Anda di halaman 1dari 8

URAT BONA PASOGIT : bahasa batak artinya bagian dari kampung halaman

sebatang beringin, tempat leluhur : penggambaran tempat, sebagai sistem kepercayaan


masyarakat batak

di bayangnya bermusyawarah hal hidup : penggambaran tempat, citra visual

dan hal baka

sebuah mata air dari batu karang

sumber pelepas dahaga 7 keturunan

kali 7 keturunan, aku pun lahir

sebuah rumah asal disebut parsantian : sistem kekerabatan

perlambang jagat tiga tingkat

bumi atas bumi tengah bumi bawah : repetisi

dari halamannya sejemput tanah keramat

kutiup nafas

bakal alas jasad bakaku tegak

di atas segala bumi leluhur

Ompu Raja Bunbunan

pengawal adat lembaga di Tanah Urat

Urat Bona Ni Pasogit

Sebatang beringin, tempat leluhur


di bayangnya bermusyawarah hal hidup
dan hal baka

Sebuah sumberair dari batu karang


sumber pelepas dahaga 7 keturunan
kali 7 keturunan, aku pun lahir

Sebuah rumah asal disebut Ruma Parsantian


perlambang jagat 3 tingkat:

Bumi Atas
Bumi Tengah
Bumi Bawah

dari halamannya Leluhur mengambil


sejemput tanah keramat bakal alas
jasad baka keturunan di mana pun berkubur kelak,

berpadu dengan Bumi Leluhur


Ompu Tuan Situmorang,
pendiri Adat Lembaga,
di Tanah Urat
Ulos Na So Ra Buruk
pemberian Yang Mahakuasa

kepada 7 cabang keturunannya

1994
(versi dokumentasi J.J. Rizal)
DANAU TOBA

Aku rindu pada bahagia anak,

Yang menunggu bapaknya pulang,

Dari gunung membawa puput,

Sepotong bambu tumbuh di paya-paya.

Pada perahu tiba-tiba muncul sore,

Dari balik tanjung di teluk danau,

Membawa Ibu dari pekan,

Dengan oleh-oleh kue beras

bergula merah.

Aku rindu pada malam berbulan,

Kala si tua dan si anak mandi

sinar purnama,

Berkaca di permukaan danau biru –

Sebelum air mengelucak di musim kemarau


Aku rindu pada bunyi seruling gembala,

Bergema di bukit memenuhi lembah,

Pada permainan di gua-gua batu

penuh lebah,

Kala api panen mengusik hewan

di tengah sawah.

Aku rindu. Aku rindu pada tebing

hijau,

Tempat ikan emas bercengkerama,

Di antara lumut menggeliat bening,

Seperti taman zambrut dalam impian.

Aku rindu pada batu-batu besar dan hitam,

Muntahan lahar dari perut bumi,

Pada pemandangan tua ribuan tahun,

Si gembala domba, termenung

di atas batu.

Aku rindu bau-bau di musim

panen,

Gelak si tani purba membakar jerami,

Rindu pada si nelayan pulang dari

danau,

Menyandang pukat dan ikan di sore hari.


Aku rindu pada suara kakak,

Memanggil aku pulang makan,

Rindu pada resah bambu di benteng

kampung,

Melambaikan daunnya pada

angin gunung.

Aku rindu pada adikku, yang rindu padaku,

Aku rindu bunyi palu tukang perahu

Aku rindu lenguh sapi, pada bau

kerbau,

Aku rindu, rindu suara Ibu,

terkubur di pinggir danau.

Aku rindu lonceng gereja bertalu-talu,

Rindu gemanya merayap-rayap

di udara,

Menyongsong malam, mengumumkan satu-satu

Kematian,

Merayakan Perkawinan – serta Kelahiran,

Pada malam Natal, kisah tiga Raja

dari Timur,

Datang menghormati Anak Manusia,

di sana, di tepi Danau Toba, kelahiranku.


Nama: Sitor Situmorang
Lahir: Harianboho, 2 Oktober 1924
Istri:
1. Almarhum Tiominar
2. Barbara Brouwer
Anak:
1. Retni Situmorang
2. Ratna Situmorang
3. Gulon Situmorang
4. Iman Situmorang
5. Logo Situmorang
6. Rianti Situmorang
7. Leonard Situmorang

Pendidikan:
AMS di Jakarta
Pengalaman Pekerjaan:
1. Pemimpin Redaksi “Suara Nasional
2. Wartawan Kantor Berita “Antara”
3. Wartawan Harian “Waspada”

