OLEH:
KOMJEN POL. PROF. DR. H. MOHAMMED RYCKO AMELZA DAHNIEL, M.SI.
2023
Daftar Isi
1. Pendahuluan………………………………...……..…...……..3
2. Konsep Terorisme: ajarkan kekerasan, agama atau mengejar
kekuasaan?...............................................................................13
a. Intoleransi sebagai entry-point radikal-terorisme……....16
b. Fear of terror sebagai tujuan utama…………………….17
c. Manipulasi dan penyalahgunaan symbol keagamaan oleh
kelompok teror…………………………………………..20
d. Manipulasi ajaran simbol keagamaan untuk kepentingan
politik…………………..……………………….….…....22
3. Perkembangan terorisme global….................……………......27
a. Aksi terorisme global..……….……………...…..….….…...29
b. Global action on countering terrorism……………..……...33
c. Peran dan kepemimpinan Indonesia dalam
penanggulangan terorisme……….………………..…....….38
4. Perkembangan terorisme di Indonesia…….........................…41
a. Gelombang aksi teror di Indonesia……………..……….41
b. Gelombang Pertama: Negara Islam Indonesia…….........45
c. Gelombang kedua: Jemaah Islamiyah……………….….48
d. Gelombang ketiga: Daulah Islamiyah……………….….51
5. Eksploitasi Perempuan dan anak dalam kelompok
terorisme……………………...…………………..............….58
6. Strategi penanggulangan Radikalisme – Terorisme…...……..66
7. Kesimpulan………..………………………...…..…......…….70
8. Referensi……..…………………………..…...………….…..72
ANCAMAN IDEOLOGI DAN KEJAHATAN
RADIKALISME – TERORISME
DI INDONESIA
Abstract
2
Pendahuluan
3
(crime against unity) yang dibangun dari berbagai perbedaan
dan tinggal menyebar di ribuan pulau nusantara.
4
menimbulkan rasa takut terhadap orang atau masyarakat
secara luas atau mengekang kebebasan hakiki seseorang atau
masyarakat.
6
Karena juga memiliki makna positif, sebagian pihak
menilai radikalisme bukan istilah yang tepat untuk merujuk
aksi atau kelompok yang cenderung menggunakan
kekerasan atau menolak nilai-nilai kebangsaan yang
disepakati. Namun demikian, jika menilik lebih jauh definisi
radikalisme yang banyak dibicarakan, makna yang dirujuk
lebih diartikan sebagai hal yang negatif, dibandingkan hal
positif. Dalam konteks ini, radikal dicirikan sebagai gerakan
dengan perjuangan untuk mewujudkan keyakinan ideologis
yang kuat dan fanatik, menggantikan tatanan nilai dan sistem
yang ada. Usaha mewujudkannya bahkan dilakukan melalui
aksi-aksi kekerasan (Jamhari dan Jahroni, 2004; Mubarak,
2008).
7
yang sah dan cenderung meyakini bentuk-bentuk kekerasan
massa ekstrem sebagai bagian dari kredo politik mereka.
Ekstremisme bersifat anti-demokrasi. Gerakan ini berusaha
menghapus demokrasi konstitusional dan supremasi hukum.
Sementara itu, radikalisme cenderung bisa terlibat dalam
demokrasi dan bukan semata-mata anti-demokrasi.
Demokrasi dapat hidup dengan kaum radikal, namun tidak
dengan militan ekstremis yang agresif dan tanpa kompromi
(Bötticher, 2017).
8
totalitarianisme dan intoleransi; proyek politik anti-status
quo (Bak, Tarp dan Liang, 2019).
