Anda di halaman 1dari 11

MENGINGAT MALAM ITU 1965

Sebelum itu, marilah kita mendoakan untuk para arwah Pahlawan,


khususnya Pahlawan Revolusi dan korban lainnya yang gugur pada
malam itu, demi tegaknya ideologi Pancasila.

30 September 1965, malam berdarah bagi Indonesia. Khususnya untuk


keluarga pahlawan revolusi, dan bangsa ini.

Gerakan tersebut terjadi karna adanya fitnah, antara PKI dengan


Petinggi TNI AD (khususnya 7 jenderal) Dalang dari gerakan tersebut
yakin D.N Aidit, dia juga melancarkan aksinya dengan menciptakan
persekutuan konsepsi NASAKOM (Nasionalis, Agama, dan Komunis).
Di sinilah kemudian DN Aidit secara terang dan nyata dinyatakan
sebagai dalang atau otak dari G30S/PKI oleh Pemerintah Republik
Indonesia pada masa Presiden Soeharto.
Pasukan yang dipakai oleh PKI adalah para petani, buruh, anggota TNI,
dan masih banyak lagi. Bukan hanya para lelaki yang ikut menjadi
Gerilyawan PKI, tetapi Perempuan juga ikut Menjadi Gerilyawati PKI.
Mereka semua melakukan Pelatihan di Lubang Buaya, Jakarta.
Mengapa hal itu terjadi, dan yang di incar 7 petinggi TNI AD? Karena
ke-7 petinggi AD menolak keras dengan pendapat dari PKI yang ingin
membuat Angkatan ke-5. Berisikan para petani dan buruh yang akan di
persenjatai.
Lalu dengan dendam yang ada, mereka merencanakan penculikan ke-7
Jenderal TNI AD. Yakni ke-7 jenderal tersebut adalah: A.H Nasution,
Ahmad Yani, D.I Pandjaitan, Siwondo Parman, Sutoyo Siswomiharjo,
R. Soeprapto, M.T Haryono. Serta 1 Jenderal yang sebenarnya juga
ingin diculik, tetapi sedang di China yaitu, Ahmad Sukendro.
Pergerakan tersebut di persenjatai dari AURI, Brigif, dan Cakrabirawa.
Kodam di Pulau Jawa, serta dari Pangkalan Udara Halim
Perdanakusumah. Kodam yang ditarik ke Jakarta yang ditugaskan Untuk
menculik atasannya yaitu, 2 Peleton dari Brigade 1 Kodam Jaya atau
sekitar 60 orang, 1 Kompi minus dari Batalyon I Tjakrabirawa atau
sekitar 60 orang, 5 Kompi Batalyon 530 Brawijaya atau 500 orang, 5
Kompi Batalyon 454 Diponegoro atau 500 orang, Satu Batalyon dari
AURI dan Pasukan Pembela Pangkalan atau 1.000 orang, Perseorangan
dari berbagai kesatuan sekitar 50 orang.
Pada saat penculikan terjadi, komando di ambil oleh Letkol Untung.
Letkol Untung membagi 3 pasukan yaitu,
- Pasukan Pasopati, bertugas menculik semua Jenderal sasaran,
Pasukan ini berisi Cakrabirawa dan Brigif.
- Pasukan Bimasakti, bertugas mengawal Kawasan Monas serta
mengambil alih RRI dan Telkom. Pasukan ini berisi Batalyon 454
dan Batalyon 530
- Pasukan Gatotkaca, bertugas Mengamankan Kawasan Lubang
Buaya. Pasukan ini berisi PPP dan para relawan

----------WAKTU PENCULIKAN-----------

1. Jenderal Besar A.H Nasution


Satgas yang menangkap Jenderal Nasution dipimpin oleh Pelda
Djuhurub dari resimen Tjakrabirawa, terdiri dari satu Regu Kawal
Kehormatan Tjakrabirawam, satu peleton Yon 530/Para Brawidjaja, satu
pleton Yon 454/Para Diponegoro, satu peleton Pasukan Pertahanan
Pangkalan AURI dengan dukungan satu peleton sukarelawan Pemuda
Rakyat.

