkatan kesejahteraan sosial-ekonomi,
serta penguatan toleransi dan kerukunan antar umat
beragama. Strategi ini meliputi kesiapsiagaan
nasional, kontra radikalisasi dan deradikalisasi.
● Strategi penindakan, yaitu strategi yang bertujuan
untuk menindak tegas pelaku atau tersangka
radikalisme dan terorisme dengan cara melakukan
penangkapan, penyidikan, penuntutan, dan peradilan
sesuai dengan hukum yang berlaku. Strategi ini juga
meliputi pemberian perlindungan hukum bagi korban
dan saksi, pemberian sanksi pidana bagi pelaku atau
tersangka, serta pemulihan hak-hak korban.

Dalam Pencegahan terorisme juga sangat penting


untuk membangun ketahanan nasional atau national
resilience sebagai upaya mencegah dan mengatasi ancaman
radikalisasi. Ketahanan nasional mencakup sejumlah aspek,
termasuk keamanan, ekonomi, sosial, dan politik. Untuk
mencapai ketahanan nasional yang kuat, diperlukan kerja

68
sama dari semua pihak, baik pemerintah, individu, keluarga,
maupun masyarakat secara keseluruhan.

Salah satu kunci dalam membangun ketahanan


nasional adalah melalui peningkatan public awareness atau
kesadaran masyarakat terhadap bahaya terorisme. Individu,
keluarga, dan masyarakat harus memahami ancaman dan
risiko yang terkait dengan intoleransi, ekslusifitas, pro
kekerasan hingga manipulasi ajaran keagamaan. Dengan
munculnya kesadaran ini, secara langsung maupun tidak
langsung akan mengurangi proses radikalisasi dan menekan
angka terrorism rate.

Selain itu, kolaborasi multi-stakeholder atau


pentahelix menjadi sangat penting dilakukan. Pihak-pihak
seperti pemerintah, sektor swasta, akademisi, LSM, dan
masyarakat sipil harus bekerja sama dalam upaya
pencegahan terorisme. Dengan berbagai pihak yang terlibat,
kita dapat membangun daya cegah dan tahan tangkal yang
lebih kuat terhadap ancaman terorisme. Ini mencakup
berbagai upaya, seperti sharing informasi, pelatihan, dan
peningkatan kemampuan bersama untuk mengatasi masalah
terorisme. Dengan ketahanan nasional yang kuat, public
awareness yang baik, dan kolaborasi multi-stakeholder yang
69
efektif, kita dapat mengurangi risiko terorisme dan menjaga
keamanan negara.

Kesimpulan

Radikalisme dan terorisme merupakan bentuk


distorsi terhadap ajaran agama karena dalam parakteknya
menghalalkan kekerasan dan cara-cara tidak lainnya untuk
mencapai tujuan. Radikalisme dan terorisme di Indonesia
dapat muncul dan berkembang karena berbagai faktor, antara
lain: faktor ideologis, politis, sosial-ekonomis, psikologis,
dan media. Pasca kemerdekaan hingga saat ini, paling tidak
Indonesia telah menghadapi tiga gelombang terorisme, yaitu
gelombang Negara Islam Indonesia, Gelombang Jamaah
Islamiyah dan Gelombang Daulah Islamiyah. Secara
epistimologis, pertanyaan yang kemudian muncul adalah apa
motivasi dari para kelompok teroris ini, apakah mengajarkan
agama, mengajarkan kekerasan atau hanya mengejar
kekuasaan semata. Kesamaan dari fenomena global dan
berbagai gelombang teror di Indonesia adalah (1) Tujuan
dari kelompok ini menyebarkan ketakutan (fear of terror) (2)
Kelompok teror mampu memanipulasi dan

70
menyalahkagunakan simbol keagamaan (3) Kelompok teror
mendistorsi ajaran keagamaan untuk kepentingan politik.
Upaya penanggulangan dapat dilakukan dengan cara
meningkatkan kewaspadaan nasional, melakukan
pemantauan akun atau grup radikal di media sosial atau
internet, serta melakukan kontra radikalisasi. Selain itu
upaya baik lainnya dapat dilakukan dengan cara
meningkatkan kerjasama antar lembaga negara,
meningkatkan kapasitas aparat penegak hukum, serta
meningkatkan partisipasi seluruh elemen masyarakat.

