Anda di halaman 1dari 4

A.

Kohar Ibrahim: Joebaar Ajoeb Sang Sekretaris Umum Lekra

Hidup Mati Penulis & Karyanya (23) :

SEKIAN belas tahun lalu, 10 Desember 1991, aku menerima sepucuk Surat Cinta Pertama dari
seorang lelaki yang semakin tua semakin menjadi dan amat aku hormat-hargai: Joebaar Ajoeb.
Pasalnya, memang sudah sejak lebih dari seperempat abad kami saling mengenal, sekalipun
beda usia – aku yunior dia yang senior – hubungan kemanusiaan kami sangat sehat dan segar.
Karena selain Ajoeb juga seperti budayawan dan seniman serta satrawan lainnya yang senior,
namun memiliki sifat pengemongannya yang sama terhadap kami, kaum muda alias sang
pemula.

Padahal, ketika baru pertama kali aku mengenalnya, namanya sudah tergolong budayawan
kondang, di berbagai lembaga sudah berkedudukan tinggi dan di organisasi kebudayaan yang
aku masuki malah sebagai orang pertama.. Sebagai Sekretaris Umum Lekra. Begitupun tiada
kepongahan yang terkesankan darinya. Kalau dia lagi mengritik, kritiknya mengena tapi tak
menyakitkan malah menyembuhkan. Kalau dia lgi memuji bukannya taktik trik Dale Carnegie
yang diterapkan. Dalam hal ini, gaya Ajoeb memang beda dengan gaya yang juga sahabatnya :
Sobron Aidit. Gaya « ngemong »nya dengan keramah-tamahan-nya kembali aku rasakan, ketika
terjalin kembali komunikasi yang sekian lama terpaksa putus lantaran situasi obyektifnya.

Terus terang saja, aku bisa memahami pandangannya yang kritis akan situasi yang kami hadapi
pada masa itu. Situasi keterberaian yang rupanya pun terjadi di mana-mana, di luar maupun di
dalam penjara atau tanah buangan. Semata-mata karena untuk mengambil sikap-pendirian yang
tepat di dalam situsai yang penting namun genting, memang tidaklah gampang segampang yang
biasanya dibayangkan orang. Dalam situasi kegelap-pengapan dan bahaya maut Teror Putih
bersimerajalela, orang memang seringkali dihadapkan pada persoalan hidup atau mati ; pasrah,
menyerah-kalah atau teguh setia di jalan perjuangan dengan segala konsekwensinya. Iya,
memang iya : di hadapan sinisme kekuasaan yang arogan, setiap orang mau tak mau mengalami
ujian – langsung ataukah tak langsung, dalam berbagai macam atau variasinya.

Justeru, dalam menghadapi situasi dan kondisi penting lagi genting bahkan amat memprihatinkan
itulah, kami – aku dan beberapa teman lainnya – mengupayakan adanya jalinan bak rumbai-
rumai seperti yang dilukiskan oleh penyair Perancis Arthur Rimbaud. Kongkretnya : dengan
meng-ada-kan sarana penerbitan seperti Kreasi dan Arena itu. Dan justeri, dalam kaitan inilah
persisnya, Ajoeb dalam suratnya itu memberikan kesan sekaligus pesannya. Yang menurut
hematku, layak menjadi perhatian dan dijadikan bahan renungan. Bukan saja pada saat itu, pun
saat kekinian dan bahkan mendatang. Karena, meskipun ringkas namun bernas. Karena, ada
butir-butir katanya yang sarat kedalaman dan keluasan makna wacananya.

Untuk itu, maka aku turunkan kembali sepenuhnya, sebagaimana adanaya.

Jakarta, 10 Desember ’91.

Ya Kohar,

Saya ada mendengar yang Kau sangat terlibat dengan penerbitan-penerbitan itu. Tapi tak
seorangpun yang dapat memberi alamat Bung pada saya. Termasuk Putu. Seandainya saya
tahu, tentu saya tak segan-segan memintanya. Sekarang saya menunggu dengan harap kiriman
Bung.
Kohar,
Barangkali dan sebaiknya, kita harus senantiasa belajar memanfaatkan keadaan kita sekarang
ini. Atau keadaan kita, kapan saja. Situasi apapun dan kapanpun tidak selalu baik secara absolut.
Situasi selalu ada baiknya dan ada tidak baiknya. Perpecahan sekalipun dan perpecahan
bagaimanapun, ada baik dan tidak baiknya. Masalah atau pekerjaan kita ialah memihak dan
mendorong maju yang baik. Bersekutu dengannya. Yang baik itupun akan berkembang menjadi
positif dan negatif. Begitulah selalu. Orang seperti Hegel atau Marx barangkali suka
membuntelnya ke dalam “dialektika”. Kita sekarang berada dalam kurun kristalisasi. Ia
berlangsung individual dan harus individual di samping struktural. Lagi pula, untuk sebagian
besar kita, inilah saatnya untuk menunjukkan dan membuktikan bahwa kita memang ingin
menyumbang pada perjuangan besar rakyat kita dan rakyat-rakyat sedunia. Sukarela. Generasi
sebelum kita, juga tidak mudah. Mereka juga berpapasan atau salib menyalib dengan maut,
penjara dan kemiskinan. Mereka juga memulai dengan beberapa orang saja. Organisasi, ia tidak
dibuat dengan mudah dan cepat. Ada banyak prasarana dan sarana yang harus ada sebelum
organisasi itu terwujud. Kemerdekaan, Hak-Hak Azasi, Demokrasi dan lain-lain sejenis itu, tidak
datang sendiri dan tidak pernah datang sendiri. Apalagi sebagai hadiah. Semuanya terdiri dari
bata demi bata yang disusun satu demi satu. Siang dan malam. Banyak sekali orang yang
bekerja untuk itu. Dikenal, terkenal, ataupun tak dikenal dan tak terkenal. Mereka yang tak
terkenal, tak pemimpin, bekerja “tanpa pamrih”. Bekerja karena panggilan hati. Dengan atau
tanpa bigbrother atau oom-oom. Mati satu datang seribu. Merekalah kodrat sejarah itu. Atau,
merekalah yang Sunnatullah itu.