Pada saat kejadian, para penculik tersebut salah rumah, mereka malah
ke kediaman Menteri J. Leimena. Ditempat tersebut gugurlah 1
pengawal Menteri Leimena, yang bernama AIPDA (Anm) Karel Satsuit
Tubun, seorang anggota Brimob yang sedang berjaga dirumah menteri
pada malam itu. Mengapa para penculik bisa salah alamat? Di karenakan
pasukan tersebut berasal dari luar Jakarta, mereka tidak mengetahui
alamat Jenderal Nasution.

Lalu, sampailah dirumah Jenderal Nasution, Petugas penjaga saat itu


ada 4 orang, mereka semua ditawan oleh PKI di depan rumah Atasannya
itu. Pasukan dibagi menjadi 2 tim, 1 menuju rumah utama tempat Pak
Nas tidur Bersama keluarganaya. Dan 1 tim menuju Paviliun tempat
istirahat para ajudan, penjaga, dan orang yang bekerja di rumah Pak Nas.
Tim 1 berhasil masuk ke dalam rumah pak Nas, lalu memutus
jaringan telepon. Setelah semua dirusak, meraka berteriak di depan
kamar pak Nas, bahwa pak Nas dipanggil presiden ada keadaan genting.
Tapi, bu Nas, menahan dobrakan pintu dengan tubuhnya, dan menyuruh
pak Nas untuk pergi memanjat tembok ke rumah sebelahnya. Saat
kejadian itu, anak pak Nas Ade Irma Suryani tertembak di bagian
punggung oleh PKI. Saat itu Ade sedang di gendong oleh pembantunya,
lalu dengan cepat bu Nas mengambil Ade dari pembantunya. Saat
berjalan menuju luar, bu Nas bertemu dengan PKI, merka bertanya
“Dimana bapak?” bu Nas menjawab “Bapak sedang pergi dinas, dan
kalian kesini hanya untuk membunuh anak saya!”. Sedangkan di
paviliun Yanti anak dari Pak Nas, pergi ke kamar tersebut dan
membangunkan Pierre Tendean (ajudan), bahwa Yanti mengira AC Pak
Nas meledak. Tanpa pikir Panjang Pierre langsung mengenakan jaket
berwarna biru, lalu pergi keluar sambal menenteng senjata. Setelah
keluar kamar, tidak lama kemudian Pierre dihadang pemberontak
tersebut, dan bertannya “dimana Jenderal Nasution?” dan menjawab “
saya ajudan Nasution”. Naas bagi Pierre saat itu, karna yang terdengar
adalah “saya nasution”. Karna pasukan pemberontak tersebut, tidak
mengenali wajah pak Nasution. Terjadi perbedaan pada saat itu, tim
rumah utama tau karna pak Nas tidak ada di rumah, sedangkan tim
paviliun mengatakan bahwa pak Nas telah ditangan. Karna berpacu
dengan waktu, akhirnya Pierre dibawa ke lubang buaya. Memang sejak
awal pierre sudah bertekad akan megorbankan seluruh jiwa raganya
untuk negara. “Keluarga saya sudah dapat banyak dari negara, saatnya
saya jadi milik negara”- (Pierre A. Tendean)

2. Jenderal (Anm) Ahmad Yani


Para penculik Ahmad Yani berangkat dari Lubang Buaya lebih
kurang pukul 03.30 Menggunakan dua truk dan dua bus. Kekuatan
pasukan lebih kurang satu setegah kompi (150 orang). Mereka tiba di
rumah Jalan Lembang sekitar pukul 03.45 Mukidjan membai regunya
menjadi 3 kelompok. Kelompok pertama menjaga bagian belakang,
kelompok kedua menjaga bagian depan rumah, dan kelompok ketiga
yang dipimpin langsung oleh Mukidjan dan Serda Raswad masuk ke
halaman utama dan masuk rumah. Mereka menyampaikan kepada para
pengawal Letjen Ahmad Yani bahwa ada pesan penting dari presiden.
Para pengawal ini kemudian dilucuti senjatanya dan disekap.
Mukidjan di dalam rumah berjumpa dengan anak bungsu Ahmad Yani,
Eddy Yani, yang sedang berada di ruang belakang rumah sang jenderal.
Eddy terbangun karena hendak mencari ibunya yang sedang bertirakat
ke rumah dinas Menpangad di Jalan Taman Suropatu. Eddy dibujuk
untuk membangunkan ayahnya.