9
Tingkat Cakupan
Fase
Mikro Meso Makro
Perasaan Dipengaruhi Serupa pada
kehilangan lingkungan tingkat meso
dalam diri sosial sekitar dengan
individu, individu cakupan
seperti yang lingkungan
kehilangan merasakan yang jauh
status, ketidakadilan lebih luas,
Sensitivitas merasa atau karena
terhina dalam kekecewaan, adanya faktor
bersosialisasi seperti dari politik,
, kegagalan teman, ekonomi dan
karir, dan keluarga dan budaya
terlibat pada tempat kerja
kejahatan
konvensional
Tergabung Individu Ikut
pada yang berdeklarasi
kelompok tergabung atau muncul
Keanggotaan
masyarakat pada ke muka
Kelompok
lokal yang kelompok publik untuk
merasa radikal sudah mulai terang-
termarjinalka aktif terangan
10
n dengan mengikuti maksud dan
hanya kegiatannya, tujuan
mengikuti dan mulai bergabung
norma dan membatasi dengan
nilai radikal atau menarik kelompok
dari diri dari radikal
kelompok lingkungan
tersebut sebelumya
Melakukan Melakukan Teror
teror dengan kegiatan diarahkan
menargetkan teror dengan kepada
lingkungan strategi pemerintahan
kecil khusus yang
sebelumnya, kepada suatu berdaulat
Aksi
seperti individu atau dengan
keluarga dan kelompok tujuan untuk
teman tertentu yang mengambil
dianggap alih
sebagai kekuasaan
musuh utama
11
Meskipun tidak terdapat definisi universal, namun
berkembangnya penyebaran ancaman terorisme serta situasi-
situasi yang mendukung terorisme tersebut terlihat dengan
masifnya ekstremisme berbasis kekerasan yang
menggunakan berbagai media baik offline dan online dalam
meluaskan propaganda dan agitasi untuk menyebarkan
ajaran maupun mempengaruhi publik agar bersimpati dan
mendukung aksi-aksi terorisme (perkembangan terorisme
sebagai ancaman global, berbanding lurus dengan
meningkatnya situasi yang mendukung munculnya
ekstremisme berbasis kekerasan). Hal ini mendorong
lahirnya semangat bersama negara-negara di dunia melalui
berbagai Resolusi baik di Majelis Umum maupun Dewan
Kemananan PBB tentang pentingnya negara-negara
mengambil langkah-langkah untuk mencegah serta
menanggulangi push and pull factor ekstremisme berbasis
kekerasan yang dapat mengarah pada terorisme. Dalam UN
Plan of Action to Prevent Violen Extremism 2015, PBB
mengidentifikasi:
12
Kondisi kondusif dan Proses radikalisasi menjadi
konteks struktural sebagai faktor penarik/pull factors,
faktor pendorong/push antara lain:
factors, antara lain:
§ Kesenjangan ekonomi § Latar belakang dan
§ Marginalisasi dan motivasi individu
diskriminasi
§ Memposisikan diri
§ Tata kelola
pemerintahan yang sebagai korban
buruk (victimization)
§ Pelanggaran HAM
§ Kekecewaan kolektif
dan lemahnya
penegakan hukum § Distorsi terhadap
§ Konflik pemahaman tertentu
berkepanjangan
(yang berakar dari
§ Radikalisasi di dalam
lembaga kepercayaan, ideologi
pemasyarakatan. politik, etnis dan
perbedaan budaya,
jejaring sosial, serta
kepemimpinan).
14
Seperti yang telah disampaikan sebelumnya bahwa
teroris percaya bahwa kelompoknya memiliki pemahaman
yang paling benar terhadap agama dan merasa memiliki
wewenang untuk memaksakan ideologi tersebut terhadap
pihak yang mereka anggap bertentangan dengannya. Dalam
hal ini rasa kewenangan tersebut kemudian berubah menjadi
kuasa yang memaksa kelompok atau pribadi yang
bertentangan untuk tunduk. Cara “menundukan” kelompok
atau pribadi yang bertentangan tadi pun tidak lepas dari
metode kekerasan. Misalnya agenda teror radikalisme yang
dilakukan oleh kelompok ISIS (Islamic State of Iraq and
Syiria) mendirikan Negara Islam berdasarkan syariat atau
hukum Islam dilakukan dengan cara “memerangi” orang-
orang/kelompok yang dianggap sebagai musuh yang
bertentangan (Madnur, 2023).
15
2014). Fenomena aksi terorisme di Indonesia atas dasar
motivasi agama dengan tujuan mendirikan negara islam
didasari karena adanya pemahaman keagamaan yang keliru
dan sangat sempit (Mbai, 2014). Gerakan islam radikal dan
aksi teror yang terjadi saat ini merupakan bentuk tekanan
terhadap rezim yang dianggap tidak aspiratif terhadap Islam.
Dalam hal ini, tujuan gerakan radikal dan aksi teror tersebut
berumara pada tujuan politis kekuasaan yaitu islam harus
menjadi dasar negara dan syariat islam harus diterima
sebagai konstitusi Negara (Zada, 2002). Pada akhirnya
terorisme itu sendiri menjadikan agama sebagai justifikasi
untuk melakukan kekerasan dan mencapai kekuasaan politis
tertentu.
16
2023). Terorisme adalah salah satu manifestasi ekstremisme
yang seringkali didasari oleh sikap intoleran. Terorisme
merusak prinsip-prinsip perdamaian, toleransi, dan
keragaman yang seharusnya menjadi pondasi masyarakat
yang beradab. Kelompok teroris sering mengadopsi ideologi
yang mempromosikan intoleransi terhadap kelompok lain,
entah itu berdasarkan agama, etnisitas, atau keyakinan
politik. Mereka memandang perbedaan sebagai alasan untuk
melakukan kekerasan, yang mengancam kedamaian dan
stabilitas global. Oleh karena itu, upaya untuk melawan
terorisme juga harus melibatkan upaya untuk memerangi
sikap intoleran dan mempromosikan pesan perdamaian,
toleransi, dan dialog antarbudaya. Dengan cara ini, kita dapat
berkontribusi pada masyarakat yang lebih harmonis dan
bebas dari ancaman terorisme.
17
Pelaku dapat merupakan individu, kelompok, atau negara,
sedangkan hasil yang diharapkan adalah kemunculan “rasa
takut”, pemerasan, perubahan radikal politik, tuntutan Hak
Asasi Manusia, dan kebebasan dasar untuk pihak yang tidak
bersalah serta kepuasan tuntutan politik lain (Muladi, 2002).