Kohar,
Kau mungkin mafhum mengapa saya mungkin sudah agak bertele-tele atau nyinyir. Ini, karena
saya tidak dan tidak hendak menyembunyikan rasa bangga saya padamu. Walaupun tidak ada
hubungan individual antara Kau dan Aku, semenjak Kau meninggalkan Tanah Air, tapi lamat-
lamat saya mendengar juga keberhasilanmu di sini. Keberhasilanmu di sini, memperkokoh
kebanggaan saya. Harga diri Kita. Kepribadian Kita.

Kohar! Kau tentu sibuk sekali. Tapi saya harap itu kesibukan cendekiawan. Bukan kesibukan
manajer sebuah perusahaan, yang tidak punya waktu membaca surat-surat emosional. Beberapa
bulan berselang saya menerima sebuah majalah orang-orang Filipina di Belanda yang
dibawakan SW. Menarik sekali, karena mereka berpendapat dan berpandangan. Penerbitan
layak pandang. Tapi isinya juga menarik karena mencerminkan diri mereka. Kebetulan Sison
saya kenal pribadi. Maka itu saya sudah pasti sangat menghargai penerbitan teman-teman di
sini. Bagaimanapun ada sesuatu yang barangkali dapat dikembangkan bersama. Sembari
menunggu kirimanmu saya akhiri surat cinta pertama ini.

Dengan Rangkulan
ttd
(Joebaar Ajoeb)

SURAT Joebaar Ajoeb tersebut saya turunkan untuk edisi Majalah Sastra dan Seni KREASI N°
27, Desember 1996. Dalam rangka Hommage atau Mengenangnya. Dengan juga menurunkan
karya tulisnya sendiri berjudul “Orde Baru, Krisis dan LSM”; tulisan Sobron Aidit dan catatan dari
saya sendiri.

“Joebaar Ajoeb lahir pada tanggal 26 Februari 1926 di Bukit Tinggi, Sumatera Barat, telah
meninggal dunia pada tanggal 13 Oktober 1996 di Bandung,” demikian baris pertama catatan
saya berjudul “Mengenang Pekerja Kebudayaan Terkemuka Joebaar Ajoeb”. Seorang pejuang
dan pembina kebudayaan rakyat serta demokrasi ini telah mengalami penghinaan, penindasan
dan penderitaan amat berat di bawah rezim Orde Baru, akhirnya tak berdaya menghadapi
penyakit kangker levernya.
Dibandingkan dengan karya tulisnya yang tak banyak itu, pemikirannya dan aktivitas lainnya
selaku cendekiawan dan pekerja kebudayaan Indonesia cukuplah besar. Maka jika diperhatikan
jejak langkahnya sejak masa muda hingga usia tujuhpuluh tahun, tak bisa disangkal bahwa
Joebaar Ajoeb adalah salah seorang pekerja kebudayaan rakyat Indonesia yang terkemuka.

Joebaar Ajoeb adalah penulis esai, penterjemah dan pengamat kebudayaan. Ia salah seorang
pendiri Lembaga Kebudayaan Rakyat, untuk selanjutnya sejak 1956 menjadi Sekretaris
Umumnya. Tahun 1959, ia diangkat Presiden Sukarno menjadi anggota DPR-GR/MPRS RI,
mewakili kalangan fungsional cendekiawan dan berada dalam Fraksi Golkar. Sebelumnya ia
pernah menjadi Anggota Dewan Pertimbangan Pemuda Dep. P dan K RI, Anggota Dewan
Penasihat Siaran Radio Dep. Penerangan RI, Anggota Dewan Film Dep. Penerangan RI. Ia
pernah salah seorang Sekretariat Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN) di samping
Trisno Sumardjo dan Anas Makruf, yang kemudian bersama Asrul Sani, Henk Ngantung, Rivai
Apin dan Sitor Situmorang, Boejoeng Saleh dan Mochtar Lubis mendirikan Masyarakat Seniman
Jakarta Raya (MSDR).

