Soedirman Kecil
Soedirman dilahirkan pada tanggal 24 Januari 1916 di Desa Bodaskarangjati, Kecamatan
Rembang, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah. Ayahnya bernama Karsid Kartawiradji,
seorang mandor tebu pada pabrik gula di Purwokerto. Ibunya bernama Siyem, berasal dari
Rawalo, Purwokerto. Mereka adalah keluarga petani. Sejak masih bayi, Soedirman telah
diangkat sebagai anak oleh R.Tjokrosunaryo, Asisten Wedana (Camat) di Rembang, Distrik
Cahyana, Kabupaten Purbalingga, yang kawin dengan bibi Soedirman. Setelah pensiun,
keluarga Tjokrosunaryo kemudian menetap di Cilacap. Dalam usia tujuh tahun Soedirman
memasuki Hollandsche Inlandsche School (HIS) setingkat Sekolah Dasar di Cilacap. Dalam
kehidupan yang sederhana, R. Tjokrosunaryo mendidik Soedirman dengan penuh disiplin.
Soedirman dididik cara-cara menepati waktu dan belajar menggunakan uang saku sebaik-
baiknya. Ia harus bisa membagi waktu antara belajar, bermain, dan mengaji. Soedirman juga
dididik dalam hal sopan santun priyayi yang tradisional oleh Ibu Tjokrosunaryo
Pada awal pendudukan Jepang, Sekolah Muhammadiyah tempat is mengajar ditutup. Berkat
perjuangan Soedirman sekolah tersebut akhirnya boleh dibuka kembali. Kemudian
Soedirman bersama beberapa orang temannya mendirikan koperasi dagang yang diberi nama
Perbi dan langsung diketuainya sendiri. Dengan berdirinya Perbi, kemudian di Cilacap
berdiri beberapa koperasi yang mengakibatkan terjadi persaingan kurang sehat. Melihat
gelagat ini, Soedirman berusaha mempersatukannya, dan akhirnya berdirilah Persatuan
koperasi Indonesia Wijayakusuma.
Kondisi rakyat pada waktu itu sulit mencari bahan makanan, sehingga keadaan ini
membangkitkan semangat Soedirman untuk aktif membina Badan Pengurus Makanan
Rakyat (BPMR), suatu badan yang dikelola oleh masyarakat sendiri, bukan badan buatan
Pemerintah Jepang. Badan ini bergerak dibidang pengumpulan dan distribusi bahan makanan
untuk menghindarkan rakyat Cilacap dari bahaya kelaparan. Ia termasuk tokoh masyarakat
karena kecakapan memimpin organisasi dan kejujurannya. Pada tahun 1943, Pemerintah
Jepang mengangkat Soedirman menjadi anggota Syu Songikai (semacam dewan
pertimbangan karesidenan) Banyumas.
Pada bulan Juli 1945, Soedirman dan beberapa orang perwira Peta lainnya yang termasuk
kategori "berbahaya" dipanggil ke Bogor dengan alasan akan mendapat latihan lanjutan.
Hanya kemudian ada kesan bahwa Jepang berniat untuk menawan mereka. Sekalipun mereka
sudah berada di Bogor "Pelatihan Lanjutan" dibatalkan, karena tunggal 14 Agustus 1945
Jepang sudah menyerah kepada sekutu. Sesudah itu Soedirman dan kawan-kawannya
kembali lagi ke dai dan masing-masing.
Jepang membubarkan Peta dan senjata mereka dilucuti, selanjutnya mereka disuruh pulang
ke kampung halaman masing-masing. Setelah pengumuman pembentukan BKR, Soedirman
berusaha mengumpulkan mereka kembali dan menghimpun kekuatan Badan Keamanan
Rakyat (BKR). Bersama Residen Banyumas Mr. Iskaq Tjokroadisurjo dan beberapa tokoh
lainnya, Soedirman melakukan perebutan kekuasaan dari tangan Jepang secara damai.
Komandan Batalyon Tentara Jepang Mayor Yuda menyerahkan senjata cukup banyak.
Karena itu BKR Banyumas merupakan kesatuan yang memiliki senjata terlengkap.
