Anda di halaman 1dari 25

Pertempuran Tarakan (1945)

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Pertempuran Tarakan (1945)
Bagian dari Teater Pasifik Perang Dunia II

Infantri Australia maju melalui tank penyimpanan


minyak yang hancur di Bukit Tank, Tarakan.
Tanggal 1 Mei-19 Juni 1945
Lokasi Pulau Tarakan, Hindia Belanda
Hasil Kemenangan Sekutu
Pihak yang terlibat
Australia
Amerika Serikat Jepang
Belanda
Komandan
Brigadir David
Mayor Tadai Tokoi
Whitehead
Kekuatan
15.532 2.200
Korban
Lebih dari 251 gugur,
1.540 gugur, 252
lebih dari 669 terluka.
tertangkap sebelum 15
Korban sipil tak
Agustus 1945
diketahui.
Untuk pertempuran di tempat yang sama pada tahun 1942, lihat Pertempuran Tarakan (1942).

Pertempuran Tarakan adalah panggung pertama dalam kampanye Borneo 1945.


Pertempuran ini bermula dengan pendaratan amfibi oleh pasukan Australia pada tanggal 1
Mei, dengan nama sandi Operasi Obo Satu. Walaupun pertempuran ini berakhir dengan
kemenangan pasukan Sekutu atas Jepang, kemenangan ini umumnya dianggap tak setimpal
dengan harga yang mesti dibayar Sekutu.

Daftar isi
 1 Latar belakang
o 1.1 Pendudukan Jepang
o 1.2 Rencana Sekutu
 2 Pasukan yang berhadapan
o 2.1 Sekutu
o 2.2 Jepang
 3 Operasi persiapan
 4 Pertempuran
o 4.1 Pendaratan
o 4.2 Menjamin keamanan dalam kota
o 4.3 Masalah pembangunan
o 4.4 Pembersihan
 5 Kejadian sesudahnya
 6 Catatan
 7 Rujukan
 8 Pranala luar

Latar belakang
Tarakan ialah sebuah pulau lepas pantai Borneo. Luas pulau ini 303 kilometer persegi
(117 mi²), sebagian besar diliputi oleh rawa atau bukit yang tertutup hutan lebat di masa
pertempuran itu. Tarakan adalah salah satu bagian Hindia Belanda dan penting sebagai pusat
produksi minyak, karena 2 ladang minyak di pulau ini memproduksi 80.000 barel minyak
tiap bulan pada tahun 1941.[1]

Pendudukan Jepang

Mendapatkan ladang minyak Tarakan adalah satu tujuan awal Jepang selama Perang Pasifik.
Jepaneg menyerang Tarakan pada tanggal 11 Januari 1942 dan mengalahkan garnisun
Belanda yang kecil dalam pertempuran yang berlangsung selama 2 hari di mana separuh
pasukan Belanda gugur. Saat ladang minyak Tarakan berhasil disabotase oleh Belanda
sebelum penyerahannya, Jepang bisa dengan cepat memperbaikinya agar bisa menghasilkan
lagi dan 350.000 barel diproduksi tiap bulan dari awal tahun 1944.[2]

Menyusul penyerahan Belanda, 5.000 penduduk Tarakan amat menderita akibat kebijakan
pendudukan Jepang. Banyaknya pasukan Jepang yang ditempatkan di pulau ini
mengakibatkan penyunatan bahan makanan dan sebagai akibatnya banyak orang Tarakan
yang kurang gizi. Selama pendudukan itu, Jepang membawa sekitar 600 buruh ke Tarakan
dari Jawa. Jepang juga memaksa sekitar 300 wanita Jawa untuk bekerja sebagai "jugun ianfu"
(wanita penghibur) di Tarakan setelah membujuk mereka dengan janji palsu mendapatkan
kerja sebagai juru tulis maupun membuat pakaian.[3]

Arti penting Tarakan bagi Jepang makin menguap dengan gerak maju cepat angkatan Sekutu
ke daerah itu. Tanker minyak Jepang yang terakhir meninggalkan Tarakan pada bulan Juli
1944, dan serangan udara Sekutu yang hebat pada tahun-tahun itu menghancurkan produksi
minyak dan fasilitas penyimpanan di pulau itu.[4] Serangan ini juga membunuh beberapa ratus
penduduk sipil Indonesia.[5] Sejalan dengan kepentingannya yang makin menurun, garnisun
Jepang di Tarakan berkurang pada awal 1945 saat salah satu dari 2 batalion infantri yang
ditempatkan di pulau itu (Batalion Infantri Independen ke-454) ditarik ke Balikpapan.
Batalion ini dihancurkan oleh Divisi ke-7 Australia pada bulan Juli selama Pertempuran
Balikpapan.[6]

Rencana Sekutu

Tujuan utama serangan Sekutu di Tarakan (nama sandi "Obo Satu") adalah mendapatkan dan
mengembangkan lapangan udara di pulau itu agar bisa digunakan untuk mempersiapkan
perlindungan udara untuk pendaratan berikutnya di Brunei, Labuan, dan Balikpapan. Tujuan
sekunder operasi itu adalah merebut ladang minyak Tarakan dan dibawa ke dalam operasi itu
sebagai sumber minyak untuk pasukan Sekutu di panggung ini.[7]

Di bawah perencanaan pra-serangan, diharapkan bahwa sayap pesawat tempur akan


bermarkas di Tarakan 6 hari setelah pendaratan dan angkatan ini akan dikembangkan untuk
juga menyerang sayap 9 hari kemudian dan mempersiapkan fasilitas untuk 4 skuadron
berikutnya dalam 21 hari pendaratan.[8]

Penggagas rencana Sekutu memiliki intelijen di Tarakan dan pembelanya. Intelijen ini telah
didapat dari sejumlah sumber seperti intelijen penghubung, penerbang pengintai dan pemotret
serta pejabat kolonial Belanda.[9] Tarakan adalah prioritas pertama Services Reconnaissance
Department (SRD) Australia dari bulan November 1944. Namun, kesulitan operasi
penyusupan ke pulau kecil seperti itu dan perebutan kuasa dalam SRD menyebabkan
organisasi hanya bisa memberi bantuan terbatas pada para penerbang.[10]

Pasukan yang berhadapan


Artikel utama untuk bagian ini adalah: Urutan pertempuran Kampanye Borneo (1945)

Prajurit dari Batalion ke-2/48 menyaksikan konvoi yang membawa mereka ke Tarakan

Sekutu

Pasukan Sekutu yang bertanggung jawab untuk pendudukan Tarakan dipusatkan sekitar
hampir 12.000 prajurit dari Grup Brigade ke-26 Australia. Brigade ke-26 dibentuk pada tahun
1940 dan menyusun 3 batalion infantri veteran yang telah menyaksikan gerakan di Afrika
Utara dan Papua. Grup Brigade juga termasuk resimen artileri, skuadron tank dari Resimen
Lapis Baja ke-2/9, skuadron komando, satuan perintis dan zeni. Satuan tempur itu didukung
oleh banyaknya satuan logistik dan medis.[11] Sementara Grup Brigade ke-26 amat melebihi
kekuatan pembela Jepang di Tarakan yang diketahui, Sekutu menjalankan angkatan yang
besar ini karena pengalaman mereka sebelumnya menunjukkan akan sulit mengalahkan
angkatan Jepang jika mundur ke pedalaman Tarakan yang keras.[12]
Grup Brigade ke-26 didukung oleh satuan udara dan laut Sekutu. Satuan udara didatangkan
dari Australian First Tactical Air Force (1 TAF) dan United States Thirteenth Air Force dan
termasuk skuadron tempur dan pengebom. Angkatan Laut didatangkan dari United States
Seventh Fleet dan termasuk beberapa kapal perang dan pengangkut Royal Australian Navy.
Karena tujuan utama menyerang Tarakan adalah untuk menggunakan lapangan terbang pulau
itu, angkatan penyerang itu juga termasuk sejumlah besar satuan darat Royal Australian Air
Force, termasuk Sayap Konstrukti Lapangan Udara No. 61[13]

Angkatan yang mendarat di Tarakan termasuk hampir 1000 pasukan AS dan Belanda.
Pasukan AS termasuk zeni U.S. Army yang mengawaki kapal pendaratan pasukan penyerang
dan LVT serta detasemen Seabee United States Navy di atas Landing Ship Tank. Angkatan
Belanda diatur ke dalam 1 kompi dari infantri Ambon yang dikomandoi oleh perwiraBelanda
dan satuan urusan sipil.[14]

Jepang

Pada saat pendaratan Sekutu, angkatan Jepang di Tarakan berjumlah 2.200 orang yang
didatangkan dari Angkatan Darat Kekaisaran Jepang dan Angkatan Laut Kekaisaran Jepang.
Satuan terbesar adalah Batalion Infantri Independen ke-455 yang berkekuatan 740 orang
yang dikomandoi oleh Mayor Tadai Tokoi. 150 pasukan pendukung AD juga ada di Tarakan.
Sumbangan AL kepada garnisun Tarakan tersusun atas 980 pelaut yang dikomandoi oleh
Komandan Kaoru Kaharu. Satuan laut utama adalah Angkatan Garnisun Laut ke-2 yang
berkekuatan 600 orang. Satuan laut ini dilatih bertempur sebagai infantri dan mengoperasikan
beberapa senapan pertahanan pesisir. 350 pekerja minyak sipil Jepang juga diharapkan
bertempur pada saat serangan Sekutu. Angkatan Jepang termasuk sekitar 50 orang Indonesia
yang berdinas di satuan pengawal pusat. Mayor Tokoi mengarahkan keseluruhan pertahanan
Tarakan, meskipun hubungan antara AL dan AD buruk.[15]

Angkatan Jepang dipusatkan di sekitar Lingkas, pelabuhan utama Tarakan dan tempat satu-
satunya pantai yang cocok untuk pendaratan pasukan.[16] Pembela itu telah menghabiskan
waktu beberapa bulan sebelum serangan yang menyusun posisi bertahan dan menanam
ranjau.[17] Pertahanan yang diatur itu banyak dipakai selama pertempuran, dengan taktik
Jepang yang difokuskan pada posisi bertahan pra-persiapan yang kuat. Jepang tak melakukan
kontra-serangan besar apapun, dan kebanyakan gerakan menyerang terbatas pada beberapa
pihak penyerang yang mencoba menyelusup garis Australia.[18]

