Anda di halaman 1dari 22

Ali Akbar Navis, sang Kepala Pencemooh Siapa yang tidak kenal Ali Akbar Navis atau yang

kerap disapa A.A. Navis? Pasti semua mengenal salah satu sosok terkemuka di kalangan sastrawan Indonesia. Pria kelahiran Kampung Jawa, Padangpanjang, 17 November 1924, ini adalah orang yang asal ceplas-ceplos. Kritik-kritik sosialnya yang pedas mengalir bagaikan air dan jujur apa adanya agar lebih membangkitkan kesadaran setiap pribadi agar hidup lebih bermakna. Yang hitam itu hitam dan yang putih adalah putih. itulah kata yang sering diucapkan olehnya. Tetapi mungkin kata-kata ini sudah jarang kita dengar, karena pencetus kata-kata tersebut telah kembali kepada yang Kuasa pada umur hampir 79 tahun, sekitar pukul 05.00, Sabtu 22 Maret 2003, di Rumah Sakit Yos Sudarso, Padang. Dunia sastra Indonesia kehilangan salah seorang sastrawan besar. Beliau meninggalkan satu orang isteri Aksari Yasin yang dinikahi tahun 1957 dan tujuh orang anak yakni Dini Akbari, Lusi Bebasari, Dedi Andika, Lenggogini, Gemala Ranti, Rinto Amanda, dan Rika Anggraini serta sejumlah 13 cucu. Ia dikebumikan di Taman Pemakaman Umum (TPU) Tunggul Hitam, Padang. Nama pria Minang yang untuk terkenal tidak harus merantau secara fisik, ini menjulang dalam sastra Indonesia sejak cerpennya yang fenomenal Robohnya Surau Kami terpilih menjadi satu dari tiga cerpen terbaik majalah sastra Kisah tahun 1955. Sebuah cerpen yang dinilai sangat berani. Kisah yang menjungkirbalikkan logika awam tentang bagaimana seorang alim justru dimasukkan ke dalam neraka. Karena dengan kealimannya, orang itu melalaikan pekerjaan dunia sehingga tetap menjadi miskin. Yang roboh itu bukan dalam pengertian fisik, tapi tata nilai. beliau menjelaskan tentang makna roboh dalam judul cerpen fenomenalnya. Beliau memang sosok budayawan besar, kreatif, produktif, konsisten dan jujur pada dirinya sendiri. Beliau adalah seorang sastrawan intelektual yang telah banyak menyampaikan pemikiran-pemikiran di pentas nasional dan internasional. Beliau banyak menulis berbagai hal. Walaupun karya sastralah yang paling banyak digelutinya. Karyanya sudah ratusan, mulai dari cerpen, novel, puisi, cerita anak-anak, sandiwara radio, esai mengenai masalah sosial budaya, hingga penulisan otobiografi dan biografi. Sebenarnya beliau mulai menulis karya-karyanya sejak tahun 1950 tetapi buah penanya tersebut baru dicetak pada tahun 1955. Beliau telah menghasilkan sebanyak 65 karya sastra dalam berbagai bentuk. Menulis 22 buku, ditambah lima antologi bersama sastrawan lainnya dan delapan antologi luar negeri serta 106 makalah yang ditulisnya untuk berbagai kegiatan akademis di dalam maupun di luar negeri dan dihimpun dalam buku Yang Berjalan Sepanjang Jalan. Novel terbarunya, Saraswati, diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2002. Beberapa karyanya yang amat terkenal, selain Robohnya Surau Kami (1955) adalah Bianglala (1963), Hujan Panas (1964); Kemarau (1967), Saraswati, si Gadis dalam Sunyi, (1970), Dermaga dengan Empat Sekoci, (1975), Di Lintasan Mendung (1983), Dialektika Minangkabau (editor 1983), Alam Terkembang Jadi Guru (1984), Hujan Panas dan Kabut Musim (1990), Cerita Rakyat Sumbar (1994), dan Jodoh (1998).

Beliau adalah penulis yang tidak kenal akan umur. Walaupun usianya sudah tua, beliau masih saja menulis. Buku terakhirnya yang berjudul Jodoh, diterbitkan oleh Grasindo, Jakarta atas kerjasama Yayasan Adikarya Ikapi dan The Ford Foundation, sebagai kado ulang tahun pada saat usianya genap 75 tahun. Cerpenis gaek dari Padang, A.A. Navis pada 17 November 1999 lalu genap berusia 75 tahun. Tidak semua gagasan dan ide dapat diimplementasikan dalam sebuah tulisan, dan bahkan terkadang memerlukan waktu 20 tahun untuk melahirkan sebuah tulisan. Kendati demikian, ada juga tulisan yang dapat diselesaikan dalam waktu sehari saja. Namun, semua itu harus dilaksanakan dengan tekun tanpa harus putus asa. Saya merasa tidak pernah tua dalam menulis segala sesuatu termasuk cerpen, ujarnya dalam sebuah diskusi di Jakarta. Menulis itu sendiri harus dijadikan kebiasaan dan kebutuhan dalam kehidupan.. Mengapa beliau masih terus menerus menulis sepanjang hidup, sampai tua? Karena senjata saya hanya menulis. Menulis itu alat, bukan pula alat pokok untuk mencetuskan ideologi saya. Jawabnya dalam sebuah koran Minggu 7 Desember 1997. Beliau juga menyinggung tentang karya sastra yang baik. Yang terpenting bagi seorang sastrawan, menurutnya, karyanya awet atau tidak? Ada karya yang bagus, tapi seperti kereta api, hanya tinggal sebentar lalu lewat begitu saja. Itu banyak dan di mana-mana terjadi. Beliau sendiri mengaku menulis dengan satu visi, Bukan mencari ketenaran. Perkembangan sastra Indonesia sekarang sedang macet, kalau zaman dahulu, ketika masih duduk dibangku SMP dan SMA pengarang sudah mulai menulis buah penanya. Sekarang saya kira tidak ada karya pengarang yang monumental, tetapi yang aneh banyak. inilah termasuk salah satu ciri dari A.A. Navis yaitu mengeluarkan kritik yang apa adanya demi membangun kesadaran seseorang. Itulah beliau, A.A. Navis sang Kepala Pencemooh.

Sutardji Calzoum Bachri


Adakah yang lebih tobat dibanding airmata adakah yang lebih mengucap dibanding airmata adakah yang lebih hakekat dibanding airmata adakah yang lebih lembut adakah yang lebih dahsyat dibanding airmata. (Ayo, Sutardji Calzoum Bachri, 1998) Itulah salah satu petikan karya dari pria berkelahiran 24 Juni 1943 di Rengat, Indragiri Hulu, Riau. Iya benar,dia adalah Sutardji Calzoum Bachri. Sebenarnya beliau telah menulis cerpen(cerita pendek) dari awal mula kepengarangannya. Tetapi entah mengapa beliau lebih dikenal sebagai penyair. Padahal beliau sudah menulis cerpen cukup banyak,hanya saja beliau tidak memelihara cerpen-cerpen beliau. Cerpen-cerpen tersebut dibiarkan terbengkalai dan tidak dirawat. Tetapi atas kerja keras tim IndonesiaTera,yaitu Dorothea Rosa Herliany dan Amien Wangsitalaja yang hanya bias menemukan dan membukukan sembilan cerpen dari belasan cerpen yang pernah ditulis oleh Sutardji. Sutardji Calzoum Bachri digelari presiden penyair Indonesia. Menurut para seniman di Riau, tempat kelahirannya, kemampuan Soetardji laksana rajawali di langit, paus di laut yang

bergelombang, kucing yang mencabik-cabik dalam dunia sastra Indonesia yang sempat membeku dan membisu setelah Chairil Anwar pergi. Beliau juga sering mengirimkan sajak-sajak dan esainya ke media massa di Jakarta, seperti Sinar Harapan, Kompas, Berita Buana, majalah bulanan Horison, dan Budaya Jaya. Di samping itu, beliau juga rutin mengirimkan sajak-sajaknya ke surat kabar lokal, seperti Pikiran Rakyat di Bandung dan Haluan di Padang. Selain itu beliau juga mengikuti berbagai kegiatan seperti mengikuti International Poetry Reading di Rotterdam, Belanda (1974), dan mengikuti International Writing Program di Universitas Iowa, Iowa City, USA (Oktober 1974April 1975), bersama Kiai Haji Mustofa Bisri dan Taufiq Ismail. Hasil karya-karya yang telah dibuat beliau tidak tertandingi di dunia sastra. Antara lain karyanya adalah O ( Kumpulan Puisi, 1973), Amuk (Kumpulan Puisi, 1977), dan Kapak (Kumpulan Puisi, 1979). Selain itu, puisi-puisinya juga dimuat dalam berbagai antologi, antara lain Arjuna in Meditation (Calcutta, India, 1976), Writing from The Word (USA), Westerly Review (Australia), Dchters in Rotterdam (Rotterdamse Kunststechting, 1975), Ik Wil Nogdulzendjaar Leven, Negh Moderne Indonesische Dichter (1979), Laut Biru, Langit Biru (Jakarta: Pustaka Jaya, 1977), Parade Puisi Indonesia (1990), majalah Tenggara, Journal of Southeast Asean Lietrature 36 dan 37 (1997), dan Horison Sastra Indonesia: Kitab Puisi (2002).Sementara itu, esainya berjudul Gerak Esai dan Ombak Sajak Anno 2001 dan Hujan Kelon dan Puisi 2002 mengantar kumpulan puisi Bentara. Beliau pernah mengunjungi SMA IIBS ini, pakaiannya biasa, tetapi saat dia menyampaikan karyanya dengan menggunakan harmonika yang beliau tiupkan sembari membacakan puisinya, dapat membuat seluruh pengunjung hening dan kagum akan apa yang beliau lakukan di panggung.