Karya sastra:
Surat Kertas Hijau, 1953
Dalam Sajak, 1955
Wajah Tak Bernama, 1955
Drama Jalan Mutiara, 1954
Cerpen Pertempuran dan Salju di Paris, 1956
Terjemahan, karya John Wyndham, E Du Perron RS Maenocol,M Nijhoff.
Zaman Baru, 1962
Cerpen Pangeran, 1963
Esai, Sastra Revolusioner, 1965 (tulisan ini yang menyebabkannya masuk penjara)
Karya selama di tahanan:
Dinding Waktu, 1976
Peta Perjalanan, 1977
Karya selama dalam pengembaraan:
Cerpen Danau Toba, 1981
Angin Danau, 1982
Cerita anak-anak Gajah, Harimau dan Ikan, 1981
Guru Simailang dan Mogliani Utusan Raja Rom, 1993
Toba Na Sae, 1993 (esai yang mengetengahkan tinjauan sejarah dan antropologi)
Bloem op een rots dan Oude Tijger, 1990 (diterjemahkan dan dibukukan dalam bahasa Belanda)
To Love, To Wonder, 1996 (diterjemahkan dalam bahasa Inggris)
Paris Ia Nuit, 2001 (diterjemahkan dalam Bahasa Perancis, Cina, Italia, Jerman, Jepang, dan Rusia)

'Kepala Suku' Sastrawan ‘45

Pria Batak kelahiran Harianboho, Samosir, Sumatera Utara 2 Oktober 1924 ini sudah menjadi seorang
Pemimpin Redaksi harian Suara Nasional terbitan Sibolga, pada saat usianya masih sangat belia 19
tahun, di tahun 1943. Padahal, sebelumnya ia sama sekali belum pernah bersentuhan dengan profesi
jurnalistik.

Sastrawan Angkatan ’45, ini kemudian bergabung dengan Kantor Berita Nasional Antara, di Pematang
Siantar. Dan sejak tahun 1947, atas permintaan resmi dari Menteri Penerangan Muhammad
Natsir, Sitor menjadi koresponden Waspada, sebuah harian lokal terbitan kota Medan, Sumatera Utara.
Ia ditugaskan menempati pos di Yogyakarta.

Jika di kemudian hari persepsi tentang diri Sitor Situmorang identik sebagai sastrawan Angkatan
’45 yang kritis, bahkan menjadi susah memilah-milah apakah ia seorang sastrawan, wartawan, atau
politisi, agaknya bermula dari kisah sukses besarnya sebagai wartawan saat berlangsung Konferensi
Federal di Bandung, tahun 1947.

Hadir bermodalkan tuksedo pinjaman dari Rosihan Anwar, saat itu nama wartawan muda berusia 23
tahun, Sitor, sangat begitu fenomenal bahkan menjadi buah bibir hingga ke tingkat dunia. Ia berhasil
melakukan wawancara dengan Sultan Hamid, tokoh negara federal bentukan Negeri Belanda yang
sekaligus menjadi ajudan Ratu Belanda.

Sultan Hamid adalah orang yang diplot menjadi tokoh federal, tentu dengan maksud untuk memecah-
belah keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menjadi terdiri berbagai negara boneka
dalam wadah negara federal.

Kisah suksesnya bukan sekedar karena berhasil menembus nara sumber Sultan Hamid. Materi
wawancara itu sendirilah yang memang lebih menarik. Sebab, kepada Sultan Hamid Sitor
berkesempatan menanyakan, ’bagaimana pendapatnya tentang negara Indonesia’, dan uniknya dia
jawab dengan, ’oh terang Republik itu ada, dan tidak bisa dianggap tidak ada’.

Esok harinya isi wawancara itu menjadi headline dan semua kantor berita asing mengutipnya. Peristiwa
ini terjadi justru sebelum konferensi resmi dimulai, sehingga sudah ada gong awal yang memantapkan
eksistensi NKRI.

Ultah 80
Menjelang usia genap 80 tahun Sitor mempersiapkan perayaan ulang tahun dengan matang. Ia
merayakannya di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, antara lain dengan memamerkan puluhan
kumpulan puisi dan berbagai dokumentasi tentang kontribusinya dalam peta perjalanan sastra dan politik
di Tanah Air.

Bahkan, beberapa hari sebelumnya, 27 September 2004 ia memperkenalkan karya-karya puisinya yang
belum pernah dikenal orang. Apakah itu barupa puisi karya terbaru, atau puisi lama namun sama sekali
belum pernah dikenal orang. Maklum, siklus kepenyairan Sitor Situmorang, yang menikah untuk yang
kedua kalinya dengan seorang diplomat berkewarnegaraan Belanda Barbara Brouwer, yang
memberinya satu orang anak, Leonard, sudah berbilang setengah abad lebih. Dari istri pertama
almarhum Tiominar, dia mempunyai enam orang anak, yakni Retni, Ratna, Gulon, Iman, Logo, dan
Rianti.

