Anda di halaman 1dari 3

Nama : * Direktur Yayasan Obor Indonesia

Mochtar Lubis
Pendidikan :
Tempat/Tgl. Lahir : * HIS di Sungai Penuh
Padang, 7 Maret 1922
* Organisasi :
Agama : Islam * Press Foundation of Asia

Isteri: Penghargaan :
Halimah, 77 tahun, tutup usia pada 27 * Magsaysay Award untuk jurnalistik dan
Agustus 2001 kesusastraan

Karir : Novel :
* Sastrawan * Harimau, Harimau!, Senja di Jakarta, Jalan
* Wartawan KBN Antara Tak Ada Ujung, Berkelana Dalam Rimba.
* Pemred Harian Indonesia Raya
* Pendiri majalah sastra Horison * Alamat : Jakarta
Mochtar Lubis,
Pahlawan di Pentas Jurnalistik

Pemred mantan Harian Indonesia Raya ini pernah dipenjara karena karya-karya jurnalistiknya.
Wartawan senior ini lahir di Padang, Sumatera Barat, 7 Maret 1922. Setelah tamat sekolah dasar
berbahasa Belanda HIS di Sungai Penuh, dia melanjutkan pelajaran di sekolah ekonomi
partikelir di Kayutanam. Pendidikan formalnya tidak sampai pada taraf AMS atau HBS.

Namun, putera Pandapotan Lubis, pegawai Pangreh Praja atau binnenlands bestuur (BB)
pemerintah kolonial Hindia Belanda yang ketika pensiun pertengahan 1930-an menjabat sebagai
Demang atau Kepala Daerah Kerinci, ini sempat menjadi guru sekolah di Pulau Nias, sebelum
datang ke Jakarta. Ia memang seorang otodidak tulen.

Pada zaman Jepang, ia bekerja sebagai anggota tim yang memonitor siaran radio Sekutu di luar
negeri. Berita yang didengar lalu dituliskan dalam laporan untuk disampaikan kepada
Gunseikanbu, kantor pemerintah bala tentara Dai Nippon. Demi sekuriti dan agar berita radio itu
tidak tersebar ke dalam masyarakat, tim monitor tinggal terpisah dalam kompleks perumahan di
Jalan Timor, di belakang hotel milik Jepang, di Jalan Thamrin sekarang. Dalam tim itu terdapat
Dr. Janssen mantan pegawai Algemene Secretarie di Bogor yang paham bahasa Jepang, J.H.
Ritman mantan Pemred Harian Bataviaasche Nieuwsblad, Thambu mantan wartawan Ceylon
yang melarikan diri dari Singapura setelah kota itu jatuh ke tangan Jepang dan Mochtar Lubis.
Pada masa itulah, akhir 1944, Lubis menikah dengan gadis Sunda, Halimah, yang bekerja di
Sekretariat Redaksi Harian Asia Raja. (Halimah meninggal pada usia 77 tahun, 27 Agustus
2001).

Setelah proklamasi kemerdekaan dan kantor berita Antara yang didirikan tahun 1937 oleh Adam
Malik dkk muncul kembali. Mochtar Lubis bergabung dengan Antara. Karena paham bahasa
Inggris secara aktif, ia menjadi penghubung dengan para koresponden asing yang mulai
berdatangan ke Jawa untuk meliput kisah Revolusi Indonesia. Sosoknya yang tinggi 1.85 meter
merupakan pemandangan familier di tengah war correspondents yang bule-bule. Menjelang
penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada Republik Indonesia Serikat (RIS) 27 Desember
1949, ia bersama Hasjim Mahdan mendapat ide untuk memulai surat kabar baru. Maka lahirlah
harian Indonesia Raya. Mochtar Lubis sebagai pemrednya. Ketika pertengahan 1950 pecah
Perang Korea, Lubis pergi meliput pertempuran di Korea Selatan. Lalu ia pun terkenal sebagai
koresponden perang. Pada parohan pertama dasawarsa 1950, ketika di zaman liberal, demokrasi
parlementer, sangat dominan adanya personal journalism. Maka, Moctar Lubis adalah identik
dengan Indonesia Raya, begitu pula sebaliknya. Surat kabar dikenal oleh yang memimpinnya:
B.M. Diah di Merdeka, S Tasrif di Abadi, Rosihan Anwar di Pedoman.