Pramoedya Ananta Toer


Pramoedya Ananta Toer lahir di Blora, Jawa Tengah pada tanggal 6 Februari 1925. dia merupakan anak sulung dalam keluarganya. Ayahnya adalah seorang guru, sedangkan ibunya berdagang nasi. Nama asli Pramoedya adalah Pramoedya Ananta Mastoer, sebagaimana yang tertulis dalam koleksi cerita pendek semi-otobiografinya yang berjudul Cerita Dari Blora. Karena nama keluarga Mastoer (nama ayahnya) dirasakan terlalu aristokratik, ia menghilangkan awalan Jawa "Mas" dari nama tersebut dan menggunakan "Toer" sebagai nama keluarganya. Sebagai putra sulung tokoh Institut Boedi Oetomo, Pram kecil malah tidak begitu cemerlang dalam pelajaran di sekolahnya. Tiga kali tak naik kelas di Sekolah Dasar, membuat ayahnya menganggap dirinya sebagai anak bodoh. Akibatnya, setelah lulus Sekolah Dasar yang

dijalaninya di bawah pengajaran keras ayahnya sendiri, sang ayah, Pak Mastoer, menolak mendaftarkannya ke MULO (setingkat SLTP).

Ia pun melanjutkan pendidikan di sekolah telegraf (Radio Vakschool) Surabaya atas biaya ibunya. Biaya pas-pasan selama bersekolah di Surabaya juga hampir membuat Pram gagal di ujian praktik. Ketika itu, tanpa mempunyai peralatan, ia tetap mengikuti ujian tersebut namun dengan cara hanya berpura-pura sibuk di samping murid yang terpandai. Walau begitu, secara umum nilai-nilai Pram cukup baik dan ia pun lulus dari sekolah meski karena meletusnya perang dunia II di Asia, ijazahnya yang dikirim dari Bandung tak pernah ia terima. kemudian bekerja sebagai juru ketik untuk surat kabar Jepang di Jakarta selama pendudukan Jepang di Indonesia. Pada masa kemerdekaan Indonesia, ia mengikuti kelompok militer di Jawa dan kerap ditempatkan di Jakarta pada akhir perang kemerdekaan. Ia menulis cerpen serta buku di sepanjang karier militernya dan ketika dipenjara Belanda di Jakarta pada 1948 dan 1949. Pada 1950-an ia tinggal di Belanda sebagai bagian dari program pertukaran budaya, dan ketika kembali ke Indonesia ia menjadi anggota Lekra, salah satu organisasi sayap kiri di Indonesia. Gaya penulisannya berubah selama masa itu, sebagaimana yang ditunjukkan dalam karyanya Korupsi, fiksi kritik pada pamong praja yang jatuh di atas perangkap korupsi. Hal ini menciptakan friksi antara dia dan pemerintahan Soekarno. Selama masa itu, ia mulai mempelajari penyiksaan terhadap Tionghoa Indonesia, kemudian pada saat yang sama, ia pun mulai berhubungan erat dengan para penulis di Tiongkok. Khususnya, ia menerbitkan rangkaian surat-menyurat dengan penulis Tionghoa yang membicarakan sejarah Tionghoa di Indonesia, berjudul Hoakiau di Indonesia. Ia merupakan kritikus yang tak mengacuhkan pemerintahan Jawa-sentris pada keperluan dan keinginan dari daerah lain di Indonesia, dan secara terkenal mengusulkan bahwa pemerintahan mesti dipindahkan ke luar Jawa. Pada 1960-an ia ditahan pemerintahan Soeharto karena pandangan pro-Komunis Tiongkoknya. Bukunya dilarang dari peredaran, dan ia ditahan tanpa pengadilan di Nusakambangan di lepas pantai Jawa, dan akhirnya di pulau Buru di kawasan timur Indonesia.
Ia dilarang menulis selama masa penahanannya di Pulau Buru, namun tetap mengatur untuk menulis serial karya terkenalnya yang berjudul Bumi Manusia, serial 4 kronik novel semi-fiksi sejarah Indonesia. Tokoh utamanya Minke, bangsawan kecil Jawa, dicerminkan pada pengalaman RM Tirto Adisuryo seorang tokoh pergerakkan pada zaman kolonial yang mendirikan organisasi Sarekat Priyayi dan diakui oleh Pramoedya sebagai organisasi nasional pertama. Jilid pertamanya dibawakan secara oral pada para kawan sepenjaranya, dan sisanya diselundupkan ke luar negeri untuk dikoleksi pengarang Australia dan kemudian diterbitkan dalam bahasa Inggris dan Indonesia. Pramoedya dibebaskan dari tahanan pada 21 Desember 1979 dan mendapatkan surat pembebasan secara hukum tidak bersalah dan tidak terlibat G30S/PKI, tapi masih dikenakan tahanan rumah di Jakarta hingga 1992, serta tahanan kota dan tahanan negara hingga 1999, dan juga wajib lapor satu kali seminggu ke Kodim Jakarta Timur selama kurang lebih 2 tahun. Selama masa itu ia menulis Gadis Pantai, novel semi-fiksi lainnya berdasarkan pengalaman neneknya sendiri. Ia juga menulis Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (1995), otobiografi berdasarkan tulisan yang ditulisnya untuk putrinya namun tak diizinkan untuk dikirimkan, dan Arus Balik (1995). Edisi lengkap Nyanyi Sunyi Seorang Bisu diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Willem Samuels, diterbitkan di Indonesia oleh Hasta Mitra bekerja sama dengan Yayasan Lontar pada 1999 dengan judul The Mute's

Soliloquy: A Memoir Ketika Pramoedya mendapatkan Ramon Magsaysay Award, 1995, diberitakan sebanyak 26 tokoh sastra Indonesia menulis surat 'protes' ke yayasan Ramon Magsaysay. Mereka tidak setuju, Pramoedya yang dituding sebagai "jubir sekaligus algojo Lekra paling galak, menghantam, menggasak, membantai dan mengganyang" pada masa demokrasi terpimpin, tidak pantas diberikan hadiah dan menuntut pencabutan penghargaan yang dianugerahkan kepada Pramoedya. Tetapi beberapa hari kemudian, Taufik Ismail sebagai pemrakarsa, meralat pemberitaan itu. Katanya, bukan menuntut 'pencabutan', tetapi mengingatkan 'siapa Pramoedya itu'. Katanya, banyak orang tidak mengetahui 'reputasi gelap' Pram dulu. Dan pemberian penghargaan Magsaysay dikatakan sebagai suatu kecerobohan. Tetapi di pihak lain, Mochtar Lubis malah mengancam mengembalikan hadiah Magsaysay yang dianugerahkan padanya di tahun 1958, jika Pram tetap akan dianugerahkan hadiah yang sama.

Lubis juga mengatakan, HB Jassin pun akan mengembalikan hadiah Magsaysay yang pernah diterimanya. Tetapi, ternyata dalam pemberitaan berikutnya, HB Jassin malah mengatakan yang lain sama sekali dari pernyataan Mochtar Lubis. Dalam berbagai opini-opininya di media, para penandatangan petisi 26 ini merasa sebagai korban dari keadaan pra-1965. Dan mereka menuntut pertanggungan jawab Pram, untuk mengakui dan meminta maaf akan segala peran 'tidak terpuji' pada 'masa paling gelap bagi kreativitas' pada zaman Demokrasi Terpimpin. Pram, kata Mochtar Lubis, memimpin penindasan sesama seniman yang tak sepaham dengannya. Sementara Pramoedya sendiri menilai segala tulisan dan pidatonya pada masa pra-1965 itu tidak lebih dari 'golongan polemik biasa' yang boleh diikuti siapa saja. Dia menyangkal terlibat dalam pelbagai aksi yang 'kelewat jauh'. Dia juga merasa difitnah, ketika dituduh ikut membakar buku segala. Bahkan dia menyarankan agar perkaranya dibawa ke pengadilan saja jika memang materi cukup. Kalau tidak cukup, bawa ke forum terbuka, katanya, tetapi dengan ketentuan saya boleh menjawab dan membela diri, tambahnya. Semenjak Orde Baru berkuasa, Pramoedya tidak pernah mendapat kebebasan menyuarakan suaranya sendiri, dan telah beberapa kali dirinya diserang dan dikeroyok secara terbuka di koran. Tetapi dalam pemaparan pelukis Joko Pekik, yang juga pernah menjadi tahanan di Pulau Buru, ia menyebut Pramoedya sebagai 'juru-tulis'. Pekerjaan juru-tulis yang dimaksud oleh Joko Pekik adalah Pramoedya mendapat 'pekerjaan' dari petugas Pulau Buru sebagai tukang ketiknya mereka. Bahkan menurut Joko Pekik, nasib Pramoedya lebih baik dari umumnya tahanan yang ada. Statusnya sebagai tokoh seniman yang oleh media disebar-luaskan secara internasional, menjadikan dia hidup dengan fasilitas yang lumayan - apalagi kalau ada tamu dari 'luar' yang datang pasti Pramoedya akan menjadi 'bintangnya'. Pramoedya telah menulis banyak kolom dan artikel pendek yang mengkritik pemerintahan Indonesia terkini. Ia menulis buku Perawan Remaja dalam Cengkraman Militer, dokumentasi yang ditulis dalam gaya menyedihkan para wanita Jawa yang dipaksa menjadi wanita penghibur selama masa pendudukan Jepang. Semuanya dibawa ke Pulau Buru di mana mereka mengalami kekerasan seksual, mengakhiri tinggal di sana daripada kembali ke Jawa. Pramoedya membuat perkenalannya saat ia sendiri

