Anda di halaman 1dari 119

1

Daftar Isi

AH Nasution Selamat dari Penculikan ...............................................................3


Antoinette ...........................................................................................................6
Asmaradana ......................................................................................................19
Bandung Lautan Api .........................................................................................25
Barong Bali .......................................................................................................27
Binar Kue Bulan ...............................................................................................28
Garis Waktu ......................................................................................................39
Hari Merdeka ....................................................................................................56
Instagram ..........................................................................................................58
Kemelut di Majapahit .......................................................................................59
Kenangan Warna Jingga ...................................................................................61
Keras Hati..........................................................................................................66
Pantai Misteri ....................................................................................................72
Perjuangan R.A. Kartini ...................................................................................75
Pertempuran Ambarawa ...................................................................................81
Rasa Syukur ......................................................................................................82
Restu Pernikahan Dewi Sanggalangit ..............................................................87
Saksi Bisu Keluarga Belanda ...........................................................................89
Sumpah Pemuda ...............................................................................................95
Sumur Berdarah ...............................................................................................97
Terowongan Casablanca ................................................................................100
Titik pertemuan ..............................................................................................104
Utari ................................................................................................................114
Warak .............................................................................................................118

2
AH Nasution Selamat dari Penculikan
Oleh: Febry Mazidatun Ni'mah

Pada zaman dahulu disebuah tempat di kawasan Pondok Gede Jakarta, telah terjadi
tempat pembuangan para korban Gerakan September pada 30 September 1965. Sumur
Lubang Buaya ini terletak di Kecamatan Cipayung Jakarta Timur. Dan di sejarah ini terdapat
salah satu sosok pahlawan yang lolos dari penculikan G30 S-PKI sosok ini bernama Abdul
Haris Nasution atau disebut AH Nasution. Ia adalah salah satu Jenderal Besar TNI dan
menjadi ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara. AH Nasution mempunyai istri
yang bernama Johanna Sunarti, dan mempunyai dua anak yaitu Hendrianti Saharah dan Ade
Irma Suryani. Sosok AH Nasution lahir pada 3 Desember 1918.

Sejarah ini telah ternoda oleh tragedi G30 S-PKI pada tanggal 30 September 1965.
Masa penjajahan daerah Lubang Buaya ini merupakan daerah sentral pelatihan sejarah PKI
(Partai Komunis Indonesia). Lubang Buaya ini merupakan daerah yang menjadi tempat
sejarahnya para PKI mengumbar dosa. Peristiwa ini juga sering di filmkan dengan durasi
4jam yang diputar setiap malam 30, September menunjukkan dengan jelas dosa-dosa para
PKI pada tahun 1965.

Mencekamnya pada malam peristiwa G30S/PKI, sempat diceritakan oleh putri sulung
Jenderal (Purn) AH Nasution, Hendriyanti Sahara atau yang kerap disapa Yanti Nasution.
Saat pasukan Cakrabirawa merangsek ke rumahnya, sebenarnya Johanna dan AH Nasution
sudah terbangun karena ada nyamuk. Saat itu, mereka berdua tidur dengan sang putri bungsu,
Ade Irma Nasution. Di saat bangun itu lah, pasukan Cakrabirawa mencoba merangsek ke
rumah mereka. "(Mereka terbangun saat) persis pintu depan bunyi, dibuka orang," ujar Yanti,
Selanjutnya, Johanna mengintip. Ia melihat ada pasukan Cakrabirawa masuk. Johanna
memang sudah memiliki firasat bahwa akan ada orang yang berniat membunuh suaminya.
Karena itu, ia langsung bilang ke Nasution untuk jangan keluar. "Lalu, Ibu bilang sama ayah,
'itu yang membunuh kamu sudah datang, kamu jangan keluar, tutup pintu'. Pintu ditutup sama
Ibu," ujar Yanti. Namun, AH Nasution sempat tak menggubris perkataan istrinya. Ia malah
berniat menghadapi pasukan tersebut.

Sekali lagi, Johanna mengingatkan suaminya, bahwa yang dicari pasukan itu adalah
seorang AH Nasution. "Tapi ayah nekat, buka pintu itu lagi. Ditembak lagi. Di depan pintu
ditembak lagi. Terus ayah menjatuhkan diri. Pelurunya lewat atas kepala Ibu," ujar Yanti.
Tembakan itu membuat penghuni lain di rumah tersebut terbangun. Ibunda AH Nasution pun
ikut terbangun dan keluar dari kamarnya. Ia menangis. Namun, Johanna menenangkannya

3
agar tak menangis. Berikutnya, Johanna menyerahkan putri bungsunya, Ade Irma ke Mardiah.
Mardiah adalah tante dari Ade Irma dan Yanti. "Mungkin kan suasananya seperti itu. Tante
saya (malah) keluar dari pintu yang Cakrabirawanya di situ. "Adik saya tertembak lagi di situ.
Adik saya tertembak, pintu ditutup lagi oleh ibu saya. Terus ibu saya yang lihat adik saya
sudah tertembak," ujar Yanti. Sambil menggendong Ade Irma yang sudah berdarah, Johanna
meminta suaminya untuk menyelamatkan diri. Akhirnya, ia membawa AH Nasution untuk
melompati tembok Kedubes Irak yang berada di samping rumahnya. "Di situ, ayah sudah
naik, terus mau turun lagi. Terus Ibu bilang, 'sudah jangan pikirkan kita, kamu yang dicari',"
ujarnya.

AH Nasution akhirnya berhasil melarikan diri. Sementara itu, Johanna yang masih
menggendong Ade Irma mencoba untuk menelpon Mayjen Umar Wirahadikusuma. Namun,
panggilan tak tersambung. Teleponnya ternyata sudah diputus. Di dalam rumahnya, Johanna
pun sempat bertemu dengan pasukan Cakrabirawa. Salah seorang anggota pasukan itu
bertanya keberadaan AH Nasution. "Ibu jawab, 'Pak Nasution sudah 2 hari tidak di rumah',"
ujar Yanti. Tak disangka, Johanna yang masih menggendong Ade Irma malah mengantar
beberapa pasukan Cakrabirawa sampai ke depan rumah. Johanna memastikan sampai pasukan
itu benar-benar pergi. Kemudian, Johanna mencoba mencari bantuan agar bisa membawa Ade
Irma yang terluka ke rumah sakit. "Ibu saya bilang, 'kamu tinggal di sini, kamu cari
perlindungan dulu. Ibu mau bawa adek dulu ke rumah sakit'. Ibu saya berangkat ke RSPAD,
saya masih ngumpet di belakang sama tante saya yang kena tembak sama nenek saya," kata
Yanti.

Akhirnya, jam setengah 8 pagi, Yanti ke RSPAD. Di sana, ia juga melihat ada anggota
keluarga DI Pandjaitan yang terluka. "Terus saya lihat adek saya sudah berdarah-darah. Lihat
dia saya nangis. Dia bilang 'kakak jangan menangis' Terus dia tanya 'ibu kenapa ayah
ditembak'. Itu yang terakhir saya lihat," ujarnya. Ade Irma Nasution wafat di rumah sakit pada
usianya yang masih kecil, 5,5 tahun. Pierre Tendean pun Berkorban Demi AH Nasution
Kapten Tendean atau Pierre Tendean adalah ajudan AH Nasution yang gugur sebagai
Pahlawan Revolusi, menjadi korban G30S pada 1965. Namun, ia menunda kepulangannya
karena tugasnya sebagai pengawal Jenderal AH Nasution, padahal Ibunya sedang ulang tahun.
Ia tengah beristirahat di ruang tamu, di rumah Jenderal AH Nasution, Jalan Teuku Umar
Nomor 40, Jakarta Pusat. Namun, waktu istirahatnya terganggu karena ada keributan. Lettu
Pierre Tendean pun langsung bergegas mencari sumber keributan itu. Ternyata keributan itu
berasal dari segerombol orang. Disebutkan bahwa orang-orang yang datang ke rumah AH
Nasution mengatasnamakan sebagai pasukan Tjakrabirawa. Mereka pun menodongkan

4
senjata sehingga Lettu Pierre Tendean tak bisa berkutik dan dikepung pasukan itu. Demi
melindungi atasannya, Lettu Pierre Tendean pun menyebut dirinya sebagai Jenderal AH
Nasution.

"Saya Jenderal AH Nasution," ujarnya.

Akhirnya, ia yang dikira Jenderal AH Nasution pun langsung diculik. Sementara itu,
putri Jenderal AH Nasution, Ade Irma pun tertembak. Pada akhirnya, Lettu Pierre Tendean
pun harus gugur di tangan orang-orang yang menyerangnya. Tubuhnya yang tidak bernyawa
diikat kakinya, lalu dimasukkan ke dalam sumur, di Lubang Buaya. Pada usianya yang masih
muda, Lettu Pierre Tendean pun tinggal menjadi kenangan dalam peristiwa mengerikan itu.
Kematiannya memberikan luka mendalam terhadap keluarganya. Sebenarnya pada November
1965, Lettu Pierre dijadwalkan akan menikah dengan pujaan hatinya. Ia disebut akan
menikahi Rukmini Chaimin, di Medan. Namun, takdir berkata lain. Ia meninggal
mengatasnamakan atasannya di depan para pembunuh itu. Sebagai bentuk kehormatan, ia pun
dinaikkan pangkatnya menjadi Kapten. Kapten Tendean pun juga ditetapkan sebagai
Pahlawan Revolusi Indonesia, pada 5 Oktober 1965.

5
Antoinette
Oleh: Najmina Shafa

Terlahir dalam keluarga kerajaan bukan berarti akan disukai oleh semua orang. Seperti
bungsu Maria Theresiana, penguasa Kekaisaran Habsburg. Putrinya malah dijauhi oleh
beberapa temannya dengan alasan tidak masuk akal.

Maria Antonia Josepha Johanna atau Marie Antoinette. Gadis itu kini sedang berjalan
santai di sekitaran taman istana. Melihat daun-daun yang mulai berjatuhan menyambut musim
dingin. Besok adalah hari ulang tahunnya. Seharusnya dia merasa senang, bukan malah
merenung dan mengasingkan diri.

Dia lahir pada 2 November 1755, bertepatan dengan Hari Para Mendiang sehingga
sekarang hari kelahirannya selalu dirayakan sehari sebelumnya. Memikirkan tentang hal itu,
ia jadi teringat akan omongan-omongan yang beredar setiap kali ia menunjukkan diri di
hadapan rakyat.

“Putri Pembawa Sial” adalah julukan yang diberikan padanya dari beberapa orang.

Tak lama, seorang pelayan menghampirinya, membawakan mantel tebal berwarna


putih kesukaannya. Antoinette menerimanya dan tersenyum mengucapkan, “terima kasih.”
Sebentar lagi ia harus mencoba beberapa pasang pakaian untuk dipakai esok pada perayaan
hari lahirnya.

“Sudah waktunya, Nona.”

Antoinette mengangguk. “Aku harus mempersiapkan kekuatan tubuhku ‘kan?”


ucapnya sambil tertawa kecil. Sudah bisa dibayangkan berapa lama waktu yang dibutuhkan
untuk bergonta-ganti baju. Mungkin akan memakan waktu semalaman dan Antoinette bisa-
bisa tidur besok pagi.

Tibalah malam yang ditunggu-tunggu. Semua tamu berkumpul di ruang dansa,


berbicara dengan nada antusias tidak sabar melihat penampilan Antoinette malam ini.
Keadaan seketika hening saat tepukan terdengar. Seluruh mata tertuju ke atas.

“Tuan-tuan dan Nyonya-Nyonya, Maria Antonia!”

Suara musik mengalun mengiringi kedatangan Antoinette yang melangkah anggun.


Rambut cokelat terang, hidung bangir, pipinya yang kemerah-merahan benar-benar membuat
iri para gadis di seluruh negeri.

6
Setelah beberapa saat, alunan musik itu berganti dan semua orang bersiap dengan
pasangannya masing-masing untuk berdansa, tak terkecuali Antoinette. Cara berdansanya
yang anggun menjadi sorotan utama.

Di umur yang ke empat belas ini Antoinette sudah dalam usia legal untuk menikah.
Theresiana juga sudah memiliki rencana ke depannya, bisa dibilang sangat penting dan harus
dilakukan seawal-awalnya.

Keesokan harinya, Antoinette berpakaian rapi dengan gaun sederhana tetapi tetap
terlihat istimewa jika dipakai olehnya. Ia duduk gelisah, seperti ada yang mengganjal. Pintu
terbuka memperlihatkan dua orang dengan seragam kerajaan.

Raja Prancis, Louis XV bersama Ratu Marie Leszczyńska. Theresiana mempersilakan


mereka untuk duduk. Kini Antoinette tau apa yang dicemaskannya. Ia pamit mencari udara
segar dan membiarkan ketiganya berbincang dengan nyaman.

Dia berjalan tanpa arah, memikirkan apa yang terjadi pada hidupnya jika semua itu
benar. Menjadi calon ratu? Menyenangkan, tetapi Antoinette terlalu muda. Tak sadar ia sudah
mencapai tepi Hutan Compiègne. Seorang lelaki tampak dari balik pepohonan. Ia terlihat
seperti seseorang yang memiliki kasta tinggi, sama sepertinya. Antoinette tidak memberi
perhatian lebih dan melanjutkan jalannya.

Keluarga Kerajaan Prancis itu sudah pergi. “Antonia, kau akan menikah sebentar
lagi.” Itu perkataan yang diucapkan saat baru menapakkan kaki masuk ke ruangan.

“Aku belum mau menikah,” balasnya singkat.

“Kau harus menikah secepatnya. Ibu tidak ingin mendengar alasan.”

Antoinette berhenti berjalan dan berbalik, “Ibu tidak bisa memaksaku, aku berhak
menikahi seseorang yang aku cintai. Bukan yang Ibu pilih!”

“Tidak ada bantahan!”

Antoinette berlari ke kamarnya, para pelayan ikut berlari mengejar. Theresiana sendiri
tidak tahu harus berbuat apa, ia tahu ini mengejutkan untuk Antoinette. Demi kedamaian, ini
harus dilakukan.

Pintu dikunci, ia menyembunyikan diri di balik selimut. Meloloskan air mata yang
memaksa untuk keluar. Dunia ini begitu tidak adilnya. Ia harus mengorbankan dirinya sendiri
demi urusan negeri. Antoinette mengerti apa alasan dibalik perjodohan ini, untuk mengakhiri
permusuhan dan mengamankan perdamaian antara kedua negara, Austria dan Prancis.

7
Setelah dibujuk beberapa kali, Antoinette akhirnya mulai lelah dan kembali membuka
kunci kamar, memperbolehkan para pelayan dan ibunya untuk masuk. Kondisinya sungguh
tidak menarik untuk dijelaskan. Badannya tampak mengecil, pipinya tirus dan kantung
matanya yang tampak jelas akibat menangis berhari-hari.

“Ibu sangat minta maaf karena melakukan ini. Tetapi, ini adalah permintaan ayahmu.
Kita tidak bisa membiarkan negeri kita dijajah dan perang dengan Prancis.”

“Tapi bukankah itu egois, Bu? Ibu bahkan tidak menanyaiku terlebih dahulu.”

Antoinette menghela napas panjang. Ia mengangguk, toh, mau dia melakukan apa juga
tidak akan mengubah nasib. Dia akan tetap dinikahkan dengan calon penerus Kerajaan
Prancis, Dauphin Louis Auguste.

“Aku ragu dengan pernikahan ini. Aku tidak mencintainya.”

Bagaimana dia bisa hidup dengan orang asing. Sangat asing sampai-sampai Antoinette
tidak tahu bagaimana wajah calon pasangannya.

“Cinta bukan lagi hal penting jika kau terlahir di keluarga kerajaan. Urusan teratas itu
negara. Jangan sampai rakyat kecewa dan menurunkan martabat kita. Sedih, ya? Padahal, kau
sama sekali tidak meminta untuk dilahirkan, apalagi di kerajaan.”

“Kau pasti akan merasakan kenyamanan seiring berjalannya waktu. Kau akan selalu
melihatnya, berbicara padanya, dan melakukan banyak hal bersama-sama. You know, love
grows.”

Palace of Versailles, Prancis, 16 Mei 1770

Suara sorak dan tepuk tangan meriah mengisi kebahagiaan dalam pernikahan besar
Louis Auguste dan Marie Antoinette. Berita tersebut sudah tersebar melalui surat kabar dan
menjadi cetakan harian terlaris. Untuk mengingat peristiwa menakjubkan ini, mereka sepakat
membuat perayaan selama beberapa pekan.

Di hari-hari itu perlahan gosip tentang julukan buruk Antoinette mulai diengar oleh
telinga-telinga rakyat Prancis. Hal itu langsung dibuktikan dengan insiden salah satu bagian
dari perayaan pernikahannya, yaitu kembang api di Place de la Concorde yang menewaskan
132 orang.

Meski begitu, Antoinette tetap menunjukkan wajah sumringahnya dan berusaha untuk
tak menghiraukan obrolan tentang dirinya yang mulai tak kenal arah. Setiap hari Antoinette

8
berusaha untuk mendekati Auguste. Ia diam-diam mengikuti suaminya berkuda ke dalam
hutan didampingi oleh beberapa orang dari kerajaan.

Prancis, 1773

Sudah genap tiga tahun menikah tetapi mereka sama sekali tidak akrab. Orang-orang
juga melihat bahwa tidak ada cinta dari keduanya. Itu dapat diwajarkan karena sesungguhnya
pernikahan itu hanyalah sebagai suatu usaha agar tidak terjadi permusuhan.

Namun, mereka tak sepenuhnya benar. Antoinette kini mulai merasa ada sesuatu yang
berbeda. Setiap melihat Auguste, jantungnya berdegup cepat. Ia mulai salah tingkah bahkan
saat Auguste tak melakukan apapun.

Walau yang didapat hanyalah respon dingin, Antoinette bersikeras mengubah sifat itu.
Setidaknya untuk dia sendiri.

Suatu saat ia melihat Auguste sedang melakukan sesuatu di ruangannya. Dia


mengetuk pintu dan menghampiri, “sedang apa?”

“Siapa yang memperbolehkanmu masuk ke sini?” tanya Auguste dengan wajah


datarnya, seperti biasa. Antoinette tidak menjawab dan terus bertanya penasaran. Hal itu
membuat Auguste pasrah, karena ia sadar diri tidak menutup pintu ruangan tadi.

“Kau membuat kunci untuk apa?” matanya tertuju pada beberapa benda kecil yang
terjajar di atas meja. Pertanyaan itu tak dijawab.

“Apa kau sedang bosan sampai berniat untuk membuat kunci yang bahkan tidak ada
pintunya? Memang tidak ada apa hobi yang lain?”

Auguste kembali fokus mengukir kuncinya, “berkuda.” Antoinette memutar bola


matanya. Kalau itu sih siapa yang tidak tahu. Para penjaga juga pasti sudah hafal dengan
rutinitas berkuda suaminya yang tiada akhir.

“Kau sangat mahir,” puji perempuan itu lalu duduk di kursi kosong sebelah si laki-
laki. “Aku ingin mencobanya.” Dengan senang hati Auguste mencetakkan sebuah kunci dan
membiarkan Antoinette untuk menghias.

Belum ada setengah jam Antoinette menghembuskan napasnya berat, “sudahlah, aku
menyerah.” Ia meletakkan benda di tangannya sambil merengut kesal. Tangannya tidak bisa
menghias dengan benar, matanya sakit pun sakit karena terlalu fokus.

“Haha.”

9
Mendengar suara itu, Antoinette langsung menoleh, menatap Auguste dengan tatapan
tidak percaya. “Apa aku salah dengar? Kau… tertawa?” Auguste memalingkan wajahnya saat
Antoinette melanjutka perkataan, “suaramu bagus saat tertawa.”

Auguste menanggapinya cukup baik, “jadi, saat aku berbicara suaraku jelek. Begitu?”

Antoinette terkekeh, “jangan membuatku terdengar seperti orang yang buruk.”

Hubungan keduanya secara tiba-tiba semakin dekat. Auguste mulai membuka diri
pada istrinya dan berusaha untuk tidak terlalu cuek. Mereka seringkali pergi berkuda bersama.
Entah memburu atau sekedar berjalan-jalan. Kadang pula mereka hanya menunggangi satu
kuda untuk berdua.

Sekarang, mereka berdua berada di kamar menghabiskan malam bersama. Berbincang


dan bersenda gurau layaknya pasangan yang bahagia. “Aduh, perutku sakit. Berhenti
membuatku tertawa!”

Tiba-tiba saja Auguste tersenyum lembut dan melingkarkan tangannya pada pinggang
sang istri, “sebentar lagi aku akan diangkat sebagai raja.”

Perempuan itu menyingkirkan tangan Auguste lalu membalikkan badan menghadap


suaminya, “apa kau akan mencari pasangan baru untuk menjadi ratu?”

“Tidak. Kau akan menjadi ratuku dan satu-satunya wanita yang kumiliki.” Dalam hati
Auguste sedikit merasa gugup. Prancis sedang berada di ambang masalah keuangan. Apa bisa
dia menanganinya? Entahlah, yang dipikirannya sekarang hanyalah Antoinette. Istrinya begitu
memukau walau hanya menggunakan pakaian tidur. Semua pria pasti iri padanya.

“Berhenti menatapku seperti itu.”

Auguste mengecup kening Antoinette, “kau cantik.”

Prancis, 1774

Hari ini adalah hari penobatan bagi Auguste yang naik tahta menggantikan ayahnya
menjadi Louis XVI. Antoinette dengan otomatis juga menjadi Ratu Prancis.

Kehidupan mereka mulai berubah, sudah fokus pada dunia politik dengan lebih serius.
Auguste sekarang jarang sekali berada di ruangan favoritnya maupun berkuda di luar.
Memikirkannya saja sudah tidak sempat. Antoinette juga paham dengan keadaan suaminya.

10
Demi menghibur diri, ia sering menggelar pesta dan membeli gaun-gaun baru.
Terkadang, ia juga memilih untuk bepergian ke beberapa kota sambil menjalankan tugasnya.
Bekerja di dalam istana begitu membosankan. Ia rindu berada di luar.

Antoinette mendapatkan kabar tentang jatuhnya ekonomi Prancis dengan drastis saat
sedang berada di Perouges lalu ia buru-buru kembali ke kerajaan dan mendatangi Auguste
yang terlihat kelelahan dengan kantung matanya yang jelas. “Sudah berapa lama kau tidak
tidur?”

“Tiga malam? Habis dari mana saja?”

“Ya, kau tahu sendiri. Hanya berjalan-jalan karena berada di sini begitu
membosankan. Jangan khawatir, aku tetap menjalankan kewajibanku sebagai ratu.”

“Seperti bermain judi?”

Antoinette mengernyitkan dahinya bingung, “apa maksudmu?”

Dengan kasar Auguste melempar sebuah surat kabar dengan headline bold bertuliskan
namanya. Ia mengambil dan membacanya serius.

Ratu Terlibat dalam Permainan Judi? Apakah ini Salah Satu Alasan Dibalik
Krisisnya Ekonomi Negeri?

“Jangan bilang kau mempercayai berita omong kosong ini,” ujar Antoinette.

Auguste menggelengkan kepalanya lelah, “kita hampir jatuh dan kau menggunakan
uang secara sembrono seperti ini?” Ia pun berdiri dan berniat ingin keluar.

“Aku tidak tahu alasan mereka menulis ini tapi ini sama sekali tidak benar! Ayolah,
percaya padaku!” seru Antoinette menghadang raja..

Jika dilihat sekilas, Auguste memang kelihatan tidak peduli dengan pembelaan
Antoinette. Namun, dalam hati ia masih berpihak pada istrinya. Dia setuju apabila Antoinette
disebut wanita yang senang berbelanja. Begitulah adanya. Judi? Auguste sulit untuk percaya.

“Aku berani sumpah….”

“Aku tidak ingin dengar.” Sang raja berjalan dan meninggalkan ratu yang masih
kebingungan sendiri. Dari mana rumor ini berasal? Bagaimana mereka membuat berita yang
tak berdasar seperti ini?

11
Kejadian itu membuat suasana istana muram, berbeda dengan biasanya. Rasanya
kembali menjadi seperti semula. Masa-masa Auguste dan Antoinette saat masih asing dan
canggung.

Mereka pun sudah lama berpisah kamar, Auguste memintanya. Setiap malam
Antoinette selalu bermimpi buruk. Kepalanya dipenuhi dengan pembicaraan orang-orang.
Dulu, ia bisa mengabaikan itu. Namun, sekarang rasanya sulit.

Tiada hari tanpa menangis. Antoinette jarang sekali menunjukkan senyumnya. Ia


selalu tampil dengan wajah datar yang justru mengundang lebih banyak kebencian. Antoinette
seakan lupa cara untuk tersenyum.

Dengan wajah itu ia memberikan berbagai makanan sebagai penunjang hidup


rakyatnya. Pikirannya entah pergi kemana, dia tidak fokus.

Wajah Ratu Saat Membagikan Makanan Menuai Kritik Tajam dari Para Rakyat

“Dia terlihat seperti seseorang yang kejam.”

“Krisis sialan ini pasti terjadi karenanya.”

“Apa kutukan wanita sial ini sudah akan dimulai?”

Antoinette melempar surat kabar tersebut dan menyelimuti dirinya sambil berbaring
meringkuk. Ia melihat ke luar jendela. Langit mendung, daun-daun di pohon bergerak
mengikuti angin yang lumayan kencang.

Tok… tok… tok…

“Makan siang, Nyonya.”

Ia melirik nampan yang diletakkan di meja tak berminat. Dia menghela napasnya,
“apa kau percaya?”

“Surat kabar,” jelas Antoinette. Pelayan itu menunduk dan diam. Sang Ratu
tersenyum. Dia tahu pertanyaannya sangat sensitif dan pasti didiamkan. “Tidak apa-apa, kau
boleh keluar. Terima kasih makanannya.”

Pintu tertutup dan hening kembali menguasai keadaan. Ia sama sekali belum mengisi
perutnya sejak dua hari yang lalu. Hari ini, dia harus makan. Entah akan dikeluarkan kembali
atau tidak.

Pagi berganti siang, siang berganti malam. Kira-kira sudah empat bulan lamanya
Antoinette tidak berhubungan dengan Auguste. Mereka sempat beberapa kali bertemu dan

12
mendatangi acara bersama, tapi Auguste mengacuhkan kehadirannya. Rasanya berat bila
harus bertemu tetapi saling mendiamkan.

“Berhenti mengabaikanku.”

Auguste menolehkan kepala. Dilihatlah Antoinette yang kini menatapnya dalam


dengan mata berkaca. Ia juga sadar selama ini sudah menjauhi Antoinette, perempuan yang
berusaha mendekatinya sejak hari pertama mereka menikah.

Belum pernah Auguste mendapatkan kasih sayang seperti Antoinette memberinya.


Termasuk orangtuanya sendiri yang selalu sibuk mengurus politik.

Napas Antoinette memburu, pandangannya semakin buram karena menggenangnya air


mata di pelupuk. Melihat istrinya menahan tangis membuat Auguste tergerak untuk mendekat
dan memeluknya.

“Maaf.” Hanya itu yang bisa diucapkan.

Ekonomi negeri tak kunjung membaik. Program panen yang diusulkan oleh Antoinette
juga gagal karena hasilnya tidak cukup balik modal. Menjadi ratu ternyata sesulit ini ya?

Ia berdiam diri di kamar bersama Auguste yang senantiasa menamaninya. “Jika aku
tahu menjadi ratu serumit ini, aku akan menolak perjodohan itu,” ujar Antoinette.

“Apa kau sangat menyesal?”

Antoinette menengok dan menunjukkan senyum tipisnya, “tidak sepenuhnya.” Ia


membenarkan posisinya menjadi duduk menghadap Auguste, “aku bahagia dipertemukan
denganmu.”

Prancis, 1789

Auguste dan Antoinette sedang menghabiskan waktu bersama empat buah hatinya,
Therese (11), Joseph (8), Charles (4), dan yang ada di pangkuan ayahnya, Sophie (3). Sebuah
taman bermain dibuat khusus untuk mereka melepas penat. Terlepas dari statusnya sebagai
raja dan ratu, pada akhirnya mereka adalah manusia yang membutuhkan waktu luang dan
ingin menjadi orangtua yang baik bagi anaknya.

“Kalau bisa, aku ingin hidup seperti ini. Menjadi orang biasa yang tidak perlu pusing-
pusing memikirkan negara.”

“Mereka pun memiliki hidup yang sulit. Tidak ada hidup yang mudah,” jawab
Auguste sambil mengelus rambut istrinya lembut.

13
Suatu saat, ketenangan Paris dirusak dengan pemberontakan para revolusioner di
Penjara Bastille, penjara terkokoh di abad pertengahan yang menjadi lambang tirani kerajaan.
Sudah sejak lama mereka menyuruh Louis XVI dan Antoinette untuk meninggalkan tahta.
Runtuhnya Penjara Bastille dianggap sebagai tanda jatuhnya masa kejayaan kekuasaan
mereka.

“Aku akan pergi, kau tetap di sini,” ujar Auguste melarang Antoinette untuk
mencegah terjadinya kericuhan yang lebih karena rumor-rumor Antoinette yang tersebar di
masyarakat.

Dari dalam istana, Antoinette berharap tidak terjadi sesuatu yang buruk pada
suaminya. Ia mendengar adanya berita tentang Gubernur Marquis yang terbunuh karena
tertusuk juga dipenggal dengan kepala yang berada di ujung tombak lalu diarak. Antoinette
benar-benar khawatir. Belum lagi rumor baru tentang dirinya yang mengatakan bahwa ia
benci dengan kaum kalangan bawah juga disebut sebagai mata-mata Austria.

Selang beberapa lama, Auguste datang langsung memeluk istrinya yang sudah
menunggu. “Lihatlah, aku kembali dengan selamat.” Antoinette mengangguk, “kita harus
bagaimana sekarang?”

Prancis, 1791

Antoinette berusaha mengatasi masalah dengan bertemu para duta besar, mengirimkan
surat mendesak pada penguasa Eropa agar membantu menyelamatkan monarki Prancis.
Namun, mereka tak kunjung menerima bantuan.

“Bagaimana kalau kita melarikan diri?” bisik Auguste di malam hari. Antoinette
membelalakkan matanya terkejut, “apa kau sudah gila? Kita punya kewajiban. Berhenti
menjadi raja yang tidak kompeten, Auguste.”

“Ayolah, apa kau yakin kau kuat berada di sini? Setidaknya kita menghindar
sementara waktu dan menyiapkan rencana anti-revolusi.” Antoinette mulai dibuat bimbang.
“Baiklah, tetapi aku tidak ingin meninggalkan anak-anakku.”

Di pagi hari, mereka diam-diam keluar dari istana dan dengan cepat membawa diri
jauh dari Paris. Walaupun begitu hatinya belum tenang karena ada besar kemungkinan mereka
akan tertangkap. Benar saja, ketika sampai di Varennes, sudah ada orang yang bersiap untuk
menangkap mereka dan dikembalikan ke Paris.

Prancis, 1792

14
Suatu saat terjadilah peperangan antara Prancis, Austria, dan Prusia yang menewaskan
banyak orang. Rupanya pernikahan Antoinette dengan Auguste tidak menutup kemungkinan
terjadinya perang.

Semua masalah menyerangnya bertubi-tubi. Ia menangis dalam diam. Masa mudanya


hilang karena dipaksa menikah. Ia menjadi ratu saat usianya masih sangat muda dan sudah
dibebani urusan kerajaan juga politik. Dia tidak tahu apa-apa.

“Bagaimana rumah yang kau bangun?” Antoinette menjawab, “berjalan dengan baik.”
Antoinette sering sekali membangun rumah bagi orang-orang yang kehilangan atau tidak
memilikinya. Kebaikannya kalah dengan gosip kotor yang dihiperbola oleh masyarakat.

Kabar buruk dan pemberontakan rakyat tidak kunjung berhenti. Bahkan tidak ada
surat kabar satu pun yang masih mendukung kekuasaan mereka.

“Kalian pikir kami tidak tahu rencana kalian untuk menghindar dari masalah ini?” seru
salah seorang pria. “Ya, belum lagi uang-uang kami yang kalian pakai untuk berfoya-foya,
menggelar pesta, dan hidup nyaman tanpa mempedulikan kami!” Begitulah protes yang selalu
diserukan di depan istana.

Auguste dan Antoinette menjaga anak-anaknya agar tak kena ikut serang dari
masyarakat. Pasangan itu akan menjalani sidang atas apa yang telah diperbuat semasa
kekuasaan berlangsung.

“Hasil sidangmu akan keluar hari ini ‘kan?” tanya Antoinette dengan khawatir.
Hukuman yang ada pada zaman itu bukan main-main. Auguste menenangkan istrinya, masih
dengan raut wajah tenang. Padahal, akhir-akhir ini ia sudah sering mimpi buruk.

Keadaan sunyi dengan hakim yang tengah memegang kertas bertuliskan hasil akhir
sidang sang raja. “Louis XVI atau Louis Auguste dengan gugatan penyelewengan
penggunaan harta negara adalah benar!”

“Oleh karena itu, Louis XVI akan dijatuhi hukuman mati pada 21 Januari 1793!”

Antoinette yang diam membeku. Seketika air matanya menetes. Sebentar lagi, ia akan
ditinggalkan. Sebentar lagi, ia tak akan bisa melihat suaminya. Dia tidak bisa membayangkan
saat ia melihat suaminya dihukum secara langsung. Ia tak sanggup.

Prancis, 21 Januari 1793

Auguste memeluk Antoinette erat dan mengucapkan perkataan terakhirnya, “aku


hanya punya satu permintaan terakhir. Saat aku pergi, tolong jaga anak-anak kita dan jangan

15
kau meneteskan air mata di wajah cantikmu. Aku ingin pergi dengan damai.” Antoinette
mengangguk dan menahan tangisnya.

Sehari setelah pemakaman Auguste, terjadi keributan di dalam istana. Keempat


anaknya tiba-tiba diambil paksa. “Apa yang kau lakukan pada anakku?” teriak Antoinette
berusaha melepaskan anaknya dari genggaman orang-orang utusan hukum. Namun, ia
ditahan, dipisahkan dari anak-anaknya dan tidak ada yang boleh membantu.

Maaf, aku gagal memenuhi permintaanmu untuk kesekian kalinya, batin Antoinette
yang merasa bersalah karena tidak memenuhi janjinya.

Prancis, November 1793

“Putusan hukumanku sudah ditentukan,” ucap Antoinette pada Liona, pelayan yang
sudah bersamanya sejak tinggal di istana. Liona berharap Antoinette tidak akan mendapatkan
hukuman serupa. Di matanya, Antoinette adalah wanita yang baik dan rendah hati. Berita
tentang kesombongan tuannya itu tidaklah benar.

Sidang dilakukan secara terbuka agar semua penduduk dapat melihat putusan yang
dibuat. “Marie Antoinette dengan gugatan penyelewengan penggunaan keuangan negara dan
pelecehan seksual pada anaknya adalah benar.”