Operasi persiapan
Peta yang menunjukkan gerakan satuan Sekutu selama pertempuran

Sebelum tibanya angkatan penyerang, garnisun Jepang di Tarakan dipusatkan pada serangan
udara dan laut intensif antara tanggal 12-29 April.[19] Pengeboman udara atas Tarakan
dipusatkan pada daerah yang berdampingan dengan pantai pendaratan yang direncanakan di
Lingkas dan bertujuan menihilkan pertahanan Jepang di daerah itu. Tank penyimpanan
minyak di Lingkas adalah sasaran utama karena ditakutkan minyak di tank-tank itu bisa
meledak dan digunakan melawan pasukan Sekutu. Pengeboman itu memaksa sebagian besar
penduduk sipil Tarakan untuk lari ke pedalaman.[20]

Karena perlu membersihkan banyaknya ranjau laut di seputar pulau itu dan rintangan pantai
yang meluas di Lingkas, Sekutu tidak mencoba-coba pendaratan mendadak. Unsur pertama
dari armada serangan tiba di lepas pantai pada tanggal 27 April, 4 hari sebelum tanggal
pendaratan utama yang direncanakan. Operasi pembersihan ranjau diselesaikan pada tanggal
1 Mei yang akibatnya 2 kapal penyapu ranjau kecil rusak.[21]

Zeni-zeni dari Kompi Medan 2/13 beristirahat setelah menyapu musuh yang
mempertahankan pantai.

Pada tanggal 30 April, Skuadron Komando Kavaleri ke-2/4 dan Deretan ke-57 dari Resimen
Medan ke-2/7 mendarat di Pulau Sadau yang berdekatan untuk mendukung zeni yang
ditugasi membersihkan rintangan lepas pantai basis penyerangan. Dengan cepat angkatan ini
mengamankan pulau yang tak dipertahankan itu.[22] Pendaratan di Pulau Sadau adalah
pendaratan pertama pasukan Australia di wilayah bukan Australia di Pasifik sejak akhir 1941
(keikutsertaan Australia dalam Kampanye Papua dari tahun 1942 dibatasi oleh porsi Australia
di Papua).[23] Satu-satunya kehilangan Sekutu dalam operasi ini adalah USS Jenkins yang
rusak saat menabrak ranjau selama membantu pendaratan.[24]

Tugas membersihkan rintangan pantai di Lingkas dibebankan kepada Kompi Medan ke-2/13.
Pertahanan itu menyusun sederetan kawat berduri, pos kayu dan rel baja sepanjang 125 yar
dari pantai. Pada pukul 11:00 pada tanggal 30 April, 8 pihak zeni maju di LVT dan
mendaratkan kapal untuk membersihkan rintangan itu. Zeni-zeni itu didukung oleh senapan
di Pulau Sadau serta kapal perang dan pesawat Sekutu. Beroperasi di tengah-tengah
tembakan Jepang, zeni-zeni itu membersihkan semua rintangan yang menghalangi pendaratan
ke pantai. Sementara korban parah telah diperkirakan, Kompi Medan ke-2/13 menyelesaikan
tugasnya tanpa kerugian.[25]

Pertempuran
Pendaratan

Gelombang ke Batalion Infantri ke-2/48 yang meninggalkan HMAS Manoora

Angkatan penyerang utama tiba di pesisir lepas Tarakan di pagi hari tanggal 1 Mei. Didukung
oleh pengeboman udara dan laut yang deras, Batalion ke-2/23 dan Batalion ke-2/48
melakukan pendaratan amfibi di sekitar pukul 08:00. Tiada perlawanan yang dihadapi di
pantai, dan 2 batalion hanya mendapat sedikit korban yang membersihkan pertahanan pesisir.
Pada dini hari, pendarat Australia di muka pantai meluas sampai 2.800 yar sepanjang pesisir
dan lebih dari 2.000 yar ke pulau.[26] Sebagian satuan tempur Grup Brigade ke-26 yang
tersisa, termasuk skuadron tank Matilda II, kemudian mendarat pada tanggal 1 Mei.[27]
Korban Sekutu lebih kecil daripada yang diperkirakan, dengan terbunuhnya 11 orang dan
terlukanya 35 orang.[28] Perlawanan Jepang yang lemah terjadi karena pengeboman yang
deras sebelum pendaratan yang memaksa pembela Tarakan meninggalkan pertahanan kuat di
Lingkas.[29]

Sementara infantri itu berhasil mengamankan muka pantai, pendaratan itu terhambat oleh
keadaan pantai yang buruk. Banyak kendaraan Australia terjebak di lumpur Pantai Lingkas
yang lunak, dan 7 LST kandas setelah komandannya salah menilai penarikan kapal itu ke
pantai. Sedikitnya tanah padat di muka pantai menyebabkan kemacetan yang parah dan
berakibat tak satupun dari senapan Resimen Medan ke-2/7 yang dipergunakan bertempur
hingga siang pendaratan.[30] Kemacetan itu diperparah oleh banyaknya angkatan darat RAAF
yang mendarat pada tanggal 1 Mei dengan kapal yang banyak.[31] 7 LST tak diapungkan lagi
hingga tanggal 13 Mei.[32]
Setelah mengamankan muka pantai, Grup Brigade ke-26 maju ke timur masuk Kota Tarakan
dan ke utara ke arah lapangan udara. Australia menghadapi perlawanan Jepang yang
bertambah hebat karena mereka bergerak ke dalam pulau.[33] Tugas menduduki lapangan
terbang Tarakan dibebankan kepada Batalion ke-2/24. Serangan awal batalion ke lapangan
udara pada malam 2 Mei itu tertunda saat Jepang memasang muatan peledak, dan lapangan
itu tak dapat direbut hingga tanggal 5 Mei.[34] Saat pendudukan lapangan udara itu mencapai
tugas utama Grup Brigade ke-26, Jepang masih mempertahankan pedalaman Tarakan yang
keras.[35]

Selama minggu pertama penyerangan, 7.000 pengungsi Indonesia melewati barisan Australia
yang sedang maju. Jumlah ini lebih banyak dari yang diperkirakan, dan pengungsi itu, yang
kesehatannya banyak memburuk, membanjiti satuan urusan sipil Belanda. Meskipun terjadi
kerusakan di mana-mana akibat pengeboman dan serangan Sekutu, sebagian besar penduduk
sipil menyambut pasukan Australia sebagai pembebas.[36] Ratusan penduduk sipil Indonesia
kemudian bekerja sebagai buruh dan kerani untuk angkatan Sekutu.[37]

Menjamin keamanan dalam kota

2 prajurit dari Batalion ke-2/23 selama serangan ke Freda

Untuk mengamankan pulau itu dan melindungi lapangan udara dari serangan, Grup Brigade
ke-26 dipaksa membersihkan Jepang dari perbukitan di Tarakan yang diselimuti hutan.
Sekitar 1.700 pasukan Jepang menggali parit pertahanan di utara dan tengah pulau. Posisi itu
dilindungi oleh ranjau.[38] Saat menyerang posisi yang memina banyak pertempuran infantri,
pasukan Australia banyak menggunakan artileri dan pasokan udara mereka untuk
meminimalisasi korban.[39] Hal ini sejalan dengan perintah Jenderal Thomas Blamey untuk
Grup Brigade ke-26 untuk maju secara hati-hati setelah lapangan udara direbut.[40] Tank-tank
Australia hanya bisa menyediakan dukungan terbatas kepada infantri tersebut karena lebatnya
hutan, rawa-rawa, dan bukit yang curam di Tarakan sering mengurung gerakan mereka ke
jalanan. Sebagai akibatnya, umumnya tank tak dapat digunakan untuk membuka jalan bagi
penyerangan, dan peranannya terbatas menyediakan tembakan untuk serangan infantri,
dengan artileri yang menjadi sumber pilihan bagi dukungan langsung.[41] Deretan pasukan
Jepang di Tanjung Djoeata di pesisir utara Tarakan dikalahkan oleh USS Douglas A. Munro
pada tanggal 23 Mei.[42]

Batalion Perintis ke-2/3 dan kompi Hindia Belanda dibebani tanggung jawab mengamankan
bagian tenggara Tarakan.[43] Perintis itu mulai maju ke timur Kota Tarakan pada tanggal 7
Mei namun menghadapi perlawanan kuat Jepang yang tak terduga. Dari tanggal 10 Mei,
batalion itu tertahan di 'Helen', yang dipertahankan oleh 200 pasukan Jepang. Pada tanggal 12
Mei, Kopral John Mackey terbunuh setelah menduduki 3 pos senapan mesin Jepang
sendirian. Secara anumerta Mackey dianugerahi Victoria Cross untuk tindakan kepahlawanan
ini. Selama pertempuran di Helen, pengebom berat B-24 Liberator digunakan untuk pasokan
udara dekat untuk pertama kalinya, dengan penempur P-38 Lightning menjatuhkan bensin
kental segera setelah pengeboman. Gabungan ini sebagian terbukti efektif dan menjadi
bentuk standar pasukan udara yang diminta oleh Australia. Angkatan Jepang menarik diri
dari Helen pada tanggal 14 Mei setelah mendapat 100 korban, dan Batalion Perintis ke-2/3
mencapai pesisir timur Tarakan pada tanggal 16 Mei. Batalion itu menderita20 korban
terbunuh dan 46 terluka dalam gerak maju ini.[44] Selama masa ini, kompi Hindia Belanda
menjamin Tarakan selatan sisanya, dan menghadapi perlawanan kecil selama gerak
majunya.[45]

Secara bertahap, garnisun Jepang dihancurkan, dan yang selamat meninggalkan posisi
terakhir mereka di bukit dan mundur ke utara pulau pada tanggal 14 Juni. Pada hari tersebut,
112 buruh Tiong Hoa dan Indonesia meninggalkan daerah yang dikuasi Jepang dengan
catatan dari perwira senior Jepang yang meminta bahwa mereka akan diperlakukan dengan
baik.[46] Saat Radio Tokyo mengumumkan bahwa Tarakan telah jatuh pada tanggal 15 Juni,
perlawanan Jepang terorganisir terakhir dihadapi pada tanggal 19 Juni dan Whitehead tak
menyatakan pulau itu aman hingga tanggal 21 Juni.[47][48]

Masalah pembangunan

Lapangan Udara Tarakan 2 minggu setelah diduduki. Lihat pelubangan yang mendalam.

