Anda di halaman 1dari 30

UNIVERSITAS PERTAHANAN RI

TUGAS KEPEMIMPINAN STRATEGI


Brigjen TNI (Purn) Dr. Moch Afifuddin, S.E., M.M., M.Si (Han), CIQnR

Oleh:
Abdul Razzaq Matthew Aditya - 120210102001
Amelia Widya Octa Kuncoro Putri - 120210102002
Anastasyia Sukma Kundhalini - 120210102003
Beni Abukhaer Tatara - 120210102004
Bisma Abdurachman - 120210102005
Desta Lesmana Musthofa - 120210102006

PROGRA STUDI PEPERANGAN ASIMETRIS


FAKULTAS STRATEGI PERTAHANAN
UNIVERSITAS PERTAHANAN RI
JAKARTA
DESEMBER 2021
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI......................................................................................................................i
PENDAHULUAN.............................................................................................................2
SEJARAH JENDERAL SUDIRMAN............................................................................3
VUCA YANG DIHADAPI OLEH PANGLIMA BESAR JENDERAL SUDIRMAN. .7
KEPEMIMPINAN STRATEGIS PANGLIMA BESARJENDERAL SUDIRMAN
DALAM KOMPETENSI..................................................................................................9
KEPEMIMPINAN STRATEGIS PANGLIMA BESAR JENDERAL SUDIRMAN
DALAM BUDAYA STRATEGIS.................................................................................13
KEPEMIMPINAN STRATEGIS PANGLIMA BESAR JENDERAL SUDIRMAN
DALAM PENGAMBILAN KEPUTUSAN...................................................................19
KESIMPULAN...............................................................................................................25
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................26

i
PENDAHULUAN

Panglima Besar Jenderal Soedirman merupakan


panglima besar Tentara Nasional Indonesia pertama. Pangkat yang beliau
dapatkan merupakan wujud dari pencapaian beliau dalam menjadi
pemimpin strategis yang baik. Memupuk diri kedalam organisasi di masa
mudanya menjadi cikal bakal lahirnya Panglima Besar Jenderal
Soedirman.

Kelompok kami menganalisis bentuk-bentuk kepemimpinan,


tindakan dan pemikiran Panglima Besar Jenderal Soedirman yang
disesuaikan dengan mnateri perkuliahan yang telah dipelajari dalam mata
kuliah kepemimpinan strategis, seperti: VUCA, Kompetensi, Budaya
Strategi dan Pengambilan Keputusan.

2
SEJARAH JENDERAL SUDIRMAN

Soedirman lahir di Cilacap, 24 Januari 1916. Organisasi yang


pertama kali beliau ikuti adalah pada saat bersekolah di Wirotomo dan
mengikuti anggota Perkumpulan Siswa Wirotomo, klub drama, dan
kelompok musik. Pada saat itu, Soedirman membantu mendirikan cabang
Hizboel Wathan, sebuah organisasi Kepanduan
Putra milik Muhammadiyah. Soedirman menjadi pemimpin Hizboel
Wathan cabang Cilacap setelah lulus dari Wirotomo; tugasnya adalah
menentukan dan merencanakan kegiatan kelompoknya dan menekankan
pentingnya pendidikan agama. Setelah lulus dari Wirotomo, Soedirman
belajar selama satu tahun di Kweekschool (sekolah guru) yang dikelola
oleh Muhammadiyah di Surakarta. Kemudian, Pada 1936, beliau kembali
ke Cilacap untuk mengajar di sebuah sekolah dasar Muhammadiyah,
setelah dilatih oleh guru-gurunya di Wirotomo. Selama mengajar sebagai
guru, Soedirman juga terus aktif menjadi anggota Kelompok Pemuda
Muhammadiyah. Kemudian, beliau dikenal sebagai negosiator dan
mediator yang lugas, berupaya untuk memecahkan masalah antar para
anggota. Pada akhir 1937, Soedirman terpilih sebagai Ketua Kelompok
Pemuda Muhammadiyah Kecamatan Banyumas. Selama menjabat, ia
memfasilitasi seluruh kegiatan dan pendidikan para anggota, baik dalam
bidang agama ataupun sekuler (Departmen Sosial RI, 2008). 

Pada saat invasi Jepang, sekolah tempat Soedirman mengajar


ditutup dan dialih fungsikan menjadi pos militer, namun akhrinya beliau
berhasil melakukan negosiasi untuk membuka kembali sekolahnya. Pada
masa itu, Soedirman juga terlibat dalam beberapa organisasi sosial dan
kemanusiaan, termasuk bersama temannya mendirikan koperasi yang
diberi nama Perbi. Pada tahun 1943 pemerintah Jepang mengangkat
Soedirman menjadi anggota Syu Sangikai Banyumas. Oleh pemerintah
Jepang, Soedirman ditunjuk untuk mengikuti pelatihan Pembela Tanah Air

3
4

(PETA) di Bogor pada 1944. Tidak lama setelah selesai pendidikan ia


diangkat menjadi Daidanco. Pada 21 April 1945, ketika tentara PETA di
bawah komando Kusaeri mulai melancarkan pemberontakan terhadap
Jepang. Pada saat diperintahkan untuk menghentikan pemberontakan
tersebut, Soedirman setuju untuk melakukannya dengan syarat agar
pemberontak PETA tidak dibunuh, dan lokasi persembunyian mereka
tidak dimusnahkan; syarat ini diterima oleh komandan Jepang, dan
Soedirman beserta pasukannya mulai mencari para pemberontak.
Meskipun anak buah Kusaeri berhasil menembak komandan Jepang,
Soedirman melalui pengeras suara mengumumkan bahwa mereka tidak
akan dibunuh, dan para pemberontak pun mundur (Pusat Sejarah TNI,
2016).

Pada tanggal 18 Agustus 1945, Jepang membubarkan PETA dan


Heihō. Tugas untuk menampung mantan anggota PETA dan Heihō
ditangani oleh BPKKP. Pembentukan BKR merupakan perubahan dari
hasil sidang PPKI pada tanggal 19 Agustus 1945 yang telah memutuskan
untuk membentuk Tentara Kebangsaan, yang diumumkan oleh Presiden
Soekarno pada tanggal 23 Agustus 1945. Soedirman dan beberapa
rekannya sesama tentara PETA mendirikan cabang BKR di Banyumas
pada akhir Agustus, setelah sebelumnya singgah di Kroya dan
mengetahui bahwa batalion di sana telah dibubarkan. Dalam
pertemuannya dengan komandan wilayah Jepang, Saburo Tamura,
dan Residen Banyumas, Iwashige, Soedirman dan Iskak Cokroadisuryo
memaksa Jepang untuk menyerahkan diri dan memberikan senjata
mereka, sementara kerumunan warga Indonesia bersenjata mengepung
kamp Jepang. Sebagian besar senjata ini kemudian digunakan oleh unit
BKR Soedirman, menjadikan unitnya sebagai salah satu unit dengan
senjata terbaik di Indonesia; sisa senjata juga dibagikan kepada batalion
lain (Tempo, 2012).

