Anda di halaman 1dari 33

Biografi Jenderal Sudirman Pahlawan

Nasional Indonesia
Diposkan oleh Biografi Pedia di 12.45.00
Jenderal Sudirman adalah seorang pahlawan nasional Indonesia yang berasal dari
Purbalingga. Beliau merupakan panglima besar Tentara Nasional Indonesia yang
pertama dan seorang perwira tinggi pada masa Revolusi Nasional Indonesia.

Jenderal Sudirman lahir dari pasangan Karsid Kartawiraji dan Siyem tepatnya pada
tanggal 24 Januari 1916 di Bodas Karangjati, Rembang, Purbalingga. Ia diberi nama
Soedirman oleh pamannya yang bernama Cokrosunaryo. Dalam ejaan bahasa
Indonesia yang berlaku sejak tahun 1972 namanya dieja menjadi Sudirman.

Saat Sudirman berusia enam tahun, ayahnya meninggal dunia. Kemudian


Cokrosunaryo mengadopsi Sudirman. Ia dibesarkan dengan baik juga diajarkan
beretika dan tata krama yang baik, serta diajarkan untuk hidup dalam kesederhanaan.
Beliau adalah anak yang taat pada agama, ia mempelajari ilmu Islam di bawah
bimbingan Kyai Haji Qahar. 

Saat berusia tujuh tahun, Sudirman bersekolah di Sekolah Pribumi (Hollandsch


Inlandsche School), namun ia pindah ke Sekolah Taman Siswa, sebuah sekolah yang
didirikan oleh Ki Hajar Dewantara. Kemudian melanjutkan sekolah menengah di
Wirotomo. Kemudian ia melanjutkan ke HIK (sekolah guru) Muhammadiyah, Solo.

Setelah Cokrosunaryo pensiun sebagai camat pada akhir 1916, Sudirman tinggal
keluarganya ke Manggisan, Cilacap. Ia membantu mendirikan cabang Hizboel Wathan,
sebuah organisasi Kepanduan Putra milik Muhammadiyah, kemudian ia menjadi guru di
sekolah HIS Muhammadiyah di Cilacap.

Pada tahun 1936 Sudirman menikah dengan Alfiah, dulu merupakan teman sekolahnya
dan merupakan putri dari seorang pengusaha batik yang bernama Raden Sastroatmojo.
Ia dikarunia tujuh orang anak; Ahmad Tidawono, Muhammad Teguh Bambang Tjahjadi,
dan Taufik Effendi, Didi Praptiastuti, Didi Sutjiati, Didi Pudjiati, dan Titi Wahjudi
Satyaningrum.

Dikisahkan dari salah satu seorang murid-nya mengatakan bahwa Sudirman


merupakan guru yang adil dan sabar dalam mendidik muridnya. Ia juga dikenal sebagai
seorang pemimpin yang moderat dan demokratis tidak hanya itu, ia juga aktif sebagai
anggota Kelompok Pemuda Muhammadiyah. Pada tahun 1937, ia diangkat sebagai
Ketua Kelompok Pemuda Muhammadiyah. Istrinya juga aktif dalam kegiatan kelompok
putri Muhammadiyah Nasyiatul Aisyiyah.

Pendidikan Militer di Tentara Pembela Tanah Air (PETA)

Pada awal tahun 1942, Jepang mulai menduduki Indonesia setelah memenangkan
beberapa pertempuran melawan pasukan militer Belanda. Tepatnya pada tanggal 9
Maret 1942, Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborg Stachouwe dan Jenderal KNIL
Hein ter Poorten menyerah.

Peristiwa ini menimbulkan perubahan drastis dalam pemerintahan nusantara banyak


masyarakat pribumi yang menderita dan mengalami pelanggaran hak asasi manusia di
tangan Jepang. 

Pada tahun 1944, Sudirman diminta untuk bergabung dengan tentara Pembela Tanah
Air (PETA), merupakan kesatuan militer yang dibentuk oleh Jepang pada tanggal 3
Oktober 1943 untuk membantu Jepang dalam menghalau serangan sekutu.

Sudirman mulai masuk dan berlatih di Bogor, Jawa Barat. Ia dijadikan sebagai
komandan dan dilatih oleh perwira dan tentara Jepang, para tentara dipersenjatai
dengan peralatan yang disita dari Belanda. Setelah empat bulan pelatihan, ia diangkat
sebagai Komanda Batalyon di Kroya, Banyumas, Jawa Tengah.

Baca juga: Biografi Mohammad Hatta Bapak Koperasi Indonesia.

Revolusi Nasional

Pengeboman yang terjadi di kota Hiroshima dan Nagasaki membuat Jepang dalam
ambang kehancuran, berita tersebut berhasil masuk ke Indonesia pada awal bulan
Agustus 1945, dan diikut oleh peristiwa kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17
Agustus 1945. 
Peristiwa tersebut membuat kontrol Jepang mulai melemah. Situasi tersebut
dimanfaatkan dengan baik oleh Sudirman, akhirnya ia memimpin pelarian dari pusat
penahanan dari Bogor. Pada tanggal 18 Agustus 1945, Jepang membubarkan PETA.

Sudirman bertemu dengan Soekarno di Jakarta, kemudian Soekarno memintanya untuk


mempimpin perlawanan terhadap pasukan Jepang di Kota, namun Sudirman
menolaknya dengan alasan tidak terbiasa dengan lingkungan di Jakarta. Sudirman
bergabung dengan pasukannya di Kroya pada tanggal 19 Agustus 1945.

Sudirman dan beberapa rekannya sesama tentara PETA mendirikan cabang BKR di
Banyumas pada akhir Agustus, setelah sebelumnya singgah di Kroya dan mengetahui
bahwa batalion di sana telah dibubarkan. 

Pertemuannya dengan komandan wilayah Jepang, Saburo Tamura, dan Residen


Banyumas, Iwashige. Ia dan Iskak Cokroadisuryo memaksa Jepang untuk
menyerahkan diri dan memberikan senjata mereka. Sebagian besar senjata ini
digunakan oleh unit BKR Sudirman dan sisanya dibagikan kepada batalion lainnya.

Pada tanggal 5 Oktober Soekarno mengeluarkan dekrit pembentukan Tentara


Keamanan Rakyat (TKR) terdiri dari TKR Darat, TKR Laut, dan TKR Jawatan
Penerbangan. TKR mempunyai fungsi, yaitu untuk mempertahankan kemerdekaan dan
menjaga rakyat Indonesia. Oerip Soemohardjo ditetapkan sebagai pemimpin
sementara.

Pasukan Inggris, berhasil melucuti senjata tentara Jepang dan memulangkan tawanan
perang Belanda, tiba di Semarang, dan kemudian bergerak menuju Magelang. Ketika
Inggris mulai mempersenjatai kembali tentara Belanda yang menjadi tawanan perang
dan sepertinya sedang mempersiapkan sebuah pangkalan militer di Magelang. 

Sudirman mengirim beberapa pasukannya di bawah pimpinan Letnan Kolonel Isdiman


untuk mengusir mereka; misi ini berhasil, dan tentara Eropa menarik diri dari
Ambarawa, di tengah-tengah Magelang dan Semarang. Pada 20 Oktober, Ia
membawahi Divisi V setelah Oerip membagi Pulau Jawa menjadi divisi militer yang
berbeda.

Pada tanggal 12 November 1945, Sudirman terpilih sebagai pemimpin TKR saat
berusia 29 tahun, melalui pemungutan suara yang berlangsung dua tahap. Ia berhasil
mendapat 22 suara sedangkan Oerip hanya mendapatkan 21 suara. Ia tetap menunjuk
Oerip sebagai kepala staff kemudian Sudirman dipromosikan menjadi Jenderal.

Tentara gabungan antara Belanda dan Inggris telah mendarat di Jawa pada bulan
September, dan pertempuran besar telah terjadi di Surabaya pada akhir Oktober dan
awal November. Ketidakstabilan ini, serta keraguan Soekarno atas kualifikasi Sudirman,
menyebabkan terlambatnya pengangkatan Sudirman sebagai pemimpin TKR.
Pada akhir November Sudirman memerintahkan Divisi V untuk menyerang pasukan
Sekutu di Ambarawa, sekali lagi dikomandoi oleh Isdiman, kota itu dianggap penting
secara strategis karena memiliki barak militer dan fasilitas pelatihan yang sudah ada
sejak zaman penjajahan. Serangan ini dilumpuhkan oleh serangan udara dan tank-tank
Sekutu, yang memaksa divisi untuk mundur, Isdiman sendiri tewas dalam pertempuran.

Sudirman kemudian memimpin Divisi dalam serangan lain terhadap pasukan Sekutu;
tentara Indonesia dipersenjatai dengan berbagai senjata, mulai dari bambu runcing dan
katana sitaan sebagai senjata, sedangkan tentara Inggris dipersenjatai dengan
peralatan modern. 

Sudirman memimpin di barisan depan sambil memegang sebuah katana. Sekutu


berhasil dipukul mundur dan bersembunyi di Benteng Willem. Pada 12 Desember,
Sudirman memimpin pengepungan empat hari, yang menyebabkan pasukan Sekutu
mundur ke Semarang.

Pertempuran Ambarawa membuat Sudirman lebih diperhatikan di tingkat nasional.


Sudirman dikukuhkan sebagai panglima besar TKR pada tanggal 18 Desember 1945.
Posisinya sebagai kepala Divisi V digantikan oleh Kolonel Sutiro.  Pemerintah Indonesia
kemudian mengganti nama Tentara Keamanan Rakyat menjadi Tentara Keselamatan
Rakyat pada tanggal 7 Januari 1946.