Pada tanggal 11 Desember 1945, Kolonel Soedirman mengadakan rapat dengan para
Komandan Sektor TKR dan Laskar. Dalam rapat tersebut Kolonel Soedirman menjelaskan
bahwa posisi lawan sudah makin terjepit sehingga merupakan peluang yang tepat untuk
menghancurkan lawan secepatnya dari Ambarawa.
Tepat pukul 04.30 pagi tanggal 12 Desember 1945 serangan mulai dilancarkan. Pertempuran
segera berkobar di sekitar Ambarawa. Satu setengah jam kemudian, jalan yang
menghubungkan Ambarawa dengan Semarang sudah dikuasai oleh kesatuan-kesatuan TKR.
Pertempuran Ambarawa berlangsung sengit, Kolonel Soedirman langsung memimpin
pasukannya yang menggunakan taktik "Supit Udang" atau pengepungan rangkap sehingga
musuh benar-benar terkurung. Suplai dan komunikasi dengan pasukan induknya terputus
sama sekali. Setelah bertempur selama 4 hari 4 malam, akhirnya musuh mundur ke
Semarang. Benteng pertahanan yang tangguh jatuh ke tangan pasukan kita. Tanggal 15
Desember 1945, pertempuran berakhir.
Dalam suasana demikian itulah Kolonel Soedirman dipilih sebagai Panglima Besar. Yang
memilih adalah para Panglima Divisi dan Komandan Resimen yang berkumpul di
Yogyakarta pada tanggal 12 Nopember 1945. Pangkatnya sejak itu adalah Jenderal. Dalam
pemilihan itu beliau mengalahkan calon-calon lain. Ditinjau dari pendidikan kemiliteran,
maka calon-calon lain itu jauh lebih tinggi dari Jenderal Soedirman. Pemilihan yang unik ini
mencerminkan Zeitgeist atau "Semangat Zaman" waktu itu. Yaitu semangat revolusi dimana-
mana. Rakyat kita seakan-akan terserang demam. Demam revolusi. Semangat perjuangan
revolusioner di mana-mana berkobar. Dikobarkan dalam rapat-rapat umum, yang
diselenggarakan oleh kaum politisi kita dari zaman Pergerakan, dan oleh alat-alat
Pemerintahan yang baru dibentuk, dan karenanya kurang sempurna. Rakyat muak tergiat
hadap Di mana-mana rakyat kita merombak sistem kolonialisme Hindia-Belanda dan sistem
militerisme Jepang. kedua sistem kolonialisme dan militerisme masa Iampau itu. Rakyat
tidak sabar lagi, dan di dalam usaha merombak sistem lama itu, tidak jarang timbul gejolak
kekacauan. Serobot-menyerobot, daulat mendaulat dan malahan culik-menculik adakalanya
terjadi.
Siapa yang menjalani sendiri situasi pada waktu itu, benar-benar merasa adanya revolusi,
adanya perubahan cepat kilat yang sedang berlaku. Terutama di kalangan pemuda kita.
Seringkali perubahan cepat itu tanpa aturan "normal". Kadang-kadang malahan "anarchistis"
sama sekali. Irosionalitas dan emosionalitas seringkali mengatasi rasionalitas dan pikiran
dingin. Memang itulah revolusi ! Eine Umwertung aller Werte. Penjungkirbalikkan segala
macam nilai. Suatu "razende inspirasi van de historie". Suatu "ilham yang memandang
daripada sejarah". Dan "ilham sejarah" itu adalah "titik temu dari segala apa yang merupakan
kesadaran bangsa dengan apa yang hidup di bawah kesadaran sejarah bangsa itu. "He
ontmoetingspunt, van het vewuste en het onderbewuste in de geschiedenis!"
Pilihan atas Panglima Besar Soedirman jatuh dalam situasi demikian. Banyak emosi di
bawah sadar ikut menentukan pilihan itu. Banyak pikiran rasionalistis tidak berkenan masuk
dalam pertimbangan pilihan tersebut. Memang revolusi mempunyai nilai-nilai sendiri.