merupakan tahanan politik di Pulau Buru selama masa 1970-an. Banyak dari tulisannya menyentuh tema interaksi antarbudaya; antara Belanda, kerajaan Jawa, orang Jawa secara umum,
dan Tionghoa. Banyak dari tulisannya juga semi-otobiografi, di mana ia menggambar pengalamannya sendiri. Ia terus aktif sebagai penulis dan kolumnis. Ia memperoleh Ramon Magsaysay Award untuk Jurnalisme, Sastra, dan Seni Komunikasi Kreatif 1995. Ia juga telah dipertimbangkan untuk Hadiah Nobel Sastra. Ia juga memenangkan Hadiah Budaya Asia Fukuoka XI 2000 dan pada 2004 Norwegian Authors' Union Award untuk sumbangannya pada sastra dunia. Ia menyelesaikan perjalanan ke Amerika Utara pada 1999 dan memperoleh penghargaan dari Universitas Michigan. Kisah asmara Pram juga tidak lepas dari pengaruh realitas kemiskinan yang bahkan masih jamak menghinggapi kehidupan para penulis dan seniman masa kini. Perkawinan pertamanya berakhir dengan perceraian dan diusirnya Pram dari rumah mertuanya karena hasil yang ia peroleh dari menulis yang belum menentu tak dapat menafkahi keluarganya. Sementara ia masih hidup tak menentu, suatu hari, meski tak memiliki uang sepeser pun, ia mengunjungi sebuah pameran buku pertama di Indonesia dan melihat salah seorang wanita penjaga stan yang menarik perhatiannya. Ia pun nekad datang dan berkenalan dengan wanita yang ternyata bernama Maemunah tersebut. Setiap hari ia berlama-lama menemani Maemunah duduk di stan itu layaknya seorang penjaga. Bahkan sampai ketika Presiden Soekarno juga mengunjungi dan melihat gadisnya tersebut, dengan bercanda ia gambarkan adegan itu sebagai "buaya kedahuluan buaya." Keteguhan dan pendekatannya pun membawa hasil, Maemunah terbukti adalah istri yang selalu tetap setia mendampinginya dalam segala suka duka mereka sampai sekarang. Sampai akhir hayatnya ia aktif menulis, walaupun kesehatannya telah menurun akibat usianya yang lanjut dan kegemarannya merokok. Pada 12 Januari 2006, ia dikabarkan telah dua minggu terbaring sakit di rumahnya di Bojong Gede, Bogor, dan dirawat di rumah sakit. Menurut laporan, Pramoedya menderita diabetes, sesak napas dan jantungnya melemah. Pada 6 Februari 2006 di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, diadakan pameran khusus tentang sampul buku dari karya Pramoedya. Pameran ini sekaligus hadiah ulang tahun ke-81 untuk Pramoedya. Pameran bertajuk Pram, Buku dan Angkatan Muda menghadirkan sampul-sampul buku yang pernah diterbitkan di mancanegara. Ada sekitar 200 buku yang pernah diterjemahkan ke berbagai bahasa dunia. Pada 27 April 2006, Pram sempat tak sadar diri. Pihak keluarga akhirnya memutuskan membawa dia ke RS Sint Carolus hari itu juga. Pram didiagnosis menderita radang paru-paru, penyakit yang selama ini tidak pernah menjangkitinya, ditambah komplikasi ginjal, jantung, dan diabetes. Pram hanya bertahan tiga hari di rumah sakit. Setelah sadar, dia kembali meminta pulang. Meski permintaan itu tidak direstui dokter, Pram bersikeras ingin pulang. Sabtu 29 April, sekitar pukul 19.00, begitu sampai di rumahnya, kondisinya jauh lebih baik. Meski masih kritis, Pram sudah bisa memiringkan badannya dan menggerak-gerakkan tangannya. Kondisinya sempat memburuk lagi pada pukul 20.00. Pram masih dapat tersenyum dan mengepalkan tangan ketika sastrawan Eka Budianta menjenguknya. Pram juga tertawa saat dibisiki para penggemar yang menjenguknya bahwa Soeharto masih hidup. Kondisi Pram memang sempat membaik, lalu kritis lagi. Pram kemudian sempat mencopot selang infus dan menyatakan bahwa dirinya sudah sembuh. Dia lantas meminta disuapi havermut dan meminta rokok. Tapi, tentu saja permintaan tersebut tidak diluluskan keluarga. Mereka hanya menempelkan batang rokok di mulut Pram tanpa menyulutnya. Kondisi tersebut bertahan hingga pukul 22.00.

Setelah itu, beberapa kali dia kembali mengalami masa kritis. Pihak keluarga pun memutuskan menggelar tahlilan untuk mendoakan Pram. Pasang surut kondisi Pram tersebut terus berlangsung hingga pukul 02.00. Saat itu, dia menyatakan agar Tuhan segera menjemputnya. "Dorong saja saya," ujarnya. Namun, teman-teman dan kerabat yang menjaga Pram tak lelah memberi semangat hidup. Rumah Pram yang asri tidak hanya dipenuhi anak, cucu, dan cicitnya. Tapi, teman-teman hingga para penggemarnya ikut menunggui Pram. Kabar meninggalnya Pram sempat tersiar sejak pukul 03.00. Tetangga-tetangga sudah menerima kabar duka tersebut. Namun, pukul 05.00, mereka kembali mendengar bahwa Pram masih hidup. Terakhir, ketika ajal menjemput, Pram sempat mengerang, "Akhiri saja saya. Bakar saya sekarang," katanya. Pada 30 April 2006 pukul 08.55 Pramoedya wafat dalam

usia 81 tahun. Ratusan pelayat tampak memenuhi rumah dan pekarangan Pram di Jalan Multikarya II No 26, Utan Kayu, Jakarta Timur. Pelayat yang hadir antara lain Sitor Situmorang, Erry Riyana Hardjapamekas, Nurul Arifin dan suami, Usman Hamid, Putu Wijaya, Goenawan Mohamad, Gus Solah, Ratna Sarumpaet, Budiman Sujatmiko, serta puluhan aktivis, sastrawan, dan cendekiawan. Hadir juga Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik. Terlihat sejumlah karangan bunga tanda duka, antara lain dari KontraS, Wapres Jusuf Kalla, artis Happy Salma, pengurus DPD PDI Perjuangan, Dewan Kesenian Jakarta, dan lain-lain. Teman-teman Pram yang pernah ditahan di Pulau Buru juga hadir melayat. Temasuk para anak muda fans Pram. Jenazah dimandikan pukul 12.30 WIB, lalu disalatkan. Setelah itu, dibawa keluar rumah untuk dimasukkan ke ambulans yang membawa Pram ke TPU Karet Bivak. Terdengar lagu Internationale dan Darah Juang dinyanyikan di antara pelayat. Penghargaan

Freedom to Write Award dari PEN American Center, AS, 1988 Penghargaan dari The Fund for Free Expression, New York, AS, 1989 Wertheim Award, "for his meritorious services to the struggle for emancipation of Indonesian people", dari The Wertheim Fondation, Leiden, Belanda, 1995 Ramon Magsaysay Award, "for Journalism, Literature, and Creative Arts, in recognation of his illuminating with briliant stories the historical awakening, and modern experience of Indonesian people", dari Ramon Magsaysay Award Foundation, Manila, Filipina, 1995 UNESCO Madanjeet Singh Prize, "in recognition of his outstanding contribution to the promotion of tolerance and non-violence" dari UNESCO, Perancis, 1996 Doctor of Humane Letters, "in recognition of his remarkable imagination and distinguished literary contributions, his example to all who oppose tyranny, and his highly principled struggle for intellectual freedom" dari Universitas Michigan, Madison, AS, 1999 Chancellor's distinguished Honor Award, "for his outstanding literary archievements and for his contributions to ethnic tolerance and global understanding", dari Universitas California, Berkeley, AS, 1999 Chevalier de l'Ordre des Arts et des Letters, dari Le Ministre de la Culture et de la Communication Republique, Paris, Perancis, 1999 New York Foundation for the Arts Award, New York, AS, 2000 Fukuoka Cultural Grand Prize (Hadiah Budaya Asia Fukuoka), Jepang, 2000

The Norwegian Authors Union, 2004 Centenario Pablo Neruda, Chili, 2004

Lain-lain

Anggota Nederland Center, ketika masih di Pulau Buru, 1978 Anggota kehormatan seumur hidup dari International PEN Australia Center, 1982 Anggota kehormatan PEN Center, Swedia, 1982 Anggota kehormatan PEN American Center, AS, 1987 Deutschsweizeriches PEN member, Zentrum, Swiss, 1988 International PEN English Center Award, Inggris, 1992 International PEN Award Association of Writers Zentrum Deutschland, Jerman, 1999

Goenawan Susatyo
Goenawan Susatyo Mohamad merupakan seorang jurnalis dan sastrawan yang kritis dan berwawasan luas. Tanpa lelah, ia memperjuangkan kebebasan berbicara dan berpikir melalui berbagai tulisan dan organisasi yang didirikan-nya. Tulisannya banyak mengangkat tema HAM, agama, demokrasi, korupsi, dan sebagainya. Seminggu sekali menulis kolom "Catatan Pinggir" di Majalah Tempo. Pendiri dan mantan Pemimpin Redaksi Majalah Berita Tempo kelahiran Karangasem Batang, Pekalongan, Jawa Tengah, 29 Juli 1941, ini pada masa mudanya lebih dikenal sebagai seorang penyair. Ia ikut menandatangani Manifesto Kebudayaan 1964 yang mengakibatkannya dilarang menulis di berbagai media umum. Ia juga pernah menjadi Nieman fellow di Universitas Harvard dan menerima penghargaan Louis Lyons Award untuk kategori Consience in Journalism dari Nieman Foundation, 1997. Secara teratur, selain menulis kolom Catatan Pinggir, ia juga menulis kolom untuk harian Mainichi Shimbun (Tokyo). Ia menulis sejak berusia 17 tahun, dan dua tahun kemudian menerjemahkan puisi penyair wanita Amerika, Emily Dickinson. Sejak di kelas VI SD, ia mengaku menyenangi acara puisi siaran RRI. Kemudian, kakaknya yang dokter (Kartono Mohamad, mantan Ketua Umum PB IDI) ketika itu berlangganan majalah Kisah, asuhan H.B. Jassin. "Mbakyu saya juga ada yang menulis, entah di harian apa, di zaman Jepang," tutur Goenawan. Pada 1971, Goenawan bersama rekan-rekannya mendirikan Majalah Mingguan Tempo, sebuah majalah yang mengusung karakter jurnalisme majalah Time. Di sana ia banyak menulis kolom tentang agendaagenda politik di Indonesia. Jiwa kritisnya membawanya untuk mengkritik rezim Soeharto yang pada waktu itu menekan pertumbuhan demokrasi di Indonesia. Tempo dianggap sebagai oposisi yang merugikan kepentingan pemerintah sehingga dihentikan penerbitannya pada 1994. Goenawan Mohamad kemudian mendirikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), asosiasi jurnalis independen pertama di Indonesia. Ia juga turut mendirikan Institut Studi Arus Informasi (ISAI) yang bekerja mendokumentasikan kekerasan terhadap dunia pers Indonesia. ISAI juga memberikan pelatihan bagi para jurnalis tentang bagaimana membuat surat kabar yang profesional dan berbobot. Goenawan juga melakukan reorientasi terhadap majalah mingguan D&R, dari tabloid menjadi majalah politik. Ketika Majalah Tempo kembali terbit setelah Pak Harto diturunkan pada 1998, berbagai perubahan dilakukan seperti perubahan jumlah halaman namun tetap mempertahankan mutunya. Tidak lama kemudian, Tempo memperluas usahanya dengan menerbitkan surat kabar harian bernama Koran Tempo.