Ahmad Yani lalu keluar kamar dan menanyakan maksud


kedatangan mereka pada dini hari buta itu. Raswad segera memberi tahu
bahwa Presiden Soekarno sangat membutuhkan Letjen Ahmad Yani
sekarang juga. Yani sedikit kaget karena sebenarnya ada agenda
menghadap Presiden pukul 07.00, bukan dini hari. Yani kemudian
meminta izin untuk mandi dan berganti pakaian, tetapi permintaan itu
ditolak dengan kasar. Yani pun menjadi geram. “Kau prajurit, tahu apa!”
bentaknya sambal meninju salah seorang di antara mereka sehinnga
jatuh tersungkur.
Yani berbalik badan kembali masuk ke dalam rumah dengan
langsung menutup pintu kaca. Saat itulah Raswad memerintakan Serda
Gijadi untuk menembak. Tujuh peluru menembus kaca, menyambar
punggung sang jenderal, dan akhirnya Yani roboh gugur ke lantai saat
itu juga. Jenazah Yani kemudian diseret dengan posisi badan dan
kepalanya berada di lantai.

3. Letjen (Anm) Siswondo Parman


Para penculik Siswodo Parman berangkat dari basis Lubang Buaya
lebih kurang pukul 03.15 menuju Jalan Serang. Kendaraan yang
dipakai berupa satu bus preman dan satu truk umum. Mereka tiba di
kediaman sang jenderal pada pukul 04.00 dengan suara gaduh yang
memecah keheningan pagi. Parman dan istrinya yang balum tidur
langsung keluar menuju halaman rumah. Mereka menyangka ada
pencuri yang sedang menyatroni di rumah tetangga dan bermkasud
untuk menolong tetangga mereka itu.
Ketika melihat yang dating adalah pasukan dengan pakaian
seragam Tjakrabirawa, Parman segera menanyakan maksud
kedatangan mereka. Pasukan penculik menjawab bahwa mereka
diperintah Presiden Sukarno untuk menjemput Parman “Keadaan
genting?” tanya Parman. “Genting sekali,” jawab penculik
Mayjen Parman segera masuk ke rumah untuk berganti pakaian
diikuti oleh kelompok utama yang bertugas menculiknya. Karena
curiga dengan gerak gerik pasukan yang tidak biasa itu, Parman
meminta istrinya untuk menelpon Ahmad Yani untuk melaporkan
keadaan. Namun, telepon rumahnya dirampas oleh pasukan penculik
tersebut. “Kok telpon saya diambil? Lho saya ini difitnah?” ucap
Parman. Ia kemudian dibawa pergi oleh para penculiknya.
4. Letjen (Anm) R. Suprapto
Para penculik Mayjen R. Suprapto berangkat dari Lubang Buaya
dengan hanya menggunakan sebuah truk. Hal ini disebabkan
Suprapto tidak ada penjagaan sehingga personel penculikan yang
terlihat pun sedikit. Kesembilan belas anggota gerombolan penculik
Suprapto dibagi-bagi menjadi beberapa kelompok kecil yang
dipimpin Sulaiman berusaha masuk masuk ke dalam rumah, yang
menghasilkan suara gaduh dari arah depan rumah. Hal ini
menimbulkan kepanikan yang luar biasa bagi penghuninya.
Mayjen Suprapto yang memang tidak bisa tidur semalaman akibat
giginya baru baru saja dicabut pada malam sebelumnya keluar rumah
hanya dengan menggunakan sarung kotak-kotak, sandal, dan kemeja
piyama. Ia menanyakan hal yang sama, seperti yang ditanyakan rekan
rekannya yang lain yang sedang diculik dini hari itu, dan dijawab oleh
pasukan penculik dengan jawaban yang seragam, bahwa Presidan
Soekarno ingin bertemu.
Tidak sedikit pun kekerasan yang mereka tunjukkan kepada
Suprapto dan sempat terdengar juga mereka memberi hormat ke arah
jenderal. Mayjen Suprapto langsung saja dibawa ke dalam truk dalam
keadaan pakaian ala kadarnya itu. Sebelumnya, para penculik juga
sempat merusak telepon rumah.

