Anda di halaman 1dari 3

Nama anggota kelompok:

-Andi Annisa Ash Shughra


-Muhammad Fardan Djafar

Tokoh protagonis:
-Kakek
-Cucuk
-Jenderal Soedirman

Tokoh antagonis:
-Penjajah Belanda
-Tentara Jepang

Sang Panglima Besar Jenderal Soedirman

Kala terik matahari yang menyengat menyinari Yogyakarta kala itu,


seorang paruh baya terduduk pada kursi rodanya di teras rumahya yang
sederhana. sambil menyeruput kopi sisu pada cangkir miliknya, ia memandangi
jalan yang sesekali dilalui oleh kendaraaan. Usianya yang sudah menginjak 88
tahun membuat ia mengalami keterbatasan dalam beraktivitas sehari-hari,
termasuk berjalan menggunakan kedua tungkainya.
Cucuknya yang baru saja pulang sekolah segera menghampiri Sang
Kakek. “Kakek, Kakek dulu pasukan panglima Jenderal Soedirman, kan?”
Kakek mengangguk.
“Beliau orangnya gimana?”
“Beliau orangnya baik. Dulu sewaktu Kakek jadi pasukan dia, Jenderal
Soedirman orangnya jago taktik dalam perang gerilya. Dia dipercaya sama Pak
Presiden Soekarno.”
Sang Cucuk kemudian mengangguk. “Boleh certain tentang beliau
enggak, Kakek?”
Kakek tersenyum culas, lantas mengangguk. Sebelum bercerita, ia
terlebih dahulu menyeruput kopi susunya dan menyuruh cucuknya untuk
mengambil kursi agar Sang Cucuk dapat duduk.

“Jenderal Soedirman, adalah seorang pahlawan nasional Indonesia yang


lahir di Bodas Karangjati, Rembang, Purbalingga pada tanggal 24 Januari
1916. Ayahnya bernama Karsid Kartawiuraji dan ibunya bernama Siyem.
Kehidupan pendidikan Soedirman sangatlah sederhana seperti penduduk
pribumi lain pada zaman penjajahan. Proses pendidikannya lebih banyak
ditempuh di surau dengan cara mengaji atau belajar ilmu agama. Soedirman
mengenyam pendidikan dasar melalui didikan ayah angkatnya, yaitu Raden
Tjokrosunaryo, yang pada saat itu oleh Pemerintah Hindia Belanda diberikan
mandat sebagai asisten wedana.
Jenderal Soedirman berkenalan dengan dunia kemiliteran diawali dengan
menjadi semacam hansip yang mengantisipasi serangan udara di zaman
kolonial. Namun, sosoknya yang giat dan pandai berorganisasi membuat karier
militernya tidak lantas berhenti di sana. Sebelum kedatangan tentara Jepang, ia
pernah diminta pemerintah Belanda untuk memberikan pelatihan kemiliteran
kepada tentara pribumi. Ia juga pernah memimpin organisasi bentukan Jepang,
Syu Sangikai yang bertujuan untuk menjaga keamanan Indonesia dari sekutu.
Organisasi itu bergabung dengan dengan Pembela Tanah Air (PETA).
Kemudian dia mendapatkan materi kemiliteran melalui latihan menjadi calon
komandan battalion Bogor pada zaman Jepang selama tiga bulan. Setelah itu,
dia diangkat menjadi komandan dan ditugaskan di Batalion Kroya, Banyumas,
Jawa Tengah.
Setelah PETA dibubarkan pada 18 Agustus 1945, Soedirman mendirikan
BKR (Badan Keamanan Rakyat) yang kemudian berubah menjadi TKR
(Tentara Keamanan Rakyat). Pada saat di TKR, Soedirman yang berpangkat
kolonel ditunjuk sebagai pemimpin dalam pertempuran Ambarawa.
Pertempuran tersebut berakhir dengan kemenangan TKR atas Tentara Inggris
pada 15 Desember 1945. Oleh karena kemenangannya, Soedirman diangkat
oleh Pemerintah Indonesia sebagai panglima TKR dan pangkatnya yang semula
kolonel naik menjadi jenderal.
Di sana Soedirman diberikan akses persenjataan lengkap. Soedirman
dikenal dan makin dipercaya berkat Palagan Ambarawa pada akhir 1945. Meski
korban di pihak Indonesia jauh lebih besar dibanding pasukan Inggris yang
menang Perang Dunia II, pertempuran itu dianggap sebagai kemenangan
gemilang.

“Orang-orang Indonesia sangat gembira. Mereka menganggap bahwa


pengunduran terpaksa dari pihak Sekutu itu adalah suatu kemenangan taktis
militer,” tulis Ben Anderson dalam Revoloesi Pemoeda: Pendudukan Jepang
dan Perlawanan di Jawa 1944-1946 (1988: 174).

Kiprah Soedirman di Ambarawa itu kelak dikenang sebagai Hari


Infanteri. Pertempuran ini membuat Presiden Sukarno mempercayakan
kepemimpinan tentara di tangan Soedirman. Saat itu, Soedirman sudah terpilih
sebagai panglima lewat voting pada 12 November 1945.
Pada suatu hari di bulan Desember 1948, pasukan Belanda kembali
melakukan agresi militer yang lebih dikenal dengan sebutan Agresi Militer II
Belanda. Saat itu, Yogyakarta yang menjadi ibu kota Negara Republik
Indonesia berhasil dikuasai oleh Belanda. Jenderal Soedirman yang memiliki
semangat patriotik yang tinggi tentunya tidak bisa menerima hal tersebut. Ia
memutuskan untuk melakukan perlawanan secara gerilya meskipun pada saat
itu kondisi fisiknya lemah karena terserang penyakit tuberkulosis yang
membuat paru-parunya hanya berfungsi sebelah. Dalam menjalankan perang
tersebut, Soedirman harus ditandu untuk memimpin pasukan karena kondisinya
sedang sakit. Jenderal Soedirman terus berjuang dari atas tandu memimpin
perang gerilya selama hamper tujuh bulan. Namun, karena kondisi
kesehatannya semakin turun hingga sampai pada titik tidak memungkinkan lagi
untuk bertempur, ia terpaksa meninggalkan medan pertempuran agar mendapat
perawatan. Kendati demikian, pemikirannya selalu dibutuhkan..
Kondisi kesehatannya inilah yang kemudian menjadi penyebab wafatnya
Sang Jenderal besar pada 29 Januari 1950. Dia berpulang pada usia yang masih
cukup muda yaitu 34 tahun. Sang Jenderal Besar dimakamkan di Taman
Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta.”
Si Cucuk manggut-manggut. “Oh … gitu, ya. Tapi katanya dulu beliau
gak pernah ninggain sholat dan puasanya, ya?”
Kakek hanya tersenyum, lalu mengelus pundak cucuknya. “Gak pernah.”

Anda mungkin juga menyukai