4
5

Pada tanggal 5 Oktober 1945 pemerintah mengeluarkan Maklumat


No.2/X/45 yang berisikan tentang pembentukan Tentara Keamanan
Rakyat (TKR). Dalam TKR ini Soedirman terpilih sebagai Komandan
Resimen I Divisi V TKR Banyumas dengan pangkat Letnan Kolonel. Tidak
lama kemudian Kepala Staf Umum TKR, Letnan Jenderal Oerip
Soemodihardjo mengangkat Soedirman menjadi Panglima Divisi V TKR
Banyumas dengan pangkat Kolonel. Dalam konferensi TKR tanggal 12
November 1945 di Yogyakarta, Soedirman terpilih sebagai Pemimpin
Tertinggi TKR. Hal itu karena Soepriyadi, mantan pemimpin
pemberontakan PETA Blitar yang sudah diangkat sebelumnya sebagai
Pemimpin Tertinggi TKR oleh presiden ternyata tidak pernah menduduki
jabatannya. Pada tanggal 12 November 1945, dalam pertemuan pertama
TKR, Soedirman terpilih sebagai pemimpin TKR setelah melalui
pemungutan suara buntu dua tahap. Pada tahap ketiga, Oerip
mengumpulkan 21 suara, sedangkan Soedirman unggul dengan 22 suara;
para komandan divisi Sumatra semuanya memilih Soedirman. Soedirman
kemudian memimpin Divisi dalam serangan lain terhadap pasukan
Sekutu. Fasilitas serangan udaranya telah musnah saat
tentara gerilya menyerang Lapangan Udara Kalibanteng di Semarang,
berhasil dipukul mundur dan bersembunyi di Benteng Willem. Pada 12
Desember, Soedirman memimpin pengepungan empat hari, yang
menyebabkan pasukan Sekutu mundur ke Semarang (Pusat Sejarah TNI,
2016).

Pertempuran Ambarawa membuat Soedirman lebih diperhatikan di tingkat


nasional, kemudian Soedirman dikukuhkan sebagai panglima besar TKR
pada tanggal 18 Desember 1945. Pada tanggal 25 Mei, Soedirman
dikukuhkan kembali sebagai panglima besar setelah reorganisasi dan
perluasan militer. Soedirman mulai mengumpulkan para tentara sosialis
dan komunis di bawah kontrolnya, termasuk unit paramiliter (laskar) sayap
kiri yang setia dan didanai oleh berbagai partai politik. Soedirman mulai
mengumpulkan para tentara sosialis dan komunis di bawah kontrolnya,

5
6

termasuk unit paramiliter (laskar) sayap kiri yang setia dan didanai oleh
berbagai partai politik. Soedirman mulai mengumpulkan para tentara
sosialis dan komunis di bawah kontrolnya, termasuk unit paramiliter
(laskar) sayap kiri yang setia dan didanai oleh berbagai partai politik.
Soedirman mulai mengumpulkan para tentara sosialis dan komunis di
bawah kontrolnya, termasuk unit paramiliter (laskar) sayap kiri yang setia
dan didanai oleh berbagai partai politik. Soedirman mengeluarkan
Perintah Kilat, yakni:

“Kita telah diserang. Pada tanggal 19 Desember 1948 Angkatan


Perang Belanda menyerang kota Yogyakarta dan lapangan terbang
Maguwo. Pemerintah Belanda telah membatalkan persetujuan
Gencatan Senjata. Semua Angkatan Perang menjalankan rencana
yang telah ditetapkan untuk menghadapi serangan Belanda.”

Soedirman kemudian mengeluarkan Rencana Serangan Umum 1


Maret 1949; pasukan TNI akan menyerang pos-pos Belanda di seluruh
Jawa Tengah. Pasukan TNI di bawah komando Letnan
Kolonel Soeharto berhasil merebut kembali Yogyakarta dalam waktu
enam belas jam, menjadi unjuk kekuatan yang sukses dan menyebabkan
Belanda kehilangan muka di mata internasional; Belanda sebelumnya
menyatakan bahwa TNI sudah diberantas. Pada 7 Mei 1949 Indonesia
dan Belanda menggelar perundingan, yang menghasilkan Perjanjian
Roem-Royen. Pemerintah Indonesia dan Belanda mengadakan konferensi
panjang selama beberapa bulan yang berakhir dengan pengakuan
Belanda atas kedaulatan Indonesia pada 27 Desember 1949. Meskipun
sedang sakit, Soedirman saat itu juga diangkat sebagai panglima besar
TNI di negara baru bernama Republik Indonesia Serikat. Soedirman wafat

6
7

di Magelang pada pukul 18.30 malam pada tanggal 29 Januari 1950


(Tempo, 2012).

7
VUCA YANG DIHADAPI OLEH PANGLIMA BESAR
JENDERAL SUDIRMAN

Permasalahan yang sering dihadapi oleh negara yang baru saja


merdeka yaitu adanya konflik internal antara kekuatan yang ingin
memaksakan keinginan pribadi agar diterima oleh pihak lain. Situasi ini
dihadapi oleh Jenderal Soedirman dalam masa Perang Kemerdekaan
Indonesia. Adanya pertentangan akibat perbedaan strategi antara pihak
militer dan pihak politisi dalam memenangkan perjuangan maupun perang
serta adanya usaha golongan politik untuk menempatkan angkatan
perang di bawah kekuasaan golongan atau minimal bersimpati pada
golongan tersebut (Redaksi Senakatha, 2016). Kompleksitas
permasalahan ini dapat mempersulit Jenderal Soedirman dalam
memimpin perjuangan Indonesia.