Apalagi revolusi yang berwatak kerakyatan, seperti revolusi kita dulu itu. Setuju atau tidak
setuju, realitanya ialah bahwa nilai-nilai emosi magis, naluri kharismatis dan getaran-mistis
ikut menentukan jalannya revolusi kita pada waktu itu. Juga dalam pemilihan Panglima
Besar RI untuk pertama kalinya, nilai-nilai tersebut ikut menentukan.
Sudah barang tentu nilai-nilai rasional dan pikiran dingin hidup Juga pada waktu itu. Namun
yang lebih menonjol dan lebih kuat adalah nilai-nilai emosi magis, naluri kharismatik dan
getaran mistis tersebut di atas. Dan itulah yang kemudian bermuara ke dalam keputusan
mengangkat Soedirman sebagai Panglima Besar. Yang terpilih bukan calon yang memiliki
kadar rasionalitas dan ketrampilan militer teknis yang tinggi, produk dari didikan Barat di
kota-kota besar, melainkan yang terpilih adalah seorang anak rakyat, dibesarkan di desa,
yang kemudian oleh gelombang revolusi terlempar ke atas, dan merupakan tonggak
kepercayaan mayoritas para panglima divisi dan para komandan resimen yang hadir pada
waktu itu.
Susunan divisi serta resimen tentara kita pada waktu itu jauh dari sempurna. Markas-markas
pun belum menentu, dan seringkali harus berpindah-pindah. Para Panglima Divisi serta para
komandan resimen pun tidak semuanya memiliki kepandaian kemiliteran-teknis yang
sempurna, seperti menurut ukuran-ukuran Barat. Kepandaian kemiliterannya boleh
diragukan, namun yang tidak dapat diragukan adalah semangat dan jiwa perjuangannya
membela Proklamasi, melawan kembalinya kolonialisme.
Andaikata pilihan jabatan Panglima Besar pada waktu itu diserahkan kepada Pemerintah
Pusat, maka besar sekali kemungkinan bahwa pilihan tidak akan jatuh kepada Soedirman.
Dan memang, Pemerintahan yang pada waktu itu kekuasaan eksekutifnya berada di tangan
PM Sjahrir menginginkan tokoh lain. Di antaranya Urip Sumohardjo, seorang tokoh militer
didikan Belanda, tetapi berjiwa patriotik. Juga dikemukakan Sri Sultan Hamengku Buwono,
yang pada waktu itu mendapat pangkat Jenderal Tituler. Dalam rapat para Panglima Divisi
dan Komandan Resimen disebut juga nama-nama Sjahrir dan Amir Sjarifuddin, yang duduk
sebagai Menteri Penerangan dalam Kabinet Sjahrir. Rupanya pola menempatkan pimpinan
ketentaraan di bawah kekuasaan sipil-politis pada waktu itu hendak diterapkan oleh kaum
politisi.
Namun mayoritas hadirin memilih Soedirman. Suatu hal yang unik dalam revolusi kita.
Panglima Besar yang pertama tidak diangkat oleh Pemerintah, melainkan dipilih secara
"demokratis" oleh para panglima divisi dan komandan resimen. Itulah suasana revolusioner
pada waktu itu. Itulah juga Zeit-geist-nya, atau "semangat zaman" revolusioner yang penuh
dengan jiwa kerakyatan. Elan revolusioner yang meletus keluar ke atas permukaan
masyarakat kita yang sedang bergolak mencerminkan diri dalam hasil pemilihan tersebut.
Elan revolusioner tersebut mempercayakan kepemimpinan tentara kita kepada seorang
pribadi Soedirman. (Dr. H. Roeslan Abdulgani Peranan Panglima Besar Soedirman dalam
Revolusi Indonesia, Restu Agung, Jakarta, 2004, hal.32-35.
Jawaban Presiden mengejutkan Soedirman. Soedirman dinasehati agar tetap tinggal di kota,
untuk dirawat sakitnya. Panglima Besar Soedirman menjawab tawaran Presiden dengan kata-
katanya," Tempat saya yang terbaik adalah di tengah-tengah anak buah. Saya akan
meneruskan perjuangan. Met of zonder pemerintah TNI akan berjuang terus".