Antoinette menghela napas pada gugatan terakhirnya. Ia berani bersumpah ia tidak


melakukan itu, tetapi siapa yang akan mendengar pembelaanya? Sekarang, ia sudah tak
memiliki orang untuk bersandar.

“Marie Antoinette akan menjalankan hukuman mati pada 12 November 1793.” Hakim
itu kemudian bertanya, “apakah ada ucapan terakhir?”

Antoinette dengan tangan gemetar dan tenggorokan tercekat tetap berusaha


mengeluarkan ucapan yang sudah lama ada di pikirannya.

“Saya adalah seorang ratu, dan Anda mengambil mahkota saya; seorang istri, dan
Anda membunuh suami saya; seorang ibu, dan Anda merampas anak-anak saya. Hanya
darahku yang tersisa, ambillah, tetapi jangan membuatku menderita lama-lama.”

Seusainya, ia dibawa oleh para petugas untuk ke penjara di bawah tanah. Malam
berjalan begitu cepat. Antoinette tidak tidur semalaman, memikirkan ajalnya yang sudah di
depan mata. Ia juga belum sempat mengucapkan selamat tinggal pada keempat buah hati
kesayangannya.

16
Pukul 10 pagi, pintu terbuka oleh Liona yang membawa gaun juga tudung putih yang
akan digunakannya saat eksekusi nanti. Liona menutup mulutnya terkejut, “rambut Nyonya
berubah menjadi putih!” Antoinette tak mengerti dan menatap ke kaca. Benar saja, rambutnya
memutih dalam semalam.

Mereka segera memotong rambut Antoinette dan mengambil semua perhiasan di


badannya. Termasuk gelang bergantung kunci kecil yang dibuat oleh suaminya sebagai
hadiah ulang tahunnya tahun lalu.

“Liona, aku mohon jaga gelang ini baik-baik walau aku sudah tiada. Ini hadiah
terbaikku semasa hidup.” Pelayan itu sejak tadi sudah menghindari kontak mata dengan
tuannya.

“Sudah waktunya,” ucap salah seorang pengawal dan membawa Antoinette untuk
bergegas duduk di kereta menuju tempat di mana ia akan menjalani hukumannya di hadapan
publik.

“Oh, ya Liona?” Liona menolehkan kepala. Antoinette tersenyum getir, “terima kasih
sudah melayaniku selama ini. Aku tidak akan melupakanmu.”

Selama perjalanan, Antoinette menggigit bibirnya janggal. “Apakah aku bisa bertemu
anak-anakku sebentar?” Ucapannya sama sekali tidak dihiraukan. “Aku ingin mengucapkan
selamat tinggal, untuk yang terakhir kali.” Dirinya mungkin sudah mulai diasingkan. Ia
kembali diam saat mendengar suara keramaian mengolok-olok dirinya.

“Madam Deficite, enyah saja kau!”

“Pemboros yang tak tahu diri ini akhirnya akan mati!”

Pintu kereta terbuka, ia dibantu turun dan berjalan ke guillotine dengan kaki lemas
sampai tak sengaja menginjak salah satu petugas. “Maaf, Tuan. Aku tidak bermaksud.”
Petugas itu mengangguk dan terus mengantar Antoinette.

“Courage, Madame.”

Antoinette terbaring dengan pisau tepat di depan mata yang sebentar lagi akan
menghantam dirinya. Di detik-detik terakhirnya ia hanya berpikir tentang anak-anaknya.
Tidak bisa dipungkiri kasih sayang Antoinette pada putra putrinya sungguh besar. Itu terlihat
jelas pada caranya menatap mereka.

“Un…”

17
“Ibu ke mana? Kita sudah lama tidak bertemu.” Itu suara Sophie, putri bungsunya
yang masih senang dibacakan dongeng setiap akan tidur.

“Aku tidak sabar saat di mana kita akan berjalan di taman lagi.” Charles, putranya
yang sangat senang berjalan-jalan setiap ada waktu senggang.

“Deux…”

“Aku harap Ibu baik-baik saja. Aku sudah besar sekarang, Bu.” Iya, Therese sekarang
sudah berusia 15 tahun, mirip usianya saat menikah dulu.

“Aku menyayangimu, Bu.” Joseph, anaknya yang paling terlihat cuek dan malu
menunjukkan rasa sayangnya secara terang-terangan.

Ia memejamkan mata saat dikira ia sudah siap. Terbayang di hadapannya sekilas


seperti Louis Auguste, sang suami yang tersenyum dan melambaikan tangan kepadanya. Ia
seperti disambut.

“Trois!”

Antoinette tersenyum dan menitikkan air mata saat benda tajam itu menyentuh
dirinya. Ia benar-benar pergi dengan senyuman. Suara teriakan dan sorak-sorak terdengar
sangat keras. Dari jauh, Liona menggenggam gelang tuannya dan menumpahkan air matanya
yang sedari tadi ia tahan.

Langit cerah itu kini menjadi sendu dan munculnya pelangi yang membuat perasaan orang
terdekat Antoinette semakin tak karuan. Antoinette dengan berbagai julukan buruknya seperti
“Madame Deficite” dan “Putri Pembawa Sial” kini sudah kembali ke tempatnya. Tempat
sebelum ia dilahirkan.

Di atas nanti, boleh jadi ia akan disambut oleh ibunya, ayahnya, dan tentu Auguste, cinta
pertama dan terakhirnya. Kewajibannya sudah selesai. Mungkin memang jauh dari kata
memuaskan, cenderung mengecewakan. Namun, setidaknya ia berusaha memperbaiki dan
mempertanggungjawabkan kesalahannya.

I have seen all, I have heard all, I have forgotten all. — Marie Antoinette.

Selesai.

18
Asmaradana
Oleh: Annassla Priti Tri Desiswi

1890, Belanda masih mendekam di Indonesia dan terlihat makin berulah. Tindak
tanduk para londo1 semakin menjadi menyebabkan rakyat Indonesia tenggelam dalam pilu
yang teramat perih. Rakyat dipaksa untuk bekerja keras memenuhi kebutuhan tantara
Belanda. Wulan, gadis yang baru saja memasuki usia 22 tahun dari keluarga biasa-biasa saja.
Untuk membantu perekonomian keluarganya, Wulan bekerja menjadi pembantu di salah satu
rumah orang Belanda, bernama Benjamin Bischoff. Dia melayani keluarga dalam rumah
mewah dan megah itu dengan ikhlas demi mendapatkan upah untuk keluarganya. Dia
berdandan layaknya pembantu yang rapi dan santun, membersihkan dan menata barang-
barang yang ada di rumah tersebut hingga melayani tamu yang datang dengan membuatkan
teh atau kopi. Keluarga Bischoff memiliki seorang anak yang saat ini sedang melanjutkan
sekolah tinggi kedokteran di negara asalnya. Anak laki-laki tampan yang saat ini berusia 19
tahun itu bernama Jacob Bischoff. Tuan Benjamin mengabari istrinya bahwa dalam tiga
minggu Jacob akan tiba di Indonesia menemui orang tuanya.

Waktu berlalu dengan cepat, Wulan mendengar pintu yang diketuk tiga kali.

“Vader, Moeder? Ik ben het Jacob. Ik ben thuis! 2” seru seseorang yang menyebut dirinya
sebagai Jacob. Wulan yang saat itu tengah membersihkan ruang tamu segera membukakan
pintu untuk Jacob.

Wulan sudah sedikit tahu mengenai Jacob dari Nyonya Agnes, sehingga ia tidak perlu
menanyakan siapa dan apa keperluan orang yang ada di teras rumah tersebut. Jacob cukup
terkejut dengan orang yang membukakan pintu untuknya, Ia tak menyangka bahwa bukan
ibundanyalah yang akan membukakan pintu melainkan seorang pembantu yang membuat
dadanya terasa terbakar. Ia belum pernah merasakan perasaan ini sebelumnya.

“Selamat datang, Tuan Jacob. Silakan masuk, barang-barang Tuan akan saya bawakan ke
kamar bersama Herman.” sambut Wulan.

1
Kata yang berasal dari pengucapan bahasa Jawa dari kata Belanda
2
“Ayah, Ibu? Ini aku Jacob. Aku pulang!”

19
Jacob membeku tak menuaikan tanggapan. Ia terpana melihat kecantikan perempuan
pribumi yang ia lihat di depan matanya itu. Pertama kali ia melihat wanita secantik itu bahkan
membuat dadanya terasa sesak. Wulan yang kebingungan memanggil Jacob dan menawarkan
bantuannya sekali lagi yang membuat Jacob pecah dari lamunannya. Ia menjawab tawaran
Wulan dengan grogi. Kemudian Wulan membawakan tas dan barang-barang Jacob ke
kamarnya. Jacob yang disambut hangat oleh kedua orang tuanya tersebut sibuk
memperhatikan Wulan, ia tidak bisa melepaskan matanya dari sosok wanita yang anggun dan
indah itu.

Malam hari tiba, Jacob masih memikirkan tentang Wulan. Esok paginya ia bertanya-
tanya mengenai Wulan kepada ibunya. Ia sangat bergairah mendapatkan informasi mengenai
Wulan. Lima bulan berlalu semenjak kepulangan Jacob, ia masih belum bisa mengendalikan
degup jantungnya yang meningkat setiap melihat Wulan. Saat ia sedang melukis di halaman
belakang, ia melihat Wulan sedang merapikan kebun mawar yang ada di depannya. Ia tak
kuasa menahan diri untuk tidak melukis kecantikan Wulan dalam kanvas yang sedari tadi tak
terlihat adanya guratan. Ketika ia asyik melukis tiba-tiba sosok yang ia sayangi hilang dari
hadapannya. Ia sempat menjelajah sekitar dan menoleh ke kanan dan ke kiri untuk
menemukan seorang wanita berkulit sawo matang berparas menawan tersebut. Ia berpikir
mungkin ibu memanggil Wulan karena ada keperluan, lalu ia melanjutkan melukis sosok yang
ada di kanvas berdasarkan ingatannya. Mungkin karena sedang jatuh hati, ia bisa mengingat
dengan jelas sosok Wulan dari ujung kepala hingga ujung kaki.

Ia terlalu fokus dengan detail yang ia lukis hingga tak menyadari Wulan ada di
depannya membawa secangkir teh hangat.

“Saya lihat Tuan sedang asyik melukis, sehingga saya berpikir untuk membuatkan Tuan Jacob
secangkir teh seusai membantu Nyonya Agnes merapikan rambut. Silakan diminum, Tuan.”
ucap Wulan.

Api asmara semakin membara dalam hati Jacob, tanpa sadar ia menarik pergelangan Wulan
terlalu keras dan membuatnya merintih kesakitan. Jacob yang sadar meminta maaf, ia
membuat beralasan dan meminta tolong kepada Wulan untuk menjadi model dari lukisannya.
Wulan yang saat itu merasa sedikit ragu, menuruti permintaan Jacob. Jacob dengan antusias
melukis Wulan. Mereka berbincang-bincang kecil menanyakan latar belakang satu sama lain,
hingga Wulan menceritakan tentang pujaan kasihnya, yakni Herman. Herman dahulunya
merupakan teman masa kecil Wulan, kemudian mereka saling memupuk benih cinta. Belum
lama sejak kedatangan Jacob, mereka saling mengungkapkan perasaan satu sama lain.

20
Jacob yang mendengar kisah kasih yang teramat manis dari Wulan, hampir saja
mematahkan kuas yang ia pegang. Untung saja lukisan tersebut sudah selesai dengan
sempurna. Jacob menahan emosinya dan menunjukkan hasil karyanya kepada Wulan. Wulan
sangat senang dan terpesona dengan hasil tarian jemari Jacob. Setelah Wulan membantu
Jacob membereskan semua peralatan melukis, Jacob kembali ke kamar dan berusaha
menenangkan diri. Dia tak percaya dengan semua omongan Wulan, seluruh tubuhnya
memanas, darah seakan mendidih dan akan meledak kapan saja. Tukang kebun yang bekerja
di rumah mereka ternyata kekasih Wulan. Tak heran ia beberapa kali melihat kedekatan
mereka berdua, kini semua terungkap dan Jacob tak lagi bisa berpikir rasional.

Bekerja di rumah besar memanglah melelahkan, tetapi Wulan diberikan waktu libur
setiap tiga hari dalam sebulan. Pada malam Suro ini, Wulan pulang menemui orang tuanya
yang ia rindukan. Ia tak sabar bercerita mengenai londo3 muda dari keluarga Bischoff yang
melukisnya dengan sangat indah dan penuh perhatian. Tibalah, ia di depan pintu rumah tua
penuh kenangan tersebut. Apa yang ia lihat setelah membuka pintu benar-benar membuat
matanya terbelalak. Mulutnya yang terbuka seketika bergetar. Seluruh tubunya terasa lemas
dan dingin. Ia melihat kedua orang tuanya diikat pada sebuah balok kayu pada rumah
tersebut. Ia menyaksikan kedua orang tuanya dibalut luka memar dan darah dari beberapa
anggota tubuh, bahkan ia dapat mendengar rintihan dari keduanya. Wulan terduduk lemas tak
bisa berbuat apa-apa. Dalam keheningan yang mencekam tersebut tiba-tiba dari belakang ia
menangkap suara yang ia kenali.

“Ah, kamu sudah pulang ternyata, Mijn Liefde.4” Suara yang lembut namun dingin ini
membuat sekujur tubuhnya merinding. Bagaimana tidak, ia melihat Jacob datang sambil
menyeret Herman yang lemas berlumuran darah di kepalanya.

Jacob mengikat Wulan dan membungkam mulutnya menggunakan gumpalan kain.


Jacob membawa pedang perak dan membelai Wulan yang pipinya basah oleh air mata yang
terus menerus mengalir.

“Mijn Liefje,5 Aku memberikanmu dua pilihan yang sangat mudah. Menikah denganku maka
aku akan membiarkan orang tuamu hidup atau memilih Herman yang kemudian dibayar oleh
nyawa kedua orang tuamu?” bisik Jacob.

3
Ibid.
4
Cintaku.
5
Sayangku,

21
Suaranya yang lembut ini tak lagi terasa ramah dan hangat seperti yang Wulan ketahui.
Hatinya bedetak kencang mendengar apa yang Jacob ucapkan. Kepalanya terasa sakit akibat
syok dan deru tangis yang tak kunjung berhenti.

Belum sempat ia mengolah semua kejadian ini menjadi masuk akal, Jacob kembali
berbisik

“Kom op, Lieverd.6 Kita tidak bisa menunggu sampai malam berakhir. Lihatlah! Malam ini
bulan purnama, bukankah namamu juga berarti bulan? Apakah kamu ingin menyaksikan
keindahan bulan purnama malam ini? Jika kamu terlalu lama menentukan, maka aku akan
membunuh satu persatu orang-orang terkasihmu. Kamu mau melihat mereka mati seperti apa?
Apa? Dipenggal? Baiklah. Aku beri kamu 1 jam.” Wulan semakin panik dan memberontak
mengehentak-hentakkan badannya ke tanah berusaha bangkit. Namun, semua usahanya
percuma karena dia terikat erat dan tidak bisa bangkit berdiri. Tanpa aba-aba, Jacob
memenggal kepala ayah Wulan. Kepala petani yang malang itu menggelinding tepat di depan
Wulan. Seketika Wulan menjadi sangat histeris, londo7 brengsek ini tidak sedang bercanda ia
memang serius.

“Stil, mijn schat. Niet huilen,8 semua ini terjadi karena salahmu sendiri. Kamu dengan
bodohnya lebih memilih laki-laki kumal ini daripada aku yang jelas-jelas bisa membuat
hidupmu terasa jauh lebih baik daripada sekarang. Padahal, aku memperlakukanmu lebih baik
daripada dia, aku dapat memberimu semuanya. Harta dan status, semuanya dapat kamu
miliki. TAPI KENAPA, WULAN?!” bentak Jacob.

Wulan semakin takut dan ia merasa kepalanya seakan meledak. Jacob melakukan apa yang ia
tinggal baru saja, ia masih memberikan tawaran kepada Wulan.

“Sekarang tinggal ibumu dan pujaan hatimu, Wulan. Ah, benar juga. Aku lupa telah
membungkam mulut cantikmu. Het spijt me, Mijn schat.9” ucap Jacob seraya melepas
gumpalan kain yang menutupi mulut Wulan. Dengan terbukanya mulut Wulan, memudahkan
Wulan untuk memohon kepada Jacob.

6
Ayolah, Sayang.
7
Ibid.
8
Tenang, Sayangku. Jangan menangis.
9
Maafkan aku, Sayangku.

22
“A-Aku mohon, Tuan. Aku mohon hentikan semua kegilaan ini!” Wulan berlutut
membenturkan kepalanya ke lantai. Wulan mulai merasa gila, akal sehatnya bisa kapan saja
terputus merasakan semua kejadian yang ia alami saat ini. Ia terus menerus membenturkan
kepalanya ke lantai, memohon sampai dahinya berdarah. Jacob menghampiri Wulan dan
mengangkat kepalanya.
“O nee, niet doen. Ik wil niet dat je pijn hebt. 10” ucap Jacob sembari mengecup kening
Wulan yang berdarah. Wulan seketika memberontak menghantamkan bahunya ke Jacob dan
meludahinya yang tentu membuat Jacob marah. Tanpa kata, ia mengambil pedangnya
kembali. Wulan meminta maaf dengan histeris kepada Jacob. Namun, Jacob tidak
menanggapi Wulan dan mengkalungkan pedangnya di leher ibu Wulan. Dua kepala telah
menggelinding. Wulan semakin menjadi-jadi ia berusaha membebaskan diri. Ia berusaha
melepaskan ikatan tali yang mengikat tangannya.

Kini tinggal satu orang, Herman si tukang kebun. Jacob melemparkan pedangnya
sampai menyambar lampu templok dan hampir mengenai Wulan, membuatnya mengernyit.
Api dari lampu templok mengenai gorden yang seketika menjalar menuju ke seluruh sudut
rumah. Jacob mengambil gunting kebun yang biasa Herman pakai untuk merapikan tanaman
di kebun. Jacob menyisakan yang terakhir untuk hidangan penutup yang lezat. Wulan
menyaksikan kekasihnya yang meronta-ronta ditikam dengan gunting kebun, mendengar
jeritan yang memilukan sampai menusuk telinga. Ia menyaksikan usus Herman di keluarkan
dan di gunting-gunting oleh Jacob. Laki-laki ini membabi buta, ia menyiksa Herman tanpa
belas kasihan. Terukir senyum pada wajah Jacob yang berlumuran darah, ia merobek dada kiri
Herman dan mencabut jantungnya yang masih berdetak.

“Kijk, Mijn Liefste. Je geliefde man leeft niet meer. 11” Jacob memperlihatkan jantung Herman
kepada Wulan. Jacob kemudian meremas jantung Herman dan meminum darah yang
mengucur keluar tepat di depan Wulan.

Sebelum Wulan sempat memuntahkan seluruh isi perutnya, ia sudah tenggelam jauh
dalam amarah dan penyesalan. Ia memaksakan diri untuk melepaskan ikatan di tangannya
hingga membuat pergelangan tangannya terkelupas dan berdarah. Setelah beberapa kali
berusaha ia akhirnya terbebas. Ia secara cepat mengambil pedang yang ada di depannya dan
mengarahkannya kepada Jacob yang membuatnya terkejut karena Wulan bisa membebaskan
diri.

10
Oh, tidak. Jangan. Aku tidak ingin kamu terluka.
11
Lihatlah, Sayangku. Pria pujaan hatimu kini tak lagi bernyawa.

23
Namun, Jacob malah tertawa layaknya orang gila. “HAHAHAHAHAHAHA, Mijn
Liefste. Haah… Apa kamu benar-benar bisa membunuhku? Wees geen dwaas,13 jika kamu
12

membunuhku semua yang tersisa hanyalah dirimu sendiri dan kamu bisa ditangkap lalu
dihukum mati karena membunuhku. Sekarang serahkan benda itu padaku.” gertak Jacob yang
berusaha mengambil kembali pedang perak miliknya. Mungkin Wulan memang sudah
kehilangan akal sehatnya dan saat ini dia memang sudah tidak memiliki siapa-siapa lagi.
Pedang perak yang sebelumnya diacungkan ke arah Jacob, kini berbalik arah dan siap
menusuk jantung pemegang pedang tersebut.
Jacob yang sedari tadi tenang kini menjadi panik dan takut karena Wulan mengancam
akan membunuh dirinya sendiri. Selain itu, api yang semakin besar memisahkan Wulan dan
Jacob. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana hidup tanpa adanya Wulan di sisinya. Ia
kemudian memohon kepada Wulan untuk tidak bertindak konyol dan segera menyerahkan
pedang tersebut. Namun, saat Jacob berusaha melompati kobaran api dan akan merebut
pedang miliknya Wulan sudah terlebih dahulu menusuk dirinya sendiri tepat di jantung. Jacob
menyaksikan dengan kedua matanya bagaimana pedang tersebut dengan mudah menembus
dada Wulan. Wanita cantik dan malang tersebut jatuh dalam pelukan Jacob.

“Aku lebih baik mati daripada harus hidup denganmu.” Kalimat terakhir Wulan
bersamaan dengan nafasnya yang seketika berhenti berhembus. Jacob memeluk erat Wulan,
air matanya membasahi wajah Wulan. Dunia Jacob serasa hancur lebur melihat pujaan
hatinya yang tak lagi bernafas. Kulit yang kini pucat pasi dan dingin menghancurkan hati
Jacob menjadi serpihan yang tak lagi bisa kembali seperti sediakala. Ia terus menerus
meminta maaf kepada Wulan tapi semua usahanya sia-sia. Ia bukanlah Tuhan yang memiliki
kekuatan menghidupkan yang mati.

“Ik kan de dood ons niet laten scheiden. Als je er inderdaad voor kiest om te sterven,
dan zal ik je blijven zoeken in de andere wereld en in het volgende leven. 14” rintih Jacob yang
kemudian mengeluarkan pedang dari dada Wulan. Dalam kobaran api yang semakin
membesar, Jacob terdiam dan mengangkat pedangnya perlahan kemudian menusuk dirinya
sendiri. Ia kemudian tersungkur di sebelah Wulan, keduanya bermandikan darah dalam
kobaran si jago merah yang semakin liar melahap segalanya. Pada malam itu, ibu pertiwi
kembali menyaksikan korban berjatuhan untuk kesekian kalinya. Mereka lagi-lagi tidak
dibiarkan mati dengan tenang.

12
Ibid.
13
Jangan bodoh,
14
Aku tidak bisa membiarkan kematian memisahkan kita. Jika memang kamu memilih untuk mati, maka aku
akan terus mencarimu di dunia lain maupun di kehidupan berikutnya.

24
Bandung Lautan Api

Oleh: Rista Nuraini

Peristiwa Bandung Lautan Api adalah peristiwa terbakarnya kota Bandung, Provinsi
Jawa Barat, Indonesia. Penduduk Bandung setelah ada ultimatum oleh sekutu untuk
mengosongkan Bandung yang dilatarbelakangi oleh Brigade Mac Donal (sekutu) menuntut
penduduk agar semua senjata dari hasil pelucutan Jepang diserahkan ke pihak sekutu. Sekutu
kemudian mengeluarkan ultimatum agar kota Bandung bagian utara dikosongkan paling
lambat pada tanggal 29 November 1945.

(1) Pada akhirnya tanggal 21 November 1945 pada malam harinya tentara Indonesia
bersama badan-badan pejuang Indonesia melancarkan serangan besar-besaran ke markas
pasukan sekutu di Hotel Savoy Homan dan Hotel Prianger, dan merupakan bentrokan
bersenjata terbesar saat itu. Tiga hari kemudian pasca penyerangan pada tanggal 24 November
1945 McDonald’s membalas serangan tersebut dengan mengeluarkan ultimatum kepada
gubernur Jawa Barat, saat itu memerintahkan agar wilayah Bandung bagian utara disterilkan
dari pasukan bersenjata. Ternyata rakyat Indonesia tidak menghiraukan ultimatum tersebut
dan selama bulan Desember banyak bentrokan bersenjata tersulut pertempuran gerilya dan
lainnya. Terjadi di beberapa tempat di Bandung dan berlanjut selama berbulan-bulan. Pada
akhirnya pasukan sekutu kewalahan dan gagal menyelesaikan konflik yang berlarut-larut
membuat posisi pasukan sekutu terdesak.

(2) Pada tanggal 23 Maret 1946, sekutu kembali mengeluarkan ultimatum. Kali ini
terhadap perdana mentri Indonesia yaitu Sutan Syahrir ia memerintahkan selambat-lambatnya
pada tanggal 24 Maret 1946 tengah malam pukul 00:00 penduduk dan pasukan bersenjata
sudah harus mengosongkan Kota Bandung sejauh 10-11km dari pusat Kota Bandung. Mayor
Jendral Nasution yang selama ini mengomandoi tentara Indonesia di Kota Bandung menolak
ultimatum itu yang juga didukung oleh Jendral Sudirman, namun Sutan Syahrir mendesak
Nasution agar menaati ultimatum itu agar tidak adanya pertumpahan darah lebih besar lagi.

Sutan Syahrir menilai bahwa tentara Indonesia saat itu belum mampu menandingi
kekuatan negara sekutu yang di daya. Bagaimanapun Nasution harus menaati perintah
perdana mentri ia lalu secepatnya mengadakan rapat dengan perwira tentara Indonesia dan
badan pejuang serta aparat pemerintah Kota Bandung membahas tindakan untuk menanggapi
ultimatum tersebut. Pada akhirnya rapat tersebut mengeluarkan hasil satu kesepakatan agar
Kota Bandung tidak bisa digunakan untuk kepentingan pasukan sekutu maka Kota Bandung

25
akan dibumihangsukan. Bumihangus diusulkan oleh Nasution karena sebelumnya Nasution
sudah tau bahwa tujuan utama pasukan sekutu datang ke Bandung ialah untuk membantu
NICA atau Belanda membangun markas di Bandung

Pada tanggal 23 Maret 1946 mulalilah pengevakuasian penduduk dan disinilah


rangkaian peristiwa itu terjadi. Operasi bumihangus direncanakan dimulai dini hari pukul
00:00 akan tetapi pada pukul 21:00 atau jam 09:00 malam bank rakyat ternyata sudah dilahap
api besar, selanjutnya diikuti gedung di Bibanceuy yang terbakar hebat, kemudian gedung
Dibraga Cicadas dan Tegalega pun dibakar. Pasukan sekutu menyadari kehebohan itu dan
berusaha menghentikannya hingga terjadi bentrokan. Sementara itu di desa Dayuhkolot terjadi
bentrokan hebat antara pejuang Indonesia dan pasukan sekutu yang menjaga giudang
amunisibesar berisi senjata dan 1100ton mesiu. Dua pejuang yang bernama Muhammad Toha
dan Ramdan diberi tugas untuk meledakkan gudang tersebut. Keduanya pergi menyelinap
melewati area yang tidak dilihat oleh pasukan sekutu lalu masuk dalam gudang dan seketika
BOOMMMM gudang tersebut meledak dengan hebatnya. Gudang amunisi yang sangat
penting bagi pasukan sekutu itu berhasil dihancurkan tetapi kedua pejuang ikut tewas dalam
dasyatnya ledakan gudang itu.

Kembali ke Kota Bandung tentara Indonesia sedang membakar markas mereka yang
berpotensi digunakan pasukan sekutu, kemudian setelah itu menggerakkan dan mengawal
lebih dari 200 ribu penduduk meninggalkan kota Bandung. Membantu membakar rumah-
rumah mereka. Pasukan sekutu sudah berusaha sekuat tenaga untuk menghentikannya, akan
tetapi arus besar masa penduduk yang membakar rumah mereka sudah tidak bisa terbendung
lagi, dan dalam waktu semalam saja seketika kota itu terbakar hebat dengan asap tebal
membumbung tinggi ke langit.

Malam itu kota Bandung dilihat dari kejauhan benar-benar seperti lautan api. Dan
pada pagi harinya kota Bandung hanyalah seperti kota mati dengan puing-puing berserakan
diseluruh penjuru kota. Dalam beberapa bulan tentara Indonesia dan pejuang Indonesia
bergerilya melawan pasukan sekutu, dan kemudian berhasil menduduki kembali kota
Bandung. Peristiwa ini merupakan sebuah peristiwa titik balik yang dimana mencegah krisis
yang akan mengancam kemerdekaan Indonesia.

26
Barong Bali
Oleh: Axelle Tauran Taqi
Duta Widana

Barong Bali adalah satu di antara begitu banyak ragam seni pertunjukan Bali. Barong
merupakan sebuah tarian tradisional Bali yang ditandai dengan Topeng dan kostum badan
yang dapat dikenakan oleh satu atau dua orang untuk menarikannya. Di Bali ada beberapa
jenis barong yakni Barong Ket, Barong Bangkal, Barong Landung, Barong Macan, Barong
Gajah, Barong Asu, Barong Brutuk, Barong Lembu, Barong Kedingkling, Barong Kambing,
dan Barong Gagombrangan.

Barong bali berasal sebagai perkembangan dari barong ponorogo atau Reog, yang oleh
raja Airlangga dibawa saat mengungsi ke pulau Bali untuk menyelamatkan diri. Selain
Barong Ponorogo, Airlangga juga membawa bentuk-bentuk seni sastra, aksara jawa, serta
ritual keagamaan.

Pengaruh yang di dapat pada barong Bali bisa di lihat pada bentuk barong ponorogo
saat tampil tanpa mahkota merak (Kucingan) dan pada Topeng Rangda yang mendapat
pengaruh dari topeng bujang ganong. Serta kelompok orang yang mendalami ilmu kesaktian
pada orang tua yang mendapat pengaruh pada perilaku kegiatan nyata warok muda dan warok
tua yang sakti mandraguna yang saat ini masih terjaga di Ponorogo, meskipun kegiatan
tersebut saat ini tertutup untuk kalangan tertentu.

Dengan begitu, muncul jenis barong bali dengan berbagai kepala hewan seperti Babi,
Gajah, Anjing dan Burung yang menjadi kebanggaan tiap-tiap kota di bali.

Di sisi lain, Tari topeng Barong, bersama dengan tarian sanghyang dianggap sebagai
tarian asli Bali, mendahului pengaruh Hindu. Penduduk asli Indonesia dari warisan
Austronesia sering memiliki tarian topeng serupa yang mewakili roh leluhur atau alam;
contohnya Dayak dengan tarian Hudoq atau latihan pemujaan beruang yang serupa. Istilah
barong diduga berasal dari istilah lokal bahruang, yang saat ini sesuai dengan kata Indonesia
yang berarti “beruang”.Ini mengacu pada roh yang baik, yang berwujud binatang sebagai
penjaga hutan.

Dalam mitologi Bali, roh baik diidentifikasi sebagai Banas Pati Raja. Banas Pati Raja
adalah “saudara” keempat atau anak roh yang menemani seorang anak sepanjang hidup
mereka, yang konsepnya mirip dengan malaikat pelindung. Banas Pati Raja adalah roh yang

27
menjiwai Barong. Seorang roh pelindung, ia sering digambarkan sebagai singa. Barong sering
digambarkan ditemani dua kera.

Barong digambarkan sebagai singa dengan kepala merah, ditutupi bulu putih tebal,
dan mengenakan perhiasan berlapis emas yang dihiasi dengan potongan-potongan cermin.
Bentuk singa Barong agak mirip dengan anjing Pekingese. Asal usul Barong jauh ke belakang
dan tidak pasti. Asal-usulnya bisa dari pemujaan animisme, sebelum agama Hindu muncul,
ketika penduduk desa masih percaya pada kekuatan pelindung supranatural hewan.

Dalam konsep keagamaan, Barong diartikan dalam dua kata bar/bor dan ong. Bor
disebut sebagai poros, sedangkan ong merupakan sebutan untuk Tuhan Yang Maha Esa.
Dalam hal ini, Ida Sang Hyang Widhi dimanifestasikan dalam wujud Bhatara Wisnu sebagai
Maha Pemelihara yang menjaga kehidupan di atas dan di bawah langit.

Masyarakat Bali percaya bahwa roh tersebut adalah kaki tangan Ratu Gede Macaling,
penguasa alam gaib di Lautan Selatan Bali yang beristana di Pura Dalem Ped, Nusa Penida.
Saat itu, seorang pendeta sakti menyarankan masyarakat untuk membuat patung yang mirip
Ratu Gede Mecaling, yang sosoknya tinggi besar, hitam dan bertaring, lalu mengaraknya
keliling desa. Rupanya, tipuan ini manjur. Para mahluk halus ketakutan melihat bentuk tiruan
bos mereka, lalu menyingkir. Hingga kini, di banyak desa, secara berkala masyarakat
mengarak Barong Landung untuk menangkal bencana.

28
BINAR KUE BULAN
Oleh: Shalma Azzahra

Malam ini bulan terlihat sangat elok hingga membuatku terkenang kisah lama, di saat
ketika kue bulan tak terasa semenenangkan ini. Bulan yang bulat sempurna menyinarkan
gelapnya malam yang dingin. Kesampingkan dinginnya malam ini, tak ada apa-apanya jika
momen terindah nan damai bisa selalu kurasakan di tengah kerusuhan yang selalu terjadi
sejak tahun 1960. Tak kerap momen seperti ini kujumpai, dengan kue bulan kegemaranku di
atas meja yang biasa direpresentasikan dengan keberadaan Dewi Bulan, Chang E, serta teh
hangat yang dinikmati seraya bercakap ringan dengan keluarga kecilku ini. Siapa gerangan
yang tega untuk tidak menyukuri detik-detik kesyahduan ini.

Sesungguhnya, situasi ini tidak terjadi tanpa ketidaksengajaan, semua telah terencana.
Awal dari segala permulaan yang akan menerpa padaku selama hidup. Sebelum aku tahu
betul betapa pentingnya memercayai seseorang.

Sebelumnya, akan kuperkenalkan dahulu tentang diriku dan keluargaku. Namaku Jia
Lie, bermakna rumah dan keberuntungan seperti yang selalu diharapkan semua orang tua.
Saat ini umurku telah menyentuh tujuh belas tahun, namun tak banyak yang kuketahui tentang
keluarga ini. Bukan karena manja, selama tujuh belas tahun hidupku pula semua aktivitas
kujalani di rumah saja. Ya, di rumah. Orang tuaku selalu sibuk, pergi ke sana kemari tanpa
kutahu apa yang mereka lakukan serta melarangku untuk keluar rumah karena bahaya.
Ayahku seorang aktivis yang sangat aktif dalam politik, sedangkan ibuku pun mengikutinya.
Ibu bilang, pekerjaan mereka belum pantas untuk kuketahui meskipun aku telah dewasa.
Pikiran curiga tidak pernah lepas dari benakku, khawatir pekerjaan mereka adalah hal yang
dilarang dalam hukum atau apapun itu. Disebabkan kehidupanku yang hanya berpusat di
rumah saja seperti makna namaku, hal yang dapat kulakukan pun tak banyak. Membaca
segala macam buku dan berbincang dengan jongos-jongos di rumah. Ilmuku berkembang
cukup pesat bahkan sejak belia. Keluarga Lie selalu menuntut segala hal menjadi sempurna
entah bagaimanapun caranya. Akhir-akhir ini aku mengetahui fakta bahwa etnis Tionghoa
cukup dibenci dan mengalami banyak diskriminasi dalam masyarakat. Pernah suatu kejadian
dalam rumahku di mana ada jongos yang berani menentangku hanya karena aku beretnis
Tionghoa. Entah bagaimana nasib jongos itu sekarang. Terdengar sepele namun cukup
membuatku trauma karena perilakunya yang di luar batas wajar. Aku pun tak ingat detailnya
entah mengapa. Seperti ada yang sengaja menghapusnya dari ingatanku.