Setelah terbit beberapa tahun, Koran Tempo menuai masalah. Pertengahan bulan Mei 2004, Pengadilan Negeri Jakarta Timur menghukum Goenawan Mohamad dan Koran Tempo untuk meminta maaf kepada Tomy Winata, (17/5/2004). Pernyataan Goenawan yang dimuat Koran Tempo pada 12-13 Maret 2003 dinilai telah melakukan pencemaran nama baik bos Arta Graha itu. Goenawan yang biasa dipanggil Goen, mempelajari psikologi di Universitas Indonesia, mempelajari ilmu politik di Belgia dan menjadi Nieman Fellow di Harvard University, Amerika Serikat. Goenawan menikah dengan Widarti Djajadisastra dan memiliki dua anak. Selama kurang lebih 30 tahun menekuni dunia pers, Goenawan menghasilkan berbagai karya yang sudah diterbitkan di antaranya kumpulan puisi dalam Parikesit (1969) dan Interlude (1971), yang diterjemahkan ke bahasa Belanda, Inggris, Jepang, dan Prancis. Sebagian eseinya terhimpun dalam Potret Seorang Penyair Muda Sebagai Si Malin Kundang (1972), Seks, Sastra, dan Kita (1980), dan Catatan Pinggir (1982). Hingga kini, Goenawan Mohamad banyak menghadiri konferensi baik sebagai pembicara, narasumber maupun peserta. Salah satunya, ia mengikuti konferensi yang diadakan di Gedung Putih pada 2001 dimana Bill Clinton dan Madeleine Albright menjadi tuan rumah. Biodata Lengkap Goenawan Susatyo Mohamad Nama:Goenawan Susatyo Mohamad Lahir:Karangasem Batang, Jawa Tengah, 29 Juli 1941 Agama:Islam Istri:Widarti Djajadisastra Anak:2 orang Pendidikan:

SR Negeri Parakan Batang, (1953) SMP Negeri II Pekalongan, (1956) SMA Negeri Pekalongan, (1959) Fakultas Psikologi UI Jakarta, (tidak selesai)

Karya Tulis: 1. Parikesit, (kumpulan puisi, 1973) 2. Potret Seorang Penyair Muda sebagai si Malin Kundang (esei), (Pustaka Jaya, 1974) 3. Interlude, (puisi, 1976) 4. Sex, Sastra, Kita (esei), (Sinar Kasih 1980) 4. Catatan Pinggir, (Grafitipers, 1982)

Penghargaan: 1. Internasional dalam Kebebasan Pers (International Press Freedom Award) oleh Komite Pelindung Jurnalis (Committee to Protect Journalists), (1998)

2. Internasional Editor (International Editor of the Year Award) dari World Press Review, Amerika Serikat, (Mei 1999) 3. Louis Lyons dari Harvard University Amerika Serikat, (1997) 4. Penghargaan Professor Teeuw dari Leiden University Belanda, (1992)

Organisasi dan Karir: 1. Redaktur Harian KAMI, (1969-1970) 2. Redaktur Majalah Horison, (1969-1974) 3. Pemimpin Redaksi Majalah Ekspres, (1970-1971) 4. Pemimpin Redaksi Majalah Swasembada (1985) 5. Pemimpin Redaksi Majalah TEMPO, (1971-sekarang)

Andrea Hirata
Biografi Andrea Hirata - Siapa yang tak kenal dengan Andrea Hirata, sang penulis novel fenomenal Laskar Pelangi? Nama lengkap dari Andrea Hirata adalah Seman Said Harun, lahir di Belitung, 24 Oktober 1982. Andrea Hirata merupakan seorang novelis yang telah merevolusi sastra Indonesia. Ia berasal dari Pulau Belitung, provinsi Bangka Belitung. Biografi Kehidupan Andrea Hirata: Novel pertamanya adalah novel Laskar Pelangi, novel sastra yang paling laris di Indonesia dari tahun 2006 sampai sekarang. Laskar Pelangi dijadikan hadiah ulang tahun, bahan pidato pengukuhan seorang guru besar, tesis dan desertasi, mas kawin mendampingi Al-Quran-kitab suci umat Islam, dijadikan soal ujian nasional Bahasa Indonesia untuk para pelajar Indoensia, dan didiskusikan di mesjid-mesjid, gereja-gereja, dan oleh berbagai macam agama sebagai rujukan toleransi dan bentuk baru kesepahaman antar agama, suku, dan ras. Kemampuan novel Laskar Pelangi untuk memukau anak-anak kecil berusia 7 tahun sampai pada professor-professor universitas berusia 70 tahun, dan menggapai seluruh kalangan baik secara sosial ataupun reliji adalah kemampuan misterius yang dimiliki Andrea Hirata. Novel Laskar Pelangi telah menginspirasi jutaan orang Indonesia dan merupakan novel yang paling banyak pula diadaptasi menjadi berbagai bentuk seni lainnya, seperti film, lagu-lagu, dan drama musikal. Andrea Hirata menghasilkan tetralogi novel, yaitu : Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, Edensor, dan Maryamah Karpov. Selain Tetralogi laskar pelangi, Andrea juga menghasilkan karya lain, yaitu Padang Bulan & Cinta di Dalam Gelas yang terbit tahun 2010. Sebelas Patriot (2011), Laskar Pelangi Song Book (2012). Meskipun studi mayor yang diambil Andrea adalah ekonomi, ia amat menggemari sains--fisika, kimia, biologi, astronomi dan sastra. Andrea lebih mengidentikkan dirinya sebagai seorang akademisi dan backpacker. Sedang mengejar mimpinya yang lain untuk tinggal di Kye Gompa, desa di Himalaya. Andrea mendapat beasiswa program master di Sheffield Hallam University, United Kingdom. Tesis Andrea di bidang ekonomi telekomunikasi mendapat penghargaan dari universitas tersebut dan ia lulus cum laude. Tesis itu telah diadaptasikan ke dalam Bahasa Indonesia dan merupakan buku teori ekonomi telekomunikasi pertama yang ditulis oleh orang Indonesia. Buku itu telah beredar sebagai referensi Ilmiah.

Buya Hamka
Buya Hamka lahir pada tahun 1908 di desa kampung Molek, Meninjau, Sumatera Barat, HAMKA sendiri merupakan singkatan dari nama beliau yakni Haji Abdul Malik Karim Amrullah, Hamka merupakan putra dari Syekh Abdul Karim bin Amrullah, yg juga merupakan ulama di tanah minang, diawali bekerja sebagai guru agama pada tahun 1927 di Perkebunan Tebing Tinggi, Medan dan guru agama di Padang Panjang pada tahun 1929. Hamka kemudian dilantik sebagai dosen di Universitas Islam, Jakarta dan Universitas Muhammadiyah, Padang Panjang dari tahun 1957 hingga tahun 1958. Setelah itu, beliau diangkat menjadi rektor Perguruan Tinggi Islam, Jakarta dan Profesor Universitas Mustopo, Jakarta. Dari tahun 1951 hingga tahun 1960, beliau menjabat sebagai Pegawai Tinggi Agama oleh Menteri Agama Indonesia, tetapi meletakkan jabatan itu ketika Sukarno menyuruhnya memilih antara menjadi pegawai negeri atau bergiat dalam politik Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi). Buya Hamka merupakan sosok otodidak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat. Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi, beliau dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas alAqqad, Mustafa al-Manfaluti, dan Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab juga, beliau meneliti karya sarjana Perancis, Inggris dan Jerman, beliau juga rajin membaca dan bertukar-tukar pikiran dengan tokoh-tokoh terkenal Jakarta seperti HOS Tjokroaminoto, Raden Mas Soerjopranoto, Haji Fachrudin, AR Sutan Mansur, dan Ki Bagus Hadikusumo sambil mengasah bakatnya sehingga menjadi seorang ahli pidato yang andal. Hamka aktif dalam Muhammadiyah, terpilih menjadi ketua Majlis Pimpinan Muhammadiyah di Sumatera Barat oleh Konferensi Muhammadiyah, menggantikan S.Y. Sutan Mangkuto pada tahun 1946. Pada tahun 1953, Hamka dipilih sebagai penasihat pimpinan Pusat Muhammadiah. Pada 26 Juli 1977, Menteri Agama Indonesia, Prof. Dr. Mukti Ali melantik Hamka sebagai ketua umum Majelis Ulama Indonesia tetapi beliau kemudiannya mengundurkan diri pada tahun 1981 karena nasihatnya tidak dipedulikan oleh pemerintah Indonesia. beliau juga wartawan, penulis, editor, dan penerbit. Sejak tahun 1920-an, Hamka menjadi wartawan beberapa buah surat kabar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam, dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928, beliau menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Pada tahun 1932, beliau menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makassar. Hamka juga pernah menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat, dan Gema Islam. Hamka juga menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya kreatif seperti novel dan cerpen. Karya ilmiah terbesarnya ialah Tafsir al-Azhar dan antara novel-novelnya yang mendapat perhatian umum dan menjadi buku teks sastera di Malaysia dan Singapura termasuklah Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di Bawah Lindungan Ka'bah, dan Merantau ke Deli. karya- karya buya HAMKA Khatibul Ummah, Jilid 1-3. Ditulis dalam huruf Arab. Si Sabariah. (1928) Pembela Islam (Tarikh Saidina Abu Bakar Shiddiq),1929. Adat Minangkabau dan agama Islam (1929).