Pemerintah Indonesia memindahkan pusat pemerintahan dari Jakarta ke Yogyakarta


karena kota Jakarta sudah dikuasai. Pada bulan Januari delegasi yang dipimpin oleh
Perdana Menteri Sutan Sjahrir melakukan negosiasi dengan Belanda pada bulan April
dan Mei terkait dengan pengakuan kedaulatan Indonesia, namun tidak berhasil.

Pada tanggal 25 Mei, Sudirman dikukuhkan kembali sebagai panglima besar setelah
reorganisasi dan perluasan militer. Dalam upacara pengangkatannya, Soedirman
bersumpah untuk melindungi republik "sampai titik darah penghabisan."

Pada tanggal 7 Oktober 1946, Sjahrir dan mantan Perdana Menteri Belanda, Wim
Schermerhorn, sepakat untuk melakukan gencatan senjata. Perundingan ini
dimoderatori oleh diplomat Inggris Lord Killearn dan juga melibatkan Sudirman. Namun,
ia diperintahkan untuk kembali ke Yogyakarta setelah tentara Belanda tidak
mengijinkan dirinya dan anak buahnya memasuki Jakarta dengan membawa senjata.

Perundingan di Jakarta berakhir dengan perumusan Perjanjian Linggarjati pada


tanggal 15 November, perjanjian ini disahkan pada 25 Maret 1947, meskipun ditentang
oleh para nasionalis Indonesia. Pada tahun 1947, kondisi sudah damai setelah
Perjanjian Linggarjati. Sudirman mulai berupaya untuk mengonsolidasikan TKR dengan
berbagai laskar. Dalam upayanya ini, ia mulai melaksanakan reorganisasi militer;
kesepakatan baru bisa tercapai pada Mei 1947, dan pada 3 Juni 1947, Tentara
Nasional Indonesia (TNI) diresmikan.
Gencatan senjata yang berlangsung setelah Perjanjian Linggarjati tidak bertahan lama.
Pada tanggal 21 Juli 1947, tentara Belanda yang telah menduduki wilayah peninggalan
Inggris selama penarikan mereka melancarkan Agresi Militer, dan dengan cepat
berhasil menguasai sebagian besar Jawa dan Sumatera.

Pada tanggal 29 Agustus 1947 Belanda menciptakan Garis Van Mook merupakan garis
yang membagi wilayah-wilayah yang dikuasai oleh Belanda dan Indonesia. Di
sepanjang garis ini, gencatan senjata diberlakukan. 

Pada tanggal 5 Oktober 1948, setelah perayaan hari jadi TNI ketiga, Soedirman
pingsan. Setelah diperiksa oleh dokter, ia didiagnosis mengidap tuberkulosis (TBC).
Pada akhir bulan, ia dibawa ke Rumah Sakit Umum Panti Rapih dan menjalani
pengempesan paru-paru kanan, dengan harapan bahwa tindakan ini akan
menghentikan penyebaran penyakit tersebut. 

Sumber : https://commons.wikimedia.org/wiki/Panti_Rapih_Hospital

Ketika berada di rumah sakit, Sudirman dan Nasution berdiskusi mengenai rencana
untuk berperang melawan Belanda. Mereka sepakat bahwa perang gerilya, yang telah
diterapkan di wilayah taklukan Belanda sejak bulan Mei, adalah perang yang paling
cocok bagi kepentingan mereka.

Sudirman mengeluarkan perintah umum pada 11 November, dan persiapannya


ditangani oleh Nasution. Soedirman dipulangkan dari rumah sakit pada tanggal 28
November 1948.

Pada tanggal 19 Desember, Belanda melancarkan Agresi Militer Kedua untuk merebut
ibu kota Yogyakarta. Lapangan udara di Maguwo berhasil diambil alih oleh pasukan
Belanda di bawah pimpinan Kapten Eekhout. Sudirman, menyadari serangan itu,
kemudian memerintahkan stasiun RRI untuk menyiarkan pernyataan bahwa para
tentara harus melawan karena mereka telah dilatih sebagai gerilyawan.

Sudirman kemudian mengunjungi Istana Presiden di Yogyakarta, tempat para


pemimpin pemerintahan sedang mendiskusikan ultimatum yang menyatakan bahwa
kota itu akan diserbu kecuali para pemimpin menerima kekuasaan kolonial. 
Sudirman mendesak presiden dan wakil presiden agar meninggalkan kota dan
berperang sebagai gerilyawan, namun sarannya ini ditolak. Meskipun dokter
melarangnya, ia mendapat izin dari Soekarno untuk bergabung dengan anak buahnya.
Pemerintah pusat dievakuasi ke Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat atas desakan
Sultan Hamengkubuwono IX.

Baca juga: Biografi Tuanku Imam Bonjol Pahlawan Indonesia.

Perang Gerilya

Sudirman pergi ke rumah dinasnya dan mengumpulkan dokumen-dokumen penting,


lalu membakarnya untuk mencegahnya jika dokumen tersebut jatuh ke tangan Belanda.
Bersama sekelompok kecil tentara dan dokter pribadinya, mulai bergerak ke arah
selatan menuju Kretek, Parangtritis, Bantul. 

Selama berada di Kretek, Sudirman memberikan perintah kepada tentaranya agar


menyamar ke kota yang telah diduduki oleh Belanda untuk melakukan pengintaian, dan
meminta istrinya menjual perhiasannya untuk membantu mendanai gerakan gerilya.
Setelah beberapa hari di Kretek, ia dan kelompoknya melakukan perjalanan ke timur di
sepanjang pantai selatan menuju Wonogiri.

Sudirman akan mengontrol para gerilyawan dari Jawa Timur, yang masih memiliki
beberapa pangkalan militer untuk menghadapi perlawanan Belanda. Sadar bahwa
Belanda sedang memburu mereka, pada tanggal 23 Desember ia memerintahkan
pasukannya untuk melanjutkan perjalanan ke Ponorogo. 

Di Ponorogo, mereka berhenti di rumah seorang ulama bernama Mahfuz lalu


memberikan sebuah tongkat untuk Sudirman yang membantunya berjalan, meskipun
Sudirman terus dibopong dengan menggunakan tandu di sepanjang perjalanan. Mereka
kemudian melanjutkan perjalanan ke timur.

Pada tanggal 27 Desember, Sudirman dan anak buahnya bergerak menuju Desa
Jambu dan tiba pada 9 Januari 1949. Di sana, ia bertemu dengan beberapa menteri
yang tidak berada di Yogyakarta saat penyerangan: Supeno, Susanto Tirtoprojo, dan
Susilowati. 

Sudirman berjalan ke Banyutuwo sambil memerintahkan beberapa tentaranya untuk


menahan pasukan Belanda. Di Banyutuwo, mereka menetap selama seminggu lebih.
Namun, pada 21 Januari, tentara Belanda mendekati desa. Ia dan rombongannya
terpaksa meninggalkan Banyutuwo.

Kurang lebih selama tujuh bulan ia berpindah-pindah dari hutan yang satu ke hutan
yang lainnya dan dari daerah satu ke daerah yang lainnya. Sudirman dan Hutagalung
mulai membahas kemungkinan untuk melakukan serangan besar-besaran terhadap
Belanda.  
Sudirman memerintahkan Hutagalung untuk mulai merencanakan serangan besar-
besaran, dengan prajurit TNI berseragam akan menyerang Belanda dan mununjukkan
kekuatan mereka di depan wartawan asing dan tim investigasi PBB. 

Hutagalung, bersama dengan para prajurit dan komandannya, Kolonel Bambang


Sugeng, serta pejabat pemerintahan di bawah pimpinan Gubernur Wongsonegoro,
menghabiskan waktu beberapa hari dengan membahas cara-cara untuk memastikan
agar serangan itu berhasil. Pertemuan ini menghasilkan rencana Serangan Umum 1
Maret 1949; pasukan TNI akan menyerang pos-pos Belanda di seluruh Jawa Tengah.

Pasukan TNI di bawah komando Letnan Kolonel Soeharto berhasil merebut kembali
Yogyakarta, dan menyebabkan Belanda kehilangan muka di mata internasional;
Belanda sebelumnya menyatakan bahwa TNI sudah diberantas.

Karena semakin meningkatnya tekanan dari PBB, maka pada 7 Mei 1949 Indonesia
dan Belanda menggelar perundingan, yang menghasilkan Perjanjian Roem-Royen.
Perjanjian ini menyatakan bahwa Belanda harus menarik pasukannya dari Yogyakarta,
beserta poin-poin lainnya.

Belanda mulai menarik pasukannya pada akhir Juni, dan para pemimpin Indonesia di
pengasingan kembali ke Yogyakarta pada awal Juli. Soekarno lalu memerintahkan
Sudirman untuk kembali ke Yogyakarta, tapi ia menolak untuk membiarkan Belanda
menarik diri tanpa perlawanan; ia menganggap pasukan TNI pada saat itu sudah cukup
kuat untuk mengalahkan pasukan Belanda. Pada tanggal 10 Juli, Sudirman dan
kelompoknya kembali ke Yogyakarta, mereka disambut oleh ribuan warga sipil dan
diterima dengan hangat oleh para elit politik di sana.

Meninggal Dunia

Pada awal Agustus, Sudirman mendekati Soekarno dan memintanya untuk melanjutkan
perang gerilya. Sudirman tidak percaya bahwa Belanda akan mematuhi Perjanjian
Roem-Royen, belajar dari kegagalan perjanjian sebelumnya. Soekarno tidak setuju,
yang menjadi pukulan bagi Sudirman. 

Sudirman menyalahkan ketidak-konsistenan pemerintah sebagai penyebab penyakit


tuberkulosisnya dan kematian Oerip pada 1948, ia mengancam akan mengundurkan
diri dari jabatannya, namun Soekarno juga mengancam akan melakukan hal yang
sama.  Dan gencatan senjata di seluruh Jawa mulai diberlakukan pada tanggal 11
Agustus 1949.

