Anda di halaman 1dari 3

Gerakan 30 September adalah sebuah peristiwa yang terjadi selewat malam pada tanggal 30

September sampai awal bulan selanjutnya tahun 1965 ketika tujuh perwira tinggi militer
Indonesia beserta beberapa orang yang lain dibunuh dalam suatu usaha kudeta. Peristiwa
ini menjadi salah satu tragedi kelam dalam sejarah bangsa Indonesia. Pada 30 September
1965 malam hingga pagi keesokannya, sebanyak tujuh orang perwira TNI dibunuh secara
keji. Mereka dituduh akan melakukan makar terhadap Presiden Pertama RI Soekarno
melalui dewan Jenderal. Jenazah ketujuh pahlawan revolusi tersebut kemudian dimasukkan
ke dalam sebuah sumur di kawasan Lubang Buaya, Jakarta Timur. Ketujuh perwira tersebut
adalah sebagai berikut:

1. Jenderal Ahmad Yani


Ahmad Yani adalah satu di antara 6 jenderal yang terbunuh pelatuk senapan PKI
pada 1 Oktober 1965 dini hari di kediamannya, Menteng, Jakarta Pusat. Lahir pada
19 Juni 1922 di Purworejo, Jawa Tengah, Ahmad Yani tutup usia di umur 43 tahun.
14 Agustus 2017, pemandu Museum Jenderal Ahmad Yani, Sersan Mayor Wawan
Sutrisno, mengungkapkan pasukan yang datang menyergap masuk melalui pintu
belakang dan membunuh Sang Jenderal saat itu juga. Semetara, yang lain ada yang
bertugas menyekap pasukan penjaga rumah Ahmad Yani, ada juga yang bertugas
mengepung rumah itu.

2. Mayjen R Soeprapto
Berdasarkan informasi dari laman Sejarah TNI, pada 30 September 1965, Soeprapto
baru saja melakukan pencabutan gigi sehingga pada malam harinya merasa tidak
nyaman dan tidak bisa tertidur. Di saat itu, Suprapto menyelesaikan lukisan yang
niatnya akan diserahkan kepada Museum Perjuangan di Yogyakarta. Sekitar pukul
04.30 pagi di keesokan harinya, rombongan penculik menghampiri rumahnya. Anjing
menggonggong, Soeprapto pun bertanya siapa yang ada di luar. Rombongan di luar
menjawab "Cakrabirawa", mengetahui hal itu tanpa rasa curiga apa pun Suprapto
yang masih dalam keadaan mengenakan piyama dan sarung keluar menemui
mereka. Pasukan itu mengatakan Suprapto diminta menemui Soekarno saat itu juga.
Sebagai prajurit yang patuh pada pimpinan tertingginya, Suprapto mengiyakan.
Namun, ia meminta izin untuk terlebih dulu berganti pakaian. Permintaannya tidak
diizinkan, dan justru langsung menodong Suprapto dengan senjata dan sebagian
memegang tangannya, sembari membawanya ke luar untuk dinaikkan ke atas truk
yang sudah menunggu. Rupanya, Jenderal asal Purwokerto, Jawa Tengah, ini dibawa
ke Lubang Buaya. Di sana, ia dianiaya dalam keadaan tubuh terikat. Selanjutnya,
jenazahnya dilemparkan begitu saja ke dalam lubang sumur yang sempit, yang juga
menjadi lokasi pembuangan jasad korban penculikan yang lain.

3. MT Mayjen Haryono
23 November 1965, mayat M.T. Haryono ditemukan di sumur Lubang Buaya, nomor
dua dari bawah, di atas jenazah D.I Panjaitan. Sebelumnya, M.T Haryono yang
dikenal sebagai penyayang anak ini diberondong peluru di kediamannya, saat
mencoba melawan rombongan yang datang dan menculiknya. Sayangnya, jumlah
lawan terlalu besar, banyak peluru yang akhirnya bersarang di tubuh Haryono. Ia pun
ambrug dan diseret naik ke atas truk rombongan penculik. Diduga, ketika itu
Haryono sudah dalam kondisi tidak bernyawa. Istrinya yang mengetahui kejadian ini
segera mengunci anak-anaknya dalam kamar dan mengemudikan mobil sendiri ke
kediaman Ahhmad Yani, dengan maksud melaporkan apa yang terjadi. Namun, di
kediaman Ahmad Yani rupanya terlihat terjadi hal serupa. Tidak kehabisan akal, istri
Haryono langsung balik arah ke kediaman S. Parman, namun sayang keadaan yang
sama kembali ia temukan.