Saat infantri Grup Brigade ke-26 memerangi Jepang di perbukitan, zeni RAAF dari Sayap
Konstruksi Lapangan Udara No. 61 ikut dalam usaha nekat untuk memasukkan lapangan
udara Tarakan ke daftar operasi. Karena lapangan udara itu rusak berat akibat pengeboman
sebelum serangan dan letaknya di dataran berawa, terbukti akan lebih sulit memperbaiki
daripada yang diharapkan,[49] dan memakan waktu 8 minggu dan bukan 1 minggu untuk
memperbaiki lapangan udara itu agar bisa dipakai. Digunakanlah secara meluas bahan dari
plat baja bersambungan yang diletakkan seperti tikar. Sisa plat itu masih ada di parkir mobil
di Bandara Tarakan.

Saat dibuka pada tanggal 28 Juni,[50] lapangan itu terlambat untuk bisa berperan dalam
mendukung pendaratan di Brunei atau Labuan (10 Juni), maupun pendaratan di
Balikpapan.[51] Namun RAAF Sayap No. 78 bermarkas di Tarakan dari tanggal 28 Juni dan
terbang untuk mendukung dalam operasi di Balikpapan hingga akhir perang.[52] Serangan ke
Tarakan juga membebaskan penduduk sipil dari pasukan pendudukan Jepang yang kejam.

Pembersihan
Gabungan patroli Australia-Hindia Belanda di bagian terpencil Tarakan

Menyusul akhir perlawanan terorganisir, orang Jepang yang tersisa di Tarakan terpecah ke
berbagai kelompok kecil yang menuju ke utara dan timur pulau. Satuan tempur Grup Brigade
ke-26 dipindahkan ke bagian Tarakan di mana mereka menyapu orang Jepang. Banyak orang
Jepang yang mencoba melintasi selat yang memisahkan Tarakan dari Kalimantan namun
tertangkap oleh patroli AL Sekutu.[53]

Dari minggu pertama bulan Juli, orang Jepang yang selamat kekurangan makanan dan
mencoba kembali ke kedudukan lama mereka di tengah pulau dan menyerang posisi Australia
untuk mencari makanan. Karena lapar banyak orang Jepang yang menyerah. Satuan Australia
melanjutkan patroli untuk mencari orang Jepang hingga akhir perang, dengan beberapa orang
Jepang terbunuh ataupun menyerah tiap hari.[54] Patroli itu memakan 36 korban lagi antara
tanggal 21 Juni-15 Agustus.[55] 300 orang Jepang lari dari penangkapan dan menyerah setelah
akhir perang.[56]

Kejadian sesudahnya

Anggota-anggota Batalion ke-2/24 bergambar dengan pedang dan bendera Jepang yang disita
pada bulan Juli 1945

Grup Brigade ke-26 tetap di Tarakan sebagai tentara pendudukan hingga tanggal 27
Desember 1945, meskipun sebagian besar kesatuannya dibubarkan di bulan Oktober. Markas
brigade itu dikembalikan ke Australia pada awal tahun 1946 dan secara resmi dibubarkan di
Brisbane pada bulan Januari 1946.[57]

Ladang minyak Tarakan dengan cepat diperbaiki dan kembali berproduksi. Para insinyur dan
teknisi tiba segera setelah pendaratan Sekutu dan pompa minyak pertama diperbaiki pada
tanggal 27 Juni. Dari bulan Oktober, ladang minyak pulau itu memproduksi 8.000 barel tiap
hari dan menyediakan lapangan kerja bagi banyak penduduk sipil Tarakan.[58]

Satuan Sekutu yang ikut bertempur menyelesaikan tugasnya dengan "kecakapan dan
profesionalisme".[59] Dalam menyimpulkan operasi itu, Samuel Eliot Morison menulis bahwa
"sama sekali hal ini merupakan operasi amfibi yang dilakukan dengan amat baik yang
mencapai tujuannya dengan kerugian minimal".[60] Pertempuran Tarakan menekankan
pentingnya peperangan pasukan gabungan, dan khususnya keperluan infantri untuk
beroperasi dengan dan didukung oleh tank, artileri dan zeni selama peperangan di hutan.[61]

Lepas dari penilaian Morison, korban Grup Brigade ke-26 amat tinggi dibandingkan dengan
pendaratan lain dalam kampanye Borneo. Brigade itu menderita korban lebih dari 2 kali dari
Divisi ke-9 selama operasinya di Borneo Utara dan lebih dari 23 kematian daripada Divisi ke-
7 yang datang di Balikpapan.[62] Korban Grup Brigade ke-26 yang lebih tinggi bisa
diakibatkan oleh tidak bisanya garnisun Tarakan mundur seperti garnisun di Borneo Utara
dan Balikpapan.[63]

Pencapaian angkatan pendaratan itu terhapus oleh fakta bahwa lapangan udara di pulau itu
tidak bisa membantu aksi. Penilaian intelijen yang salah yang menyebabkan penerbang
RAAF percaya bahwa lapangan udara itu bisa diperbaiki menggambarkan kegagalan
utama.[64] Apalagi, prestasi RAAF di Tarakan sering buruk. Prestasi ini mungkin diakibatkan
dari moral rendah yang lazim di sejumlah unit dan 'Pemberontakan Morotai' yang
mengganggu 1 kepemimpinan TAF.[65]

Seperti kampanye Borneo lainnya, operasi Australia di Tarakan masih kontroversial.[66] Debat
terus berlanjut atas apakah kampanye itu merupakan "pertunjukan tambahan" yang berarti,
atau apakah dibenarkan dalam konteks operasi terencana untuk menyerang Jepang dan
membebaskan Hindia Belanda lainnya, yang dijadwalkan bermula pada tahun 1946. Penilaian
sejarawan resmi Australia Gavin Long bahwa "hasil yang dicapai tak membenarkan kerugian
operasi Tarakan"[67] sesuai dengan pandangan yang umum dianut atas pertempuran itu.[68]

Pulau Tarakan sebagai Ladang Minyak dan Ladang Perang (2)

31 Mei 1945. Enam pesawat terbang Liberator dari RAAF (Royal Australian Airforce)
membantu Batalion Infanteri 2/23RD, dalam mengebom posisi-posisi tentara Jepang

Pendudukan Jepang di Tarakan


Sebagai sebuah negara industri baru di kawasan Asia, Jepang sangat membutuhkan sumber
energi baru. Pilihan yang paling rasional adalah mencari sumber energi ke kawasan Asia
terdekat yang kala itu sudah dikuasai terlebih dahulu oleh negara-negara Eropa (Inggris dan
Belanda).

Untuk invasi ke kawasan Hindia Belanda, Pulau Tarakan dijadikan sebagai pintu masuk.
Dipilihnya Tarakan selain karena kaya minyak dan kualitas minyaknya masuk dalam kategori
kualitas nomor satu, karena juga secara geopolitik pulau ini sangat strategis karena
menghubungkan jalur laut ke Australia, Filipina, dan Timur Jauh.
Jepang menginvasi Tarakan pada 11 Januari 1942 dan melakukan serangan udara pada posisi
pertahanan Belanda. Pecahlah kemudian perang tidak seimbang antara dua kekuatan di
Tarakan pada masa itu. Belanda hanya bermodalkan 1.300 serdadu Batalion VII KNIL,
beserta pegawai perusahaan minyak BPM yang dilibatkan sebagai milisi bantuan, segelintir
kapal perang ringan, pesawat tempur dan bomber berhadapan dengan sekitar 20.000 serdadu
Jepang yang dimotori Pasukan Kure, pasukan elite angkatan laut Jepang yang mendarat di
Pantai Amal dalam dua kelompok dengan dukungan pesawat tempur dan kapal perang
lengkap.

Dalam invasi awal itu, Jepang berhasil menang dalam dua hari pertempuran dimana separuh
dari pasukan Belanda tewas. Pasukan Belanda yang dipimpin oleh Letnan Kolonel De Waal
menyerah pada pasukan Jepang yang dipimpin oleh Jenderal Sakaguchi.
Beberapa hari sebelum menguasai Tarakan, Jepang terlebih dahulu telah menguasai Manila,
Sabah, dan Brunei. Dengan dikuasainya Tarakan, maka pulau ini dapat digunakan sebagai
pintu masuk untuk pendudukan lanjutan ke sumber minyak lainnya yakni di Balikpapan,
Pangkalan Brandan di Sumatera Utara, Palembang di Sumatera Selatan, dan Cepu di Jawa
Tengah.

Meskipun pasukan Belanda sempat membumihanguskan ladang minyak sebelum mereka


menyerah, Jepang justru mampu mengembalikan bahkan meningkatkan produktifitas ladang
minyak Tarakan hingga 350.000 barel per bulan hingga awal tahun 1944.
Setelah Belanda menyerah, sekitar 5.000 penduduk Tarakan menderita di bawah kebijakan-
kebijakan represif pendudukan Jepang. Karena banyaknya jumlah pasukan Jepang yang
menduduki pulau Tarakan, dampaknya kemudian adalah pengambilan paksa bahan pakan
milik penduduk dan menyebabkan banyak warga sipil mengalami kekurangan gizi. Pada
masa ini, banyak juga penduduk Tarakan yang kemudian berpindah ke wilayah Tawau, Sabah
sehingga masa ini dikenal dengan masa yang disebut masyarakat Tidung sebagai jamon
vekuasi (zaman evakuasi).

Tercatat, selama masa pendudukannya, Jepang juga mendatangkan sekitar 600 buruh pekerja
dari Pulau Jawa ke Pulau Tarakan untuk bekerja di ladang minyak. Penguasaan Jepang atas
Pulau Tarakan tidak berlangsung lama. Semakin menguatnya kekuatan sekutu dan dengan
kekuatan pasukannya jauh lebih besar membuat Jepang tidak lagi mampu bertahan di
Tarakan.