Sudirman terus berjuang melawan penyakit yang dideritanya TBC dengan melakukan
pemeriksaan di Panti Rapih. Ia menginap di Panti Rapih pada tahun 1949, dan keluar
pada bulan Oktober, ia lalu dipindahkan ke sebuah sanatorium di dekat Pakem. Akibat
penyakitnya ini, ia jarang tampil di depan publik.
Sudirman dipindahkan ke sebuah rumah di Magelang pada bulan Desember 1949. Di
saat yang bersamaan, pemerintah Indonesia dan Belanda mengadakan konferensi
panjang selama beberapa bulan yang berakhir dengan pengakuan Belanda atas
kedaulatan Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949.

Meskipun sedang sakit, Sudirman saat itu juga diangkat sebagai panglima besar TNI di
negara baru bernama Republik Indonesia Serikat. Pada tanggal 28 Desember 1949,
Jakarta kembali dijadikan sebagai ibu kota negara.

Sudirman wafat di Magelang pada tanggal 29 Januari 1950. Keesokan harinya, jenazah
Soedirman dibawa ke Yogyakarta, dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan
Semaki. Ia dikebumikan di sebelah makam Oerip.

Penghargaan

Sudirman dipromosikan menjadi jenderal penuh dan merupakan satu-satunya jenderal


termuda yang pernah dimiliki oleh Indonesia. Tidak hanya itu ia juga telah menerima
berbagai tanda kehormatan dari pemerintah pusat antara lain; Bintang Sakti, Bintang
Gerilya, Bintang Mahaputra Adipurna, Bintang Mahaputra Pratama, Bintang Republik
Indonesia Adipurna, dan Bintang Republik Indonesia Adipradana. Pada tanggal 10
Desember 1964, Sudirman ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia melalui
Keputusan Presiden No. 314 Tahun 1964.

Rumah masa kecilnya di Purbalingga saat ini menjadi Museum Sudirman, sedangkan
rumah dinasnya di Yogyakarta dijadikan Museum Sasmitaloka Jenderal Sudirman,
Rumah kelahirannya di Magelang juga dijadikan Museum Sudirman, yang didirikan
pada tanggal 18 Mei 1967. Sejumlah jalan juga dinamai sesuai namanya, termasuk
sebuah jalan utama di Jakarta. Patung dan monumen yang didedikasikan untuk dirinya
juga tersebar di seluruh negeri, sebagian besarnya dibangun setelah tahun 1970.
Informasi Biografi di atas ini kami sadur dari berbagai sumber, namun kami tidak
menjamin akan kebenarannya. Jika ada kesalahan atau kekurangan dalam penulisan
atau informasi yang kami sampaikan di atas kami mohon maaf dan berharap agar Anda
bisa membetulkannya melalui kotak komentar atau bisa menghubungi kami melalui
email kami. Terima kasih.

Majapahit
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Untuk kegunaan lain dari Majapahit, lihat Majapahit (disambiguasi).

Majapahit

1293–1527

Surya Majapahit*

Peta wilayah kekuasaan Majapahit berdasarkan


Nagarakertagama; keakuratan wilayah kekuasaan Majapahit
menurut penggambaran orang Jawa masih diperdebatkan.[1]

Majapahit, Wilwatikta
Ibu kota
(Trowulan)

Bahasa Jawa Kuno, Sanskerta

Siwa-Buddha (Hindu dan


Agama
Buddha), Kejawen, Animisme
Bentuk Pemerintahan Monarki

Raja

 -  1293-1309 Kertarajasa Jayawardhana

 -  1350-1389 Hayam Wuruk

 -  1478-1498 Girindrawardhana

Sejarah

 -  Penobatan Raden Wijaya 10 November 1293 1293

 -  Invasi Demak 1527

Koin emas dan perak, kepeng


Mata uang (koin perunggu yang diimpor
dari Tiongkok)

Pendahulu Pengganti

Singhasari Kesultanan Demak

*Surya Majapahit adalah lambang yang umumnya dapat ditemui


di reruntuhan Majapahit, sehingga Surya Majapahit mungkin
merupakan simbol kerajaan Majapahit

Bagian dari seri artikel mengenai


Sejarah Indonesia

Lihat pula:

Garis waktu sejarah Indonesia


Sejarah Nusantara

Prasejarah

Kerajaan Hindu-Buddha

Salakanagara (130-362)
Kutai (abad ke-4)

Tarumanagara (358–669)

Kendan (536–612)

Galuh (612-1528)

Kalingga (abad ke-6 sampai ke-7)

Sriwijaya (abad ke-7 sampai ke-13)

Sailendra (abad ke-8 sampai ke-9)

Kerajaan Medang (752–1006)

Kerajaan Kahuripan (1006–1045)

Kerajaan Sunda (932–1579)

Kediri (1045–1221)

Dharmasraya (abad ke-12 sampai ke-14)

Singhasari (1222–1292)

Majapahit (1293–1500)

Malayapura (abad ke-14 sampai ke-15)

Kerajaan Islam

Penyebaran Islam (1200-1600)

Kesultanan Samudera Pasai (1267-1521)

Kesultanan Ternate (1257–sekarang)

Kerajaan Pagaruyung (1500-1825)

Kesultanan Malaka (1400–1511)

Kerajaan Inderapura (1500-1792)

Kesultanan Demak (1475–1548)

Kesultanan Kalinyamat (1527–1599)

Kesultanan Aceh (1496–1903)

Kesultanan Banjar (1520–1860)


Kesultanan Banten (1527–1813)

Kesultanan Cirebon (1430 - 1666)

Kerajaan Tayan (Abad Ke-15-sekarang)

Kesultanan Mataram (1588—1681)

Kesultanan Palembang (1659-1823)

Kesultanan Siak (1723-1945)

Kesultanan Pelalawan (1725-1946)

Kerajaan Kristen

Kerajaan Larantuka (1600-1904)

Kolonialisme bangsa Eropa

Portugis (1512–1850)

VOC (1602-1800)

Belanda (1800–1942)

Kemunculan Indonesia

Kebangkitan Nasional (1899-1942)

Pendudukan Jepang (1942–1945)

Revolusi nasional (1945–1950)

Indonesia Merdeka

Orde Lama (1950–1959)

Demokrasi Terpimpin (1959–1965)

Masa Transisi (1965–1966)

Orde Baru (1966–1998)

Era Reformasi (1998–sekarang)

 Portal  Indonesia

 lihat
 bicara
 sunting

Majapahit adalah sebuah kerajaan yang berpusat di Jawa Timur, Indonesia, yang pernah berdiri
dari sekitar tahun 1293 hingga 1500 M. Kerajaan ini mencapai puncak kejayaannya menjadi
kemaharajaan raya yang menguasai wilayah yang luas di Nusantara pada masa kekuasaan
Hayam Wuruk, yang berkuasa dari tahun 1350 hingga 1389.

Kerajaan Majapahit adalah kerajaan Hindu-Buddha terakhir yang menguasai Nusantara dan
dianggap sebagai salah satu dari negara terbesar dalam sejarah Indonesia.[2] Menurut
Negarakertagama, kekuasaannya terbentang di Jawa, Sumatra, Semenanjung Malaya,
Kalimantan, hingga Indonesia timur, meskipun wilayah kekuasaannya masih diperdebatkan.[3]

Daftar isi

 1 Historiografi
 2 Sejarah
o 2.1 Berdirinya Majapahit
o 2.2 Kejayaan Majapahit
o 2.3 Jatuhnya Majapahit
 3 Kebudayaan
 4 Ekonomi
 5 Struktur pemerintahan
o 5.1 Aparat birokrasi
o 5.2 Pembagian wilayah
 6 Raja-raja Majapahit
 7 Warisan sejarah
o 7.1 Legitimasi politik
 7.1.1 Arsitektur
 7.1.2 Persenjataan
 8 Kesenian modern
o 8.1 Puisi lama
o 8.2 Komik dan strip komik
o 8.3 Roman/novel sejarah
o 8.4 Film/sinetron
o 8.5 Video Games/Permainan Komputer
 9 Referensi
o 9.1 Bibliografi
 10 Lihat pula
 11 Pranala luar
Historiografi

Hanya terdapat sedikit bukti fisik dari sisa-sisa Kerajaan Majapahit,[4] dan sejarahnya tidak jelas.
[5]
Sumber utama yang digunakan oleh para sejarawan adalah Pararaton ('Kitab Raja-raja') dalam
bahasa Kawi dan Nagarakretagama[6] dalam bahasa Jawa Kuno.[7] Pararaton terutama
menceritakan Ken Arok (pendiri Kerajaan Singhasari) namun juga memuat beberapa bagian
pendek mengenai terbentuknya Majapahit. Sementara itu, Nagarakertagama merupakan puisi
Jawa Kuno yang ditulis pada masa keemasan Majapahit di bawah pemerintahan Hayam Wuruk.
Kakawin Nagarakretagama pada tahun 2008 diakui sebagai bagian dalam Daftar Ingatan Dunia
(Memory of the World Programme) oleh UNESCO.[8] Setelah masa itu, hal yang terjadi tidaklah
jelas.[9] Selain itu, terdapat beberapa prasasti dalam bahasa Jawa Kuno maupun catatan sejarah
dari Tiongkok dan negara-negara lain.[9]