18
Secara singkat, aksi terorisme ada dengan
mengandalkan perbuatan kekerasan atau ancaman kekerasan
dengan menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara
meluas (Purba & Syauqillah, 2022). Rasa takut yang timbul
dari aksi teror merupakan senjata psikologis dan tolok ukur
keberhasilan teror yang dilakukan. Dalam hal ini, terorisme
digunakan sebagai senjata psikologis untuk menciptakan
suasana panik, tidak menentu serta menciptakan
ketidakpercayaan masyarakat terhadap kemampuan
pemerintah dan memaksa masyarakat atau kelompok
tertentu untuk menaati kehendak pelaku teror (Loqman,
1990). Kecemasan dan huru hara yang timbul dari sebuah
teror kemudian dimanfaatkan oleh kelompok teroris untuk
menundukkan masyarakat dan pemerintah.
19
atensi dari khalayak (Nacos, 2005). Hoffman (2006),
menyatakan bahwa media dan segala platformnya
digambarkan sebagai sesuatu yang mudah untuk
dimanipulasi, sehingga propaganda rasa takut dan
kecemasan dapat tersalurkan dengan mudah di kalangan
Masyarakat.
21
upaya seruan bahwa tugas umat muslim yang baik adalah
dengan mendukung gerakan teror (jihad) tersebut
(McCauley & Moskalenko, 2014).
23
membedakan kelompok sendiri dengan kelompok lain yang
dianggap sebagai musuh atau lawan (Kristianto, 2018).
24
sejarah Islam, yang tidak selalu identik dengan
negara modern. Khilafah juga memiliki berbagai
model dan bentuk yang berbeda-beda di berbagai
zaman dan tempat. Namun, kelompok-kelompok
radikal dan teroris sering menafsirkan khilafah secara
idealis dan utopis sebagai sistem politik yang
sempurna dan mutlak yang harus diwujudkan dengan
segala cara.
● Penggunaan konsep takfir sebagai alasan untuk
mengkafirkan atau mengapostasikan orang-orang
yang tidak sepaham dengan mereka. Konsep takfir
sebenarnya memiliki makna yang sensitif dan
berbahaya dalam Islam, yang tidak boleh dilakukan
sembarangan oleh siapa pun tanpa otoritas ilmiah dan
hukum. Takfir juga memiliki dampak hukum yang
serius bagi orang-orang yang dikafirkan, seperti
hilangnya hak-hak sipil dan agama mereka. Namun,
kelompok-kelompok radikal dan teroris sering
menafsirkan takfir secara sewenang-wenang dan
subjektif sebagai cara untuk menjustifikasi tindakan-
tindakan kekerasan mereka terhadap orang-orang
yang dikafirkan.
25
Distorsi ajaran keagamaan adalah salah satu faktor
penyebab munculnya paham radikalisme dan terorisme di
Indonesia. Distorsi ajaran keagamaan adalah suatu bentuk
penyimpangan atau penyelewengan dari ajaran keagamaan
yang sebenarnya menjadi sesuatu yang tidak sesuai dengan
nilai-nilai keagamaan itu sendiri. Distorsi ajaran keagamaan
dapat terjadi karena berbagai alasan, antara lain:
ketidaktahuan, kesalahpahaman, kepentingan politik atau
ekonomi, pengaruh eksternal atau internal, atau manipulasi
informasi (Syam dkk, 2020). Distorsi ajaran keagamaan
dapat berdampak negatif bagi individu maupun masyarakat,
seperti menyebabkan intoleransi, diskriminasi, kekerasan,
atau terorisme. Dalam konteks terorisme pada politik,
distorsi ajaran keagamaan dapat dimaknai sebagai suatu cara
untuk membenarkan atau melegitimasi tindakan kekerasan
yang bertujuan untuk mengubah atau menggulingkan sistem
politik yang ada dengan mengatasnamakan agama. Beberapa
contoh distorsi ajaran keagamaan dalam konteks terorisme
pada politik di Indonesia antara lain adalah penggunaan
konsep jihad, khilafah, dan takfir secara sempit dan literal
oleh kelompok-kelompok radikal dan teroris.
26
Perkembangan Terorisme Global.
27
pada perang suci atau jihad sebagai cara untuk mencapai
tujuan mereka. Kelompok ini diproyeksikan untuk
meluncurkan kekuatan global anti Amerika Serikat dan
berhasil melakukan transformasi ideologi serta strategi
dengan memanfaatkan trend globalisasi (Nasution, et.al.,
2023).
28
yang kemudian diikuti oleh masyarakat muslim secara global
(Nasution, et.al., 2023).
31
oleh Amerika Serikat, telah menyebabkan mereka
kehilangan sebagian besar wilayah tersebut. Meskipun
demikian, ISIS masih aktif dan memiliki simpatisan di
seluruh dunia yang dapat membentuk sel-sel tidur atau
melaksanakan serangan teror mandiri. ISIS telah menjadi
fokus utama upaya penanggulangan terorisme internasional
dan upaya terus dilakukan untuk mengatasi ancaman yang
mereka tampilkan serta menghentikan penyebaran ideologi
radikal mereka.
