Roller coaster.
“YANG TIDAK
SETUJU, YA,
MINGGIR SAJA
Tokoh-tokoh pramoedya memang kalah dilanda
Membaca empat jilid roman sejarah Pulau Buru-Bumi Manusia, Anak
Semua Bangsa, Jejak langkah, dan Rumah Kaca-adalah menelusuri riwayat hidup
Minke, anak seorang bupati Jawa, yang menolak meneruskan jabatan bapaknya,
bersekolah Belanda di HBS, kuliah kedokteran di STOVIA, dan menjadi orang
pergerakan yang menciptakan reputasinya sebagai wartawan-pengarang yang
sanggup menulis dengan pisau belati. Akan tetapi membaca riwayat Minke adalah
berhadapan dengan sebauh thickdescription tentang keadaan Hindia Belanda di
Pulau Jawa pada saat pergantian abad , sementara dengan mengikuti lukisan serba
rinci tentang struktur sosial dan kebudayaan Kolonial pada masa itu, kita belajar
tentang kesanggupan dan ketidaksanggupan manusia dalam barhadapan dengan
sejarahnya.
Para ahli filsafat sejarah masih berdebat apakah sebetulnya sejarahlah
yang membentuk manusia (sebagaimana diajarkan oleh Hegel dan MarX, misalnya),
ataukah sebetulnya manusia sendirilah yang membentuk sejarahnya (sebagaimana
dibela secara militan oleh Karl Popper). Adalah uniknya bahwa Pramoedya sendiri
telah melibatkan diri dalam teka-teki filsafat itu dengan caranya sendiri. Dalam
pandangannya, Sejarah adalah gelombang dasyat yang siap menggulung siapa saja,
tetapi manusia bukanlah sepotong gabus yang setelah terombang-ambing dapat
diempas kedartan dan menjadi sampah di pantai.
Tokoh-tokh Pram memang kalah dilanda sejarahnya, tapi sekaligus juga
sanggup mengalahkan kekalahannya sendiri dengan mengatasi baik ketakutan
maupun kesombongan untuk tidak menang. “Kita kalah, Ma, Bisikku.” “Kita telah
melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya”. Itulah kalimat penutup
buku Bumi Manusia yangf dengan keindahannya yang getir menunjukkan persainagn
abadi antara determinisme sejarah dan pilihan moral yang bebas.
Apakah kerena itu perjuangan dan heroisme dalam roman-roman ini selalu
berkibar di tangan perempuan? Apakah simpati pengarang kepada perempuan
diakibatkan oleh nasib mereka yang sering terkukngkung di bawah kekerasan
patriarki sebagai sebuah kekuatan sejarah, dan karena itu perempuanlah yang
menjadi kawan seperjuangan pengrang menghadapi kekerasan politik? Ataukah
oleh hormat tokoh-tokoh perempuan yang besar peranannya dalam biografi
pengarang?
Apa pun sebabnya, Pramoedya telah menampilkan barisan srikandi, sebagai
pendekar yang bertarung dengan kekuatan sejarah. Sanikem dijual oleh ayahnya
kepada seorang administratur pabrik gula di Tulunga, Sidoarjo, Jawa Timur,
Herman Mellema. Dia menerima dirinya sebagai seorang nyai dengan nama Nyai
Ontosoroh karena tak kuasa melawan kehendak ayahnya yang ingin naik pangkat.
Tapi ia tak mau menjadi nyai yang dungu. Dengan bimbingan tuannya, dia belajar
membaca dan menulis, belajar bicara basaha Belanda, dan membaca bebrapa
bahasa Barat, mahir menyusun pembukuan dan mengelola perusahaan susu dan
perlahan-lahan mengumpulkan modal sendiri. Sayang, kedudukannya sebagai nyai
tidak dilindungi hukum manapun, dan karena itu tidak mempunyai hak hukum apa
pun. Setelah tuannya meninggal, seluruh hartanya, bahkan anak perempuannya,
Annelies, harus diserahkan ke ahli waris Herman Mellema, berdasarkan keputusan
pengadilan di Amsterdam.
Demikian pun Bunda, ibu Minke. Dengan cara elegan Bunda memainkan
peran agen-ganda antar Minke dan ayahnya, seorang bupati di kota B, yang
gandrung jabatan dan silau oleh kekuasaan. Diperingatkannya Minke agar tahu
memberi sembah kepada ayahnya, sementara dipihak lain dia dapat menerima
bahwa anaknya menjadi bupati dan ingin jadi manusia merdeka selama dia tetap
menjadi “kedasih yang bersambut”.
Perempaun lain adalah Ang San Mei,seorang gadis Tionghoa. Dia belajar
pada sebuah sekolah menengah Katolik di Sanghai, ikut pergerakan kaum muda di
Cina untuk menggulingkan kaisarina Ye Si, dan mengalami persekusi oleh kaum tua
yang ingin mempertahankan politik tradisional. Mei meninggalkan Cina dan pergi
ke selatan. Di Batavia di bekerja (dan menyamar) sebagai guru bahasa Inggeris.
Minke menikah untuk kedua kali dengan Mei dalam suatu perkawinan yang aneh.
Hidup bersama selama lima tahun, kesempatan berkumpul sangat jarang, karena
tiap malam Mei-dengan izin suaminya-meninggalkan rumah untuk untuk mengatur
gerakan kaum muda bersama kawan-kawannya yang ada di Batavia, sedangkan
Minke sendiri cukup sibuk dengan kuliahnya di Stovia. Kesehatan Mei melorot. Dia
jatuh sakit dan meninggal dalam kesunyian setelah dirawat dua bulan di rumah
sakit. Mei adalah representasi perjuangan melawan acient regimedan memberi
romantika yang indah kepada jejak langkah, yang sarat dengan gerakan politik.