Keakuratan semua naskah berbahasa Jawa tersebut dipertentangkan. Tidak dapat disangkal
bahwa sumber-sumber itu memuat unsur non-historis dan mitos. Beberapa sarjana seperti C.C.
Berg menganggap semua naskah tersebut bukan catatan masa lalu, tetapi memiliki arti
supernatural dalam hal dapat mengetahui masa depan.[10] Namun, banyak pula sarjana yang
beranggapan bahwa garis besar sumber-sumber tersebut dapat diterima karena sejalan dengan
catatan sejarah dari Tiongkok, khususnya daftar penguasa dan keadaan kerajaan yang tampak
cukup pasti.[5] Tahun 2010 sekelompok pengusaha Jepang dipimpin Takajo Yoshiaki membiayai
pembuatan kapal Majapahit atau Spirit Majapahit yang akan berlayar ke Asia. Menurut Takajo,
hal ini dilakukan untuk mengenang kerjasama Majapahit dan Kerajaan Jepang melawan
Kerajaan China (Mongol) dalam perang di Samudera Pasifik.[11] Menurut Guru Besar Arkeologi
Asia Tenggara National University of Singapore John N. Miksic jangkauan kekuasaan Majapahit
meliputi Sumatera dan Singapura bahkan Thailand yang dibuktikan dengan pengaruh
kebudayaan, corak bangunan, candi, patung dan seni.[12] Bahkan ada perguruan silat bernama
Kali Majapahit yang berasal dari Filipina dengan anggotanya dari Asia dan Amerika. Silat Kali
Majapahit ini mengklaim berakar dari Kerajaan Majapahit kuno yang disebut menguasai
Filipina, Singapura, Malaysia dan Selatan Thailand.[13]

Sejarah

Berdirinya Majapahit
Arca Harihara (paduan Siwa dan Wisnu) perwujudan Kertarajasa dari Candi Simping, Blitar, kini koleksi
Museum Nasional.

Sebelum berdirinya Majapahit, Singhasari telah menjadi kerajaan paling kuat di Jawa. Hal ini
menjadi perhatian Kubilai Khan, penguasa Dinasti Yuan di Tiongkok. Ia mengirim utusan yang
bernama Meng Chi[14] ke Singhasari yang menuntut upeti. Kertanagara, penguasa kerajaan
Singhasari yang terakhir menolak untuk membayar upeti dan mempermalukan utusan tersebut
dengan merusak wajahnya dan memotong telinganya.[14][15] Kubilai Khan marah dan lalu
memberangkatkan ekspedisi besar ke Jawa tahun 1293.

Ketika itu, Jayakatwang, adipati Kediri, sudah menggulingkan dan membunuh Kertanegara. Atas
saran Aria Wiraraja, Jayakatwang memberikan pengampunan kepada Raden Wijaya, menantu
Kertanegara, yang datang menyerahkan diri. Kemudian, Wiraraja mengirim utusan ke Daha,
yang membawa surat berisi pernyataan, Raden Wijaya menyerah dan ingin mengabdi kepada
Jayakatwang.[16] Jawaban dari surat di atas disambut dengan senang hati.[16] Raden Wijaya
kemudian diberi hutan Tarik. Ia membuka hutan itu dan membangun desa baru. Desa itu dinamai
Majapahit, yang namanya diambil dari buah maja, dan rasa "pahit" dari buah tersebut. Ketika
pasukan Mongol tiba, Wijaya bersekutu dengan pasukan Mongol untuk bertempur melawan
Jayakatwang. Setelah berhasil menjatuhkan Jayakatwang, Raden Wijaya berbalik menyerang
sekutu Mongolnya sehingga memaksa mereka menarik pulang kembali pasukannya secara
kalang-kabut karena mereka berada di negeri asing.[17][18] Saat itu juga merupakan kesempatan
terakhir mereka untuk menangkap angin muson agar dapat pulang, atau mereka terpaksa harus
menunggu enam bulan lagi di pulau yang asing.

Tanggal pasti yang digunakan sebagai tanggal kelahiran kerajaan Majapahit adalah hari
penobatan Raden Wijaya sebagai raja, yaitu tanggal 15 bulan Kartika tahun 1215 saka yang
bertepatan dengan tanggal 10 November 1293. Ia dinobatkan dengan nama resmi Kertarajasa
Jayawardhana. Kerajaan ini menghadapi masalah. Beberapa orang terpercaya Kertarajasa,
termasuk Ranggalawe, Sora, dan Nambi memberontak melawannya, meskipun pemberontakan
tersebut tidak berhasil. Pemberontakan Ranggalawe ini didukung oleh Panji Mahajaya, Ra Arya
Sidi, Ra Jaran Waha, Ra Lintang, Ra Tosan, Ra Gelatik, dan Ra Tati. Semua ini tersebut
disebutkan dalam Pararaton.[19] Slamet Muljana menduga bahwa mahapatih Halayudha lah yang
melakukan konspirasi untuk menjatuhkan semua orang tepercaya raja, agar ia dapat mencapai
posisi tertinggi dalam pemerintahan. Namun setelah kematian pemberontak terakhir (Kuti),
Halayudha ditangkap dan dipenjara, dan lalu dihukum mati.[18] Wijaya meninggal dunia pada
tahun 1309.

Putra dan penerus Wijaya adalah Jayanegara. Pararaton menyebutnya Kala Gemet, yang berarti
"penjahat lemah". Kira-kira pada suatu waktu dalam kurun pemerintahan Jayanegara, seorang
pendeta Italia, Odorico da Pordenone mengunjungi keraton Majapahit di Jawa. Pada tahun 1328,
Jayanegara dibunuh oleh tabibnya, Tanca. Ibu tirinya yaitu Gayatri Rajapatni seharusnya
menggantikannya, akan tetapi Rajapatni memilih mengundurkan diri dari istana dan menjadi
bhiksuni. Rajapatni menunjuk anak perempuannya Tribhuwana Wijayatunggadewi untuk
menjadi ratu Majapahit. Pada tahun 1336, Tribhuwana menunjuk Gajah Mada sebagai
Mahapatih, pada saat pelantikannya Gajah Mada mengucapkan Sumpah Palapa yang
menunjukkan rencananya untuk melebarkan kekuasaan Majapahit dan membangun sebuah
kemaharajaan. Selama kekuasaan Tribhuwana, kerajaan Majapahit berkembang menjadi lebih
besar dan terkenal di kepulauan Nusantara. Tribhuwana berkuasa di Majapahit sampai kematian
ibunya pada tahun 1350. Ia diteruskan oleh putranya, Hayam Wuruk.

Kejayaan Majapahit

Perkembangan Kemaharajaan Majapahit, bermula di Trowulan, Majapahit, Jawa Timur, pada


abad ke-13, kemudian mengembangkan pengaruhnya atas kepulauan Nusantara, hingga surut dan
runtuh pada awal abad ke-16.

Hayam Wuruk, juga disebut Rajasanagara, memerintah Majapahit dari tahun 1350 hingga 1389.
Pada masanya Majapahit mencapai puncak kejayaannya dengan bantuan mahapatihnya, Gajah
Mada. Di bawah perintah Gajah Mada (1313-1364), Majapahit menguasai lebih banyak wilayah.

Menurut Kakawin Nagarakretagama pupuh XIII-XV, daerah kekuasaan Majapahit meliputi


Sumatra, semenanjung Malaya, Kalimantan, Sulawesi, kepulauan Nusa Tenggara, Maluku,
Papua, Tumasik (Singapura) dan sebagian kepulauan Filipina.[20] Sumber ini menunjukkan batas
terluas sekaligus puncak kejayaan Kemaharajaan Majapahit.
Namun, batasan alam dan ekonomi menunjukkan bahwa daerah-daerah kekuasaan tersebut
tampaknya tidaklah berada di bawah kekuasaan terpusat Majapahit, tetapi terhubungkan satu
sama lain oleh perdagangan yang mungkin berupa monopoli oleh raja.[21] Majapahit juga
memiliki hubungan dengan Campa, Kamboja, Siam, Birma bagian selatan, dan Vietnam, dan
bahkan mengirim duta-dutanya ke Tiongkok.[2][21]

Selain melancarkan serangan dan ekspedisi militer, Majapahit juga menempuh jalan diplomasi
dan menjalin persekutuan. Kemungkinan karena didorong alasan politik, Hayam Wuruk
berhasrat mempersunting Citraresmi (Pitaloka), putri Kerajaan Sunda sebagai permaisurinya.[22]
Pihak Sunda menganggap lamaran ini sebagai perjanjian persekutuan. Pada 1357 rombongan raja
Sunda beserta keluarga dan pengawalnya bertolak ke Majapahit mengantarkan sang putri untuk
dinikahkan dengan Hayam Wuruk. Akan tetapi Gajah Mada melihat hal ini sebagai peluang
untuk memaksa kerajaan Sunda takluk di bawah Majapahit. Pertarungan antara keluarga kerajaan
Sunda dengan tentara Majapahit di lapangan Bubat tidak terelakkan. Meski dengan gagah berani
memberikan perlawanan, keluarga kerajaan Sunda kewalahan dan akhirnya dikalahkan. Hampir
seluruh rombongan keluarga kerajaan Sunda dapat dibinasakan secara kejam.[23] Tradisi
menyebutkan bahwa sang putri yang kecewa, dengan hati remuk redam melakukan "bela pati",
bunuh diri untuk membela kehormatan negaranya.[24] Kisah Pasunda Bubat menjadi tema utama
dalam naskah Kidung Sunda yang disusun pada zaman kemudian di Bali dan juga naskah Carita
Parahiyangan. Kisah ini disinggung dalam Pararaton tetapi sama sekali tidak disebutkan dalam
Nagarakretagama.