32
menjadi aksi yang digunakan untuk menciptakan suatu
kedaulatan tersendiri, dalam hal ini sesuai dengan yang
mereka anggap benar, yaitu terbentuknya negara islam yang
sesuai dengan hukum syariah.
34
kepastian hukum sebagai dasar fundamental dalam
penanggulangan terorisme.
35
Dalam dua dokumen sebelumnya, fokusnya hanya
pada isu penanggulangan terorisme saja. Munculnya
Resolusi UNGA 70/291 tahun 2016 terkait Secretary
General’s Plan of Action to Prevent Violent Extremism, telah
menjadi referensi bagi ASEAN untuk juga membahas isu
mengenai Radikalisme dan Ekstremisme Kekerasan di
Kawasan. Oleh karena itu, pada bulan September 2017, pada
pertemuan the 2nd Special Asean Ministerial Meeting on The
Rise of Radicalisation And Violent Extremism (Sammrve),
Negara-Negara Asean Menyetujui Manila Declaration to
Counter The Rise of Radicalisation and Violent Extremism,
dalam upaya untuk melihat akar penyebab radikalisme,
ekstremisme dan terorisme kekerasan, dan pentingnya
pendekatan komprehensif dan menekankan soft approach,
serta keterlibatan semua pemangku kepentingan, entitas
pemerintah dan non-pemerintah, dalam menangani
radikalisme, ekstremisme kekerasan, dan terorisme.
37
Peran dan Kepemimpinan Indonesia dalam
Penanggulangan Terorisme
38
Indonesia lebih lanjut telah memprakarsai serangkaian
pertemuan Lintas Sektoral dan Lintas Pilar ASEAN untuk
menyusun Rencana Kerja dari ASEAN PoA PCRVE 2018-
2025 melalui Bali Work Plan 2019-2025.
39
Bali PCRVE Work Plan 2019-2025. Dalam fora kerjasama
kawasan yang lebih luas:
• Melalui mekanisme ASEAN Regional Forum (ARF)
Indonesia mendorong inisiatif diadopsinya:
- ASEAN Regional Forum (ARF) Statement on
Preventing and Countering Violent Extremism
Conducive to Terrorism in 2019,
- ARF Statement on the Treatment of Children
Recruited by or Associated with Terrorist
Groups 2020
• Indonesia bersama negara-negara di kawasan Asia
Tenggara dan Asia Selatan telah berhasil
menginisiasi “Bali Call for Action for the
implementation of the UNODC Roadmap on
Children Associated with Terrorist and Violent
Extremists Groups” sebagai komitmen politis dalam
upaya memajukan perlindungan anak yang direkrut
maupun dieksploitasi oleh kelompok teroris.
• Pemri berpartisipasi aktif dalam pembahasan isu-isu
keamanan termasuk penanggulangan terorisme di
kawasan melalui forum Sub-Regional Meeting,
40
dimana Indonesia dan Australia merupakan co-
chairs.
• Pemri juga terus memperkuat kepemimpinan
Indonesia di kawasan dalam memajukan forum
Aqaba Process yang bertujuan meningkatkan
kerjasama keamanan termasuk penanggulangan
terorisme di kawasan dan global, serta,
• Memperkuat kerjasama dengan Uni Eropa melalui
“EU CT-P/CVE Activity Plan for Indonesia and the
Region 2021-2024” yang mencakup tema utama:
Prison, Gender, dan Financing.
41
kekerasan atau ancaman yang menimbulkan teror atau rasa
takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban massal
atau kerusakan dengan motif ideologi, politik, atau gangguan
keamanan (Solihin, 2017).
43
menghadapi ancaman radikalisme dan terorisme dengan cara
melaporkan hal-hal mencurigakan kepada pihak berwenang,
menjaga kerukunan antar umat beragama, serta menolak
segala bentuk provokasi atau hasutan (Sirry, 2020).
Pemantauan akun atau grup radikal di media sosial atau
internet berarti melakukan pengawasan dan penindakan
terhadap konten-konten yang mengandung unsur
radikalisme atau terorisme dengan cara melaporkannya
kepada pihak penyedia layanan atau pihak berwenang.
Kontra radikalisasi berarti melakukan upaya-upaya untuk
mengubah pandangan atau sikap orang-orang yang telah
terpapar atau terlibat dalam radikalisme atau terorisme
dengan cara memberikan bimbingan agama yang moderat,
memberikan pendidikan kewarganegaraan yang demokratis,
memberikan bantuan sosial-ekonomis yang memadai, serta
memberikan dukungan psikologis yang positif.
45
dikenal dengan nama Darul Islam (DI) atau Rumah Islam.
NII memiliki akar sejarah dari gerakan Darul Islam yang
muncul pada masa perjuangan kemerdekaan Indonesia
melawan penjajahan Belanda pada tahun 1940-an. Gerakan
ini menentang sistem pemerintahan Republik Indonesia yang
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, dan menginginkan
sistem pemerintahan yang berdasarkan syariah Islam.