Semenjak tahun 1950-an karya-karya sastranya sudah mengalir ringan begitu saja. Sitorpada tahun
1950-an itu pulang dari Eropa sebagai wartawan, lalu memutuskan berhenti dan bergiat sebagai
sastrawan. Kumpulan puisi pertamanya terbit tahun 1953, diterbitkan oleh Poestaka
Rakjat pimpinan Sutan Takdir Alisjahbana (STA).

Dia begitu hafal setiap karya puisinya. Malah, beberapa orang sahabat sesama sastrawan, seperti
almarhum Arifin C. Noor, W.S. Rendra, maupun sastrawan asal Madura Zawawi, menyapanya dengan
melafalkan petikan puisi karya Sitor sebagai sapaan salam. Dari lafal petikan itu pula Sitor kenal siapa
nama dan identitas orang yang menyapanya.

Beragam karya sastra Sitor yang sudah diterbitkan, antara lain Surat Kertas Hijau (1953), Dalam
Sajak (1955), Wajah Tak Bernama (1955), Drama Jalan Mutiara (1954),
cerpen Pertempuran dan Salju di Paris (1956), dan terjemahan karya dari John Wyndham, E Du Perron
RS Maenocol, M Nijhoff. Karya sastra lain, yang sudah diterbitkan, antara lain puisi Zaman Baru (1962),
cerpen Pangeran (1963), dan esai Sastra Revolusioner (1965).

Esai Sastra Revolusioner inilah yang mengakibatkan Sitor Situmorang harus mendekam di penjara
Gang Tengah Salemba (1967-1975), Jakarta tanpa melalui proses peradilan. Ia dimasukkan begitu saja
ke dalam tahanan dengan tuduhan terlibat pemberontakan. Selain karena isi esai Sastra
Revolusioner sarat dengan kritik-kritik tajam, posisi mantan anggota MPRS ini ketika itu sebagai Ketua
Umum Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN) periode 1959-1965, sebuah lembaga kebudayaan di
bawah naungan PNI, membuat rezim merasa berkepentingan untuk “menghentikan” kreativitas Sitor.

Karenanya ia dengan ringan menyebutkan, “Mungkin karena saya anti-Soeharto saja,” sebagai alasan
kenapa ia harus mendekam di penjara Salemba selama delapan tahun berturut-turut. Hingga keluar
tahanan Sitor tak pernah tahu apa kesalahannya.

Kepada Sitor tak diizinkan masuk tahanan membawa pulpen atau kertas. Namun, walau berada dalam
penjara Sitor tetap berkarya. “Tidak ada orang yang bisa melarang saya untuk menulis,” ucapnya tentang
keteguhan hatinya untuk tetap berkarya dalam kondisi dan situasi tertekan seberat apapun, termasuk
ketika terkungkung oleh tembok-tembok beton penjara.

Ia berhasil merilis dua karya sastra, yang berhasil ia gubah selama dalam tahanan, yakni Dinding
Waktu (1976) dan Peta Perjalanan (1977). Kedua karya itu diluncurkan masih dalam status Sitor tidak
bebas murni 100 persen sebab ketika kemudian dibebaskan, Sitorlagi-lagi harus menjalani tahanan
rumah selama dua tahun.

Sitor akhirnya memilih menetap di luar negeri, terutama Kota Paris yang disebutnya sudah sebagai desa
keduanya setelah Harianboho. Harianboho, yang terletak persis di bibir-mulut pinggiran Danau
Toba nan indah, itu punya arti spesifik dalam diri Sitor. Paris yang megah boleh menjadi desa kedua.
Namun Harianboho tetaplah satu-satunya kampung halaman bagi Sitor.

Sejak tahun 1981 Sitor diangkat menjadi dosen di Universitas Leiden, Belanda. Sepuluh tahun kemudian
pensiun pada tahun 1991. Selama dalam pengembaraan ia tetap produktif berkarya. Maklum, menulis
baginya sudah seperti berolahraga. Jika tak menulis dirasakannya badan gemetaran.

“Kalau tidak menulis badan saya malah gemetaran. Bagi saya menulis adalah olahraga”, ujar
pria Batak yang walau lama mengembara di luar negeri namun masih saja selalu kental dengan
logat Bataknya. Kekentalan logat ini membuat banyak orang kecele, menilai Sitor sebagai seorang yang
berkesan galak dan saklijk, tak ada kompromi.