Kakawin Nagarakretagama yang disusun pada tahun 1365 menyebutkan budaya keraton yang
adiluhung, anggun, dan canggih, dengan cita rasa seni dan sastra yang halus dan tinggi, serta
sistem ritual keagamaan yang rumit. Sang pujangga menggambarkan Majapahit sebagai pusat
mandala raksasa yang membentang dari Sumatera ke Papua, mencakup Semenanjung Malaya
dan Maluku. Tradisi lokal di berbagai daerah di Nusantara masih mencatat kisah legenda
mengenai kekuasaan Majapahit. Administrasi pemerintahan langsung oleh kerajaan Majapahit
hanya mencakup wilayah Jawa Timur dan Bali, di luar daerah itu hanya semacam pemerintahan
otonomi luas, pembayaran upeti berkala, dan pengakuan kedaulatan Majapahit atas mereka.
Akan tetapi segala pemberontakan atau tantangan bagi ketuanan Majapahit atas daerah itu dapat
mengundang reaksi keras.[25]

Pada tahun 1377, beberapa tahun setelah kematian Gajah Mada, Majapahit melancarkan
serangan laut untuk menumpas pemberontakan di Palembang.[2]

Meskipun penguasa Majapahit memperluas kekuasaannya pada berbagai pulau dan kadang-
kadang menyerang kerajaan tetangga, perhatian utama Majapahit nampaknya adalah
mendapatkan porsi terbesar dan mengendalikan perdagangan di kepulauan Nusantara. Pada saat
inilah pedagang muslim dan penyebar agama Islam mulai memasuki kawasan ini.

Jatuhnya Majapahit
Bidadari Majapahit, arca emas apsara gaya Majapahit menggambarkan zaman kerajaan
Majapahit sebagai "zaman keemasan" Nusantara.

Terakota wajah yang dipercaya sebagai potret Gajah Mada.

Sesudah mencapai puncaknya pada abad ke-14, kekuasaan Majapahit berangsur-angsur


melemah. Setelah wafatnya Hayam Wuruk pada tahun 1389, Majapahit memasuki masa
kemunduran akibat konflik perebutan takhta. Pewaris Hayam Wuruk adalah putri mahkota
Kusumawardhani, yang menikahi sepupunya sendiri, pangeran Wikramawardhana. Hayam
Wuruk juga memiliki seorang putra dari selirnya Wirabhumi yang juga menuntut haknya atas
takhta.[5] Perang saudara yang disebut Perang Paregreg diperkirakan terjadi pada tahun 1405-
1406, antara Wirabhumi melawan Wikramawardhana. Perang ini akhirnya dimenangi
Wikramawardhana, semetara Wirabhumi ditangkap dan kemudian dipancung. Tampaknya
perang saudara ini melemahkan kendali Majapahit atas daerah-daerah taklukannya di seberang.

Pada kurun pemerintahan Wikramawardhana, serangkaian ekspedisi laut Dinasti Ming yang
dipimpin oleh laksamana Cheng Ho, seorang jenderal muslim China, tiba di Jawa beberapa kali
antara kurun waktu 1405 sampai 1433. Sejak tahun 1430 ekspedisi Cheng Ho ini telah
menciptakan komunitas muslim China dan Arab di beberapa kota pelabuhan pantai utara Jawa,
seperti di Semarang, Demak, Tuban, dan Ampel; maka Islam pun mulai memiliki pijakan di
pantai utara Jawa.[26]

Wikramawardhana memerintah hingga tahun 1426, dan diteruskan oleh putrinya, Ratu Suhita,
yang memerintah pada tahun 1426 sampai 1447. Ia adalah putri kedua Wikramawardhana dari
seorang selir yang juga putri kedua Wirabhumi. Pada 1447, Suhita mangkat dan pemerintahan
dilanjutkan oleh Kertawijaya, adik laki-lakinya. Ia memerintah hingga tahun 1451. Setelah
Kertawijaya wafat, Bhre Pamotan menjadi raja dengan gelar Rajasawardhana dan memerintah di
Kahuripan. Ia wafat pada tahun 1453 AD. Terjadi jeda waktu tiga tahun tanpa raja akibat krisis
pewarisan takhta. Girisawardhana, putra Kertawijaya, naik takhta pada 1456. Ia kemudian wafat
pada 1466 dan digantikan oleh Singhawikramawardhana. Pada 1468 pangeran Kertabhumi
memberontak terhadap Singhawikramawardhana dan mengangkat dirinya sebagai raja
Majapahit.[9]

Ketika Majapahit didirikan, pedagang Muslim dan para penyebar agama sudah mulai memasuki
Nusantara. Pada akhir abad ke-14 dan awal abad ke-15, pengaruh Majapahit di seluruh
Nusantara mulai berkurang. Pada saat bersamaan, sebuah kerajaan perdagangan baru yang
berdasarkan Islam, yaitu Kesultanan Malaka, mulai muncul di bagian barat Nusantara.[27] Di
bagian barat kemaharajaan yang mulai runtuh ini, Majapahit tak kuasa lagi membendung
kebangkitan Kesultanan Malaka yang pada pertengahan abad ke-15 mulai menguasai Selat
Malaka dan melebarkan kekuasaannya ke Sumatera. Sementara itu beberapa jajahan dan daerah
taklukan Majapahit di daerah lainnya di Nusantara, satu per satu mulai melepaskan diri dari
kekuasaan Majapahit.

Sebuah tampilan model kapal Majapahit di Museum Negara Malaysia, Kuala Lumpur, Malaysia.

Setelah mengalami kekalahan dalam perebutan kekuasaan dengan Bhre Kertabumi,


Singhawikramawardhana mengasingkan diri ke pedalaman di Daha (bekas ibu kota Kerajaan
Kediri) dan terus melanjutkan pemerintahannya di sana hingga digantikan oleh putranya
Ranawijaya pada tahun 1474. Pada 1478 Ranawijaya mengalahkan Kertabhumi dengan
memanfaatkan ketidakpuasan umat Hindu dan Budha atas kebijakan Bhre Kertabumi serta
mempersatukan kembali Majapahit menjadi satu kerajaan. Ranawijaya memerintah pada kurun
waktu 1474 hingga 1498 dengan gelar Girindrawardhana hingga ia digulingkan oleh Patih
Udara. Akibat konflik dinasti ini, Majapahit menjadi lemah dan mulai bangkitnya kekuatan
kerajaan Demak yang didirikan oleh keturunan Bhre Wirabumi di pantai utara Jawa.
Waktu berakhirnya Kemaharajaan Majapahit berkisar pada kurun waktu tahun 1478 (tahun 1400
saka, berakhirnya abad dianggap sebagai waktu lazim pergantian dinasti dan berakhirnya suatu
pemerintahan[28]) hingga tahun 1518.

Dalam tradisi Jawa ada sebuah kronogram atau candrasengkala yang berbunyi sirna ilang
kretaning bumi. Sengkala ini konon adalah tahun berakhirnya Majapahit dan harus dibaca
sebagai 0041, yaitu tahun 1400 Saka, atau 1478 Masehi. Arti sengkala ini adalah “sirna hilanglah
kemakmuran bumi”. Namun yang sebenarnya digambarkan oleh candrasengkala tersebut adalah
gugurnya Bhre Kertabumi, raja ke-11 Majapahit, oleh Girindrawardhana.[29] Raden Patah yang
saat itu adalah adipati Demak sebetulnya berupaya membantu ayahnya dengan mengirim bala
bantuan dipimpin oleh Sunan Ngudung, tetapi mengalami kekalahan bahkan Sunan Ngudung
meninggal di tangan Raden Kusen adik Raden Patah yang memihak Ranawijaya hingga para
dewan wali menyarankan Raden Fatah untuk meneruskan pembangunan masjid Demak.

Hal ini diperkuat oleh prasasti Jiyu dan Petak, Ranawijaya mengaku bahwa ia telah mengalahkan
Kertabhumi [29] dan memindahkan ibu kota ke Daha (Kediri). Peristiwa ini memicu perang antara
Ranawijaya dengan Kesultanan Demak, karena penguasa Demak adalah keturunan Kertabhumi.
Sebenarnya perang ini sudah mulai mereda ketika Patih Udara melakukan kudeta ke
Girindrawardhana dan mengakui kekuasan Demak bahkan menikahi anak termuda Raden Patah,
tetapi peperangan berkecamuk kembali ketika Prabu Udara meminta bantuan Portugis. Sehingga
pada tahun 1518, Demak melakukan serangan ke Daha yang mengakhiri sejarah Majapahit[30]
dan ke Malaka. Sejumlah besar abdi istana, seniman, pendeta, dan anggota keluarga kerajaan
mengungsi ke pulau Bali. Pengungsian ini kemungkinan besar untuk menghindari pembalasan
dan hukuman dari Demak akibat selama ini mereka mendukung Ranawijaya melawan
Kertabhumi.

Dengan jatuhnya Daha yang dihancurkan oleh Demak pada tahun 1518, kekuatan kerajaan Islam
pada awal abad ke-16 akhirnya mengalahkan sisa kerajaan Majapahit.[31] Demak di bawah
pemerintahan Raden (kemudian menjadi Sultan) Patah (Fatah), diakui sebagai penerus kerajaan
Majapahit. Menurut Babad Tanah Jawi dan tradisi Demak, legitimasi Raden Patah karena ia
adalah putra raja Majapahit Brawijaya V dengan seorang putri China.

Catatan sejarah dari Tiongkok, Portugis (Tome Pires), dan Italia (Pigafetta) mengindikasikan
bahwa telah terjadi perpindahan kekuasaan Majapahit dari tangan penguasa Hindu ke tangan
Adipati Unus, penguasa dari Kesultanan Demak, antara tahun 1518 dan 1521 M.[29]

Demak memastikan posisinya sebagai kekuatan regional dan menjadi kerajaan Islam pertama
yang berdiri di tanah Jawa. Saat itu setelah keruntuhan Majapahit, sisa kerajaan Hindu yang
masih bertahan di Jawa hanya tinggal kerajaan Blambangan di ujung timur, serta Kerajaan Sunda
yang beribukota di Pajajaran di bagian barat. Perlahan-lahan Islam mulai menyebar seiring
mundurnya masyarakat Hindu ke pegunungan dan ke Bali. Beberapa kantung masyarakat Hindu
Tengger hingga kini masih bertahan di pegunungan Tengger, kawasan Bromo dan Semeru.
Kebudayaan

Bendera Majapahit

Gapura Bajang Ratu, gerbang masuk salah satu kompleks bangunan penting di ibu kota Majapahit.
Bangunan ini masih tegak berdiri di Trowulan.

