September 1965 sinar mentari pagi menyinari rakyat dengan segala aktivitas yang
penuh dengan kesedihan. Karna pada tahun ini mengalami kekacauan yang dimana
kepemerintahan sedang melemah karna presiden soekarno mengalami sakit berat. Lalu
diperkeruh dengan partai komunis yang memperluas kekuatannya dengan cara membunuh
siapapun yang tidak mendukung partai tersebut. Kedatangan komunis selalu di awali dengan
sirine yang membuat rakyat ketar ketir ketakutan.
*suara sirine*
(3 komunis rapat)
Pada malam 30 september sampai 1 oktober PKI mengirim unit berseragam dengan
senjata serta mengaku sebagai cakrabirawa. Dengan tujuan untuk menculik 7 jendral dan
membawanya ke markas PKI di Lubang Buaya. 7 jendral tersebut ialah : Abdul Haris
Nasution, Jendral Ahmad Yani, Mayor Jendral Suprapto, Mayor Jendral Martito Dharmo
Haryono, Mayor Jendral Siswondo Parman, Brigadir Jendral Panjaitan, Brigadir Jendral
Sutoyo Siswomiharjo
Pasukan yang menjemput ahmad yani terdiri dari satu pleton 530 atau brawijaya. 1
regu PP auri dan 2 regu sukarelawan. Organisasi pemuda bernama pemuda rakyat. Salah 1
organisasi dari affiliasi dari Partai Komunis Indonesia atau disebut PKI.
Pimpinan regu satu Letnan Mukijan yang membawa kurang lebih 1,5 kompi pasukan.
Mukijan kemudian membagi regunya menjadi 3 kelompok. Kelompok pertama menjadi
kelompok bagian belakang, kelompok ke dua mejaga bagian depan rumah, dan kelompok ke
tiga yang dipimpin langsung oleh Mukijan serta sersan dua reswat masuk ke halamn utama
dan masuk kerumah.
Saat Letjen Ahmad Yani muncul reswat segera memberitahu bahwa presiden
Soekarno sangat membutuhkan Letjen Ahmad Yani sekarang juga. Namun, Ahmad Yani
kemudian meminta ijin untuk mandi dan berganti pakaian. Namun, permintaannya ditolak
dialog diantara kedua belah pihak berlangsung cukup lama. Hingga akhirnya menimbulkan
kericuhan yang mengakibatkan 7 peluru menembus kaca. Ahmad Yani pun tebrunuh di
kamarnya.
Pada sekitar pukul 3.30 menit pasukan sersan Mungkus dan satu batalion satu
cakrabirawa telah berada dikediaman Mayor Jendral Martito Dharmo Haryono di jalan
Prambanan. Setelah sampai di kediamannya pemimpin pasukan mengetuk pintu rumah.
Kemudian terdengar jawaban dari dalam rumah Martito Dharmo Haryono. Saat itu juga,
sersan Mungkus memutuskan langsung mendobrak pintu depan.
Kendati pintu di dobrak ruangan didalam rumah gelap karena semua ruangan lampu
dimatikan. Seketika sekelebat bayangan bergerak sersan Mungkus langsung menembak
senjatanya ke arah sosok yang bergerak itu. Sosok itu adalah Mayor Jendral Martito Dharmo
Haryono. Peluru Mungkus seketika menewaskannya, jenazah Mayor Jendral Martito Dharmo
Haryono kemudian dibawa oleh pasukan pimpinan sersan Mungkus.
Pasukan yang ditugaskan untuk menculiknya di pimpin oleh sersan Satar dan dari
resimen cakrabirawa. Pimpinan sersan Satar ini didukung dengan kekuatan Satar
Cakrabirawa dan 1 batalion 530 atau para brawijaya, saat pasukan penculik telah datang
dirumah Mayor Jendral Siswondo Parman di jalan Serang pada tanggal 1 oktober 1965 pukul
04.00 wib. Saat pasukan penculik datang Siswondo Parman dan istrinya yang sedang terjaga
langsung keluar menuju halamannya. Secara langsung Siswondo Parman bertanya kepada
pasukan cakrabirawa atas apa yang terjadi. Lalu pasukan cakrabirawa menjawab bahwa
mereka di perintahkan oleh presiden untuk menjemput Mayor Jendral Siswondo Parman.
Siswondo Parman kemudian masuk kedalam rumah untuk berganti pakaian. Siswondo
Parman mengira jika dirinya akan ditahan atas perintah presiden soekarno. Sambil berganti
pakaian Siswondo Parman membisikan pesan kepada istrinya agar segera menghubungi
Letjen Ahmad Yani. Namun demikian, perintah tersebut terdengar pasukan penculik segera
saat itu pasukan cakrabirawa merampas telepon tersebut dan pergi membawa Siswondo
Parman.
Pasukan yang bertugas menculik Jendral Abdul Haris Nasution dipimpin oleh juhuru.
Mereka sampai dirumah Jendral Abdul Haris Nasution pada tanggal 1 oktober 1965 sekiatr
pukul 04.00 wib. Mengetahui ada suara yang tedengar istri Abdul Haris Nasution terbangun
dan langsung keluar kamar. Tetapi langsung kembali ke kamar mengunci pintu dan
memberitahu pada suaminya. Sang istri berbisik pada nasution menagatakan bahwa ada
pasukan cakrabirawa diluar dan melarang sang suami untuk keluar.
Kendati di larang Abdul Haris Nasution penasaran ingin memastikan apa yang dilihat
istrinya. Abdul Haris Nasution tidak yakin cakrabirawa datang dengan mendobrak pintu.
