Anda di halaman 1dari 8

TOKOH TOKOH PAHLAWAN REVOLUSI

YANG GUGUR DALAM PERISTIWA


G30S/PKI
1. Jenderal TNI Anumerta Ahmad Yani

wikimedia.org

Sejak tahun 1962, Ahmad Yani adalah orang nomor satu di Angkatan Darat. Ia menjabat
sebagai Panglima AD ke-6 di pemerintahan Presiden Soekarno. Ia juga merupakan figur yang
disenangi oleh sang presiden.

Sebelum 30 September 1965, Ahmad Yani sebenarnya sempat mendengar desas-desus bahwa
DN Aidit dan pasukan akan menindak para jenderal. Namun ia tidak menghiraukannya
karena sebelumnya peringatan tersebut adalah gertakan kosong. Ia pun tidak memperketat
pasukan pengawal untuk dirinya sendiri. 

Sampai akhirnya pada dini hari 1 Oktober 1965, pasukan Pasopati PKI mengepung kediaman
Ahmad Yani. Sang jenderal yang berusaha berontak pun ditembak dan dibawa pergi dengan
bersimbah darah. Dua hari kemudian, jasadnya ditemukan di sumur Lubang Buaya, Jakarta
Timur bersama dengan enam perwira lainnya. 

Lahir di Purworejo, Jawa Tengah, 19 Juni 1922, Ahmad Yani adalah salah satu Pahlawan
Revolusi yang sangat terkenal. Jasanya begitu besar terhadap Republik Indonesia sehingga
namanya diabadikan menjadi nama jalan di kota-kota besar. 
2. Letnan Jenderal R. Suprapto

wikimedia.org

Berikutnya ada Letnan Jenderal R. Suprapto. Semasa hidupnya, ia selalu berdekatan dengan
maut, mulai dari menjadi tawanan tentara Jepang hingga ikut angkat senjata di Ambarawa
untuk melawan Sekutu. Ia selalu berhasil selamat dari usahanya mempertahankan Tanah Air. 

Namun tak ada yang menyangka bahwa ternyata ia harus mati di tangan orang-orang yang
dibelanya, saudara setanah-airnya sendiri pada 30 September 1965. Suprapto yang sedang
tidur dijemput dari rumahnya oleh pasukan bernama Cakrabirawa. Mereka mengaku bahwa ia
dipanggil oleh Presiden Soekarno. 

Namun ia menghilang sejak saat itu. Ia baru ditemukan lagi pada 3 Oktober 1965 dengan
kondisi sudah tak bernyawa di dalam Lubang Buaya. Suprapto diduga mati karena sebelas
peluru yang bersarang di tubuhnya. 

3. Letnan Jenderal M.T. Haryono

wikimedia.org
Mas Tirtodarmo Haryono adalah seorang letnan jenderal Angkatan Darat. Ia adalah salah satu
perwira tinggi TNI yang dibawa ke Lubang Buaya dalam kondisi telah meninggal dunia. 
M.T. Haryono menjadi korban kekejaman PKI dalam usia yang tergolong masih muda, yaitu
41 tahun. Sama seperti Suprapto, ia dijemput paksa oleh pasukan Cakrabirawa pada 30
September 1965 selepas tengah malam dengan dalih dipanggil oleh Soekarno. 

Ia sempat menyuruh istri dan anak-anaknya untuk segera pergi. Saat hendak merebut senjata
salah satu penculiknya, ia justru ditembak hingga mati di dalam kamarnya sendiri. Jasad
Haryono pun dibawa dengan truk menuju ke Lubang Buaya. 

4. Letnan Jenderal S. Parman

wikimedia.org

Berikutnya ada Letnan Jenderal Siswodo Parman atau yang dikenal dengan nama S. Parman.
Ia sempat menjalani sekolah kedokteran namun akhirnya terjun di bidang militer. Tugas besar
yang pernah diembannya adalah menghentikan pemberontakan Angkatan Perang Ratu Adil
(APRA).

Salah satu peran S. Parman di Angkatan Darat adalah menjadi sosok intelijen yang dekat
dengan PKI. Terlebih lagi kakaknya, Ir. Sakirman adalah salah satu politbiro atau petinggi
PKI. Jadi bisa dibilang bahwa ia tahu banyak informasi tentang rahasia dan rencana
kelompok tersebut. 