Laju perubahan situasi yang cepat juga menjadi tantangan Jenderal


Soedirman dalam mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan
Republik Indonesia. Belanda yang membonceng NICA menyebabkan
terjadinya ketidakstabilan di Indonesia karena menimbulkan pertempuran
di beberapa daerah, seperti di Surabaya dan di Ambarawa. Agresi militer I
yang bertujuan untuk menguasai sektor perekonomian dilakukan oleh
tentara Belanda telah menguasai sebagian wilayah Sumatra dan Jawa
serta dan pada saat itu TNI sedang dalam keadaan tidak siap perang dan
pertahanan Indonesia ditaklukan dengan cepat. Selain itu, pemberontakan
di Madiun menyebabkan perpolitikan di Indonesia mengalami
ketidakstabilan sehingga mempengaruhi pertahanan negara karena TNI
harus meredam konflik di sana. Tidak lama kemudian, agresi militer II
muncul dengan jumlah tentara Belanda lebih besar dari sebelumnya.
Setelah melakukan perang gerilya selama tujuh bulan, terjadilah military
impasse atau kebuntuan militer. Tentara Belanda tidak dapat

8
9

menghancurkan kekuatan bersenjata TNI, sebaliknya, TNI tidak dapat


mengusir tentara Belanda dari Indonesia (Redaksi Senakatha, 2016).

Tantangan ini yang menjadikan perjuangan Jenderal Soedirman


lebih berat dalam mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan
Republik Indonesia akibar adanya konflik internal dalam negara dan
adanya serangan eksternal yang dilakukan oleh Belanda yang ingin
merebut kembali Indonesia.

9
KEPEMIMPINAN STRATEGIS PANGLIMA
BESARJENDERAL SUDIRMAN DALAM KOMPETENSI

Panglima Besar Jenderal Soedirman merupakan salah satu


pemimpin strategis terbaik yang dimiliki bangsa Indonesia dalam
menghadapi penjajah sehingga sukses merebut kembali kemerdekaan
Indonesia Melalui pertempuran melawan Agresi Militer Belanda I dan II.
Kepemimpinan strategis didefinisikan oleh Hitt et al (2008) sebagai
kemampuan untuk mengantisipasi, memandang jauh ke depan, bersikap
fleksibel, dan memberdayakan orang lain dalam rangka membentuk
perubahan strategis yang diperlukan . Individu dan tim menerapkan
kepemimpinan strategis ketika mereka berpikir, bertindak, dan
mempengaruhi dengan cara yang mempromosikan keunggulan kompetitif
yang berkelanjutan dari organisasi (Hughes, R.L. & Beatty, K.C., 2005).
Sebagai seorang pemimpin strategis, Panglima Besar Jenderal
Soedirman dituntut memiliki kompetensi tertentu dalam memimpin.
Kompetensi Menurut Dessler (2017) adalah karakteristik pribadi yang
dapat ditunjukan seperti pengetahuan, keterampilan dan perilaku pribadi
seperti kepemimpinan. Adapun kompetensi yang dibutuhkan untuk
menjadi seorang pemimpin strategis yaitu kompetensi teknis, kompetensi
manajerial dan kompetensi sosial.
Yukl (1994) menjelaskan kompetensi teknis adalah pengetahuan
tentang metode, proses, prosedur, dan teknik untuk melakukan sebuah
kegiatan khusus, dan kemampuan untuk menggunakan alat-alat yang
relevan bagi kegiatan tersebut. Lebih lanjut dijelaskan oleh Yukl bahwa
dalam keterampilan teknis termasuk pengetahuan mengenai metode,
proses, prosedur, serta teknik untuk melakukan kegiatan yang khusus dari
satuan organisasi. Katz (1955) menjelaskan bahwa kompetensi teknis
adalah pengetahuan tentang dan keahlian dalam jenis pekerjaan atau
aktivitas tertentu, mencakup kemampuan analisis, dan kemampuan untuk

10
11

menggunakan peralatan teknis yang tepat. Panglima Besar Jenderal


Soedirman merupakan alumni Tentara Pembela Tanah Air (PETA)
bentukan Jepang (Dinas Sejarah TNI-AD, 1985). Sehingga dengan dasar
kemiliteran yang dimiliki, Panglima Besar Jenderal Soedirman memiliki
kompetensi teknis menjadi seorang Panglima Besar yang memimpin
pasukan untuk berperang melawan penjajah pada Agresi Militer Belanda I
dan II.
Kompetensi manajerial Menurut Spencer & Spencer (1993) adalah
bagian khusus dari dampak dan pengaruh, mengekspresikan maksud
untuk memiliki pengaruh spesifik tertentu. Maksud spesifik tersebut yaitu
untuk mengembangkan orang lain, memimpin orang lain, memperbaiki
kerja tim dan kerjasama. Kompetensi tersebut terdiri dari kompetensi
dampak dan pengaruh, dorongan berprestasi, kerjasama, berpikir analitis,
inisiatif, mengembangkan orang lain, percaya diri, memahami orang lain,
pengarahan/ketegasan, pencarian informasi, kepemimpinan tim, berpikir
konseptual, kesadaran berorganisasi dan membina hubungan, dan
kompetensi pengetahuan spesifik. Stewart (2006) mengemukakan bahwa
keterampilan manajerial meliputi : merencanakan, mengkomunikasikan,
mengkoordinasi, memotivasi, mengendalikan, mengarahkan, dan
memimpin. Kompetensi manajerial menurut Peraturan Menteri
Pemberdayaan Aparatur Negara Nomor 38 Tahun 2017 bahwa adalah
pengetahuan, keterampilan, dan sikap / perilaku yang dapat diamati,
diukur, dikembangkan untuk memimpin dan / atau mengelola unit
organisasi.
Pada sosok Panglima Besar Jenderal Soedirman, kompetensi
manajerial terlihat dari karir beliau yang selalu cemerlang dalam
memimpin. Kemampuan memimipin baik organisasi sipil maupun militer
Panglima Besar Jenderal Soedirman selalu cemerlang. Awal menjadi
Pemimpin dimulai sejak menjadi Pimpinan Organisasi Hizbul Wathon dan
Pemuda Muhammadiyah, kemudian beliau juga pernah menjadi Kepala
Sekolah HIS Muhammadiyah Cilacap, Kepala Koperasi, selanjutnya
12