Gerakan ini juga menolak perjanjian Renville dan Roem-
Royen yang mengakui kedaulatan Belanda atas sebagian
wilayah Indonesia.
46
melakukan operasi militer untuk menumpas pemberontakan
NII, yang berlangsung selama lebih dari satu dekade. Banyak
tokoh dan anggota NII yang ditangkap, dibunuh, atau
menyerah kepada pemerintah. Kartosoewirjo sendiri
ditangkap pada tahun 1962 dan dieksekusi mati pada tahun
berikutnya. Dengan demikian, pemberontakan NII secara
resmi berakhir pada tahun 1962.
47
Gelombang Kedua: Jemaah Islamiyah
48
● Bom Natal 2000, yang menargetkan gereja-gereja
dan tempat-tempat umum di 11 kota di Indonesia,
yang menewaskan 19 orang dan melukai lebih dari
100 orang
● Bom Bali 2002, yang menargetkan dua klub malam
di Kuta, Bali, yang menewaskan 202 orang, sebagian
besar adalah wisatawan asing, dan melukai lebih dari
200 orang
● Bom Hotel JW Marriott di Jakarta pada tahun 2003,
yang menewaskan 12 orang dan melukai 150 orang
● Bom Kedutaan Besar Australia di Jakarta pada tahun
2004, yang menewaskan 11 orang dan melukai 160
orang
● Bom Bali 2005, yang menargetkan tiga restoran di
Kuta dan Jimbaran, Bali, yang menewaskan 22 orang
dan melukai lebih dari 100 orang
● Bom Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton di Jakarta
pada tahun 2009, yang menewaskan 9 orang dan
melukai 53 orang
51
DI bukanlah sebuah organisasi tunggal yang
terstruktur dan terpusat, melainkan sebuah jaringan luas dari
berbagai kelompok kecil yang tersebar di berbagai daerah di
Indonesia, seperti Aceh, Sumatera, Jawa, Kalimantan,
Sulawesi, Maluku, dan Papua. Kelompok-kelompok ini
memiliki kesamaan dalam hal ideologi, yaitu mengikuti
ajaran dan visi ISIS untuk mendirikan khilafah atau negara
Islam global dengan menggunakan kekerasan ekstrem dan
brutal (Syam dkk, 2020). Kelompok-kelompok ini juga
memiliki kesamaan dalam hal sumber inspirasi, yaitu
mengagumi dan meniru pemimpin ISIS Abu Bakr al-
Baghdadi dan juru bicara ISIS Abu Muhammad al-Adnani.
Namun, kelompok-kelompok ini memiliki perbedaan dalam
hal struktur, kepemimpinan, strategi, dan target. Beberapa
kelompok memiliki pemimpin yang jelas dan terorganisir,
seperti Aman Abdurrahman yang merupakan pendiri JAD
dan dianggap sebagai pemimpin tertinggi DI di Indonesia.
Beberapa kelompok lainnya tidak memiliki pemimpin yang
jelas dan beroperasi secara otonom atau seluler, seperti
kelompok MIT yang dipimpin oleh Santoso alias Abu
Wardah yang tewas dalam operasi Tinombala pada tahun
2016. Beberapa kelompok memiliki strategi yang terencana
52
dan terkoordinasi, seperti kelompok yang melakukan bom
Thamrin pada tahun 2016 yang didalangi oleh Bahrun Naim,
seorang anggota ISIS di Suriah (Mahfud dkk, 2018).
Beberapa kelompok lainnya memiliki strategi yang spontan
dan tidak terkoordinasi, seperti kelompok yang melakukan
bom Surabaya pada tahun 2018 yang dilakukan oleh
keluarga Dita Oepriarto. Beberapa kelompok memiliki target
yang simbolis dan strategis, seperti pemerintah, polisi,
militer, atau asing. Beberapa kelompok lainnya memiliki
target yang acak dan sembarangan, seperti masyarakat sipil
atau minoritas (BNPT, 2017).
53
● Bom Kampung Melayu 2017, yang menargetkan
terminal bus Kampung Melayu di Jakarta Timur,
yang menewaskan 5 orang dan melukai 11 orang.
Aksi ini dilakukan oleh dua orang pelaku bom bunuh
diri yang berafiliasi dengan JAD.
● Bom Gereja Surabaya 2018, yang menargetkan tiga
gereja di Surabaya, Jawa Timur, yaitu Gereja Katolik
Santa Maria Tak Bercela (SMTB), Gereja Kristen
Indonesia (GKI) Diponegoro, dan Gereja Pantekosta
Pusat Surabaya (GPPS), yang menewaskan 28 orang
dan melukai 57 orang. Aksi ini dilakukan oleh satu
keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dua anak laki-
laki, dan dua anak perempuan yang berafiliasi dengan
JAD. Aksi ini merupakan aksi terorisme pertama di
Indonesia yang melibatkan anak-anak sebagai pelaku
bom bunuh diri.