71
Referensi
16th Report of the Secretary-General on the threat posed by ISIL
(DA’ESH) to international peace and security and the range of
United Nations efforts in support of member States in Countering
the Threat No. S/2023/568 31 Juli 2023.
Arianti, V. (2018). Participation of children in terrorist attack in
Indonesia: A possible future trend. Counter Terrorist Trends and
Analyses, 10(11), 4-8. https://www.jstor.org/stable/26514860.
Bak, M., Tarp, K. N. dan Liang, C. S. (2019) Defining the Concept of
“Violent Extremism”: Delineating the attributes and phenomenon
of violent extremism. Jenewa. Tersedia pada:
https://css.ethz.ch/content/dam/ethz/special-
interest/gess/cis/center-for-securities-
studies/resources/docs/GCSP_document(59).pdf.
Bartlett, J. dan Miller, C. (2012) “The edge of violence: Towards telling
the difference between violent and non-violent radicalization,”
Terrorism and Political Violence. Taylor & Francis, 24(1), hal. 1–
21.
Barton, G. dan Fealy, G. (1997) Tradisionalisme Radikal:
Persinggungan Nahdhatul Ulama-Negara. Yogyakarta: LKIS
Pelangi Aksara.
BNPT (2017). Strategi Menghadapi Paham Radikalisme Terorisme. ISIS,
BNPT.

BNPT (2022), “Buku Putih Pencegahan Radikal Terorisme (Panduan


Penanggulangan Terorisme di Indonesia)”. BNPT.
Bötticher, A. (2017) “Towards Academic Consensus Definitions of
Radicalism and Extremism,” Perspectives on Terrorism, 11(4),
hal. 73–77. Tersedia pada: https://www-jstor-org.ezproxy.lib.
usf.edu/stable/26297896?seq=1#metadata_info_tab_contents.
Braithwaite, A. (2013). The logic of public fear in terrorism and counter-
terrorism. Journal of police and criminal psychology, 28, 95-101.

72
Clark McCauley & Sophia Moskalenko. (2014). Toward a Profile of
Lone Wolf Terrorists: What Moves an Individual From Radical
Opinion to Radical Action, dalam Terrorism and Political
Violence, no.1: 69-85.
CNN Indonesia. (2021). “Relasi Jamaah Islamiyah, Taliban dan Al
Qaeda,” nasional, Desember 31, 2021. (Diakses pada 3 November
2023, https://www.cnnindonesia.com/nasion
al/20211215234907-20-734635/relasijamaah-islamiyah-taliban-
dan-al-qaeda/1.
Crenshaw, M. (1986). The psychology of political terrorism. In:
Hermann MG (ed) Political psychology. Jossey-Bass, New York,
pp 379– 413
Cook, J., & Vale, G. (2018). From Daesh to 'Diaspora': Tracing the
Women and Minors of Islamic State. The International Centre for
the Study of Radicalisation and Political Violence, Department of
War Studies. London: International Centre for the Study of
Radicalisation
Davis, Jessica. (2013). Evolution of the Global Jihad: Female Suicide
Bombers in Iraq, Studies in Conflict & Terrorism, 36:4, 279-291,
DOI: 10.1080/1057610X.2013.763598
http://dx.doi.org/10.1080/1057610X.2013.763598
Damayanti, A., Naray, P. N., & Karyoprawiro, B. L. (2023). Peran
Keimigrasian Dalam Pencegahan Terorisme Di Wilayah
Perbatasan: Studi Kasus Kantor Imigrasi Tahuna. Jurnal Politica
Dinamika Masalah Politik Dalam Negeri dan Hubungan
Internasional, 13(2), 240-259.
Friedland N & Merari A. (1985). The psychological impact of terrorism:
a double-edged sword. Polit Psychol p. 6:591–604.
Freire Paulo. Pendidikan Kaum Tertindas,terjemahan F Danuwinata,
Jakarta, LP3ES (2008)
Galamas, F. (2015). Terrorism in Indonesia: an overview. Research
Papers, 4(10). Global Terrorism Index 2023, Report Institute for
Economics and Peace Indonesia.go.id (7 November 2019) Istilah
Radikal Harus Diganti?, www.indonesia.go.id.