4. Mayjen S. Parman
S. Parman disergap pada 1 Oktober 1965 sekira pukul 04.00 WIB. 23 Oktober 1965,
perwira yang pernah berjuang di peristiwa Madiun, APRA, D.I. Jawa Barat dan Jawa
Tengah ini tidak menyadari kedatangan rombongan penculik, karena menggunakan
seragam Cakrabirawa. Rombongan itu mengatakan suasana di luar genting, bahkan
mereka ikut masuk ke kamar tidur saat Parman berganti pakaian. Laki-laki bernama
lengkap Siswondo Parman ini pun dibawa pergi. Saat itu, rumahnya tidak ada yang
menjaga, hanya ada istri dan anaknya di sana. Penculikan itu berjalan dengan lancar.

5. Brigjend D.I. Panjaitan


D.I. Panjaitan diculik pada 1 Oktober 1965 waktu subuh. Pasukan berseragam yang
datang dengan menggunakan dua buah truk langsung mengepung rumah Panjaitan
dari segala penjuru arah. Tapi, ia mengira pasukan itu ditugasi untuk menjemput
dirinya agar bertemu dengan Soekarno. Panjaitan pun berpakaian rapi, resmi,
lengkap dengan topi, layaknya akan pergi ke satu upacara. Namun tanpa diduga,
pasukan itu justru menembaki barang-barang yang ada di rumahnya hingga hancur
berserakan. Melihat kondisi seperti itu, Panjaitan yang merupakan seorang umat
beragama yang taat menolak untuk menggunakan kekuatan para penjaga di
rumahnya, meskipun sudah beberapa kali diperingatkan. Ia percaya hanya Tuhan
yang akan melindungi dirinya. Akhirnya, ia turun dari kamarnya di lantai 2 dan
menemui rombongan itu. Jenderal asal Tapanuli itu sempat melawan, sehingga ia
ditembak di halaman rumahnya seketika itu juga, dan langsung dibawa pergi.

6. Brigjen Sutoyo Siswodiharjo


19 November 1965, penculikan Sutoyo terjadi pada 1 Oktober 1965 pagi.
Rombongan datang ke rumah Sutoyo dan mengamankan lokasi di sekitar jalan
rumahnya, orang dilarang melintas dan hansip yang berjaga dibuat tidak berdaya.
Pasukan yang masuk ke dalam rumah pun memaksa pembantu yang ada di sana
untuk memberikan kunci agar bisa menemukan sasaran operasi, Sutoyo. Sutoyo
dipanggil dan disebut diminta untuk menemui Soekarno di Istana Kepresidenan.
Setelah memenuhi panggilan itu, Sutoyo pun diajak untuk naik ke truk, kendaraan
yang digunakan rombongan penculik. Saat di atas truk itu, Sutoyo diikat tangannya
dan ditutup matanya. Lalu, ia diturunkan di sebuah rumah dekat Lubang Buaya. Pagi
hari sekitar pukul 07.00 WIB, suara tembakan beberapa kali terdengar. Dan jenazah
dari Sutoyo pun dimasukkan ke sumur dengan ditutup menggunakan sampah dan
daun-daun.

7. Lettu Pierre Andreas Tendean


Pada 9 Oktober 1965 laki-laki keturunan Perancis ini bukan sasaran para penculik.
Namun Tendean saat 1 Oktober 1965 pagi tengah berada di rumah Jenderal A.H.
Nasution, atasannya, yang merupakan target sesungguhnya. Saat rombongan itu
datang dan bertanya kepada Tendean, apakah dia adalah A.H. Nasution, tanpa ragu
Tendean menjawab, "Ya, saya lah Jenderal Nasution", meski ia tahu apa risikonya.
Tindakan itu ia lakukan agar sang Jenderal bisa selamat. Dan benar, A.H. Nasution
memang lolos dari penculikan. Padahal, Tendean sebenarnya bisa saja mengatakan
yang sejujurnya dan terbebas dari kekejaman yang pada ujungnya menjadi akhir
hidupnya.
5 Oktober 1965, jenazah ketujuh perwira tersebut dimakamkan di Taman Makam
Pahlawan Kalibata, Jakarta, bertepatan dengan HUT ke-20 ABRI. Namun, sebenarnya
masih ada 3 orang lain yang juga turut dibunuh pada rentetan peristiwa G30S/PKI
itu. Namun, jasad mereka tidak turut dibuang dalam sumur yang sama dengan
ketujuh jasad perwira TNI tersebut. Ketiganya adalah Aipda K.S. Tubun, Brigjen
Katamso, dan Kolonel Sugiono. Semuanya, baik yang jasadnya dibuang di Lubang
Buaya atau tidak, dianugerahi gelar sebagai pahlwan revolusi untuk menghormati
jasa dan pengorbanannya.

Anda mungkin juga menyukai