Sepeninggal Mei, Minke berkenalan dengan seorang gadis cantik berdarah
biru, dari latar belakang Indonesia Timur. Gadis Maluku ini bernama Prinsec van
Kasiruta, dibuang bersama ayahnya di daerah Priangan, karena gerakan politik. Dia
berpendidikan MULO, mahir berbahasa Belanda, dapat berbahasa Melayu dan
sedikit Sunda dan karena itu diminta menjadi pembantu redaksi Medan yang
dipimpin Minke. Sang pemimpin redaksi, Minke, kemudian meminang Prinses pada
bapaknya, Tuan Raja, dalam pengasingan, dan mereka menikah. Dibesarkan dalam
keluarga pergerakan, prinses ternyata pandai menunggang kuda dan menggunakan
senjata api berkat latihan sejak kecil. Dia menjadi pembela Minke terhadap
musuh-musuh politiknya yang selalu mengancamnya secara fisik. Dalam suatu
serangan diam-diam terhadap Minke, Prinses, yang menyamar tanpa diketahui
suaminya, menghadapi seorang diri anggota geng tersebut, menembak tiga
diantaranya, dua mati seketika, dan seorang dapat diselamatkan di rumah sakit.
Sebagai seorang terpelajar, dia tetap mempertahankan etos perempuna Kasiruta:
“Dia akan membunuh pendurhaka suami yang dicintainya.“ Karena “yang
diketahuinya hanya suamiku....” dan “yang ada hanya suamiku”. Bercinta baginya,
adalah saling melindungi. Apakah disini pengarang telah bergulat dengan masalah
gender equality bahkan jauh sebelum istilah itu muncul dalam wacana kaum
Feminis?
Lalu Piah, pembantu rumah tangga yang melayani Minke dan Prinses. Diluar
pengetahuan Minke, Prinses telah memberikannya pendidikan politik. Ketika Minke
dibuang ke luar Jawa tanpa dapat ditemani oleh isterinya (karena dilarang
pemerintah), Piah dimintanya bersumpah setia untuk Prinses. Jawaban Piah sangat
menggetarkan perasaan: “Sampai hati juragan menuntut sumpah dari sahaya,
sumpah untuk tuan sahaya sumpah untuk pemimpin sahaya ? tidakkah cukup saya
sebagai anggota syarikat?” ketika Minke mengucapkan selamat tinggal dan
menitipkan Prinses, jaminan Piah adalah: “Juragan tetap di hati kami.” Perempuan
desa ini memrepresentasikan orang kecil berjiwa besar.
Perempuan yang paling berhasil tentulah Siti Soendari, anak teman sekolah
Minke, yang tinggal di Pemalang. Ditinggal mati oleh ibu, Siti Soendari dibesarkan
oleh ayahnya dalam suasana terpaelajar. Selepas sekolah, Soendari memilih
menjadi perempuan merdeka yang bekerja untuk cita-citanya. Dengan sopan tetapi
teguh dia menapik setiap bujukan ayahnya yang dipaksa oleh Belanda. Agar segera
menikahkan anaknya. Dia berhasil mengatsi rasa takut kepada ayahnya demi
mempertahankan cita-citanya, suatu hal yang masih tak dapat diwujudkanoleh
R.A. Kartini sebelumnya. Kalau dia hidup tahun1990-an tentulah Soendari juga
akan mengucap: Women’s right: Human right.
Sebaliknya, tokoh lelaki dalam roman-roman Pulau Buru adalah tawanan
kekuatan sejarah. Bagi mereka sejarah menjadi captive history, yang membawa
mereka turun naik bersama aluan gelombang.
Sastrotomo adalah prototip pribumi pegawai kolonial yang melihat jabatan
sebagai tujuan hidup. Dia bersedia merendahkan diri, mempertaruhkan keluarga
dan menjual anak perempuannya sendiri untuk membayar kenaikan pangkat
sebagai juru bayar di pabrik gula. Anak gadisnya, Sunikem, diserahkan ke
administratur Herman Mellema, yang kemudian menjadi pemilik perkebunan
Boerderij Buitenzorg, tempat Sunikem mendapatkan namanya Nyai Ontosoroh.
Kisah yang sama berulang pada anak laki-laki Sastrotomo bernama Sastro
Kassier, pemegang kas di pabrik gula Tulangan. Dia juag ahrus menyerahkan anak
perempuannya, Surati, kepada pengusaha pabrik gula yang baru, Frits Homerus
Vlekkenbaaij, yang oleh penduduk setempat di panggil Tuan Plikemboh.
Tipe laki-laki lainya adalah si Darsam dan Trunadongso, dua pendekar yang
sealu siap mati untuk tanah majikan dan tanahnya sendiri. Sayangnya, mereka
tidak menyadaribahwa senjata parang yang mereka banggakan tak dapat
menghadapai kekuatan politik yang tak mereka pahami, tetapi yang akibatnya
mereka rasakan setiap hari. Demikian pula Marko, yang dengan semangat berkobar
berkerja untuk Medan, terlalu sedikit pengetahuan politiknya, sehingga
menurunkan berita yang dianggap menghina Gubernur Jendral. Akibatnya Minke
sebagia peminpin Redaksi Medan harus menjalani hukumanpembuangan ke luar
Pulau Jawa.