Sebelum dikenai tahanan rumah pada 1957 dan tahanan penjara selama sembilan tahun sampai
1966, menurut penuturan H. Rosihan Anwar, Mochtar Lubis membikin masyarakat gempar
dengan beberapa cerita/berita, yang disebut "affair". Pertama, affair pelecehan seksual yang
dialami Nyonya Yanti Sulaiman, ahli purbakala, pegawai Bagian Kebudayaan Kementerian P &
K. Bosnya di bagian itu bernama Sudarsono tidak saja berusaha merayu, melainkan juga
mengeluarkan kata-kata seks serba "serem".
Tidak saja Indonesia Raya, melainkan juga Pedoman berhari-hari menyiarkan cerita asyik
tentang sang Don Juan Sudarsono. Kedua, affair Hartini ketika terungkap hubungan Presiden
Soekarno dengan seorang wanita di Salatiga yang mengakibatkan Nyonya Fatmawati berang dan
kemudian meninggalkan istana.

Ketiga, affair Roeslan Abdulgani. Pada 13 Agustus 1956, CPM menangkap mantan Menteri
Penerangan dalam kabinet Burhanuddin Harahap, Syamsudin Sutan Makmur, dan Direktur
Percetakan Negara, Pieter de Queljoe, karena urusan korupsi yang melibatkan Lie Hok Thay
yang lebih dulu ditahan. Hok Thay mengaku memberikan uang satu setengah juta rupiah kepada
Roeslan Abdulgani yang berasal dari ongkos mencetak kartu suara pemilu. Akibatnya, Roeslan
yang telah menjadi Menteri Luar Negeri dalam kabinet Ali Sastroamidjojo hendak ditahan oleh
CPM dua jam sebelum keberangkatannya tanggal 14 Agustus ke London untuk menghadiri
konferensi internasional mengenai Terusan Suez. Presiden Mesir Nasser baru saja
menasionalisasikan Suez. Berkat intervensi PM Ali dan Kepala Staf Nasution, penangkapan
dibatalkan, dan Roeslan bisa berangkat ke luar negeri.

Dapat dimengerti apabila Presiden Soekarno yang tengah mewujudkan konsep politiknya --kelak
menjelma sebagai demokrasi terpimpin Orde Lama-- marah-marah terhadap Lubis dan Indonesia
Raya. Kolonel A.H. Nasution menjadi sekutu terpercaya Soekarno. Di musim gugur 1956,
International Press Institute menyelenggarakan pertemuan para editor Indonesia dan editor
Belanda di Zurich, Swiss, untuk mendiskusikan hubungan kedua negara. Sehari sebelum
keberangkatan para editor, Mochtar dan Rosihan Anwar diinterogasi oleh CPM selama delapan
jam di markasnya mengenai "sesuatu pemberitaan". Mereka diminta untuk stand by terus, namun
tidak mereka indahkan.
Keesokan harinya, Mochtar dan Rosihan Anwar serta Diah, Tasrif, Wonohito, Adam Malik naik
pesawat KLM dari Kemayoran. Lebih dari sebulan mereka berada di luar negeri menunggu
situasi aman di Tanah Air. Kemudian mereka kembali dan di bandara diberitahu, mereka tidak
akan ditangkap oleh Jaksa Agung. Rosihan Anwar memang tidak diapa-apakan, tetapi Mochtar
tidak lama kemudian dikenai tahanan rumah. Ia mencoba memimpin Indonesia Raya dari rumah,
tapi makin hari makin sulit situasinya. Pada 1961, ia dipindahkan ke penjara Madiun dan di sana
ditahan bersama mantan PM Sjahrir, Mohammad Roem, Anak Agung Gde Agung, Sultan
Hamid, Soebadio Sastrosatomo dan lain-lain. Keadaan di Tanah Air kacau. Peristiwa PRRI-
Permesta menggoyahkan stabilitas. Kebebasan pers sirna. Indonesia Raya, Pedoman, Abadi
dilarang terbit oleh Soekarno-Nasution.