Kemudian Abdul Haris Nasution membuka pintu kamar mengecek keadaan. Saat pintu
dibuka tembakan menyasar kearahnnya oleh seorang pasukan cakrabirawa dalam jarak 1,5m.
Abdul Haris Nasution kemudian menutup pintu dan tiarap. Mendengar suara tembakan istri
Abdul Haris Nasution bergegas menyelamatkan anaknya yaitu Ade Irma Nasution. Istri A.H.
Nasution membopoh Ade Irma untuk menuju ke kamar lain. Namun naas, saat mencoba
menyelamatkan justru Ade Irma tertembak dalam pelukan ibunya. Ade Irma Nasution
dinyatakan meninggal dunia.
Nasution yang merasa terkepung dengan kemudia melarikan diri. Sementara itu Lettu
Pieere Tendean yang telah keluar kamar dan membawa senjata segera ditangkap oleh
pasukan penculik yang mengiranya adalah sosok Jendral Abdul Haris Nasution. Lettu Piere
Tendean kemudian ikut di angkut kelubang buaya.
Pasukan yang ditugaskan untuk menculik Brigjen Sutoyo Siswomiharjo dipimpin oleh
sersan mayor Surono yang mempimpin 1 peleton dari resimen cakrabirawa. Saat regu yang
menculik Brigjen Sutoyo Siswomiharjo sampai ditempat kediamannya di jalan Sumenep.
Pasukan yang akan menangkap Mayor Jendral Suprapto terdiri dari satu pleton
bataliyon cakrabirawa. Pada tanggal 1 oktober 1965 sekiatr pukul 04.00 wib pasukan
penculik sampai dirumah Mayor Jendral Suprapto. Pasukan ini kemudian berkeliling rumah
dan dibagi menjadi kelompok kecil untuk berjaga di sekitar rumah. Salah satu kelompok kecil
yang dipimpin oleh sulaiman berusaha masuk kedalam rumah. Mayor Jendral Suprapto yang
kebetulan malam itu tidak bisa tidur akhirnya keluar rumah. Kopral dua Suparman
menyambut Mayor Jendral Suprapto dan mengatakan bahwa presiden ingin segera bertemu.
Mayor Jendral Suprapto tidak diizinkan untuk berganti pakain dan langsung saja dibawa ke
markas PKI.
Beberapa perabot rumah jadi sasaran tembakan, istri dan anak Brigadir Jendral
Donald Isaac Panjaitan yang juga berada dikamar semakin ketakutan. Mendengar suara
tembakan dari ruang tamu maka Brigadir Jendral Donald Isaac keluar dengan Langkah
perlahan dan tenang meski lantai satu sudah dikuasai para tantara penculik.
Pasukan tentara tersebut memberikan alasan bahwa jendral berbintang satu itu
dipanggil oleh presiden Soekarno karna kondisi darurat. sebelum itu, Brigadir Jendral Donald
Isaac Panjaitan menyempatkan diri untuk berdoa yang menyebabkan para tentara semakin
marah. Dan mengakibatkan Panglima Angkatan Darat itu di tembak. Brigadir Jendral Donald
Isaac Panjaitan pun tewas.
Jenazahnya dibawa pergi ke lubang buaya. Darah dari pria kelahiran Balige Sumatera
Utara itu berceceran di teras rumah. Penembakan itu disaksikan oleh putri sulungnya yaitu
ketrin. Setelah gerombolan tentara pergi ia mendatangi tempat ayahnya ditembak. Ketrin
menatap dengan penuh haru dan mengusapkannya ke wajah.
3 jendral dan 1 letnan yang masih hidup termasuk Pieere Andreas Tendean dibawa
kerumah penyiksaan. Rumah tersebut merupakan kediaman salah seorang warga desa lubang
buaya. Sebelum dibunuh disuruh menandatangani atas nama dewan jendral terkait tipu
muslihat PKI bahwa Angkatan Darat akan melakukan kudeta terhadap pemerintah yang sah.
Padahal itu cerita khayalan yang dikarang PKI.
Jendral Siswondo Parman diminta untuk tanda tangan namun beliau kukuh TNI
Angkatan Darat tidak akan melakukan kudeta. Pada titik itulah penyiksaan terhadap para
jendral dan ajudan Nasution yang masih hidup dimulai. Mereka semua Mayjen Siswondo
Parman, Mayjen Suprapton, Brigjen Sutoyo, serta Lettu Piere Andreas Tendean akhirnya
tewas dibunuh. Dalam kondisi antara hidup dan mati tubuh para jendral itu lantas diseret dan
dimasukan kesebuah sumur layaknya hewan yang sudah mati.
Setelah semua tubuh para jendral dimasukkan kedalam sumur, pimpinan pasukan PKI
menembaki tubuh para jendral
Penemuan jasad
Kini yang tersisa hanya patung-patung kami, janganlah kalian takut kami masih ada
disini meskipun raga kami telah ditelan dibumi tapi jiwa kami akan selalu ada untuk ibu
pertiwi.
September mengukir sejarah pilu luka ini merah darah membanjiri ibu pertiwi. Para
pahlawan jatuh bertumpah ruah demi melawan komunis dan penjajah, walau musuh selalu
mengintaimu namun menyerah tak ada disejarahku, penjajahan telah kau hancurkan,
penghianatan telah kau binasakan, pancasila telah kau bangkitkan untuk melindungi tanah air
berkedaulatan.