setelah bergabung dengan Tentara Pembela Tanah Air (PETA), Panglima


Besar Jenderal Soedirman diangkat menjadi Daidancho (Kepala
Bataliyon) PETA Banyumas (Ayuningtyas,2016). Setelah Jepang
dikalahkan Sekutu, Panglima Besar Jenderal Soedirman yang saat itu
masih berpangkat Kolonel menjadi Komandan TKR V/Purwokerto dan
berhasil memukul mundur pasukan Sekutu-NICA dari Ambarawa yang
menjadikan Panglima Besar Jenderal Soedirman terpilih menjadi
Panglima Angkatan Perang Republik Indonesia (Suspurwanto, 2020).
Kompetensi sosial adalah adalah kemampuan untuk berinteraksi
secara efektif dengan orang-orang, kemampuan untuk memberikan
dukungan individu pada semua tingkatan organisasi (Luthan dan Davis,
1996). Menurut Peraturan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara
Nomor 38 Tahun 2017 bahwa kompetensi sosial kultural adalah
pengetahuan, keterampilan, dan sikap/perilaku yang dapat diamati, diukur,
dan dikembangkan terkait dengan pengalaman berinteraksi dengan
masyarakat majemuk dalam hal agama, suku dan budaya, perilaku,
wawasan kebangsaan, etika, nilai-nilai, moral, emosi dan prinsip, yang
harus dipenuhi oleh setiap pemegang Jabatan untuk memperoleh hasil
kerja sesuai dengan peran, fungsi dan Jabatan.
Panglima Besar Jenderal Soedirman memiliki Kompetensi social
yang baik. Beliau, meskipun seorang Jenderal dan pejabat tinggi di
bidang militer, beliau tidak pernah meninggalkan masyarakat, termasuk
mengikuti kegiatan kemasyarakatan, seperti pengajian rutin, dan beliau
juga merupakan seorang da’i. Panglima Besar Jenderal Soedirman adalah
seorang pemimpin yang demokratis dan bertanggung jawab, sangat
menghargai sesama dan rela berkorban untuk masyarakatnya, serta
membela anak buahnya sampai beliau memiliki semboyan yang terkenal
yaitu “tempat terbaik saya ada di tengah – tengah anak buah” (Sardiman,
2008). Selain itu, kompetensi social seorang Panglima Besar Jenderal
Soedirman ditunjukkan dengan kemampuan komunikasi yang baik dengan
rekan dan pimpinan. Beliau mampu menolak perintah tanpa menyinggung
13

perasaan pemberi perintah yaitu Presiden Soekarno yang kala itu


meminta Panglima Besar Jenderal Soedirman untuk memimpin
perlawanan Jepang di Jakarta.
Berdasarkan uraian dapat disimpulkan bahwa sosok Panglima
Besar Jenderal Soedirman memiliki keseluruhan kompetensi Sebagai
Pemimpin strategis yaitu kompetensi teknis, Kompetensi manajerial dan
kompetensi sosial. Hal inilah salah satu faktor pendukung kesuksesan
Panglima Besar Jenderal Soedirman dalam merebut kembali
kemerdekaan Republik Indonesia melului pertempuran melawan Agresi
Militer Belanda I dan II.
KEPEMIMPINAN STRATEGIS PANGLIMA BESAR
JENDERAL SUDIRMAN DALAM BUDAYA STRATEGIS

Menurut Sweeney and McFarlin (2002:334) budaya secara ideal


mengkomunikasikan secara jelas pesan-pesan tentang bagaimana kita
melakukan sesuatu atau bertindak di sekitar sini. Budaya memberikan
arahan mengenai bagaimana seseorang harus berperilaku, bersikap,
bertindak dalam suatu komunitas tertentu, baik itu berbentuk organisasi,
perusahaan, atau masyarakat. Di samping itu, menurut Milkovich (1994),
strategis adalah suatu hal yang punya dampak atau pengaruh yang
menguntungkan terhadap tujuan tertentu secara jangka panjang. Menurut
Booth (1990) budaya strategis ialah tradisi, nilai, sikap, pola perilaku,
kebiasaan, adat, pencapaian, dan cara-cara tersendiri yang dimiliki negara
untuk beradaptasi dengan lingkungannya dan menyelesaikan masalah
dalam menghadapi ancaman atau penggunaan paksaan. Dari berbagai
penjelasan di atas, dapat dikatakan bahwa kepemimpinan strategis dalam
budaya strategis adalah pedoman, tradisi, nilai, sikap, pola perilaku,
kebiasaan, adat, pencapaian, tindakan, dan cara yang diterapkan oleh
seorang pemimpin strategis dalam menghadapi permasalahan yang
terjadi sehingga visi dan misi organisasi dapat dicapai.

Dalam aplikasinya, budaya strategis akan sangat bergantung pada


pengalaman sejarah yang dimiliki suatu negara. Budaya strategis sebagai
produk dari keadaan historis dan identitas nasional, namun juga
memungkinkan berperan dalam membentuk keputusan mengenai strategi.
Berikut ini akan dijelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi budaya
strategis dalam lingkup TNI dengan mengangkat studi kasus Jenderal
Sudirman, sebagai berikut (Griffin & Pustay, 1999):

1. Struktur Sosial. Adalah semua kerangka yang menentukan peran


individu-individu dalam masyarakat, stratifikasi masyarakat, dan
mobilitas individu dalam masyarakat tersebut.

14
15

Berdasarkan sejarahnya, Soedirman pada umur 7 tahun


masuk Hollandsch Inlandcshe School (HIS) setingkat Sekolah
Dasar (SD) di Cilacap hingga tahun 1930, kemudian melanjutkan
pendidikan di Meer Uitgebtreid Lagere Onderwijs (MULO) setingkat
SMP sampai tahun 1932, kemudian Soedirman melanjutkan
pendidikan di perguruan Parama Wiworo Tomo dan lulus tahun
1935. Pada tahun 1943 pemerintah Jepang mengangkat
Soedirman menjadi anggota Syu Sangikai (Dewan Pertumbangan
Karesidenan) Banyumas. Oleh pemerintah Jepang, Soedirman
kemudian ditunjuk untuk mengikuti pelatihan Pembela Tanah Air
(PETA) di Bogor (Sulistyo, 2016). Setelah selesai mengikuti
pendidikan PETA, Soedirman ditunjuk sebagai Daidancho
(Komandan Batalyon). Selanjutnya Soedirman dengan berpangkat
Letkol menduduki jabatan sebagai Komandan Resimen, kemudian
naik jabatan menjadi Komandan Divisi dengan berpangkat Kolonel.
Kemudian di umur yang belum mencapai 30 tahun menjadi
Panglima Besar Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dari hasil rapat
para perwira TKR di Yogyakarta (Imran, 2016).

