September sampai awal bulan selanjutnya tahun 1965 ketika tujuh perwira tinggi militer
Indonesia beserta beberapa orang yang lain dibunuh dalam suatu usaha kudeta. Peristiwa
ini menjadi salah satu tragedi kelam dalam sejarah bangsa Indonesia. Pada 30 September
1965 malam hingga pagi keesokannya, sebanyak tujuh orang perwira TNI dibunuh secara
keji. Mereka dituduh akan melakukan makar terhadap Presiden Pertama RI Soekarno
melalui dewan Jenderal. Jenazah ketujuh pahlawan revolusi tersebut kemudian dimasukkan
ke dalam sebuah sumur di kawasan Lubang Buaya, Jakarta Timur. Ketujuh perwira tersebut
adalah sebagai berikut:
2. Mayjen R Soeprapto
Berdasarkan informasi dari laman Sejarah TNI, pada 30 September 1965, Soeprapto
baru saja melakukan pencabutan gigi sehingga pada malam harinya merasa tidak
nyaman dan tidak bisa tertidur. Di saat itu, Suprapto menyelesaikan lukisan yang
niatnya akan diserahkan kepada Museum Perjuangan di Yogyakarta. Sekitar pukul
04.30 pagi di keesokan harinya, rombongan penculik menghampiri rumahnya. Anjing
menggonggong, Soeprapto pun bertanya siapa yang ada di luar. Rombongan di luar
menjawab "Cakrabirawa", mengetahui hal itu tanpa rasa curiga apa pun Suprapto
yang masih dalam keadaan mengenakan piyama dan sarung keluar menemui
mereka. Pasukan itu mengatakan Suprapto diminta menemui Soekarno saat itu juga.
Sebagai prajurit yang patuh pada pimpinan tertingginya, Suprapto mengiyakan.
Namun, ia meminta izin untuk terlebih dulu berganti pakaian. Permintaannya tidak
diizinkan, dan justru langsung menodong Suprapto dengan senjata dan sebagian
memegang tangannya, sembari membawanya ke luar untuk dinaikkan ke atas truk
yang sudah menunggu. Rupanya, Jenderal asal Purwokerto, Jawa Tengah, ini dibawa
ke Lubang Buaya. Di sana, ia dianiaya dalam keadaan tubuh terikat. Selanjutnya,
jenazahnya dilemparkan begitu saja ke dalam lubang sumur yang sempit, yang juga
menjadi lokasi pembuangan jasad korban penculikan yang lain.
3. MT Mayjen Haryono
23 November 1965, mayat M.T. Haryono ditemukan di sumur Lubang Buaya, nomor
dua dari bawah, di atas jenazah D.I Panjaitan. Sebelumnya, M.T Haryono yang
dikenal sebagai penyayang anak ini diberondong peluru di kediamannya, saat
mencoba melawan rombongan yang datang dan menculiknya. Sayangnya, jumlah
lawan terlalu besar, banyak peluru yang akhirnya bersarang di tubuh Haryono. Ia pun
ambrug dan diseret naik ke atas truk rombongan penculik. Diduga, ketika itu
Haryono sudah dalam kondisi tidak bernyawa. Istrinya yang mengetahui kejadian ini
segera mengunci anak-anaknya dalam kamar dan mengemudikan mobil sendiri ke
kediaman Ahhmad Yani, dengan maksud melaporkan apa yang terjadi. Namun, di
kediaman Ahmad Yani rupanya terlihat terjadi hal serupa. Tidak kehabisan akal, istri
Haryono langsung balik arah ke kediaman S. Parman, namun sayang keadaan yang
sama kembali ia temukan.
4. Mayjen S. Parman
S. Parman disergap pada 1 Oktober 1965 sekira pukul 04.00 WIB. 23 Oktober 1965,
perwira yang pernah berjuang di peristiwa Madiun, APRA, D.I. Jawa Barat dan Jawa
Tengah ini tidak menyadari kedatangan rombongan penculik, karena menggunakan
seragam Cakrabirawa. Rombongan itu mengatakan suasana di luar genting, bahkan
mereka ikut masuk ke kamar tidur saat Parman berganti pakaian. Laki-laki bernama
lengkap Siswondo Parman ini pun dibawa pergi. Saat itu, rumahnya tidak ada yang
menjaga, hanya ada istri dan anaknya di sana. Penculikan itu berjalan dengan lancar.