29
Kembali ke perbincangan keluarga kecil dengan kue bulan menjadi menu utama.
Kami bercakap-cakap dalam bahasa Mandarin. Malam yang dingin itu perlahan terasa hangat.

“Baobao15, sudahkah kamu memikirkan perkara pernikahan? Ada beberapa calon—“

“Tunggu, Mama, pernikahan? Bukankah ini terlalu awal? Ya kan, Baba16?”

Terdengar suara denting cangkir sehabis diletakkan di atas cawan, itu dari Ayah.

“Pernikahan saat umurmu tujuh belas tahun itu wajar. Kamu harus sesegera mungkin
menikah sebelum keadaan semakin ricuh. Agar ada yang menjagamu.”

Ricuh? Aku tak paham, apakah soal pekerjaan Ayah sebagai aktivis politik? Wajahku
terlalu jelas untuk mendeskripsikan kebingungan. Mereka saling bertatapan seperti sedang
menanyakan perizinan.

"Kami percaya kamu sudah cukup dewasa, Baobao. Sebenarnya kami bukan aktivis politik
biasa. Kamu pasti tahu menahu soal PKI, bukan? Baba memiliki posisi yang cukup tinggi di
sana dan Mama membantunya pula.” Ibu memulai penjelasan yang cukup mengejutkan ini.
Tidak mungkin aku tidak tahu menahu soal PKI. Pada tahun 1962 ini, PKI cukup kondang
namanya. Dalam benakku langsung terlintas mengenai pemberontakan-pemberontakan yang
pernah melibatkan PKI. Bulu kudukku merinding, sungguh tak menyangka bajingan
pembunuh keji yang sering disebutkan oleh para jongos itu adalah orang tuaku sendiri.

“Kenapa kalian baru mengatakan itu sekarang? Apakah akan ada hal besar terjadi?”

Mereka terlihat enggan menjawab dan justru menengok satu sama lain tanpa
menjawab rasa penasaranku. Sepertinya benar. Jika boleh jujur, aku takut. Entah karena hal
besar itu atau keselamatan orang tuaku yang bahkan sering lupa bahwa mereka memiliki
anak.

“Yang pasti, kami selalu memprioritaskan keselamatanmu. Tolong bekerjasamalah sebentar,


Baobao.”

Entah kenapa aku merasa seperti tidak bisa menuruti perkataan mereka. Merasa tidak
aman, tidak percaya, dan khawatir, semua menjadi satu. Aku akhirnya memutuskan untuk
undur diri terlebih dahulu dan berpikir semalaman di kamar. Hingga keesokan paginya, ayah
dan ibuku duduk di meja makan, menungguku berbaur dengan mereka dan menikmati sarapan
bersama.

15
Baobao dalam bahasa Mandarin bermakna seperti panggilan kasih sayang antar orang terdekat.
16
Baba memiliki arti yang sama seperti Ayah

30
“Mama, Saya telah memutuskan. Saya memutuskan untuk tidak ingin menikah. Saya sudah
cukup dewasa untuk memilih jalan Saya sendiri. Jadi, Saya meminta izin untuk merantau dan
belajar di Batavia.”

Ibu tentu terlihat terkejut akan keputusanku, namun..

“Baiklah, jika itu maumu dan memang itu yang terbaik. Kami memang orang tua yang gagal,
maaf terlambat menyadari bahwa kita semakin menjauh. Baba harap kamu bisa tetap
bersinar walau dalam kegelapan seperti Dewi Bulan Chang E.”

Jawaban yang mengejutkan dari ayahku. Aku bingung, seharusnya aku senang karena
diizinkan untuk merantau, tapi rasa sungkan karena harus meninggalkan kedua orang tuaku
tak bisa kutepis.

Pertama kalinya aku akhirnya diperbolehkan untuk keluar rumah bahkan bersekolah di
luar kota. Aku sekolah di Hollandsche Chineesche School yang berada di Batavia. Walaupun
sebenarnya ada juga HCS di kota tempat tinggalku, Djokjakarta, tetapi jika aku bisa
bersekolah di Bataviam itu lebih baik dari apapun.

“Wah wah, Jia Lie! Belum habis setahun kau di sini tapi kau sudah menjadi kebanggaan
semua orang. Aku sungguh bangga! Tidakkah kau merasa besar diri?” Sanjungan yang tak
ada bosan-bosannya aku dengar. Mungkin hasil dari dipenjarakan di rumah selamat 17 tahun
telah muncul sekarang. Orang yang mengatakan itu adalah Mai Lim, perempuan cantik yang
tinggal di Batavia ini tak kusangka menjadi teman baikku.

“Ah tidak, tidak. Mana mungkin aku berani begitu. Aku pun merasa lega, mendekam diri di
rumah selama 17 tahun akhirnya membuahkan hasil yang harum. Terima kasih, Mai.”

“Kau sungguh murah hati, Jia. Tak hanya cantik dan pintar, kau pun berasal dari keluarga
berada, bukan? Entah apa kekurangan dalam hidupmu yang sempurna ini.” Ujar Blaike Bai,
salah satu siswa populer di HCS.

“Aku tak pantas mendengar sanjunganmu, Blaike. Keluargaku biasa saja, tak sehebat dirimu.
Jangan merendah begitu, aku malu mendengarnya.”

Blaike dan Mai saling bertatapan. “Jia, bisa kau ceritakan tentang keluargamu sedikit? Kami
penasaran, orang cakap bahwa marga Lie berisi orang-orang hebat. Bagaimana dengan orang
tuamu?” Blaike bertanya dengan wajah yang menunjukkan rasa penasarannya.
“Tidak banyak yang bisa kuceritakan. Orang tuaku hanyalah seorang pekerja biasa dalam
suatu partai atau perusahaan? Aku kurang tahu lebih jelasnya. Mereka tak pernah cerita.”

Mana mungkin aku menceritakan soal orang tuaku yang merupakan petinggi PKI. Bisa hancur
kehidupan sekolah yang amat aku dambakan ini. Tentu saja mereka tidak puas dengan
jawabanku. Tapi, biarlah. Mereka mana mungkin memedulikannya.

Seharusnya aku tidak menyepelekan pertanyaan mereka. Beberapa minggu setelahnya,


semua orang terlihat aneh. Gerak-gerik mereka seperti menjauhiku. Tak sedikit dari mereka
seperti berbisik-bisik akan sesuatu hal yang aku tak tahu. Sedikit-sedikit aku mencoba
menguping pembicaraan mereka.

“Sungguh?! Jia Lie yang itu? Aku tidak menyangkanya!”

“Betul, aku pun terkejut mendengarnya, seperti petir di siang bolong.”

“Sejujurnya aku merasa sedikit kasihan. Menurutku, dia pasti korbannya, tidak mungkin dia
sejahat orang tuanya. Buktinya, dia menjadi unggulan di sini.”

“Tetap saja itu aneh! Mana mungkin anak PKI berani-beraninya bersekolah di sini!”

Rasanya jantungku berhenti berdetak, bahkan darah dalam nadiku tak terasa seperti mengalir
lagi. Keringat dingin mulai mengucur hingga ujung kakiku. Aku tidak tahu harus melakukan
apa. Aku berlari ke kamar mandi, mengunci diriku hingga meraih ketenangan.

“Bagaimana mereka bisa tahu? Aku tidak ingin berpikiran buruk, tetapi pertanyaan Blaike
mengingatkanku pada sesuatu. Tak mungkin mereka yang melakukannya.” Tangisku tertahan
di kepala, tak mungkin aku ungkapkan.

“.... Mungkin saja mereka yang melakukannya. Ucapan manisnya selama ini palsu. Namun,
aku merasa hal ini tidak asing.. seperti pernah terjadi hal sama sebelumnya.” Aku berpikir
dengan keras, tentang bagaimana dan mengapa mereka melakukan itu semua. Karena iri?
Atau karena aku tak memberi tahu kebenaran soal orang tuaku? Aku tak ingin dan tak pernah
tahu. Semua terlambat, topengnya telah terungkap. Aku mencoba menguatkan diri dan
kembali ke kelas. Setiap hari ke depannya, terus menerus kudapatkan cemoohan.

“HEI, LIHAT ITU! SI ANAK PEMBUNUH!! ANAK PKI! LARI ATAU KAMU AKAN
MASUK SUMUR! AHAHAHHAHA.” Cemooh yang sudah membuatku lebih terbiasa dari

bernapas. Aku tidak mengerti, kenapa teman-temanku memberi tahu soal diriku ke semua
anak sekolah. Setelah kupikir-pikir, sepertinya memang tujuan mereka untuk mendekatiku
demi menjatuhkanku saja. Sebenarnya, cemoohan ini tidak berpengaruh pada prestasiku.
Namun, para guru justru bertingkah sebaliknya dan ikut mendiskriminasiku. Secara alami,
nilaiku dibuat menurun, hingga berada jauh dari teman-temanku yang mengkhianatiku.
Seharusnya aku tak percaya orang semudah itu.

JANGAN PERCAYA APAPUN YANG KAU LIHAT. BAHKAN GARAM


PUN TAMPAK SEPERTI GULA.
Dua tahun. Hanya dua tahun aku dapat bertahan di neraka diskriminasi itu. Tahun
1965, aku kembali ke rumah. Kembali ke tempat di mana semua permulaan berawal. Aku
harap, aku bisa kembali akrab dengan orang tuaku. Terlalu terlambat untuk menyesali
keputusanku. Namun, antara dunia tidak mendukungku atau memang begini adanya alur
kehidupanku. Kericuhan terjadi. Seharusnya aku bertahan sedikit lebih lama di sekolah neraka
itu. Hanya sebentar saja, setidaknya aku pasti tidak akan merasa seburuk ini. Semua panik,
lari ke sana kemari. Orang tuaku sambil berlari datang ke rumah dan terkejut ketika
melihatku. Dengan sigap, ayah menghampiriku dan memberikanku sebuah kunci.
“Jia Lie. Anak Baba. Maafkan Baba. Ambil kunci ini, sembunyi di peti beras di gudang,
setelah aman, ambil kotak di dalam lemari kamarku. Semuanya ada di dalam sana. Sekarang
cepat bersembunyi! Jangan keluar bahkan sebelum kamu yakin kamu aman. Jangan percaya
siapapun di sini.” Aku bingung, sekaligus panik. Aku hanya bisa menjalankan perintah
ayahku. Aku berlari menuju gudang dan bersembunyi di peti beras sedangkan terdengar
teriakan dan bunyi letupan pistol di luar. Sangat bising suaranya, hingga aku menangis pun
seperti tak akan terdengar. Walau begitu, aku tetap berusaha tidak menangis. Hari ini tanggal
30 September 1965, aku adalah saksi dalam peristiwa bersejarah ini. Namun, aku tetap
membisu dan memilih untuk diam.
Entah sudah berapa jam aku berada dalam peti ini, sepertinya ini sudah pagi. Sudah
tidak terdengar suara kericuhan lagi. Aku takut. Haruskah aku keluar sekarang? Bagaimana
jika ada orang yang patroli? Diam-diam aku membuka peti dan melempar benda ke arah luar
rumah sehingga menimbulkan suara yang cukup besar menurutku. Tapi, tak terdengar ada
respon. Aku diam-diam keluar dan mengejutkan sekali melihat lautan darah di ruang tengah.
Tentu salah satunya ada orang tuaku. Aku berusaha tidak melihat dan berjalan ke arah kamar
ayah. Memang betul ada sebuah kotak misterius di dalam lemarinya. Dengan segera aku
kembali ke gudang agar lebih aman, barulah aku membuka kotak itu.
“Teruntuk Jia Lie, anak cantik kami satu-satunya. Kami harap tidak akan pernah ada
kesempatan kamu membaca surat ini. Untuk terakhir kalinya, kami mohon untuk percayalah
pada kami bahwa kami tidak pernah berbuat jahat. Jika sesuatu buruk terjadi seperti nyawa
kami terancam dan kamu membaca ini, itu berarti kami dikhianati. Kami telah berusaha
untuk membawa PKI ke jalan yang lebih baik sesuai hukum yang ada, buktinya kami
menyertakan kumpulan ‘dosa-dosa’ para anggota PKI, namun kami selalu dihalangi. Kami
telah menyiapkan berkas-berkas yang sekiranya akan kamu butuhkan untuk menyelamatkan
dirimu seperti, berkas pergantian nama dan silsilah keluarga agar membersihkan namamu
dari jejak-jejak PKI. Kami tahu bahwa kamu tidak menyukai pekerjaan kami. Tapi, tolong
percayalah pada kami untuk terakhir kalinya. Namamu sekarang adalah Jiana Tjoe. Sudah
tidak ada lagi marga Lie. Kami selalu berharap agar anak kami satu-satunya menjadi cahaya
penerang di malam yang gelap seperti Dewi Chang E. Maaf, dan terima kasih, Dewi Bulan
kami. Women yizhi ai ni, Xiao Baobao17.”
Aku menangis sejadi-jadinya dalam keheningan. Namun, tak boleh aku berlama-lama
terlarut dalam kesedihanku atau aku tidak akan bisa bertahan hidup. Dengan segera, aku pergi
menuju lokasi yang suka disebutkan dalam kotak. Berakhirlah aku berjumpa sebuah rumah di
tengah desa terpencil di Djokjakarta. Rumah yang bisa dibilang cukup bisa ditinggali.
Ternyata di dalam sana ada brankas yang berisi uang yang cukup, setidaknya dua tahun ke
depan jika aku tidak langsung bekerja. Penyesalan selalu datang di akhir. Seharusnya aku
lebih percaya pada orang tuaku. Seharusnya.
Seminggu kuhabiskan untuk merenung dan menenangkan diri dari semua yang telah
kulalui. Tentu aku merasa sangat menyesal, takut, dan kecewa pada diriku sendiri yang tidak
bisa berbuat apa-apa saat pembantaian terjadi. Tapi, semua itu sia-sia, memang ini akhir yang
diinginkan orang tuaku. Setelah seminggu, aku mencoba membuat kue bulan. Sebagai pelipur
lara dan memberikan obat rindu akan rumah dan ayah ibuku. Ketika aku melahap kue bulan
itu, aku merasakan ketenangan, seperti ada orang di sampingku yang menemaniku,
menenangkanku, dan satu-satunya yang bisa kupercayai.
Setelah sebulan, aku memulai aktivitas dengan melamar pekerjaan sebagai guru di
sekolah terdekat, walau gajinya tidak seberapa, tapi aku ingin akrab dengan masyarakat
dengan identitas baruku ini. Setiap malam, aku selalu memakan kue bulan dan menikmati
malam dengan bulan yang tetap setia menyinari gelapnya malam. Sebuah rutinitas wajib di
hidupku sekarang agar aku bisa ‘sembuh’ dari kejadian yang telah berlalu. Suatu malam, saat
bulan purnama dan aku melakukan aktivitasku seperti biasa, yaitu mencamil kue bulan. Akan
tetapi, malam ini berbeda, ada seseorang yang menemaniku. Dia tiba-tiba datang, seorang
wanita cantik, tidak terlihat mencurigakan sama sekali karena wajahnya mirip denganku.
Walaupun jika dilihat lebih teliti, tidak begitu mirip. Dia terlihat sedikit lebih berumur dari
pada aku. Tapi, tetap saja masih sangat muda dan bugar.
“Halo.” Wanita misterius itu mulai menyapa.
“Halo??? Siapa ya? Apakah kamu pribumi?” Aku memberanikan bertanya.
“Hmm.. tidak benar tapi juga tidak salah. Baiklah, singkat cerita, aku di sini untuk
menuntunmu ke jalan yang benar.”
“.....”
Dia menghela napas, “Ha... tentu saja kamu gak paham. Oke, begini, panggil saja aku Chang
E.”
Cara bicaranya sedikit aneh, maksudku bahasa yang dia gunakan tidak seperti bahasa
Indonesia biasanya. “Chang E? Dewi Bulan? Apakah kamu baik?”
“Dewi? Woah itu sedikit berlebihan, tapi boleh juga. Anggap saja begitu. Oh iya, aku sangat
baik kok. Buktinya bisa kamu perhatikan nanti.

17
Women yizhi ai ni, Xiao Baobao memiliki arti “Kami selalu mencintaimu, bayi kecil.
Dia menghilang tiba-tiba. Apakah aku berpikir dia hantu? Mungkin iya, tapi entah
mengapa aku tidak merasa terancam saat dia ada di dekatku. Mungkin aku bisa membuatnya
menjadi teman cerita saja.
Keesokan harinya, ia datang lagi. Dalam waktu singkat, kami menjadi akrab seperti
bertemu teman lama. Banyak hal yang kuceritakan dan banyak hal pula aku belajar darinya.
Chang E benar-benar seperti bulan dalam hidupku yang gelap. Sehingga aku dapat melewati
satu tahun dengan tenang berkat Chang E, mungkin sekarang aku bisa percaya jika dia benar-
benar seorang Dewi Bulan.
Tahun 1966, aku mencoba untuk lebih terbuka dan kembali seperti dulu walaupun
sulit rasanya. Bayang-bayang akan ‘hari itu’ terus menghantui pikiranku, tak membiarkanku
menjalani hidup dengan tenteram.
“Jia, soal temanmu yang kau ceritakan, yang baru saja masuk sekolah sebagai guru baru.
Menurutku, dia baik. Bahkan, dia sering berusaha mengajakmu bicara dan membelikan
makanan untukmu, bukan?”
“Maksudmu Arum? Dia memang baik, tapi aku trauma percaya dengan orang lain. Aku sudah
terlalu sering dikhianati. Jadi, aku takut untuk bercengkerama lebih banyak dengan dia, takut
menjadi berlebihan.”
“Berlebihan apa maksudmu? Gimana jika aku menemanimu ketika kamu mendekatinya?
Akan kubuktikan bahwa dia itu baik.” Chang E justru terdengar seperti menantang diriku, aku
kurang paham, tapi aku percaya padanya. Mungkin sudah waktunya aku mengenalkan
temanku ini ke orang lain.
Keesokan harinya, ternyata benar bahwa Chang E menghampiriku ke sekolah. Ketika
aku mengajak Arum untuk berjalan-jalan sambil mengobrol dengan Chang E, Arum justru
terdiam. Tidak mengucapkan sepatah kata pun. Padahal, dia sering kali bermulut besar,
entahlah dia menjadi pendiam hari ini.
Setelah Chang E pergi dan aku harus kembali mengajar lagi, tiba-tiba Arum
menghampiriku.
“Jiana! Tunggu sebentar, maaf jika pertanyaanku sedikit melukai hatimu. Tapi, apakah tadi
kamu membawa teman bersamamu saat kita jalan-jalan?” Arum bertanya sambil agak
berbisik.
“Hm? Iya, tadi aku sudah bilang bukan, namanya Chang E. Seperti nama seorang Dewi Bulan
dalam mitologi Tionghoa. Yah, walaupun kamu harus terbiasa dengan cara bicara anehnya.”
Aku menjawab seadanya, tak paham dengan pertanyaan aneh Arum.
“Oh, begitu kah? Tiba-tiba aku teringat akan sesuatu, apakah kamu berkenan menemaniku
pergi? Hanya sebentar, tidak perlu kamu membawa temanmu itu.”
Aku sedikit curiga dan khawatir, tapi tak apa lah aku mencoba untuk mengikutinya.
Lagi pula aku sudah dewasa dan bisa menjaga diri. Lalu, ternyata yang ditemui Arum adalah
dokter psikologis. Aku tidak paham, apakah Arum sebenarnya diam-diam mengidap
gangguan psikologis ya? Terlihat Arum dan dokter sedang berbincang sesuatu yang terlihat
rahasia.
Sang dokter lalu menghampiriku dan bertanya hal-hal aneh seperti, apakah aku ada trauma,
apakah aku ada rutinitas setiap hari yang tak pernah terlewatkan, apakah aku merasakan
ketenangan saat berada dalam keadaan tertentu, dan pertanyaan-pertanyaan lain seperti sedang
diinterogasi. Semua kujawab apa adanya.
“Ternyata benar, Nona Arum. Teman Anda, Nona Jiana Tjoe, dia memiliki gangguan
psikologis yaitu skizofrenia walaupun masih dalam skala kecil, belum memiliki risiko begitu
besar. Lebih baik cepat diatasi sebelum semakin memburuk.” Ucap sang dokter sembari
mengulurkan kertas-kertas yang membuktikan bahwa aku mengidap skizofrenia. Aku tidak
percaya. Tapi, aku tidak bisa membantah. Mungkin sebenarnya aku sendiri telah sadar akan
keanehanku ini sejak munculnya Chang E secara tiba-tiba dan tanpa tahu asal muasalnya.
Namun, aku mengatakan bahwa aku tidak membutuhkan bantuan dokter. Pikirku, masalah
seperti ini bisa aku atasi sendiri karena belum begitu parah.
Tibalah aku di rumah, tampak Chang E menunggu di depan pintu rumahku seperti
memang sedang menungguku untuk pulang.
“Hai, Jia! Bagaimana harimu? Bisakah kita mengobrol sebentar?” Aku mengiyakan
ajakannya, lalu mengekorinya menuju ke ruang tengah.
“Apakah kamu diajak pergi oleh temanmu, Arum, ke psikolog atau dokter?” Chang E
bertanya sambil memakan kue bulan di atas meja.
"Sepertinya begitu, aku sedikit ragu dengan diagnosis dokter tersebut. Namun, tak ada alasan
untukku menolak pernyataan tersebut, bukan?”
“Jia hebat sekali, aku bangga darahmu mengalir dalam nadiku. Tapi, maaf, Jia. Tak banyak
yang bisa kulakukan untuk membantumu. Kalau tidak salah, umurmu sekarang 21 tahun, kan?
Aku paham betul bahwa hal ini sulit bagimu, tapi aku akan berusaha sebaik mungkin untuk
membantumu.” Ekspresinya begitu serius, sepertinya ini adalah hal yang krusial, tidak sempat
aku memotong perkataannya.
“Kamu.. bisa coba untuk mulai bergaul dan lebih berbaur dalam masyarakat. Karena, aku
tidak bisa selamanya menemanimu. Pasti ada banyak orang yang benar-benar bisa kamu
percayai. Aku tahu. Kamu sulit untuk percaya orang lain lagi. Tapi, aku akan membantumu
menyeleksi orang-orang yang bisa kamu percayai dan tidak. Pelan-pelan saja. Ini masih
belum terlambat.”
Sebenarnya aku pun memiliki keinginan yang besar untuk kembali kuat, kembali
pulih, lebih baik dari dahulu. Hingga bertahun-tahun berlalu semenjak Chang E ikut
membantuku dalam memulihkan diriku sendiri. Waktu yang sangat lama, bukan? Namun,
hasilnya bisa dijamin. Aku berhasil mengatasi rasa kesepianku, tentu saja berkat dukungan
dan bantuan dari Chang E. Aku mengikuti sebuah organisasi galang dana, di sana aku
bertemu banyak sekali orang. Ketuanya pun sangat baik, namanya Diwei Liang, dia seorang
pria yang amat bertanggung jawab dan memiliki jiwa kepemimpinan yang hebat, sangat
mengintrepretasikan namanya. Dia sangat baik padaku, mungkin karena dia satu-satunya
orang yang menyadari akan gangguan psikologisku ini. Tentu saja, dia adalah salah satu
psikolog terbaik di Batavia. Banyak orang menyukainya. Kenapa aku justru menceritakan
tentangnya? Entahlah, mungkin karena dia adalah seorang ketua yang hebat.
Tak hanya Chang E yang memerintahku untuk segera menghiasi jalanku dengan
kebun bunga cinta, Arum pun turut mendukungku untuk mendekati Kak Diwei.

36
“Jia~ Sepertinya kau sedang dalam masa kasmaran. Apakah itu sang ketua yang hebat itu?”
Goda Chang E begitu aku sampai rumah.
“Hei, jaga bicaramu, walaupun aku sudah bisa bersosialisasi seperti manusia normal pada
umumnya, bukan berarti aku siap menjalani hubungan asmara dengan pria!”
“HAHAHA lihat wajah memerahmu itu! Tidak siap katamu? Berapa umurmu sekarang? 27
tahun, kan? Tua sekali~! Sudah umurmu untuk menikah, tahu! Di tempatku, bahkan umur 23
tahun saja sudah harus menikah.”
“Kau memiliki tempat tinggal ternyata ya?”
“Jangan mengalihkan pembicaraan kau, ya! Tunggu apa lagi? Diwei sudah sangat
menampakkan dengan jelas bahwa dia menyukaimu. Tunggu apa lagi?”
Benar kata Chang E, apa yang sebenarnya kutunggu? Saat ini tahun 1972, kericuhan
memang telah lama meredam. Zaman orde baru pun sudah lama terjalani. Memang sudah
waktunya untuk menulis kisah baru di halaman buku yang baru. Belum sekejap
kumemikirkan soal kisah baru, mendadak terdengar suara orang mengetok pintu.
Kuhampirilah ia, pikirku itu adalah Arum. Namun, betapa terkejutnya aku setelah melihat
seorang lelaki yang kukenal membawa keranjang buah di depan pintu.
“Eh? Kak Diwei? Mendadak sekali kedatanganmu, mengapa tidak berkabar dahulu?”
Sambil menawarinya masuk ke dalam rumah, aku menerima keranjang buah itu yang
diberikan padaku dan mempersilahkannya duduk. Bisa kudengar suara histeris Chang E yang
seperti sudah menduga akan hal ini untuk terjadi
“Bukan hal besar, Jiana. Hanya rindu yang mendadak menyuruhku kemari. Sekalian ingin
berbincang akan suatu hal.” Sekuat tenaga aku menahan untuk tidak menorehkan senyuman di
depan Diwei. Aku malu.
“Segeralah kau tuturkan maksudmu menghampiriku.”
Tanpa basa basi, Diwei langsung mengatakan maksudnya, “Apakah kau menyadari
perasaanku yang selama ini menyukaimu dalam diam?” Aku terkejut, ini adalah kali
pertamaku, tak tahu jawaban apa yang harus kuberikan agar ia mengerti perasaanku juga.
“Kak Diwei? Sungguh menyukaiku? A-aku tak menyangka..”
“Tidak apa-apa, Jiana. Aku sangat mengerti keadaanmu. Kau percayalah padaku, aku akan
menunggumu hingga kau siap untukku meminangmu kelak. Sebagai bukti kesungguhanku,
selama ini diam-diam aku membantumu menyembuhkan skizofreniamu. Kalau tidak salah,
namanya Chang E, benar?”
“Jadi, kakak sudah tahu, kakak pun yang selama ini membantuku? Aku tak tahu harus
membalas dengan apa.”
“Balas aku dengan jawaban yang aku dambakan sejak dulu. Aku sangat mengerti mengapa
Chang E ada. Maka dari itu, biarkan aku menjadi bulanmu di malam gelapmu. Aku akan
menerima semua hal dari hidupmu, masa lalumu, masa depanmu, kesulitanmu, percayakan
aku untuk memikulnya bersamamu.”
Sejak pengakuannya di hari itu, hingga dua tahun kemudian, kami selalu bersama.
Benar-benar berperan menjadi bulanku yang indah. Sampai-sampai aku hampir tak menyadari
37
bahwa bulanku yang dulu, Chang E, pelan-pelan menghilang. Aku tidak merasa sedih, sebab
dia pun sudah mengucapkan selamat tinggal padaku. Seperti dia memang menunggu bulan
yang sebenarnya datang dan perannya hanya sebagai bulan sementara.
Tahun 1974, diumurku yang telah menyentuh 29 tahun, aku sebagai Jiana Tjoe
berkawin dengan Diwei Liang. Setelah dua tahun lamanya kami menjalin hubungan dengan
aman demi menyembuhkan skizofreniaku sekaligus, aku menceritakan tentang masa lalu. Dia
tak terkejut, seperti telah menduga kemungkinan hal terburuk sekalipun. Aku lega setelah
mengungkapkan diriku yang sebenarnya. Setelah menikah pun, dia memanggilku Jia, demi
diriku untuk tidak membenci masa laluku sendiri.
Setahun kemudian, aku melahirkan anak perempuan pertamaku. Insan yang suci,
cantik, mungil, bersih. Kunamai dia Chang E Liang, bermaksud agar tidak melupakan sahabat
lamaku yang telah banyak membantuku dan berharap anakku dapat menjadi bulan di malam
yang gelap orang lain. Chang E benar-benar tumbuh selayaknya cahaya di malamku yang
gelap. Benar-benar membuat hidupku lebih bersinar. Dia memang bersikap lebih dewasa
dibandingkan anak seumurannya, mungkin itu karena mewariskan darahku.
Chang E sekarang menjadi wanita karir yang telah dewasa, bahkan telah menikah di
umurnya yang masih 24 tahun. Bagi manusia sekarang, itu adalah hal yang normal. Bertahun-
tahun kemudian setelah ia menikah, Chang E kerap mengunjungiku ke rumah dan selalu
mengatakan hal yang sama.
“Mama tahu? Mama itu hebat dan kuat banget. Aku sangat bersyukur bisa membantumu, Ma.
Menjadi bulan yang selalu bersinar seperti harapan Mama.”
“Hm? Tentu saja, seperti namamu, bukan?”
“Benar, Ma. Bahkan sejak dulu. Terima kasih telah menerima dan memercayaiku, Ma. Semua
berkat anugerah Dewi Bulan Yang Agung.”

BINAR KECIL SENANTIASA ADA SEKALIPUN DI MALAM YANG


GELAP TANPA HARAPAN.

38
Garis Waktu
Oleh: Aulia Sekar Arinda

"Ayah."

"Iya?"

"Alisha sudah sering mendengar dunia luar dari dongeng yang selalu ayah ceritakan, tapi
Alisha belum pernah melihatnya langsung," kata anak perempuan itu dengan memanyunkan
bibirnya.

Pria yang duduk di pinggir kasur tua itu terkekeh, "akan ada saatnya Alisha melihat dengan
mata Alisha sendiri." 

Anak kecil yang sudah terbaring pada kasur itu bangkit lagi dengan semangat menatap sang
ayah "benarkah, Ayah? Kapan Alisha bisa melihatnya?"

Ayah dari anak itu tersenyum sembari mengelus surai sang buah hati, "akan ada waktunya
untuk melihat semuanya anak cantikku."

Selintas percakapan melintas dengan tiba-tiba, senyuman terpatri kecil pada wajahku. 

Jika kalian mencari kisah indah, maaf kisah ku tak akan seindah dongeng para putri yang
menemukan kebahagiaannya, bukanlah kisah seorang wanita yang menemukan cinta sejati
pula, dan juga bukan kisah seorang wanita yang mendambakan cintanya.

Ini hanyalah sepercik kisah hidup yang kehilangan arah, kehilangan malaikat penyelamatnya,
dan kehilangan satu-satunya pahlawannya.

Goresan sastra yang tercoret rapi pada kertas cokelat bagaikan kenangan yang dapat
menerbangkan rasa rindu.

Cerita demi cerita tertulis bergantian pada buku usang yang menyimpan begitu banyak
memori di dalamnya.

Sekarang akan kubagikan bagaimana kisah hidup seorang anak yang pergi mencari keadilan
untuk hidupnya.

Kalender Kekaisaran 1304 Tahun 739 Kekaisaran Tulx

Goresan jingga pada cakrawala menjadi saksi di mana aku mengeratkan genggaman pada
ujung pakaian usang yang sudah terdapat banyak tambalan-tambalan diatasnya.
39
Kugelengkan kepalaku pelan dengan menahan buliran air bening yang akan jatuh
membasahi pipi keringku.

Pria dihadapan ku berjongkok menyamakan tinggi badannya, memelukku dengan erat


sembari mengelus punggung kecilku.

Air mata sudah tak mampu kutahan lebih lama lagi, usapan pelan pada punggungku
membuat buliran-buliran bening terus terjun dengan bebas.

Kukepalkan tangan ku pada punggung rapuh yang selalu menahan seluruh beban,
menanggung seluruh penderitaan.

Hitam dan putih jalan yang sudah dilaluinya terlihat pada bekas luka pada tubuhnya.

Aku menuangkan seluruh tangisanku pada pelukan yang sangat amat aman dan nyaman
bagiku. 

"Ayah, Alisha mohon jangan pergi. Alisha tidak ingin sendiri di sini."

Raungan tangisku memenuhi sepinya rumah tua ini.

Senyum lembut yang terlukis pada wajah teduhnya menyambutku saat pelukanku dilepas,
"Alisha, ingat dongeng yang selalu ayah ceritakan ketika Alisha ingin pergi tidur?" 

Aku mengangguk menanggapi pertanyaan ayah.

"Ingat cerita di mana seorang pria yang ingin menyelamatkan negaranya harus pergi
meninggalkan keluarganya?"

Lagi-lagi aku mengangguk.

"Ayah ingin menjadi superhero seperti dongeng yang Alisha dengar."

"Tapi ayah sudah menjadi superhero bagi Alisha."

Lagi-lagi senyuman sabar mengembang pada wajah teduhnya, "Alisha, apakah superhero
yang Alisha tau hanya menolong satu orang?"

Aku menggeleng, ayah mengusap sisa-sisa air mata pada wajahku dengan senyuman yang
masih terpatri di sana.

"Bukankah Alisha suka melihat Bibi Vey dan Paman Ben tersenyum?

"Iya, Alisha suka."


40
"Ayah pergi untuk mempertahankan senyuman para warga di desa kita sayang."

"Tapi-"

tok.. tok.. tok

Sebelum aku menyelesaikan kalimat yang ingin ku sampaikan pada ayah, suara ketukan pintu
rumah mengalihkan atensi kami.

Ayah melangkahkan kakinya dan membukakan pintu.

Sedikit aku melihat rombongan para pasukan yang sudah bersiap pada sela-sela tubuh ayah
yang hampir menutupi pandangan ku seluruhnya.

Kulihat juga bibi Vey yang menerobos rombongan pasukan itu dan langsung mengobrol
dengan ayah.

Aku hanya bersembunyi dibalik tubuh ayah yang hampir menutupi seluruh tubuhku.

"Ayah…" cicit ku sambil menggenggam erat kain celananya.

Ayah berjongkok menghadap ku, mengelus rambut dengan dibumbui kecupan kecupan kecil
pada seluruh inci wajahku.

"Ayah akan kembali menemui Alisha. Ayah janji."

Aku menatap manik mata ayah yang jelas terpancar keyakinan.

Bibi Vey mendekat, menepuk pundakku pelan, "Lisha sama bibi dulu ya selama ayah tidak di
rumah."

Aku hanya menatap bibi Vey dan kembali menatap ayah. Kulihat ayah menganggukkan
kepalanya memberikanku isyarat seperti 'semuanya akan baik-baik saja. Percaya pada ayah.'