Menghadapi Agresi Militer II Belanda, Jenderal Soedirman segera mengeluarkan Perintah
Kilat No. I/PB/D/48. Isinya, pada tanggal 19 Desember 1948 Angkatan Perang Belanda telah
menyerang kota Yogyakarta dan lapangan terbang Maguwo, Pemerintah Belanda telah
membatalkan persetujuan genjatan senjata, semua Angkatan Perang menjalankan rencana
untuk menghadapi serangan Belanda.
Pada hari itu juga Jenderal Soedirman meninggalkan Yogya dan memimpin Perang Gerilya
yang berlangsung kurang Iebih tujuh bulan lamanya. Dengan ditandu, ia melakukan
perjalanan gerilya naik turun gunung, masuk hutan ke luar hutan, berpindah-pindah tempat.
Tidak jarang Soedirman mengalami kekurangan makanan selama berhari-hari. Belum lagi
penderitaannya karena pengejaran tentara Belanda yang ingin menangkapnya.
Ketika Belanda menyerbu Yogyakarta, para pemimpin militer Belanda ternyata keliru
memperhitungkan peranan Pemerintah Darurat RI (PDRI) dan Soedirman. Belanda hanya
memperhitungkan Soekarno-Hatta dan para politisi sebagai center of gravity dalam perang.
Belanda mengira bahwa dengan menduduki ibukota dan menangkap Soekarno-Hatta,
Republik akan bisa dirubuhkan. Ternyata perkiraan Belanda keliru. Soekarno telah
menyerahkan mandat pemerintahan kepada Menteri Kemakmuran Sjafruddin Prawiranegara
yang sedang berada di Sumatra, sedangkan TNI tetap utuh. Akhirnya Belanda menyadari
kekeliruannya dan kemudian melakukan pengejaran terhadap Soedirman.
Soedirman beserta stafnya pantang menyerah. Semua kekalahan dan kesalahan dikaji secara
mendalam. Organisasi TNI yang menggelembung harus diperbaiki, TNI harus direorganisasi.
Konsep total people's defence sebagai kebijakan nasional harus segera dijabarkan. Para
pemikir dalam Merkas Besar, seperti T.B. Simatupang dan A.H. Nasution akhirnya
menemukan strategi perongrongan atau attrition strategy. Strategi ini untuk perang jangka
panjang dijabarkan dalam organisasi dan sistem Wehrkreise.
Wehrkreise artinya lingkungan pertahanan, atau pertahanan daerah. Sistem ini dipakai sejak
dari pertahanan pulau sampai daerah-daerah. Masing-masing komandan diberi kebebasan
seluas-luasnya untuk menggelar dan mengembangkan perlawanan. Wilayah Wehrkreise
adalah satu karesidenan, yang didalamnya terhimpun kekuatan militer, politik, ekonomi,
pendidikan, dan pemerintahan. Sistem Wehrkreise sama sekali meninggalkan sistem
pertahanan linier. Sistem Wehrkreise ini kemudian disahkan penggunaannya dalam Surat
Perintah Siasat No.1, yang ditandatangani oleh Panglima Besar Soedirman pada bulan
Nopember 1948.
Setelah melakukan perjalanan panjang ke Iuar masuk hutan dan terhindar dari serangan
Belanda, sejak tanggal 1 April 1949 Jenderal Soedirman menetap di Dukuh Sobo, desa Pakis
kecamatan Nawangan, Pacitan, Jawa Timur. Di tempat ini keadaan Panglima Besar mulai
agak teratur dan dapat mengadakan hubungan dengan Pejabat Pemerintah di Yogya melalui
kurir dan di Sumatera melalui PAB di lereng Gunung Lawu. Selama bergerilya, Panglima
Besar tetap mengeluarkan perintah-perintah harian, petunjuk, dan amanat, baik untuk TNI
maupun rakyat. Strategi perongrongan yang dilancarkan TNI bersama rakyat berhasil
menjemukan kemauan perang pasukan musuh. Apalagi sesudah dilancarkannya Serangan
Umum ke Yogyakarta pada 1 Maret 1949 pimpinan Letnan Kolonel Soeharto, Komandan
Wehrkreise III yang merupakan titik balik bagi kemenangan TNI. Belanda kemudian
mengajak kembali berunding. Pada tanggal 7 Mei 1949, Roem-Royen Statement
ditandatangani. Berdasarkan statement ini, akhir Juni 1949, Presiden, Wakil Presiden, dan
pejabat Pemerintah RI yang ditawan Belanda di Pulau Bangka, dikembalikan ke Yogyakarta.