73
Halverson, J., Goodall, H.L., and Corman, S. (2011). Master narratives
of Islamist extremism. New York, NY: Palgrave Macmillan
Hoffman, B (2006). Inside terrorism. Columbia University Press: New
York.
Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC). (2017). Terrorism and
Political Violence. Jakarta: IPAC.
Jorgensen, N. H. B. (2019). Children associated with terrorist groups in
the context of the legal framework for child soldiers. QIL, 60, 5-
23.
Jamhari dan Jahroni, J. (2004) “Gerakan Salafi Radikal di Indonesia
(edisi pertama)”, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
KBBI, Radical, https://kbbi.web.id/radikal
Knop, K. V (2007). The female jihad: Al qaeda's women. Studies in
Conflict and Terrorism, 30(5), 397-414.
https://doi.org/10.1080/10576100701258585
Levenia, U. (2019). The involvement of children in radicalism and
terrorism act. CTRS-PTIK Working Paper Series (pp 2-17).
Jakarta: Center of Terrorism and Radicalism Studies PTIK.
O’Reilly, A. (2010a). Introduction. In A. O’Reilly (Ed.), Twenty-first-
century motherhood. Experience, identity, policy, agency (pp. 1–
20). New York, NY: Columbia University Press.

Kristianto, P. E. (2018, November 30). Persinggungan Agama dan


Politik dalam Teror: Menuju Terbentuknya Teologi Spiritualitas
Politik dalam Konteks Maraknya Terorisme di Indonesia.
Dunamis : Jurnal Teologi Dan Pendidikan Kristiani.
https://doi.org/10.30648/dun.v3i1.175
Lasmawati, A., Meliala, A. E., & Puteri, N. M. M. (2021). Adolescent,
radicalism, and terrorism in indonesia: Experts’ view. Journal of
Social and Political Sciences, 4(4).
Loebby Loqman. (1990). Analisis Hukum dan Perundang-Undangan
Kejahatan terhadap Keamanan Negara di Indonesia. Jakarta:
Universitas Indonesia.
74
Madnur, M. (2023). Kekerasan dalam Agama dan atas Nama Agama:
Fenomena Idiologi Keagamaan berbasis Radikalisme dan
Terorisme di Indonesia. Lentera: Indonesian Journal of
Multidisciplinary Islamic Studies, 5(1), 37-48.
Mahfud, C., Prasetyawati, N., Wahyuddin, W., Muhibbin, Z., Agustin,
D. S. Y., & Sukmawati, H. (2018). Religious Radicalism, Global
Terrorism and Islamic Challenges in Contemporary Indonesia.
Jurnal Sosial Humaniora (JSH), 11(1), 8-18.
Mahood, S., & Rane, H. (2017). Islamist narratives in ISIS recruitment
propaganda. The Journal of International Communication, 23(1),
15-35.
Mbai, Ansyaad, Dinamika Baru Jejaring Teror di Indonesia dan
Keterkaitannya dengan Gerakan Radikalisme Transnasional, (AS
Production Indonesia Cet. 1 2014), 221- 222
Merriam Webster, Radical, www.merriam-
webster.com/dictionary/radical
Mone, R. (2023). Peningkatan Pendidikan Pancasila dalam Bersikap Anti
Terorisme. Osf.io, 1-4.
Muladi. (2002). Hakekat Terorisme dan Beberapa Prinsip Pengaturan
dalam Kriminalisasi” Jurnal Kriminologi Indonesia FISIP
Universitas Indonesia 2.

Mardiansyah, H. Z. (2023). Breaking the Circulation of Hate,


Imprisoning the Terrorists: the Containment Effort for the Spread
of ISIS Radicalism in Indonesia. Al'Adalah, 26(1), 101-113.

