Anda di halaman 1dari 2

Kronologi diculiknya brigjen D.

I Panjaitan
G-30-S PKI adalah suatu pengkhianatan yang paling besar yang terjadi pada bangsa
Indonesia. Peristiwa tersebut terjadi di malam hari, tepatnya pada pada pergantian dari tanggal 30
September ke 1 Oktober. Tragedi ini melibatkan Pasukan Cakrabirawa dan juga Partai Komunis
Indonesia atau PKI. Atau G-30-S PKI adalah sebuah gerakan yang memiliki tujuan untuk
menggulingkan pemerintahan Presiden Soekarno serta mengubah Indonesia menjadi negara yang
menerapkan sistem komunis.
G30S PKI dilatarbelakangi oleh dominasi ideologi Nasionalisme, Agama, dan Komunisme
(NASAKOM) yang berlangsung sejak era Demokrasi Terpimpin diterapkan, yakni tahun 1959-1965
di bawah kekuasaan Presiden Soekarno.
Beberapa hal lain yang menyebabkan mencuatkan gerakan yang menewaskan para Jenderal ini adalah
ketidakharmonisan hubungan anggota TNI dan juga PKI. Pertentangan pun muncul di antara
keduanya.
Pada 1 Oktober 1965 sekitar pukul 03.00 WIB, Komandan Satuan Tugas (Satgas) Pasopati,
Letnan (Inf) Doel Arif membentuk tujuh pasukan dari Satgas Pasopati di Lubang Buaya untuk
menculik ketujuh jenderal.
Satu di antara tim yang dibentuk bertugas khusus untuk menculik Brigadir Jenderal (Brigjen) Donald
Ishak Pandjaitan (D. I. Panjaitan).
Pasukan yang ditugaskan untuk menculik Brigjen D. I. Pandjaitan dipimpin oleh Sersan Mayor
Soekardjo.
Soekardjo didukung dengan tim Resimen Tjakrabirawa dan Regu Yon 454/Para Diponegoro sejumlah
50 orang.
Penculikan D. I. Pandjaitan dibantu oleh Kopral Soedikin sebagai petunjuk jalan.
Pasukan penculik pergi ke kediaman D. I. Pandjaitan dengan dua truk yang terdiri dari pasukan
Resimen Tjakrabirawa dan Yon 454 Diponegoro berjumlah sekitar 50 orang.
Sekitar pukul 04.00 WIB, pasukan penculik tiba di kediaman D. I. Pandjaitan di Jalan Hasanuddin,
Blok M, Kebayoran Baru.
Dilaporkan dalam Ramadhan KH dan Sugiarta Sriwibawa, 'D. I. Pandjaitan Pahlawan
Revolusi Gugur dalam Seragam Kebesaran', rumah Pandjaitan terdiri dari dua lantai dengan kamar
tidur yang berada di atas.
Di dekat rumahnya, terdapat sebuah paviliun kecil yang dihuni kerabat Pandjaitan.
Setelah tiba di rumah Pandjaitan, pasukan penculik kemudian membuka pagar rumah dengan paksa.
Dilaporkan, pasukan penculik memaksa seorang pembantu untuk menunjukkan letak kamar tidur D. I.
Pandjaitan.
Kerabat dekat Pandjaitan yang tinggal di paviliun kecil dekat rumahnya, Albert Naiborhu dan
Victor Naiborhu mengetahui suara pasukan penculik.
Mereka berdua mengira terjadi perampokan di rumah Pandjaitan.
Setelah itu, mereka bergegas mempersiapkan senjata api yang dimaksudkan untuk melawan pasukan
penculik.
Namun nahas, kedua kerabat Pandjaitan tersebut tertembak terlebih dahulu.
Dari dalam rumah, D. I. Pandjaitan kemudian diminta turun dari lantai dua oleh pasukan penculik,
namun D. I. Pandjaitan menolak.
D. I. Pandjaitan kemudian berusaha menghubungi polisi.
Tapi usahanya gagal karena sambungan telepon telah terlebih dahulu diputus.
D. I. Pandjaitan kemudian diancam bahwa semua keluarganya akan dibunuh apabila tidak turun.
Pandjaitan yang telah berganti seragam militer, kemudian turun dari lantai dua.
Setelah turun, di halaman rumahnya, Pandjaitan dipukul dan ditembak oleh pasukan penculik hingga
tewas seketika.
Jenazah D. I. Pandjaitan kemudian dimasukkan ke dalam truk dan dibawa ke Lubang Buaya, tempat
di mana semua jenderal dikumpulkan.
Dilaporkan juga bahwa pada pukul 04.30 WIB, seorang agen Polisi II Sukitman yang sedang
berpatroli di Jalan Iskandariyah, Kebayoran Baru disergap oleh pasukan penculik D. I. Pandjaitan.
Karena mengetahui keributan tersebut, Sukitman dimasukkan ke dalam truk dan ikut dibawa pergi ke
Lubang Buaya.
Senapan dan sepedanya juga ikut dirampas.

Jenazah para jenderal baru diangkat dari Lubang Buaya sekitar 75 jam setelah pembunuhan.
Tak terkecuali jenazah D. I. Pandjaitan.
Pada tanggal 4 Oktober 1965 sekitar pukul 16.30 WIB, atas perintah Panglima Komando Cadangan
Strategis Angkatan Darat (Kostrad) selaku panglima Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban
(Pangkopkamtib), sejumlah dokter diinstruksikan untuk melakukan pemeriksaan jenazah.
Instruksi tersebut keluar dengan surat perintah nomor PRIN-03/10/1965.
Mempertimbangkan cuaca tropis Indonesia yang panas dan lembab, maka mayat ketika diautopsi
berada dalam proses pembusukan.

Anda mungkin juga menyukai