Ringkasan tarikh Ummat Islam (1929). Kepentingan melakukan tabligh (1929). Hikmat Isra' dan Mikraj. Arkanul Islam (1932) di Makassar. Laila Majnun (1932) Balai Pustaka. Majallah 'Tentera' (4 nomor) 1932, di Makassar. Majallah Al-Mahdi (9 nomor) 1932 di Makassar. Mati mengandung malu (Salinan Al-Manfaluthi) 1934. Di Bawah Lindungan Ka'bah (1936) Pedoman Masyarakat,Balai Pustaka. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (1937), Pedoman Masyarakat, Balai Pustaka. Di Dalam Lembah Kehidupan 1939, Pedoman Masyarakat, Balai Pustaka. Merantau ke Deli (1940), Pedoman Masyarakat, Toko Buku Syarkawi. Margaretta Gauthier (terjemahan) 1940. Tuan Direktur 1939. Dijemput mamaknya,1939. Keadilan Ilahy 1939. Tashawwuf Modern 1939. Falsafah Hidup 1939. Lembaga Hidup 1940. Lembaga Budi 1940. Majallah 'SEMANGAT ISLAM' (Zaman Jepang 1943). Majallah 'MENARA' (Terbit di Padang Panjang), sesudah revolusi 1946. Negara Islam (1946). Islam dan Demokrasi,1946. Revolusi Pikiran,1946. Revolusi Agama,1946. Adat Minangkabau menghadapi Revolusi,1946. Dibantingkan ombak masyarakat,1946. Didalam Lembah cita-cita,1946. Sesudah naskah Renville,1947. Pidato Pembelaan Peristiwa Tiga Maret,1947. Menunggu Beduk berbunyi,1949 di Bukittinggi,Sedang Konperansi Meja Bundar. Ayahku,1950 di Jakarta. Mandi Cahaya di Tanah Suci. 1950. Mengembara Dilembah Nyl. 1950. Ditepi Sungai Dajlah. 1950. Kenangan-kenangan hidup 1,autobiografi sejak lahir 1908 sampai pd tahun 1950. Kenangan-kenangan hidup 2. Kenangan-kenangan hidup 3. Kenangan-kenangan hidup 4. Sejarah Ummat Islam Jilid 1,ditulis tahun 1938 diangsur sampai 1950. Sejarah Ummat Islam Jilid 2. Sejarah Ummat Islam Jilid 3. Sejarah Ummat Islam Jilid 4. Pedoman Mubaligh Islam,Cetakan 1 1937 ; Cetakan ke 2 tahun 1950. Pribadi,1950. Agama dan perempuan,1939. Muhammadiyah melalui 3 zaman,1946,di Padang Panjang.

1001 Soal Hidup (Kumpulan karangan dr Pedoman Masyarakat, dibukukan 1950). Pelajaran Agama Islam,1956. Perkembangan Tashawwuf dr abad ke abad,1952. Empat bulan di Amerika,1953 Jilid 1. Empat bulan di Amerika Jilid 2. Pengaruh ajaran Muhammad Abduh di Indonesia (Pidato di Kairo 1958), utk Doktor Honoris Causa. Soal jawab 1960, disalin dari karangan-karangan Majalah GEMA ISLAM. Dari Perbendaharaan Lama, 1963 dicetak oleh M. Arbie, Medan; dan 1982 oleh Pustaka Panjimas, Jakarta. Lembaga Hikmat,1953 oleh Bulan Bintang, Jakarta. Islam dan Kebatinan,1972; Bulan Bintang. Fakta dan Khayal Tuanku Rao, 1970. Sayid Jamaluddin Al-Afhany 1965, Bulan Bintang. Ekspansi Ideologi (Alghazwul Fikri), 1963, Bulan Bintang. Hak Asasi Manusia dipandang dari segi Islam 1968. Falsafah Ideologi Islam 1950(sekembali dr Mekkah). Keadilan Sosial dalam Islam 1950 (sekembali dr Mekkah). Cita-cita kenegaraan dalam ajaran Islam (Kuliah umum) di Universiti Keristan 1970. Studi Islam 1973, diterbitkan oleh Panji Masyarakat. Himpunan Khutbah-khutbah. Urat Tunggang Pancasila. Doa-doa Rasulullah S.A.W,1974. Sejarah Islam di Sumatera. Bohong di Dunia. Muhammadiyah di Minangkabau 1975,(Menyambut Kongres Muhammadiyah di Padang). Pandangan Hidup Muslim,1960. Kedudukan perempuan dalam Islam,1973.

Umar Karyam
Umar Kayam (lahir di Ngawi, Jawa Timur, 30 April 1932 meninggal di Jakarta, 16 Maret 2002 pada umur 69 tahun) adalah seorang sosiolog, novelis, cerpenis, dan budayawan juga seorang guru besar di Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (1988-1997-pensiun). Umar Kayam (dalam konteks percakapan antar teman biasa disapa UK), lulus sarjana muda di Fakultas Pedagogik Universitas Gadjah Mada (1955), meraih M.A. dari Universitas New York, Amerika Serikat (1963), dan meraih Ph.D. dari Universitas Cornell, Amerika Serikat (1965). Ia pernah menjabat Direktur Jenderal Radio, Televisi, dan Film Departemen Penerangan RI (1966-1969), Ketua Dewan Kesenian Jakarta (1969-1972), Diektur Pusat Latihan Ilmu-ilmu Sosial Universitas Hasanudin, Ujungpandang (1975-1976), anggota MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara), dosen Universitas Indonesia, dosen Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta, senior fellow pada East-West Centre, Honolulu, Hawaii, Amerika Serikat (1973), Ketua Dewan Film Nasional (1978-1979), Guru Besar Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, anggota penyantun/penasihat majalah ''Horison'' (mengundurkan diri sejak 1 September 1993), bersama-sama dengan Ali Audah, Arif Budiman, Goenawan Mohamad, Aristides

Katopo, Direktur Pusat Penelitian Kebudayaan Universitas Gadjah Mada (1977-), Ketua Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (1981-) anggota Akademi Jakarta (1988-seumur hidup). [1] Umar Kayam termasuk yang banyak melakukan terobosan dalam banyak bidang kehidupan yang melibatkan dirinya. Ketika menjadi mahasiswa di Universitas Gadjah Mada, ia dikenal sebagai salah seorang pelopor dalam terbentuknya kehidupan teater kampus. Ketika menjadi Dirjen Radio dan Televisi, ia dikenal sebagai tokoh yang membuat kehidupan perfilman menjadi semarak. Sewaktu menjadi Ketua Dewan Kesenian Jakarta (1969-1972), dia mempelopori pertemuan antara kesenian modern dengan kesenian tradisional. Pada saat menjadi dosen di almamaternya, ia mengembangkan studi sosiologis mengenai sastra, memperkenalkan metode grounded dengan pendekatan kultural untuk penelitian sosial, memberikan inspirasi bagi munculnya karya-karya seni kreatif yang baru, baik di bidang sastra, seni rupa, maupun seni pertunjukan, mendirikan pasar seni di kampus, dan sebagainya. [2] Ia juga pernah memerankan Presiden Soekarno, pada film Pengkhianatan G 30 S/PKI. Umar Kayam wafat pada 16 Maret 2002 setelah menderita patah tulang paha pangkal kiri. Umar Kayam meninggalkan seorang istri dan dua anak.

Darto Joned
Biografi Singkat: Darto merupakan seorang penulis naskah yang karirnya dimulai tahun 1971 lewat "Tanah Gersang". Ia juga mendirikan perusahaan yang bernama PT Joned Vidia Sinema. Setamat SMA, ke Akademi Jurnalistik (tak selesai). Kemudian kursus Elementer Sinematografi (1974) dan kursus Penulisan Skenario (1984). Biar sudah main film sejak Tanah Gersang (1971), namun lebih aktif sebagai penulis TV-play dan skenario film. Setelah 1985 lebih sering bikin sinetron, walau tetap menulis skenario untuk film. Pada 90-an mendirikan PT Joned Vidia Sinema, dan menghasilkan Misteri Dalam Misteri (1996) hingga sebanyak 20 episode. Filmografi: Dewi Angin-Angin (1994) Misteri dari Gunung Merapi III (Perempuan Berambut Api) (1990) Jaka Swara (1990) Misteri dari Gunung Merapi II (Titisan Roh Nyai Kembang) (1990) Gerbang Keadilan (1989) Gerbang Keadilan (1989) Misteri dari Gunung Merapi (Penghuni Rumah Tua) (1989) Pembalasan Setan Karang Bolong (1989) Permainan di Balik Tirai (1988) Dalam Pelukan Dosa (1984) Gadis Berwajah Seribu (1984) Seandainya Aku Boleh Memilih (1984) Si Buta Lawan Jaka Sembung (1983)