Selama bergerilya kesehatan Soedirman menurun, beberapa kali ia jatuh pingsan. Setibanya
di Yogyakarta, kesehatan Jenderal Soedirman diperiksa kembali, ternyata paru-paru yang
tinggal sebelah sudah terserang penyakit. Karena itu Panglima Besar Soedirman harus
beristirahat di rumah sakit Panti Rapih. Semua perundingan yang memerlukan kehadiran
Soedirman dilakukan di rumah sakit.
Rasa tidak senang terhadap diplomasi yang ditempuh Pemerintah dalam menghadapi
Belanda, masih membekas di hati Jenderal Soedirman. Pada tanggal 1 Agustus 1949, ia
menulis surat kepada Presiden Soekarno, berisi permohonan untuk meletakkan jabatan
sebagai Panglima Besar dan mengundurkan diri dari dinas ketentaraan. Namun surat tersebut
tidak jadi disampaikan, karena akan menimbulkan perpecahan. Isi surat tersebut menjadi
amat terkenal karena termuat kata-kata : "Bahwa satu-satunya hak milik Nasional Republik
yang masih tetap utuh tidak berubah-rubah adalah hanya Angkatan Perang Republik
Indonesia (Tentara Nasional Indonesia)". Sementara itu kesehatan Panglima Besar semakin
memburuk, sehingga is harus beristirahat di Pesanggrahan Militer, Magelang.
Tanggal 6 Juli 1949 Presiden, Wakil Presiden dan pemimpin Indonesia lainnya kembali dari
pengasingannya di Sumatera. Di Ibukota Yogyakarta mendapat sambutan yang meriah dari
masyarakat. Kedatangan para pemimpin RI itu disusul oleh rombongan Pemerintah Darurat
RI pimpinan Mr. Syafrudin. Kembali juga dari medan gerilya, Panglima Besar
Soedirman beserta rombongan tanggal 10 Juli 1949 yang didampingi oleh Komandan Daerah
Militer Yogya, Letnan Kolonel Soeharto.
Saat-saat kembalinya dari medan gerilya. Panglima Besar Jenderal Soedirman ternyata tidak
begitu senang dengan rencana kembali ke Ibukota Yogya saat itu, karena di daerah
pertempuran di Jawa dan Sumatera masih banyak bertahan pasukan-pasukan gerilya TNI.
Dan sementara berunding itu Belanda masih terus menerus mengadakan penyerangan (istilah
mereka "pembersihan"). Soedirman sebagai Panglima Besar masih merasa berat hati
meninggalkan para prajurit di medan gerilya. Disamping itu kecurigaan terhadap kejujuran
lawan mengenai perundingan dan gencatan senjata, sesuai dengan pengalaman Soedirman
selama beberapa tahun bertempur berunding dengan Belanda.
Tetapi karena kepatuhannya yang Iuar biasa kepada Pimpinan Nasional dan adanya surat
yang dikirimkan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan sahabat karibnya Kolonel Gatot
Subroto yang disertai penjelasan Letnan Kolonel Soeharto, maka Soedirman akhirnya mau
turun ke kota, dimana Ia langsung melapor kepada Presiden dan Wakil Presiden dalam
suasana pertemuan yang sangat mengharukan. Setelah itu Soedirman menerima parade
penghormatan dari prajurit-prajurit TNI pimpinan Letnan Kolonel Soeharto di Alun-alun Lor
Yogya.
Surat Kolonel Gatot Subroto kepada Pak Dirman sangat sederhana bunyinya namun cukup
menggugah perasaan. Pak Gatot yang kenal betul dengan Soedirman beserta semua sifatnya
menulis antara lain " tidak asing lagi soya, tentu soya juga mempunyai pendirian begitu.
Semua-semuanya Tuhan yang menentukan, tetapi sebagai manusia kita diharuskan ihtiar.