Padahal ia adalah seorang lelaki tua periang yang jarang mengeluh perihal kemampuan fisiknya yang
sudah menua. Pada usai 80 tahun ia masih dengan mudah melewati lantai berundak yang terdapat di
kamar tidurnya tanpa bantuan tongkat sedikitpun.

Ia malah menyebut dirinya sudah seharusnya tampil sebagai “Kepala Suku”, jika saja konsep dan sistem
tata nilai lama adat Batak itu diberlakukan kembali. Kalaupun istilah dan sebutan kepala suku adat Batak
sudah lama dihapus, namun, dalam dunia sastra khususnya Angkatan ’45 Sitor Situmorang tak pelak lagi
adalah “Kepala Suku” Sastrawan Angkatan ’45. Bukan hanya karena ia sastrawan Angkatan ’45 yang
masih hidup, namun hasil karyanya ikut menunjukkan siapa jati diri dia yang sesungguhnya.

Selama melanglang buana di berbagai negara, antara lain di Pakistan, Perancis, dan Belanda ia
menghasilkan beragam karya-karya pengembaraan. Antara lain berupa cerpen Danau
Toba (1981), Angin Danau (1982), cerita anak-anak Gajah, Harimau, dan Ikan (1981), Guru
Simailang dan Mogliani Utusan Raja Rom (1993), Toba Na Sae (1993).

Kemudian, karya sastra esai yang mengetengahkan tinjauan sejarah dan antropologi, berjudul Bloem op
een rots dan Oude Tijger (1990) yang sudah diterjemahkan dan dibukukan dalam bahasa Belanda, To
Love, To Wonder (1996) diterjemahkan dalam bahasa Inggris, Paris Ia Nuit (2001) diterjemahkan dalam
enam bahasa yakni Bahasa Perancis, Cina, Italia, Jerman, Jepang, dan Rusia.

Sejak tahun 2001 Sitor Situmorang kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi, Indonesia mengikuti istrinya
Barbara Brouwer yang kebetulan mendapat tugas di Jakarta. Walau dua pertiga dari usianya
dihabiskannya di negeri orang, para sahabat, kolega, teman sejawat, seniman, sastrawan, dan
budayawan lain tidak pernah menganggap Sitor sebagai “anak yang hilang”.

Mereka, seperti Adjip Rosidi, Onghokham, Fuad Hasan, Djenar Maesa Ayu, Ramadhan KH, Richard Oh,
Rieke Diah Pitaloka, Sitok Srengenge, HS. Dillon, Teguh Ostenrijk, Srihadi Soedarsono, dan Antonio
Soriente, tetap menyambut hangat kepulangan Sitor Situmorang. Mereka, menganggap tak beda
seperti menemukan teman yang sudah lama tak berjumpa.

Sitor memang mempunyai pergaulan yang sangat luas di mancanegara seperti di Belanda, Jerman,
Italia, dan Inggris seluas pengenalan masyarakat Indonesia terhadapnya. Padahal, jika ditelisik jauh ke
belakang belajar menulis bagi Sitor berlangsung secara otodidak saja selepas bersekolah AMS di
Jakarta. Pilihannya menjadi penulis pun berawal dari keterlibatan dirinya sebagai wartawan Waspada
sebuah harian lokal terbitan Kota Medan, Sumatera Utara.

Sebagai wartawan tahun 1950-an ia pulang dari Eropa, kemudian berhenti dan memutuskan diri menjadi
penyair. Itulah awal kekreativitasan Sitor Situmorang sebagai sastrawan secara intens. Sebelumnya,
tahun 1943 untuk pertama kali ia memang sudah menuliskan sebuah puisi, berjudul Kaliurang dimuat di
majalah Siasat pimpinan “Sang Paus Sastra Indonesia” HB Jassin. Sedangkan, kumpulan puisi
pertama Sitor Situmorangbaru terbit tahun 1953, persis setelah sepulangnya dari Eropa. Ketika itu ia
secara kebetulan bertemu dengan Sutan Takdir Alisjahbana (STA), yang waktu itu memiliki penerbit
Pustaka Rakjat, lalu menerbitkan kumpulan puisi Sitor.

Sitor adalah salah seorang sastrawan Indonesia yang secara sadar mengatakan diri turut berpolitik.
Ketika Waspada menugaskannya menempati pos di Yogyakarta, membuatnya berkesempatan
berkenalan dengan “Bapak-bapak Republik”, ini istilah Sitor Situmorang sendiri untuk menyebutkan
orang-orang yang dimaksudkannya seperti Bung Karno, Bung Hatta, serta para pimpinan Partai Nasional
Indonesia (PNI), telah memperkaya daya juang kreativitas sastranya dengan warna baru
politik. Sitor bahkan pernah diangkat menjadi anggota MPRS

Anda mungkin juga menyukai