Selain sebagai wartawan, Mochtar Lubis juga dikenal sebagai sastrawan. Ia pandai pula melukis
dan membuat patung dari keramik. Mulanya dia menulis cerpen dengan menampilkan tokoh
karikatural si Djamal. Kemudian dia bergerak di bidang penulisan novel. Di antara novelnya
dapat disebut: Harimau, Harimau!, Senja di Jakarta, Jalan Tak Ada Ujung, Berkelana Dalam
Rimba. Dia memperoleh Magsaysay Award untuk jurnalistik dan kesusastraan.
Setelah tahun 1968 Indonesia Raya diizinkan terbit kembali, Lubis melancarkan "perang
salibnya" terhadap korupsi di Pertamina. Bos perusahaan negara itu, Letnan Jenderal Ibnu
Soetowo, disorot dengan tajam, namun sia-sia belaka. Ibnu boleh mundur sebagai Direktur
Utama Pertamina, akan tetapi posisinya tetap kokoh dan harta yang dikumpulkannya tidak
dijamah. Mochtar lubis memang menjadi pahlawan di pentas jurnalistik, itulah yang amat
disukainya. Apakah soalnya menyangkut pencemaran lingkungan hidup atau pelanggaran hak-
hak asasi manusia (HAM), bisa dijamin ia ada di sana sebagai pembela perjuangan untuk yang
benar dan adil. "Hero-complex"-nya menjadi motor pendorong dan motivasi penting dalam
tindak-tanduknya.
Ketika terjadi peristiwa Malari Januari 1974 dan para mahasiswa beraksi mendemo PM Tanaka
dari Jepang, kebakaran terjadi di Pasar Senen, disulut oleh anak buah Ali Moertopo, Presiden
Soeharto jadi gelagapan. Ia instruksikan membredel sejumlah surat kabar, di antaranya Indonesia
Raya, Pedoman, dan Abadi. Lubis sendiri ditahan selama dua bulan. Setelah bebas lagi bergerak,
Mochtar banyak aktif di pelbagai organisasi jurnalistik luar negeri seperti Press Foundation of
Asia. Di dalam negeri, dia mendirikan majalah sastra Horison dan menjadi Direktur Yayasan
Obor Indonesia yang berprestasi menerbitkan buku-buku bermutu, baik yang dari luar negeri
maupun domestik. Usaha penerbitan itu bisa tinggal landas lantaran yayasan ini memperoleh
dana dari luar, seperti Ivan Kats dari Asia Foundation. Sesungguhnya, salah satu ciri khas
Mochtar Lubis ialah PR (public relations) yang kuat, keluwesan bergaul, antusiasme terhadap
sesuatu cause seperti ekologi, demokrasi, keadilan, dan hukum. Pintu yang diketoknya menjadi
terbuka dan soal pendanaan tak jadi masalah.

Pada saat acara HUT ke-80 Mochtar Lubis, 9 Maret 2002 lalu, seorang pembicara dari LIPI,
yaitu Dr. Mochtar Pabottinggi, menamakan Mochtar sebagai "person of character", insan nan
berwatak. Di negeri kita sekarang, makin langka "person of character" itu. Bung Hatta di zaman
Pendidikan Nasional Indonesia awal 1930-an suka menyerukan agar tampillah manusia-manusia
yang punya karakter. Ibu Pertiwi tetap mengharapkan dan memerlukan banyak "person of
character". Maka, tutur wartawan senior H. Rosihan Anwar, dalam kolomnya di Majalah Gatra
Nomor 17 Tahun ke VIII, 11 Maret 2002, yang menjadi sumber artikel ini: "Dalam cahaya, kita
menghormati wartawan Mochtar Lubis yang sudah sepuh. Sudah saatnya dia dianugerahi tanda
kehormatan Bintang Mahaputra oleh Presiden RI."(Tokoh Indonesia, dari berbagai sumber

Anda mungkin juga menyukai