Namun ternyata ia tak luput menjadi sasaran penculikan pada 1 Oktober 1965. Sekitar pukul
04.00 WIB, kediamannya dikepung oleh pasukan Cakrabirawa. Ia kemudian ditembak mati
dan tubuhnya dibuang di Lubang Buaya. Mirisnya, diduga sang kakaklah otak dari
penculikan dan pembantaian terhadap S. Parman. 
5. Mayor Jenderal D.I. Pandjaitan

wikimedia.org

Mayor Jenderal Donald Isaac Pandjaitan juga termasuk dalam sasaran penculikan dan
pembantaian. Diduga, hal ini terjadi karena D.I. Pandjaitan berhasil menggagalkan
penyelundupan senjata dari Tiongkok yang dilakukan oleh PKI. 

Pada tanggal 1 Oktober 1965 sekitar pukul 04.30 WIB, pasukan PKI menerobos masuk ke
kediaman Pandjaitan. Mereka juga menembaki rumahnya secara bertubi-tubi.

"Cepat turun jenderal!" sahut para penculik.


Mendengar suara tembakan dan kegaduhan tersebut, Pandjaitan berusaha mengambil
senjatanya namun sayang pistolnya macet. Ia pun memutuskan untuk menemui pasukan PKI
dengan damai. Pandjaitan adalah sosok yang religius, ia berdoa sejenak sambil berhadapan
dengan PKI.

Namun saat itu juga, kepalanya dipukul hingga ia tersungkur dan akhirnya peluru
ditembakkan ke arah tubuh sang jenderal. D.I Pandjaitan, bersama dengan Ahmad Yani dan
M.T. Haryono adalah tiga perwira yang dibawa ke Lubang Buaya dalam keadaan telah
meninggal dunia.

6. Mayor Jenderal Sutoyo Siswomiharjo

wikimedia.org
Berikutnya ada Mayor Jenderal Sutoyo Siswomiharjo. Seperti kawan-kawannya, ia disergap
oleh pasukan Cakrabirawa dini hari pada 1 Oktober 1965 di kediamannya. 

Puluhan orang itu menerobos masuk, menghancurkan semua barang yang ada di rumah
Sutoyo sambil berteriak-teriak. Sutoyo pun memilih untuk tidak melawan agar keonaran yang
dilakukan tidak semakin menjadi. 

Ia pun dibawa oleh pasukan yang mengaku sebagai Pengawal Presiden Soekarno tersebut.
Keluarga yang ditinggalkan panik dan bingung karena tidak tahu sang kepala keluarga itu
dibawa ke mana. 

Namun akhirnya pada tanggal 3 Oktober 1965, berita buruk itu datang. Sutoyo Siswomiharjo
yang merupakan jaksa utama militer pada saat itu, ditemukan bersama enam orang lainnya
dalam kondisi meninggal dunia di Lubang Buaya. 

7. Kapten Pierre Tendean

cloudfront.net

Pierre Andreas Tendean merupakan perwira TNI yang merupakan keturunan Prancis.
Walaupun masih sangat muda, yaitu 26 tahun, ia sudah memiliki banyak pengalaman. Salah
satunya adalah terlibat dalam penumpasan PRRI/Permesta. 

Saat itu, Pierre Tendean masih menjabat sebagai ajudan dari Jenderal Abdul Haris Nasution.
Maka tak heran jika pada 1 Oktober 1965, ia berada di kediaman jenderal sasaran PKI
tersebut. 

Dini hari, saat Tendean sedang tertidur di kamar belakang rumah dinas Jenderal Nasution,
pasukan Cakrabirawa datang menyergap. Mereka menembak rumah secara bertubi-tubi dan
membuat kegaduhan. Ia bersiap-siap mengisi pistol dan mendatangi pasukan tersebut. 

Sayangnya, Pierre Tendean dihadang banyak orang bersenapan. Pasukan Cakrabirawa


mengira bahwa dirinya adalah Nasution sehingga mereka membawa Pierre Tendean.
Sementara sang jenderal berhasil melarikan diri dengan melompati pagar belakang. 

