MENDENGARKAN SUARA
DARI DASAR LAUT
Sebuah Proses Kreatif
LEILA S. CHUDORI
FESTIVAL LITERASI UHAMKA JILID VII (FLU)
HIMA PBSI FKIP UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF. DR. HAMKA
“Yang penting kita ingat setiap
langkahmu, langkah kita,
apakah terlihat atau tidak,
apakah terasa atau tidak,
adalah sebuah kontribusi, Laut.
Mungkin saja kita keluar dari
rezim ini 10 tahun lagi, atau 20
tahun lagi. Tapi apapun yang
kamu alami di Blangguan dan
Bungurasih adalah sebuah
langkah. Sebuah baris dalam
puisimu. Sebuah kalimat
pertama dalam cerita
pendekmu.”
(Kasih Kinanti kepada Biru Laut, "Laut
Bercerita")
Ucapan Kinan kepada Biru
Laut ini adalah salah satu
nyala api pada jiwa seorang
muda yang tengah gelisah.
Saat itu Indonesia di bawah
Orde Baru tengah dalam gelap
menuju kelam. Pada saat para
aktivis dan mahasiswa diburu,
ditangkap dan disiksa, Kinan
sebagai salah satu pimpinan
lantas mencoba tetap
menghidupkan nyala di dalam
jiwa kawan-kawannya.
Kehidupan Biru Laut, Kinan, Arifin Bramantyo, Sunu Dyantoro, Sang
Penyair, Alex Perazon, Daniel Tumbuan dan seluruh aktivis Winatra dan
Wirasena tidak lahir dari ruang vakum. Mereka semua terinspirasi dari
orang nyata dan peristiwa nyata, meski keseluruhan plot tetap sebuah
fiksi. Ini semua saya putuskan karena satu hal: Jika sejarah (untuk
sementara) tak mampu mencatat kisah kemanusiaan di balik tragedi 1965
maupun 1998, maka sastralah yang akan ‘bertugas’ menyangga beban itu.
Maka sayapun memutuskan untuk mendengarkan sebuah kisah dari dasar
Laut:
Sebelum saya masuk UNSUR Sejarah dalam Novel “Laut Bercerita”, saya
perlu sekilas memberikan gambaran umum represi di jaman Orba yang
menjadi latar belakang novel “Pulang” (2012) dan “Laut Bercerita (2017):
@leilaschudori
@lautbercerita/@leilachudori