Dan akhirnya, gadis kecil yang berusia belum genap 10 tahun merelakan ayahnya untuk pergi.
Yang kiranya akan kembali, tetapi ternyata tidak.

Waktu memakan kekosongan yang ada dalam diri gadis itu. Berjalannya waktu, dia tak lagi
mengharapkan kehadiran sang ayah.

Tidak ada lagi kotak memori di dalam otaknya yang masih memutar wajah ayahnya yang
selalu tersenyum, tidak lagi mendengarkan dongeng yang selalu diceritakan sosok kepala
keluarga itu.

41
Memeluk nestapa dan tersapu oleh derita pada tubuh kecil yang rapuh.

Amerta dan lengkara yang tak pernah masuk dalam benaknya, mungkin sekarang sudah
terbuai menjadi kata yang dimakan derasnya waktu.

Kini ia sudah menjadi wanita dewasa yang akan segera mengerti arti dunia seluruhnya. 

--

1004 Tahun 747 Kekaisaran Tulx

Arunika dengan malu-malu telah menunjukkan diri pada cakrawala bahwa kini gilirannya
untuk bersinar.

"Alisha, Bibi pergi ke kota dulu untuk membeli bahan-bahan yang sudah habis."

Aku berlari kecil untuk membuka tirai yang membagi dapur dan ruang tengah, "tunggu,
Bibi!"

Bibi Vey yang ingin melangkahkan kakinya keluar terhenti, "ada apa Alisha? Kamu mau titip
sesuatu?"

Aku berjalan mendekati bibi dan mengambil kantung belanja yang berada di tangannya.

"Bibi lupa? Bukankah sekarang giliran ku untuk membeli bahan makanan."

"Tapi ini kota Alisha, kamu bahkan belum pernah pergi keluar dari desa." 

Aku mengecup pipi Bibi Vey, "bibi lihatlah aku sekarang, bahkan tinggi ku melebihi bibi,"

"Tak apa bibi, jika tersesat pun aku masih bisa meminta tolong kepada orang lain bukan?"

Aku melihat wajah Bibi Vey yang masih terdapat keraguan di sana, aku tersenyum sembari
mengelus pundaknya. "Bibi istirahatlah di rumah dan lakukan pekerjaan ringan jika bosan.
Bibi baru saja sembuh dari sakit, percayakan untuk membeli bahan-bahan pada Alisha ya?"

"Baiklah, tetapi setelah semua bahan sudah terbeli segeralah pulang. Dan pakailah jubah
ini."

Aku mengangguk menanggapi perkataan bibi sambil memakai jubah yang bibi berikan.
"Kalau begitu, aku pamit bibi."

42
Suara bibi terdengar samar semakin aku melangkah maju, masih terlihat raut khawatir pada
wajahnya. Aku melambaikan tanganku sebagai tanda bahwa aku akan baik-baik saja.

Tak terasa sudah banyak waktu berlalu untukku, canda tawa yang sudah terlalui tanpa
teringat sosok yang sangat ku rindukan.

Langkah kakiku terasa ringan, dongeng yang terkunci rapat di sisi ingatanku mulai terbuka
gemboknya satu persatu. 

Seperti rekaman yang dengan lancarnya mengalir tanpa melewati sebagian kecil apapun.

Dengan cepat ku singkirkan pikiran yang selalu membuatku terganggu, tak ingin
memikirkannya lebih dalam aku mempercepat langkahku.

"Alisha!"

Aku menengokkan kepalaku ke arah suara lantang yang memanggilku dari kejauhan.

Derapan langkah kuda yang dipercepat memenuhi indra pendengaranku.

Aku tak bisa melihat siapa sosok kusir di balik debu yang menutupi arah pandang ku.

"Gadis cantik ini mau kemana?"

Ah, kaget aku. Aku kira siapa.

"Paman Ben, saya kira siapa."

Lelaki yang usianya mungkin 50-an tahun itu tertawa. "Kamu mau kemana? Di mana Vey?
Dan juga kenapa kau memakai jubah seperti itu?”

Aku terkekeh mendengar pertanyaan beruntut dari paman "saya mau ke kota paman, Bibi Vey
berada dirumah untuk memulihkan tubuhnya. Dan jubah ini, saya pun tidak tahu bibi yang
menyuruhnya untuk memakai."

Paman Ben mengangguk mengerti, "ya sudah, ayo paman antar."

Mungkin Paman Ben tahu aku akan menolak, sebelum tolakan keluar dari mulutku paman
Ben berkata, "tidak apa, Paman juga sekalian mau ke kediaman Keluarga Frencer."

Aku tertawa kecil sembari menganggukkan kepala, kakiku melangkah menaiki kereta kuda
milik paman. Ketika dirasa aku sudah duduk, paman langsung memacu kudanya untuk
kembali lagi berjalan.

43
Jalanan asing yang belum pernah aku lihat sebelumnya mengisi kotak kenangan lain yang
berada di otakku. Jalan setapak yang dipenuhi krikil menjadi satu-satunya jalanan yang
mengantarkan kita ke kota. 

Aku membuka pembatas kecil pada kereta kuda untuk berbicara pada paman. "Paman!"
ucapku sedikit berteriak karena kuda melaju dengan kencang.

Kecepatan kuda menurun dan paman menengokkan kepalanya ke belakang. "Ada apa
Alisha?"

"Saya turun di sini saja paman, setelah jalan di depan paman dan saya arahnya sudah
berbeda."

Paman Ben menggeleng, "tidak, nanti bibi mu bisa memarahiku habis-habisan jika anak
gadisnya ku turunkan disini."

Aku tertawa mendengarnya, "bibi tidak akan tahu, saya yang menaiki kereta paman sekarang
saja bibi tidak tahu bukan?"

Paman Ben terdiam, aku tahu ia tidak bisa lagi membalas perkataan ku. Aku segera
membuka pintu kereta dan turun. 

"Terimakasih atas tumpangannya paman, hati-hati di jalan." Kataku melambaikan tangan


pada paman sambil berlari kecil menjauhinya.

Aku berlari cukup jauh dari keberadaan paman, sudah dapat ku lihat keberadaan pasar yang
hanya 10 langkah lagi dari tempatku berdiri. 

Keadaan pasar cukup ramai hari ini. Aku langsung mencari bahan-bahan yang dibutuhkan
agar segera kembali pulang sebelum matahari terbenam.

Aku rasa aku sudah berkeliling cukup lama dan keranjang belanjaan sudah hampir dipenuhi
oleh bahan makanan. Pun kurasa list di dalam catatan juga sudah hampir terbeli semua
kecuali beberapa bahan yang memang stoknya sudah habis.

Bunyi perutku lebih mendominasiku kali ini dan mungkin sudah tidak bisa menahannya lebih
lama lagi, memang salahku tidak sarapan terlebih dahulu sebelum pergi. Sebelum pulang,
aku mencari toko makanan terdekat.

Aku mencium aroma roti yang sangat harum dari kejauhan, secara otomatis langkah kakiku
langsung menunju sumber aroma lezat ini.

44
“Permisi, saya ingin membeli roti ini dua potong.” 

Aku menunjuk roti baguette yang sepertinya menggodaku untuk membelinya.

“Ini uangnya, terimaka-“

“Apakah kau ingat prajurit dari mantan bangsawan Baron Heera?”

Aku terdiam. Nama yang sudah jarang aku tanyakan pada bibi karena jawabannya yang
berulang kali sama.

“Ah, apakah yang anda maksud bangsawan yang menghianati raja terdahulu?”

“Shuutt! Kecilkan suaramu. Jika ada yang mendengarnya bisa habis kita!”

“Nona?” 

“Nona!”

Aku dikejutkan oleh teriakan penjual roti di depanku, “ah, maafkan saya. Ini uangnya.
Terimakasih”

Aku langsung pergi dan membuntuti dengan pelan kedua prajurit yang menyinggung nama
orang yang kucari.

Kedua orang itu pergi ke arah gang yang sangat sempit dan terpencil sampai tidak ada
warga lagi yang ku lihat disini selain aku dan kedua orang didepan ku. Mereka berhenti dan
masuk ke dalam ruangan yang bahkan tidak terpikirkan akan berada ditempat seperti ini.

Aku meletakkan keranjang belanjaanku di pinggir dan kututupi oleh kardus-kardus bekas
yang berada disana. Entah keberanian mana yang ku dapat, aku membuka pintu kayu yang
sudah sangat tua itu dan masuk ke dalamnya. Sebelum membuka pintu itu, aku memakai
tudung yang berada pada jubah pemberian bibi. Sungguh aku tidak mengerti ini takdir atau
bukan, atau bibi sudah memperkirakan akan terjadi kejadian seperti ini sampai
memberikanku jubah?

Saat kubuka pintu kayu yang sudah tua itu, aroma alkohol yang sangat pekat menyeruak
masuk indra penciumanku. Aku berjalan pelan sembari mencari kedua orang yang kubuntuti
tadi.

45
Sudah berulang kali aku mengamati sekeliling tempat ini, tapi aku tak bisa menemukan
keberadaan kedua orang itu. Yang hanya bisa ku lihat hanya segerombolan orang-orang
seram berbadan besar serta tubuh yang banyak sekali dipenuhi bekas luka.

Aku berjalan menuju bartender, degupan jantungku yang ketakutan tak bisa ku tahan.
Sungguh jika bicara jujur, aku ingin segera keluar dari tempat ini. Tapi rasa penasaranku
lebih besar dibanding rasa takutku.

Aku duduk di salah satu kursi yang disediakan, aku menarik tudung pada jubah yang kupakai
sampai menutupi seluruh wajahku.

“Ada yang bisa saya bantu?”

Suara berat bartender mampu membuat bulu kudukku berdiri, aku menggelengkan kepalaku
menanggapi pertanyaan orang berwajah seram di hadapanku.

Dalam hatiku aku berharap bahwa bartender itu segera pergi dari hadapanku. 

“Baiklah, jika ada yang bisa saya bantu ketuk meja saja.”

Aku menghela nafas lega setelah bartender itu pergi, kukepalkan kedua tanganku menjadi
satu, “Dewa jika kau memang hadir dan nyata tolong berikanlah aku keberanian sedikit saja
disini.”

BRAKK

Tubuhku terpelonjak mendengar suara pintu yang dibuka dengan kasar, entah siapa itu aku
tak berani menolehkan wajahku untuk melihatnya.

“SEMUA YANG BERADA DISINI! MAKAN DAN MINUMAN YANG KALIAN PESAN, AKU
YANG BAYAR”

“WOOOOOOHH!”

Dengan keberanian sebesar biji jangung aku membalikkan tubuh melihat siapa pelaku yang
membuat tempat yang tadinya sepi ini menjadi begitu ramai. Seluruh pengunjung bersorak
sembari menangkat gelas besar yang berisi bir di dalamnya untuk bersulang.

Tapi tunggu...

Sepertinya aku pernah melihat pria berbadan besar yang membuat tempat ini begitu ramai.

46
Pria beserta gerombolannya itu duduk tepat di belakangku. 

“SMITH, BERIKAN ALKOHOL DAN MAKANAN TERBAIK!” teriaknya dengan lantang.

“Huh! Tidak sia-sia kita menunggu 8 tahun!”

“Itu benar, Bos, tapi apakah akan baik-baik saja?”

“Apa yang kau takutkan? Tidak ada bukti tersisa, bahkan tubuhnya mungkin sudah dimakan
oleh monster beberapa tahun lalu.”

“Benar apa yang dikatakan, Bos. Lebih baik kita menikmati jerih payah yang sudah kita
tunggu-tunggu selama 8 tahun.”

“BERSULANG!”

Gesekan gelas yang saling bertuburkan menjadi tanda berakhirnya obrolan mereka. Entah
kenapa aku mendengarkan obrolan yang bahkan aku saja tidak mengerti apa yang mereka
bahas dan katakan. Tetapi perasaan gelisah apa ini? Ada sesuatu yang mendorongku untuk
terus mengikuti mereka. Dan dengan bodohnya aku mengikuti perasaan yang entah bahkan
aku sendiri pun tak mengerti.

Dan tibalah aku disini, rumah tua yang berada di pinggiran hutan perbatasan. Aku mengikuti
keempat orang asing itu dengan menjaga jarak sejauh mungkin. Bersembunyi dibalik pohon
yang mampu menutupi tubuhku seluruhnya adalah kegiatan yang kulakukan saat ini. Salah
satu pria berbadan besar menjaga pintunya dari luar. 

Suara burung memecah keheningan menandakan matahari mulai meninggalkan tugasnya dan
bibi pastinya sangat gelisah menungguku dirumah. Aku yang tadinya ingin pergi
meninggalkan tempat ini terhentikan dengan suara pria yang mendekat.

“Bagaimana dengan barang yang lain?”

“Sudah tidak ada yang berharga selain surat kepemilikan itu.”

“Bagaimana dengan buku usang yang berada di tasnya?”

“Tinggalkan saja, isinya tidak begitu penting. Aku sudah mengeceknya.”

“Kita akan habis kalau dia menuliskan sesuatu dan ditemukan orang lain.”

“Sudah ku bilang tidak ada yang penting! Aku sudah merobeknya jika itu berbahaya.”

47
“Josh, apa kau tahu? Liam tersentuh membacanya.”

“Pfttt. Seperti dia masih punya hati saja. Sudahlah kita pergi, tidak ada lagi yang diperlukan
di sini.”

Aku menghela nafas sangat lega melihat mereka berempat sudah pergi, “hah! Hampir saja.
Bagaimana mereka tiba-tiba bisa di depanku?” 

Aku mengurungkan niatku untuk segera pulang. Duduk bersandar pada pohon yang mampu
menutupi seluruh tubuhku dengan sempurna. Mataku mengamati rumah tua yang berada tak
jauh dari tempat aku duduk sekarang.

Perasaan ini lagi. Sebenarnya perasaan apa ini? Sambil aku terus menatap bangunan tua itu
pikiranku masih memutar percakapan pria asing itu.

Aku meyakinkan hatiku dan melangkahkan kaki menuju bangunan tua yang bahkan orang
lain pun tak akan mengira bangunan ini akan berada di tempat seperti ini.

Pintu kayu tua yang dimakan waktu terlihat sangat jelas, jika kudorong lebih keras mungkin
saja pintu ini akan terlepas. Begitu aku masuk, aku langsung bisa melihat tas kain yang
sudah sangat kotor dan bahkan sudah tak tampak seperti tas lagi jika tidak mendekatinya. 

Aku mengambil kain itu yang ternyata di dalamnya terdapat buku yang sudah sangat usang
dan rusak.

Entah rasa penasaranku yang tinggi atau dorongan yang kuat untuk membuka buku itu. Aku
membukanya dengan perlahan, mengamati tulisan yang tertera disana.

Satu halaman sudah ku baca, kulanjutkan dengan halaman-halaman selanjutnya. Sampai di


mana tulisan yang tertera pada halaman buku itu membuat jantungku seakan berhenti
berdetak.

--

1504 Tahun 739 Kekaisaran Tulx

48
Baru dua hari disini tapi aku sudah merindukan gadis mungil yang berada dirumah. Dan
mungkin saja kegiatan malam ku ini akan diisi kerinduan untuk Alisha. Semangatlah, hanya
satu bulan saja. Pasti bisa!

2204 Tahun 739 Kekaisaran Tulx

Sudah satu minggu berlalu. Alisha, apa kamu baik-baik saja? Tentu kamu pasti sangat baik
bukan? Ada Bibi Vey dan Paman Ben yang menjagamu. Ayah sudah berpesan pada Vey
untuk mendongengkan kamu setiap malamnya. Ayah harap kamu tidur nyenyak dengan
dongeng bibi ya. Ayah juga tidur dengan nyenyak di sini, tapi ayah akan tidur lebih nyenyak
sampai bermimpi indah jika bersama Alisha. Jaga diri baik-baik, ayah akan segera pulang.

3004 Tahun 739 Kekaisaran Tulx

Ada apa ini? Bukan seperti ini strategi yang direncanakan. Tidak mungkin raja
memerintahkan untuk ikut menghancurkan desa yang bahkan tidak terlibat apapun.

Dan apa maksud Count Bluel? Aku yang harus menghunuskan pedang pertama kali?

Aku tak mengerti, padahal tinggal beberapa minggu lagi aku akan bertemu dengan anakku.

605 Tahun 739 Kekaisaran Tulx

Tidak, bukan seperti ini yang aku janjikan padanya. Perang akan tetap dilanjutkan sampai 2
bulan ke depan? Maafkan ayah Alisha, bisakah kamu menunggu lebih lama sedikit lagi?
Ayah janji hanya sampai 2 bulan.

2005 Tahun 739 Kekaisaran Tulx.

Sudah hampir satu setengah bulan berlalu dan aku sudah kehilangan satu anggota tubuhku.
Tak apa, yang terpenting aku masih bisa menulis untuk mengobati rasa rinduku. Ayah sangat
merindukanmu Alisha.

806 Tahun 739 Kekaisaran Tulx.

Alisha apa kamu tahu? Ayah sekarang berada di hutan, kedengarannya seru bukan. Dan
apakah Alisha tahu, ayah menjumpai anak kecil yang mirip dengan Alisha. Gadis kecil yang
49
mempunyai beribu pertanyaan tentang dunia. Sangat mirip denganmu. Tapi ayah hanya
berpesan, jangan mengharapkan apapun Alisha. Dunia yang Alisha tahu hanya setitik kecil
saja. Jangan mencari dan ikut campur terlalu jauh. Ayah harap Alisha selalu mendapatkan
dunia yang indah. Ayah menyayangi Alisha.

 207 Tahun 739 Kekaisaran Tulx.

Maafkan aku Alea, aku gagal menjaga anak kita, gagal menjadi kepala keluarga untuk
keluarga kecil kita. Menjaga satu-satunya permata kita. Maafkan aku yang telah mengingkari
janji untuk selalu bersama Alisha, berkah yang sudah lama kita tunggu. Dan teruntuk anakku
Alisha, ayah ingin meminta maaf telah gagal menjadi sosok ayah untukmu, ayah ingin sekali
memelukmu. Ayah juga ingin menceritakan dongeng pengantar tidur untuk Alisha tiap
malamnya. Tapi maaf, ayah mu ini mungkin sudah sangat lemah sekarang. Sudah dua bulan
ayah disini dan merindukan sosok kalian berdua, para malaikat ayah. Ayah sungguh-sungguh
senang sekali ketika Alisha lahir, bahkan ibumu sampai menangis yang tiada henti-hentinya.
Dan apakah ayah sudah pernah bercerita pada Alisha bahwa nama Alisha itu memiliki arti
yang sangat indah? Sepertinya belum ya? Hahaha maafkan ayahmu yang pelupa ini. Vishaka
Alisha Heera yang berarti “Bintang yang selalu dilindungi Dewa bagaikan berlian yang
berharga”, sangat cantik seperti anak ayah. 

Alisha, apakah Alisha memaafkan ayah yang mengingkari janji untuk segera pulang? Ayah
benar-benar minta maaf. Mungkin tubuh ayah tak bisa Alisha jumpai lagi, tetapi ayah hanya
memohon satu hal. Jangan lupakan ayah, ayah akan merasa sedih jika terlupakan malaikat
kecil ayah. Ah, ayah ingin sekali melihat wajah cantik Alisha. Sepertinya ibumu akan
memarahi ayah karena gagal menjaga Alisha. Sudah waktunya ayah akan pergi lagi,
mungkin ini terakhir kali juga ayah menulis disini. Ingat, ayah akan selalu menjaga Alisha
walapun tak berada disamping Alisha. Anak ayah pasti akan tumbuh cantik seperti ibunya,
sayang sekali ayah tidak ada disaat Alisha tumbuh. Ayah dan ibu selalu menyayangi Alisha. 

--

Air mataku terus turun disetiap kalimat yang ku baca, ada apa ini? Bukan ini yang aku
inginkan? Apa maksudnya semua ini?

Beribu pertanyaan terus-terusan muncul di pikiranku. Aku bahkan tidak tahu bahwa ayah
adalah mantan bangsawan. Kenapa bibi tidak menceritakannya? 

50
“Ayah.. Alisha rindu..sangat rindu..” lirihku berulang kali sembari memeluk buku usang
yang bahkan tulisan diatasnya sudah hampir menghilang. 

“Alisha sekarang sudah besar ayah, Alisha sudah melihat dunia yang Alisha ingin temui
ketika Alisha masih kecil. Dunia dalam dongeng penghantar tidur yang ayah ceritakan begitu
indah. Dan itu jauh berbeda dengan nyatanya!”

“Ayah bohong, Alisha benci ayah! Ayah mengingkari janji yang ayah buat. Alisha tidak akan
memaafkan ayah jika ayah yang tidak datang secara langsung!”

“AYAH!” 

Aku benar-benar hancur, aku tidak tahu lagi kini. Ayahku yang bahkan tak bersalah kenapa
menjadi korban? Dunia begitu tidak adil. Aku masih sangat membutuhkan sosok ayah. 

Aku segera bangkit dan memasukkan buku usang itu ke dalam keranjang belanjaan. Tujuan
utamaku saat ini adalah menanyakan semua perihal tentang ayah dan latar belakangnya.

“Bibi!”

Segera aku memanggil bibi sesampainya di rumah. Dan ternyata bibi tidak sendiri. Paman
Ben berada disampingnya.

“Alisha, kamu dari mana saja nak. Bibi menghawatirkanmu sendari tadi.” Bibi memelukku
dengan erat, bisa ku rasakan nada khawatirnya terlihat jelas pada setiap kata yang keluar
dari mulutnya.

“Bibi, apa benar ayah adalah mantan bangsawan?”

Elusan tangan bibi yang berada di punggungku terhenti. Dapat kulihat jelas wajah Paman
Ben yang terkejut dengan pertanyaan tiba-tiba yang kulontarkan.

“Bi, jawab Alisha.”

Bibi melepaskan pelukannya, “dari mana kamu mendengar omong kosong itu Alisha?”

“Memang tidak seharusnya bibi membiarkanmu keluar.”

“Bibi! Aku mohon bibi jujur. Aku bukan lagi anak kecil yang dengan mudahnya di bohongi.” 

51
Kukeluarkan buku berwarna cokelat dari keranjang belanja dan kuserahkan pada bibi, “Aku
mohon pada bibi. Aku tak tahu lagi menanyakan pada siapa tentang ayah selain bibi. Aku
sangat merindukan ayah bi.”

Aku menahan isakan yang keluar dari mulutku sebisa mungkin. Sosok yang selama ini
kurindukan, selama ini kucari keberadaannya, dan kuharap-harapkan kepulangannya sudah
menjadi bualan belaka.

Aku yang hanya menundukkan kepala dapat melihat buku yang di pegang bibi jatuh ke lantai,
bibi pun ikut menangis. Memelukku dengan erat sembari berkali-kali mengucapkan kata
maaf.

Setelah aku dan bibi sama-sama mengambil waktu untuk menenangkan diri, Bibi Vey
memulai cerita di mana awal kehadiran ibu pada kediaman Heera.

Dari cerita bibi, banyak sekali hal yang baru aku tahu. Dimulai dari Ayah yang dahulunya
mempunyai kekuasaan seperempat Kekaisaran Tulx ini sebagai Baron Heera, Ibu yang
merupakan bangsawan yang jatuh.

Dan terutama, Bibi Vey yang ternyata mantan kepala pengurus rumah tangga kediaman ayah
dahulu dan Paman Ben yang menjabat sebagai kesatria pelindung ibu.

Informasi-informasi baru memenuhi pikiranku saat ini. Aku tak bisa berfikir dengan jernih.
Perasaan marah, kecewa, sedih, semuanya tercampur menjadi satu kesatuan.

Kini, gadis kecil yang dahulunya mendambakan dunia luar dibuat kecewa oleh kenyataannya.
Semua fantasi dan ekspetasi yang ia buat di dasari kepercayaan pada dongeng penghantar
tidurnya harus lenyap dihantam realita yang berbanding terbalik.

Sekarang dirinya harus apa? Meminta keadilan untuk sang ayah? Atau hanya berdiam diri
menyembunyikan fakta bahwa ayahnya di jebak?

Terdesak oleh kenyataan dan ketidakmampuannya unutk menghadapinya. Buta pada dunia
yang baru dan tenggelam pada dunia bawah sadar. Keadaan yang bahkan gadis itu tak pernah
membayangkannya sekalipun.

--

1505 Tahun 747 Kekaisaran Tulx

52
Aku berjalan dengan keyakinan dalam hati dan dorongan atas kemaahan menuju Istana
Kekaisaran. Hanya bermodalkan buku usang yang menjadi satu-satunya peninggalan ayah,
aku memantapkan hati untuk terus jalan. 

Gerbang yang sangat besar dan lebar sudah menjadi pintu pertama yang harus ku lewati,
“ayah, lindungi dan dukung Alisha dari tempat ayah berada.” Batinkku menguatkan diri.

Pengawal yang menggunakan baju zirah itu menghentikanku, “maaf nona, ada keperluan
apa Anda berada disini?”

“Saya ingin menemui Kaisar Baloa.”

Pengawal yang berada di samping kiriku mendekatiku, “ada keperluan apa anda menemui
kaisar? Dan siapa anda? Tidak sembarangan orang bisa menemui matahari kekaisaran ini.”

Aku menghela nafas dengan pelan mencoba memberanikan diri, “saya hanya meminta
keadilan untuk ayah saya yang gugur di medan perang dengan cara yang tidak terhormat.”

“Perang? Perang apa yang Anda maksud?” 

“Perang perebutan wilayah kekuasaan antara Kekaisaran Zyrn dan Kekaisaran Tulx 8 tahun
yang lalu.” 

Dapat aku lihat kedua pengawal itu saling memandang, “maaf jika pertanyaan saya tidak
sopan, tetapi anda berasal dari keluarga mana?”
Pertanyaan yang sedari tadi aku tunggu akhirnya keluar, dengan yakin aku menjawab
“Baron Heera.”

Kedua pengawal itu langsung menghunuskan pedangnya kearahku, dengan spontan aku
memundurkan beberapa langkah. “Berani-beraninya keturunan keluarga yang menghianati
kekaisaran masih berani menunjukkan mukanya di sini?!”

Menghianati kekaisaran apanya? Omong kosong yang sungguh memuakkan. Semua orang
disini tertipu. Ayahku tidak pernah sekalipun menghianati kekaisaran.

“Tolong biarkan aku bertemu kaisar hanya sebentar.”

“Dasar tidak tahu malu! Kaisar sudah berbaik hati hanya melepas gelar bangsawan dan
tidak menghukumnya mati masih saja tidak tahu berterimakasih!”

“Pergi dari sini sebelum saya bertindak kasar, Nona.”

53
“Tetapi ayah saya tidak menghianati kekaisaran ini, ayah saya hanya menjadi kambing hitam
yang dibuat oleh Count Bluel! Ayah saya tidak bersalah!”

“Nona, hati-hati atas perkataan anda. Anda bisa saja dipenjara atas hukuman kekaisaran
yang menyatakan pencemaran nama baik seorang bagsawan.”

“Tapi itu kenyataannya Tuan! Saya tidak membual. Tolong say-“

“Ack!”

Sebuah kereta kuda melaju dengan kecepatan penuh melewatiku. Sayangnya genangan air
yang berada di depanku tak dapat terhindari. Kini gaunku penuh dengan air kotor.

“Anda tidak pantas menemui kaisar, Nona. Lebih baik Anda berhati-hati dalam bertindak
sebelum berakhir seperti ayah Anda.”

Aku mengepalkan tanganku menahan amarah, dengan segera aku berlari dan bersembunyi
pada gang sempit terdekat, “Ayah.. maaf Alisha tidak bisa membela ayah. Alisha belum
sanggup untuk melangkah maju mengambil resiko yang lebih besar.” Aku menangis dalam
diam, kehadiranku di sana saja hanya dipandang sebelah mata.

“Kaisar juga sama manusianya seperti aku, tapi kenapa begitu susah sekali ditemui? Aku
hanya meminta keadilan yang pantas. Hanya itu, aku tak ingin meminta kembali jabatan ayah
dahulu.” 

“Ayah, apa yang harus Alisha lakukan?”

“Ayah pasti sudah bahagia bersama ibu ya? Curang Alisha tidak ikut bersama kalian
hahaha.”

Mungkin orang yang melihatku berfikir aku adalah orang yang kehilangan akalnya. Mungkin
saja benar? Atau mungkin saja tidak? 

Tetapi aku sudah benar-benar tidak tahu lagi harus seperti apa sekarang. Aku tidak ingin
pulang dengan keadaan seperti ini. 

“Ayah, Ibu tolong jaga Alisha sebentar ya. Alisha lelah ingin memejamkan mata sebentar
saja.”

Dan inilah dunia yang ditinggali gadis itu. Sebagian kecil dari luasnya dunia, yang didasari
seperti pada hukum rimba. Di mana yang kuat yang bertahan. Tetapi disini landasan
kekuasaan adalah segalanya.
54
Kemenangan pertempuran, perebutan, kekuasaan. Ketiga hal tersebut menggambarkan secara
keseluruhan karakteristik pihak kuat memangsa pihak lemah.

Anak perempuan itu belajar satu hal, dunia tak akan berjalan sesuai keinginannya. Dan tak
semua janji bisa ditepati.

Tidak akan ada yang baik-baik saja dengan perpisahan, semuanya hanya soal waktu. Hitam
atau putih, baik atau buruk, dan sedih maupun bahagia. Semua akan berlalu dimakan derasnya
waktu yang bahkan kita sendiri tak akan menyadarinya.

Jangan menaruh ekspektasi terlalu berlebihan pada sesuatu yang tidak memungkinkan. 

Perjalanan masih panjang dan masih banyak rahasia dunia lainnya yang menunggunya di
depan sana.

Ini hanya masalah waktu. Hanya waktu yang bisa mengungkapnya dan hanya waktu pula
yang bisa menguburnya rapat-rapat.

-SELESAI-

55
Hari Merdeka
Oleh: Arlendo Dewaprasada Tirta Utomo
Falah Ramadhani

Namaku Iqbal, saat itu umurku masih sekitar 10 tahun. Tepat di tanggal 17 Agustus
1945, saat itu juga bertepatan dengan bulan Ramadhan dan disaat itupun aku berulang tahun.
Sehingga aku, ayah, dan adikku keluar rumah. Kami keluar rumah pukul 09.00 pagi, namun
tidak seperti biasanya jalanan disekitar rumah kami sangat ramai.

Sebenarnya aku merasa sedikit heran, namun aku memilih untuk diam dan terus
berjalan mengikuti ayahku. Ayahku membawa aku dan adikku ke sebuah rumah di Jalan
Pegangsaan Timur nomor 56. Dari jauh terlihat di sekeliling rumah bercat putih dengan
sebuah tiang bendera dari bambu sudah ramai dipenuhi banyak orang.

Melihat banyak orang berkumpul tentu saja semakin menambah rasa penasaran dalam
diriku. Ada banyak pemuda yang berbaris rapi, serta banyak pula tamu undangan yang duduk
dengan rapi di deretan kursi yang sudah disiapkan. Sementara itu, pada bagian luar rumah
sudah berkumpul banyak orang dari berbagai kalangan, baik muda, tua maupun anak kecil
sepertiku.

Hampir semua orang yang berkumpul di sekitar rumah tersebut membawa berbagai
barang yang bisa dijadikan sebagai senjata seperti bambu runcing. Segala senjata yang mereka
bawa seakan menggambarkan tekad mereka untuk berani mati demi mempertahankan NKRI.

Saat aku, ayah, dan adikku berjalan mendekat ke area rumah itu, terdengar seruan
masyarakat yang berteriak-teriak “Sekarang, Bung, sekarang! Segera nyatakan sekarang”.
Masyarakat tampaknya memang sudah tidak sabar menunggu dan seruan itu juga
menunjukkan kekhawatiran mereka terhadap tentara Jepang yang bersiap siap menghalangi
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.

Akupun akhirnya mencoba untuk bertanya kepada Ayahku. "Yah ini sebenarnya ada
apa ya?", lalu ayahku pun menjawab "Sudahlah dengarkan saja". "Tapi yah aku takut".
Dengan wajah datar ayahku tidak merespon rasa penasaranku. Aku terdiam dan mengikuti
jalannya peristiwa tersebut.

Tak lama kami menunggu, akhirnya dari dalam rumah tersebut keluar dua orang
berkemeja putih. Salah satu diantara orang yang keluar itu membawa selembar kertas dan

56
dengan tegas,beliau membacakan isi dari kertas yang berisi pernyataan Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia.

Ayahku menjelaskan "Nak, yang disampaikan oleh Bapak IR Soekarno itu adalah
proklamasi. Beliau memproklamasikan negara kita Indonesia yang berarti kita bebas dari para
penjajah". "Jadi mereka tidak akan mengambil hasil panen kita lagi yah dan kita tidak akan
kelaparan lagi?". "Ya nak benar sekali".

Mendengar hal itu aku terharu. Aku tidak menyangka di usiaku yang baru 10 tahun
waktu itu, aku menyaksikan sebuah peristiwa besar dalam perjalanan Indonesia. Aku sangat
bangga dapat menjadi bagian dari kemerdekaan bangsaku yang tercinta ini.

Aku berharap semoga rakyat Indonesia bisa terus bersatu seperti saat masa-masa
perjuangan Indonesia melawan penjajah. Semoga satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa
Indonesia akan terus bertahan selamanya. Setelah Proklamasi dibacakan itu, aku, ayah, dan
adikku pulang dengan rasa bahagia dan bangga sebab Indonesia sudah merdeka.

57
Instagram
Oleh: Pieter Urbanus Anugro

Adalah sebuah aplikasi berbagi foto yang memungkinkan pengguna mengambil foto,
menerapkan filter digital, dan membagikannya ke berbagai layanan jejaring sosial, termasuk
milik Instagram sendiri.
Kata “insta” berasal dari kata “instan”, seperti kamera polaroid yang pada masanya
lebih dikenal dengan sebutan “foto instan”.Sedangkan untuk kata “gram” berasal dari kata
“telegram” yang cara kerjanya untuk mengirimkan informasi kepada orang lain dengan cepat.
Perusahaan Burbn, Inc. berdiri pada tahun 2010, perusahaan teknologi startup yang
hanya berfokus kepada pengembangan aplikasi untuk telepon genggam.Pada awalnya Burbn,
Inc. sendiri memiliki fokus yang terlalu banyak di dalam HTML5 peranti bergerak, namun
kedua CEO, Kevin Systrom dan Mike Krieger memutuskan untuk lebih fokus pada satu hal
saja.
Setelah satu minggu mereka mencoba untuk membuat sebuah ide yang bagus, pada
akhirnya mereka membuat sebuah versi pertama dari Burbn, namun di dalamnya masih ada
beberapa hal yang belum sempurna.Versi Burbn yang sudah final, aplikasi yang sudah dapat
digunakan iPhone yang isinya terlalu banyak dengan fitur-fitur.
Sulit bagi Kevin Systrom dan Mike Krieger untuk mengurangi fitur-fitur yang ada,
dan memulai lagi dari awal.Namun akhirnya mereka hanya memfokuskan pada bagian foto,
komentar, dan juga kemampuan untuk menyukai sebuah foto. Itulah yang akhirnya menjadi
Instagram.
Pada tanggal 9 April 2012, diumumkan bahwa Instagram akan diambil alih oleh
Facebook senilai hampir $1 miliar dalam bentuk tunai dan saham.
Sekarang banyak anak muda bahkan orang tua yang mempunyai akun instagram
dikarenakan semakin populer nya aplikasi ini.Dengan instagram kita bisa melihat aktivitas
teman-teman kita melalui foto dan video yang mereka bagikan, sungguh menarik.