"Dari semua bangunan, tidak ada tiang yang luput dari ukiran halus dan warna indah" [Dalam
lingkungan dikelilingi tembok] "terdapat pendopo anggun beratap ijuk, indah bagai
pemandangan dalam lukisan... Kelopak bunga katangga gugur tertiup angin dan bertaburan di
atas atap. Atap itu bagaikan rambut gadis yang berhiaskan bunga, menyenangkan hati siapa saja
yang memandangnya".

— Gambaran ibu kota Majapahit kutipan dari Nagarakertagama.

Nagarakretagama menyebutkan budaya keraton yang adiluhung dan anggun, dengan cita rasa
seni dan sastra yang halus, serta sistem ritual keagamaan yang rumit. Peristiwa utama dalam
kalender tata negara digelar tiap hari pertama bulan Caitra (Maret-April) ketika semua utusan
dari semua wilayah taklukan Majapahit datang ke istana untuk membayar upeti atau pajak.
Kawasan Majapahit secara sederhana terbagi dalam tiga jenis: keraton termasuk kawasan ibu
kota dan sekitarnya; wilayah-wilayah di Jawa Timur dan Bali yang secara langsung dikepalai
oleh pejabat yang ditunjuk langsung oleh raja; serta wilayah-wilayah taklukan di kepulauan
Nusantara yang menikmati otonomi luas.[32]
Ibu kota Majapahit di Trowulan merupakan kota besar dan terkenal dengan perayaan besar
keagamaan yang diselenggarakan setiap tahun. Agama Buddha, Siwa, dan Waisnawa (pemuja
Wisnu) dipeluk oleh penduduk Majapahit, dan raja dianggap sekaligus titisan Buddha, Siwa,
maupun Wisnu. Nagarakertagama sama sekali tidak menyinggung tentang Islam, akan tetapi
sangat mungkin terdapat beberapa pegawai atau abdi istana muslim saat itu.[2]

Walaupun batu bata telah digunakan dalam candi pada masa sebelumnya, arsitek Majapahitlah
yang paling ahli menggunakannya.[33] Candi-candi Majapahit berkualitas baik secara geometris
dengan memanfaatkan getah tumbuhan merambat dan gula merah sebagai perekat batu bata.
Contoh candi Majapahit yang masih dapat ditemui sekarang adalah Candi Tikus dan Gapura
Bajang Ratu di Trowulan, Mojokerto. Beberapa elemen arsitektur berasal dari masa Majapahit,
antara lain gerbang terbelah candi bentar, gapura paduraksa (kori agung) beratap tinggi, dan
pendopo berdasar struktur bata. Gaya bangunan seperti ini masih dapat ditemukan dalam
arsitektur Jawa dan Bali.

".... Raja [Jawa] memiliki bawahan tujuh raja bermahkota. [Dan] pulaunya berpenduduk banyak,
merupakan pulau terbaik kedua yang pernah ada.... Raja pulau ini memiliki istana yang luar biasa
mengagumkan. Karena sangat besar, tangga dan bagian dalam ruangannya berlapis emas dan
perak, bahkan atapnya pun bersepuh emas. Kini Khan Agung dari China beberapa kali berperang
melawan raja ini; akan tetapi selalu gagal dan raja ini selalu berhasil mengalahkannya."

— Gambaran Majapahit menurut Mattiussi (Pendeta Odorico da Pordenone).[34]

Catatan yang berasal dari sumber Italia mengenai Jawa pada era Majapahit didapatkan dari
catatan perjalanan Mattiussi, seorang pendeta Ordo Fransiskan dalam bukunya: "Perjalanan
Pendeta Odorico da Pordenone". Ia mengunjungi beberapa tempat di Nusantara: Sumatera, Jawa,
dan Banjarmasin di Kalimantan. Ia dikirim Paus untuk menjalankan misi Katolik di Asia
Tengah. Pada 1318 ia berangkat dari Padua, menyeberangi Laut Hitam dan menembus Persia,
terus hingga mencapai Kolkata, Madras, dan Srilanka. Lalu menuju kepulauan Nikobar hingga
mencapai Sumatera, lalu mengunjungi Jawa dan Banjarmasin. Ia kembali ke Italia melalui jalan
darat lewat Vietnam, China, terus mengikuti Jalur Sutra menuju Eropa pada 1330.

Di buku ini ia menyebut kunjungannya di Jawa tanpa menjelaskan lebih rinci nama tempat yang
ia kunjungi. Disebutkan raja Jawa menguasai tujuh raja bawahan. Disebutkan juga di pulau ini
terdapat banyak cengkeh, kemukus, pala, dan berbagai rempah-rempah lainnya. Ia menyebutkan
istana raja Jawa sangat mewah dan mengagumkan, penuh bersepuh emas dan perak. Ia juga
menyebutkan raja Mongol beberapa kali berusaha menyerang Jawa, tetapi selalu gagal dan
berhasil diusir kembali. Kerajaan Jawa yang disebutkan di sini tak lain adalah Majapahit yang
dikunjungi pada suatu waktu dalam kurun 1318-1330 pada masa pemerintahan Jayanegara.
Ekonomi

Celengan zaman Majapahit, abad 14-15 Masehi Trowulan, Jawa Timur. (Koleksi Museum Gajah, Jakarta)

Majapahit merupakan negara agraris dan sekaligus negara perdagangan.[21] Pajak dan denda
dibayarkan dalam uang tunai. Ekonomi Jawa telah sebagian mengenal mata uang sejak abad ke-8
pada masa kerajaan Medang yang menggunakan butiran dan keping uang emas dan perak.
Sekitar tahun 1300, pada masa pemerintahan raja pertama Majapahit, sebuah perubahan moneter
penting terjadi: keping uang dalam negeri diganti dengan uang "kepeng" yaitu keping uang
tembaga impor dari China. Pada November 2008 sekitar 10.388 keping koin China kuno seberat
sekitar 40 kilogram digali dari halaman belakang seorang penduduk di Sidoarjo. Badan
Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Timur memastikan bahwa koin tersebut berasal
dari era Majapahit.[35] Alasan penggunaan uang logam atau koin asing ini tidak disebutkan dalam
catatan sejarah, akan tetapi kebanyakan ahli menduga bahwa dengan semakin kompleksnya
ekonomi Jawa, maka diperlukan uang pecahan kecil atau uang receh dalam sistem mata uang
Majapahit agar dapat digunakan dalam aktivitas ekonomi sehari-hari di pasar Majapahit. Peran
ini tidak cocok dan tidak dapat dipenuhi oleh uang emas dan perak yang mahal.[32]

Beberapa gambaran mengenai skala ekonomi dalam negeri Jawa saat itu dikumpulkan dari
berbagai data dan prasasti. Prasasti Canggu yang berangka tahun 1358 menyebutkan sebanyak
78 titik perlintasan berupa tempat perahu penyeberangan di dalam negeri (mandala Jawa).[32]
Prasasti dari masa Majapahit menyebutkan berbagai macam pekerjaan dan spesialisasi karier,
mulai dari pengrajin emas dan perak, hingga penjual minuman, dan jagal atau tukang daging.
Meskipun banyak di antara pekerjaan-pekerjaan ini sudah ada sejak zaman sebelumnya, namun
proporsi populasi yang mencari pendapatan dan bermata pencarian di luar pertanian semakin
meningkat pada era Majapahit.

Menurut catatan Wang Ta-Yuan, pedagang Tiongkok, komoditas ekspor Jawa pada saat itu ialah
lada, garam, kain, dan burung kakak tua, sedangkan komoditas impornya adalah mutiara, emas,
perak, sutra, barang keramik, dan barang dari besi. Mata uangnya dibuat dari campuran perak,
timah putih, timah hitam, dan tembaga.[36] Selain itu, catatan Odorico da Pordenone, biarawan
Katolik Roma dari Italia yang mengunjungi Jawa pada tahun 1321, menyebutkan bahwa istana
raja Jawa penuh dengan perhiasan emas, perak, dan permata.[37]
Kemakmuran Majapahit diduga karena dua faktor. Faktor pertama; lembah sungai Brantas dan
Bengawan Solo di dataran rendah Jawa Timur utara sangat cocok untuk pertanian padi. Pada
masa jayanya Majapahit membangun berbagai infrastruktur irigasi, sebagian dengan dukungan
pemerintah. Faktor kedua; pelabuhan-pelabuhan Majapahit di pantai utara Jawa mungkin sekali
berperan penting sebagai pelabuhan pangkalan untuk mendapatkan komoditas rempah-rempah
Maluku. Pajak yang dikenakan pada komoditas rempah-rempah yang melewati Jawa merupakan
sumber pemasukan penting bagi Majapahit.[32]

Nagarakretagama menyebutkan bahwa kemashuran penguasa Wilwatikta telah menarik banyak


pedagang asing, di antaranya pedagang dari India, Khmer, Siam, dan China. Pajak khusus
dikenakan pada orang asing terutama yang menetap semi-permanen di Jawa dan melakukan
pekerjaan selain perdagangan internasional. Majapahit memiliki pejabat sendiri untuk mengurusi
pedagang dari India dan Tiongkok yang menetap di ibu kota kerajaan maupun berbagai tempat
lain di wilayah Majapahit di Jawa.[38]

Struktur pemerintahan

Majapahit memiliki struktur pemerintahan dan susunan birokrasi yang teratur pada masa
pemerintahan Hayam Wuruk, dan tampaknya struktur dan birokrasi tersebut tidak banyak
berubah selama perkembangan sejarahnya.[39] Raja dianggap sebagai penjelmaan dewa di dunia
dan ia memegang otoritas politik tertinggi.