Nacos, B. (2005) Communication and recruitment of terrorists. In: Forest


JF (ed) The making of a terrorist, vol 3: root causes. Praeger
Security International, Westport, CT

Nailufar, N. N. (2022, April 27). 7 Kasus Terorisme Terbesar di


Indonesia. KOMPAS.com.
https://nasional.kompas.com/read/2022/04/28/01300071/7-
kasus-terorisme-terbesar-di-indonesia

75
Nasution, N.F., Siregar, A., Gurning, M.R. and Harahap, I., (2023). Studi
Aliran Sempalan: Al-Qaeda Dan Al-Qiyadah Al-
Islamiyah. Jurnal Kajian Ilmu Pendidikan (JKIP), 3(2), pp.130-
137.
Oxford, Radical,
www.oxfordlearnersdictionaries.com/definition/english/radical_
1?q=radical
PUSLITBANG Upaya Kesehatan Masyarakat. (2015). Perilaku Berisiko
Kesehatan pada Pelajar SMP dan SMA di Indonesia. Badan
Litbangkes Kementrian Kesehatan RI.
Putra, I. E., Danamasi, D. O., Rufaedah, A., Arimbi, R. S., & Priyanto,
S. (2018). Tackling Islamic terrorism and radicalism in Indonesia
by increasing the sense of humanity and friendship. In Handbook
of research on examining global peacemaking in the digital age
(pp. 94-114). IGI Global.
Purba, C. A., & Syauqillah, M. (2022). Analisis Kausalitas dan
Probabilitas Faktor Penyebab Terorisme Perempuan dan Anak:
Korban atau Pelaku?. ijd-demos, 4(4).
Rane, H., (2016). Narratives and counter-narratives of Islamist
extremism. In: A. Aly, S. MacDonald, L. Jarvis and T. Chen, eds.
Violent extremism online: new perspectives on terrorism and the
internet. London: Routledge, pp. 167–186.
Setara Institute. (2023). Ringkasan Laporan Survei Toleransi Siswa
Sekolah Menengah Atas (SMA) diakses pada laman
https://setara-institute.org/laporan-survei-toleransi-siswa-
sekolah-menengahatas-sma/
Sirry, M. I. (2020). Muslim student radicalism and self-deradicalization
in Indonesia. Islam and Christian–Muslim Relations, 31(2), 241-
260.
Solihin, N. (2017). Understanding the radicalism movement in
Indonesia: A conflict approach to the rise of terrorism. AJIS, 2(1).
Susetyo, H. (23 Juli 2018) Sudah Tepatkah Kita Menggunakan Istilah
Radikalisme?, www.tirto.id.

76
Syihab, M. A., & Hatta, M. (2023). Metode Penanggulangan Tindak
Pidana Terorisme Di Indonesia. Cendekia: Jurnal Hukum, Sosial
dan Humaniora, 1(1), 13-27.
Syam, F., Mangunjaya, F. M., Rahmanillah, A. R., & Nurhadi, R. (2020).
Narrative and the Politics of Identity: Patterns of the Spread and
Acceptance of Radicalism and Terrorism in Indonesia. Religions,
11(6), 290.

Tribun News. (2021, December 31). Kenali Paham Intoleransi,


Radikalisme dan Terorisme di Indonesia Beserta Cara
Penanggulangannya. Bangkapos.com.
https://bangka.tribunnews.com/2021/12/31/kenali-paham-
intoleransi-radikalisme-dan-terorisme-di-indonesia-beserta-cara-
penanggulangannya
UNESCO (2017) “Preventing Violent Extremism Trough Education: A
Guide for Policy-Makers”. United Nations Educational,
Scientific, and Cultural Organization, Paris.
UNGA A/70/764 (2015), UN Plan of Action to Prevent Violent
Extremism,
https://www.un.org/sites/www.un.org.counterterrorism/files/plan
_action.pdf
Wahid, Abdul, Sunardi, dan Sidik, Muhamad Imam. (2004). Kejahatan
Teroris: Perspektif Agama, Hak Asasi Manusia, dan Hukum.
Bandung: Refika Adimata.
Wahyuni, F. (2019). Causes of radicalism based on terrorism in aspect of
criminal law policy in Indonesia. Jurnal Hukum dan Peradilan,
8(2), 196-213.
Zada, Khamami. (2002). Islam Radikal: Pergulatan Ormas-Ormas Islam
Garis Keras. Jakarta: Teraju.

77

Anda mungkin juga menyukai