Rencana Pihak Sekutu


Sesuai dengan Perjanjian Wina pada tahun 1942, negara-negara Sekutu bersepakat untuk
mengembalikan wilayah-wilayah yang kini diduduki Jepang pada pemilik koloninya masing-
masing bila Jepang berhasil diusir dari daerah pendudukannya. Lord Mountbatten sebagai
Komandan Tertinggi Sekutu di Asia Tenggara adalah orang yang diserahi tanggungjawab
kekuasaan atas Sumatera dan Jawa. Sedangkan Tentara Australia diberi tanggung jawab
terhadap Kalimantan dan Indonesia bagian Timur.Maka rencana perebutan Tarakan oleh
Sekutu yang berintikan Tentara Australia sebagai penanggung jawab wilayah Kalimantan
adalah sebuah rencana besar yang akan menguntungkan Belanda, karena jika berhasil direbut,
maka Tarakan yang kaya minyak akan kembali menjadi milik mereka sesuai dengan
Perjanjian Wina tadi.

Dalam rencana pra-invasi dipastikan bahwa sebuah pesawat tempur akan ditempatkan di
Tarakan enam hari setelah pendaratan dan kekuatan ini akan diperbanyak untuk mendukung
serangan udara sembilan hari kemudian dan memperkuat fasilitas serangan dengan tambahan
empat skuadron pesawat tempur dalam 21 hari pendaratan.

Meski tujuan utama dari serangan Sekutu di Tarakan (operasi "Oboe One") adalah untuk
mengamankan dan membangun landasan udara agar bisa digunakan sebagai tempat titik tolak
menuju kawasan lain seperti Brunei, Labuan (Malaysia), dan Balikpapan, motivasi untuk
mengamankan ladang minyak Tarakan sebagai sumber minyak bagi kekuatan Sekutu di
medan perang tidak bisa dinafikan sebagi alasan penting lainnya. (Sumber :
http://anakpagun.blogspot.com/)

1.1 Latar Belakang

Pendudukan di Indonesia berlangsung secara bertahap dari daerah luar pulau Jawa. Daerah
yang pertama kali diduduki oleh Jepang adalah Tarakan Kalimantan Timur pada tanggal 11
Januari 1942. Keesokan harinya daerah ini berhasil dikuasai. Pendudukan Jepang terus
melebar ke daerah Kalimantan lainnya. Setelah semua wilayah Kalimantan berhasil dikuasai,
pasukan militer Jepang bergerak ke pulau Sumatera. Salah satu daerah di Sumatra yang
sangat berarti bagi Jepang adalah Palembang. Dengan dikuasainya Palembang maka gerak
mundur pasukan Sekutu di Sumatra ke Jawa dapat ditutup dan kemungkinan masuknya
bantuan untuk Sekutu dari daerah Jawa dapat dicegah. Penyerbuan tentara militer Jepang ke
Palembang dimulai tanggal 12 Februari 1942 dan berhasil dikuasai tanggal 16 Februari 1942.
Sementara itu, daerah-daerah lain di Sumatera baru dapat dikuasai pada minggu kedua bulan
Maret 1942. Aceh dan Sumatra Timur berhasil diduduki Jepang pada tanggal 11 Maret 1942
dan Sumatra Barat tanggal 17 Maret 1942.

Dikuasainya seluruh pulau Sumatera, terutama Palembang maka terbukalah pulau Jawa bagi
tentara militer Jepang. Kekuatan khusus militer Jepang untuk merebut pulau Jawa berada di
bawah komando Tentara XVI dengan pimpinan Letjend Hitoshi Imamura. Pada tanggal 1
Maret 1942, pasukan tersebut berhasil mendarat di tiga tempat sekaligus yaitu di teluk
Banten, di Eretan Wetan dan di Kragan. Setelah pendaratan di tiga tempat tersebut, Jepang
segera meluaskan peyerangan ke daerah Batavia dan berhasil menaklukkannya sebagai kota
terbuka pada tanggal 5 Maret 1942. Pada tanggal 8 Maret 1942 Panglima tentara Hindia
Belanda, Letjend Ter Poorten dan beberapa pejabat tinggi militer berunding dengan Letjend
Imamura di Kalijati. Hasil perundingan tersebut adalah kapitulasi tanpa syarat angkatan
perang Hindia Belanda pada Jepang. Kedatangan Jepang ke Indonesia yang resmi berkuasa
tanggal 8 Maret 1942 telah mengakibatkan berbagai perubahan. Salah satu perubahan yang
diterapkan adalah dalam pembagian wilayah pemerintahan. Sebelum pendudukan Jepang
berlangsung, pemerintahan yang ada di Indonesia hanya ada satu yaitu pemerintahan sipil.
Setelah pendudukan dimulai, Jepang membagi Indonesia menjadi tiga wilayah pemerintahan
militer. Tiga pemerintahan militer pendudukan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Sumatra diletakkan di bawah Angkatan Darat XXV dengan pusat di Bukittinggi.


2. Jawa dan Madura diletakkan di bawah Angkatan Darat XVI dengan pusat di Jakarta.
3. Kalimantan dan Indonesia Timur diletakkan di bawah Angkatan Laut Armada Selatan
II. [1]

1.2 Rumusan Masalah

Dilihat dari latar belakang diatas adapun rumusan masalahnya, yaitu:

1. Siapa pemimpin Jepang yang dating ke Sumatera ?


2. Siapa tokoh masyarakat atau pemimpin Sumatera ketika Jepang datang ke Sumatera ?
3. Dimana sajakah kota-kota yang disinggahi Jepang di Sumatera ?
4. Bagaimana reaksi masyarakat Sumatera ?
1.3 Tujuan dan Manfaat Penulisan

1.3.1 Tujuan Penulisan

Tujuan utama pembuatan makalah ini untuk memenuhi nilai mata kuliah Sejarah Nasional
Indonesia III. Selanjutnya untuk memaparkan sejarah kedatangan Jepang ke Sumatera, dan
menjelaskan bagaimana reaksi dari masyarakat Sumatera mengenai kedatangan Jepang ke
Sumatera.

1.3.2 Manfaat Penulisan

Adapun manfaat dari penulisan makalah ini adalah penulis dan pembaca lebih memahami
mengenai sejarah dari Sumatera dalam kolonialisasi Jepang. Dan memaparkan reaksi
masyarakat tentang hubungan antara Jepang dan Sumatera.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Latar belakang Jepang ke Sumatera

Dalam bahasa sansakerta, Pulau Sumatera dikenal sebagai Suwarnadwipa yang berarti pulau
emas atau Suwarnabhumi yang berati tanah emas. Istilah-istilah tersebut terdapat di dalam
naskah-naskah India Kuno. Dalam sebuah manuskrip Yahudi Purba diceritakan bahwa
sumber emas yang dipergunakan oleh Nabi Sulaiman untuk membangun kerajaannya berasal
dari kerjaan Ophir yang terletak di timur jauh. Ophir kemungkinan berada di Sumatera Barat
karena di sana terdapat gunung Ophir. Cerita dan pendapat ini sangat mungkin, sebab salah
satu alasan Belanda untuk menguasi Pulau Sumatera adalah karena pulau ini sangat kaya
dengan tambang emas dan barang tambang mineral lainnya seperti batu bara dan timah hitam.
Jadi tidak mengherankan jika Jepang pun ingin menguasai Pulau Sumatera.
Demikian pula dengan kekayaan-kekayaan yang terdapat pada pulau-pulau lainnya, sangat
berharga dan mempesona. Kalimantan tidak hanya terkenal dengan sumber daya alam
hutannya, tetapi di sana terdapat tambang intan, batu bara, minyak bumi, dan sumber daya
alam lainnya. Kepulauan Sulawesi, Nusa Tenggara, dan Papua pun tidak kalah kaya dengan
wilayah-wilayah lainnya di nusantara. Jadi sangat tidak mengherankan jika bangsa asing
termasuk Jepang begitu berkeinginan untuk menguasai Indonesia.

Bulan Oktober 1941, Jenderal Hideki Tojo menggantikan Konoe sebagai Perdana Menteri
Jepang. Sebenarnya, sampai akhir tahun 1940, pimpinan militer Jepang tidak menghendaki
melawan beberapa negara sekaligus, namun sejak pertengahan tahun 1941 mereka melihat,
bahwa Amerika Serikat, Inggris dan Belanda harus dihadapi sekaligus, apabila mereka ingin
menguasai sumber daya alam di Asia Tenggara. Apalagi setelah Amerika melancarkan
embargo minyak bumi, yang sangat mereka butuhkan, baik untuk industri di Jepang, maupun
untuk keperluan perang. Terjadinya perang pasifik sangat berpengaruh besar terhadap
gerakan kemerdekaan negara-negara di Asia Timur, termasuk Indonesia. Tujuan Jepang
menyerang dan menduduki Hindia-Belanda adalah untuk menguasai sumber-sumber alam,
terutama minyak bumi, guna mendukung potensi perang Jepang serta mendukung
industrinya. Jawa dirancang sebagai pusat penyediaan bagi seluruh operasi militer di Asia
Tenggara, dan Sumatera sebagai sumber minyak utama.

Salah satu daerah di Sumatra yang sangat berarti bagi Jepang adalah Palembang. Dengan
dikuasainya Palembang maka gerak mundur pasukan Sekutu di Sumatra ke Jawa dapat
ditutup dan kemungkinan masuknya bantuan untuk Sekutu dari daerah Jawa dapat dicegah.

2.2 Awal Masuknya Jepang ke Sumatera

Daerah yang pertama kali diduduki oleh Jepang adalah Tarakan Kalimantan Timur pada
tanggal 11 Januari 1942. Keesokan harinya daerah ini berhasil dikuasai. Pendudukan Jepang
terus melebar ke daerah Kalimantan lainnya. Setelah semua wilayah Kalimantan berhasil
dikuasai, pasukan militer Jepang bergerak ke pulau Sumatera. Salah satu daerah di Sumatra
yang sangat berarti bagi Jepang adalah Palembang. Dengan dikuasainya Palembang maka
gerak mundur pasukan Sekutu di Sumatra ke Jawa dapat ditutup dan kemungkinan masuknya
bantuan untuk Sekutu dari daerah Jawa dapat dicegah.[2]

Penyerbuan tentara militer Jepang ke Palembang dimulai tanggal 12 Februari 1942 dan
berhasil dikuasai tanggal 16 Februari 1942. Sementara itu, daerah-daerah lain di Sumatera
baru dapat dikuasai pada minggu kedua bulan Maret 1942. Aceh dan Sumatra Timur berhasil
diduduki Jepang pada tanggal 11 Maret 1942 dan Sumatra Barat tanggal 17 Maret 1942.