58
Kemelut di Majapahit
Oleh: Yusti Ayu

Aku adalah salah satu pasukan Majapahit dibawah pemerintahan Raden Wijaya.
Raden wijaya adalah raja yang sangat menyayangi kami yang mengabdi padanya dalam
medan pertempuran, dimana ia membagikan pangkat pangkat kepada kami, dimana aku
mendapat pangkat rakryan rangga, pembantu panglima kerajaan, aku diperintahkan untuk
menjaga Adipati Ronggo Lawe.
Raden Wijaya adalah raja yang terhormat bagi kami Perwiranya dia adalah teladan
kami dan mendorong kami untuk membela kerajaan kami, Tetapi hal ini berubah ketika
guncangan pertama yang terjadi setelah sang Prabu mengawini Empat putri mendiang raja
kertanegara, kemudian menikahi putri dari tanah melayu menjadi istri keempat sang Prabu,
hal ini dilakukan agar menghindari dendam dan perebutan kekuasaan nantinya. Keempat putri
itu adalah kanjeng ratu Dyah Tribunan, kanjeng ratu Dyah Nara Indra Duhita, Rajapatni, dan
Dyah Gayatri. Keempat dari nama tersebut adalah anak dari mendiang Prabu Kertanegara,
Kedatangan pasukan yang beberapa tahun lalu oleh mendiang prabu kertanegara ke
negri melayu yaitu pasukan bernama Pamalayu yang dipimpin oleh seorang senopati perkasa
bernama Kebo Anabrang, nama itu diberikan oleh mendiang Prabu, mengingat tugasnya
untuk menyebrang ke negri melayu, pasukan ekspedisi yang berhasil ini membawa pulang
dua orang putri bersaudara.
Nama dari 2 saudara itu adalah Dara petak dan Dyah dara. Kecantikan Dara Petak
memikat hati kanjeng Prabu Kertajasa, maka diambillah Dyah Dara Petak menjadi istrinya
yang kelima. Segera ternyata bahwa Dara Petak menjadi saingan yang paling kuat dari Dyah
Gayatri, karena Dara Petak memang cantik jelita clan pandai membawa diri.
Sang Prabu sangat mencintai istri termuda ini yang setelah diperistri oleh Sang
Baginda, lalu diberi nama Sri Indraswari. Terjadilah persaingan di antara para istri ini, yang
tentu saja dilakukan secara diam-diam namun cukup seru, persaingan dalam memperebutkan
cinta kasih dan perhatian Sri Baginda yang tentu saja akan mengangkat derajat dan kekuasaan
masing-masing.
Sang Prabu sendiri kurang menyadari akan persaingan ini, pengaruh persaingan itu
terasa benar oleh para senopati clan mulailah terjadi perpecahan diam-diam di antara mereka
sebagai pihak yang bercondong kepada Dyah Gayatri keturunan mendiang Sang Prabu
Kertanegara, clan kepada Dara Petak keturunan Malayu. Tentu saja Ronggo Lawe, sebagai
seorang yang amat setia sejak zaman Prabu Kertanegara, berpihak kepada Dyah Gayatri.
Namun, karena segan kepada Sang Prabu Kertarajasa yang bijaksana, persaingan clan
kebencian yang dilakukan secara diam-diam itu tidak sampai menjalar menjadi permusuhan
terbuka. Kiranya tidak ada terjadi hal-hal yang lebih hebat sebagai akibat masuknya Dara
Petak ke dalam kehidupan Sang Prabu, sekiranya tidak terjadi hal yang membakar hati
Ronggo Lawe, yaitu pengangkatan patih hamengku bumi, yaitu Patih Kerajaan Majapahit.
Hal ini membuat geger dan memulai kurangnya kepercayaan rakyat terhadap Raden
Wijaya, dimana Ketika mendengar berita ini dia sedang makan, seperti biasa dilayani oleh
kedua orang istrinya yang setia, yaitu Dewi Mertorogo clan Tirtowati. Mendengar berita itu
dari seorang penyelidik yang datang menghadap pada waktu sang adipati sedang makan,
Ronggo Lawe marah bukan main. Nasi yang sudah dikepalnya itu dibanting ke atas lantai clan

59
karena dalam kemarahan tadi sang adipati menggunakan aji kedigdayaannya, maka nasi
sekepal itu amblas ke dalam lantai.
Aku seorang perwira yang diperintahkan oleh Raden Wijaya untuk melindungi
Ronggo Lawe pun ikut murka diakibatkan ketidakadilan Raden terhadap ronggo Lawe,
"Pengawal lekas suruh persiapkan si Mego Lamat di depan! Aku akan berangkat ke Majapahit
sekarang juga!" Mego Lamat adalah satu di antara kuda-kuda kesayangan Adipati Ronggo
Lawe, seekor kuda yang amat indah dan kuat, warna bulunya abu-abu muda. Semua cegahan
kedua istrinya sama sekali tidak didengarkan oleh adipati yang sedang marah itu.

60
Kenangan Warna Jingga
Oleh: Triyana Okatviani

Sinar matahari yang akan mengistirahatkan diri menemaniku saat ini, aku saat ini
duduk di tepi jalan pertigaan disini saat tenang rasanya. Sekarang Kamis, 2 Augustus 1945 di
Nagasaki setelah pulang sekolah aku duduk di tepi pertigaan di sana terdapat sungai kecil dan
taman bunga kecil serta kotak pos kecil aku sangat suka duduk disana sampai gelap
menyelimuti dan matahari digantikan sinar lampu. Di rumah ayah pergi setelah surat
berwarna merah datang dan ibu menyusul setelah kepergiannya karena sakit keras. Aku
sangat kesepian sebelum lelaki yang unik itu datang ke hidupku. Taiyo seorang pelajar SMA
yang tiba-tiba berdiri di depan ku dan mengajakku bicara malam itu, “Hei! kepang dua pulang
lah malam sudah datang” ucapnya di depan ku sembari memberi roti hangat. Aku membuang
muka namun, suara perut ku sangat jujur dan dia tertawa “Ambil ini dan pulang orang tua mu
sangat khawatir” aku mengambilnya dan makan dengan lahap “aku tidak punya kedua nya”
ucapku sambil cemberut. Dia duduk di sebelahku dan berkata “Aku juga, kita sama” ucapnya
sambil tersenyum, selesai makan dia memberi ku sebotol air dan bilang bahwa besok dia akan
kembali menemuiku, entah kenapa hati ku saat ini mulai terisi.

Jum’at, 3 Agustus 1945 aku kembali ke tempat biasanya pukul 16.27, aku kali ini agak
berharap bahwa lelaki semalam bukan ilusi dan ternyata dia benar-benar kembali sembari
membawa makanan ringan “Hai! Gadis kepang dua aku datang menepati janji ku” aku pun
membuang muka bukan karena kesal tapi aku agak malu. Dia duduk di sebelahku
memberikan sekaleng permen buah “Saat kamu sedih makanlah, aku yakin rasa sedih mu
akan berkurang karena rasa manis ini” pipi ku memerah Taiyo berhasil membuat ku salah
tingkah “Te-terima kasih” lalu Taiyo tertawa “Kamu ini memang unik ya, aku selalu melihat
mu disini dan aku pikir kamu hantu penjaga” aku memukul Taiyo sampai dia mengaduh
kesakita tetapii dia tetap tersenym “Siapa namamu?” aku menjawab “Himawari” senyum
Taiyo melebar dan mengambil buku tulisnya dan menulis “ ひ ま わ り (Himawari)” sembari
berkata “Saat sekolah aku akan mengingat mu saat membuka buku pelajaranku dan ひまわり
(Himawari) memiliki arti bunga Matahari, melihatmu aku setuju bahwa kamu secantik dan
setegar Bunga Matahari” wajahku makin memerah aku menutupi wajahku dan aku balik
bertanya “Si-siapa namamu?” dia tersenyum sangat lebar “Nama ku Taiyo di tulis seperti
menulis Matahari (太陽)” aku tersenyum dan menjawab “Nama yang bagus” Taiyo tertawa
bangga dan ahirnya kita mengobrol sampai matahari pulang ke peraduan.

61
Sabtu, 4 Agustus 1945 Aku kembali ketempat biasa dengan senyum lebar sembari
berlari kecil setelah sekolah ku selesai, tapi kali ini Taiyo lebih cepat dan membawa es krim
yang hampir meleleh “Himawari! Kemari aku bawa es potong” aku dengan semangat
mengambil dan memakannya “Terimakasih kamu memang paling mengerti aku” Taiyo
tersenyum “Aku baru menyadari dilihat dari seragam mu kamu pasti masih SMP” Aku
melihat seifuku ku dan tersenyum “Benar sekali” Taiyo mengangguk dan menepuk kepalaku,
“Semangat masa depanmu masih sangat panjang” aku menepuk punggung Taiyo, “Lihat umur
mu, kita tidak terpaut jauh bodoh” kita saling tertawa dan kita kali ini duduk dekat sungai
kecil sembari bercerita hal kecil dan di tengah percakapan muncul hal menarik dari Taiyo.
“Bagaimana kalau kita menandai tempat ini?” aku pun meletakan kepalaku di bahu nya
“Tentu, bagaimana besok kita menanam sesuatu disini?” Taiyo memegang tangan ku “Aku
mau menanam Bunga Matahari” aku tertawa dan mengangguk dan kita habiskan malam ini
sembari melihat bintang.

Minggu, 5 Agustus 1945 kali ini aku yang lebih cepat dan Taiyo menyusul 15 menit
setelah kedatanganku dengan membawa sekantung bibit biji Bunga Matahari. Dia berteriak
“Himawari! Aku datang” aku melambaikan tangan ku. Agenda hari ini kita menanam Bunga
Matahari aku membawa alat untuk menanam dan dengan semangat kita menanam banyak
sekali Bunga Matahari “Aku berharap bunga ini tumbuh sepertimu, dengan cantik dan kuat”
wajah ku memerah aku memalingkan wajahku dan Taiyo membasuh tangannya di sungai
kecil dekat sana lalu memegang wajahku “Cobalah percaya diri aku sangat suka melihat mu
tersenyum” aku salah tingkah namun aku menatap tegas matanya lalu Taiyo mendekatkan
wajahnya ke wajahku, aku makin salah tingkah dan menutup mataku, dia menyentil dahi ku
dan berkata “Ku pikir ini tertalu cepat” aku menutupi wajah ku “Aku tidak berharap apa-apa
bodoh!” kami hening sejenak saling membuang muka dan aku merasa mulai menaruh hati
padanya dia seperti matahari ku dan aku selalu ingin mengikutinya. Aku berharap dia
menaruh perasaan yang sama juga kepadaku, dan hari ini kami mengahiri hari dengan pulang
bersama.

Senint, 6 Agustus 1945 kali ini wajah Taiyo sangat pucat dia menunduk saat kita
bertemu dan aku menyuruhnya duduk di sebelahku “Kemana semangat mu yang biasanya?”
Taiyo membuka mulutnya “Maaf, sepertinya hari ini aku belum bisa menghabiskan waktuku
bersama mu” kali ini dia langsung meninggalkanku dan aku hanya membatu di tempat itu
hingga malam datang. Aku menyadari bahwa aku jatuh cinta pada Taiyo dan aku merasa
kehilangan sosok matahariku, aku mulai menangis karena rasanya sesak sekali di dada. Aku

62
baru menyadari bahwa kali ini aku benar-benar dibuat luluh lantak dengan senyumnya walau
dengan beberapa hari saja.

Selasa, 7 Agustus 1945 aku memantapkan hatiku untuk menyatakan perasaan walau
baru berteme beberapa kali kini aku jatuh cinta. Pukul 16.15 aku berlari menuju tempat biasa
lalu dari jarak 7 meter aku melihat Taiyo dan aku berteriak “TAIYO!! AKU
MENYUKAIMU” Taiyo berbalik dan berlari memelukku sambil menangis “Aku juga, aku
juga menyukaimu Himawari”, aku sangat senang karena perasaan cinta pertamaku terbalas.
Tetapi Taiyo melepas pelukannya dan memberikan selembar surat merah mataku terbelalak
surat itu mirip dengan surat yang diterima ayah “Besok aku harus pergi berperang untuk
negara ini” aku terjatuh, nafasku sesak aku tidak tahu lagi harus bagaimana dan aku tidak bisa
menatap wajahnya “K-kapan kamu akan berangkat?” Taiyo menjawab singkat “Besok” aku
menangis sejadi jadinya. “Kenapa kamu harus pergi? kenapa? Apa kau sengaja membuat ku
jatuh hati dan meninggalkan ku?” Taiyo menggelengkan kepalanya “Aku menyukaimu sudah
dari lama, aku selalu melihatmu duduk disana dengan tatapan kosong wajah cantik mu itu
yang menghiasi aku merasa terpanggil untuk menghiasi wajahmu dengann senyum. Semakin
aku bersama mu dan semakin aku melihat senyumanmu aku makin jatuh hati aku selalu ingin
bersamamu Himawari tolong mengertilah” Aku terpaku dengan kata-katanya “Bagaimana
kalau kita pergi bersama? Pergi jauh dari sini dan memulai hidup baru berdua? Kita bisa
memulai kisah baru dengan nama baru bukan? ”Taiyo menggelengkan kepala “Aku
mencintaimu dan juga filosofi nama kita” aku menangis sejadi-jadinya aku tak ingin
ditinggalkan lagi “Besok bisa temani aku ke stasiun?” Aku mengangguk dengan mantap
“Tentu” lalu Taiyo memelukku dengan erat “Aku akan kembali dan membalas perasaanmu”
aku memeluk Taiyo makin erat, dia memegang pipi ku dan mendekatkan wajahnya aku
menutup mata bibir nya yang lembut mengecup dahi ku dan wajahku makin merah dibuatnya
“Saat aku kembali, aku akan meminta lebih” Dia tersenyum lebar dan aku berusaha juga
tersenyum dia memegang tanganku dan mengajakku berlari menuju pantai terdekat dari desa
kami “Kita akan buat hari ini milik kita” aku berkata dengan senyum “IYA” lalu kita sampai
di pesisir terdekat. “Apa yang kamu suka dari tempat ini?” tanya Taiyo padaku “Ketenangan”
jawabku “Hanya itu?” aku tertawa “Karena kita bertemu di desa ini” Taiyo salah tingkah dan
kita menghabiskan waktu dengan bermain di pesisir hingga menghitung bintang di malam
hari. Dan saat lelah kami duduk bersebelahan aku meletakan kepala di pundak Taiyo
“Bulannya indah sekali” ucapnya, wajahku memerah aku paham artinya itu di tulis dengan 月
が綺麗ですね (tsuki ga kirei desu ne) yang bisa diartikan aku menyukaimu ini diambil dari
novel karya Soseki Natsume. Aku memalingkan wajah dan seperti biasa dia hanya tertawa

63
“Ayo pulang, kali ini aku akan mengantarmu” dia menggenggam tangan ku lalu kami berjalan
dengan perlahan sembari menikmati saat terakhir kami.

Rabu, 8 Agustus 1945 pukul 09.15 aku berlari menuju stasiun Kitakyushu, itu
merupakan stasiun terdekat dari lokasi kami. Aku langsung menemukan Taiyo karena badan
tingginya sangat mencolok. Dia melihatku dan melambaikan tangannya ini 30 menit terakhir
dia mengelus lembut kepalaku “Jangan menangisi ku terus, aku berjanji akan pulang
secepatnya dengan selamat” aku tak kuasa menahan air mataku dan aku mulai menangis
“Kumohon, jangan pergi” dia menggeleng dan berkata “Jaga dirimu baik-baik” lalu dia
berbalik dan meninggalkan ku dengan menaiki kereta yang di penuhi orang-orang bernasib
sama. Aku pulang dengan lemas dan sesampainya dirumah aku menghempaskan badanku di
kasur dan menangis sejadi-jadinya.

Kamis, 9 Agustus 1945 aku tidak tahu bahwa ini adalah saat terakhirku pukul 08.15
sirine berbunyi banyak pesawat US yang berlalu lalang dan aku memilih diam di rumah
setelah mendengar peringatan-peringatan dan kabar bahwa bom akan di jatuhkan karena
perang dunia II, kemudian itu terjadi secara tiba-tiba. Cahaya yang menyala-nyala melintas di
mataku. Warnanya kuning, khaki dan oranye, semuanya bercampur menjadi satu dan terjadi
dentuman keras badanku terhempas dan aku mulai kehilangan kesadaran ku. Sebelum aku
kehilangan seluruh kesadaranku aku merasakan tubuhku sangat berat karena tertimpa barang
bahkan aku mendengar suara orang berteriak minta tolong hingga anak kecil yang menangis
mencari ibunya setelah aku mendengar semua penderitaan itu kesadaranku hilang.

Saat aku membuka mataku, aku melihat separuh badan ku tertimpa batang kayu
rasanya sangat berat dan aku mencoba mengeluarkan suaraku untuk meminta tolong selama
kurang lebih 20 menit lalu seorang wanita datang menolongku dia berusaha mengangkat
balok dan memapahku untuk pergi ke pengungsian. Sesampainya disana aku melihat banyak
orang terluka parah bahkan banyak mayat di mana-mana mereka di kumpulkan dalam satu
lubang dan di bakar, aku melihat pemandangan itu terkejut. Untungnya luka yang ku dapat
hanya luka lebam yang tidak terlalu parah, disana aku terbaring lemas dan wanita tadi
memberikan ku segelas air aku berusaha minum perlahan lalu aku beristirahat, sekujur
badanku lemas aku tidak menyangka bahwa hari ini akan terjadi padahal kemarin aku baru
saja mengantarkan kepergian Taiyo dan aku benar-benar merasa kehilangan dan sekarang?
Aku harus kehilangan apa lagi?, aku menahan air mataku namun, dia tetap jatuh dan wanita di
sebelahku mengusap air mataku tampaknya dia mengerti apa yang aku rasakan setelah
berusaha membendung emosi aku di haruskan pulang karena banyak pasien yang lebih parah
lukanya membutuhkan tempat tidur. Dengan badanku yang sudah agak membaik aku berdiri
64
dan wanita tadi membantuku lalu menawarkan untuk beristirahat di tempatnya “Bagaimana
kalau kamu beristirahat di tempatku?” lalu wanita itu membawa ku kerumahnya di Kokura.

Jum’at 10 Agustus 1945, Kokura pukul 04.00 kita sampai di Kokura semalaman aku
hanya diam menggengam tangan wanita itu dan tidak melontarkan sepatah katapun dan
wanita itu sepertinya paham jadi dia memilih untuk diam. Kami sampai di rumah pukul 05.07
dan dia mempersilahkan aku duduk lalu dia ke dapur setelah 20 menit dia kembali membawa
teh hangat dan roti “Bagaimana perasaanmu sekarang?” aku hanya terdiam dia mengelus
kepalaku “Tidak apa-apa, disini aku akan merawatmu dan kemarin aku menanyakan soal
orang tua mu ternyata mereka sudah tidak ada jadi aku membawa mu kemari” aku
mengangkat kepalaku “Bagaimana dengan keluargamu?” wanita itu menghela nafas “Aku
mendengar kabar soal bom di Nagasaki dan aku langsung mencari suamiku di sana yang
sedang belajar di salah satu Kuil Nagasaki dan sayangnya dia tidak selamat” aku menunduk
“Maaf karena menanyakan hal ini” lalu dia memaksa tersenyum “Tidak apa-apa, ngomong-
ngomong namaku Keiko siapa namamu?” aku tersenyum “Namaku Himawari” lalu aku
menyeruput teh yang Keiko buat . Aku teringat soal Taiyo bagaimana keadaannya saat ini?
Setelah cukup beristirahat aku mencoba menyesuaikan dengan rutinitas Keiko seperti
membantunya membersihkan rumah dan lain-lain

Minggu, 2 September 1945 aku mendengar berita bahwa jepang sudah menyerah dan
mulai memulangkan beberapa tentara aku yang sangat senang mendengar berita itu mencoba
meminta ijin Keiko untuk pergi ke Nagasaki. “Keiko-san, aku mendengar berita menyerahnya
jepang dan aku ingin pergi ke Nagasaki untuk menunggu seseorang.” Keiko terkejut
“Sepertinya keadaan disana belum membaik kusarankan jangan” ucapnya tanpa melihatku
“Maaf, aku sudah berjanji dengan seseorang aku akan bertanggung jawab dengan diriku
sendiri dan aku sangat berterimakasih karena telah membantuku” Keiko menghela nafas
“Baiklah, tapi bila kamu butuh tempat pulang kembalilah kemari” Aku memeluk Keiko dan
dia membalas dengan mengusap kepala ku lembut. Setelah itu dia membantuku menyiapkan
beberapa baju untuk di Nagasaki dan menyisipkan beberapa yen untukku lalu pukul 16.00
Keiko mengantarkanku ke stasiun dan aku melakukan perjalanan ke Nagasaki dengan penuh
harap bertemu Taiyo.

Senin, 3 September 1945 Nagasaki pukul 07.00 aku sampai di kampung halamanku
dan semuanya masih dalam perbaikan lalu aku mendengar kabar bahwa para tentara akan
datang dari pelabuhan pukul 11.00, aku berharap segera bertemu dengannya aku segera
membeli camilan yang sering kita makan bersama dan aku kembali ke tempat biasa dimana
kami sering bertemu benar benar hancur dan sangat berbeda dengan sebelumnya aku duduk di
65
tempat yang agak bersih dan membayangkan bagaimana wajahnya. Pukul 10.37 aku berjalan
cepat menuju pelabuhan dengan perasaan yang campur aduk tapi diluar perkiraan disana
sangat ramai dan aku dengan seluruh tenaga menerobos orang-orang yang tujuannya sama
yaitu menjemput orang yang disayangi, pukul 11.07 kapal yang membawa tentara datang
setelah itu puluhan tentara turun dengan luka yang lumayan parah aku terkejut tapi aku tetap
berusaha mencari Taiyo dan hasilnya nihil. Aku tidak melihatnya sama sekali lalu aku
mencoba sekali lagi dan hasilnya tetap nihil aku berusaha membayangkan hal terbaik
mungkin besok atau lusa dia akan datang bersama tentara lain, aku dengan lemas menyeret tas
ku dan kembali ke tempat biasanya aku menghabiskan waktu berharap Taiyo baik-baik saja

Selasa, 4 September 1945 hasilnya sama saja aku kembali kepelabuhan dan melihat
puluhan tentara tapi tidak menemukan Taiyo aku kembali dengan rasa kecewa. Rabu, 5
September 1945 aku kembali tapi petugas bilang ini adalah kelompok tentara terakhir yang
berhasil pulang, setelah mendengar itu aku berusaha keras mencari Taiyo tapi tetap nihil aku
sudah tidak bisa menahan semua luapan emosi ini dan aku berlari ke tempat ku menghabiskan
waktu bersamanya sambil menangis. Sesampainya disana aku duduk di bawah pohon dan
menangis “Kau benar-benar jahat, membuat ku jatuh hati dalam beberapa hari dan
meninggalkan ku selamanya” ucapku sambil menangis karena tidak bisa lagi menahan semua
ini dan saat aku menangis, muncul laki-laki yang terlihat usianya tidak jauh dari Taiyo “Maaf,
apakah kamu Himawari?” aku mengangguk sambil menghapus ait mata. “Perkenalkan aku
Arata teman Taiyo aku baru kembali kemarin dan dia menitipkan surat padaku, sebelumnya
aku pernah melihatmu bersama Taiyo jadi aku langsung mengenalimu” ucapnya sambil
tersenyum. Aku mengambilnya dengan gemetar lalu Arata pamit padaku setelah memberikan
surat itu, air mataku mulai menetes lagi aku berusaha menguatkan diri untuk membuka dan
membacanya.

Indonesia, 27 Agustus 1945

Untuk Himawari

Aku berharap saat surat ini sampai kamu dalam keadaan sehat disana, aku disini
benar-benar merindukanmu. Kamu sedang apa? Apakah kamu makan dengan benar dan
tidur teratur? Aku selalu inging menanyakan ini kepadamu, perlu kamu ketahui apabila surat
ini sampai padamu berarti aku gagal menepati janjiku jadi aku minta maaf mungkin maaf
bukan kata yang tepat tapi aku sudah berusaha disini banyak teman teman ku yang terbunuh
66
dalam perang ini. Aku benci peperangan situasi ini membuat kita kehilangan banyak hal
bahkan orang tercinta sejujurnya aku tidak bisa menyiksa orang-orang yang tidak bersalah
atau bahkan menembak orang yang sebenarnya tidak tau apa-apa. Sekali lagi aku minta maaf
datang secara tiba-tiba dan memperlihatkan rasa suka ku sejujurnya aku sudah memendam
ini sejak 2 tahun lalu, kamu ingat pernah menolong seorang anak yang dikerubungi dan
disiksa teman-temannya? Ya, itu aku dan aku sangat ingat kamu membelaku dengan semua
keberanian mu dan setelah membuat mereka takut kamu pergi bahkan aku belum
menanyakan namamu sebelum kau pergi tapi semenjak itu aku jadi sering melihatmu dan aku
benar-benar terpesona dengan senyummu yang selalu lebar. Aku memberanikan diri
mendekatimu beberapa hari sebelum aku pergi dan kamu menanggapinya dengan baik juga
itu membuatku makin tidak bisa meninggalkanmu, tapi maaf aku harus pergi lebih dulu dan
terima kasih untuk cinta pertama yang kau berikan itu akan jadi pertama dan terakhir
untukku di kehidupan selanjutnya aku akan mencarimu dan memelukmu dengan erat setelah
itu aku tidak akan meninggalkan mu lagi sekali lagi aku minta maaf telah mengingkari janji
tolong jaga dirimu baik-baik, sekian surat kecil ini semoga kamu menemukan cinta yang lebih
baik dari sebelumnya.

Salam Hangat Taiyo,

Setelah membacanya air mataku makin deras, dadaku sangat sakit aku benar-benar
merasa kehilangan dan ahirnya aku memilih menetap disitu dan terus menangis dan di tengah
tangisku aku melihat bunga matahari yang masih sangat pendek aku jadi makin mengingat
aku memaksasenyumku dan mengambil air dengan tanganku lalu menyiram bunga itu.
”Hanya ini yang bisa kulakukan sekarang yaitu menjaga kenangan kita, jadi kamu tenang
disana aku akan menjaga semua kenangan kita disini” lalu aku menghapus air mata dan
melihat langit,”aku akan mencoba terus hidup dengan baik setelah ini”.

TAMAT

67
Keras Hati
Oleh: Darrell Averil

Sirine peringatan bahaya dibunyikan, seluruh pimpinan sekutu terbangun dari


gelapnya malam. Lorong-lorong kapal diramaikan dengan deru langkah setiap kru kapal.

"Apa yang terjadi, apakah kita diserang?" Tanya Kapten John White.

"Tidak, lebih parah dari itu. Jepang sudah berhasil membuat kapal terkuat mereka,
Yamato. Kapal itu jauh lebih superior dari semua kapal yang kita miliki, dan mereka berhasil
membuatnya tanpa kota ketahui." Ujar Jendral Meinhof dengan menghela nafas.

"Tidak mungkin! Kita adalah Sekutu, aliansi yang paling kuat di dunia. Tidak ada
yang bisa mengalahkan kita dari segi apapun!" Bentak Kapten Clare Winter kepada seluruh
anggota rapat di ruang kendali rapat.

Ruangan itu begitu gaduh seketika, seluruh pimpinan berdebat mengenai keberadaan
mereka jika Yamato dikerahkan. Disudut ruangan itu, Jendral Meinhof dan Kapten John
White berbisik-bisik dengan penuh kekecewaan.

“Huh memang ya Clare adalah manusia yang tidak tau diri. Dia sangatlah sombong
dan tidak mau menerima kenyataan ini walaupun dia hanya bersikap optimis.” Bisik Kapten
John kepada Jendral Meinhof.

“Yasudah mau bagaimana lagi, sejak aku mendidiknya di bangku kuliah juga dia keras
kepala seperti itu.” Jawab Jendral Meinhof dengan senyuman kecil pada Kapten John.
Kegaduhan diruang kendali pun tetap berlanjut hingga matahari menunjukan segaris
cahayanya.

Satu Minggu berlalu tanpa adanya keputusan resmi dari para petinggi Armada Korhal
milik sekutu. Tidak ada senang ataupun sedih di setiap kapal, saking ketakutanya mereka.
"Siang, saya beri tahukan kepada setiap kru Armada Korhal untuk bisa memulai latihan
intensif kalian setelah makan siang ini. Diharapkan kalian bisa bersegera dan fokus ketika
latihan. Kita akan latihan di pangkalan Athena.” Ucap Jendral Meinhof di radio kepada setiap
kapal milik Armada Korhal.

Jam makan siangpun berlalu dan Armada Korhal siap berlayar ke Pangkalan Athena.
Jam demi jam mereka lalui dengan perasaan yang campur aduk. “Bingung betul aku ini, mau
senang atau takut. Lihat! Betapa indahnya pantulan cahaya matahari yang melukis langit

68
menjadi oranye. Huh sayang aku tidak bisa menikmatinya dengan penuh karena si Yamato
brengsek!” Gerutu salah satu kru kepada kru yang lain di balkon kapal.

Tidak mereka duga bahwa Pangkalan Athena sudah berhasil dihancurkan oleh
pasukan Jepang menggunakan Yamato. Kumpulan asap dan abu hitam terbang ke langit
disertai dentuman yang menggelegar. Pangkalan Athena sudah berhasil dikuasai Jepang dan
itu adalah kegagalan besar untuk Sekutu dikarenakan mereka tidak akan mendapat suplai
makanan maupun amunisi.

“Hahahahaha, dasar Sekutu lemah! Hancur sudah harapan kalian, tidak ada lagi hal
yang kalian banggakan lagi. Selamat menikmati kekalahnmu Elang Hitam! Aku mau berkuasa
atas Asia, besok kami akan menyerang Filipina. Sampai bertemu disana hahahaha” Teriak
Kosaku Aruga sang pemimpin armada Jepang untuk mengintimidasi Sekutu.

Pada malam harinya semua petinggi dan kru kapal sedang mengikuti rapat untuk
mempersiapkan perang besar. Kondisi kabin kapal begitu ramai dengan perdebatan
bagaimana mereka dapat mengalahkan Yamato. Tidak seorang pun berhasil memberikan ide
untuk mengalahkan Yamato. Sampai seseorang bernama Bale Jordan sebagai pemimpin
pleton angkatan udara armada Korhal menyuarakan pikiranya.

“Kita tahu besok adalah hari dimana Yamato akan menyerang Filipina, dan kita juga
tahu kalau tidak ada satu pun persenjataan kita yang dapat menembus baja raksasa itu. Tapi
kita bisa memanfaatkan kondisi untuk mengalahkan Yamato. Artileri Yamato akan begitu
panas, karena kita tahu bahwa Filipina akan mengerahkan semua persenjataan mereka. Aku
dan pletonku akan terbang rendah menuju lambung kapal Yamato dan menembakinya selagi
masih panas.” Ucap tegas dari Bale.

“Tidak! Saya tidak mau ada yang mati besok, saya tau ini perang tapi apakah perlu
untuk kehilangan orang yang begitu berharga. Tidak, saya tidak menerima usulanmu. Kita
akan berperang dengan aman menggunakan kapal selam kita yang jauh lebih berpotensi dari
pada pesawat pesawat kita!” Bentak Jendral Meinhof.

“Loh pak ini perang! Bapak mau apa dengan perang? Justru lewat pengorbanan lah
kemenangan itu diperoleh.” Tentang Bale kepada Jendral Meinhof.

“Dasar keras hati! Saya tidak mau dengar dari kamu lagi. Keluar dari sini dan besok
tidak usah ikut perang!” Teriak Jendral Meinhof sambil melempar gelas ke arah Bale.

“Besok kita akan berperang dengan aman. Saya tidak mau ada satu orang pun yang
meninggal dengan konyol. Kita akan membuat concave yang padat sehingga Yamato tidak
69
memiliki ruang untuk bermanuver. Ketika Yamato sudah terkepung kita akan gunakan kapal
selam untuk menembak lambung bawah Yamato. Untuk mengalihkan perhatian Yamato saya
akan meminta tolong pangkalan pertahanan Filipina untuk tetap menembaki Yamato sehingga
kalian bisa tetap tidak terdeteksi.” Ucap Jendral Meinhof sambil berusaha sabar.

Bale akhirnya berjalan meninggalkan ruang rapat dengan muka yang begitu muram
dengan menggerutu, “Orang tua yang tidak bisa berlogika. Katanya jendral, jendral kok gitu,
aneh.”

Akhirnya esok pun tiba, semua orang bergegas menuju pos mereka masing-masing.
Semua lampu kapal Armada Korhal dimatikan untuk menjaga kamuflase mereka di pagi hari
yang masih gelap. Kapal utama Sekutu, Son of Zeus memulai langkah mereka untuk membuat
kepungan terhadap Yamato. Tiba-tiba pada jam 3.46 mulai terdengar rauman mesin pesawat
pada bagian atas kapal Son of Zeus.

“Apa-apaan ini? Mengapa ada pesawat-pesawat ini akan terbang?” Tanya Jendral
Meinhof kepada pusat kendali kapal.

“Kami juga tidak tahu pak, dari yang kami lihat mereka adalah pesawat dari pleton
Kapten Bale.” Jawab pusat kendali kapal.

“Apa? Berikan saya radionya sekarang!” Ucap Jendral Meinhoff dengan panuh
amarah.

“Bale, apa yang kamu lakukan? Kembali ikuti perintah pusat sekarang!” Bentak
Jendral Meinhof lewat radio transmisi.

Bale pada akhirnya tetap nekat untuk meninggalkan kapal bersama pletonya. Pada saat
dia mulai mengudara tidak terlalu tinggi, ia melihat armada Jepang keluar dari pekatnya kabut
perairan Filipina. Dengan begitu pangkalan pertahanan Filipina memulai tembakan dengan
menembakan meriam anti-baja milik mereka. Disaat yang sama Bale melihat bahwa ada 3
kapal milik jepang bernama Musashi yang siap memburu Son of Zeus dari samping kanan dan
kiri.

“Bale kepada Son of Zeus, lihat arah jam 3 dan 9 sekarang!” Ucap Bale dengan penuh
kepanikan melalui radio transmisi.

Pusat kendali pun langsung mengarahkan teropongnya ke arah jam 9. Seketika itu
Musashi menembakkan meriamnya tepat di pusat kendali.

“BOOMMM!” Pusat kendali hancur hanya dengan sekali tembakkan dari Musashi.
70
“Semuanya, tembak sesuka hati sekarang!” Teriak Jendral Meinhof dengan nafas yang
tertatih.