5. Mayjen (Anm) Sutoyo Siswomihardjo


Pasukan yang akan menculik berangkat lebih kurang pukul 03.15
dengan kendaraan satu truk tdan tiba di rumah yang beralamat di jalan
Sumenep itu pada pukul 04.00. Para penjaga sipil di jalan itu
dilumpuhkan satu per satu. Pasukan penculik dibagi menjadi
kelompok dengan kelompok utama bertugas memasukin rumah. Regu
ini menggedor gedor pintu kamar Sutoyo dengan cara gaduh dan
berhasil membujuk Sutoyo dengan nada setengah mengancam untuk
membuka pintu kamarnya dengan alasan menyampaikan surat dari
Presiden Sukarno. Brigjen Sutoyo segera menyadari ada sesuatu
yang tidak beres. Ia pun menurut saja tanpa perlawanan. Tangannya
diikat, matanya ditutup, dan langsung dibawa ke dalam truk untuk
kemudian dibawa ke Lubang Buaya.

6. Letjen (Anm) M.T Haryono


Pasukan yang akan Menculik M.T Haryono berangkat dari Lubang
Buaya lebih kurang pukul 03.00 dengan satu truk Tjakrabirawa. Mereka
tiba di rumah Haryono di Jalan Prambanan pada pukul 03.30. Pertama-
tama myang menemui mereka adalah istri Haryono. Ia membukakan
pintu dan bertanya ada keperluan apa. Pasukan memberikan jawaban
yang serupa, yaitu Presiden Sukarno memanggil Mayjen Haryono pagi
itu juga.
Istri Haryono Kembali masuk ke rumah menuju kamar untuk
membangunkan suaminya, diikuti oleh Boengkoes dan pasukannya.
Haryono segera terbangun dan berujar, “tidak ada rapat pagi buta seperti
ini. Mereka tentu punya rencana lain,” menjawab pertanyaan isitrinya
soal keberadaan pasukan liar di rumahnya.
Haryono segera menyuruh istrina untuk pindah ke kamar anak-
anak yang berada di sebelah kamar mereka dan membawa anak-anak
yang berada di paling depan. Sang istri menurut untuk membangunkan
anak-anak dan mengamankan diri di kamar depan sesuai intruksi
Haryono. Gerombolan penculik langsung berusaha masuk ke kamar
belakang tempat Haryono berada sambal berteriak-teriak “Jenderal,
keluar Jenderal! Ada perintah dari istana supaya jenderal segera datang!”
Dari dalam kamar terdengar jawaban, “Kalau mau bertemu, besok
pagi saja di kantor jam 08.00”
Sersan Boengkoes langsung mendobrak pintu kamar, tetapi hanya
menemui ruangan yang gelap gulita karena semua lampu telah dimatikan
Haryono.
Boengkoes sempat membakar koran yang dilemparkannya ke
bawah kolong tempat tidur untuk memberikan sedikit penerangan.
Menurut kesaksian anak Haryono yang sempat melihat kejadian ini, ia
melihat ayahnya berlindung di antara dua lemari saat gerombolan
menyerbu masuk ke kamar. Haryono berusaha menerobos dua penyerbu
yang menghalangi jalannya menuju keluar kamar ke arah kamar mandi.
Yang pertama dipukulnya hingga jatuh, sedangkan yang kedua berhasil
menghindar dan melepaskan tembakan. Tembakan itu menembus tubuh
dan Haryono gugur seketika. Jenazah Haryono dilemparkan ke dalam
truk oleh Serma Boengkoes dan pasukannya untuk segera dibawa ke
Lubang Buaya.