2.2.1 Sumatera Selatan

Hari itu tanggal 13 Februari 1942 pagi hari, tentara Jepang bersiap menyerang Kota
Palembang, persiapan dilaksanakan dari pangkalan militer perang Jepang di Malaysia dengan
kekuatan udara Jepang bersiap menyerang Palembang yang saat itu masih diduduki oleh
Belanda. Kekuatan Angkatan Laut Jepang juga ikut bergerak menuju Palembang. Alasan
utama Jepang mengambil Palembang dari tangan Belanda adalah embargo minyak yang
diberlakukan Amerika terhadap Jepang. Tidak ada jalan lagi kecuali mengambil alih
kekuasaan Belanda di Palembang, karena Palembang merupakan basis minyak bagi
pemerintahan Belanda di Indonesia saat itu, bahkan minyak yang di ambil Belanda dari
Palembang juga dijual ke negara-negara eropa termasuk Amerika.
Akhirnya Jepang dapat menguasai Sungai Grong dan Plaju, inilah awal cerita penderitaan
warga Sumatera Selatan akan kekejaman penjajahan Jepang. Peristiwa ini memang tidak
pernah di ekspos oleh media, entah mengapa mungkin karena tidak begitu penting. tapi dalam
catatan sejarah Perang Asia Pasific peristiwa penyerangan terhadap Palembang ini adalah
peristiwa yang sangat penting karena Rencana penyerangan langsung atas Perintah Kaisar
Jepang.

2.2.2 Jambi

Pendudukan Jepang atas daerah jambi dimulai dengan masuknya tentara Angakatan Darat
Jepang yang dipimpin oleh Kolonel Namora melalui kota Palembang dan Padang. Setelah
Palembang jatuh ketangan tentara Jepang pada tanggal 14 Pebruari 1942 , maka dari
Palembang tentara Jepang menyerbu masuk Lubuk Linggau, yang jatuh ketangan Jepang
tanggal 21 Pebruari 1942. Selanjutnya setelah Jepang menduduki Muara Rupit tanggal 23
Pebruari 1942, yang diikuti Sorolangun Rawas pada tanggal 24 Pebruari 1942, tentara Jepang
menyerbu masuk daerah Jambi.

Dari daerah Palembang, Serbuan tentara Jepang diarahakan ke daerah Sorolangun Jambi, dan
dapat diduduki Jepang tanggal 25 Pebruari 1942. Sehari kemudian Bangko dan Rantau
panjang diduduki pula. Kemudian setelah melakukan pertempuran sehari semalam, pada
tanggal 28 Pebruari 1942, Muara Bungo dapat diduduki Jepang tanggal 2 Maret 1942,. Di
Muara Tebo tentara Jepang dibagi atas dua bagian, satu bagian bertugas untuk menyerang
pertahanan tentara Belanda di Pulau Musang, dan satu bagian lagi bertugas untuk menyerang
kota Jambi. Dalam pertempuran di Pulau Musang, Kolonel Namaro tewas, sedangkan tentara
Jepang yang bertugas menyerang Jambi di bawah pimpinan Kapten Orito dapat menduduki
kota Jambi tanggal 4 Maret 1942.

Adapun daerah Kerinci, dimasuki dan diduduki oleh tentara Jepang yang datang dari Padang.
Padang diduduki Jepang pada tanggal 17 Maret 1942. Setelah seluruh daerah Jambi dikuasai
oleh Jepang dalam Waktu yang sangat singkat, maka pada tanggal 10 Maret 1942 disusunlah
pemerintahan oleh bala tentara Jepang.

Pada dasarnya susunan pemerintahan Belanda didaerah Jambi, oleh Jepang masih tetap di
pertahankan. Perubahan yang dilakukan oleh Jepang ialah menggantikan nama dan istilah
pemerintahan Belanda dengan istilah atau nama Jepang. Keresidenan di tukar dengan Syu,
sedangkan residen ditukar dengan Syucokan. Afdeling yang dikepalai oleh Kontrolin disebut
Bansyu dan dikepalai oleh Bansyuco. Onderafloling/distrik yang dikepalai oleh Demang
ditukar dengan nama Gun yang dikepalai oleh Gunco. Kemudian daerah Onderdistrik yang
dikepalai oleh Asisten Demang disebut Fuku Gunco.

Secara struktural pemerintahan daerah Jambi pada masa pendudukan Jepang dapatlah
digambarkan Sebagai berikut: Syucokan Jambi dalam menjalankan pemerintahan di Daerah
Jambi dibantu oleh :

1. Somobuco, Kepala Pemerintahan Umum.


2. Keizabuco, Kepala Perekonomian.
3. Keimoboco, Kepala Kepolisian.
Pada waktu itu, Pemimpin Angkatan Perang Jepang setelah menguasai seluruh Sumatera
dipusatkan di Bukit Tinggi, dan oleh karena Panglima Angkatan Perang Jepang di Sumatera
merangkap pula sebagai Kepala Pemerintahan Sipil untuk seluruh Sumatera, maka ibu kota
Sumatera dipindahkan dari Medan ke Bukit Tinggi. Dengan demikian Syucokan Jambi
tunduk kepada Gunzeikan yang berkedudukan di Bukit Tinggi.

Adapun dalam hal pembagian Wilayah Jambu-Syu, Jepang tetap berpedoman kepada susunan
wilayah zaman pemerintahan Belanda di Jambi. Oleh karena itu daerah Kerinci masih tetap
masuk ke dalam Sumatera Barat. Sejalan dengan itu, maka Jambi-Syu terdiri atas tujuh
Bunsyu yaitu :

1. Bunsyu Jambi
2. Bunsyu Tembisi
3. Bunsyu Tungkal
4. Bunsyu Tebo
5. Bunsyu Bungo
6. Bunsyu Bangko
7. Bunsyu Sorolangun.

2.2.3 Bengkulu

Balatentara Jepang datang di Bengkulu pada bulan Juni 1942 dari Palembang, melalui jalan
darat lintas Lahat-Lubuk Linggau-Curup-Bengkulu. Pada saat Jepang datang, Bengkulu telah
dikosongkan oleh Belanda. Hanya terdapat beberapa pejabat di antaranya Residen Belanda
yang bernama Groenneveld. Tanpa perlawanan yang berarti Jepang berhasil menguasai
Bengkulu dengan mudah. Pada mulanya rakyat menerima dengan baik kedatangannya. Hal
itu disebabkan oleh karena pada mulanya Jepang bersikap ramah-tama, bahkan bersikap
sebagai saudara tua. Terutama organisasi pergerakan waktu itu di antaranya Perindra
berorientasi cukup baik pada Jepang, bahkan menganjurkan agar masyarakat menerima
dengan baik kedatangannya.

Untuk menarik hati rakyat, maka kalau pada Zaman Belanda untuk masuk kantor Residen
terlampau formal maka pada zaman Jepang setiap orang bebas untuk masuk kedalamnya.
Kepada rakyat ditanam jahatnya pemerintahan Kolonial Belanda dan membujuk rakyat untuk
membantu usaha peperangan Jepang untuk melenyapkan Kolonial. Segerah dipropagandakan
pergerakan 3A ( Nippon pelindung Asia, cahaya Asia, Pemimpin Asia ). Sisa-sisa melarikan
diri di tawan. Residen Belanda dan seorang penjaga Penjara ( orang Bengkulu asli di hukum
mati ).

Kedatangan Jepang diperlancar berkat jauh sebelum pasukan-pasukannya diterjunkan di


Bengkulu, di daerah ini sejak jaman Belanda telah banyak orang-orang Jepang membuka
usaha. Bahkan menurut perkiraan mereka ini bukanlah semata-mata untuk berdagang dan
usahawan biasa, namuan aktif membantu keberhasilan Negara leluhurnya. Fakta bisa
ditunjukan dengan, Matsukawa yang sejak lama telah tinggal di Bengkulu, pada jaman
Hindia Belanda dia membuka kedai minuman es kacang, Bung Karno erat hubungannya
dengan Matsukawa ini, kerapkali terlibat dalam pembicaraan-pembicaraan rahasia, tentunya
diusahakan tanpa sepengetahuan polisi rahasia yang senantiasa mengawal Bung Karno
dengan ketat. Pertemuan mereka sekali-kali ditemani oleh inggit Gernasih, diduga ada
pembicaraan rahasia. Bung karno sendiri tidak menyaksikan Jepang masuk di Bengkulu.
Beberapa saat sebelum Jepang masuk Bung Karno telah di amankan oleh Belanda ke Padang
dengan Jalan darat arah Muko-muko, Sedangkan Matsukawa oleh penguasa pemerintahan
Jepang diberi fungsi sebagai penterjemah, kemudian secara berturut-turut nasibnya terangkat
menjadi kepala P dan K, Setelah itu menjadi kepala Bagian pemerintahan Umum.

2.2.4 Bangka Belitung

Tahun 1942 tanggal 28 Februari, Jepang melakukan serangan udara terhadap Belitung. Ini
menimbulkan kepanikan luar biasa, sekolah ditutup, orang-orang kota bersembunyi ke hutan
dan kampung-kampung. Orang Eropa dievakusi ke Jawa, dua buah kapal yang membawa
mereka ditenggelamkan. Tahun 1942, 10 April, Jepang masuk ke Belitung, pegawai NV
GMB di internir. Demang KA. Moh.Yusup ditunjuk Jepang sebagai Pengganti asistent
residen untuk waktu tiga bulan dan bertanggung jawab kepada komandan militer.

Tahun 1943 bulan Januari, sekolah-sekolah dibuka lagi, upaya mendatang bahan makanan
untuk rakyat. Perbaikan besar-besaran terjadi termasuk pembukaan tambang-tambang timah.
NV GMB dirubah menjadi MKK yaitu “Mitsubishi Kogyoka Kaisha”. Tambang terowongan
di Gunung Selumar dibuka lagi khusus untuk menggali bijih besi dan tembaga.