Sebagai Scriptwriter Sebagai Scriptwriter Sebagai Scriptwriter Sebagai Scriptwriter Sebagai Director Sebagai Scriptwriter Sebagai Scriptwriter Sebagai Scriptwriter Sebagai Scriptwriter Sebagai Scriptwriter Sebagai Scriptwriter Sebagai Scriptwriter Sebagai Scriptwriter

Nyi Blorong (1982) Sundel Bolong (1981) Pendekar Kelelawar (1978) Direktris Muda (1977) Dua Pendekar Pembelah Langit (1977) Hujan Duit (1977) Macan Terbang (1977) Papa (1977) Selimut Cinta (1977) Rajawali Sakti (1976) Tanah Harapan (1976) Tanah Harapan (1976) Cinta Rahasia (1976) Marabunta (1973) Tanah Gersang (1971)

Sebagai Scriptwriter Sebagai Scriptwriter Sebagai Scriptwriter Sebagai Scriptwriter Sebagai Scriptwriter Sebagai Scriptwriter Sebagai Scriptwriter Sebagai Scriptwriter Sebagai Director Sebagai Scriptwriter Sebagai Cast Sebagai Scriptwriter Sebagai Scriptwriter Sebagai Scriptwriter Sebagai Cast

HB Jassin
Sebagai tokoh yang berpengaruh dalam dunia sastra Indonesia salah satunya H.B. Jassin. Mungkin banyak rakyat Indionesia tidak mengenalnya. Padahal besar sekali pengaruh dan jasa beliau untuk dunia sastra Indonesia. Agar kita lebih mengenal sosok beliau, berikut adalah Biografi H.B Jassin dan sejumlah buku karyanya. A. Riwayat Hidup Bague Jassin lahir pada tanggal 13 juli 1917 di Gorontalo. Ia menyelesaikan pendidikan dasar di HIS Balikpapan. Beberapa waktu kemudian, keluarganya pindah ke Pangkalan Brandan. Di kota kecil ini, Jassin melanjutkan pendidikan dengan bersekolah di HBS Pangkalan Brandan. Setamat HBS, Jassin bekerja secara sukarela di kantor Asisten Residen Gorontalo. Pada tahun 1940, Jassin menerima tawaran Sutan Takdir Alisjahbana untuk bekerja sebagai redaktur di Badan Penerbitan Balai Pustaka. Tanpa disangka, pekerjaan tersebut memberikan kesempatan yang luas kepada Jassin untuk mengembangkan kemampuannya sebagai seorang kritikus. Sejumlah tulisan karya jassin dimuat di beberapa majalah, seperti Panji Pustaka, pantja Raja, Mimbar Indonesia, Zenith, Kisah, dan Sastra. Jassin pun dikenal sebagai kritikus andal. Sehubungan dengan hal itu, Jassin kemudian diminta untuk mengajar di Universitas Indonesia, tempat ia memperoleh gelar sarjana (1957) dan doctor honoris causa (1975). H.B. Jassin meninggal dunia pada tanggal 11 Maret 2000 di Jakarta. B. Riwayat Kepengarangan Dalam khasanah kesastraan Indonesia, nama H.B Jassin dikenal sebagai kritikus melalui serangkaian karya bunga rampainya, seperti Gema Tanah Air (1948), Kesusastraan Indonesia di Masa Jepang (1948), Pujangga Baru: Prosa dan Puisi (1963), dan Angkatan 66: Prosa dan Puisi (1968). Pada kemudian hari keberadaan karya antologi tersebut membuat H.B Jassin lebih dikenal sebagai seorang kritikus dan mengkonstruksi perkembangan kesastraan Indonesia modern bedasarkan situasi politik yang melatarbelakanginya. Berdasarkan kerangka tersebut, Jassin membagi perkembangan kesastraan Indonesia modern menjadi empat golongan besar, yakni Angkatan 20 (Balai Pustaka), Angkatan 33 (Pujangga Baru), Angkatan

45, dan Angkatan 66. Pembagian ini dianggap sebagai pembagian yang konvensional. Pada kemudian hari pembagian tersebut memberikan keleluasaan bagi Jassin untuk mendokumentasi seluruh karya sastra para sastrawan Indonesia tanpa mengenal batasan ideologi ataupun warna estetik yang dianut setiap sastrawan. Sehubungan dengan hal tersebut, H.B Jassin kemudian diberi gelar Paus Sastra Indonesia oleh Gajus Siagian. Sebagai seorang kritikus yang terjun langsung dalam perkembangan kesatraan tanah air yang bersifat bipolar, Jassin pernah terlibat dalam serangkaian polemik. Pada masa pemerintahan orde lama, Jassin terpaksa harus kehilangan jabatannya di Lembaga Bahasa Nasional dan Universitas Indonesia. Hal tersebut terjadi karena keterlibatannya dalam penandatanganan Manifes Kebudayaan. Pada tahun 1971, Jassin merasakan hidup dalam penjara selama satu tahun, dengan masa percobaan selama dua tahun, akibat sebuah cerpen berjudul Langit Makin Mendung karya Ki Panjikusmin, yang dimuat dalam majalah sastra asuhannya. Meskipun bentuk kritik Jassin dianggap terlalu konvensional sehingga menuai banyak hujatan, keberadaan H.B. Jassin dalam perkembangan kesatraan tanah air tidak bisa di hilangkan. H.B. Jassin merupakan orang pertama yang melakukan usaha dokumentasi karya satra Indonesia. Ia telah mengumpulkan sekitar 30.000 buku dan majalah sastra. Atas jasanya tersebut, masyarakat Indonesia dapat mengetahui perkembangan sastra Indonesia sehingga tidak kehilangan sejarahnya. Selain itu, melalui tangan H.B. Jassin pula masyarakat Indonesia dapat menikmati belasan judul buku satra. Buku sastra tersebut dapat dijadikan acuan dalam mempelajari dan mengembangkan sastra tanah air. Berikut ini sejumlah buku karya H.B. Jassin. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Tifa Penyair dan Daerahnya (1952) Kesusasteraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Essay I-IV (1954) Omong-Omong H.B. Jassin (catatan perjalanan ke Amerika 1958-1959) Heboh Sastra 1968 (1970) Sastra Indonesia Sebagai Warga Sastra Dunia (1983) Pengarang Indonesia dan Dunianya (1983) Sastra Indonesia dan Perjuangan Bangsa (1993) Koran dan Sastra Indonesia (1994)

Achdiat Karta Miharja


Achdiat Karta Miharja lahir di Cibatu, Garut, Jawa Barat, tanggal 6 Maret 1911. Ia dibesarkan dalam lingkungan keluarga menak yang feodal. Ayahnya bernama Kosasih Kartamiharja, seorang pejabat pangreh praja di Jawa Barat. Achdiat rnenikah dengan Suprapti pada bulan Juli 1938. Dari pernikahan itu, mereka dikaruniai lima orang anak. Ia memulai sekolah dasarnya di HIS (sekolah Belanda) di kota Bandung dan tamat tahun 1925. Ia masuk ke AMS (sekolah Belanda setara SMA), bagian Sastra dan Kebudayaan Timur, di kota Solo tahun 1932. Lalu, melanjutkan kuliah di Universitas Indonesia di kota Jakarta. Ketika kuliah, ia pernah diajar oleh Prof. Beerling dan Pastur Dr. Jacobs S.J., dosen Filsafat. Tahun 1956, dalam rangka Colombo Plan, Achdiat mendapat kesempatan belajar bahasa dan sastra Inggris, serta karang mengarang di Australia.

Tamat dari AMS, Achdiat Karta Miharja sempat mengajar di Perguruan Nasional, Taman Siswa, tetapi tidak lama. Tahun 1934 Ia beralih kerja menjadi anggota redaksi Bintang Timur dan redaktur mingguan Paninjauan. Tahun 1941 Ia menjadi redaktur Balai Pustaka. Pada zaman pendudukan Jepang, Achdiat menjadi penerjemah di bagian siaran, radio Jakarta. Tahun 1946 ia memimpin mingguan Gelombang

Zaman dan Kemajuan Rakyat yang terbit di Garut sekaligus menjadi anggota bagian penerangan penyelidik Divisi Siliwangi. Tahun 1948 Ia kembali bekerja sebagai redaktur Balai Pustaka. Tahun 1949 Ia menjadi redaktur kebudayaan di berbagai majalah, seperti Spektra dan Pujangga Baru di samping sebagai pembantu kebudayaan harian Indonesia Raya dan Konfrontasi. Pada tahun 1951--1961, Ia dipercayai memegang jabatan Kepala Bagian Naskah dan Majalah Jawatan Pendidikan Masyarakat Kementerian PPK. Pada tahun 1951 Achdiat Karta Miharja juga menjadi wakil ketua Organisasi Pengarang Indonesia (OPI) dan anggota pengurus Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN). Pada tahun itu juga, ia bertugas menjadi Ketua Seksi Kesusastraan Badan Penasihat Siaran Radio Republik Indonesia (BPSR) dan menjadi Ketua Pen-Club Internasional Sentrum Indonesia. Tahun 1954 Achdiat menjabat ketua bagian naskah/majalah baru. Tahun 1959 ia menjadi anggota juri Hadiah Berkala BMKN untuk kesusastraan. Tahun 1959--1961 Achdiat menjadi dosen Sastra Indonesia Modern di Fakultas Sastra, Universitas Indonesia, Jakarta. Pada tahun 196 11969 ia mendapat kesempatan untuk menjadi Lektor Kepala (senior lecturer) di Australian National University (ANU) Canberra. Achdiat tertarik pada sastra berawal dari rumahnya sendiri, ketika ia masih kecil, masih di SD. Ayahnya adalah seorang penggemar sastra, terutama sastra dunia. Ayahnya sering menceritakan kembali karyakarya yang telah dibacanya kepada Achdiat. Lama-kelamaan, Achdiat kecil pun menjadi gemar juga membaca buku-buku koleksi ayahnya itu. Ia pun ikut melahap buku-buku sastra ayahnya itu. Dari koleksi ayahnya, ia telah membaca, antara lain, buku karangan Dostojweski, Dumas, dan Multatuli. Buku Quo Vadis karya H. Sinckiwicq, Alleen op de Wereld karya Hector Malot dan Genoveva karya C. von Schimdt, bahkan telah dibacanya ketika kelas VI SD. Hasilnya adalah tulisan-tulisan Achdiat yang lahir di kemudian hari, baik itu yang berupa karya sastra maupun esai tentang sastra atau kebudayaan. Novelnya yang berjudul Atheis adalah novel yang membawa namanya di deretan pengarang novel terkemuka di Indonesia. Banyak pakar sastra yang membicarakan novelnya itu, antara lain, Ajip Rosidi, Boen S. Oemarjati, A. Teeuw, dan Jakob Sumardjo.