Ia juga anggota Himpunan Pengarang Asia-Afrika di Indonesia yang diketuai Pramoedya Ananta
Toer dan bersama Sitor Situmorang, memimpin Delegasi Pengarang Indonesia ke Sidang Komite
Eksekutif Himpunan Pengarang Asia-Afrika di Tokio (1961) dan Bali (1962) bersama Utuy Tatang
Sontani, Dodong Djiwapradja dan Rivai Apin. Kemudian giat di Biro Laporan Umum Konferensi
Pengarang Asia-Afrika ke 2, 1963 di Kairo, di samping Wakil Ketua Delegasi Pengarang
Indonesia di konferensi tersebut.

Ia juga menulis drama bersanjak seperti “Siti Jamilah” (sebuah cerita rakyat Minangkabau),
menulis kritik sastra dan esai antara lain “Idrus dan Surabaya”, “Seni Untuk Rakyat” sebuah
polemik dengan penyair Haryadi S. Hartowardoyo dan Putu Shanti di “Gelanggang” majalah
Siasat, “Belenggu Armijn Pane”, “Realisme Kita Dewasa ini”, “Kritik Atas Kumpulan Sajak Nasi
dan Melati” penerbitan LEKRA Surabaya dan lain sebaginya di samping pernah Wakil Pemimpin
Redaksi HR Sport dan Film. Tahun 1990 ia menulis ebuah esai berjudul “Sebuah Mocopat
Kebudayaan Indonesia” dan pada tahun 1992 menulis “Gerhana Seni Rupa Indonesia” serta
yang terakhir adalah “Orde Baru, Krisis dan LSM” (1996).

Sesudah tahun 1980-an ia giat menterjemah. Di antara terjemahan tasawufnya berwujud buku
antara lain adalah “Annal Haq Mansur Al Hallaj” (dikerjakan bersama panyair HR Bandaharo),
“Sufi Martir”, “Filsafat Parsi Moh. Iqbal”. Terjemahan lainnya, “Tentang Yerusalem” (sebuah
tinjauan hukum internasional dan politik). Buku lain yang pernah ia terjemahkan diantaranya,
“Industri dan Perdagangan di Indonesia”, “Aceh di Jaman Jepang”, “Harta Waris Orang
Minangkabau” (sebuah penelitian antropologi hukum), dan perihal peradilan di Minangkabau
“Kepingan Jenjang ke Mufakat”.

Joebaar Ajoeb telah meninggal dunia, tulis saya pada ujung alinea Catatan tersebut dengan
petikan biodatanya dari “GerhanaSenirupa Indonesia”. Namun jejak langkahnya tergores dalam
lembaran sejarah, jasa dan teladannya tak terlupakan oleh mereka yang cerah.

Betapa tidak? Meski dikucilkan dan dihinakan oleh kekuasaan OrBa sekalian budayawan dan
seniman serta pengarang yang masuk dalam kantong sang penguasa, namun dia tetap
mempunyai teman atau sahabat baik dari dalam maupun luarnegeri. Seperti yang dijelas-
tegaskan oleh Sobron Aidit dalam catatannya berjudul “Joebaar Ajoeb” yang saya turunkan untuk
Kreasi nomor 27 itu.

“Mereka ada yang datang dari Jepang, Australia, Amerika Serikat, Perancis, Inggris dan lain-lain
– selaku pakar atau pekerja sosial budaya,” jelas Sobron. “Apakah yang dicari para tamu Ajoeb
itu? Ada teman yang mengatakan bahwa Ajoeb adalah nara-sumber buat bertanya ini dan itu.
Dianggapnya Ajoeb itu adalah musium hidup, banyak tahu dan selalu menjawab pertanyaan. Dan
jawabannya itu bukan asal jawab, tapi sanggaup membantu mencarikan bukti dan penelitian
obyektip. Aku menamakannya Ajoeb itu adalah Gunung dan Teluk. Adat Gunung timbunan awan,
adat teluk timbunan kapal. Gunung itu tempat di mana awan berkumpul di sekitar; dan Teluk
tempat kapal-kapal berlabuh, terhindar dari badai, tempat menambatkan kapal dan perahu,
mencari hal hal yang diperlukan. Itulah Joebaar Ajoeb. Dan ini kulihat, kurasakan sekaligus juga
sebagai pencari sesuatu di dekatnya, di sekitarnya dan darinya sendiri!”

Demikian antara lain kesaksian Sobron Aidit akan apa-siapa dan bagaimana sosok tokoh
budayawan Indonesia yang selain salah seorang pendiri Lekra juga sebagai Sekretaris
Umumnya. Hanya untuk mempertebal keyakinanku akan kebijaksanaannya selaku pimpinan
gerakaan kebudayaan rakyat yang layak dihormat dan diteladani. Karena ke-integritas-annya.
Karena satunya kata dengan perbuatan. *** (15.12.2007)

Anda mungkin juga menyukai