7. Mayjen (Anm) D.I Pandjaitan


Pasukan penculik Brigjen D.I Panjaitan berangkat lebih kurang
pukul 03.30. Kendaraan yang dipakai adalah satu buah truk umum
Tirtayasa, satu buah bus Ikarus, dan satu buah bus PPD. Mereka tiba di
rumah Panjaitan yang terletak di Jalan Hasanuddin, Blok M, Kebayoran
Baru, pukul 04.00. Rumah Panjaitan berlantai dua dengan semua kamar
berada di lantai atas dan dekat rumah tersebut ada paviliun kecil yang
dihuni keponakan Panjaitan, Albert Naiborhu dan Victor Naiborhu.
Penyerbuan yang memecah kesunyian di pagi but aitu
membangunkan semua penghuni rumah, dan penghuni kamar-kamar di
lantai atas segera berkumpul di ruang tengah. Pasukan masuk ke dalam
rumah setelah membuka paksa pagar rumah dan memukuli para
pembantu untuk memberitahukan keberadaan Panjaitan.
Paviliuntempat kediaman Albert dan Victor dihujani rentetan
senjata. Albert sempat meraih sejata api yang disimpan di kamarnya,
untuk melawan para penculik, tetapi ia telah tertembak terlebih dahulu.
Albert pun berteriak, “Tulang, tulang, tulang (Paman) aku terkena
tembakan, jangan turun!”
Seisi perabotan dan hiasan rumah Panjaitan menjadi sasaran dan
luapan kemarahan gerombolan yang tidak sabar ingin mendapatkan sang
jenderal segera untuk dibawa ke Lubang Buaya.
Sama seperti kepada pasukan-pasukan penculik yang lainnya yang
sedang beraksi di rumah sasaran masing-masing, Brigjen Panjaitan juga
menanyakan kedatangan pasukan ini yang dijawab serupa, bahwa
mereka diutus Presiden Sukarno untuk menjeputnya. Akhirnya setelah
diancam bahwa keluarganya akan dibunuh apabila Panjaitan tidak segera
turun, ia menuruti tuntutan penculiknya ini. Panjaitan dengan tenang
mengenakan pakaian dinasnya lengkap dengan tanda pangkat dan
seluruh atribut kehormatannya dan kemudian menuruni anak tangga
rumahnya untuk menemui gerombolan yang menunggunya.
Di anak tangga ketiga, sang jenderal diperintahkan untuk
mengangkat tangan dan tepat di pertengahan tangga, sang jenderal
ditembak. Tembekan tersebut masih melesat dan hanya mengenai lampu
yang ada di lantai atas. Brigjen Panjaitan tetap menuruni tangga dengan
tegap dan tenang. Tepat di halaman rumah, Panjaitan berhenti untuk
berdoa, dan dalam posisi berdoa itu sebutir peluru ditembakan ke bagian
belakang kepala. Panjaitan gugur berbalut pakaian kebesaran jenderal
berbintang satu. Badannya jatuh membentur lantai halaman di depan
teras. Jenazah Panjaitan lalu diseret dan dilemparkan melewati pagar
tinggi rumah untuk dilemparkan ke dalam truk dan dibawa ke Lubang
Buaya

8. Brigjen (Anm) Katamso Darmokusumo


Setelah Letkol Untung mengumumkan Dewan Revolusi di Jakarta,
maka dgn cepat tersiar berita juga telah terbentuk nya Dewan Revolusi
di daerah-daerah termasuk di Yogyakarta. Mendengar berita itu Pak
Katamso segera berangkat ke Magelang utk memastikan berita itu benar.
Setelah kembali dari Magelang, Pak Katamso langsung kembali ke
rumah dinas nya. Sore hari menjelang pukul 17.00 datang beberapa
tentara yang merupakan bawahannya, mereka meminta Pak Katamso
untuk ikut bersama mereka, sempat terjadi perdebatan antara mereka,
lalu Pak Katamso bersedia ikut karena tak ingin kericuhan berlanjut,
terlebih Pak Katamso sudah ditodong pistol oleh tentara itu.
Sampailah mereka di daerah Kentungan Yogyakarta, mereka
membiarkan Pak Katamso berjalan di depan sesaat, lalu dari arah
belakang Pak Katamso dihantam kunci mortir seberat 2 kg dan membuat
Pak Katamso tersungkur dengan kepala berdarah, Pak Katamso sempat
mengucapkan kata terakhir "Saya masih cinta Bung Karno" lalu sekali
lagi Pak Katamso dihantam dengan kunci mortir itu hingga nyawa Pak
Katamso hilang.
9. Kolonel (Anm) Sugiyono Mangunwiyoto
Selang beberapa jam setelah diculiknya Brigjen Katamso, Pak
Sugiyono yang baru datang dari luar kota guna penugasan harian
bermaksud melaporkan hasil penugasan itu kepada Pak Katamso, tapi
ternyata pak Katamso tidak ada di ruangannya, lalu Pak Sugiyono
bergegas menuju ke rumah dinas Pak Katamso dan saat disanalah Pak
Sugiyono dapat info dari anak buah nya sendiri ( ternyata sudah di
pengaruhi PKI ) bahwa Pak Katamso ada di daerah Kentungan
Yogyakarta, akhirnya Pak Sugiyono diantar kesana bersama anak
buahnya itu.
Sama hal nya dengan Brigjen Katamso, Kolonel Sugiyono dihabisi
nyawa nya disana, kepalanya juga dihantam kunci mortir sampai nyawa
beliau terlepas dari raga.

-JASMERAH-

Anda mungkin juga menyukai