Tahun 1943, peladangan padi dibangun Jepang di Perpat selama 6 bulan dan menghasilkan
800 ton padi ladang. Tahun 1943, Jepang membuka pelabuhan bebas, Belitung berkembang
pesat dan ramai, dibuka sekolah pertukangan perahu di Manggar. Dan perahu-perahu 50 ton
ke atas dibangun.

2.2.5 Aceh

Seperti banyak penduduk Indonesia dan Asia Tenggara lainnya, rakyat Aceh menyambut
kedatangan tentara Jepang saat mereka mendarat di Aceh pada 12 Maret 1942, karena Jepang
berjanji membebaskan mereka dari penjajahan. Namun ternyata pemerintahan Jepang tidak
banyak berbeda dari Belanda. Jepang kembali merekrut para uleebalang untuk mengisi
jabatan Gunco dan Sunco (kepala adistrik dan subdistrik). Hal ini menyebabkan kemarahan
para ulama, dan memperdalam perpecahan antara para ulama dan uleebalang. Pemberontakan
terhadap Jepang pecah di beberapa daerah, termasuk di Bayu, dekat Lhokseumawe, pada
tahun 1942, yang dipimpin Teungku Abdul Jalil, dan di Pandrah dan Jeunieb, pada tahun
1944.

2.2.6 Sumatera Barat

Jepang masuk di Sumatera Barat (Minangkabau) tanggal 13 Maret 1942 dan empat hari
setelah itu hampir semua kota penting diduduki tanpa perlawanan dari Belanda. Seiring
dengan itu di Padang dilaksanakan serah terima kekuasaan atas Sumatera Barat antara Jepang
dan Belanda. Kadatangan Jepang ke Sumatera Barat pada awalnya sangat mencemaskan
masyarakat, namun dalam berbagai kesempatan Jepang menyerukan bahwa kedatangannya
adalah sebagai saudara tua untuk membebaskan rakyat dari penjajahan barat. Jepang
menyiarkan slogan “Asia untuk Asia” melalui agen-agen mereka. Rakyat banyak di berbagai
kota menyambut kehadiran Jepang dengan sangat antusias, terutama rakyat yang tidak
mengerti sama sekali dengan perkembangan politik global.

Dalam menjalankan roda pemerintahannya di Sumatera Barat, Jepang pada awalnya tidak
banyak melakukan perubahan struktur pemerintahan, kecuali perubahan nomenklatur ke
bahasa Jepang seperti Sumatera Westkust diganti Sumatra Neishi Kaigun shu, Asisten
Residen diganti dengan Bun Shuco, afdeling dengan Bun, Onder afdeling dengan Fuku Bun,
Distrik dengan Gun, dan seterusnya. Jepang juga masih menggunakan pegawai-pegawai
pribumi yang dulu pernah bekerja dengan Belanda. Ini disebabkan oleh karena bangsa Jepang
yang datang pertama kali adalah serdadu-serdadu yang tidak mengerti soal pemerintahan
sipil. Jepang juga tidak melarang rakyat di daerah ini mengibarkan bendera Merah Putih
bergandengan dengan bendera Hinomaru. Rakyat diberi kebebasan untuk mendirikan
perkumpulan-perkumpulan dan sekolah-sekolah. Pemimpin masyarakat juga dibolehkan,–
bahkan menganjurkan– untuk mendirikan Komite Rakyat yang bergerak di bidang sosial,
terutama mengurangi ekses akibat perang.

Pada masa pendudukan Jepang, Bukittinggi dijadikan sebagai pusat pengendalian


pemerintahan militernya untuk kawasan Sumatera, bahkan sampai ke Singapura danThailand.
Kota ini menjadi tempat kedudukan komandan militer ke-25 Kempetai, di bawah pimpinan
Mayor Jenderal Hirano Toyoji. Kemudian kota ini berganti nama dari Stadsgemeente Fort de
Kock menjadi Bukittinggi Si Yaku Sho yang daerahnya diperluas dengan memasukkan nagari-
nagari sekitarnya seperti Sianok Anam Suku,Gadut, Kapau, Ampang Gadang, Batu Taba,
dan Bukit Batabuah. Sekarang nagari-nagari tersebut masuk ke dalam wilayah Kabupaten
Agam.

2.2.7 Sumatera Utara

Pada tanggal 13 Maret 1942, Tentara Jepang memasuki Medan. Mereka kemudian
menduduki Mesjid Raya untuk dijadikan benteng. Dalam waktu singkat, pasukan Jepang
dapat menduduki kota-kota penting di Sumatera Utara. Raja-raja di Sumatera Utara kemudian
diperintah untuk membantu pelaksanaan berbagai kebijakan pemerintah Jepang. Jepang
memerintah di Sumatera Utara secara sewenang-wenang, dan menyengsarakan rakyat.
Diantara kebijakan yang menyengsarakan rakyat adalah Romusha. Romusha bertujuan
memobilisasi seluruh rakyat untuk membantu Jepang dalam pembangunan pertahanan di
kawasan Asia Tenggara. Banyak diantara para romusha ini dikirim ke luar negeri seperti
Birma, Thailand dan tempat lain untuk dipekerjakan secara paksa dan tidak manusiawi.

2.3 Reaksi Masyarakat

2.3.1 Keadaan Masyarakat Ketika Jepang masuk ke Sumatera

Pada umumnya kadatangan tentara Jepang ke Indonesia semula sangat mencemaskan


masyarakat, akan tetapi dalam berbagai kesempatan Jepang menyerukan bahwa
kedatangannya adalah sebagai saudara tua untuk membebaskan rakyat dari penjajahan Barat.
Jepang menyiarkan slogan “Asia untuk Asia” melalui agen-agen mereka sehingga banyak
rakyat di berbagai kota menyambut kehadiran Jepang dengan cukup antusias, terutama rakyat
yang tidak mengerti sama sekali dengan perkembangan politik global. Di Minangkabau
sendiri, Soekarno yang pada masa awal kedatangan Jepang berada di Padang, pada 17 Maret
1942 bahkan meyakinkan sebagian besar tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia di
Minangkabau agar mau bekerja sama dengan Jepang.

Tahun 1943 Jepang memerintahkan pendirian Gyu Gun untuk membantu pertahanan. Gyu
Gun di Sumatera Barat dipimpin oleh Chatib Sulaiman yang memilih dan merekrut calon
perwira dari Sumatera Barat, Riau dan Jambi. Gyu Gun merupakan satu-satunya satuan
ketentaraan yang dibentuk Jepang di Sumatera Barat. Tentara Sukarela ini kemudian menjadi
inti Divisi Banteng. Dalam menjalankan roda pemerintahannya di Minangkabau, Jepang pada
awalnya tidak banyak melakukan perubahan struktur pemerintahan, kecuali perubahan
nomenklatur ke dalam bahasa Jepang seperti, Sumatra’s Westkust menjadi Sumatra Neishi
Kaigun Shu, asisten residen menjadi bun shuco, afdeling menjadi bun, dan lain sebagainya.
Hal ini disebabkan karena bangsa Jepang yang datang pertama kali adalah serdadu-serdadu
yang tidak mengerti soal pemerintahan sipil. Selain itu, Jepang masih menggunakan pegawai-
pegawai pribumi yang sebelumnya bekerja dengan Belanda. Bahkan, Jepang tidak melarang
rakyat mengibarkan bendera Merah Putih bergandengan dengan bendera Hinomaru. Rakyat
diberi kebebasan untuk mendirikan perkumpulan-perkumpulan, sekolah-sekolah ataupun
organisasi-organisasi yang bergerak di bidang sosial, terutama mengurangi ekses akibat
perang.

Jauh sebelum Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang pada tanggal 8 Maret 1942
dalam perundingan di Kalijati, Bandung, tentara selatan Jepang telah menguasai Singapura.
Setelah menguasai Singapure maka Jepang menempatkan Singapura sebagai pusat tentara
selatan (Nampo Gun) dibawah komando Jenderal Trauchi Hisoichi. Salah satu kesatuan
bawahan tentara selatan adalah Tentara Keenam Belas yang wilayah operasinya adalah
daerah Hindia Belanda. Komandan tentara Keenam Belas adalah Imamora Hitochi. Tentara
Keenam Belas terbagi ke dalam divisi dengan wilayah operasinya masing-masing. Divisi ke-
38 terdapat satu brigade yang ditugaskan mendarat di Palembang dan sekitarnya termasuk
daerah Jambi.

Sebelum Palembang jatuh ke tangan Jepang tanggal 14 Pebruari 1942, Belanda telah
meninggalkan kota Jambi menuju pulau Jawa (Batavia). Sedangkan rakyat Jambi sendiri
sebagai akibat penjajahan Belanda tidak lagi memiliki institusi/ kelembagaan yang mampu
menghimpun perjuangan rakyat seperti zaman Sultan Thaha Syaifuddin, yang ada adalah
institusi pemerintahan adat yang dipegang oleh priayi dan pegawai negeri (ambtenar).
Keadaan inilah yang melapangkan jalan masuknya tentara Jepang dapat dengan mudah
mengambil alih pemerintahan Hindia Belanda di Jambi. Namun demikian ada juga
perlawanan rakyat Jambi menentang tibanya Jepang. Peperangan hebat terjadi di sekitar
Pulau Musang. Tetapi karena memiliki persenjataan yang kurang, maka perlawanan ini tidak
berarti penting karena itu dengan mudah dapat dipatahkan Jepang.

Setelah Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang, maka pihak Jepang melakukan
reorganisasi tentara selatan (Nampo Gun). Jepang membentuk tiga Human Gun (tentara
wilayah). Satu untuk Birma, satu untuk Indonesia dan satu lagi untuk Malaya. Pasukan
Jepang di pulau Sumatra di bawah komando tentara Kedua Puluh Lima. Pembagian
wewenang terhadap wilayah Indonesia, dibagi sebagai berikut ;

1. Angkatan darat oleh tentara Kedua Puluh Lima dan tentara Keenam Belas yang punya
wewenang atas pulau Sumatra dan Jawa.
2. Angkatan laut oleh Armada Ketiga (Armada Wilayah Barat daya) atau Nansei Human
Kintai, punya wewenang atas pulau Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara,
dan Irian.