● Bom Sidoarjo 2018, yang menargetkan sebuah
apartemen di Sidoarjo, Jawa Timur, yang
menewaskan 4 orang dan melukai 4 orang. Aksi ini
dilakukan oleh satu keluarga yang terdiri dari ayah,
ibu, dua anak laki-laki, dan satu anak perempuan
yang berafiliasi dengan JAD. Aksi ini merupakan
54
aksi terorisme kedua di Indonesia yang melibatkan
anak-anak sebagai pelaku bom bunuh diri.
● Bom Polrestabes Surabaya 2018, yang menargetkan
markas Polrestabes Surabaya di Jawa Timur, yang
menewaskan 4 orang dan melukai 10 orang. Aksi ini
dilakukan oleh satu keluarga yang terdiri dari ayah,
ibu, dua anak laki-laki, dan satu anak perempuan
yang berafiliasi dengan JAD. Aksi ini merupakan
aksi terorisme ketiga di Indonesia yang melibatkan
anak-anak sebagai pelaku bom bunuh diri.
● Penusukan Menkopolhukam Wiranto 2019, yang
menargetkan Menteri Koordinator Bidang Politik,
Hukum, dan Keamanan Wiranto di Pandeglang,
Banten, yang melukai Wiranto dan dua orang
lainnya. Aksi ini dilakukan oleh sepasang suami istri
yang berafiliasi dengan JAD.
● Bom Medan 2019, yang menargetkan markas
Polrestabes Medan di Sumatera Utara, yang
menewaskan pelaku bom bunuh diri dan melukai 6
orang. Aksi ini dilakukan oleh seorang pria yang
berafiliasi dengan JAD.
55
● Bom Makassar 2021, yang menargetkan Gereja
Katedral Makassar di Sulawesi Selatan, yang
menewaskan dua orang pelaku bom bunuh diri dan
melukai 20 orang. Aksi ini dilakukan oleh sepasang
suami istri yang berafiliasi dengan JAD.
● Bom Polsek Daha Selatan 2021, yang menargetkan
markas Polsek Daha Selatan di Hulu Sungai Selatan,
Kalimantan Selatan, yang menewaskan pelaku bom
bunuh diri dan melukai enam orang. Aksi ini
dilakukan oleh seorang pria yang berafiliasi dengan
JAD.
Pemerintah Indonesia telah melakukan upaya-upaya
untuk memberantas DI dengan menangkap, membunuh, atau
mengadili ratusan anggota dan pemimpinnya. Beberapa
tokoh penting DI yang berhasil ditangkap atau dibunuh
antara lain adalah:
● Aman Abdurrahman, yang merupakan pendiri JAD
dan pemimpin tertinggi DI di Indonesia, yang
ditangkap pada tahun 2010 dan dihukum mati pada
tahun 2018 atas perannya dalam serangan-serangan
terorisme di Indonesia.
56
● Zainal Anshori, yang merupakan pemimpin JAD
sebelum ditangkap pada tahun 2017 dan dihukum 7
tahun penjara atas perannya dalam pengiriman
senjata dan dana ke kelompok MIT.
● Ali Kalora, yang merupakan pemimpin MIT setelah
Santoso tewas, yang ditembak mati oleh polisi
Indonesia di Parigi Moutong, Sulawesi Tengah, pada
tahun 2021.
57
Eksploitasi Perempuan dan Anak dalam
Kelompok Terorisme: Unexpected Actor
58
Perempuan pada era lama identik dengan peran
keibuan seperti mendidik anak, memberikan perawatan
medis, maupun memberikan dukungan moral (O’Reilly,
2020) tanpa harus turun aksi. Hal ini sejalan dengan stereotip
gender yang selama ini melekat pada perempuan bahwa
tugas utamanya adalah melayani suami, mengasuh anak dan
mengurus rumah tangga. Tanpa disadari banyak perempuan
kemudian merasa terikat dengan stereotip tersebut dan
merasa wajib memenuhinya.
59
motivasi dan alasan perempuan untuk keterlibatan tersebut
masih menimbulkan pertanyaan tersendiri, terlebih dalam
kasus bunuh diri.
62
peledak rakitan dan membakar sekolah dan rumah, serta
dalam peran pendukung seperti juru masak, pembawa pesan,
dan pengintai. Anak-anak juga dilaporkan dijadikan tameng
manusia untuk melindungi elemen Boko Haram selama
operasi militer. Banyak anak juga menjadi korban paksaan
pindah agama dan kawin paksa serta dimanfaatkan untuk
tujuan seksual.
64
(JAD). Proses institutionalised indoctrination sendiri tidak
dapat dipisahkan dari proses sosialisasi orang tua terhadap
anak-anak mereka (Arianti, 2018). Hal ini dikuatkan oleh
Levenia (2019) yang mengungkap bahwa anak-anak pelaku
Bom Surabaya Tahun 2018 yang saat ini dibawah tanggung
jawab Kementerian Sosial, mengakui setiap hari
diindoktrinasi oleh orangtuanya dengan konten video
propaganda ISIS. Narasi propaganda tersebut adalah
pentingnya kaum Muslimin untuk berjihad. Pelaku Bom
Surabaya juga menakuti anak-anaknya dengan gambaran
hari kiamat, bagaimana mereka akan mati dan dihisab.