Semua persenjataan Armada Korhal mulai bergemuruh di langit lautan Filipina.


Yamato juga memulai agresinya ke pangkalan Filipina.

“Wasakin ang halimaw na iyon!” Teriak tentara Filipina dalam bahasa Filipina yang
artinya “Hancurkan makhluk itu”.

Peperangan berlangsung begitu megah. Semua persenjataan dari setiap kubu


ditembakan disaat yang bersamaan. Namun semua itu belum cukup untuk menumbangkan
Yamato, ditambah lagi dengan Musashi yang begitu mengganggu konsentrasi Armada
Korhal.

“Apa-apaan ini? Persenjataan kita tidak ada yang berhasil untuk menembus baja
Yamato!” Teriak Kapten John White dengan keras kepada Jendral Meinhof.

“Yang aku usahakan sekarang sudah gagal, aku ingin tidak ada yang meninggal pada
perang ini. Tapi malah kru yang seharusnya bekerja di dalam ruanganlah yang harus
meninggal duluan.” Ucap Jendral Meinhof dengan penuh putus asa.

Gesekan baja terdengar di samping kiri kapal Son of Zeus, dan ternyata itu adalah
kapal milik Kapten Clare yang patah karena rudal dari armada Jepang yang kena tepat pada
lambung kapal Kapten Clare.

“Blue Angel tidak dapat bertahan lebih lagi, lambung kapal sudah pecah dan kami
tenggelam!” Lapor Kapten Clare kepada Armada Korhal dengan suara sesak nafas.

Kesunyian terjadi di radio armada Korhal, kesunyian yang ditutupi oleh gemuruh
tembakan dan lengkingan teriakan para kru yang sekarat. Satu demi satu setiap kapal Armada
Korhal mulai tenggelam karena belum bisa menahan keagungan armada Jepang. Disaat yang
sama juga pangkalan laut Filipina juga perlahan runtuh karena dihujani artileri dari Yamato.

Dari pekatnya asap yang hitam dan cahaya yang ditutupin dengan awan abu, munculah
pleton Kapten Bale Jordan yang mulai terbang rendah. Semua perhatian armada Jepang
langsung tertuju kepada pesawat-pesawat itu.

“Forubakku! Forubakku!” dalam bahasa Jepang yang artinya “Mundur! Mundur!”


Ucap pimpinan Jepang pada kapal Yamato.

71
Dengan begitu setiap kapal armada Jepang merapat ke arah kapal Yamato, termasuk
ketiga kapal Musashi. Mereka membentuk formasi yang dibuat agar tidak ada satu pesawat
pun dapat melintas diatas armada Jepang.

“Jendral, tembakan semua amunisi kita kepada Jepang. Buat mereka sibuk dengan
kalian, dan aku dengan pletonku akan terbang rendah untuk menghancurkan Yamato untuk
selamannya!” Ucap Bale kepada Jendral Meinhof dengan penuh tekad.

“Hmmm, baiklah Bale jika memang itu yang harus dilakukan.” Ucap Jendral Meinhof
dengan penuh sedih.

Bale dan pletonya pun berusaha untuk membuat diri mereka tidak meninggal dalam
proses menghancurkan Yamato. Mereka terbang begitu rendah hanya 5 meter diatas
permukaan laut sambil menembaki lambung Yamato. Teriakan machine gun pesawat-pesawat
itu semakin membuat armada Jepang bingung, karena mereka diserang 3 hal yang berbeda.
Sekutu yang menembaki mereka dari segala arah, luncuran rudal dari pangkalan Filipina, dan
ditambah distraksi dari pleton kaptem Bale.

Mulai kelihatan asap di setiap artileri Yamato yang membuat muka Bale tersenyum.
Bale pun menyuruh setiap anggota pletonnya untuk tetap menembaki Yamato. Karat pun
sudah mulai membekas pada bagian-bagian Yamato.

“Jendral, aku akan tebang serendah mungkin untuk fokus menembaki lambung
Yamato. Aku tidak tau apakah ini waktu terakhir aku akan melihat kalian tetapi aku minta
tolong untuk buat mereka sibuk. Agar aku bisa terbang dengan mudah.” Ucap Bale dengan
berani kepada Jendral Meinhof melalui radio.

Bale terbang semakin rendah melewati kapal-kapal armada Jepang. Membuat semua
senjata Yamato terpaku kepada pesawa Bale. Namun tidak ada satupun peluru yang berhasil
mengenai badan pesawatnya. Hingga sayap kiri pesawat Bale tertembak.

“Argh! Jendral, aku tidak bisa terbang lebih lama lagi. Aku hanya bisa melakukan satu
manuver keatas dan kembali lagi kebawah tanpa menyalakan mesin. Karena jika aku
menyalakan mesin itu akan membuat pesawatku meledak sebelum mengenai Yamato itu.”
Ucap Bale dengan terengah-engah.

“Kamu mau bunuh diri kau bilang?” Ucap Jendral Meinhof dengan kaget.

72
“Ya mau bagaimana lagi? Lihatlah, meriam utama Yamato sudah meleleh berusaha
mengejarku. Sudah tidak apa-apa, sampaikan banyak kasih kepada orang-orang yang aku
cintai.” Balas Bale dengan haru.

“Hmmmm. Sebetulnya aku tidak rela melepasmu, tapi mau bagaimana lagi. Kamu
memang keras hati. Okay, let it be done.” Jawab Jendral Meinhof sambil menutup mata.

“Tugas diterima, God bless America.” Sahut bale dengan meneteskan air mata.

Bale akhirnya melakukan manuver keatas untuk terakhir kalinya. Setiap meriam
Yamato ditembakkan mengarah pada pesawat milik Bale. Bale pun berhasil melewati semua
artileri yang tembakkan padanya.

“BOOMM!” Ledakan yang begitu dasyat berhasil mematahkan Yamato menjadi dua
bagian, karena ledakan pesawat milik Bale. Ditambahkan dengan meriam Yamato yang begitu
panas yang memicu detonasi yang begitu besar. Saking besarnya ledakan, kapal disekitar
Yamato termasuk tiga Musashi ikut tenggelam. Seluruh Sekutu pun bersorak-sorai, kabin
semua kapal milik sekutu pada saat itu dipenuhi dengan teriakan kemenangan.

“Sore semua, kemenengan hari ini tidak lepas dari usaha kalian semua yang begitu
hebat dan begitu kuat. Tetapi juga semua ini tidak lepas dari pengorbanan satu orang yang
begitu keras hatinya. Bale Jordan, seorang kapten yang begitu berani dan betekad tinggi. Dia
rela mengorbankan dirinya demi kita semua. Sekarang aku mengerti apa yang dimaksud
dengan perang. Kita harus mengucapkan terimakasih kepadanya atas pengorbananya. Untuk
itu, aku namai misi ini dengan nama Ten-Go.” Ucap Jendral Meinhof dengan tersedu-sedu
bahagia di radio transmisi Armada Korhal.

2 minggu setelah misi Ten-Go itu terjadi, setiap kru Armada Korhal diberikan
penghargaan untuk perjuangan mereka. Ada yang diberikan gelar baru bahkan naik pangkat.
Dihari yang sama juga diadakan upacara pemakaman khusus kepada Bale untuk
pengorbanannya. Ia pun juga mendapat gelar yang berbeda yang lain, yaitu Medal of Honor
untuk menghargai pengorbanannya untuk kelompoknya dan untuk negaranya. 1selesai

73
Pantai Misteri
Oleh: Febrian Oky
Eko Riwayan

Pada tahun 2018, saya dan teman teman pernah berkunjung ke sebuah pantai, pantai
tersebut sangat indah. Langit sedang berwarna biru cerah dihiasi dengan kumpulan awan
kumolonimbus. Hal ini membuat suasana di pantai semakin berkesan, apalagi ombak yang
dating silih berganti semakin membuat aku antusias untuk bermain air.aku tidak sendirian,
tetapi bersama dua dua orang temanku.temanku yang bernama Ferdy sangat suka bermain
air,sementara temanku yang bernama Diana tidak suka bila bajunya basah. Apalagi kami juga
tidak membawa baju ganti.
Namun pada aakhirnya kami tidak peduli karena matahari perlahan semakin meninggi,
sehingga baju kami akan lebih cepat kering. Setelah bosan bermain air di pantai, kami kami
segera menuju ke area kedai pantai untuk membeli makanan dan minuman. Setelah itu kami
ingin mengeksplor ke tempat lain, mengingat pantai ini sangat luas.
Jadi sangat di sayangkan jika kami hanya bermain air tanpa tahu lokasi lain yang
menarik rupanya, ada spot bebatuan karang di tepi pantai. Tidak banyak orang yang tahu
mengenai spot ini. Oleh karena itu, tidak heran jika disini hanya ada kami bertiga Diana
langsung mengeluarkan ponselnya untuk berswafoto. Tidak lupa, kami juga foto bertiga
dengan berbagai pose.
Awalnya kami tidak merasa ada yang aneh dari pantai tersebut, namun saat akan
bergegas pulang, kami menemukan ada semacam sesaji di dekat papan pengumuman, dari situ
bulu kudukku mulai merinding dan aku merasa tidak tenang. Akhirnya pada pukul 16:00 kami
memutuskan untuk pulang. Saat ada di pintu keluar, terlihat penjaga yang sedang berbicara.
Anehnya di pos tersebut tidak ada siapa siapa kecuali penjaga pos tersebut. Ferdy yang juga
menyadari keanehan tersebut hanya duduk diam di kursi belakang
Saat melewatinya, saya dan penjaga pos tersebut tidak sengaja saling menatap, namun
tatapanya sangat menyeramkan dan seperti orang yang marah. Saya langsung memalingkan
muka dan bersikap seolah tidak melihatnya benar benar peristiwa yang aneh. Saat melewati
jalan terjal di hutan jati, tiba tiba langit menjadi mendung yang menandakan akan hujan. Aku
meminta agar Ferdy bisa menyetir lebih cepat agar kami tidak bertemu dengan hujan.
Akhirnya, kami sampai di rumahku dengan selamat meskipun tadi sempat mengalami macet
akibat hujan lebat. setelah ganti baju, aku, ferdy, dan Diana melihat foto foto kami di pantai
tersebut. Betapa terkejutnya kami ketika melihat sosok berambut panjang memakai kebaya
tidak sengaja ke foto padahal lokasi tersebut sangat sepi da nada hanya ada kami bertiga saat
itu
Melihat foto tersebut, Kami sangat ketakutan sekaligus penasaran aku dan teman
temanku tidak akan kembali lagi ke pantai tersebut.

74
Perjuangan R.A. Kartini
Oleh: Devi Ananda Rahmawati
Nadia Gracia Pradantyaningrum

Di sebuah rumah yang sederhana terdapat 2 wanita yang sedang berbincang ria
mengenai hari libur akhir semester mereka. Mereka adalah Aqilla Embun Elvara dan Aletta
Revina Winata, mereka sudah melaksanakan ujian akhir semester. Di sini mereka ingin
merencanakan ingin pergi ke panti asuhan untuk melaksanakan bimble kecil untuk mereka.

"Bagaimana qill apa kamu setuju jika kita melaksanakan bimbel kecil di panti asuhan
aisyiah?" Ucap Alleta

"Menurutku tidak masalah di sana kita bisa bercerita dan belajar kecil-kecilan ya meskipun
tidak seberapa." Balas Aqilla

"Baiklah kita besok akan ke sana dan meminta izin ke kepada ibu dan bapak terlebih dahulu."
Ucap Aletta

Keesokan harinya Aletta dan Aqilla berkumpul di rumah Aqilla karena tetangga Aqilla ada
yang ingin ikut maka lebih baik berkumpul di rumah Aqilla, dan pantinya juga dekat dengan
rumah Aqilla.

"Sudah siap semua??." tanya Aqilla

"Sudah, kita kesana cuma bertiga kan?." Jawab Alleta

"Iya, yasudah Nadin kamu bareng sama aku ya, kita kesana naik motor aja biar tidak capek."
Ucap Aqilla

"Yaudah, kamu duluan aja aku ngikutin kamu dari belakang." Jawab Aletta

Setelah itu mereka menaiki motor masing-masing dengan Nadin yang di boceng oleh Aqilla.
Setelah menempuh perjalanan selama 10 menit akhirnya mereka sampai di panti asuhan
aisyah.

"Akhirnya sampai, turun yuk kita nemuin ibu Siti dulu, beliau adalah ibu panti di panti asuhan
aisyah." Jelas Aqilla

Nadin dan Aletta hanya mengangguk, setelah itu mereka berjalan memasuki panti, dan
banyak anak-anak yang menyambut mereka, ya di panti aisyah hanya anak-anak dari TK-
SMP, jadi mereka masih begitu terlihat menggemaskan di mata mereka bertiga.

Setelah sampai rumah ibu panti mereka di beri sambutan hangat oleh ibu panti.

75
"Eh, ada mbak Aqilla dan teman-temannya mari masuk mbak." Sambut ibu Siti

"Iya, ibuk terimakasih banyak." Jawab Aqilla dengan ramah

"Ada apa ya mbak Aqilla dan mbak-mbak sekalian ke sini?" Tanya ibu Siti

"Maaff sebelumnya saya kesini menganggu waktu istirahatnya ibu siti dan menganggu
kegiatan anak-anak. Saya dan teman saya kesini ingin mengadakan bimble kecil-kecilan
hanya belajar sedikit atau bercerita." Jelas Aqilla

"Baiklah tidak masalah, beruntung mbak mbak sekalian ke sini dan ingin melakukan bimble
bersama anak-anak di sini, karena beberapa dari mereka tidak bersekolah karena keuangan
kami juga tidak mencukupi, jadi saya sangat berterimakasih kepada mbak Aqilla dan mbak-
mbak sekalian."ucap ibu siti dengan senang dan bersykur sekali.

Setelah itu mereka berjalan menuju ke rumah panti untuk melakukan bimble kecil-kecilan itu,
saat di jalan tadi Aqilla, Aletta, dan Nadin mereka sudah berbincang ingin melaksanakan
bimble dengan melakukan bercerita sejarah kepada anak-anak panti. Setelah sampai di tempat
panti mereka masuk dan di sambut hangat oleh anak-anak yang begitu menggemaskan di mata
mereka. Setelah itu mereka duduk lesehan di tempat yang tidak begitu luas dan tidak begitu
kecil, sepertinya itu tempat untuk bermain untuk anak-anak yang masih TK atau Paud.

"Assalamualaikum, hai adik-adik perkenalkan nama kakak Aqilla Embun Elvara, kalau yang
di samping kanan kakak ada kak Aletta Revina Winata, dan yang ada di sebelah kiri kakak
ada kak Nadin Dwi Safitri. Kalian bisa panggil kakak kak Qilla atau kak Embun, Kak letta
atau kak vina, kak Nadin atau kak fitri ya."Jelas Aqilla.

"Di sini kita mau belajar sambil bercerita tentang cerita sejarah perjuangan RA Kartini." Ucap
Aletta

"Di sini ada yang tau siapa itu RA Kartini?? Yang tau tunjuk tangan ya nanti kakak kasih
hadiah." Ucap Aletta sekali lagi

Tidak ada yang tunjuk tangan karena mereka tidak tahu ya tidak masalah bagi Aletta dan
Aqilla dan juga Nadin karena mereka masih kecil dan ada juga mungkin karena tidak sekolah.

"Beliau adalah tokoh Pahlawan Nasional wanita." Ucap Nadin dengan lembut dengan senyum
manisnya.

"Iya benar, beliau adalah tokoh Pahlawan Nasional wanita, di sini kita akan belajar bagaimana
perjuangan beliau untuk kesetaraan antara kaum wanita dan pria." Jelas Aqilla

76
"Di mulai dari sejarah emansipasi perempuan di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari peran
R.A. Kartini yang memperjuangkan kesetaraan antara kaum wanita dan pria. Hari lahir ibu
kita Kartini yakni tanggal 21 April 1879 dan selalu diperingati setiap tahunnya. Beliau Lahir
di Jepara, Jawa Tengah, R.A. Kartini berasal dari keluarga ningrat Jawa terpandang. Ayahnya,
Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat adalah Bupati Jepara dan masih punya garis keturunan
dari wangsa Mataram. Ibunda Kartini bernama M.A. Ngasirah, putri dari Nyai Haji Siti
Aminah dan Kyai Haji Madirono, seorang guru mengaji ulama juga.

Kartini adalah putri dari istri pertama, tetapi bukan istri utama Raden Mas Adipati Ario
Sosroningrat. Kartini merupakan anak ke-5 dari 11 bersaudara, kandung maupun tiri. Kakek
Kartini, Pangeran Condronegoro, termasuk generasi awal dari kalangan orang Jawa yang telah
menerima pendidikan Barat dan menguasai bahasa Belanda dengan sempurna." Jelas Aqilla
dengan panjang lebar.

"Kak Ibu RA Kartini itu yang merilis buku Habis gelap terbitalah terang ya kak??" Tanya
anak kecil dengan mengangkat tangan kanannya sepertinya masih SD kelas 6.

"Iya betul pinter, siapa adik namanya?" Tanya Nadin dengan lembut

"Anita kak." Jawabnya dengan senyum manisnya

"Oke Anita kita lanjut ya buat ceritanya, selanjutnya adalah tentang Perjalanan Hidup RA
Kartini." Ucap Alleta dengan senyum yang terlihat begitu cantik

"Meskipun berasal dari keluarga terpandang dan terpelajar, namun keluarga Kartini masih
memegang teguh tradisi, termasuk mengenai peran perempuan dalam keluarga dan
kehidupan. Kartini menempuh pendidikan hanya sampai usia 12 tahun di Europese Lagere
School (ELS). ELS adalah sekolah dasar milik pemerintah Hindia Belanda bagi anak-anak
peranakan Eropa, keturunan timur asing, atau pribumi dari kalangan bangsawan terkemuka.
Oleh sang ayah, Kartini diminta untuk tidak melanjutkan sekolah. Ia pun mulai dipingit atau
tidak boleh keluar rumah sesuai kebiasaan tradisi. Selama dipingit di rumah, Kartini mulai
menulis surat kepada teman-temannya yang kebanyakan berasal dari Eropa, seperti Estelle
atau Stella Zeehandelaar, Jacques Henrij Abendanon, Rosa Manuela Abendanon, dan lainnya.
Kelak, surat-surat Kartini tersebut dibukukan dan diterjemahkan oleh Armijn Pane dengan
terbitan yang kemudian dikenal dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang." Jelas Alleta

"Ya, seperti yang di katakan Anita tadi beliau membuat buku tersebut sepertinya dengan
mengirim surat-surat kepada teman-temannya yang kebanyakan dari Eropa." Ucap Aqilla.

"Lanjut ya??" Ucap Nadin


77
"Iya Kak" Teriak semua anak- anak

"Sebelum menginjak umur 20 tahun, Kartini sudah membaca buku-buku seperti De Stille
Kraacht karya Louis Coperus, Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta yang ditulis Multatuli,
juga karya-karya Frederik van Eeden. Tak hanya itu, Kartini juga melahap roman feminis
karangan Goekoop de-Jong van Beek dan Die Waffen Nieder yang merupakan roman anti-
perang tulisan Berta von Suttner. Semua buku-buku yang Ia baca berbahasa Belanda. Pada 12
November 1903, Kartini terpaksa menikah dengan Bupati Rembang K.R.M. Adipati Ario
Singgih Djojo Adhiningrat karena permintaan ayahnya. Suami Kartini ternyata tidak seburuk
yang ia pikirkan. Ia mendukung cita-cita Kartini yang ingin memajukan perempuan di
Indonesia, termasuk mengelola sekolah untuk kaum putri di kompleks kantor bupati. Selama
pernikahannya, Kartini memiliki satu anak yang diberi nama Soesalit Djojoadhiningrat.
Kartini wafat 4 hari setelah melahirkan, yakni pada 17 September 1904 dalam usia 25 tahun."
Jelas Aletta.

"Wahh Ibu Kartini emang keren, selain dia baik dan pintar, dia juga keren karena ingin
memajukan perempuan Indonesia agar tidak ada perselisihan dengan laki-laki." Jawab Tiara

Tiara adalah anak sekolah SMP kelas 7 jadi dia mungkin bisa langsung mencerna.

"Iya betul sekali, beliau juga sangat di hargai oleh rakyat terutama wanita karena setelah
adanya kartini sepertinya wanita lebih sedikit cerdas." Ucap Nadin

"Lanjut ya??" Ucap Aletta

" Kartini mengungkapkan keadaan dirinya dan kaum wanita di Jawa atau Indonesia pada
umumnya. Kepada Stella, Kartini menulis: “… we girls, so far as education goes, fettered by
our ancient traditions and conventions, have profited but little by these advantage. It was a
great crime against the customs of our land that we should be taught at all, and especially that
we should leave the house every day to go to school. For the custom of our country forbade
girls in the strongest manner ever to go to outside of the house..." Kartini memang konsisten
memperjuangkan kesetaraan antara kaum perempuan dan laki-laki di lingkungannya. Aturan
adat dan konstruksi sosial dalam masyarakat Jawa membuat perempuan berada di bawah laki-
laki. Misalnya mengenai pekerjaan yang tidak setara, bagaimana perempuan harus di rumah
dan tidak boleh memperoleh pendidikan tinggi, juga kawin paksa yang masih sering terjadi
kala itu. Melalui surat-suratnya, Kartini menyampaikan banyak kritik, termasuk mengenai
praktek poligami yang masih kerap dilakukan di kalangan ningrat Jawa. Hal penting yang
menjadi perhatian Kartini terhadap kasus poligami adalah faktor paksaan dari orang tua agar
putrinya mendapatkan suami dari kaum bangsawan. Masyarakat Jawa kebanyakan pada waktu
78
itu memang mengharapkan putrinya disunting pria ningrat demi meningkatkan derajat dan
taraf hidup keluarga. Menurut Kartini, gadis-gadis tersebut tidak dapat dipersalahkan karena
pada umumnya mereka merupakan anak-anak dari keluarga biasa atau rakyat jelata. Mereka
berangan-angan mendapat kemewahan, kehormatan, dan kenikmatan duniawi lainnya.
Menikah dengan pria bangsawan merupakan anugerah yang membuka jalan bagi mereka
untuk mobilitas sosial secara vertikal. Dengan caranya, Kartini ingin menyadarkan bahwa
kaum perempuan di Jawa atau Indonesia seharusnya lebih dihargai dan mendapatkan
kesetaraan seperti halnya kaum pria."ucap Nadin

"Iyaa selesai dehh, bagaimana seru kann.??" Ucap Nadin kepada anak-anak.

"Iya kak seruuu." Ucap mereka bersama-sama

"Jadi di sini beliau di kenal sebagai pelopor kebangkitan perempuan Nusantara. Ia juga
seorang aktivis Indonesia terkemuka yang mengadvokasi hak-hak perempuan dan pendidikan
perempuan." Jelas Aqilla dengan senyumnya.

"Berarti dia yang mengajari para perempuan di jaman dulu ya kak??." Tanya seorang anak sd
laki laki

"Iya, beliau yang mengajari, membaca dan menulis dengan baik dan benar." Jawab Aqilla

"Kak saya mau tanya." Ucap anak SD kelas 6

"Kenapa setiap memperingati hari ibu RA. Kartini kita yang perempuan menggunakan kebaya
dan yang laki-laki memakai beskap??". Tanya anak itu

"Jadi kebaya itu di kenakan perempuan jawa sebagai penghormatan bagi tubuh perempuan
maupun orang lain. Kualitas feminim perempuan pada masa itu salah satu terwujud pada
kebaya yang di kenakan, yang artinya, perempuan jadi sosok feminim ketika mengenakan
kebaya. Dan pakaian ini menampilkan keanggunan dan kesopanan." Jelas Aletta.

"Ohh begitu ya kak terimakasih ya kakak cantik eheh" ucap sang anak dengan tersenyum
manis

"Iya sama sama-sama, karena ini udah sore maka kakak -kakak mau pulang dulu ya besok kita
cerita lagi yang lebih seru okey". Ucap Aqilla dengan lembut dan ramah

"Iya kak, trimakasih kakak-kakak cantik" ucap mereka bersama-samaan.

Setelah itu mereka berdiri dan bersalaman bersama. Aqilla, Aletta dan Nadin berpamitan
kepada ibu panti untuk pulang.

79
Tamat. 1selesai

80
Pertempuran Ambarawa
Oleh: Muhamad Daffa Sampurna

Pertempuran Ambarawa merupakan salah satu peristiwa pertempuran besar yang


terjadi pada masa awal kemerdekaan Indonesia. Bagaimana kronologi Pertempuran
Ambarawa? Pertempuran Ambarawa ini terjadi antara Tentara Keamanan Rakyat (TKR)
dengan pasukan Belanda dan Inggris di Ambarawa, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah.
Peristiwa ini terjadi antara tanggal 20 Oktober hingga 15 Desember 1945 yang dipicu dari
kedatangan pasukan Inggris yang ternyata datang untuk membebaskan tawanan perang. Saat
setelah tawanan perang dibebaskan, pasukan Inggris justru mempersenjatai mereka. Penyebab
Pertempuran Ambarawa Pada tanggal 20 Oktober 1945, pasukan Inggris yang dipimpin oleh
Brigadir Bethell mendarat di Semarang.

Awalnya pihak Republik Indonesia mengira bahwa kedatangan Inggris berkenan


untuk melucuti pasukan Jepang. Tetapi mereka dibonceng oleh NICA (Netherland Indies
Civil Administration) atau Pemerintahan Sipil Hindia Belanda. Pada 26 Oktober 1945,
Pertempuran Ambarawa bermula di Magelang, Jawa Tengah. Pertempuran tersebut berhenti
ketika Presiden Soekarno dan Brigadir Bethell datang di Magelang pada 2 November 1945.
Terjadi sebuah perundingan hingga munculnya sebuah kesepakatan dari kedua belah pihak.
Isi Perundingan Pertempuran Ambawara antara lain: Sekutu akan tetap menempatkan
pasukannya di Magelang untuk melakukan kewajibannya melindungi dan mengurus evakuasi
APW Jalan raya Magelang-Ambarawa terbuka bagi lalu lintas Indonesia dan Inggris. Inggris
tidak akan mengakui aktivitas NICA dalam badan-badan yang berada di bawah
kekuasaannya. 1selesai

81
Rasa Syukur
Oleh: Naufal Daffa Iskhah
Muhamad David Asslamsyach

Jariku menunjuk nama demi nama di papan pengumuman. Aku sangat berharap
namaku ada diantara siswa yang beruntung itu. Jantungku berdegup kencang. Jari ini bergerak
dari satu kertas ke kertas lainnya. Hingga jari ini berhenti dan menunjuk sebuah nama.
Muhammad erwin “Alhamdulillah ya Allah aku diterima,” ucapku dengan rasa syukur yang
tak terkira. Aku diterima di SMA yang aku impikan dengan jalur beasiswa.

Ojek yang aku tumpangi tak terasa panas hari ini. Aku sudah tak sabar ingin sampai di
rumah dan mengabarkan keberhasilanku ini kepada Ibu.

“Kenapa tidak boleh Ayah?” kataku dengan mengiba. Aku ingin tahu kenapa Ayah tak
mengizinkanku bersekolah di SMA yang aku idam-idamkan itu.

“Ayah ingin kamu tetap bersekolah di SMA TARUNA,” ujar Ayah dengan menepuk-
nepuk pundakku.

“Tapi Ayah, aku sudah dapat beasiswa, jadi Ayah tak perlu memikirkan biaya
sekolahku lagi,” kataku dengan sedikit memaksa.

“Anakku, dengarkanlah Ayah, meskipun Ayahmu ini gajinya hanya seberapa, kadang
bekerja kadang nganggur tapi Ayah masih mampu membiayaimu sekolah. Ayah akan mencari
tambahan pekerjaan agar dapat mencukupi hidupmu di SMA TARUNA,” ujar ayah
meyakinkanku.

“Dari mana uangnya? Saat ini biaya di SMA TARUNA sangat mahal!”

“Dari Allah!” ujar Ayah sembari meninggalkanku menuju ke samping rumah.


Jawaban Ayah tadi membuatku tersentak. Aku terpaku tak hentinya memikirkan. “Ya Allah,
luluhkanlah hati Ayahku…” kataku perlahan, tiba-tiba Ibu merangkulku dari belakang dan
menciumku sangat lama.

“Erwin, Ayahmu benar. Allah akan mencukupinya. Turutilah Ayahmu, Nak,” kata Ibu
dengan suara lembutnya. Akupun hanya membisu, tak tahu harus berkata apa.

“Erwin, apa kamu mendengar ucapan Ibu?” ujar ibu padaku.

“Iya Bu, erwin mendengarnya. Baiklah Bu, Erwin akan menuruti perkataan Ayah akan
meneruskan ke SMA TARUNA.” Akupun berlalu meninggalkan Ibu seorang diri.
82
“Ya Allah, semoga melepas beasiswa di SMA itu merupakan keputusan yang benar,
dan semoga aku tak menyesalinya kelak…”

Hari ini pertama kalinya aku menginjakkan kaki di SMA TARUNA ini. Aku
kebingungan, mata ini tak henti-hentinya memandangi tembok-tembok tinggi. Tembok yang
dingin itu seperti menusuk kulitku. “Ya Allah, mudahkan aku dalam menuntut ilmu,” bisikku
sembari mencari tempat istirahat.

“Alhamdulillah, akhirnya waktu istirahat tiba,” kataku sambil membuka sepatu.


Kemudian terlihat seseorang laki-laki berbadan besar mendekatiku.”

“Hai dek? Namanya siapa?” katanya sambil mengulurkan tangan padaku.

“Oh… iya kang. Saya muhammad erwin, panggil aja erwin,”

“Aku alex. Satu tahun diatasmu. Semoga nanti betah di taruna ini,”

“Iya mas, amin. Permisi mas, mau ambil snack dulu,”

“Oh iya... silahkan,”

Akupun bergegas mengambil snack dan memakannya. Seusai makan tak lupa aku
mengambil minum. Entah kenapa baru sehari di sini aku sudah ingin segera kembali. Saat itu
aku teringat pesan Ayah ketika aku hendak berangkat ke SMA TARUNA. “Erwin, jaga
dirimu baik-baik di SMA TARUNA. Perbanyak latihan fisik. Nak, Ayah ingin melihat kamu
menjadi orang yang berilmu dan mulia. Kemudian terbayang pula wajah teduh Ibu yang
sangat menyayangiku. “Anakku, mencintaimu karena Allah.”

Setelah satu bulan di SMA TARUNA…

Awal hidup di SMA TARUNA memang tak semudah yang aku bayangkan. Aktivitas
dari bangun pagi hingga kembali tidur sudah diatur di selembar kertas yang ditempel di
dinding kamar masing-masing. Ketika jam tiga pagi, sudah ada pendamping yang siap
meneriaki kami untuk segera bangun untuk melaksanakan lari oagi. Setelah itu kami harus
membersihkan diri lalu solat berjamaah di masjid.

“Sudah lari berapa putaran dik?” kata Kang Rasyid padaku.

“Waduh mas, masih sedikit. Masih enam putaran,” kataku sembari nyengir.

83
“Alhamdulillah, terus semangat! Jangan mudah menyerah allah suka orang orang yang
tidak pernah menyerah. Tapi Dek, sudah coba menguji kekuatan fisikmu?” ujar Kang Rasyid
menambahi perkataanya.

“Sudah mas, Beres lah…”

Dan malamnya aku pun menelfon ibu dan ayah untuk menanyakan kabar mereka

“Ayah sehat Bu?” tanyaku kepada Ibu lewat telepon.

“Alhamdulillah nak, semua sehat. Erwin, maaf bulan ini kami tidak bisa mengirimi
uang yang cukup buatmu. Sementara pakai itu dulu ya nak. Insya Allah jika ada rezeki lagi
akan Ibu kirim uangnya” ujar Ibu.

“Iya Bu, tidak apa-apa. Insya Allah ini cukup Bu” kataku pada Ibu agar ia tak terlalu
mecemaskanku.

“Bagaimana latihanmu Nak?

“Alhamdulillah sudah lebih kuat dari kemarin marin”

“Semoga Allah memudahkanmu dalam menuntut ilmu. Ibu dan Ayah hanya dapat
mendoakanmu dari jauh. Tadi ayahmu titip pesan, “Nak, meskipun dalam kesempitan jalan
lupa bershodaqoh. Ya sudah, ibu tutup dulu teleponnya.”

“Wassalamualaikum...”

“Waalaikumsalam...”

Rasa rindu kepada orang tua sedikit terobati dengan telepon tadi. Setelah enam bulan
lebih aku di SMA TARUNA, ini bukan pertama kalinya mereka tidak bisa mengirim uang
yang cukup untukku. Beberapa kali aku harus bersabar karena tidak ada uang sepeserpun di
kantong. Aku pegang sisa-sisa uang yang kupunyai. Agar tak terlupa, uang untuk shadaqoh
segaja aku sisihkan dari dompetku. Ayah mengajarkanku sejak kecil bahwa ada hak-hak
orang lain di dalam uang yang kita miliki.

Malampun berganti, kokok ayam jantan mulai terdengar satu per satu. Suara kicauan
burung pipit juga ikut meramaikan sunyinya subuh pagi ini. Sebelum suara adzan
berkumandang, segera aku selesaikan olahraga ku.

Dengan semangat berjuang untuk mencari ilmu kulangkahkan kaki menuju gedung.
Pagi ini sinar matahari nampak cerah. Kulihat ribuan taruna berduyun-duyun menuju kelas.
Namun langkahku terhenti ketika tepat berada di depan papan pengumuman. Dalam
84
pengumuman itu tertera bahwa lusa akan diadakan seleksi pertukaran pelajar ke salatiga.
“Aku harus ikut!” kataku sambil menulis persyaratan-persyaratan yang harus aku lengkapi.
Saat itu pula aku segera berlari ke kantor untuk meminjam telepon. Aku akan meminta izin
dan mohon doa pada kedua orang tuaku.

“Erwin, bagaimana hasilnya?” tanya Ayah padaku.”

“Aku lolos. Ayah, aku tidak menyangka akan terpilih,”

“Alhamdulillah ya Allah.Selamat ya erwin. Anakku, yang perlu kamu ingat Nak,


kamu lolos itu karena Allah, bukan karena kepandaian dan kemampuanmu,” ujar Ayah
padaku.

“Iya, erwin mengerti,”

“Oh, iya Nak, Ibumu seminggu ini tak henti-hentinya mendoakanmu. Ia selalu bangun
untuk shalat tahajud,”

“Sampaikan terimakasih erwin pada Ibu,” kataku pelan sambil berusaha menahan air
mata.

“Erwin, mengapa suaramu terdengar tak bersemangat. Apa ada yang kamu pikirkan
nak?” tanya Ayah kepadaku.

“Ayah, ada biaya administrasi yang harus dipenuhi. Sepertinya aku tak usah berangkat
saja ke salatiga. Biayanya mahal…”

“Berapa nak?”