Soedirman dapat mencapai jabatan Panglima Besar TKR


pada umur yang sangat muda dikarenakan pada jaman itu,
Indonesia baru merdeka dan mayoritas masyarakat memiliki
kecakapan militernya di bawah standar. Soedirman yang pernah
menjalani pendidikan PETA dan memiliki prestasi dalam militer
khususnya dalam perebutan senjata Jepang di daerah Banyumas
dan dalam pertempuran melawan pasukan Sekutu di Ambarawa
dianggap paling mampu dalam mengemban jabatan Panglima
Besar pada masa itu (Imran, 2016). Berdasarkan tanggung jawab
yang diemban dari jabatan tersebut, Panglima Soedirman
menciptakan budaya strategis perang gerilya yang diterapkan pada
Agresi Militer I dan II sehingga menghasilkan pengakuan Indonesia
secara de facto maupun de jure melalui Konferensi Meja Bundar
16

(KMB). Strategi perang gerilya pada akhirnya diadopsi oleh negara-


negara lain dalam menghadapi peperangan asimetris, antara pihak
yang lemah dengan pihak yang lebih kuat seperti yang dilakukan
dalam perang Vietnam (Kusuma).

1. Bahasa. Merupakan sarana penting yang dipakai anggota


masyarakat dalam berkomunikasi satu sama lain.
Dalam berkomunikasi dengan anak buahnya, Panglima
Besar Soedirman selalu menggunakan Bahasa Indonesia yang
telah disepakati dalam Sumpah Pemuda pada tahun 1928.
Berbagai contoh tersebut dapat dilihat dari penyampaian Panglima
Besar Sudirman baik secara lisan maupun tulisan. Seperti pada
Amanat Panglima Besar Soedirman kepada para Taruna Militer
pada 27 Mei 1946 di Yogyakarta, Perintah Kilat No 1/Panglima
Besar/B/D/1948, Perintah Siasat No. 1, dan penyampaian Panglima
Besar Sudirman lainnya (Kusuma, 2016).

1. Komunikasi. Komunkasi nonverbal meliputi ekspresi wajah,


gerakan tangan, intonasi, kontak mata, posisi tubuh, dan postur
tubuh.
Beberapa kutipan penyataan yang disampaikan oleh
Panglima Besar Soedirman, sebagai berikut (Widayanti, 2016):

a. Robek-robeklah badanku, potong-potonglah jasad ini, tetapi


jiwaku dilindungi benteng merah putih akan tetap hidup, tetap
menuntut bela siapapun lawan yang aku hadapi.
b. Meskipun kamu mendapat latihan jasmani yang sehebat-
hebatnya tidak akan berguna jika kamu mempunyai sifat
menyerah.
17

c. Tentara hanya mempunyai kewajiban satu, ialah


mempertahankan kedaulatan negara dan menjaga
keselamatannya. Sudah cukup kalau tentara teguh memegang
kewajiban ini, lagipula sebagai tentara, disiplin harus dipegang
teguh. Tentara tidak boleh menjadi alat suatu golongan atau
orang siapapun juga.
d. Tempat saya yang terbaik adalah ditengah-tengah anak buah.
Saya akan meneruskan perjuangan. Mert of zonder (dengan
atau tanpa) pemerintah TNI akan berjuang terus.
Dari beberapa contoh di atas, gaya komunikasi yang
disampaikan oleh Panglima Besar Soedirman memunculkan unsur
patriotisme, semangat bela negara, nilai-nilai keunggulan moral,
pantang menyerah, dan rela berkorban. Hal ini menjadi budaya
strategis yang masih melekat di TNI hingga saat ini.

2. Agama. Membentuk sikap yang dimiliki pemeluknya terhadap


pekerjaan, konsumsi, tanggung jawab individu, perencanaan untuk
masa depan.
Dalam ceramahnya, Panglima Besar Sudirman banyak
menekankan tentang tauhid, pentingnya hidup yang berpegang
pada agama, kesadaran berbangsa, serta semangat nasionalisme
dalam memperjuangkan kemerdekaan. Selain ibadah wajib, seperti
sholat lima waktu, Panglima Besar Sudirman juga sering
menunaikan Qiyamul-lail dan puasa sunnah. Panglima Besar
Sudirman selalu taat menjalankan ibadah-ibadahnya, bahkan
dalam keadaan yang sangat berbahaya bagi jiwanya. Di setiap
kampung yang disinggahinya saat bergerilya, beliau selalu
memberikan ceramah keagamaan kepada pasukannya. Dengan
demikian Panglima Besar Sudirman telah menempatkan iman
sebagai kekuatan dalam perjuangannya (Muhsin, 2016).
18

Salah satu contoh penerapan agama dalam perjuangan


Panglima Besar Sudirman adalah saat perjanjian Renville yang
mengharuskan adanya Pemindahan tentara gerilya Indonesia
sejumlah 30.000 prajurit dari Jawa Barat dan Jawa Timur ke daerah
pedalaman. Panglima Besar Sudirman menamakan pemindahan
tentara tersebut dengan kata hijrah. Hal ini untuk memberikan
keyakinan kepada para gerilyawan TNI yang dipindahkan, bahwa
yang mereka lakukan itu adalah sama seperti apa yang telah
dilakukan oleh kaum Muhajirin dan kaum Ansor pada jaman Nabi
Muhammad SAW. Gerakan yang mereka lakukan itu sama sekali
bukan merupakan gerakan mundur atau mengungsi. Dengan
menggunakan istilah "hijrah" itu pula Panglima Besar Sudirman
ingin menanamkan keyakinan kepada diri para gerilya TNI, bahwa
pada saatnya nanti mereka akan kembali ke daerah pertahanan
asalnya dengan membawa kemenangan (Sutrisminingsih, 2016).
Dengan menggunakan unsur agama dalam kepemimpinannya,
meningkatkan moral para gerilyawan TNI dalam melaksanakan
perang gerilya.