Termasuk pemahaman nilai jihad yang salah, sehingga
mereka seolah tidak memiliki pilihan lain selain apa yang
diyakini dan dipercaya orang tuanya.
65
dengan pendalaman apakah peran tersebut dilandasi faktor-
faktor non-sukarela (involuntary) atau kesukarelaan
(voluntary). Faktor non-sukarela meliputi kewajiban,
perintah atau keterpaksaan karena mengemban status
tertentu. Sedangkan faktor sukarela menitikberatkan pada
keinginan sendiri perempuan untuk terlibat dalam aksi
terorisme. Dengan mengetahui faktor ini, maka aktor tidak
terduga (unexpected actors) dalam aktivitas terorisme ini
dapat diminimalisir risiko dan dampaknya.
66
radikal dan terror (public engagement) yang didukung oleh
kekuatan sinergi dari kolaborasi Pencegahan merupakan
startegi terbaik dan meluas, karena menyasar seluruh elemen
bangsa. Sementara penindakan tetap harus dilakukan, karena
secara filosofis penindakan pelaku teorisme dalam rangka
restorasi (restorative law enformecent). Tujuan dari
penindakan-restoratif ini difokuskan pada memulihkan
ideologi para pelaku yang telah termanipulsasi dogma-
dogma keagamaan maupun kekuasan. Untuk melihat lebih
jelas, para stakeholder harus memiliki perspektif bahwa para
pelaku sejatinya adalah korban dari penyesatan tersebut.
68
sama dari semua pihak, baik pemerintah, individu, keluarga,
maupun masyarakat secara keseluruhan.
Kesimpulan
70
menyalahkagunakan simbol keagamaan (3) Kelompok teror
mendistorsi ajaran keagamaan untuk kepentingan politik.
Upaya penanggulangan dapat dilakukan dengan cara
meningkatkan kewaspadaan nasional, melakukan
pemantauan akun atau grup radikal di media sosial atau
internet, serta melakukan kontra radikalisasi. Selain itu
upaya baik lainnya dapat dilakukan dengan cara
meningkatkan kerjasama antar lembaga negara,
meningkatkan kapasitas aparat penegak hukum, serta
meningkatkan partisipasi seluruh elemen masyarakat.
71
Referensi
16th Report of the Secretary-General on the threat posed by ISIL
(DA’ESH) to international peace and security and the range of
United Nations efforts in support of member States in Countering
the Threat No. S/2023/568 31 Juli 2023.
Arianti, V. (2018). Participation of children in terrorist attack in
Indonesia: A possible future trend. Counter Terrorist Trends and
Analyses, 10(11), 4-8. https://www.jstor.org/stable/26514860.
Bak, M., Tarp, K. N. dan Liang, C. S. (2019) Defining the Concept of
“Violent Extremism”: Delineating the attributes and phenomenon
of violent extremism. Jenewa. Tersedia pada:
https://css.ethz.ch/content/dam/ethz/special-
interest/gess/cis/center-for-securities-
studies/resources/docs/GCSP_document(59).pdf.
Bartlett, J. dan Miller, C. (2012) “The edge of violence: Towards telling
the difference between violent and non-violent radicalization,”
Terrorism and Political Violence. Taylor & Francis, 24(1), hal. 1–
21.
Barton, G. dan Fealy, G. (1997) Tradisionalisme Radikal:
Persinggungan Nahdhatul Ulama-Negara. Yogyakarta: LKIS
Pelangi Aksara.
BNPT (2017). Strategi Menghadapi Paham Radikalisme Terorisme. ISIS,
BNPT.
72
Clark McCauley & Sophia Moskalenko. (2014). Toward a Profile of
Lone Wolf Terrorists: What Moves an Individual From Radical
Opinion to Radical Action, dalam Terrorism and Political
Violence, no.1: 69-85.
CNN Indonesia. (2021). “Relasi Jamaah Islamiyah, Taliban dan Al
Qaeda,” nasional, Desember 31, 2021. (Diakses pada 3 November
2023, https://www.cnnindonesia.com/nasion
al/20211215234907-20-734635/relasijamaah-islamiyah-taliban-
dan-al-qaeda/1.
Crenshaw, M. (1986). The psychology of political terrorism. In:
Hermann MG (ed) Political psychology. Jossey-Bass, New York,
pp 379– 413
Cook, J., & Vale, G. (2018). From Daesh to 'Diaspora': Tracing the
Women and Minors of Islamic State. The International Centre for
the Study of Radicalisation and Political Violence, Department of
War Studies. London: International Centre for the Study of
Radicalisation
Davis, Jessica. (2013). Evolution of the Global Jihad: Female Suicide
Bombers in Iraq, Studies in Conflict & Terrorism, 36:4, 279-291,
DOI: 10.1080/1057610X.2013.763598
http://dx.doi.org/10.1080/1057610X.2013.763598
Damayanti, A., Naray, P. N., & Karyoprawiro, B. L. (2023). Peran
Keimigrasian Dalam Pencegahan Terorisme Di Wilayah
Perbatasan: Studi Kasus Kantor Imigrasi Tahuna. Jurnal Politica
Dinamika Masalah Politik Dalam Negeri dan Hubungan
Internasional, 13(2), 240-259.