Sutardji Calzoum Bachri


LATAR BELAKANG KELUARGA: Sutardji Calzoum Bachri dilahirkan pada tanggal 24 Juni 1943 di Rengat, Indragiri Hulu, Riau. LATAR BELAKANG PENDIDIKAN: Setelah lulus SMA, ia melanjutkan pendidikannya sampai tingkat doktoral, Jurusan Administrasi Negara, Fakultas Sosial Universitas Padjadjaran, Bandung. Sutardji adalah anak kelima dari sebelas saudara dari pasangan Mohammad Bachri (dari Prembun, Kutoarjo, Jawa Tengah) dan May Calzoum (dari Tanbelan, Riau). Dia menikah dengan Mariham Linda (1982) dikaruniai seorang anak perempuan bernama Mila Seraiwangi. LATAR BELAKANG PEKERJAAN: Kariernya di bidang kesastraan dirintis sejak mahasiswa yang diawali dengan menulis dalam surat kabar mingguan di Bandung. Selanjutnya, ia mengirimkan sajak-sajak dan esainya ke media massa di Jakarta, seperti Sinar Harapan, Kompas, Berita Buana, majalah bulanan Horison, dan Budaya Jaya. Di samping itu, ia mengirimkan sajak-sajaknya ke surat kabar lokal, seperti Pikiran Rakyat di Bandung dan Haluan di Padang. Sejak itu, Sutardji Calzoum Bachri diperhitungkan sebagai seorang penyair. Pada tahun 20002002 Sutardji Calzoum Bachri menjadi penjaga ruangan seni Bentara, khususnya menangani puisi pada harian Kompas setelah berhenti menjadi redaktur majalah Horison. LATAR BELAKANG KESASTRAAN / KEBAHASAAN: Sutardji Calzoum Bachri selain menulis juga aktif dalam berbagai kegiatan, misalnya mengikuti

International Poetry Reading di Rotterdam, Belanda (1974), mengikuti International Writing Program di Universitas Iowa, Iowa City, USA (Oktober 1974April 1975), bersama Kiai Haji Mustofa Bisri dan taufiq Ismail. Ia pernah diundang ke Pertemuan International Para Pelajar di Bagdad, Irak, pernah diundang Menteri keuangan Malaysia, Dato Anwar Ibrahim, untuk membacakan puisinya di Departemen Keuangan Malaysia, mengikuti berbagai pertemuan Sastrawan ASEAN, Pertemuan Sastrawan Nusantara di Singapura, malaysia, dan Brunei Darussalam, serta pada tahun 1997 Sutardji membaca puisi di Festival Puisi International Medellin, Columbia. KARYA: Sutardji dengan Kredo Puisinya menarik perhatian dunia sastra di Indonesia. Beberapa karyanya adalah: 1. O (Kumpulan Puisi, 1973), 2. Amuk (Kumpulan Puisi, 1977), dan 3. Kapak (Kumpulan Puisi, 1979). Kumpulan puisnya, Amuk, pada tahun 1976/1977 mendapat Hadiah Puisi Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Kemudian pada tahun 1981 ketiga buku kumpulan pusinya itu digabungkan dengan judul O, Amuk, Kapak yang diterbitkan oleh Sinar Harapan. Selain itu, puisi-puisinya juga dimuat dalam berbagai antologi, antara lain: 1. Arjuna in Meditation (Calcutta, India, 1976), 2. Writing from The Word (USA), 3. Westerly Review (Australia), 4. Dchters in Rotterdam (Rotterdamse Kunststechting, 1975), 5. Ik Wil Nogdulzendjaar Leven, Negh Moderne Indonesische Dichter (1979), 6. Laut Biru, Langit Biru (Jakarta: Pustaka Jaya, 1977), 7. Parade Puisi Indonesia (1990), 8. Majalah Tenggara, 9. Journal of Southeast Asean Lietrature 36 dan 37 (1997), dan 10. Horison Sastra Indonesia: Kitab Puisi (2002). Sutardji selain menulis puisi juga menulis esai dan cerpen. Kumpulan cerpennya yang sudah dipublikasikan adalah Hujan Menulis Ayam (Magelang, Indonesia Tera:2001). Sementara itu, esainya berjudul Gerak Esai dan Ombak Sajak Anno 2001 dan Hujan Kelon dan Puisi 2002 mengantar kumpulan puisi Bentara. Sutardji juga menulis kajian sastra untuk keperluan seminar. Sekarang sedang dipersiapkan kumpulan esai lengkap dengan judul Memo Sutardji Penghargaan: Penghargaan yang pernah diraihnya adalah: 1. Hadiah Sastra Asean (SEA Write Award) dari Kerajaan Thailand (1997), 2. Anugrah Seni Pemerintah Republik Indonesia (1993), 3. Penghargaan Sastra Chairil Anwar (1998), dan 4. Dianugrahi gelar Sastrawan Perdana oleh Pemerintah Daerah Riau (2001).

Arswendo Atmowiloto
Arswendo Atmowiloto mempunyai nama asli Sarwendo. Nama itu diubahnya menjadi Arswendo karena dianggapnya kurang komersial dan ngepop. Lalu di belakang namanya itu ditambahkan nama ayahnya, Atmowiloto, sehingga namanya menjadi apa yang dikenal luas sekarang. Lahir tanggal 26 November 1948 di Solo, Jawa Tengah. Arswendo Atmowiloto menganut agama Kristen dan menikah dengan wanita yang seiman dengannya Agnes Sri Hartini pada tahun 1971. Dari pernikahannya itu, mereka memperoleh tiga orang putra, yaitu Albertus Wibisono, Pramudha Wardhana, dan Cicilia Tiara. Setelah lulus sekolah menengah atas, beliau masuk ke Fakultas Pendidikan Bahasa dan Sastra, IKIP Solo, tetapi tidak tamat. Aswendo semula bercita-cita menjadi dokter, tetapi itu tidak tercapai. Beliau pernah mengikuti program penulisan kreatif di Lowa University, Amerika Serikat. Setelah keluar dari Fakultas Pendidikan Bahasa dan Sastra, beliau bekerja di pabrik bihun dan kemudian di pabrik susu. Beliau juga pernah bekerja sebagai penjaga sepeda dan sebagai pemungut bola di lapangan tenis. Beliau mulai merintis karirnya sebagai sastrawan sejak tahun 1971. Cerpen pertamanya muncul berjudul Sleko, yang dimuat dalam majalah Mingguan Bahari. Di samping sebagai penulis, beliau juga aktif sebagai pemimpin di Bengkel Sastra Pusat Kesenian Jawa Tengah, Solo (1972). Setelah itu beliau bekerja sebagai konsultan penerbitan Subentra Citra Media (19741990), sebagai pemimpin redaksi dalam majalah remaja Hai, sebagai pemimpin redaksi/ penangung jawab majalah Monitor (1986) dan pengarah redaksi majalah Senang (1998). Aswendo Atmowiloto adalah pengarang serba bisa yang sebagian besar karyanya berupa novel. Isi ceritannya bernada humoris, fantatis, spekulatif, dan suka bersensasi. Karyannya banyak dimuat dalam berbagai media massa, antara lain Kompas, Sinar Harapan, Aktual, dan Horison. Karangannya, antara lain diterbitkan oleh penerbit Gramedia, Pustaka Utama Grafiti, Ikapi, dan PT Temprint. Aswendo Atmowiloto banyak menerima beberapa penghargaan, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Penghargaan itu, antara lain Hadiah Zakse (1972) untuk karya esainya yang berjudul Buyung Hok dalam Kreativitas Kompromi. Dramanya yang berjudul Penantang Tuhan dan Bayiku yang Pertama memperoleh Hadiah Harapan. Hadiah Perangsang Minat Menulis dalam Sayembara Penulisan Naskah Sandiwara DKJ tahun 1972 dan tahun 1973. Tahun 1975 beliau memperoleh Hadiah Harapan dalam sayembara serupa untuk drama Sang Pangeran dan Sang Penasehat. Dua bukunya Dua Ibu dan Mandoblang-Buku Anak-Anak terpilih sebagai buku nasional terbaik. Juga penghargaan ASEAN Award di Bangkok. Puluhan karyanya telah dibukukan, sebagian diangkat ke layar televisi dan film. Ketika menjabat sebagai pemimpin redaksi tabloid Monitor, ia ditahan dan dipenjara karena satu jajak pendapat. Ketika itu, Tabloid Monitor memuat hasil jajak pendapat tentang siapa yang menjadi tokoh pembaca. Arswendo terpilih menjadi tokoh nomor 10, satu tingkat di atas Nabi Muhammad SAW (Nabi umat Muslim) yang terpilih menjadi tokoh nomor 11. Sebagian masyarakat Muslim marah dan terjadi keresahan di tengah masyarakat. Arswendo kemudian diproses secara hukum sampai divonis hukuman 5 tahun penjara. Karena tulisannya dianggap subversi dan melanggar Pasal 156 A KUHP dan Pasal 157 KUHP. Setelah itu, beliau menyatakan penyesalannya dan meminta maaf kepada masyarakat melalui media TVRI dan beberapa surat kabar ibu kota. Ketika beliau berada di dalam tahanan, ia pun menulis cerita bernada absurditas, humoris (anekdot), dan santai. Cerita tersebut bertemakan tentang kehidupan orang-orang tahanan beserta masyarakat umum di ibu kota yang mengalami keputusasaan menghadapi suatu yang sulit. Aswendo pernah mendapat kecaman dan dianggap sebagai pengkhianat karena pendapatnya yang dianggapnya keliru oleh para pengamat sastra. Aswendo berpendapat bahwa Sastra Jawa telah mati. Dan beliau sangat menghargai penulis komik, khususnya komik wayang dan silat yang dianggap banyak berjasa dalam pendidikan anak.