Aparat birokrasi

Raja dibantu oleh sejumlah pejabat birokrasi dalam melaksanakan pemerintahan, dengan para
putra dan kerabat dekat raja memiliki kedudukan tinggi. Perintah raja biasanya diturunkan
kepada pejabat-pejabat di bawahnya, antara lain yaitu:

 Rakryan Mahamantri Katrini, biasanya dijabat putra-putra raja


 Rakryan Mantri ri Pakira-kiran, dewan menteri yang melaksanakan pemerintahan
 Dharmmadhyaksa, para pejabat hukum keagamaan
 Dharmma-upapatti, para pejabat keagamaan

Dalam Rakryan Mantri ri Pakira-kiran terdapat seorang pejabat yang terpenting yaitu Rakryan
Mapatih atau Patih Hamangkubhumi. Pejabat ini dapat dikatakan sebagai perdana menteri yang
bersama-sama raja dapat ikut melaksanakan kebijaksanaan pemerintahan. Selain itu, terdapat
pula semacam dewan pertimbangan kerajaan yang anggotanya para sanak saudara raja, yang
disebut Bhattara Saptaprabhu.

Pembagian wilayah
Kawasan inti Majapahit dan provinsinya (Mancanagara) di kawasan Jawa Timur dan Jawa Tengah,
termasuk pulau Madura dan Bali.

Dalam pembentukannya, kerajaan Majapahit merupakan kelanjutan Singhasari,[18] terdiri atas


beberapa kawasan tertentu di bagian timur dan bagian tengah Jawa. Daerah ini diperintah oleh
uparaja yang disebut Paduka Bhattara yang bergelar Bhre atau "Bhatara i". Gelar ini adalah gelar
tertinggi bangsawan kerajaan. Biasanya posisi ini hanyalah untuk kerabat dekat raja. Tugas
mereka adalah untuk mengelola kerajaan mereka, memungut pajak, dan mengirimkan upeti ke
pusat, dan mengelola pertahanan di perbatasan daerah yang mereka pimpin.

Selama masa pemerintahan Hayam Wuruk (1350 s.d. 1389) ada 12 wilayah di Majapahit, yang
dikelola oleh kerabat dekat raja. Hierarki dalam pengklasifikasian wilayah di kerajaan Majapahit
dikenal sebagai berikut:

1. Bhumi: kerajaan, diperintah oleh Raja


2. Nagara: diperintah oleh rajya (gubernur), atau natha (tuan), atau bhre (pangeran atau
bangsawan)
3. Watek: dikelola oleh wiyasa,
4. Kuwu: dikelola oleh lurah,
5. Wanua: dikelola oleh thani,
6. Kabuyutan: dusun kecil atau tempat sakral.

Hubungan
No Provinsi Gelar Penguasa
dengan Raja

Kahuripan (atau
Bhre
1 Janggala, sekarang Tribhuwanatunggadewi ibu suri
Kahuripan
Sidoarjo)

Daha (bekas ibukota bibi sekaligus ibu


2 Bhre Daha Rajadewi Maharajasa
dari Kediri) mertua

Tumapel (bekas
Bhre
3 ibukota dari Kertawardhana ayah
Tumapel
Singhasari)
Wengker (sekarang Bhre paman sekaligus
4 Wijayarajasa
Ponorogo) Wengker ayah mertua

suami dari Putri


Matahun (sekarang Bhre
5 Rajasawardhana Lasem, sepupu
Bojonegoro) Matahun
raja

Wirabhumi Bhre
6 Bhre Wirabhumi1 anak
(Blambangan) Wirabhumi

Bhre saudara laki-laki


7 Paguhan Singhawardhana
Paguhan ipar

8 Kabalan Bhre Kabalan Kusumawardhani2 anak perempuan

Bhre keponakan
9 Pawanuan Surawardhani
Pawanuan perempuan

Lasem (kota pesisir


10 Bhre Lasem Rajasaduhita Indudewi sepupu
di Jawa Tengah)

Pajang (sekarang saudara


11 Bhre Pajang Rajasaduhita Iswari
Surakarta) perempuan

Mataram (sekarang Bhre keponakan laki -


12 Wikramawardhana2
Yogyakarta) Mataram laki

Catatan:
1
Bhre Wirabhumi sebenarnya adalah gelar: Pangeran Wirabhumi (blambangan),
nama aslinya tidak diketahui dan sering disebut sebagai Bhre Wirabhumi dari
Pararaton. Dia menikah dengan Nagawardhani, keponakan perempuan raja.
2
Kusumawardhani (putri raja) menikah dengan Wikramawardhana (keponakan
laki-laki raja), pasangan ini lalu menjadi pewaris tahta.
Arca dewi Parwati sebagai perwujudan anumerta Tribhuwanattunggadewi, ratu Majapahit ibunda
Hayam Wuruk.

Sedangkan dalam Prasasti Wingun Pitu (1447 M) disebutkan bahwa pemerintahan Majapahit
dibagi menjadi 14 daerah bawahan, yang dipimpin oleh seseorang yang bergelar Bhre.[40]
Daerah-daerah bawahan tersebut yaitu:

 Kahuripan  Wengker  Kabalan  Jagaraga  Singhapura


(no. 1) (no. 4) (no. 8)  Keling  Tanjungpura
 Daha (no.  Matahun  Kembang  Kelinggapura
2) (no. 5) Jenar (no.
 Tumapel  Wirabumi 10)
(no. 3) (no. 6)  Pajang (no.
11)

Saat Majapahit memasuki era kemaharajaan Thalasokrasi saat pemerintahan Gajah Mada,
beberapa negara bagian di luar negeri juga termasuk dalam lingkaran pengaruh Majapahit,
sebagai hasilnya, konsep teritorial yang lebih besar pun terbentuk:

 Negara Agung, atau Negara Utama, inti kerajaan. Area awal Majapahit atau Majapahit Lama
selama masa pembentukannya sebelum memasuki era kemaharajaan. Yang termasuk area ini
adalah ibukota kerajaan dan wilayah sekitarnya dimana raja secara efektif menjalankan
pemerintahannya. Area ini meliputi setengah bagian timur Jawa, dengan semua provinsinya
yang dikelola oleh para Bhre (bangsawan), yang merupakan kerabat dekat raja.
 Mancanegara, area yang melingkupi Negara Agung. Area ini secara langsung dipengaruhi oleh
kebudayaan Jawa, dan wajib membayar upeti tahunan. Akan tetapi, area-area tersebut biasanya
memiliki penguasa atau raja pribumi, yang kemungkinan membentuk persekutuan atau menikah
dengan keluarga kerajaan Majapahit. Kerajaan Majapahit menempatkan birokrat dan
pegawainya di tempat-tempat ini dan mengatur kegiatan perdagangan luar negeri mereka dan
mengumpulkan pajak, namun mereka menikmati otonomi internal yang cukup besar. Wilayah
Mancanegara termasuk di dalamnya seluruh daerah Pulau Jawa lainnya, Madura, Bali, dan juga
Dharmasraya, Pagaruyung, Lampung dan Palembang di Sumatra.
 Nusantara, adalah area yang tidak mencerminkan kebudayaan Jawa, tetapi termasuk ke dalam
koloni dan mereka harus membayar upeti tahunan. Mereka menikmati otonomi yang cukup luas
dan kebebasan internal, dan Majapahit tidak merasa penting untuk menempatkan birokratnya
atau tentara militernya di sini; akan tetapi, tantangan apa pun yang terlihat mengancam
ketuanan Majapahit atas wilayah itu akan menuai reaksi keras. Termasuk dalam area ini adalah
kerajaan kecil dan koloni di Maluku, Kepulauan Nusa Tenggara, Sulawesi, Kalimantan, dan
Semenanjung Malaya.

Ketiga kategori itu masuk ke dalam lingkaran pengaruh Kerajaan Majapahit. Akan tetapi
Majapahit juga mengenal lingkup keempat yang didefinisikan sebagai hubungan diplomatik luar
negeri:

 Mitreka Satata, yang secara harafiah berarti "mitra dengan tatanan (aturan) yang sama". Hal itu
menunjukkan negara independen luar negeri yang dianggap setara oleh Majapahit, bukan
sebagai bawahan dalam kekuatan Majapahit. Menurut Negarakertagama pupuh 15, bangsa
asing adalah Syangkayodhyapura (Ayutthaya di Thailand), Dharmmanagari (Kerajaan Nakhon Si
Thammarat), Marutma, Rajapura dan Sinhanagari (kerajaan di Myanmar), Kerajaan Champa,
Kamboja (Kamboja), dan Yawana (Annam).[41] Mitreka Satata dapat dianggap sebagai aliansi
Majapahit, karena kerajaan asing di luar negeri seperti China dan India tidak termasuk dalam
kategori ini meskipun Majapahit telah melakukan hubungan luar negeri dengan kedua bangsa
ini.