Friedland N & Merari A. (1985). The psychological impact of terrorism:
a double-edged sword. Polit Psychol p. 6:591–604.
Freire Paulo. Pendidikan Kaum Tertindas,terjemahan F Danuwinata,
Jakarta, LP3ES (2008)
Galamas, F. (2015). Terrorism in Indonesia: an overview. Research
Papers, 4(10). Global Terrorism Index 2023, Report Institute for
Economics and Peace Indonesia.go.id (7 November 2019) Istilah
Radikal Harus Diganti?, www.indonesia.go.id.
73
Halverson, J., Goodall, H.L., and Corman, S. (2011). Master narratives
of Islamist extremism. New York, NY: Palgrave Macmillan
Hoffman, B (2006). Inside terrorism. Columbia University Press: New
York.
Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC). (2017). Terrorism and
Political Violence. Jakarta: IPAC.
Jorgensen, N. H. B. (2019). Children associated with terrorist groups in
the context of the legal framework for child soldiers. QIL, 60, 5-
23.
Jamhari dan Jahroni, J. (2004) “Gerakan Salafi Radikal di Indonesia
(edisi pertama)”, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
KBBI, Radical, https://kbbi.web.id/radikal
Knop, K. V (2007). The female jihad: Al qaeda's women. Studies in
Conflict and Terrorism, 30(5), 397-414.
https://doi.org/10.1080/10576100701258585
Levenia, U. (2019). The involvement of children in radicalism and
terrorism act. CTRS-PTIK Working Paper Series (pp 2-17).
Jakarta: Center of Terrorism and Radicalism Studies PTIK.
O’Reilly, A. (2010a). Introduction. In A. O’Reilly (Ed.), Twenty-first-
century motherhood. Experience, identity, policy, agency (pp. 1–
20). New York, NY: Columbia University Press.
75
Nasution, N.F., Siregar, A., Gurning, M.R. and Harahap, I., (2023). Studi
Aliran Sempalan: Al-Qaeda Dan Al-Qiyadah Al-
Islamiyah. Jurnal Kajian Ilmu Pendidikan (JKIP), 3(2), pp.130-
137.
Oxford, Radical,
www.oxfordlearnersdictionaries.com/definition/english/radical_
1?q=radical
PUSLITBANG Upaya Kesehatan Masyarakat. (2015). Perilaku Berisiko
Kesehatan pada Pelajar SMP dan SMA di Indonesia. Badan
Litbangkes Kementrian Kesehatan RI.
Putra, I. E., Danamasi, D. O., Rufaedah, A., Arimbi, R. S., & Priyanto,
S. (2018). Tackling Islamic terrorism and radicalism in Indonesia
by increasing the sense of humanity and friendship. In Handbook
of research on examining global peacemaking in the digital age
(pp. 94-114). IGI Global.
Purba, C. A., & Syauqillah, M. (2022). Analisis Kausalitas dan
Probabilitas Faktor Penyebab Terorisme Perempuan dan Anak:
Korban atau Pelaku?. ijd-demos, 4(4).
Rane, H., (2016). Narratives and counter-narratives of Islamist
extremism. In: A. Aly, S. MacDonald, L. Jarvis and T. Chen, eds.
Violent extremism online: new perspectives on terrorism and the
internet. London: Routledge, pp. 167–186.
Setara Institute. (2023). Ringkasan Laporan Survei Toleransi Siswa
Sekolah Menengah Atas (SMA) diakses pada laman
https://setara-institute.org/laporan-survei-toleransi-siswa-
sekolah-menengahatas-sma/
Sirry, M. I. (2020). Muslim student radicalism and self-deradicalization
in Indonesia. Islam and Christian–Muslim Relations, 31(2), 241-
260.
Solihin, N. (2017). Understanding the radicalism movement in
Indonesia: A conflict approach to the rise of terrorism. AJIS, 2(1).
Susetyo, H. (23 Juli 2018) Sudah Tepatkah Kita Menggunakan Istilah
Radikalisme?, www.tirto.id.
76
Syihab, M. A., & Hatta, M. (2023). Metode Penanggulangan Tindak
Pidana Terorisme Di Indonesia. Cendekia: Jurnal Hukum, Sosial
dan Humaniora, 1(1), 13-27.
Syam, F., Mangunjaya, F. M., Rahmanillah, A. R., & Nurhadi, R. (2020).
Narrative and the Politics of Identity: Patterns of the Spread and
Acceptance of Radicalism and Terrorism in Indonesia. Religions,
11(6), 290.
77