Sesampainya di Lubang Buaya, Pierre Tendean pun ditembak mati bersama para jenderal lain
seperti Sutoyo, S. Parman, dan Suprapto. Ia meninggalkan ibu, keluarga, dan perempuan
yang akan menjadi istrinya dua bulan setelah kepergiannya. 
8. AIPDA Karel Satsuit Tubun

izbio.id

Ajun Inspektur Polisi Dua Anumerta Karel Satsuit Tubun atau KS Tubun adalah salah satu
korban kekejaman PKI. Ia adalah satu-satunya perwira yang menjadi korban kekejaman PKI
yang bukan merupakan anggota TNI. 

Pada saat itu, KS Tubun sedang berjaga di rumah Wakil Perdana Menteri Johannes Leimena.
Pasukan Cakrabirawa yang hendak ke rumah Jenderal A.H. Nasution ingin melumpuhkan
pasukan yang menjaga Leimena. Sebab rumah keduanya berdekatan. 

KS Tubun pun langsung menghadapi mereka dengan senjata yang masih melekat di bajunya.
Namun sayangnya, satu lawan delapan. KS Tubun pun tertembak dan meninggal di tempat. 

Perlu digarisbawahi bahwa KS Tubun tidak termasuk dalam jajaran perwira yang dibuang di
Lubang Buaya. Namun ia termasuk ke dalam salah satu Pahlawan Revolusi Indonesia. 

9. Brigadir Jenderal Katamso Darmokusumo

wikimedia.org

Brigjen Katamso Darmokusumo sedang bertugas di Yogyakarta saat berita hilangnya para
perwira di Jakarta menyebar ke kalangan TNI. Ia dan para prajuritnya kebingungan karena
tidak tahu pasti apa yang sebenarnya telah terjadi. 
Pada 1 Oktober 1965, ia masih harus menghadiri rapat di Magelang dalam keadaan yang
kalut. Ia tak tahu bahwa tepat setelah ia pergi, orang-orang militer di Yogyakarta yang
berkubu dengan PKI mengambil alih markas. 

Setelah rapat, Katamso kembali ke rumah dinasnya di Yogyakarta untuk mengadakan rapat
bersama beberapa anak buahnya yang juga berkhianat. Tiba-tiba datanglah mobil dan truk
besar berisi pasukan bersenjata. Di saat yang sama, anak buah Katamso yang berkhianat
sudah mempersiapkan kuburan untuknya.

Orang-orang itu seketika menodongkan senjata ke arah Katamso dan memaksanya ikut
dengan mereka. Para pengkhianat itu kemudian dibawa dalam kondisi terikat dan mata
tertutup. Kepalanya dipukul dua kali dengan logam hingga ia meninggal dunia. 

10. Kolonel Sugiono

biografipahlawan.com

Pahlawan Revolusi terakhir adalah Kolonel Sugiono Mangunwiyoto. Seperti Katamso, ia


juga menjadi korban pengkhianatan militer Yogyakarta yang berkubu dengan PKI. Saat itu ia
adalah kepala Korem 072 Yogyakarta yang didatangi oleh Brigjen Katamso. 

Ada dua versi kisah pembunuhan Sugiono. Pertama, ia disebut sedang berada di rumah dinas
Katamso ketika penyergapan dimulai. Seakan setali dua uang, pasukan PKI dan pengkhianat
membawa keduanya ke Batalyon Kentungan untuk disiksa dan dibunuh. 

Versi lain mengatakan bahwa kedua perwira itu berada di tempat yang berbeda. Sugiono
yang hendak bertemu dengan Katamso ditangkap di markas Korem Yogyakarta. 

Sugiono bersama dengan Katamso sempat disiksa dengan kejam sebelum akhirnya dibunuh
pada 2 Oktober 1965. Jasad keduanya baru ditemukan 19 hari setelahnya, yaitu 21 Oktober
1965. Dua perwira itu kemudian menjadi Pahlawan Revolusi yang berasal dari Yogyakarta.

Itulah kisah memilukan dari 10 Pahlawan Revolusi Indonesia. Setelah bersusah payah
melawan penjajah, ternyata hidup mereka berakhir di tangan "saudaranya" sendiri. Jasa-jasa
kesepuluh tokoh ini patut dikenang dan diabadikan dalam sejarah. 

Anda mungkin juga menyukai