3. Nilai dan Sikap. Nilai adalah prinsip dan standar yang diterima
anggota-anggota tersebut. Sikap terdiri dari tindakan, perasaan,
dan pemikiran yang menghasilkan nilai.
Panglima Besar Sudirman merupakan pemimpin strategis
yang lebih menanamkan nilai dan sikap melalui aksi daripada kata-
kata. Beberapa implementasi nilai dan sikap dari Panglima Besar
Sudirman dapat mempertahankan kemerdekaan Indonesia adalah
sebagai berikut:

a. Saat menjadi Daidancho, Sudirman berani melancarkan protes


terhadap tentara Jepang dengan segala resiko yang ada jika
tentara Jepang dirasa bertindak di luar batas (Imran, 2016).
19

b. Sudirman mendirikan koperasi Sudirman untuk melindungi


masyarakat dari lintah darat dan mengajari masyarakat untuk
“membohongi” jumlah hasil panen yang harus diserahkan
kepada Jepang (Imran, 2016).
c. Dengan keadaan sakit dan paru-paru yang tinggal 1, Panglima
Besar Sudirman memilih untuk memimpin secara langsung
perang gerilya selama 7 bulan dan jarak tempuh 1.010 kilometer
karena beranggapan bahwa jika pimpinan TNI ikut tertawan,
maka perjuangan TNI tidak dapat berlangsung dengan baik
(Sulistyo, 2016).

Dari budaya strategis yang diterapkan melalui kepemimpinan


strategis Jenderal Besar Sudirman, Indonesia pada akhirnya diakui
kemerdekaannya secara de facto maupun de jure. Warisan budaya
strategis yang diterapkan dalam perang gerilya Jenderal Besar Sudirman
juga menciptakan Sistem Pertahanan Rakyat Semesta (Sishankamrata)
yang menerapkan kemanunggalan TNI dengan rakyat. Nilai-nilai luhur dari
Jenderal Besar Sudirman juga hingga saat ini masih dijadikan pedoman
bagi masyarakat dalam bertindak. Pemikiran perang gerilya dari Jenderal
Besar Sudirman juga pada akhirnya dicatatkan ke dalam buku Pokok-
Pokok Gerilya karya A.H. Nasution yang menjadi referensi berbagai
negara dalam menghadapi perang gerilya.
KEPEMIMPINAN STRATEGIS PANGLIMA BESAR
JENDERAL SUDIRMAN DALAM PENGAMBILAN
KEPUTUSAN

Mengambil keputusan harus disertai dengan kendali pemikiran


terlebih dahulu atas tindakan yang di ambil. (Kasim, 1995)
mengungkapkan “Keputusan adalah hasil pemecahan masalah secara
tegas hal ini berkaitan dengan jawaban-jawaban yang harus dilakukan
dan seterusnya mengenai unsurunsur perencanaan”. Seperti
penggambaran Jenderal Soedirman yang mengambil keputusan dengan
cara yang baik untuk membela Indonesia dari perbedaan yang dibuat oleh
Tuan Malaka. Jenderal Soedirman mampu mengambil keputusan
dibuktikan dari keputusan yang berat untuk diambil karena meninggalkan
Jogja artinya menghentikan perang, namun Jenderal Soedirman mampu
mengambil keputusan ketika mendapatkan surat dari Soekarno.
Berdasarkan pemaparan di atas terdapat nilai yang berkaitan dengan
tanggung jawab atas apa yang dilakukan. Sebuah tanggung jawab perlu
dimiliki agar menunjukan kedewasaan dan kepemimpinan seseorang
(Fitriani, 2017).

Sebagai sosok pemimpin strategis yang cerdas, Jenderal Sudirman


menunjukkan bagaimana pengambilan keputusan startegis dalam
menghadapi ancaman. Sebagai contoh, pada 19 Desember 1948 Negara
Indonesia mendapat serangan dari Belanda di Yogyakarta. Saat itu,
kondisi Jenderal Sudirman tengah tidak baik karena sakit yang
dideritanya. Namun dengan penuh tanggung jawab, Jenderal Sudirman
tetap memimpin pasukan menghadapi serangan Belanda. Adapun
keputusan strategis yang diambil oleh Jenderal Sudirman kala itu, ialah
(Lebda Tyas Nireki, 2020) Memutuskan untuk melakukan agenda gerilya yang
berlangsung kurang lebih selama tujuh bulan. Jenderal Sudirman menilai bahwa
menyingkir keluar dari perkotaan (Yogyakarta) untuk melancarkan perang gerilya
adalah strategi yang tepat. Karena Jenderal Sudirman mengetahui bahwa

20
21

pasukan Belanda dibagi atas dua kepentingan yaitu untuk menangkap Soekarno
dan juga Jenderal Soedirman baik dalam keadaan hidup atau mati.

1. Sebelum melakukan perjalanan gerilya, Jenderal Sudirman


memerintahkan kepada anak buahnya untuk membakar semua
dokumen yang tersimpan di rumah dinas dengan maksud untuk
menghilangkan jejak.
2. Dalam masa melakukan agenda gerilya, pasukan yang dipimpin
oleh Jenderal Sudirman pergi menuju ke tempat yang
menguntungkan. Tempat yang dimaksud ialah Gunug Wilis, karena
di sana terdapat perlengkapan komandi yaitu pemancar radio.

Selanjutnya, cara pengambilan keputusan Jenderal Sudirman juga


menggambarkan teori Jeanne M. Liedtka yang dapat diketahui
sebagaimana berikut (Suspurwanto, 2020) :

1. Systems Perspective
Pada saat pasca Kemerdekaan RI terdapat beberapa kekuatan
bersenjata, yaitu TRI sebagai tentara reguler dan ada juga badan-
badan perjuangan sebagai kekuatan bersenjata rakyat. Badan-
badan perjuangan, seperti laskar-laskar dari partai politik,
mempunyai haluan yang didasari oleh kepentingan dari
masingmasing partai politik tempat organisasi itu bernaung.
Diantara kekuatan bersenjata itu sering terjadi kesalahpahaman
dan bahkan terjadi bentrok secara fisik. Kondisi ini kurang
menguntungkan bagi jalannya perjuangan fisik. Untuk mencegah
meluasnya hal-hal negatif seperti itu, kemudian pemerintah
berusaha menyatukan kekuatan bersenjata yang ada dalam satu
wadah. Kemudian Presiden mengeluarkan penetapan tentang
penyatuan TRI dengan laskar-laskar menjadi satu organisasi
tentara, selanjutnya dibentuk panitia yang dipimpin langsung oleh
Presiden. Namun penyatuan itu sulit diwujudkan, terutama
disebabkan oleh karena partai-partai atau golongan-golongan
22