“10 juta,”

“Berangkat saja! Sudah nak, kamu ga usah mikirin biaya. Biar Ayah saja yang urus.
Karena Allah telah memberimu kesempatan untuk mencari ilmu di salatiga, tentunya Allah
pula yang akan membiayai dan mencukupi pendidikanmu disana. Yakini itu Nak, janji Allah
itu pasti!” kata Ayah meyakinkanku. Hatiku bergetar tiada henti. Sungguh aku dapat
merasakan kenikmatan dari ucapan Ayahku, ucapannya begitu teduh dan penuh dengan
keyakinan pada Allah.

“Terimakasih Ayah…”

Saat ini aku berada dalam Bis menuju salatiga. Hatiku sangat bahagia. Aku bahagia
karena orang tuaku memiliki rasa cinta pada Allah yang begitu besar. Benar kata Ayah. Allah
akan mencukupinya. Subhanallah, semua biayaku ke salatiga bukan berasal dari kantong
85
Ayahku, namun dari beberapa teman Ayah di daerahku yang menginfaqkan hartanya untuk
memudahkan orang yang menuntut ilmu. Ternyata, percaya pada Allah itu lebih dari cukup.
Percayalah pada Allah maka keajaiban-keajaiban akan terjadi pada kehidupanmu. 1selesai

TAMAT

86
Restu Pernikahan Dewi Sanggalangit
Oleh: Adjiewarta Kusuma

Disebuah kerajaan bernama kerajaan Kediri, hiduplah seorang putri yang sangat cantik
yaitu Dewi Sanggalangit. Semua raja-raja di kerajaan Kediri berlomba-lomba melamar Dewi
Sanggalangit. Namun sang putri tidak berminat menerima lamaran mereka.

Raja Kediri ayahanda Dewi Sanggalangit menjadi khawatir, karena sikap dewi dapat
memicu peperangan antar kerajaan. Meskipun hak menikah berada di tangan Dewi
Sanggalangit. Namun pada akhirnya Raja Kediri mulai campur tangan.

"Putriku sikapmu yang selalu menolak raja-raja itu bisa membahayakan keamanan kerajaan
kita. Bayangkan jika raja-raja itu sakit hati dan menyerang kerajaan kita, pikiran baik-baik
Dewi," kata Raja Kediri kepada putrinya.

Dewi Sanggalangit menundukkan kepalanya, Raja Kediri merasa perihatin. "Aku tidak
memaksamu menikah, semua keputusan ada di tanganmu. Hanya saja segeralah ambil
keputusan," ucap sang Raja.

Dewi Sanggalangit mulai memikirkan kata-kata sang ayahnya, akhirnya dia mulai
membuat sayembara. "Baik ayahanda, aku akan menikah dengan syarat mereka harus
memenangkan sayembara,"ucap Dewi Sanggalangit. Lalu sang Raja mulai bertanya dengan
penuh penasaran,"Apa syarat dari sayembara itu putriku?"

"Mereka yang melamar saya, harus membawa sungguhan pementasan yang belum pernah ada
di negeri ini. Selain itu calon pelamar harus di iringi oleh 140 penunggang kuda kembar dan
seekor binatang berkepala dua,"jawab Dewi Sanggalangit.

Sang Raja Kediri menghela nafas, sungguh berat syarat yang diberikan putrinya.
Namun apa boleh buat, dia pun mengumumkannya ke seluruh penjuru negeri.

Syarat itu sungguh berat dan banyak raja-raja mulai mundur dan hanya menyisakan
dua orang raja yaitu Raja Singabarong dan Raja Kelana.

Mereka berdua berjanji akan membawa apa yang diinginkan Dewi Sanggalangit,
sayangnya Pangeran Singabarong yang licik mempunyai cara curang. Dia bermaksud
menghadang rombongan dari Raja Kelana dan merebutnya

Maka waktunya telah tiba, Raja Kelana sudah menyiapkan semuanya. Kecuali
binatang berkepala dua, dia hanya membawa merak peliharaannya yang cantik."Mungkin saja

87
Dewi Sanggalangit akan luluh hatinya, jika melihat burung ini dan melupakan syarat binatang
berkepala dua itu,"ucap Raja Kelana.

Rombongan Raja Kelana telah sampai di hutan, tiba-tiba seekor singa mengamuk.
Ternyata dia adalah Raja Singabarong yang berubah wujud menjadi singa. Pasukan Raja
Kelana tidak bisa menahan amukan si singa tersebut, korban pun mulai berjatuhan.

Raja Kelana tahu kelemahan Singabarong, dengan cepat Raja Kelana melepaskan
merak peliharaannya dan hinggap diatas Singabarong. Burung itu mulai mematuk kutu-kutu
yang ada di leher di Singabarong. Usaha Raja Kelana pun berhasil, Singabarong berhenti
mengamuk karena terlena.

Saat melihat Singabarong dan merak peliharaannya, Kemudian Raja Kelana merasa
melihat kepala binatang berkepala dua. Dia pun tersenyum dan mengeluarkan pecut saktinya
yang bernama Pecut Samandiman. Raja Kelana langsung mengarahkan pecutnya dan
menimbulkan bunyi yang menggelegar.

Singabarong lemas dan tidak bisa berubah wujud menjadi manusia kembali. Semua
rombongan terkejut, sebab merak dan singa itu telah bersatu. Maka genap lah syarat yang
diberikan Dewi Sanggalangit. Rombongan Raja Kelana mulai melanjutkan perjalanan dengan
penuh suka cita

Sampai di dalam kerajaan, Dewi Sanggalangit yang melihatnya pun terpesona, dengan
keunikan binatang berkepala dua yang dibawa Raja Kelana. Singa itu terlihat galak namun
kepala dileher nya terdapat merak dengan ekor yang mengembang seperti kipas besar

Di samping hewan itu berdiri Raja Kelana yang gagah perkasa dengan memegang
Pecut Samandiman, sementara dibelakangnya 140 penunggang kuda kembar menari dengan
riang.

Dewi Sanggalangit sangat terkesan dengan usaha Raja Kelana, dia pun menerima
lamaran Raja Kelana. Raja Kediri merasa lega, pernikahan pun segera dilangsungkan dengan
sangat meriah. Sampai saat ini pertunjukan yang ditunjukkan Raja Kelana masih ada dan
dinamai Reog Ponorogo. 1selesai

88
Saksi Bisu Keluarga Belanda
Oleh: Adrian Fernanda Indar Saputra

Matahari bersinar terik menemani langkah kecil Putri sepanjang jalan menuju
rumah. Putri sudah tidak sabar segera sampai ke rumah, ia sudah bisa membayangkan
masakan Nenek yang hangat dan juga lezat, membayangkanya saja Putri sudah merasa
sangat lapar. Rumah Putri dengan sekolah memerlukan waktu yang lumayan lama
sekitar 20 menit dengan berjalan kaki. Tinggal melewati 2 persimpangan lagi, hujan
lebat yang disertai angin kencang menerjang ke arah Putri tanpa adanya aba-aba sama
sekali. Putri terpaksa meneduh dibawah pohon mangga di pertigaan jalan Kenangan.
Kabarnya jalan ini terkutuk karena dulu pernah ada satu keluarga Belanda yang
dibantai oleh tentara Nipon dan beberapa orang PETA 18. Ada juga cerita jika rumah ini
kosong karena ada suatu keluarga yang meninggal karena perampokan dan rumah ini
dibiarkan kosong sampai sekarang.

“Hua-hua-hua mama!” sayup-sayup terdengar suara tangisan anak kecil dibalik


derasnya suara hujan.

“Hua-hua-hua mama tolong!” suara itu terdengar lagi, lebih jelas di telinga
Putri, suara itu semakin dekat dan mulai melewatinya. Sumber suara itu menuju ke
rumah kosong yang tepat berada ditengah Putri. Ketika Putri menengok kebelakang
ada anak kecil berambut pirang yang seusia adiknya jatuh tersungkur karena berlari
dibawah hujan deras. Tanpa berpikir dua kali, Putri berlari menerjang hujan untuk
menolong anak itu. Putri teringat kepada adik kecilnya di kota yang ikut bersama
ayahnya untuk hidup yang lebih baik, sedangkan Putri ditinggal di desa untuk menjaga
ibu yang sakit keras, untungnya ada Nenek dan Kakek yang senantiasa menjaga dan
membimbing Putri.

“Kamu kenapa? kamu gak apa-apa kan?” tanya Putri panik kepada Anak itu.

“Kakak! hua-hua tolong!” rengek anak itu tambah keras mengalahkan derasnya
guyuran hujan. “Sudah tidak apa-apa, disini ada kakak.” seru Putri menenangkan anak
itu.

18
PETA merupakan singkatan dari “Pembela Tanah Air” yang juga bentukan junta militer pendudukan
Kekaisaran Jepang di Indonesia yang didirikan pada bulan Oktober 1943.
89
Klik-Klik-Klik suara kunci pintu yang diputar tiga kali serta diikuti suara pintu
yang berderit nyaring. Dari balik pintu terlihat siluet seorang wanita yang
mengisyaratkan Putri untuk masuk kedalam.

“Cepat kak!” teriak anak itu sembari menarik tangan Putri untuk masuk ke
rumah. Putri yang masih kebingungan pun akhirnya mengikuti anak itu masuk
kedalam rumah.

Setibanya di dalam rumah, Putri tambah kebingungan karena tidak ada


siapapun di dalam sini. Anak yang tadi dan bayangan perempuan juga tidak
meninggalkan jejak sama sekali.

Petir masih saja menggelegar diluar sana, yang mengurungkan niat Putri untuk
keluar rumah. Baru saja Putri berbalik badan pintu besar dibelakangnya terbanting
keras.

“Verbergen19” seru suara wanita tua dari balik bayang-bayang.

“Apa?” tanya Putri kebingungan.

“Sembunyi” seru anak kecil tadi diatas tangga. Tanpa berkomentar apa pun
Putri segera bersembunyi dibalik tangga.

Tik Tok Tik Tok

Hanya ada suara jam kuno yang berdetak mengiringi sunyi yang sangat
mencengkam, Putri saja dapat mendengar jelas suara detak jantungnya. Suasana
seperti ini mengingatkan Putri ketika hujan badai saat mereka tinggal di tepi laut.

"Ibu! Kamu dimana? Putri takut." Rengek Putri sembari memeluk erat boneka
beruang pemberian ayahnya.

“Sudah tidak apa-apa, disini ada Ibu kok.” seru Ibu yang berjalan menghampiri
Putri sembari membawa lilin. “Ada apa Putri?” tanya Ibu memecah tangis Putri.

“Takut bu, takut petir.” seru Putri dengan suara “Gak usah takut sebentar lagi
kan Putri mau jadi kakak” seru ibu kepada Putri.

19
Sembunyi!
90
“Iya deh bu, Putri janji gak akan takut petir lagi.” saut Putri sambil
mengulurkan jari kelingkingnya.

…………..

Prang!

Suara piring pecah yang berasal dari dapur yang diiringi tangisan ibu.

“Kamu ini! enggak becus! aku melaut dari pagi sampai pagi lagi, uangnya kamu
habiskan untuk membeli perlengkapan bayi yang hanya bisa dipakai sekali?!” teriak
ayah kepada Ibu dengan nada yang amat tinggi, baru pertama kali ini Putri melihat
Ayahnya yang sabar bisa begitu marah, seperti gunung meletus yang mengeluarkan
semua isi perut yang disimpan lama.

“Coba kamu pikirkan! bila uangnya kamu habiskan untuk membeli


perlengkapan bayi itu kita makan apa? kamu pikir aku melaut bisa membawa pulang
beras?” teriak Ayah sekali lagi “Apa kamu lupa? Negara tercinta kita sekarang ini
sedang krisis, semua harga barang naik, apalagi sembako!” Ayah hanya menatap
kecewa kepada Ibu yang hanya bisa terduduk lesu sambil menangis.

“Sudahlah aku mau melaut lagi, kasian Putri nanti dia tidak makan apa-apa.”
seru Ayah sambil melangkah menyiapkan perlengkapan melautnya.

“Ayah mau kemana?” tanya Putri dengan nada takut.

“Ayah bekerja dulu ya kamu jangan nakal, jaga Ibu di rumahnya.”

……………..

“Kakak! sembunyi disini!” seru anak misterius tadi dari kamar mandi.

“Enggak mau takut.” jawab Putri yang tidak bergerak sedikitpun.

Tanpa adanya peringatan, orang-orang Jepang itu menerobos masuk dan mulai
menggeledah seisi rumah, mengambil semua harta yang berharga. Putri tambah
ketakutan ketika salah satu tentara Jepang mendekat ke arahnya. Tapi anehnya Putri
tidak terlihat oleh tentara Jepang itu. Untuk memastikan kalau Putri kasat mata, ia
mencoba memegang salah satu tentara dan memang tidak terjadi apapun.
91
Hal ini menambah pertanyaan di kepala Putri. Kenapa para tentara tidak dapat
melihatnya tapi wanita dan anak belanda tadi bisa melihatnya, bahkan mereka
mengajak bicara Putri.

“Berlutut kalian semua!” teriak salah satu orang pribumi yang ikut rombongan
Jepang kepada beberapa orang Belanda yang telah diikat. Teriakan itu seketika
membuat Putri terkejut.

“Wantsūsurī, shūto!20” teriak salah satu tentara Jepang, tanpa perlu disuruh dua
kali beberapa peluru sukses membuat lubang di dada orang-orang Belanda, tidak
hanya satu peluru yang tertembak tetapi mereka menembak dengan membabi buta
tidak peduli bila yang mereka tembak sudah tidak bernyawa. Sorak-sorai terdengar
meriah dari orang-orang pribumi yang senang melihat orang Belanda tersiksa.

Pemandangan yang disaksikan Putri barusan membuat dirinya diam mematung


seribu bahasa, tak ada kata yang bisa menggambarkan perasaan Putri saat itu seolah
kata-kata mati sebelum keluar dari mulutnya. Bau anyir mulai menusuk-nusuk hidung,
orang-orang Jepang dan pribumi sudah pergi dengan membawa barang jarahan yang
melimpah, mereka meninggalkan mayat keluarga Belanda begitu saja. Putri masih saja
mematung di tempatnya berdiri, air matanya mulai berjatuhan karena ketakutan, Putri
hanya bisa memandangi keluarga Belanda yang telah terbujur kaku, mereka terdiri dari
sepasang suami istri dan satu anak perempuan serta seorang anak lelaki. Persis seperti
foto yang dipajang di atas meja makan yang dapat terlihat jelas ketika memasuki
rumah.

“Hai kakak manis, sudah tidak apa-apa jangan menangis ya, nanti aku ikutan
nangis.” minta anak Belanda itu.

“Kamu siapa?” tanya Putri dengan suara tersedu-sedu.

“Namaku Ronald Charlotte, tapi kakak bisa memanggilku Putra, biar sama
seperti adik kakak.” seru Ronald dengan gembira, Putri hanya diam, memproses apa
yang dimaksud anak Belanda ini.

20
Satu Dua Tiga, Tembak!
92
“Kakak rindu Putra kan? aku juga merindukan kakak perempuanku.” tanya
Ronald memecah lamunan Putri. Sekali lagi Putri hanya diam dan memajang ekspresi
kebingungan.

“Kakak bingung ya? padahal aku hanya mau menjawab pertanyaan kakak
kenapa rumah ini terkutuk.” celetuk Ronald “Maksudmu?” tanya Putri kebingungan.

“Walaupun aku ditinggal sendiri di Nusantara, aku mau menjaga rumah ini.
Jadi bila rumah ini dihuni oleh orang aku akan membuat rumah ini terlihat mewah dan
kadang-kadang kubuat sepi seperti ditinggal pemiliknya. Makanya banyak pencuri dan
perampok yang datang kemari yang tidak sedikit pula terjadi pembantaian satu
keluarga lagi.” jelas Ronald kepada Putri yang tambah bingung dan takut.

“Tapi tenang saja kak, kalau ke kakak aku tidak jahat kok. Aku hanya merasa
kita sama.” “Sama kenapa?” tanya Putri “Kita sama-sama ditinggal orang yang kita
sayang.” Putri hanya diam mendengar jawaban dari Ronald tersebut.

“Jadi kamu kesepian?” seru Putri perlahan “Iya.” jawab Ronald singkat.

“Aku sampai sekarang masih bertanya-tanya, kenapa keluargaku yang hanya


berprofesi sebagai guru ikut dibantai tanpa ampun?” gerutu Ronald kesal, Putri
kembali diam seribu bahasa setelah mendengar pertanyaan itu. Putri tidak tahu apa
yang dilakukan dia hanya tertunduk lesu bingung ingin berkata apa.

“Ayahku bernama Portgaz Charlotte sedangkan ibuku bernama Melissa dan


kakak perempuanku namanya Lidya Charlotte.” jelas Ronald “Kami hidup bahagia di
Nusantara ini” tambah Ronald.

“Lalu kenapa kamu tidak ikut keluargamu pergi?” tanya Putri polos.

“Aku sudah terlanjur cinta dengan rumah ini, dengan Nusantara, dengan
budayanya, aku cinta semua tentang Nusantara.”

“Kalau kamu kesepian kamu bisa ikut aku saja, aku hanya tinggal dengan ibu
dan kakek nenek kok.” tawar Putri kepada Ronald.

“Sungguh?” “Kamu tidak bercanda kah?” tanya Ronald memastikan.

93
“Hmmm boleh, asalkan kamu mau cerita tentang cerita masa lampau dan
jangan nakal kalau di rumah.”

“Oke itu mudah Putri. Tapi bolehkah aku memanggilmu kakak?” “Tentu saja”
jawab Putri senang sembari mengulurkan jari kelingking tanda persahabatan yang
disambut hangat oleh Ronald. 1selesai

94
Sumpah Pemuda
Oleh: Eka Suci Rahmawati
Desta Aulia

Hari Sumpah Pemuda selalu kita peringati tiap tanggal 28 Oktober merupakan sebuah
tonggak sejarah penting dalam perjalanan panjang Indonesia dalam merebut kemerdekaan.
Pada 28 Oktober 1928 atau 93 tahun lalu, para pemuda Indonesia yang berasal dari berbagai
daerah berkumpul untuk mengucapkan ikrarnya. Moehammad Yamin merupakan sosok yang
merumuskan Sumpah Pemuda. Sumpah Pemuda dibacakan oleh Soegondo joyo puspito saat
kegiatan penutupan dan dijelaskan oleh Moh.Yamin. Saat itu tidak ada istilah Sumpah
Pemuda. Tetapi, istilah itu lahir setelah kegiatan itu selesai.

Sampai saat ini, istilah Sumpah Pemuda begitu melekat dalam sejarah perjuangan
panjang bangsa Indonesia. Mereka berikrar untuk bertumpah darah, berbahasa, dan berbangsa
Indonesia. Isi dari sumpah pemuda yang di ikrarkan para pemuda yaitu: Pertama: Kami poetra
dan poetri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia. Kedoea: Kami
poetra dan poetri Indonesia mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia. Ketiga: Kami
poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia. Sebelum
tercetus sebagai Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928, ada sejarah di balik perjalanannya
itu.Sumpah Pemuda merupakan hasil rumusan dalam Kongres Pemuda II Indonesia. Kongres
tersebut merupakan pertemuan besar pada tahun 1928. Dalam pertemuan itu juga hadir para
pelajar dari seluruh wilayah Nusantara yang tergabung dalam Perhimpunan Pelajar Pelajar
Indonesia (PPPI). Kongres Pemuda II itu digelar dalam tiga sesi di tiga tempat berbeda.
Organisasi kepemudaan yang hadir saat itu di antaranya Jong Java, Jong Batak, Jong Ambon,
dan Jong Islamieten Bond. Sesi pertama dilakukan pada 27 Oktober 1928 di Gedung
Katholieke Jongenlingen Bond (KJB) atau yang sekarang bernama Lapangan Banteng.

Ketua PPPI, Sugondo Djojopuspito saat itu berharap Kongres Pemuda II diharapkan
dapat mempererat semangat persatuan di antara para pemuda di indonesia yang meliputi
pemuda dari sabang sampai merauke. Sesi kedua digelar pada 28 Oktober 1928 di Gedung
Oost-Java Bioscoop. Dalam sesi itu juga dibahas masalah pendidikan yang sangat penting
untuk penerus bangsa indonesia yaitu para pemuda maupun anak anak bangsa indonesia Sesi
ketiga yang merupakan sesi penutup digelar di Gedung Indonesische Clubgebouw di Jalan
Kramat Raya 106. Saat itu juga , rumusan Sumpah Pemuda terlahir. Setelah Sumpah Pemuda
lahir, para pemuda dan bangsa Indonesia secara umum akhirnya memiliki semangat
kebersamaan untuk berjuang melawan penjajah. Mereka tak lagi sendiri-sendiri melawan
95
penjajah. Hingga akhirnya, Indonesia benar-benar merdeka pada 17 Agustus 1945.
Kemerdekaan indonesia juga tak luput dari perjuangan para pemuda. Oleh karena itu kita juga
berkewajib untuk meneruskan perjuangan para pemuda untuk mempertahankan kemerdekaan
Indonesia. 1selesai

96
Sumur Berdarah
Oleh: Fistio Adji Duta Pinasthi

Suara mobil yang menderu yang sangat asing di telinga dan hawa dingin yang
menusuk kulit. Aku terbangun dengan mata yang masih menutup, sedikit demi sedikit
membuka, seketika terkejut terbangun di tempat dengan atap yang masih terbuat dari
anyaman bambu lantai yang masih dari tanah.

Terbangun dari tidur di tengah malam..

Mengintip dari jendela ke arah suara melihat ada sekelompok TNI yang menjemput jenderal
dengan mobil tua.

Ah terlihat seperti kejadian G30S PKI yang dimana jenderal yang diculik oleh TNI.

Mungkin hanya terlihat mirip, gumamku dalam hati.

Sambil bergumam ku lihatlah jam yang berada di dinding, ah ternyata baru jam 11
tepat dan di saat aku melihat jam, istri ku juga terbangun.

“Ah suara apa ini?”

“Kenapa malam – malam menghidupkan mobil?”

“Apakah mereka mentang mentang kaya terus mau semaunya aja?”, kata istriku
dengan nada yang tinggi. Lalu kujawab dengan nada yang rendah “Oh itu para tentara sedang
mengunjungi para jenderal.” Kutanya balik “Eh ini tanggal berapa ya beb”, “oh sekarang itu
tanggal 29 Oktober beberapa jam lagi bakal tanggal 30 Oktober.”

Semalaman aku berpikir apakah ini sungguhan aku ke masa lalu? Atau hanya
bermimpi?

..................

Hal yang tidak biasa baru ku lewati, ternyata aku kembali ke masa lalu. Disaat sedang
bergumam, aku yang penasaran mendekat ke rumah jenderal yang tadi malam ramai
dikunjungi oleh para TNI. Terlihat sangat sepi dan sangat dingin dan seperti tidak ada
kehidupan di sana.

Kebetulan ada tetangga yang sama seperti ku, ku tanya dia “Eh apakah kamu
penasaran yang terjadi kemarin malam? “

“Iya” jawabnya
97
Nih ku kasih sambil menuju ke tempat sepi... “Oh kemarin itu sekelompok TNI ke
rumah jenderal dan mengajak pergi jenderal ke tempat yang tidak ku ketahui.”

“Lah kenapa jenderal itu kedengarannya seperti di culik? Tapi mereka kan TNI
bawahan nya jenderal” tanya nya

“shhh… jendral itu mungkin tidak akan selamat” jawabku dengan suara pelan.

“Padahal aku sudah tau tentang apa yang terjadi dengan jenderal yang ditangkap oleh
TNI itu” gumamku dalam hati.

………..

Hari demi hari dilalui, namun belum juga kunjung pulang. Para istri yang khawatir
pun bertanya kepada tetangga tentang kepergian suaminya. Suatu hari ada beberapa istri yang
berkumpul untuk memberi tahu tentang hal kepergian suami mereka. Yang memiliki
kesamaan dimana mereka dijemput oleh sekelompok TNI di waktu dan hari yang sama. Aku
yang dimana mengetahui tentang peristiwa ini langsung membaur dengan para istri yang
sedang resah. Dengan tenang aku memberi tahu tentang kebenaran tentang keadaan para
jenderal yang dijemput oleh TNI

"Mereka terbunuh di suatu tempat dekat sini" jawabku dengan tenang.

"Hah?!, apa kau bilang? kau pikir aku akan percaya dengan mudah?" Jawab mereka
dengan terheran-heran dan menahan marah.

"Ya, peristiwa yang terjadi beberapa hari yang lalu itu adalah kejadian yang akan di
ingat di masa depan dengan nama G30S PKI" ku jelaskan dengan singkat, lalu aku
meninggalkan mereka dalam keadaan kalang kabut.

………………….

Tepat tanggal 6 November semua warga terkejut oleh seseorang yang mengaku
menemukan suatu tempat di tengah-tengah perkebunan. Ia bernama Soekitman menemukan
sumur yang memiliki bercak darah di sekitar dan memiliki bau amis. Ia memanggil warga
sekitar untuk membantu menggali daerah di sekitar tempat itu.

Sunyi, dingin, mengerikan, itulah suasana di sekitar tempat yang seperti sumur.

…………….…

98
"Apa ini? bau nya menyengat sekali, ini pasti sudah terjadi beberapa hari yang lalu"
itulah kata kata para warga yang melihat tumpukan mayat para jenderal yang sudah
membusuk. Istri para jenderal yang berada di sana menangis tersedu sedu.

Tiba - tiba aku terjatuh di tengah tengah keributan, terkejut dan heran dan heran di saat
bersamaan aku membuka mata dan melihat pemandangan 180° berbeda, bukan perkebunan
yang ramai namun dinding warna putih, tidak terdengar suara orang orang yang sedang
kalang kabut namun hanya suara kipas angin yang terdengar.

"Ah, ternyata rumah padahal sudah akan mencapai akhir mimpi bahkan mimpi itu
sudah hampir berakhir" Kataku dengan lemas akibat bangun tidur.

“Ah rasanya ingin melanjutkannya lagi”. sambil membaringkan badan. 1selesai

99
Terowongan Casablanca
Oleh: Amanda Olivia Maureen Kristyawan

Neila Sahila

Terowongan Casablanca terletak di Jakarta Selatan. Dulunya sebelum lokasi itu belum
di bangun jalan, tanah tersebut merupakan lahan untuk kuburan masal. Kemudian kuburan itu
dipindahkan untuk dibangun jalan raya.Saat proses pemindahan, ada satu jenazah yang di
kabarkan bentuknya masih utuh. Hal ini tentu jadi misteri dan kebanyakan orang percaya
penunggu yang ada dikuburan itu belum turut pindah.

Setelahnya banyak kejadian yang di anggap aneh, bahkan ketika terowongan sudah di
bangun. Terowongan tersebut terkesan sangat lembab dan bersuasana lain. Namun, ada berita
dari sumber lain yang menjelaskan bahwa terowongan tersebut sering menjadi lokasi
kejahatan dan cerita itu kerap menjadi kambing hitam atas terjadinya kecelakaan di area
tersebut.

Karena tersebar nya cerita tersebut, ada seorang pemuda yang memutuskan untuk
mendatangi lokasi dan mengobservasinya secara langsung. Pemuda itu bernama Yaka. Pagi
hari itu, Yaka memutuskan untuk melakukan perjalanan sendiri dari semarang ke Jakarta
Selatan. sesampainya di Jakarta, Yaka langsung mencari kepala desa.

"Permisi pak, boleh tau dimana rumahnya pak kades?" tanya Yaka kepada warga
sekitar.

100
"Ohh iya nak di ujung jalan itu ada rumah yang berwarna hijau ". jawab bapak tersebut
dengan sangat ramah.

"Terima kasih banyak ya pak, saya izin permisi". ucap Yaka sembari menjauh dari
pandangannya.

Sesampainya dirumah pak kades. Yaka mengetuk dan langsung bertemu anak pak
kades yang bernama lili.

"Assalamualaikum" salam Yaka sembari mengetuk pintu.

"Waalaikumsalam, cari siapa mas?". jawab Lili sambil membukakan pintu.

"Pak kades nya ada?". tanya Yaka sambil tersenyum.

"Oh silahkan masuk dulu sembari saya panggilkan bapak". ucap Lili sambil mempersilahkan
Yaka masuk.

Pak kades pun datang menemui Yaka.

"Ada keperluan apa nak?". tanya pak kades .

"Maaf pak mengganggu waktu nya, saya mau meminta izin untuk mengadakan pengamatan
terhadap terowongan casablanca yang sudah tersebar luas sejarah mistisnya". terang Yaka.

"Sebenarnya terowongan itu sampai sekarang masih terlihat seram, bukan karena sejarah
mistis nya. Namun, juga karena perbuatan masyarakat nya sendiri yang selalu melakukan
kejahatan di dalam terowongan itu." jelas pak kades.

"Namun, kalau memang mau melakukan pengamatan, boleh boleh saja tetapi jangan terlalu
malam mendatangi terowongan itu dan tetap hati hati karena kejahatan mengintai kita dimana
saja". lanjut pak kades.

"Baik pak, terima kasih atas informasinya. Sekaligus saya minta izin undur diri pak,
assalamualaikum." jawab Yaka sembari bangkit dari duduknya.

"Waalaikumsalam, hati hati ya nak." ucap pak kades sambil membukakan pintu.

Sepulang dari rumah pak kades, Yaka mencari tempat bermalam dan mempersiapkan
segala kebutuhan untuk dibawa nya nanti malam ke lokasi terowongan. Saat malam tiba, ia
sendiri mendatangi terowongan tersebut sekitar pukul 23.00 wib. Ketika Yaka sedang sibuk
memotret keadaan, tanpa sengaja ia melihat seorang gadis yang di paksa dan di keroyok oleh
beberapa pria sehingga gadis tersebut terlihat sudah tidak bergerak lagi. Seketika itu ia mulai
takut dan melupakan tujuan awal dia ke terowongan tersebut.
101
Lalu dengan langkah gontai nya, ia kembali menghidupkan mesin motor nya dan
bergegas kabur dari lokasi. Tanpa ia sadari, pemuda pelaku kejahatan itu melihat keberadaan
Yaka. Dan mereka meneriaki yaka.

"Woy, jangan kabur lo, gua tau lo liat apa yang kita lakuin" teriak satu pemuda dengan nada
tinggi dan suara yang berat.

Karena takut dan panik dia langsung menancap gas motornya. Tapi ternyata dua orang
itu langsung mengejar Yaka dan mengikutinya. Karena semakin takut yaka semakin ngebut
mengendarai motor nya dan akhirnya dia masuk ke pemukiman warga dan pas sekali banyak
bapak bapak yang sedang ronda di sana.

Lalu Yaka langsung menuju ke pos ronda tersebut dengan keadaan panik. Dan bapak
tersebut bertanya kepada Yaka.

"Kenapa mas kok kelihatan panik dan takut seperti itu?"

Yaka yang masih cemas menjawab pertanyaan bapak tersebut.

"Iya pak maaf saya kesini, tadi saya di terowongan dan melihat sekumpulan pemuda yang
memperkosa seorang gadis hingga tewas. Dan mereka menyadari keadaan saya. Lalu mereka
semua mengejar saya karena saya takut dan hendak kabur dari lokasi kejadian". Jawab Yaka
sambil terngah-engah.

"Yaampun nak iya di sana itu rawan sekali dengan hal seperti itu apalagi sudah malam seperti
ini untung saja kamu langsung belok ke sini." ucap salah satu bapak yang sedang beronda itu.

"Lagian kamu ada urusan apa malam-malam kesana, sendirian pula". tanya bapak lain yang
ikut mendengarkan cerita Yaka.

"Tadinya saya penasaran dengan tempat yang sudah terkenal dengan sejarahnya, makanya
saya melakukan pengamatan seorang diri di malam hari". jawab Yaka sambil turun dari
motornya.

"Yasudah kamu di sini menginap di rumah saya dulu baru habis itu pulang karena pasti
mereka masih menunggu kamu untuk keluar dari sini." Di situ Yaka langsung meng-iyakan
bapak tersebut karena ia hanya pendatang di sini dan tidak tau dengan keadaan kota itu.

Ketika Yaka memutuskan untuk menginap dirumah Pak Yuda, disitu yaka sekaligus
memanfaatkan kesempatan itu untuk bertanya-tanya dengan nya tentang terowongan yang
telah membuatnya sangat ketakutan malam itu. Dan Pak Yuda bersedia menceritakan
semuanya secara detail.
102
“Pak saya boleh bertanya sesuatu tidak tentang terowongan itu?”. Tanya Yaka seraya
meminum kopi buatan siti anak Pak Yuda.

“Oh, silahkan saja nak, apa yang mau ditanyakan?” Jawab Pak Yuda dengan lembut.

“Dulu itu sebelum dijadikan terowongan, apa benar pak sesuai berita yang beredar bahwa
dulunya terowongan itu adalah bekas makam dan ketika pemindahan ada jenazah yang masih
utuh bentuknya?” Yaka membuka pembicaraan itu.

“Jadi begini, Sebenarnya masalah jenazah tersebut masih simpang siur disini. Banyak warga
yang mengatakan kalau berita itu benar, tetapi ada juga yang berkata bahwa berita itu hoax.
Karena saya disini sebagai warga lokal ikut menghargai tentang cerita yang beredar itu.
Tetapi untuk masalah berita kejahatan yang beredar itu memang benar adanya. Karena, sudah
terdapat banyak korban. Makanya kita sebagai warga disini juga ikut menjaga keamanan
lingkungan disini supaya tidak menambah banyak korban selanjutnya.” Jawab Pak Yuda
dengan jelas.

Setelah berbincang-bincang dengan Pak Yuda, Yaka menemukan fakta bahwa nama
casablanca sendiri terbentuk karena Jakarta bekerjasama dengan Maroko dalam hal sister city
yang di mana casablanca itu adalah nama kota yang berada di Maroko. Namun ada cerita lain
yang mengatakan bahwa casablanca itu berasal dari kata Kasablanka yang berasal dari
singkatan kampung Melayu sampai belakang karet yang merupakan daerah dari kelurahan
karet kuningan, Jakarta Selatan. 1selesai

103
TITIK PERTEMUAN
Oleh: Muhammad Erwin Augustian
Taqsa Amaliati Wiyoto

Tuntang, sebuah nama desa di pinggir danau Rawa Pening yang megah menjadi salah satu
saksi penting bagi bangsa Indonesia. Bangsa yang dulu diperlakukan sangat tidak adil, salah
satunya adalah "Rekapitulasi Tuntang", perjanjian yang membuat Indonesia tampak seperti
barang. Barang yang diberikan hanya demi kekayaan dan kekuasaan. Ketika Belanda
menyerahkan Indonesia kepada Inggris.

Tragis. Satu kata yang bisa diungkapkan. Satu kata yang juga bisa menggambarkan
kehidupan seorang pemuda yang hilang. Hilang bersamaan dengan hak Belanda terhadap
Indonesia.

2 Agustus 1811

Bulan Agustus tahun 1811. Ketika aroma biji kopi menyerbak. Ketika angin berhembus
dengan kencang menggerakkan dedaunan di sepanjang jalan. Ketika langit bewarna biru
berhias awan yang menutupi matahari yang sedang malu. Ketika aku pertama kali melihat
wanita dibalik pohon kopi yang sedang berjalan sendiri membawa setumpuk kain
ditangannya. Aku terpesona. Terpersona hingga tanpa sadar aku mengejar wanita itu. Wanita
yang hilang dibalik pepohonan. Pepohonan kopi dengan embun pagi yang masih terasa. Aku
mencarinya, hingga aku temukan dia duduk menikmati indahnya Rawa Pening.