Karya-karya Aswendo, antara lain berupa naskah drama, cerpen, novel, dan puisi. Berikut adalah karyakaryanya: 1. Sleko (1971) 2. Ito (1973) 3. Lawan Jadi Kawan (1973) 4. Bayiku yang Pertama: Sandiwara Komedi dalam 3 Babak (1974) 5. Sang Pangeran (1975) 6. Sang Pemahat (1976) 7. Bayang-Bayang Baur (1976) 8. 2 x Cinta (1976) 9. The Circus (1977) 10. Semesta Merapi Merbabu (1977) 11. Surat dengan Sampul Putih (1979) 12. Saat-saat Kau Berbaring di Dadaku (1980) 13. Dua Ibu (1981) 14. Saat-Saat (1981) 15. Pelajaran Pertama Calon Ayah (1981) 16. Serangan Fajar: diangkat dari film yang memenangkan 6 piala Citra pada Festival Film Indonesia (1982) 17. Airlangga (1985) 18. Anak Ratapan Insan (1985) 19. Pacar Ketinggalan Kereta (skenario dari novel Kawinnya Juminten (1985) 20. Pengkhianatan G30S/PKI (1986) 21. Dukun Tanpa Kemenyan (1986) 22. Akar Asap Neraka (1986) 23. Garem Koki (1986) 24. Canting: sebuah roman keluarga (1986) 25. Indonesia from the Air (1986) 26. Telaah tentang Televisi (1986) 27. Lukisan Setangkai Mawar: 17 cerita pendek pengarang Aksara (1986) 28. Tembang Tanah Air (1989) 29. Menghitung Hari (1993) 30. Oskep (1994) 31. Abal-abal (1994) 32. Berserah itu Indah: kesaksian pribadi (1994) 33. Auk (1994) 34. Projo & Brojo (1994) 35. Sebutir Mangga di Halaman Gereja: Paduan Puisi (1994) 36. Khotbah di Penjara (1994) 37. Sudesi: Sukses dengan Satu Istri (1994) 38. Suksma Sejati (1994) 39. Surkumur, Mudukur dan Plekenyun (1995) 40. Kisah Para Ratib (1996) 41. Darah Nelayan (2001) 42. Dewa Mabuk (2001) 43. Kadir (2001) 44. Keluarga Bahagia (2001) 45. Keluarga Cemara 1 46. Keluarga Cemara 2 (2001) 47. Keluarga Cemara 3 (2001) 48. Pesta Jangkrik (2001)

49. Senja yang Paling Tidak Menarik (2001) 50. Dusun Tantangan (2002) 51. Mencari Ayah Ibu (2002) 52. Mengapa Bibi Tak ke Dokter? (2002) 53. Senopati Pamungkas (1986/2003) 54. Fotobiografi Djoenaedi Joesoef: Senyum, Sederhana, Sukses (2005)

Dewi Lestari
Data biografi penulis buku menunjukan bahwa Dewi Lestari adalah salah satu tokoh Indonesia yang sukses di bidang musik dan juga sastra. yang satu ini Wanita yang lahir di bandung pada tanggal 20 Januari 1976 ini mengawali kisah suksesnya dengan menjadi penulis. Meluluskan sekolah di SMA Negeri 2 Bandung, Dee sapaan akrabnya kemudian melanjutkan kuliah di Universitas Parahyangan jurusan Hubungan Internasional. Latar belakang pendidikannya ini membuatnya fasih merangkai kata, yang kemudian mendorongnya menjadi seorang penulis dan juga penyanyi terkenal. Kehidupan Pribadi: Dee terlahir sebagai anak keempat dari lima bersaudara dari pasangan Yohan Simangunsong dan Turlan br Siagian (alm). Marcell Siahaan merupakan suami pertama Dee. Mereka menikah pada tanggal 12 September 2003. setahun kemudian putra pertama mereka lahir dan diberi nama Keenan Avalokita Kirana. Nama putranya diabadikan Dee sebagai salah satu karakter utama dalam novel terkenalnya yang berjudul Perahu Kertas. Pernikahan ini hanya bertahan 3 tahun. Mereka bercerai pada pertengahan Juni 2008 karena adanya pihak ketiga. Tidak lama melajang, Dee kemudian menikah lagi 5 bulan setelah perceraiannya, yaitu 11 November 2008 di Sydney. Suami keduanya bernama Reza Gunawan dan dari hasil pernikahannya ini, mereka mempunyai seorang putrid bernama Atisha Prajna Tiara (23 Oktober 2009). Karir Menulis Menulis merupakan hobi Dee. Trilogi Supernova merupakan karyanya yang membuatnya menjadi novelis handal di kancah perbukuan Indonesia. Sebelumnya ia memang belum dikenal masyarakat, padahal sebelum melesat lewat group vocal Rida Sita Dewi, tokoh Indonesia ini sudah menulis sejak SMA. Ia sering mengeluarkan tulisan yang dimuat di berbagai media masa. Karya cerpennya dimuat pada tahun 1993 yaitu di Jendela Newsletter. Selain itu ada juga di Majalah Mode, serta menjadi juara pertama lomba menulis cerpen di majalah Gadis. Tahun 2001, era keemasan dalam karir menulisnya mencapai puncak saat ia merilis novel sensasionalnya, Supernova Satu : Ksatria, Puteri dan Bintang Jatuh. Novel ini dirilis tanggal 16 Februari 2001. penjualan novelnya menembus angka 12.000 eksemplar dalam tempo 35 hari dan dan mencapai kurang lebih 75.000 eksemplar. Dee yang cerdas menyisipkan banyak sekali istilah sains dalam novelnya padahal novelnya bergenre romance. Kesuksesan Supernova Satu tidak hanya di Indonesia. Ia menjadi tokoh dunia ketika novelnya diterjemahkan ke dalam bahasa inggris oleh Harry Aveling seorang penulis dan penerjemah asal

Australia. Selain itu, berkat novel ini pula, Dee menjadi salah satu nominator Katulistiwa Literary Award (KLA), yang merupakan salah satu penghargaan buku terpopuler di Indonesia. Sekuel kedua Supernova mengulang sukses novel terdahulu. Novel berjudul Akar ini rilis pada tanggal 16 Oktober 2002 Walaupun ada sedikit insiden karena pemasangan simbul suci agama Hindu dalam cover bukunya, namun setelah permasalahan ini selesai, Dee melanjutkan Supernova ke sekuel selanjutnya. Novel ini juga menjadikan Dee sebagai salah satu nominasi Katulistiwa Literary Award (KLA) tahun 2003. Tiga tahun kemudian, sekuel terakhir Supernova terbit. Novel dengan judul Petir ini mengikuti sukses dua sekuel terdahulu. Kisah di novel ini masih terkait dengan dua novel sebelumnya. Hanya saja, ia memasukkan 4 tokoh baru dalam PETIR. Salah satunya adalah Elektra, tokoh sentral yang ada di novel tersebut. Karya Dee yang merupakan salah satu inovasi di dunia perbukuan Indonesia adalah paduan fiksi dan musik dalam buku sekaligus album RECTOVERSO. Buku ini terbit pada Agustus 2008. ini adalah mahakarya unik dan pertama di Indonesia. "Rectoverso" erupakan hibrida dari fiksi dan musik, terdiri dari sebelas cerita pendek dan sebelas lagu yang bisa dinikmati secara terpisah maupun bersama-sama. Keduanya saling melengkapi bagaikan dua imaji yang seolah berdiri sendiri tapi sesungguhnya merupakan satu kesatuan. Inilah cermin dari dua dunia Dewi Lestari yang ia ekspresikan dalam napas kreatifitas tunggal bertajuk "Rectoverso". Dengar fiksinya. Baca musiknya. Lengkapi penghayatan anda dan temukanlah sebuah pengalaman baru. Cerpen yang paling terkenal dari buku ini adalah Malaikat Juga Tahu yang mengisahkan cinta seorang ibu kepada anaknya yang menderita autisme. Cerpen ini juga disajikan dalam sebuah lagu, dengan kisah dan judul yang sama. Salah satu model video klipnya yang menggugah adalah Lukman Sardi yang juga menjadi pemeran utama dalam Film Laskar Pelangi karya Andrea Hirata. Cerpen Malaikat Juga Tahu bisa dibaca secara gratis di website ulasan buku Rectoversi, www.deerectoverso.com. Novel yang lebih sensasional karya Dee dan juga difilmkan tahun 2012 adalah Perahu Kertas. Novel ini diterbitkan oleh Bentang Pustaka pada tahun 2009. Naskah novel ini sendiri sudah tersebar luas di internet namun tanpa bab terakhir. Namun walaupun begitu, para fans tetap menunggu-nunggu novelnya terbit karena ingin mengetahui bagaimana kisah akhir antara Kugi dan Keenan.

Melalui kiprah kepenulisannnya Dee juga dianugrahi A Playful Mind Award (2003) dan dinobatkan menjadi salah satu Generasi Biang Extra Joss (2004). Dee terlebih dahulu dikenal sebagai penyanyi rekaman dan penulis lagu. Selain itu, dalam biografi penulis buku ini juga tercatat sebagai penulis scenario untuk film adaptasi novelnya, Perahu Kertas.

Anda mungkin juga menyukai