politik yang membawahi laskar-laskar tidak rela menyerahkan


pasukannya begitu saja kepada pemerintah. Untuk mengatasi hal
itu diperlukan pribadi-pribadi nonpartai, antara lain Panglima Besar
Jenderal Sudirman. Panglima Sudirman tampil sebagai penggagas
konsep penyatuan. Apa yang tidak mungkin dicapai melalui
prosedur tata negara, ternyata dapat diselesaikan oleh pribadi
Sudirman yang memiliki kebersahajaan dalam menyampaikan
gagasan pemikiran tentang integrasi kekuatan bersenjata RI. Dari
semua golongan dalam komponen Negara Republik Indonesia
dapat menerima dan mendukung konsep penyatuan yang digagas
oleh Jenderal Sudirman tersebut. Dalam konteks ini Sudirman telah
menerapkan cara berfikir strategis yang dibangun di atas dasar
pandangan sistem, yaitu bagaimana menerapkan metode yang
paling tepat agar bisa diterima oleh berbagai pihak, sehingga
integrasi dari berbagai entitas yang ada dapat segera terwujud. Hal
ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Liedtka dari
aspek Systems Perspective.
2. Intent Focused
Sebagai seorang pemimpin lapangan di saat perang gerilya,
Sudirman mengetahui secara detail keberadaan maupun eksistensi
dari berbagai kekuatan bersenjata selain TRI, seperti laskar-laskar
pejuang dari latar belakang partai politik dan lain-lainnya. Oleh
karena itu Sudirman yang ditunjuk sebagai panitia penyatuan telah
membuktikann bahwa cara berfikir yang mendasari konsep atau
gagasan yang diajukan dan disampaikan kepada masing-masing
golongan/entitas kekuatan bersenjata tersebut adalah semata-mata
bertujuan demi mewujudkan TNI yang solid untuk mempertahankan
Kemerdekaan RI, sekaligus menunjukkan di mata dunia
internasional bahwa RI memiliki angkatan perang yang kokoh. Hal
ini memiliki ekuivalensi dengan teori Liedtka dari sisi Intent-focused
(berfikir strategis dengan dorongan tujuan).
23

3. Intelligent Opportunism
Dalam rangka pencapaian tujuan untuk mengintegrasikan segenap
kekuatan bersenjata yang ada, Jenderal Sudirman secara
prosedural melalui Menteri Pertahanan menyodorkan konsep
pelaksanaan penyatuan secara bertahap. Pada tahap pertama,
laskar dalam daerah divisi diperbolehkan mempunyai satu resimen
dari masing-masing partai politik. Resimenresimen itu kemudian
digabungkan menjadi satu brigade laskar. Pada tahap kedua,
brigade laskar menggabungkan diri kepada TRI, kemudian dilebur
menjadi TNI. Konsep ini kemudian mendapat persetujuan dari
seluruh badan kelaskaran dan akhirnya tercapai kesepakatan
bahwa TNI akan dipimpin secara bersama (kolektif) dalam wadah
Pucuk Pimpinan TNI, yang akhirnya pada tanggal 7 Juni 1947
Presiden RI mengeluarkan Ketetapan resmi berdirinya TNI. Disisi
lain pada saat Sudirman menjabat sebagai Komandan TKR
V/Purwokerto, telah membentuk MPKP di Magelang untuk
mengatur strategi dalam menghadapi konsentrasi pertahanan
Sekutu-NICA di Ambarawa. MPKP memobilisasi kekuatan TKR dan
para laskar pejuang termasuk Tentara Pelajar. Dengan strategi
pengepungan dan taktik “Supit Urang”, pasukan Sudirman berhasil
memukul Sekutu-NICA dari Ambarawa dan mendesak mundur
sampai ke Semarang. Hal ini membawa dampak terhadap
meningkatnya moril pasukan TKR dan para pejuang lainnya yang
berada di daerah-daerah . Termasuk juga saat Belanda menduduki
Jogjakarta, Sudirman memilih berjuang dan tidak mau menyerah,
kemudian membuat strategi “Perang Gerilya”, dengan taktik perang
wilayah yang terorganisasikan oleh pusat komando yang
tersembunyi. Perang gerilya inilah yang membuat Belanda menjadi
kalangkabut menghadapi kekuatan pasukan Indonesia. Dari kedua
peristiwa sejarah yang dikemukakan, Sudirman membuktikan telah
24

menerapkan strategi-strategi baru dalam berfikir dan penentuan


suatu keputusan yang akan diambilnya. Hal ini sejalan dengan
pendapat Liedtka dari aspek Intelligent Opportunism
4. Thinking in Time
Hal ini dapat dilihat dari sikap Sudirman setelah peleburan
kekuatan angkatan perang menjadi TNI dan diangkat sebagai
Kepala Pucuk Pimpinan TNI. Seiring dengan berjalannya waktu,
dilakukan penyempurnaan doktrin TNI, guna menghindari adanya
pengelompokan yang beresiko terjadi perpecahan di organisasi
TNI. Maka Panglima Sudirman telah menetapkan doktrin yang
harus dipatuhi dan dilaksanakan oleh setiap prajurit TNI, antara lain
yaitu semua satuan Angkatan Perang dan satuan laskar yang
menjelma menjadi TNI, diwajibkan taat tunduk pada segala
perintah dan intruksi yang dikeluarkan oleh Pucuk Pimpinan TNI.
Dari langkah-langkah yang diambil oleh Sudirman dalam membaca
suatu keadaan hingga pengambilan suatu keputusan telah
menunjukkan bahwa Sudirman telah menerapkan Thinking in Time
agar ke depan tidak timbul adanya gap yang tidak diinginkan dalam
organisasi TNI. Hal tersebut sejalan dengan teori Liedtka dari
aspek Thinking in Time.
5. Hypothesis-driven
Dalam proses berikutnya, setelah Sudirman bergerilya masuk-
keluar hutan, dengan taktik perang wilayah, yang membuat
Belanda mengalami kesulitan dalam menghadapi kekuatan
pasukan Indonesia dan akhirnya Jogjakarta berhasil dikuasai RI,
yang dikenal dengan peristiwa “enam jam di Jogja”, pada 1 Maret
1949. Hal ini dapat meyakinkan kepada dunia internasional bahwa
RI masih eksis, dan kemudian ditindaklanjuti dengan perundingan
Roem- Royen (April 1949) yang menghasilkan pengakuan Belanda
kepada RI, serta melepaskan Pimpinan RI yang ditahan Belanda
(Sukarno, Hatta dll.), dan mengembalikan Jogjakarta sebagai
25