Kemudian Jepang setelah menguasai seluruh Wilayah Hindia Belanda, maka pemerintahan
Militer Jepang membagi Indonesia Ke dalam 3 wilayah pemerintahan Militer yang berbeda
yakni ;

1. Wilayah Sumatra dikuasai Angkatan Darat (Rikugun) oleh Komando tentara Kedua
Puluh Lima, pusatnya di Bukit Tinggi.
2. Wilayah Jawa dan Madura dikuasai oleh Angkatan Darat oleh Komando tentara
Keenam Belas, pusatnya di Jakarta.
3. Wilayah Kalimantan dan Indonesia Timur dikuasai oleh Angkatan Laut (Kaigun)
pusatnya di Makasar.

Masyarakat Jambi mungkin termasuk lebih dahulu mengetahui kehadiran Jepang di Asia
Tenggara, karena sifat dagangnya yang banyak bepergian ke Singapura dan Malaya. Rakyat
Jambi sama seperti masyarakat lain di Indonesia tidak gelisah, tidak juga cemas, dan juga
tidak khawatir tentang kabar bahwa Jepang sebentar lagi akan menguasai pulau Sumatra.
Diakui bahwa rakyat Jambi ada dendam kesumat terhadap Belanda dan ingin agar Belanda
lari dari Jambi. Terlebih lagi di tengah masyarakat berkembang pendapat bahwa kehadiran
Jepang tidak untuk menjajah, melainkan untuk membebaskan saudara-saudaranya bangsa
Asia dari belenggu penjajahan bangsa Barat dan bersama-sama dengan Jepang membentuk
kemakmuran bersama di lingkungan Asia Timur Raya.

Sebelum tahun 1942 di tengah-tengah masyarakat Jambi memang telah ada orang Jepang
sebagai buruh, pedagang, petani, dan membuka usaha perbengkelan. Mereka itu (orang
Jepang) dalam jumlah terbatas, umumnya kaum pria. Belanda mengakui keberadaan mereka
Jambi sebagai warga Timur Asing. Menurut cerita dari mulut kemelut pada waktu tentara
Jepang masuk ke Jambi ternyata masih ada penduduk yang mengenali orang Jepang itu telah
memakai seragam militer. Lain lagi dengan Belanda yang sangat cemas mendengar kabar
sebentar lagi Jepang akan tiba di Jambi. Kecemasan dan kegelisahan Belanda ini ternyata
mudah diketahui oleh rakyat Jambi, sebab Belanda telah gelisah sedangkan rakyat hanya
biasa saja. Dalam suasana yang cemas, gelisah, dan khawatir itu maka Belanda masih sempat
menebarkan propaganda murahan kepada rakyat di desa-desa, bahwa ;

1. Bahwa tentara Jepang itu sangat ganas terhadap kaum wanita.


2. Bahwa tentara Jepang suka merampas padi, beras, dan ternak penduduk.

Ketakutan dan kecemasan Belanda menjelang tibanya Jepang di Jambi adalah satu kenyataan
yang logis. Selama Belanda berkuasa di Indonesia, ternyata Belanda tidak membangun
pasukan tempur yang memiliki persenjataan lengkap. Tetapi Belanda hanya memiliki
pasukan kecil tentara dan kepolisian dalam negeri yang ditujukan untuk menumpas
pemberontakan oleh pejuang-pejuang pribumi. Sedangkan Jepang memiliki segalanya yaitu
pasukan tempur yang hebat. Sebagai persiapan menunggu tibanya tentara Jepang, maka
Belanda memerintahkan rakyat Jambi untuk :

1. Rakyat di pedesaan diperintahkan agar masing-masing membuat kebun ubi, jagung,


pisang, sebagai persiapan bahan makanan dalam menghadapi Jepang nantinya.
2. Rakyat di pedesaan diperintahkan agar masing-masing membuat rumah talang di
dalam kebun berjarak ± 3 km dari desa, sebagai persiapan menyingkir bila Jepang
masuk.

2.3.2 Sikap Masyarakat Terhadap Jepang

Pada mulanya sikap bangsa Indonesia menerima dengan wajar dan gembira kedatangan
Jepang, namun setelah kekejaman fasis Jepang yang menimbulkan kesengsaraan yang luar
biasa maka timbullah kembali hasrat akan memerdekakan Indonesia. Pemuda rakyat yang
sudah dilatih Jepang dalam Heiho, Gyu gun, Sei-nen-dan, Bo-go-dang, Jei-ge-dang, turut
merasakan penderitaan rakyat dan penduduk sebagai akibat dari segala macam tindakan
pihak Jepang berupa penindasan, perkosaan, dan sebagainya menjadi modal perlawanan atau
pemberontakan di mana-mana terhadap Jepang. Rakyat sebenarnya sudah mengadakan
persiapan secara diam-diam, kemudian secara terang-terangan. Dengan demikian
pemberontakan-pemberontakan yang ditujukan kepada kekuasaan pemerintah militer Jepang
dilakukan baik oleh rakyat maupun oleh unit-unit bersenjata yang pernah mendapat latihan
Jepang maupun oleh kedua-duanya secara bersama-sama. Perlawanan dan pemberontakan ini
terjadi di antaranya di Muara Bungo, Bajubang, dan sebagainya.

Kemudian tenaga rakyat juga dikerahkan untuk keperluan perang Jepang. Romusya dan
Kinrohosyi, paling ditakuti dan mengerikan buat rakyat Jambi. Karena rakyat yang masuk
Romusya dikerjakan secara paksa dan dikirim ke Burma, sedangkan masuk Kinrohosyi juga
berarti ke luar daerah Jambi untuk bekerja secara paksa demi kepentingan tentara Jepang,
rakyat Jambi yang terkena Kinrohosyi dipekerjakan membangun lapangan terbang di
Palembang. Selain Romusya dan Kinrohosyi, rakyat juga dikerahkan menjadi Heiho, Gyu
Gun, yakni pasukan militer yang diperbantukan pada tentara Jepang, untuk pertahanan lokal,
Jepang juga membentuk Sei-nen-dan, Bo-go-dang, dan Jei-ge-dang, yang semuanya
dipaksakan kepada rakyat.

Adapun Hei Ho yakni pasukan militer yang akan bertugas membantu tentara Jepang, terdiri
atas dua angkatan. Angkatan pertama dididik enam puluh orang pemuda daerah ini, dan dari
angkatan pertama ini tiga puluh orang lagi di Payakumbuh, angkatan kedua juga terdiri dari
enam puluh orang, dan dari angkatan kedua ini, tiga puluh orang mendapatkan latihan Hei
Ho, di Plaju, Palembang, dan selebihnya mendapat latihan di Bengkulu. Sedangkan latihan-
latihan Gyu-gun, Sei-nen-da, Bo-Godang, Jei ge dang dilakukan di Jambi. Pada hakikatnya
Jepang, dengan adanya latihan-latihan militer ini telah pula secara tidak sengaja membekali
rakyat daerah ini dengan pengetahuan militer.

Keadaan seperti yang digambarkan di atas tersebut tidak berlangsung lama di Indonesia.
Setelah Jepang merasakan makin terdesak oleh pasukan gabungan Sekutu, keramahan Jepang
terhadap rakyat mulai berbalik seratus delapan puluh derajat. Apalagi keperluan finansial
bagi perang menghadapi Sekutu makin meningkat, sementara sumber penghasilan tidak
bertambah. Oleh karena itu, kebijakan eksploitasi tenaga kerja rakyat untuk kepentingan
Jepang mulai terlihat. Rakyat di sejumlah tempat di Indonesia dipaksa bekerja pada pabrik-
pabrik. Penyiksaan-penyiksaan kejam terhadap rakyat yang membangkang oleh Kempetai
terlihat di mana-mana. Kebebasan para pemimpin rakyat dibatasi, demikian juga organisasi
dan perkumpulan hanya diperbolehkan melaksanakan kegiatan yang berorientasi pengabdian
bagi kepentingan Jepang.
Di Minangkabau, Jepang melakukan perubahan-perubahan secara mendasar dalam bidang
pendidikan. Sekolah-sekolah dimobilisasi untuk kepentingan Jepang. Melalui jalur ini Jepang
berusaha untuk menjepangkan anak-anak Indonesia dengan berbagai cara. Di setiap sekolah
para murid dalam berbagai tingkatan diajarkan bahasa Jepang dan para pemuda diberikan
latihan militer. Mereka dilatih untuk keperluan Kei-bo-dan (pembantu polisi), Sei-nen-
dan (penjaga keamanan kampung), Hei-ho (prajurit Asia Timur Raya), Romusha(tentara
pembangun Asia Timur Raya), dan Gyugun (tentara sukarela). Tujuan diberikannya latihan-
latihan militer tersebut adalah dalam rangka mempersiapkan tentara untuk Perang Asia Timur
Raya.

Untuk membantu mobilisasi kalangan pemuda, pemerintahan Jepang memaksakan kepada


para ulama di Minangkabau untuk memfatwakan bahwa perang Asia Timur Raya sebagai
Perang Sabil. Kewenangan ini justru digunakan oleh para ulama tersebut untuk meyakinkan
rakyat bahwa memerangi bangsa asing termasuk Perang Sabil, dalam hal ini termasuk
bangsa Jepang. Selain itu, para ulama, pemuka adat, dan cerdik pandai (cendikiawan) yang
tergabung dalam Majlis Islam Tinggi (MIT) Minangkabau bersama-sama memberikan
dorongan kepada para pemuda untuk mengikuti pelatihan-pelatihan militer seperti yang
dianjurkan oleh Jepang.

