Anda di halaman 1dari 4

Nama: Kristo Anugrah

Kelas/No.Absen: XI MIPA 1/20

Riwayat Hidup A.A Navis

Haji Ali Akbar Navis lahir di Kampung Jawa, Padang


Panjang, 17 November 1924 dan meninggal di Padang,
Sumatra Barat, 22 Maret 2003. Ia adalah seorang
sastrawan dan budayawan terkemuka di Indonesia yang
lebih dikenal dengan nama A.A. Navis. Ia menjadikan
menulis sebagai alat dalam kehidupannya. Karyanya
yang terkenal adalah cerita pendek Robohnya Surau
Kami. Kritik-kritik sosialnya mengalir apa adanya untuk
membangunkan kesadaran setiap pribadi, agar hidup
lebih bermakna

A.A Navis menikahi Aksari Yasin pada tahun 1957. Ia memiliki tujuh orang anak yakni Dini
Akbari, Lusi Berbasari Dedi Andika, Lenggogini, Gemala Ranti, Rinto Amanda, dan Rika
Anggraini, serta 13 cucu. Sepanjang hidupnya, ia telah melahirkan sejumlah karya
monumental dalam lingkup kebudayaan dan kesenian. Ia bahkan telah menjadi guru bagi
banyak sastrawan. Ia seorang sastrawan intelektual yang telah banyak menyampaikan
pemikiran-pemikiran di pentas nasional dan internasional. Ia menulis berbagai hal, walaupun
karya sastralah yang paling banyak digelutinya. Karyanya sudah ratusan, mulai dari cerpen,
novel, puisi, cerita anak-anak, sandiwara radio, esai mengenai masalah sosial budaya, hingga
penulisan otobiografi dan biografi.

“Hal lain yang menghalangi produktivitas ialah pujian kritisi. Pujian itu
bagai menantang saya, agar saya menulis yang nilainya sama dengan apa
yang terbaik telah saya tulis selama ini.”

A.A Navis amat merisaukan pendidikan nasional saat ini. Menurutnya, sistem pendidikan
saat ini memaksa peserta didik untuk hanya menerima, bukan mengemukakan pikiran. Sistem
pendidikan saat ini tidak intensif mengajarkan peserta didik untuk mahir membaca dan
menulis. Akibatnya, terjadi pembodohan terhadap generasi-generasi bangsa. Menurutnya,
model pendidikan sastra atau mengarang di Indonesia sekarang merupakan strategi atau
pembodohan, agar orang tidak kritis. Ia berpendapat bahwa strategi pembodohan ini harus
dilawan dan diperbaiki.

Hal ini tak terlepas dari mental korup para elit bangsa ini. Andai dirinya diberi pilihan alat
kekuasaan, atau menulis dan berbicara, yang dia pilih adalah kekuasaan. Untuk apa? Untuk
menyikat semua koruptor. Walaupun ia sadar bahwa mungkin justru ia yang orang pertama
kali ditembak. Sebab, "semua orang tidak suka ada orang yang menyikat koruptor," katanya
seperti pesimis tentang kekuatan pena untuk memberantas korupsi.

Ia mengaku mulai menulis sejak tahun 1950, namun hasil karyanya baru mendapat perhatian
dari media cetak sekitar 1955. Saat itu ia telah menghasilkan sebanyak 65 karya sastra dalam
berbagai bentuk. Ia telah menulis 22 buku, ditambah lima antologi bersama sastrawan
lainnya, dan delapan antologi luar negeri, serta 106 makalah yang ditulisnya untuk berbagai
kegiatan akademis di dalam maupun di luar negeri dan dihimpun dalam buku Yang Berjalan
Sepanjang Jalan. Novel terbarunya, Saraswati, diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama
pada 2002.