Ibukota RI. Dari langkah-langkah yang diambil oleh Jenderal


Sudirman tersebut, sejalan dengan teori Liedtka dari aspek
hypothesis-driven, yang mana Sudirman mempunyai keyakinan
bahwa dengan dapat direbut dan dikuasainya kota Jogjakarta
sebagai ibukota RI, maka eksistensi bangsa Indonesia akan dapat
diakui oleh dunia internasional.
KESIMPULAN

Panglima Besar Jenderal Sudirman merupakan pemimpin


yang strategis, karna setiap tindakan yang akan beliau jalankan
dipikirkan dan rencanakan dengan matang, dapat terlihat dari
beberapa bentuk kepemimpinan strategis yang dimiliki Jenderal
Sudirman seperti pada bagian vuca …. , Panglima Besar Jenderal
Sudirman mempunyai seluruh kompetensi yang sangat baik, karna
secara teknis, manajerial, dan sosial, Hal ini merupakan salah satu
factor pendukung berhasilnya, Panglima Besar Jenderal Sudirman
merebut Kembali kemerdekaan Republik Indonesia melalui
pertempuran melawan agresi militer Belanda I dan II. Oleh sebab
kepemimpinan Panglima Besar Jenderal Sudirman menjadi bagian
dalam Budaya Strategis seperti Warisan budaya strategis yang
diterapkan dalam perang gerilya Jenderal Besar Sudirman juga
menciptakan Sistem Pertahanan Rakyat Semesta (Sishankamrata)
yang menerapkan kemanunggalan TNI dengan rakyat. Nilai-nilai
luhur dari Jenderal Besar Sudirman juga hingga saat ini masih
dijadikan pedoman bagi masyarakat dalam bertindak. Pemikiran
perang gerilya dari Jenderal Besar Sudirman juga pada akhirnya
dicatatkan ke dalam buku Pokok-Pokok Gerilya karya A.H.
Nasution yang menjadi referensi berbagai negara dalam
menghadapi perang gerilya. Bagian-bagian kepemimpinan strategis
yang dimiliki oleh Panglima Besar Jenderal Sudirman merupakan
pengambilan keputusan, Sebagai sosok pemimpin strategis yang
cerdas, Jenderal Sudirman menunjukkan bagaimana pengambilan
keputusan startegis dalam menghadapi ancaman.

26
27

DAFTAR PUSTAKA

Redaksi Senakatha. (2016). Senakatha Edisi Khusus: 100 Tahun


Soedirman Bapak TNI. Pusat Sejarah TNI, 42, 1–46.

Booth, Ken (1990). The Concept of Strategic Culture Affirmed. London:


Macmillan Press.

Griffin, W. Ricky, & Michael W. Pustay. (1999). International Business.


Second Edition. Boston: Addison-Wesley Publishing.

Imran, Amrin. (2016). Pangsar Soedirman dalam Perspektif


Kepemimpinan: Suatu Tinjauan Historis. Senakatha, 46.

Kusuma. (2016). Soedirman dalam Sejarah Perjuangan Bangsa.


Senakatha, 46.

Milkovich, George T. (1994). Human Resource Management. New York:


Mc Graw Hill.

Muhsin, Emuh. (2016). Iman, Patriotisme, dan Perjuangan Soedirman.


Senakatha, 46.

Sulistyo, Arief. (2016). Tempat Saya Yang Terbaik Adalah di Tengah-


Tengah Anak Buah: Sebuah Refleksi. Senakatha, 46.

Sutriminingsih. (2016). Kekuatan Amanat Pangsar Soedirman terhadap


Keputusan Pelaksanaan Hijrah. Senakatha, 46.

Sweeney, P.D. & Mc Farlin, D.B. (2002). Organizational Behavior:


Solution for Management. New York: Mc Graw Hill.

Widayanti, Nike Pangat. (2016). Makna Kekuatan Amanat Soedirman


Sebagai “Komunikasi Juang” antar Generasi Muda TNI. Senakatha,
46.

Dessler, Gary. 2017. Human Resource Management. England: Pearson


28

Education Limited, Inc.


Dinas Sejarah TNI-AD. 1985. Soedirman Prajurit TNI Teladan. Jakarta:
Dinas Sejarah Tentara Nasional Angkatan darat.
Hitt, M.A., Ireland, R.D., & Hoskisson, R.E. (2008). Concepts and Cases,
Strategic Management: Competitiveness and Globalization, 8th
Edition. Mason:SouthWestern Cengage Learning.
Hughes, R.L. & Beatty, K.C., (2005), Becoming a strategic leader :your
role in your organization’s enduring success, San Fransisco : Josses-
Bass.
Katz, L. (1955). Skills of an Effective Administrator. Harvard Business
Review, 33, 33-42.
Luthan, F. and Davis, K.(1996). Human Resource Strategy. New York:
McGraw-Hill, Inc.
Sardiman. (2008). Guru Besar, Sebuah Biografi Jenderal Sudirman.
Yogyakarta: Ombak.
Spencer, L. M., & Spencer, S. M. (1993). Competence at work: Models for
superior performance. USA: John Wiley & Sons, Inc.
Stewart, A.M.(2006).Empowering People. Londong: Pitman Publishing.
Suspurwanto, J. (2020). Kepemimpinan Strategis Jenderal Soedirman
Dalam Pengabdiannya Sebagai Prajurit Tentara Nasional Indonesia.
Jurnal Strategi Pertahanan Semesta :Vol. 6 No. 1.
Yukl, G.(1994).Leadership in Organizations. Englewood Cliffs, New
Jersey: Prentice-Hall, Inc.
Peraturan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi
Birokrasi Indonesia Nomor 38 Tahun 2017 Tentang Standar
Kompetensi Jabatan Aparatur Sipil Negara.
Fitriani, L. (2017). Nilai Didaktis pada Film Jenderal Soedirman. Jurnal
DIKSATRASIA Volume 1 Nomor 2, 254-261.

Kasim, A. (1995). Teori Pembuatan Keputusan. Jakarta: Lembaga


Penerbit FE.
29

Lebda Tyas Nireki, e. (2020). Manifestasi Perjuangan Jenderal Soedirman


Pada Era Masa Kini di Indonesia. Jurnal Ilmiah Sosial Volume 2,
No. 1, 20.

Suspurwanto, J. (2020). Kepemimpinan Strategis Jenderal Sudirman


dalam Pengabdiannya sebagai Prajurit Tentara Nasional Indonesia.
Jurnal Strategi Pertahanan Semesta, Volume 6 Nomor 1, 31.

Anda mungkin juga menyukai