Aku menghampirinya. Aku membawa hati yang berdetak dengan kencang. Langkah
kakiku dengan hati-hati mulai mendekat kepada wanita itu. Wanita dengan mata dan hatinya
tertuju menatap pemandangan didepannya.

"Permisi Nona, apakah Nona sebegitu terpesona dengan Rawa Pening?" tanyaku kepadanya.

"Bukankah sangat indah dan tenang disini? Ini adalah tempat yang sempurna untuk duduk dan
mencari kesunyian ditengah-tengah keadaan bangsa ini yang kacau" jawabanya yang
membuatku tersentak.

Setelah menjawab pertanyaanku, ia menoleh. Ia terlihat sangat kaget. Tanpa kata-kata ia


pergi. Ia tampak takut. Aku merasa bersalah kepadanya. Aku tau ia kabur karena melihatku
sebagai orang berkulit putih. Orang yang membuat bangsanya kacau. Untuk saat ini, aku
biarkan ia pergi dengan kesalahan pahaman nya. Namun, aku berharap dapat bertemu
dengannya lagi.
104
12 Agustus 1811

Hari demi hari berlalu, sejak itu aku belum bertemu lagi dengan wanita itu. Wanita yang
membuat aroma kopi mengingatkanku kepadanya. Namun, hari ini berbeda. Hari dimana aku
melihat sekelibat bayangan yang pernah aku lihat dipinggir danau Rawa Pening saat itu. Lagi.
Aku tanpa sadar mengejar bayangan itu. Hingga aku tiba disuatu tempat yang cukup sepi.

Samar-samar aku mendengar sebuah percakapan. Lalu, aku mencari sumber suara itu. Ya.
Ternyata dia. Dia yang aku cari. Namun, bukan ini yang aku harapkan ketika bertemu
dengannya lagi. Dia sedang berdebat dengan seorang laki-laki. Laki-laki itu ingin melukainya.
Dengan mengikuti kata hati, aku hampiri mereka dan mencegah hal yang akan dapat melukai
wanita itu.

"Hei, sedang apa kalian?" sahutku dengan berjalan kearah mereka.

"Minggir kau, Londo! Tidak usah ikut campur urusan kami!" jawab laki-laki itu

"Bagaimana aku tidak ikut campur jika kau ingin menyakiti dirinya! Dia adalah seorang
wanita!" tunjukku kepada wanita itu.

"Halah, wanita-wanita, kau dan orang-orang kau tidak pernah pandang bulu menyakiti orang.
Tidak usah mengajarkanku hal itu!"

"Tuan, tolong saya. Dia ingin menyakiti saya"

"Dengar itu! Dia sendiri yang meminta tolong"

Aku yang merasa harus membantunya, akhirnya berkelahi dengan laki-laki itu. Berkat latar
belakang keluargaku, aku dengan mudah menang melawannya. Laki-laki itu kabur tanpa
bicara.

"Terimakasih Tuan."

"Sama-Sama, Nona."

Memang benar aku telah membantunya, tetapi pandanganya bahwa aku orang Belanda
masih membuatnya takut dan ingin pergi segera dari tempat itu.

"Nona, maaf jika membuat kamu takut, aku bukan londo yang seperti yang kamu pikirkan.
Aku berbeda dengan mereka. Apakah kamu ingat? Aku adalah orang yang bertemu denganmu
saat dipinggir danau waktu itu."

105
"Maafkan saya Tuan. Orang pribumi seperti saya sudah memandang bangsa Tuan adalah
orang jahat. Namun, melihat tuan menolong saya tadi, sepertinya memang benar Tuan
berbeda dengan mereka."

Mendengar ia menjawab seperti itu, aku lega. Walaupun aku tau dari raut wajahnya bahwa dia
masih takut kepadaku.

"Tidak apa-apa Nona. Aku paham akan hal itu."

"Terima kasih sekali atas bantuannya, tetapi saya harus cepat pergi sekarang" kata-katanya
dengan tergesa-gesa mengambil barang bawaanya.

"Apakah Nona ingin saya bantu untuk membawakan barang-barang ini?"

"Tidak perlu Tuan, saya bisa melakukannya sendiri." jawabanya yang mengakhiri pertemuan
kita.

17 Agustus 1811

Sejak kejadian itu, entah kenapa aku sering melihatnya dari jauh. Aku belum berani
menghampirinya lagi, takut dia merasa terganggu akan kehadiranku. Hingga suatu ketika, aku
melihatnya lagi di pinggir danau Rawa Pening. Berbeda dengan saat itu, ia duduk dengan
menangis. Rasa ragu aku hilangkan. Aku menghampirinya. Entah apa yang membuatnya
menangis, apa yang aku pikirkan adalah menghiburnya. Untung saja dia tampak sudah tidak
takut lagi kepadaku.

Seketika aku memikirkan salah satu permainan yang sering aku lakukan dengan ayahku.
Permainan batu loncat. Aku mengajarkan ia permainan itu. Permainan dimana kita melempar
batu ke arah danau dan melihat siapa yang paling jauh loncatan dari batu itu. Tanpa kusangka
ia terhibur, kulihat tawa dari dirinya. Ia tampak sudah memercayaiku. Mulai saat itu, aku dan
ia sering bertemu dan berbincang dipinggir danau Rawa Pening sembari menikmati
keindahannya.

26 Agustus 1811

Hari ini berbeda dengan hari-hari lain. Hari ini selain hariku yang dipenuhi tentang wanita
itu. Hari ini sangat kacau. Aku mendapat kabar bahwa Inggris berhasil merebut Batavia. Aku
106
dan keluargaku menjadi ketakutan. Aku seorang Belanda. Roda telah berputar. Kini kami
yang dikejar-kejar. Ayahku yang seorang petinggi tentara mencoba kabur dari negara ini.
Kabar burung, para tentara Belanda akan ditangkap dan dipenjarakan. Aku dan keluarga ku
mencoba bertahan, tetapi terlambat, hingga aku kabur sendirian dengan berlumuran darah.

Aku berlari sekuat tenaga dengan perasaan berat akan perpisahan dengan keluargaku yang
tidak kutahu, apakah mereka tertangkap atau tertembak. Aku terjatuh. Aku tersungkur tanpa
daya. Samar-samar siluet wanita datang kepadaku. Ia mengulurkan tangannya. Tangannya itu
mengingatkan ku kepadanya. Kepada wanita yang menemani hari-hariku. Mataku terpejam.
Ketika membukanya, sudah tampak atap dari daun kelapa. Dimana aku sekarang. Aku tidak
tahu. Suara lembut mendekat kepadaku.

"Tuan, kamu sudah sadar?" tanyanya dengan lembut.

"Apa yang sebenarnya terjadi? Aku menemukanmu di pinggir danau dengan darah dibajumu"
nada bicaranya yang tedengar khawatir.

Aku tidak menjawabnya. Aku langsung melihat keadaan di luar.

"Apakah ada tentara berputar disekitar sini?"

"Ada apa tuan? Tidak ada, rumahku aman. Daerah ini sangat terpencil."

"Syukurlah." Legaku mendengar kabar itu.

"Tuan jangan khawatir."

Kalimatnya yang membuatku tenang. Dengan perlahan, aku menjelaskan apa yang sedang
terjadi. Seketika dia tampak terkejut. Ia tak menyangka keadaanku seburuk itu.

"Tinggalah disini untuk sementara, Tuan"

"Rumahku akan aman, aku tinggal sendirian."

"Besok pagi akan kucari tahu tentang keluarga Tuan."

"Nona, jangan, tidak perlu, aku takut engkau malah terkena akibatnya karena telah
menolongku. Saat ini keadaanku sangat buruk."

"Jika Inggris tahu kau menolongku, kau bisa ikut ditangkap, Nona."

"Jangan pedulikan itu sekarang Tuan, saat ini kaulah yang butuh bantuanku. Lihatlah luka
disekujur tubuhmu, jika kau pergi sekarang, kau akan tampak seperti mayat hidup"

"Tetaplah disini sampai lukamu sembuh, aku mohon"


107
"Tapi Nona..."

"Nona telah membantu banyak, tidak enak rasanya aku. Apalagi pertolonganmu ini bisa
melibatkan nyawa"

"Untuk itu, aku memang tidak membantumu cuma-cuma. Berikanlah aku emas dan perahu
sebagai imbalannya nanti."

Aku tau ketulusan hatinya, ia berkata seperti itu agar aku mau menerima bantuanya. Aku
ingin menolak. Namun, benar apa yang dikatakannya, jika aku pergi sekarang, sama saja
dengan bunuh diri.

2 September 1811

Malam ini hujan turun, hawa dingin menyelimuti gubuk yang sunyi. Suara air berjatuhan.
Jauh terdengar katak yang sedang bersenandung. Aku masih bersama wanita itu di rumahnya.
Namun, hatiku merasa gusar. Kemana wanita itu pergi. Hujan di malam hari menambah
kekhwatiranku. Aku tidak tau kemana dia pergi selarut ini.

Tubuhku memang sudah mulai pulih, tetapi masih sulit untukku berjalan menyisiri hutan
untuk mencari wanita itu. Tak lama langkah kaki dengan alunan suara air terdengar. Aku rasa
itu dia. Ingin rasanya aku marah kepadanya karena membuatku khawatir. Dia masuk kedalam
gubuk dengan pakaian basah kuyup. Matanya kemerahan. Wajahnya terlihat kebingungan dan
sedih.

"Dari mana saja kau ditengah hujan ini? Bagaimana jika kau sakit?"

"Hmm..."

"Tuan, saya tadi habis dari pusat desa, tapi maafkan saya, Tuan."

"Kenapa minta maaf?"

"Saya meminta maaf kepada Tuan karena Saya harus membawa berita ini."

"Berita apa?"

"Berita bahwa ayah dan ibu Tuan tidak selamat ketika mereka mencoba kabur."

"Mereka ditemukan tewas."

Mendengar hal itu, rasanya petir menyambar diriku. Kakiku lemas. Badanku menegang.
Air mataku membeku. Entah kenapa aku tidak bisa menangis. Hatiku seperti teiris. Aku kira
108
aku masih memiliki harapan untuk menolong keluargaku. Keluargaku sangatlah berharga.
Jika aku bisa mengatakan kepada wanita ini, hasil didikan merekalah yang membuatku
berpikir sebaliknya akan hal yang dilakukan bangsaku. Ayahku memang seorang tentara. Ia
sangat patuh terhadap negaranya. Namun, ia tidak pernah mau jika aku mengikuti jejaknya. Ia
takut anaknya ini menjadi sepetinya. Patuh kepada negara, tapi tidak bisa melindungi
keluarganya sendiri. Sejak detik ini, aku berjanji pada diriku akan melindungi wanita didepan
mataku ini.

12 September 1811

Hari-hari kami lalui, tubuhku sudah sepenuhnya pulih. Namun, tidak dengan hati ini. Hati
yang dulunya bermekaran dengan segudang bunga yang harum, sekarang bunga-bunga itu
sudah layu, menyisakan satu mawar merah. Rasa dendam ada dihatiku. Ingin rasanya aku
membalaskan dendam ini. Namun, hal yang terpenting bagiku sekarang di depan mata. Aku
sudah berjanji dua hal kepadanya. Ini adalah caraku untuk menjaga satu mawar dihatiku agar
tidak layu.

16 September 1811

Ini hari ke-21 aku tinggal bersamanya. Tiap harinya ia pergi ke desa untuk melakukan
pekerjaanya. Sedangkan aku yang tidak bisa keluar dari lingkaran aman ini, mencoba
sebisanya untuk membantunya. Untung saja di sini sini dekat dengan danau yang mengalir,
sering kali aku memancing dan mendapatkan ikan agar bisa kami olah. Selepas itu, kami akan
melepas penat hari kami dengan menghabiskan waktu menikmati keindahan sore hari di
pinggir danau. Sungguh, seperti semua beban di hati dan tubuhku hilang. Bersama dengannya,
hatiku selalu merasa tenang.

17 September 1811

Pada hari ini, hujan badai menerjang kesunyian malam. Namun, wanita itu belum pulang
hingga sekarang. Aku merasa khawatir. Malam sudah semakin mendalam, ia tidak kunjung
datang. Mataku yang seharusnya terkejam, tak bisa kupaksakan tertutup karena ia masih di
luar sana. Tiba-tiba terdengar hentakan kaki di depan rumah. Saat mendengar suara hentakan
itu, aku dengan cepat menghampirinya. Kubuka pintu rumah dengan cepat, dari jauh tampak

109
cahaya, bukan hanya satu, tetapi ada banyak. Perasaanku, itu pasti bukanlah wanita itu.
Wanita yang hingga kini namanya masih belum aku ketahui.

Dan benar. Dibalik nyala cahaya yang banyak itu adalah para tentara berbadan tegap dan
berbekal senjata. Mereka bukan orang-orangku. Mereka adalah tentara Inggris. Tentara yang
pasti sedang mencari keberadaanku. Tentara yang membunuh keluargaku. Dengan pikiran
kacau, kututup pintu rumah dengan cepat, tetapi salah satu dari mereka telah melihatku. Aku
berlari melewati pintu belakang rumah ini. Entah kemana arah pelarianku, yang pasti aku
harus bisa kabur dari mereka. "Dorr," suara senapan yang isinya mengenai kaki kiriku. Saat
ini aku mati rasa. Prioritasku adalah lari dari mereka.

Mungkin hutan sedang menolongku, di tengah gelapnya hutan, entah bagaimana mereka
gagal menemukanku. Bukan hanya mereka, aku juga tidak tau dimana aku. Dengan kekayaan
alam ini, aku mencoba untuk mengobati luka tembaku. Untung peluru itu hanya melesat
mengenai sedikit kulitku ini. Malam ini, aku akan bermalam sendirian ditemani suara hewan
kecil ditengah hutan tanpa petunjuk.

Wanita Beraroma Kopi

Aku adalah seorang penjahit wanita. Aku tinggal di sebuah tempat jauh dari pemukiman.
Aku adalah seorang yatim piatu. Ayahku telah meninggalkanku dari bayi dan ibuku
meninggal saat aku masih kecil. Satu-satunya peninggalan dari ibuku adalah sebuah rawa di
dekat rumah. Saat masih kecil, aku sering pergi kesana dengan ibuku. Namun sekarang,
tempat itu sekarang menjadi tempat menenangkan diri saat diriku senang, sedih, kecewa dan
marah. Ini adalah tempat dimana aku merasa ditemani oleh ibukku.

Salah-satu hal rutin yang selalu aku lakukan tiap tahun adalah merayakan hari ulang tahun
ibukku. Oleh karena itu, aku datang ke Rawa Pening dan duduk menikmati panorama dan
membayangkan bahwa ada ibu di sampingku. Namun, hari itu aku merasakan ada seseorang
memerhatikanku, dia semakin mendekat kepadaku. Ia mengajak ku berbicara hingga pada saat
aku menoleh, aku terkejut. Dia adalah orang berkulit putih. Orang Belanda. Aku sangat takut
kepada dirinya. Tanpa berpikir panjang, aku langsung pergi dari tempat itu.

Beberapa hari kemudian, saat aku pulang dari pekerjaanku. Aku merasa aneh. Aku
merasakan bahwa aku diikuti oleh seseorang. Perlahan tapi pasti, aku mempercepat jalanku.
Dan benar. Ada yang mengikutiku. Tiba-tiba dari belakang, ia menarik tanganku dengan
kasar. Dia adalah laki-laki bertubuh sedang dengan handuk dikepalanya. Dia adalah seorang

110
yang bekerja denganku. Aku kira dia tidak jahat. Namun ternyata, dia tertarik padaku. Dia
merasa bahwa aku harus menjadi miliknya. Aku menolaknya. Hingga dia berani sekali seperti
ini. Aku ingin kabur. Dia mencengkeram tanganku kuat-kuat. Lalu, sepertinya Tuhan
mengirimku pelindung. Seseorang datang. Orang yang sepertinya pernah kulihat entah
dimana. Seseorang berkulit putih. Dia membantuku. Aku sangat berterima-kasih denganya.
Ternyata, dia adalah orang yang bertemu denganku kemarin. Saat aku merayakan ulang tahun
ibukku. Dia orang baik. Dia merubah pandanganku terhadap orang Belanda.

Tanggal dua belas bulan delapan. Hari itu, hatiku sangat perih. Aku menangis di pinggir
Rawa Pening. Aku sangat lelah pada kehidupanku. Saat itu, tidak seperti biasanya, aku ingin
seseorang berada di sisiku. Aku sangat kesepian. Tuhan kembali mengirimkanku malaikat
pelindungnya. Pria berkulit putih itu. Aku hanya bertemunya dua kali, tetapi aku tidak peduli.
Aku tetap menangis di hadapanya. Dia memang seperti seorang yang dikirim Tuhan untukku.

Setelah dia dengan lapang memberikan waktunya menemaniku, dia juga menghiburku. Dia
mengajarkanku permainan khas Barat. Aku sangat berterima kasih kepadanya. Mulai saat itu,
dia selalu menemaniku. Duduk tenang, melihat panorama indah lukisan Rawa Pening.

Dia, satu-satunya orang berkulit putih yang aku kenal, namun saat ini berbeda dari
biasanya. Aku melihatnya terkapar penuh darah. Entah apa yang terjadi padanya. Aku bawa
dia ke rumahku, aku obati dia. Hingga saat dia sadar, dia tampak panik. Dia terlihat ketakutan.
Dia mengatakan bahwa bangsanya telah dikepung oleh Inggris. Dia dalam bahaya. Aku
menawarkanya untuk tinggal disini hingga dia pulih. Hingga dia aman.

Malam itu, tampak kerumunan di desa. Penasaran akan hal itu, aku mendekat. Aku tidak
berpikir bahwa apa yang aku lihat sekarang adalah nyata. Mereka menemukan mayat. Mayat
orang berkulit putih. Di samping mayat itu, ada lukisan seorang pemuda. Aku mengenalnya.
Dia pemuda yang sekarang tinggal dirumahku. Aku langsung berpikir bahwa itu adalah
keluarganya. Dan benar. Setelah aku bertanya kepada orang disana, mereka adalah orang
Belanda yang mencoba kabur lalu ditembak oleh tentara Inggris. Hatiku sakit. Namun,
hatinya pasti lebih sakit ketika mendengar kabar ini. Dengan cepat aku bergegas pulang untuk
mengabarinya, tetapi diperjalanan hujan deras menghalangiku. Aku takut dia khawatir karena
aku belum pulang. Segera ku pulang setelah hujan reda, ku katakan kepada-nya tentang berita
yang aku temukan. Wajahnya membeku. Aku tau, dia sangat terkejut. Aku takut dia akan
berpikir untuk melakukan hal yang bahaya. Karena aku tahu, rasa kehilangan sangat sakit
dirasakan.

111
Pagi hingga malam, hari demi hari kita lalui bersama. Aku semakin dekat dengannya.
Kami selalu bertukar cerita setiap harinya. Hati ini merasakan bahwa ada yang aneh terhadap
diriku. Ini bukan hanya rasa kasihan atau empati. Ini lebih dari itu. Sungguh, aku tidak tau arti
rasa ini. Aku sangat bersyukur dia ada di sisiku.

Malam ini, hujan kembali turun dengan derasnya. Karena itu, aku belum bisa pulang dan
akhirnya berteduh. Saat hujanya mulai reda, aku melanjutkan perjalanan untuk pulang.
Namun, saat diperjalanan, aku mendengar suara tembakan dari arah rumahku. Cepat-cepat
aku bergegas pulang. Kutemukan rumahku dalam keadaan berantakan, pintu rusak dan laki-
laki itu menghilang. Aku khawatir kepadanya, dibenakku berpikir bahwa dia tertangkap. Aku
segera mencarinya. Hingga pada suatu ketika di hutan, aku melihat siluet sosoknya. Aku
mendekat. Tampak laki-laki tinggi, namun berperlengkap senapan. Itu bukan dia. Aku
berjalan mundur dan seseorang menarik aku. Aku sangat terkejut hingga ingin berteriak
sekencang mungkin. Mulutku ditutupi olehnya. Lalu, terdengar bisikan "Ini aku, jangan
takut". Aku tahu suara ini. Hatiku menjadi tenang. Aku merasa lega. Hingga tanpa sadar, aku
memeluknya dengan erat.

"Sedang apa kamu disini?"

"Aku takut, ketika aku sampai rumah kau tidak ada, keadaan rumah sangat kacau"

18 September 1811

Malam yang aku kira aku sendirian, tidaklah terjadi. Dia kembali lagi. Dia kembali
memeluku. Kami yang akhirnya menunggu fajar tiba untuk kembali. Aku dan dia hingga kini,
memiliki hutang budi satu sama lain. Di perjalanan pulang, kami dihadang oleh tentara
Inggris. Tidak kusangka mereka akan menemukanku. Dipisahkanya aku dengan dia. Ku
genggam tangannya dengan erat, namun gagal. Aku memberontak melepaskan diriku dari
cengkeraman tentara Inggris. Bukan nyawaku yang menjadi ketakutanku. Nyawa dia yang
kutakutkan. Ini semua salahku jika dia terluka. Dibawanya dia oleh tentara Inggris pergi.

"Hey, is this your girlfriend? Indigenous? You crazy man!"

"Let me bring your girlfriend to make us happy. If you know what I mean, hahahaha"

Rasa marahku memuncak. Lagi dan lagi kucoba melepaskan diriku dari tentara Inggris. Ku
kejar wanita itu. Ku kejar mereka hingga ke tepi danau.

"Hey, let her go! How dare you touch her with your dirty hands!”
112
"She is now ours. It’s not your business anymore. I'll bring her in our camp. And you! Dutch
man, wait for a second and we'll kill you!" perkataan tentara Inggris yang membuat kesal.

Dengan semua tenagaku, aku bertarung dengan dua orang tentara Inggris itu. Aku
kerahkan dengan semua yang tersisa. Hingga tanpa kusadari, aku berlutut. Aku tertembak.

Dalam diri aku berkata,

Seandainya kita tidak bertemu, mungkin kau tidak menyaksikan ini. Seandainya kita tidak
bertemu, kau tidak akan menambah rasa sakit di hatimu. Seandainya kita tidak bertemu, kau
tidak akan mengingat Rawa Pening seperti ini. Seharusnya kita tidak pernah bertemu.
Sungguh malang dirimu, Nona.

Tubuhku sudah tidak kurasakan. Kulihat dia mencoba mendekat kepadaku. Aku lihat air
matanya jatuh bercucuran deras.

"Nona, maafkan aku tidak bisa menepati janjiku. Bertahanlah, Nona. Lupakan aku dan
lupakan kejadian ini. Ingat saja hari ini sebagai mimpi. Aku harap nanti kau tidak melihat
Rawa Pening menjadi berbeda. Lihatlah Rawa Pening sebagaimana cantiknya. Hingga kini
aku tidak tau namamu, tetapi kau harus tau. Wajahmu, suaramu dan aromamu sudah merasuk
di hatiku. Tetaplah hidup. Berbahagialah. Sekali lagi, maaf dan terima kasih, Nona."

Mataku dengan perlahan tertutup. Kurasakan tubuhku terasa melayang. Kulihat dia sebagai
pandangan terakhirku. Dengan samar aku mendengar,

"Tuan, aku akan selalu menunggumu disini. Namaku…"

Ada awal pasti ada akhir. Ada suka maupun duka. Ada pertemuan dan ada perpisahan.
Mungkin kisah mereka adalah rahasia. Namun, bagi mereka itu adalah dunia mereka. Ketika
dunia fokus dalam perjanjian antara Belanda-Inggris, mereka tidak tau akan perjanjian hati
antara kedua hati ini. Tidak ada yang menceritakan. Tidak ada yang mendengarkan. Hanya
Rawa Pening yang menjadi saksi. Rawa yang hingga kini dengan megah memesolek diri.
1selesai

113
Utari
Oleh: Itsna Lathifa Maulida

Malam ini langit benar-benar cerah. Bulan menggantung menghiasi langit dikelilingi
bintang yang berkelip. Udaranya dingin. Namun gadis beriris mata cokelat itu masih betah
mendudukkan dirinya di samping jendela kamarnya yang terbuka. Seakan sengaja
membiarkan kulit tubuhnya menggigil diterpa angin malam.

Namanya Utari. Gadis manis berusia lima belas tahun yang kerap terperangkap oleh
pikirannya sendiri, seperti saat ini.

Ada banyak sekali hal yang mengganjal dalam benaknya. Termasuk mengenai
persoalan mengapa seorang anak perempuan seperti dirinya dilarang memilih sendiri jalan
mana yang ingin ia lewati untuk kehidupannya.

Sekalipun ayah dan ibunya sudah berkali-kali menjawab dengan tegas, namun sama
sekali tak membuat Utari puas dengan jawaban yang ia dapat. Bahwa alasan dari segala
keterbatasan ini adalah tradisi.

Tentu saja Utari tetap akan mengikuti alur yang diatur oleh sesuatu bernama ‘tradisi’
tersebut. Sebagai anak perempuan yang dibesarkan dengan penuh kasih sayang dan
kelembutan, ia bahkan tak pernah sekalipun berpikir untuk menjadi seorang penentang.
Termasuk tradisi di desanya bahwa seorang perempuan harus menikah sebelum usianya
menginjak enam belas tahun, karena dikuatirkan semakin bertambah usianya akan semakin
tidak menariklah ia. Maka ditakutkan jika perempuan itu akan terus sendirian semasa
hidupnya.

Inilah yang tengah terjadi pada kehidupan Utari saat ini. Tinggal beberapa hari lagi ia
akan melepas masa lajangnya, dan melanjutkan hidupnya sebagai istri dari putra tunggal
kepala desanya, Gama.

Utari memang semenarik itu. Wajahnya cantik, sikapnya lembut dan penuh sopan
santun. Orang-orang menyebutnya sebagai ‘kembang desa’.

Tapi masalahnya, Utari tidak ingin dipersunting Gama. Selain karena wataknya yang
kasar dan sombong, Gama juga dikenal sering genit dengan banyak wanita. Mata keranjang.
Dan alasan mengapa ayah dan ibu Utari mengizinkan serta mendukung Gama untuk
melamarnya, hanya semata karena hartanya yang bisa membantu keluarga Utari terbebas dari
kemiskinan. Sertamerta membuat batinnya amat terluka, ia merasa dijual.
114
Di tengah lamunannya, tiba-tiba pintu kamarnya dibuka pelan. Sang Ibu masuk
dengan membawa segelas air putih hangat. Tentu saja Sang Ibu mengetahui bagaimana
keresahan anaknya. Segala hal tentang Gama bak rahasia umum yang tak lagi bisa disangkal
kebenarannya. Bahwa laki-laki itu bukanlah seorang yang baik perangainya.

“Buk, tidak bisakah aku menolak laki-laki itu?” tanya Utari lemah.

“Sebenarnya,” kalimat Sang Ibu menggantung sejenak. “Ada alasan lain mengapa
Bapak dan Ibu ingin kamu menikah dengan Gama.”

Utari diam. Tak ada kalimat apapun dalam benaknya untuk diutarakan. Ia sudah
terlalu pasrah.

Sang Ibu menarik napas dalam sebelum berucap begitu pelan. “Ini bukan soal harta,
tapi keselamatan.”

Utari mendongak bingung. Apa maksudnya?

“Kamu tahu kan, Nak, rakyat-rakyat kecil seperti kita ini sering diperlakukan
seenaknnya. Keluarga Gama, semua punya jabatan. Hidup mereka aman karena mereka dekat
dengan orang-orang kulit putih itu. Dengan menikahnya kamu dengan Gama-”

“Ibu ingin kita ikut jadi dekat dengan penjahat-penjahat itu?”

Sang Ibu menggeleng. “Ibu tidak bisa berpikir sampai kesana. Tapi Ibu sudah terlalu
lelah melihat Bapakmu yang hamper setiap harinya diperlakukan kasar sama mereka. Tolong
ya, Nak.”

...

Harapan kedua orangtuanya sudah terkabul hari ini. Pernikahan Utari dengan Gama
dihadiri ratusan orang yang tentunya bukan orang biasa. Kendati harus menahan tangisnya
hari ini, setidaknya Utari sedikit- sangat sedikit bersyukur melihat senyum lebar ayahnya
setelah Ayah Gama mengatakan bahwa setelah ini tidak ada lagi yang akan mengganggu
keluarganya. Sebagai gantinya, anak gadisnya kini akan dibawa pergi, menuju tempat yang
baru bersama suaminya.

Utari masih bisa memaksakan senyumnya kala harus memeluk orang tuanya untuk
yang terakhir kali. Bahkan tak lupa berjanji bahwa ia akan selalu mengirimkan surat berisi
kebahagiaan dalam hidupnya yang baru. Ia akan hidup dalam kebahagiaan.

115
Di minggu-minggu pertama, surat dari Utari benar-benar sampai ke tangan kedua
orangtuanya. Berlanjut hingga bulan-bulan berikutnya. Namun, di bulan ke lima suratnya tak
lagi datang. Hal itu cukup membuat orang tua Utari kelewat kuatir hingga memutuskan untuk
berkunjung pada bulan ke enam, dua bulan sejak terakhir kali putrinya mengirim surat.

Rumah yang mereka temukan dari alamat yang pernah ditinggalkan Utari hampir
membuat keduanya tak berkedip. Benar-benar besar dan indah. Sedikit membuat mereka bisa
membuang prasangka-prasangka negatif sebelumnya. Lantas, pasangan paruh baya tersebut
mengetuk pelan pintu rumah di depannya. Hingga muncul seorang wanita yang ternyata
merupakan pembantu di rumah ini.

“Maaf, jika saya boleh bertanya, apakah ini tempat tinggalnya Nak Utari?” Sang Ibu
bertanya.

Wanita itu mengangguk lemah. “Iya, Bu. Sebelumnya, Ibu dan Bapak ini siapa, ya?”

“Kami orangtuanya, Mbak.”

Wanita itu terlihat semakin resah, namun tetap mempersilahkan kedua orangtua Utari
masuk ke dalam.

“Nak Gama sama Nak Utari sedang tidak ada di rumah ya? Kok sepi sekali.”

Wanita berbaju kusut tersebut menarik napasnya dalam-dalam, kemudian berkata


begitu pelan. "Sebenarnya, sekitar satu bulan yang lalu Tuan ketahuan mengambil banyak
sekali uang dan beberapa barang berharga dari .. dari .. rumah salah satu Londo itu. Saya tidak
begitu tahu bagaimana ceritanya. Tapi setelah itu, Tuan dan Nyonya ditangkap dan dibawa
sama mereka."

Sang Ibu kehilangan kesadarannya tepat setelah mendengar pernyataan yang baru
didengarnya. Sedang Sang Ayah hanya bisa terdiam kala mendengar nasib putrinya. Merasa
bahwa semua ini karena keegoisannya yang ingin bebas dengan menikahkan putrinya dengan
putra dari orang berpengaruh yang bisa melindunginya, namun justru membawa nasib
putrinya berakhir tragis.

Hatinya benar-benar dipukul hancur kala menyadari bahwa ternyata rumah mewah
milik sang anak tak sehangat yang ia bayangkan. Tiada tawa dan canda yang pernah ia
harapkan. Pun kebahagiaan yang tak pernah luput ia cantumkan dalam doa dari setiap
sujudnya. Dalam rasa sakit serta sesak yang tak tertahan, ia hanya bisa merapalkan satu
kalimat, “Ayah minta maaf.” 1selesai

116
117
Warak
Oleh: Muhammad Rizal Dermawan
Ricky Septiano Dwipayana

Kampung Warak adalah sebuah kampung asri yang terletak di Kelurahan Dukuh,
Kecamatan Sidomukti, Kota Salatiga. Karena terletak di perbukitan yang cukup tinggi dan
mempunyai banyak ladang hijau yang dipenuhi pohon-pohon besar, kampung ini memiliki
udara yang sejuk dan segar. Kampung ini dapat diakses melalui dua jalur yaitu dari grogol
dan ngawen.
Diantara kampung warak dan ngawen, tepatnya diturunan yang agak curam di pinggir
kampung warak terdapat sebuah situs bersejarah yang dipercaya sebagai cikal bakal kampung
warak. Situs tersebut dikenal dengan nama Punden Warak.
Dikisahkan oleh Mbah Martono, seorang sesepuh warak yang juga juru kunci punden
warak. Asal mula kisah warak adalah dari peristiwa jatuhnya seekor warak (badak) ke dalam
sebuah sumur yang sangat dalam. Mbah Martono adalah juru kunci pengganti dari Mbah
Sutarman yang telah dipanggil Yang Maha Kuasa pada tahun 2013.
Diceritakan, pada zaman para wali, ketika daerah warak masih berupa hutan belantara
ada seekor warak yang sedang kehausan dan mencari minum. Warak tersebut berusaha
minum disebuah sumur, namun malang warak tersebut tercebur dan mati didalam sumur yang
sangat dalam. Ada sebagian orang yang percaya bahwa warak tersebut tak lain adalah
penjelmaan dari Ki Ageng Tawangan, orang sakti yang berasal dari Banten dan menetap di
daerah Warak pada zaman Kerajaan Majapahit, pasca runtuhnya Kerajaan Banten. Setelah
wilayah tersebut telah ramai dihuni manusia, roh Ki Ageng Tawangan membisikkan kepada
sesepuh kampung untuk menamai kampung tersebut dengan nama WARAK.
Setiap tahun pada bulan sapar warga warak melaksanakan tradisi saparan sebagai
suatu bentuk penghormatan kepada Ki Ageng Tawangan. Tradisi ini biasanya disertai prosesi
bersih-bersih makam, bersih-bersih kali, doa di punden warak dan puncak acara adalah
pagelaran wayang kulit semalam suntuk.
Doa-doa dan sesajen berupa rokok klobot, bunga tiga warna (kembang telon), sirih
dan menyan juga 'dikirimkan' dilokasi punden warak oleh warga sekitar, biasanya pada
malam jum'at wage dan malam jum'at kliwon. Hal ini sesuai dengan permintaan Ki Ageng
Tawangan. Warga kampung warak senantiasa terbebas dari musibah dan malapetaka.
Diceritakan oleh Mbah Martono, pada zaman krisis G30S pada tahun 1965, dimana
banyak sekali penculikan, penangkapan dan pembunuhan, warga warak dapat selamat.
Padahal warga kampung lain banyak yang menjadi korban. Pada saat itu jalan masuk
kampung diberi sesajen sesuai permintaan Ki Ageng Tawangan. Hasilnya para penculik tidak
dapat menemukan jalan masuk ke kampung dan warga warak pun selamat.
Hingga kini, kesakralan punden warak masih dipercayai oleh para peziarah. Dari yang
meminta jabatan, jodoh, momongan sampai dengan nomer togel pun ada. Kebanyakan para
peziarah tersebut berasal dari luar Salatiga.

118
119

Anda mungkin juga menyukai