Begitu juga dengan adikku (Soedirman-peny), karena kesehatannya terganggu harus ihtiar,
mengaso sungguh-sungguh jangan menggalih (memikirkan-peny) apa-apa. Coat alles
waaien. lni supaya jangan mati konyol, tetapi supaya cita-cita adik tercapai. Meskipun
buahbuahnya kita tidak turut memetik, melihat pohonnya subur, kita merasa gembira dan
mengucapkan terima kasih kepada yang Maha Kuasa. lni kali soya selaku saudara tua dari
adik, minta ditaati ".
Soedirman Wafat
Tanggal 29 Januari 1950 Soedirman wafat, berita tentang wafatnya Soedirman, yang
disiarkan berulang-ulang oleh Radio. Menyusul perintah Harlan Pejabat Kepala Staf
Angkatan Perang RIS, Kolonel T.B. Simatupang yang ditujukan kepada seluruh tentara
berisi Seluruh Angkatan Perang RIS diperintahkan berkabung selama tujuh hari dengan
melaksanakan pengibaran benders Merah Putih setengah tiang pada masing-masing kesatuan
dijalankan dengan penuh khidmat serta hormat, menjauhkan segala tindakan dan tingkah
laku yang dapat mengganggu suasana berkabung.
Pukul 11.00 tanggal 30 Januari 1950, iring-iringan jenazah Panglima Besar Jenderal
Soedirman perlahan-lahan meninggalkan kota Magelang menuju Yogya. Setelah
disembahyangkan di Masjid Agung, jenazah dikebumikan dengan upacara militer di Taman
Makam Pahlawan Semaki Yogyakarta, disamping makam Letnal Jenderal TNI Oerip
Soemoharjo.
dekat hubungannya dengan beliau, adalah pribadi beliau yang sederhana. Kesederhanaan
yang polos, memancar langsung dari jiwa beliau, kesederhanaan yang tak dibuat-buat balk
dalam gaya hidup, sikap dan perilaku, yang mampu membangkitkan kepercayaan kepada
anak buah bahwa diri mereka dipimpin secara jujur menuju cita-cita dan tujuan yang mulia,
yaitu tercapainya kemerdekaan dan kesejahteraan bangsa.
Kesederhanaan tersebut yang memancarkan pribadi manusia yang utuh dan tidak
mementingkan diri sendiri, memancarkan pula keberanian, kejujuran dan solidaritas
Demokratis
Sikap dan perilaku beliau yang demokratis. Tercermin dengan tingginya pemahaman tentang
nasionalisme Indonesia, yang tidak dapat dipisah-pisahkan dari perwujudan nilai-nilai demokrasi.
Demokrasi merupakan bagian dari tuntutan hati nurani manusia. Soedirman, yang hati nuraninya
sedemikian peka, ingin mewujudkan bisikan dari nurani itu. Di dalam kehidupan sehari-hari selalu
menghargai pendapat dan hak-hak orang lain.
Soedirman lahir dan tumbuh dalam suatu lingkungan masyarakat yang diliputi oleh suasana
kerakyatan, kegotong royongan, kebersamaan dan kuatnya solidaritas kehidupan. Memahami
manfaat keakraban hubungan dengan rakyat, selalu tampil sebagai figur yang memiliki
kesadaran terhadap pentingnya arti kebersamaan dalam suatu perjuangan yang kekuatannya
dilandasi oleh keberhasilan dalam menggalang kekuatan rakyat.
Betapa besarnya kerugian psikologis yang akan menimpa perjuangan rakyat Indonesia dalam
mempertahankan kemerdekaan, apabila pada waktu itu yang menduduki jabatan Panglima
Besar dan juga merupakan lambang dan keberadaan TNI, ikut-ikut menyerah dan ditawan
oleh musuh. Keteguhan pendirian telah ditopang oleh rasa keagamaan yang sangat kuat,
sehingga yang menimbulkan keyakinan bahwa kebenaran tidak akan pernah kalah, dan
berjuang mempertahankan tanah air adalah bagian dari kebenaran itu, selanjutnya apabila
ajal kemudian menjemput, maka kematian itu adalah bersifat syahid.Keteguhan itu juga
ditopang oleh kayakinan terhadap kekuatan nilai-nilai demokrasi, yaitu bahwa rakyat adalah
merupakan sumber kekuatan yang tidak akan pernah habis.