Sikap Jepang terhadap Islam di Indonesia telah digambarkan dalam “Prinsip-Prinsip


Mengenai Pemerintahan Militer di Wilayah Pendudukan” (Senryochi Gunsei Jisshi Yoko)
yang dikeluarkan pada tanggal 14 Maret 1942; di dalamnya disebutkan “bahwa agama-agama
harus dihormati sejauh mungkin untuk menjaga kestabilan pikiran rakyat… Kaum Muslim,
harus diberikan perhatian khusus untuk memanfaatkan mereka dalam rangka mencengkram
pikiran rakyat”. Dengan demikian, jelas bahwa upaya mendekati kalangan agama dan
memberi tempat tersendiri dalam kebijakan pemerintahan pendudukan Jepang di Indonesia
merupakan bagian dari operasi propaganda Jepang.

Ulama-ulama Minangkabau oleh pemerintahan pendudukan Jepang, dianggap memiliki


potensi untuk memanipulasi pikiran rakyat dalam rangka memobilisasi rakyat untuk perang
Asia Timur Raya. Tidak itu saja, Jepang telah membentuk beberapa organisasi ulama seperti
Masyumi dan kelembagaan yang akan berfungsi sebagai pengontrol, seperti Shumuka (seksi
urusan keagamaan) di setiap keresidenan. Bahkan, para ulama diberikan program pelatihan
khusus yang disebut dengan “Kiyai Koshokai” dalam rangka mempersiapkan mereka menjadi
alat propaganda Jepang.

Sebagai satu-satunya organisasi ulama di Minangkabau, Majlis Islam Tinggi (MIT) meminta
kepada Jepang agar diizinkan mendirikan Gyugun, dan pada saat bersamaan pemuda-pemuda
di Minangkabau didorong untuk menjadi pasukan Gyugun agar mendapat pelatihan
kemiliteran dari Jepang. Dengan dorongan tersebut banyak pemuda-pemuda mendaftarkan
diri menjadi Gyugun. Di antara mereka yang tercatat adalah Dahlan Djambek, Ismail Lengah,
Syarif Usman, Dahlan Ibrahim, Syofyan Nur, Syofyan Ibrahim. A. Thalib, Nurmatias, Sayuti
Amin, Alwi St. Marajo, Syefei Ali, Mahyuddin Tonek, Burhanuddin, Munir Latief, dan
banyak lagi yang lain. Perekrutan calon-calon Gyugun sendiri dilakukan bersama-sama oleh
Ahmad Dt. Simarajo, Mahmud Yunus (yang kemudian dikenal sebagai tokoh pendidikan
Islam Indonesia), dan Chatib Sulaiman. Melalui ketiga tokoh itu, MIT meminta kepada
pemuda-pemuda yang masuk Gyugun agar selalu berjiwa Islam dan nasionalis. Pemuda-
pemuda terlatih dalam Gyugun inilah yang pada masa revolusi menjadi laskar-laskar rakyat
bentukan partai-partai dan organisasi di Minangkabau dalam mempertahankan kemerdekaan
Indonesia.
Dukungan semu yang diberikan oleh para ulama Minangkabau pada masa pemerintahan
Jepang ternyata telah membutakan mata Jepang dalam melihat apa yang ada dibalik
dukungan ulama dalam pembentukan Gyugun. Tokoh-tokoh masyarakat bersama-sama
berusaha agar kemerdekaan Indonesia dapat segera dicapai. Sama seperti pada
masa penjajahan Belanda, pada masa pendudukan Jepang peran ulama di Minangkabau
sangat besar, terutama dalam menyelamatkan rakyat dari penindasan dan pengibirian
terhadap Islam sendiri serta mempersiapkan kalangan pemuda dalam rangka menuju
kemerdekaan. Melawan secara terang-terangan tentu merupakan perhitungan yang keliru
pada waktu itu sehingga kalangan ulama memberikan motivasi yang sangat kuat kepada
rakyat untuk melawan secara diam-diam, sambil berlindung dibalik dukungan
terhadap Perang Asia Timur Raya yang didengungkan oleh Jepang.

PETA dibentuk pada tanggal 3 Oktober 1944 atas usul Gotot Mangkupraja kepada Letjend.
Kumakici Harada (Panglima Tentara ke-16). PETA di Sumatera dikenal dengan Gyugun.
Pembentukan PETA ini berbeda dengan organisasi lain bentukan Jepang. Anggota PETA
terdiri atas orang Indonesia yang mendapat pendidikan militer Jepang. PETA bertugas
mempertahankan tanah air Indonesia. PETA merupakan tentara garis kedua. Di Jawa
dibentuk 50 batalion PETA. Jabatan komando batalion dipegang oleh orang Indonesia tetapi
setiap komandan ada pelatih dan penasihat Jepang. Tokoh-tokoh PETA yang terkenal antara
lain Supriyadi, Jenderal Sudirman, Jenderal Gatot Subroto, dan Jenderal Ahmad Yani.
Pergerakan massa rakyat dalam organisasi-organisasi di atas telah mendorong rakyat
memiliki keberanian, sikap mental untuk menentang penjajah, pemahaman terhadap
kemerdekaan maupun sikap mental yang mengarah pada terbentuknya nasionalisme.

Kegiatan ini mencapai klimaks setelah tersiar kabar Jepang menyerah kalah pada tanggal 14
Agustus 1945 yang diikuti dengan Proklamasi Kemerdekaan oleh Sukarno-Hatta, pada
tanggal 17 Agustus 1945. Proklamasi diketahui oleh rakyat di daerah Jambi pada tanggal 18
Agustus 1945, melalui telepon dari A.K. Gani di Palembang. Di Muara Bungo, pemuda-
pemuda menyusun organisasi untuk menjaga keamanan umum. Badan Penjaga Keamanan
telah berdiri sejak 16 Agustus 1945 diketuai oleh Haji Badaruddin Yahya mengambil alih
kekuasaan dari Jepang. Beberapa orang Jepang yang menghalang-halangi digempur oleh
pemuda. Harta benda dan senjatanya diserahkan kepada negara. Persiapan minyak yang
disimpan Jepang untuk keperluan perangnya diambil alih dan digunakan untuk kepentingan
perjuangan kemerdekaan.

Di Kerinci perlawanan rakyat sesudah Proklamasi dilakukan karena kebencian yang


mendalam terhadap Jepang yang bertindak sewenang-wenang selama pendudukan, dengan
tekad untuk merdeka dan berdaulat. Serangan rakyat dilakukan terhadap markas Jepang di
muka lapangan merdeka, Sungai Penuh. Para pemimpin dari perlawanan rakyat Kerinci ini
antara lain A. Thalib, KH. Adnan Thaib, KH. Janan Thaib Bakri, H. Mukhtaruddin, dan H.
Ridwan. Di daerah-daerah lain di mana Jepang dengan suka rela menyerahkan kekuasaannya
tidak terdapat perlawanan atas perebutan kekuasaan. Kalahnya Jepang dari sekutu dalam
Perang Asia Timur Raya membuka Pintu Kemerdekaan Indonesia yang menjadi cita-cita
Pergerakan Nasional Indonesia
DAFTAR PUSTAKA

Irsan, Abdul. 2007. Budaya dan Perilaku Politik Jepang Di Asia. Jakarta: Grafindo

M.C.Riklefs.1994. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press

Marwati Djoened Poesponegoro, 1993. Sejarah Nasional Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka

Zed,Mestika. 2003. Kepialangan Politik dan Revolusi Palembang 1900-1950.Jakarta:


Pustaka LP3ES.

BAB III

KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan

Ketakutan dan kecemasan Belanda menjelang tibanya Jepang di Sumatera adalah satu
kenyataan yang logis. Selama Belanda berkuasa di Indonesia, ternyata Belanda tidak
membangun pasukan tempur yang memiliki persenjataan lengkap. Tetapi Belanda hanya
memiliki pasukan kecil tentara dan kepolisian dalam negeri yang ditujukan untuk menumpas
pemberontakan oleh pejuang-pejuang pribumi. Sedangkan Jepang memiliki segalanya yaitu
pasukan tempur yang hebat.

Datangnya Jepang ke Sumatera mempunyai sisi keuntungan dan kerugian. Kerugiannya


adalah Jepang untuk menghadapi perang Asia Timur Raya melawan sekutu, maka
kebijaksanaan Jepang terhadap wilayah pendudukan bermuara kepada pemenangan perang.
Sehingga wilayah pendudukan dieksploitasi– sedemikian agar mendukung perang melawan
sekutu. Semua potensi sosial, ekonomi, budaya, kepercayaan, lembaga dan potensi lainnya
dimanfaatkan Jepang untuk kepentingan militer. Pemerintahan militer Jepang memanfaatkan
tenaga pribumi untuk duduk dalam pemerintahan sipil. Mereka dilatih untuk keperluan Kei-
bo-dan (pembantu polisi), Sei-nen-dan (penjaga keamanan kampung), Hei-ho (prajurit Asia
Timur Raya), Romusha(tentara pembangun Asia Timur Raya), dan Gyugun (tentara
sukarela).

Akan tetapi dibalik itu semua Jepang menguntungkan Sumatera dalam memberikan
kemerdekaaan. Dengan belajar militer dengan jepang yang mempunyai pasukan tempur yang
kuat mengusir jepang. Para ulama di Minangkabau memfatwakan bahwa perang Asia Timur
Raya sebagai Perang Sabil. Kewenangan ini justru digunakan oleh para ulama tersebut untuk
meyakinkan rakyat bahwa memerangi bangsa asing termasuk Perang Sabil, dalam hal ini
termasuk bangsa Jepang. Melawan secara terang-terangan tentu merupakan perhitungan yang
keliru pada waktu itu sehingga kalangan ulama memberikan motivasi yang sangat kuat
kepada rakyat untuk melawan secara diam-diam, sambil berlindung dibalik dukungan
terhadap Perang Asia Timur Raya.

3.2 Saran

Dalam pembuatan makalah ini mungkin masih terdapat beberapa kesalahan baik dari isi dan
cara penulisan. Untuk itu kami sebagai penulis mohon maaf apabila pembaca merasa kurang
puas dengan hasil yang kami sajikan, dan kritik beserta saran juga kami harapkan agar dapat
menambah wawasan untuk memperbaiki penulisan makalah kami.

[1] M.C.Riklefs, 1994, Sejarah Indonesia Modern, Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press, hal. 297.

[2] Mestika Zed, 2003, Kepialangan Politik dan Revolusi Palembang 1900-1950, Jakarta:
Pustaka LP3ES, hal. 228.

Anda mungkin juga menyukai