Pola kesatuan politik khas sejarah Asia Tenggara purba seperti ini kemudian diidentifikasi oleh
sejarahwan modern sebagai "mandala", yaitu kesatuan yang politik ditentukan oleh pusat atau
inti kekuasaannya daripada perbatasannya, dan dapat tersusun atas beberapa unit politik bawahan
tanpa integrasi administratif lebih lanjut.[42] Daerah-daerah bawahan yang termasuk dalam
lingkup mandala Majapahit, yaitu wilayah Mancanegara dan Nusantara, umumnya memiliki
pemimpin asli penguasa daerah tersebut yang menikmati kebebasan internal cukup luas.
Wilayah-wilayah bawahan ini meskipun sedikit-banyak dipengaruhi Majapahit, tetap
menjalankan sistem pemerintahannya sendiri tanpa terintegrasi lebih lanjut oleh kekuasaan pusat
di ibu kota Majapahit. Pola kekuasaan mandala ini juga ditemukan dalam kerajaan-kerajaan
sebelumnya, seperti Sriwijaya dan Angkor, serta mandala-mandala tetangga Majapahit yang
sezaman; Ayutthaya dan Champa.
Raja-raja Majapahit

Silsilah wangsa Rajasa, keluarga penguasa Singhasari dan Majapahit. Penguasa ditandai dalam gambar
ini.[43]

Para penguasa Majapahit adalah penerus dari keluarga kerajaan Singhasari, yang dirintis oleh Sri
Ranggah Rajasa, pendiri Wangsa Rajasa pada akhir abad ke-13. Berikut adalah daftar penguasa
Majapahit. Perhatikan bahwa terdapat periode kekosongan antara pemerintahan Rajasawardhana
(penguasa ke-8) dan Girishawardhana yang mungkin diakibatkan oleh krisis suksesi yang
memecahkan keluarga kerajaan Majapahit menjadi dua kelompok[9].

Nama Raja Gelar Tahun

Raden Wijaya Kertarajasa Jayawardhana 1293 - 1309

Kalagamet Sri Jayanagara 1309 - 1328

Sri Gitarja Tribhuwana Wijayatunggadewi 1328 - 1350

Hayam Wuruk Sri Rajasanagara 1350 - 1389

Wikramawardhana 1389 - 1429

Suhita Dyah Ayu Kencana Wungu 1429 - 1447


Kertawijaya Brawijaya I 1447 - 1451

Rajasawardhana Brawijaya II 1451 - 1453

Purwawisesa atau Girishawardhana Brawijaya III 1456 - 1466

Bhre Pandansalas, atau Suraprabhawa Brawijaya IV 1466 - 1468

Bhre Kertabumi Brawijaya V 1468 - 1478

Girindrawardhana Brawijaya VI 1478 - 1498

Patih Udara 1498 - 1518

Warisan sejarah

Arca pertapa Hindu dari masa Majapahit akhir. Koleksi Museum für Indische Kunst, Berlin-Dahlem,
Jerman.

Majapahit telah menjadi sumber inspirasi kejayaan masa lalu bagi bangsa-bangsa Nusantara pada
abad-abad berikutnya.

Legitimasi politik

Kesultanan-kesultanan Islam Demak, Pajang, dan Mataram berusaha mendapatkan legitimasi


atas kekuasaan mereka melalui hubungan ke Majapahit. Demak menyatakan legitimasi
keturunannya melalui Kertabhumi; pendirinya, Raden Patah, menurut babad-babad keraton
Demak dinyatakan sebagai anak Kertabhumi dan seorang Putri Cina, yang dikirim ke luar istana
sebelum ia melahirkan. Penaklukan Mataram atas Wirasaba tahun 1615 yang dipimpin langsung
oleh Sultan Agung sendiri memiliki arti penting karena merupakan lokasi ibukota Majapahit.
Keraton-keraton Jawa Tengah memiliki tradisi dan silsilah yang berusaha membuktikan
hubungan para rajanya dengan keluarga kerajaan Majapahit — sering kali dalam bentuk makam
leluhur, yang di Jawa merupakan bukti penting — dan legitimasi dianggap meningkat melalui
hubungan tersebut. Bali secara khusus mendapat pengaruh besar dari Majapahit, dan masyarakat
Bali menganggap diri mereka penerus sejati kebudayaan Majapahit.[33]

Para penggerak nasionalisme Indonesia modern, termasuk mereka yang terlibat Gerakan
Kebangkitan Nasional di awal abad ke-20, telah merujuk pada Majapahit, disamping Sriwijaya,
sebagai contoh gemilang masa lalu Indonesia. Majapahit kadang dijadikan acuan batas politik
negara Republik Indonesia saat ini.[21] Dalam propaganda yang dijalankan tahun 1920-an, Partai
Komunis Indonesia menyampaikan visinya tentang masyarakat tanpa kelas sebagai penjelmaan
kembali dari Majapahit yang diromantiskan.[44] Sukarno juga mengangkat Majapahit untuk
kepentingan persatuan bangsa, sedangkan Orde Baru menggunakannya untuk kepentingan
perluasan dan konsolidasi kekuasaan negara.[45] Sebagaimana Majapahit, negara Indonesia
modern meliputi wilayah yang luas dan secara politik berpusat di pulau Jawa.

Beberapa simbol dan atribut kenegaraan Indonesia berasal dari elemen-elemen Majapahit.
Bendera kebangsaan Indonesia "Sang Merah Putih" atau kadang disebut "Dwiwarna" ("dua
warna"), berasal dari warna Panji Kerajaan Majapahit. Demikian pula bendera armada kapal
perang TNI Angkatan Laut berupa garis-garis merah dan putih juga berasal dari warna
Majapahit. Semboyan nasional Indonesia, "Bhinneka Tunggal Ika", dikutip dari "Kakawin
Sutasoma" yang ditulis oleh Mpu Tantular, seorang pujangga Majapahit.

Arsitektur

Sepasang patung penjaga gerbang abad ke-14 dari kuil Majapahit di Jawa Timur (Museum of Asian Art,
San Francisco)

Majapahit memiliki pengaruh yang nyata dan berkelanjutan dalam bidang arsitektur di Indonesia.
Penggambaran bentuk paviliun (pendopo) berbagai bangunan di ibukota Majapahit dalam kitab
Negarakretagama telah menjadi inspirasi bagi arsitektur berbagai bangunan keraton di Jawa
serta Pura dan kompleks perumahan masyarakat di Bali masa kini. Meskipun bata merah sudah
digunakan jauh lebih awal, para arsitek Majapahitlah yang menyempurnakan teknik pembuatan
struktur bangunan bata ini.
Beberapa elemen arsitektur kompleks bangunan di Jawa dan Bali diketahui berasal dari masa
Majapahit. Misalnya gerbang terbelah candi bentar yang kini cenderung dikaitkan dengan
arsitektur Bali, sesungguhnya merupakan pengaruh Majapahit, sebagaimana ditemukan pada
Candi Wringin Lawang, salah satu candi bentar tertua di Indonesia. Demikian pula dengan
gapura paduraksa (kori agung) beratap tinggi, dan pendopo berlandaskan struktur bata. Pengaruh
citarasa estetika dan gaya bangunan Majapahit dapat dilihat pada kompleks Keraton Kasepuhan
di Cirebon, Masjid Menara Kudus di Jawa Tengah, dan Pura Maospait di Bali. Tata letak
kompleks bangunan berupa halaman-halaman berpagar bata yang dihubungkan dengan gerbang
dan ditengahnya terdapat pendopo, merupakan warisan arsitektur Majapahit yang dapat
ditemukan dalam tata letak beberapa kompleks keraton di Jawa serta kompleks puri (istana) dan
pura di Bali.

Persenjataan

Pada zaman Majapahit terjadi perkembangan, pelestarian, dan penyebaran teknik pembuatan
keris berikut fungsi sosial dan ritualnya. Teknik pembuatan keris mengalami penghalusan dan
pemilihan bahan menjadi semakin selektif. Keris pra-Majapahit dikenal berat namun semenjak
masa ini dan seterusnya, bilah keris yang ringan tetapi kuat menjadi petunjuk kualitas sebuah
keris. Penggunaan keris sebagai tanda kebesaran kalangan aristokrat juga berkembang pada masa
ini dan meluas ke berbagai penjuru Nusantara, terutama di bagian barat.

Selain keris, berkembang pula teknik pembuatan dan penggunaan tombak dan meriam kapal
sederhana yang disebut Cetbang. Saat ini salah satu koleksi Cetbang Majapahit tersebut berada di
The Metropolitan Museum of Art, New York, Amerika.

Kesenian modern

Kebesaran kerajaan ini dan berbagai intrik politik yang terjadi pada masa itu menjadi sumber
inspirasi tidak henti-hentinya bagi para seniman masa selanjutnya untuk menuangkan kreasinya,
terutama di Indonesia. Berikut adalah daftar beberapa karya seni yang berkaitan dengan masa
tersebut.

Puisi lama

 Serat Darmagandhul, sebuah kitab yang tidak jelas penulisnya karena menggunakan nama pena
Ki Kalamwadi, namun diperkirakan dari masa Kasunanan Surakarta. Kitab ini berkisah tentang
hal-hal yang berkaitan dengan perubahan keyakinan orang Majapahit dari agama sinkretis
"Hindu" ke Islam dan sejumlah ibadah yang perlu dilakukan sebagai umat Islam.

Komik dan strip komik

 Serial "Mahesa Rani" karya Teguh Santosa yang dimuat di Majalah Hai, mengambil latar
belakang pada masa keruntuhan Singhasari hingga awal-awal karier Mada (Gajah Mada), adik
seperguruan Lubdhaka, seorang rekan Mahesa Rani.
 Komik/Cerita bergambar Imperium Majapahit, karya Jan Mintaraga.
 Komik Majapahit karya R.A. Kosasih
 Strip komik "Panji Koming" karya Dwi Koendoro yang dimuat di surat kabar "Kompas" edisi
Minggu, menceritakan kisah sehari-hari seorang warga Majapahit bernama Panji Koming.
 Komik "Dharmaputra Winehsuka", karya Alex Irzaqi, kisah Ra Kuti dan Ra Semi dalam latar
peristiwa pemerontakan Nambi 1316 M.

Roman/novel sejarah

Anda mungkin juga menyukai