Keyakinan itu secara terus menerus diusahakan untuk ditanamkan kepada anak buahnya,
melalui petunjuk-petunjuk dan keteladanan tentang bagaimana nilai-nilai itu seharusnya
diamalkan. Soedirman memang seorang pendidik, lulusan Sekolah Guru Muhammadiyah
dan kemudian mengawali karirnya sebagai seorang guru dan baru kemudian terjun ke bidang
ketentaraan. Darah, daging, dan jiwanya memang diliputi oleh semangat untuk mendidik dan
membimbing orang-orang di sekitarnya menuju terwujudnya nilai-nilai yang bermanfaat bagi
kehidupan manusia juga pengabdian kepada masyarakat secara tulus, juga merupakan
seorang yang taat beragama, telah melengkapi keutuhan pribadinya sebagai pendidik yang
utama.
Pernyataanya sempat menjadi pembicaraan para elit DPR saat Gatot melontarkan ide bahwa tentara boleh
kembali berpolitik. Hal ini bertolak belakang dengan undang-undang . "Ide ini bukan untuk sekarang,
mungkin 10 tahun ke depan, ketika semua sudah siap," jelas Gatot Nurmantyo pada awal Oktober 2016.
Tidak ada yang tidak mungkin bagi Gatot.Ia menjadi tentara juga bukan cita-cita awalnya yang ingin
menjadi arsitek. Tapi karena melihat kondisi keuangan keluarga, ia memilih menjadi tentara.
Nama pria kelahiran Tegal, Jawa Tengah, 13 Maret 1960 ini diambil oleh ayahnya dari inspirasi pahlawan
kemerdekaan RI Jenderal Gatot Subroto yang namanya kini diabadikan sebagai salah satu nama jalan
protokol di Ibu kota Jakarta.
Keingingan ayahnya gayung bersambut. Setelah menyelesaikan sekolah dasar dan menengah, Gatot
Nurmantyo meneruskan ke sekolah militer. Pada tahun 1982, ia lulus Akademi Militer dan langsung
mengabdi untuk bangsa dan negara. Ia memulai kariernya di pasukan infantri baret hijau Kostrad. Banyak
tugas berat ia embannya, mulai tugas penguasaan teritorial, pasukan, dan pendidikan di lingkungan
Angkatan Darat.
Kariernya terus menanjak. Gatot mulai bersinar saat ditarik dari Papua ke Jakarta. Ia menjadi Kasdivif
2/Kostrad, lalu ke Dirlat Kodiklat. Luas wawasannya akan pendidikan dan pelatihan, ia ditempatkan
sebagai orang nomor satu di Akademi Militer sebagai Gubernur Akmil pada tahun 2010.
Setahun menjadi gubernur Akmil, dia angkat menjadi Pangdam Brawijaya. Ia menggantikan Mayor
Jenderal TNI Suwarno. Tak sampai setahun, dia kembali ditugaskan sebagai Dankodiklat TNI AD.
Kariernya terus naik, ia diangkat menjadi Pangkostrad pada tahun 2013. Ia naik jabatan menggantikan
Letnan Jenderal TNI Muhammad Munir.
Lagi-lagi, Gatot Nurmantyo naik jabatan. Ia diangkat menjadi KSAD pada tahun 2014. Pada masa
kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono, ia menjabat sebagai Kepala Staf TNI Angkatan Darat ke-30.
Di tengah masa tugasnya, presiden terpilih Joko Widodo yang sedang mengubah kabinetnya mencalonkan
nama Gatot Nurmantyo sebagai Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) ke-16 menggantikan
Jenderal TNI Moeldoko yang akan pensiun dari dinas ketentaraannya saat itu.
Pada tanggal 8 Juli 2015, Presiden Jokowi melantik Jenderal Gatot Nurmantyo menjadi Panglima TNI.
Pencapaian Jabatan tertinggi prajurit ini sebagai prestasi terbaik Gatot. "Saya akan senantiasa
menjunjung tinggi sumpah prajurit," kata Gatot Nurmantyo dalam sumpah jabatannya saat pelantikan di
Istana Negara.
KELUARGA
Istri : Enny Trimurti
Anak : 3 orang
PENDIDIKAN
AKMIL 1982
KARIER