Beberapa karyanya yang amat terkenal adalah:


 Robohnya Surau Kami (1955)
 Bianglala (1963)
 Hujan Panas (1964)
 Kemarau (1967)
 Saraswati
 Si Gadis dalam Sunyi (1970)
 Dermaga dengan Empat Sekoci (1975)
 Di Lintasan Mendung (1983)
 Dialektika Minangkabau (editor, 1983)
 Alam Terkembang Jadi Guru (1984)
 Hujan Panas dan Kabut Musim (1990)
 Cerita Rakyat Sumbar (1994)
 Jodoh (1998)
Sebagai seorang penulis, ia tak pernah merasa tua. Pada usia gaek ia masih saja menulis.
Buku terakhirnya, berjudul Jodoh, diterbitkan oleh Grasindo, Jakarta atas kerjasama Yayasan
Adikarya Ikapi dan The Ford Foundation, sebagai kado ulang tahun pada saat usianya genap
75 tahun. Jodoh berisi sepuluh buah cerpen yang ditulisnya sendiri, yakni Jodoh (cerpen
pemenang pertama sayembara Kincir Emas Radio Nederland Wereldemroep, 1975), Cerita 3
Malam, Kisah Seorang Hero, Cina Buta, Perebutan, Kawin (cerpen pemenang majalah
Femina, 1979), Kisah Seorang Pengantin, Maria, Nora, dan Ibu. Ada yang ditulis tahun 1990-
an, dan ada yang ditulis tahun 1950-an.

Menurutnya menulis bukanlah suatu pekerjaan yang mudah karena memerlukan energi
pemikiran serius dan santai. "Tidak semua gagasan dapat diimplementasikan dalam sebuah
tulisan, dan bahkan kadang-kadang memerlukan waktu 20 tahun untuk melahirkan sebuah
tulisan. Kendati demikian, ada juga tulisan yang dapat diselesaikan dalam waktu sehari saja.
Namun, semua itu harus dilaksanakan dengan tekun tanpa harus putus asa. Saya merasa tidak
pernah tua dalam menulis segala sesuatu termasuk cerpen," katanya dalam suatu diskusi di
Jakarta.

"Soalnya, senjata saya hanya menulis. Bagi saya, menulis adalah salah
satu alat dalam kehidupan saya. Menulis itu alat, bukan pula alat pokok
untuk mencetuskan ideologi saya. Jadi waktu ada mood menulis novel,
menulis novel. Ada mood menulis cerpen, ya menulis cerpen,"

Dalam setiap tulisan, menurutnya, permasalahan yang dijadikan topik pembahasan harus
diketengahkan dengan bahasa menarik dan pemilihan kata selektif, sehingga pembaca tertarik
untuk membacanya. Selain itu, persoalan yang tidak kalah pentingnya bagi seorang penulis
adalah bahwa penulis dan pembaca memiliki pengetahuan yang tidak berbeda. Jadi pembaca
atau calon pembaca yang menjadi sasaran penulis, bukan kelompok orang yang bodoh.

Minat pokok Navis yang menjadi tema-tema karya-karyanya berkisar di seputar masalah
manusia dan kemanusiaan seperti penderitaan, kegetiran, kebahagiaan, dan harapan. Warna
lokal atau kedaerahan Minangkabau yang kuat merupakan sisi lain yang menarik dalam karya
Navis. Melalui karya-karyanya, Navis berhasil menempatkan idiom-idiom lokal
Minangkabau dengan tetap menempatkannya dalam konteks yang lebih luas, yakni persoalan
bangsa dengan konsep yang universal. Misalnya, cerpen "Robohnya Surau Kami",
menampilkan warna Minangkabau yang kental, tetapi persoalan yang diangkatnya adalah
persoalan agama dan fungsi ulama yang kian terpinggir dalam masyarakat modern. Di
samping itu, Navis juga banyak menggunakan kata dan rasa bahasa yang sangat kental oleh
budaya Minangkabau.

Hal lain yang patut dikemukakan dari karya-karya Navis adalah adanya dialog-dialog yang
tampil menarik, latar sosial yang digarap secara meyakinkan, dan berbagai masalah orang
Minang yang merupakan suatu hal yang dianggap penting. Hal tersebut dipandang penting
karena mencuatkan pergulatan hidup-mati antara struktur sosial yang umum berlaku dan
tuntutan kuat akan perubahan pada kehidupan masyarakat Minang itu sendiri. Hal itu tampak
sangat jelas dalam ajakannya untuk berusaha keras dalam memenuhi kebutuhan hidup,
penggunaan akal dan ilmu pengetahuan dalam mengubah nasib, dan meningkatkan taraf
kehidupan. Semua itu dapat dilihat dalam novelnya yang berjudul Kemarau. Kekuatan karya
Navis tidak saja terletak pada gaya pengucapannya, tetapi juga tampak pada isi dan
pemaknaannya.

Unsur ekstrinsik cerpen “Robohnya Surau Kami” akan di highlight kuning seperti ini

Anda mungkin juga menyukai